You are on page 1of 30

Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

GROUP TASK
Dosen Mata Kuliah: Dra. Kustiah Sunarti, M.Pd

PERKEMBANGAN AFEKTIF REMAJA

CREATED BY:
ICP OF PHYSICS’09

MURNIATI
AHMAD MASKUR KHAIRAT
NURUL AMALIAH
IRMA PUTRIA HIKMAH
UMMI QALSUM

MATHEMATIC AND SCIENCE FACULTY


MAKASSAR STATE UNIVERSITY
2010

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 0


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah
Subhanahu Wata’ala karena berkat rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga kami dapat
menyusun sebuah makalah hasil kerja kelompok kami yang membahas tentang
“Perkembangan Afektif Remaja”. Salam dan Taslim kepada junjungan kita Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam, keluarganya, Para Shahabat, Tabi’in dan
Para Tabiut Tab’in serta orang-orang yang senantiasa istiqamah di jalan-Nya hingga
yaumul qiyamah, Amiin.
Makalah yang kami buat ini merupakan kelengkapan dari materi Mata Kuliah
Perkembangan Peserta Didik yang harus kami selesaikan guna melengkapi proses
perkuliahan di Universitas Negeri Makassar. Pada kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ibu Dra. Kustiah
Sunarti,M.Pd selaku dosen yang membimbing kami dalam proses perkuliahan dan
telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk kepada kami.
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki, untuk itu
penyusun mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan
makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya,
insyaaAllah.
Akhirnya, kami atas nama penyusun makalah ini mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang membantu kami, Semoga bermanfaat.
Fastabiqul Khaerat
Wassalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, 24 Februari 2010

TIM PENYUSUN
KELOMPOK IV

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 1


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Benjamin S. Bloom pada tahun 1956, menyimpulkan tentang tujuan
pendidikan yang dibagi dalam tiga domain, yakni:
1.) Cognitive Domain (Ranah Kognitif)
Berkaitan dengan perilaku-perilaku yang menekankan intelektual seperti
pengetahuan, pengertian dan keterampilan berfikir.
2.) Affective Domain (Ranah Efektif)
Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi seperti
minat, sikap, apresiasi dan cara penyesuaian diri. Kelakuan seseorang yang
baik atau buruk.
3.) Physichomotor Domain (Ranah Psikomotor)
Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik,
seperti tulisan tangan, mengetik, berenang dan mengoperasikan mesin.
Sedangkan, menurut Tokoh Pendidikan yang sangat bersejarah di Indonesia
yakni Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan Beliau sebut dengan Cipta, Rasa,
dan Karsa atau biasa juga disebut penalaran, penghayatan, dan pengamatan.
Jenis-jenis perubahan ada 4 yakni perubahan dalam ukuran, dalam
perbandingan, dalam bentuk hilang dan perubahan dalam hal yang baru.
Perubahan dalam hal yang baru mencakup bagaimana seorang manusia dalam
pencarian jati diri. Dalam perubahan ini terjadi pada masa remaja seseorang. Dan
tiga ranah atau domain dari tujuan pendidikan diatas jika dihubungkan dalam
perkembangan seorang manusia apalagi pada masa remaja dalam mencari jati diri
sangatlah penting untuk diketahui.
Maka, dalam makalah ini insyaaAllah akan dibahas tentang perkembangan
emosi dan perkembangan nilai, moral, dan sikap seorang remaja yang dirangkum
dengan judul “Perkembangan Afektif Remaja”

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 2


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PERKEMBANGAN AFEKTIF REMAJA

A. Perkembangan Emosi
Seberapa banyak dorongan-dorongan dan minat-minat terpenuhi merupakan
dasar dari pengalaman emosional seseorang. Seseorang yang pola kehidupannya
berlangsung mulus, dimana dorongan-dorongan dan keinginan-keinginannya
terpenuhi dan yang minat-minatnya tercapai dengan berhasil cenderung emosinya
stabil dan menikmati hidup. Tetapi jika dorongan dan keinginannya tidak
terpenuhi baik karena kurangnya kemampuan untuk memenuhinya atau karena
kondisi lingkungan yang kurang menunjang, pengalaman-pengalaman
emosionalnya kemungkinan mengalami gangguan.
Banyak respon individu diarahkan oleh penalaran dan pertimbangan objektif,
namun ada saat di dalam kehidupan dorongan-dorongan emosional hampir
sepenuhnya mempengaruhi pikiran dan tingkah laku. Karena itu untuk memahami
remaja, bukan hanya perlu mengetahui apa yang ia kerjakan dan pikirkan, tetapi
hal yang lebih penting adalah mengetahui apa yang mereka rasakan. Makin
banyak usaha untuk memahami ddunia remaja seperti apa yang mereka alami,
makin perlu dilihat ke dalam kehidupan emosionalnya dan memahami perasaan-
perasaan dirinya dan orang lain, kemarahan-kemarahan dan ketakutan-ketakutan
mereka, kebanggaan dan rasa malu, kecintaan dan kebencian, harapan-harapan
dan keputusasaan.
Secara rinci, berbagai hal yang terkait dengan emosi diuraikan berikut ini:
1. Pengertian Emosi
Pada umumnya perbuatan kita sehari-hari disertai oleh perasaan-
perasaan tertentu, yaitu perasaan senang atau tidak senang. Perasaan senang
atau tidak senang yang dominan menyertai perbuatan-perbuatan sehari-hari

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 3


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

disebut warna afektif. Warna afektif kadang-kadang kuat, kadang-kadang


lemah atau samar-samar saja. Dalam hal warrna afektif yang kuat, maka
perasaan-perasaan menjadi lebih mendalam, lebih luas dan lebih terarah.
Perasaan-perasaan seperti ini disebut emosi (Sarwono, 1982). Beberapa
macam emosi antara lain: gembira, cinta, marah, takut, cemas dan benci.
Perbedaan abtara perasaan dan emosi tidak dapat dinyatakan dengan
tegas, karena keduanya merupakan suatu kelangsungan kualitatif yang tidak
jelas batasnya. Pada suatu saat tertentu suatu warna afektif dapat dikatakan
sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi. Jadi sukar sekali
mendefinisikan emosi. Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi itu
dikatakan sebagai berikut.
An emotion, is an affective experience that accompanies
generalized inner adjustment and mental and physiological
stirred-up states in the individual, and that shows itself in his
overt behavior.
Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dalam
diri tentang keadaan mental dan fisik individu yang diwujudkan dalam
tingkah laku yang tampak. Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai
oleh perubahan-perubahan tubuh. Pada saat terjadi emosi seringkali terjadi
perubahan-perubahan pada fisik, antara lain:
a. Reaksi elektris pada kulit: meningkat bila terpesona
b. Peredaran darah: bertambah cepat bila marah
c. Denyut jantung: bertambah cepat bila terkejut
d. Pernapasan: bernapas panjang bila kecewa
e. Pupil mata membesar bila marah
f. Liur: mengering kalau takut atau tegang
g. Buluroma: berdiri kalau takut
h. Pencernaan: mencret-mencret kalau tegang

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 4


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

i. Otot: ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau


bergetar (tremor)
j. Komposisi darah: komposisi darah akan ikut berubah dalam emosional
karena kelenjar-kelenjar lebih aktif.
2. Karakteristik Perkembangan Emosi
Secara tradisional perkembangan remaja dianggap sebagai periode
“badai dan teanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai
akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya emosi terutama
karena anak laki-laki dan perempuan berada di bawah tekanan sosial dan
menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia kurang
mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu. Tidak semua
remaja mengalami masa badai dan tekanan. Namun benar juga bila sebagian
besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai
konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola prilaku baru dan harapan
sosial baru.
Pola emosi masa remaja adalah sama dengan pola emosi masa kanak-
kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami adalah: cinta/kasih sayang,
gembira, kemarahan, permusuhan, ketakutan dan kecemasan.
a. Cinta/Kasih Sayang
Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk
mencintai orang lain dan kebutuhannya dan mendapatkan cinta dari
orang lain. Kemampuan untuk menerima cinta dari orang lain.
Kemampuan untuk mmenerima cinta sama pentingnya dengann
kemampuan untuk memberinya.
Walaupun remaja bergerak ke dunia yang lebih luas, dalam dirinya
masih ada sifat kanak-kanaknya. Remaja membutuhkan kasih sayang di
rumah, sama banyaknya dengan apa yang mereka alamipada tahun-tahun
sebelumnya. Karena alasan inilah maka sikap menentanh mereka,
menyalahkan mereka secara langsung, mengolok-olok mereka pada

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 5


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

waktu pertama kali ia mencukur kumisnya, adanya perhatian terhadap


lawan jenisnya, merupakan tindakan yang kurang bijaksana.
Nampaknya tidak ada manusia, juga remaja yang dapat hidup bahagia
dan sehat tanpa mendapatkan cinta dari orang lain. Kebutuhan untuk
memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting, walaupun
kebutuhan-kebutuhan akan perasaan itu disembunyikan secara rapi. Para
remaja yang berontak secara terang-terangan, nakal dan mempunyai
sikap permusuhan mungkin pada dasrnya dilandasi oleh kurangnya rasa
cinta dan dicintai yang tidak disadari.
b. Gembira
Kebanyakan individu dapat mengingat kembali pengalaman-
pengalaman yang menyenangkan yang mereka alami selama remaja, dan
jika kita menghitung kesenangan-kesenangan ini kita agaknya
mempunyai cerita yang panjang dan lengkap tentang apa yang terjadi
dalam perkembangan remaja.
Perasaan gembira dari remaja tidak banyak diteliti. Perasaan gembiira
sedikit mendapat perhatian dari petugas peneliti daripada perasaan marah
dan takut serta tingkah laku problema lain yang memantulkan kesedihan.
Bila segala sesuatunya berlangsung dengan baik para remaja akan
mengalami kegembiraan, demikian juga bila diterima sebagai seorang
sahabat, bila ia jatuh cinta, dan cintanya diterima.
c. Kemaran dan Permusuhan
Sejak kanak-kanak, rasa marah telah dikaitkan dengan usaha remaja
untuk mencapai dan memiliki kebebasannya sebagai seorang pribadi
yang mandiri. Rasa marah merupakan perasaan yang penting diantara
emosi-emosi yang memainkan peranan yang menonjol dalam
perkembangan kepribadian. Pertama diantara emosi-emosi adalah cinta,
dimana kita ketahui bahwa dicintai dan mencintai adalah emosi bagi
perkembangan pribadi yang sehat. Rasa marah demikian juga penting

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 6


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

dalam kehidupan, karena melalui rasa marahnya sesorang mempertajam


terhadap tuntutannya dan memiliki minat-minatnya senndiri.
Mendekati saat mencapai remaja, dia telah melalui banyak fase dalam
perkembangan antara lain kaitnnya dengan hal yang membuat dia marah
dan cara menyatakan rasa marah itu. Kondisi-kondisi dasar yang
menyebabkan timbulnya rasa marah kurang lebih sama, tetapi ada
beberapa perubahan seehubungan dengan umurnya dalam kondisi-
kondisi tertentu yang menimbulkan rasa marah. Banyaknya hambatan
yang menyebabkan anak kehilangan kendali terhadap rasa marahnya,
mempunyai sedikit pengarh pada remaja, tetapi rasa marahnya terus
berlanjut pemunculannya apabila minat-minatnya, rencana-rencananya,
tindakan-tindakannya dirintangi.
Dalam upaya memahami remaja, ada empat faktor yang sangat
penting sehubungan dengan rasa marah:
1.) Adanya kenyataan bahwa perasaan marah berhubungan dengan usaha
manusia untuk berusaha memiliki dirinya dan menjadi dirinya sendiri.
Meskipun marah seringkali tampak tolol dan tidak terkendali, namun
rasa marah akan terus berlanjut sepanjang ada kehidupan, dan sangat
berfungsi sebagai usaha individu untuk menjadi seorang pribadi
sesuai dengan haknya. Selama masa remaja fungsi marah terutama
untuk melindungi haknya untuk menjadi bebas/independen, dan
menjamin hubungan antara dirinya dan mereka yang berkuasa.
2.) Pertimbangan penting lainnya ialah ketika individu mencapai rasa
remaja dia tidak hanya merupakan subyek kemarahan yang
berkembang dan kemudian menjadi surut, tetapi juga mempunyai
sikap-sikap diman ada sisa kemarahan dalam bentuk permusuhan
yang meliputi sisa kemarahan masa lalu. Sikap-sikap permusuhan
mungkin berrbentuk dendam, kesedihan, prasangka, atau
kecenderungan untuk merasa tersiksa. Sikap-sikap permusuhan dapat

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 7


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

juga tampak dalam suatu kecenderungan untuk menjadi curiga dan


defence/keengganan atau menanggap bahwa orang lain tidak
bersahabat dan mempunyai motif yang jelek.
Sikap-sikap permusuhan mungkin tampak dalam cara-cara yang
bersifat pura-pura; remaja bukannya menampakkan kemarahan yang
sangat besar. Misalnya dalam kampanye politik, seorang remaja
mungkin menyanyikan kebanggaan dari seorang calon, padahal
sebenarnya ia bersifat bermusuhan terhadap calon tersebut yang
ditekan.
3.) Seringkali perasaan marah begitu disembunyikan dan seringkali
tampak dalm bentuk yang tersamar. Bahkan seni dari cinta mungkin
dipakai sebagai alat dari kemarahan. Contohnya: Jika seorang anak
laki-laki yang mempunyai latar belakang kecemburuan dan sikap-
sikap permusuhan yang tidak terselesaikan terhadap saudara
perempuannya dan terhadap gadis-gadis pada umumnya, cenderung
mempunyai kebiasaann untuk “menakuikkan” gadis-gadis agar jatuh
hati padanya lalu mencampakkannya.
4.) Kemarahan mungkin berbalik kepada dirinya senndiri. Dalam
beberapa hal, aspek ini merupakan aspek yang sangat penting dan
juga paling sulit dipahami.
d. Ketakutan dan Kecemasan
Menjelang anak mencapai masa remaja, dia telah mengalami
serangkaian perkembangan yang panjang yang mempengaruhi pasang
surut dari rasa ketakutan. Beberapa rasa takut yang terdahulu telah
teratasi, tetapi banyak yang masi tetap ada. Banyak ketakutan-ketakutan
baru muncul karena adanya kecemasan-kecemasan dan rasa berani yang
bersamaan dengan perkembangan remaja itu sendiri.
Semua remaja sedikit banyak takut terhadap waktu. Beberapa diantara
mereka merasa takut hanya pada kejadian-kejadian bila mereka dalam

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 8


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

bahaya. Beberapa orang mengalami rasa takut secara berulang-ulang


dengan kejadian dalam kehidupan sehari-hari, atau karena mimpi-mimpi,
atau karena pikiran-pikiran mereka sendiri. Beberapa mengalami rasa
takut sampai berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu.
Remaja seperti halnya kanak-kanak dan orang dewasa, seringkali
berusaha untuk mengatasi ketakutan-ketakutan yang timbul dari
persoalan-persoalan kehidupan. Tidak seorangpun yang menerjunkan
dirinya dalam kehidupan dapat hidup tanpa rasa takut. Satu-satunya cara
untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah menyerah terhadap rasa
takut, seperti terjadi bila seseorang begitu takut sehingga ia tidak berani
mencapai apa yang ada sekarang atau masa depan yang tidak menentu.
Usia remaja secara garis besar dapat dipilah menjadi dua tahap yang
ditandai dengan ciri-ciri emosional masing-masing, yaitu:
Usia 12-15 tahun
1.) Pada usia ini seorang siswa/anak cenderung banyak murung dan
tidak dapat diterka, sebagai akibat dari perubahan-perubahan biologis
dalam hubungannya dengan kematangan seksual dan juga karena
kebingungannya sendiri tentang apakah ia masih kanak-kanakatau
seorang dewasa.
2.) Siswa mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan
dalam hal rasa percaya diri.
3.) Ledakan-ledakan kemarahan mungkin biasa terjadi. Hal ini seringkali
terjadi sebagai akibat dari kombinasi ketegangan psikologi,
ketidakseimbangan biologis, kelelahan dan hal yang terakhir terjadi
karena bekerja terlalu keras, pola makan yang tidak tepat dan/atau
tidur yang tidak cukup.
4.) Seorang remaja cenderung tidak toleran dan membenarkan
pendapatnya sendiri, mungkin karena kurangnya rasa percaya diri.

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 9


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

Mereka mempunyai pendapat bahwa ada jawaban-jawaban absolut


dan bahw amereka mengetahuinya.
5.) Siswa SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara
lebih objektif dan mungkin menjadi marah apabila mereka ditipu
dengan gaya guru yang bersikap serba tahu (mahatahu).
Usia 15-18 tahun
1.) “Pemberontakan” remaja menupakan ekspresi dari perubahan
universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
2.) Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja ada
dalam keadaan konflik dengan orang tua mereka. Mereka
mungkin mengharapkan simpati dan nasehat kita.
3.) Siswa pada usia ini seringkali melamun, terutama tentang masa
depan mereka. Banyak diantara mereka terlalu tinggi menafsir
kemampuan mereka dan kesempatan mereka untuk memasuki
pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Sejumlah penelitian tentang emosi anak menunjukkan bahwa
perkembangan emosi mereka bergantung pada faktor kematangan dan
faktor belajar (Hurlock, 1960). Reaksi emosional yang tidak muncul pada
awal kehidupan tidak berarti tidak ada. Reaksi emosional itu mungkin akan
muncul di kemudian hari, dengan adanya kematangan dan sistem indokrin.
Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi
perkembangan emosi.
Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk
memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan suatu
rangsangan dalam jangka waktu yang lebih lama, dan menimbulkan emosi
pada satu objek. Demikian pula kemampuan mengingat mempengaruhi
reaksi emosional. Dengan demikian anak-anak menjadi reaktif terhadap

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 10


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih
muda.
Perkembangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan prilaku
yang diperlukan untuk menopang reaksi fisiologis terhadap stress. Kelenjar
adrenalin yang memainkan peran utama pada emosi mengecil secara tajam
segera setelah bayi lahir. Tidak lama kemudian kelenjar itu mulai membesar
lagi, dan membesar dengan pesat sampai anak usia lima tahun,
pembesarannya melambat pada usia lima sampai 11 tahun, dan membesar
lebih pesat lagi sampai anak usia 16 tahun, dan pada usia 16 tahun kelenjar
tersebut mencapai kembali ukuran semula seperti anak saat lahir. Hanya
sedikit adrenalin yang diproduksi dan dikeluarkan samapi saat kelenjar itu
membesar. Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi adalah:
1.) Belajar dengan coba-coba (learning by trial and error). Anak belajar
secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk prilaku
yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak prilaku
yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan
kepuasan. Cara belajar ini lebih umum digunakan pad masa kanak-
kanak awal dibandingkan dengan sesudahnya, tetapi tidak pernah
ditinggalkan sama sekali.
2.) Belajar dengan cara meniru (learning by imitation). Dengan cara
mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi tertentu orang lain,
anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama
dengan orang-orang yang diamati. Contoh, anak yang peribut mungkin
menjadi marah terhadap teguran guru. Jika ia seorang anak yang
populer di kalangan teman sebayanya mereka juga akan ikut marah
kepada guru tersebut.
3.) Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification).
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh
rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah memngkitkan

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 11


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya menirukan orang yang
dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
4.) Belajar melalui pengkondisian. Dengan merode ini objek situasi yang
pada mulanya gagal memancing rekasi emosional, kemudian dapat
berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan
cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang
mampu menalar, kurang pengalaman dalam menilai situasi secara
kritis, dan kurang mengenal ketidakrasionalan reaksi mereka. Setelah
lewatnya masa kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian
semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
5.) Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas
pada aspek reaksi. Kepada anak diajarkan cara beeaksi yang dapat
siterima jikasesuatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak
dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya
membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak
bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan
emosi tidak menyenangkan.
Anak memperluas ekspresi-ekspresi kemarahannya atau emosi lain
ketika beranjak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Peralihan
pernyataan emosi yang bersifat umum ke emosinya sendiri yang bersifat
individual ini dan memperhalus perasaan merupakan bukti/petunjuk adanya
pengaruh yang bertahap dan latihan dan kontrol terhadap prilaku emosional.
Mendekati berakhirnya usia remaja, seorang anak telah melewati
banyak badai emosional, ia mulai mengalami keadaan emosional yang lebih
tenang yang mewarnai pasang surut kehidupannya ia juga telah belajar
dalam menyembunyikan perasaan-perasaannya. Hal ini berarti jika ingin
memahami remaja, kita tidak hanya mengamati emosi-emosi yang secara
terbuka ia tampakkan tetapi berusaha mengerti emosi yang disembunyikan.

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 12


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

Jadi emosi yang ditunjukkan mungkin merupakan selubung/tutup bagi


yang disembunyikan, seperti contohnya seorang yang merasa ketakutan,
tetapi menunjukkankeemarahan dan seorang yang sebenarnya hatinya
terluka tetapi ia malah tertawa sepertinya ia merasa senang.
Remaja diberitahu secara berulang-ulang sejak kanak-kanak untuk
tidak menunjukkan perasaan-perasaannya. Sebagai seorang anaka ia tidak
boleh menangis, sehingga waktu ia remaja, terutama remaja laki-laki, jarang
menangs walaupun kondisinya sedemikian rupa yang sebenarnya ia ingin
menangis andaikata ada keberanian untuk menunjukkan perasaan-
perasaannya.
Sejak ia masih kanak-kanak para remaja sudah mengetahui apa yang
ditakutkan tetapi mereka juga diberitahu/diajar untuk tidak penakut, untuk
tidak menunjukkan ketakutan-ketakutan mereka sehingga seringkali mereka
takut tetapi tidak berani menunjukkan perasaan tersebut secara terang-
terangan. Adalah merupakan hal yang bertentangan bahwa dalam masa
remaja, seperti halnya dalam kehidupan orang dewasa, seringkali
membutuhkan dorongan yang kuat untuk menunjukkan rasa takut daripada
menyembunyikannya.
Sejak masa kanak-kanak semua remaja telah mengetahui rasa marah,
karena tidak ada seorangpun yang hidup tanpa pernah marah. Tetapi mereka
juga tahu bahwa adalah berbahasa untuk menunjukkan kemarahan secara
terbuka, dan banyak remaja diajarkan sebagai anak tidak hanya sekedar
menyembunyikan kemarahan mereka tetapi takut terhadap rasa marah dan
merasa bersalah apabila marah.
Demikian juga, kebanyakan remaja telah mengalami bagaimana
rasanya dicintai dan mencintai, tetapi banyak diantara mereka telah
mengetahui bagaimana menyembunyikan perasaan-perasaan ini. Kondisi-
kondisi kehidupanlah (atau kultur) yang menyebabkan ia merasa perlu
menyembunyikan perasan-perasaannya sedemikian rupa sehingga ia tidak

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 13


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

hanya menyembunyikan perasaan-perasaannya terhadap orang lain, tetapi


pada derajat tertentu bahkan ia kehilangan/tidak merasakannya lagi. Hal ini
terjadi misalnya, bila ia meragukan apakah ia benar-benar merasa marah
atau cinta atu takut. Kenyataan bahwa para remaja kadang-kadang tidak
mengetahui perasaan mereka atau tidak mampu menghayati perasaan
mereka, misalnya tampak dalam ucapan sambil menunjukkan
kebingungannya: “Saya tidak tahu apa yang sebenarnyasaya rasakan”,
“Saya tidak tahu apakah saya mencintai dia”, “Saya seharusnya marah,
tetapi saya tidak tahu bagaimana perasaan saya sebenarnya tentang hal itu”.
Banyak kondisi-kondisi sehubungan dengan pertumbuhan anak
sendiri dan hubungannya dengan orang lain yang membawa perubahan-
perubahan dalam menyatakn emosi-emosi ketika ia remaja.
Orang tua dan guru-guru hendaknya menyadari bahwa perubahan
dalam ekspresi yang tampak ini tidak berarti bahwa emosi tampak lagi
berperan dalam kehidupan anak muda. Ia tetap membutuhkan
perangsangperangsang yang memadai untuk pengalaman-pengalaman
emosional. Karena anak bertumbuh dalam keadaan fisik dan pemahaman,
responnya berbeda terhadap apa yang sebelumnya dianggap sebagai
ancaman atau merintangi cita-citanya. Ia pada akhirnya hendaknya
mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan apa
yang sedang terjadi padanya.
Dengan bertambahnya umur, menyebabkan adanya perubahan dalam
ekspresi emosional. Bertambahnya pengetahuan dan pengguanaan media
massa atau keseluruhan latar belakang pengalaman berpengaruh terhadap
perubahan-perubahan ini.
4. Hubungan antara Emosi dan Tingkah Laku
Pengaruh emosi atau marah dapat menyebabkan seseorang gemetar.
Dalam ketakutan mulut menjadi kering, cepatnya jantung berdetak, derasnya
aliran darah/tekanan darah, sistem pencernakan/getah lambung dipengaruhi

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 14


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

oleh gangguan emosi. Keadaan emosi yang menyenangkan dan relaks


berfungsi sebagai alat pembantu untuk mencerna, sedangkan perasaan tidak
enak atau tertekan menghambat/mengganggu pencernaan.
Di antara perangsang yang meningkatkan kegiatan kelenjar sekresi dari
getah lambung adalah ketakutan-ketakutan yang kronis, kegembiraan yang
berlebihan, kecemasan-kecemasan dan kekuatiran-kekuatiran. Semua ini
menyebabkan menurunnya kegiatan sistem pencernaan dan kadang-kadang
menyebabkan sembelit. Satu-satunya penyembuhan yang efektif adalah
menghilangkan penyebab dari ketegangan emosi. Peradangan di dalam
perut/lambung, diare, dan sembelit adalah keadaan-keadaan yang terkenal yang
berhubungan dengan gangguan emosi. Radang tidak dapat disembuhkan
demikian juga diare atau sembelit apabila factor-faktor yang menyebabkan
munculnya emosi tidak dihilangkan. Keadaan emosi yang normal sangat
bermanfaat bagi kesehatan, oleh karena itu kegembiraan yang berlebihan,
ketakutan atau kecemasan hendaknya dihindari. Seseorang yang tidak mudah
terganggu cenderung mempunyai pencernaan yang baik.
Gangguan emosi juga dapat sebagai penyebab dari kesulitan berbicara.
Hambatan-hambatan dalam berbicara tertentu telah dikemukakan bahwa tidak
disebabkan oleh kelainan dalam organ bicara. Ketegangan emosional yang
cukup lama mungkin menyebabkan seseorang gagap. Seorang gagap seringkali
relative normal dalam berbicara, apabila mereka dalam keadaan relaks atau
senang. Bila dia dihadapkan kepada situasi-situasi yang menyebabkan
kebingungan, ia akan menunjukkan ketidaknormalan dalam bicaranya. Banyak
situasi-situasi yang timbul di sekolah atau dalam situasi kelompok lain yang
dapat menyebabkan seseorang menjadi tidak tenang.
Kesulitan berbicara dapat tampak sebagai akibat dari tingkah laku
emosional. Sikap-sikap takut, malu-malu atau agresif dapat merupakan akibat
dari ketegangan emosi atau frustasi dan dapat muncul dengan hadirnya
individu tertentu atau situasi-situasi tertentu. Justru karena reaksi kita berbeda-

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 15


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

berbeda terhadap setiap orang yang kita jumpai, maka jika kita merespon
dengan cara yang sangat khusus terhadap hadirnya individu-individu tertentu
akan terangsang timbulnya emosi tertentu.
Seorang siswa tidak menyenangi gurunya bukan karena pribadi guru,
namun bisa disebabkan karena sesuatu yang terjadi pada anak dalam situasi
kelas. Jika ia merasa malu karena gagal dalam menghafal bahan pelajaran di
muka kelas, pada kesempatan lain ia mungkin takut untuk berpartisipasi dalam
kegiatan menghafal. Sebagai akibatnya ia mungkin memutuskan untuk
membolos, atau ia mungkin melakukan kegiatan yang lebih jelek lagi yaitu
melarikan diri dari semuanya itu, dari orang tuanya, dari guru-gurunya, atau
dari otoritas-otoritas lain.
Penderitaan emosional dan frustasi mempengaruhi efektivitas belajar.
Faktor-faktor afektif dalam pengalaman individu mempengaruhi jumlah dan
luasnya apa yang dipelajari. Seorang anak di sekolah akan belajar lebih efektif
bila ia termotivasi, karena ia perlu mengembangkan untuk belajar. Sekali hal
ini ada pada dirinya, selanjutnya ia akan menambah usahanya untuk menguasai
yang dipelajari. Apabila ada kesenangan karena keberhasilan dalam mencapai
prestasi, hal ini mengurangi pengaruh kelelahan.
Motivasi untuk belajar membantu individu untuk memusatkan pada apa
yang ia sedang kerjakan dan dengan cara itu ia akan memperoleh kepuasan.
Karena semua pelajar reaksinya tidak sama, rangsangan untuk belajar harus
berbeda-beda bagi anak-anak. Dengan demikian rangsangan-rangsangan yang
menghasilkan perasaan yang tidak menyenangkan, emosi yang kuat, atau
kejutan tertentu akan sangat mempengaruhi hasil belajar. Dengan demikian
rangsangan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan
mempermudah siswa belajar.
5. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Emosi
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi terdapat
perbedaan dalam segi frekuensi, intensitas serta jangka waktu dari berbagai

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 16


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

macam emosi, dan juga usia pemunculannya. Perbedaan ini sudah mulai
terlihat sebelum masa bayi berakhir dan semakin sering terjadi dan lebih
mencolok dengan meningkatnya usia anak-anak.
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara
lebih lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan
emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi
yang menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak mengekang sebagian
ekspresi emosi mereka, emosi cenderung bertahan lebih lama dari pada jika
emosi itu diekspresikan secara lebih kuat.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat
itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh
kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional
dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Sedangkan ditinjau
kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai
bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan
dengan anak-anak kurang pandai. Mereka juga cenderung lebih mampu
mengendalikan ekspresi emosi.
Ditinjau kedudukannya sebagai anggota kelompok keluarga, anak laki-
laki sering dan lebih kuat mengekspresikan emosi yang sesuai dengan jenis
kelamin mereka, misalnya marah, dibandingkan dengan emosi yang dianggap
lebih sesuai bagi perempuan, misalnya takut cemas dan kasih saying. Rasa
cemburu dan marah lebih umum terdapat dikalangan keluarga besar,
sedangkan rasa iri lebih umum terdapat dikalangan keluarga kecil. Rasa
cemburu dan ledakan marah juga lebih umum dan lebih kuat di kalangan anak
pertama dibandingkan dengan anak yang lahir kemudian dalam keluarga yang
sama.
Cara mendidik yang otoriter mendorong perkembangan emosi
kecemasan dan takut sedangkan cara mendidik yang permissive atau
demokratis mendorong berkembangnya semangat dan rasa kasih saying. Anak-

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 17


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

anak dari keluarga yang berstatus social ekonomi rendah cenderung lebih
mengembangkan rasa takut dan cemas dibandingkan dengan mereka yang
berasal dari keluarga berstatus social ekonomi tinggi.
6. Upaya Pengembangan Emosi Remaja dan Implikasinya dalam
Penyelenggaraan Pendidikan
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak
melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh
guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa
seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu
mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam
tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih
mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong
mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil
ledakan emosi tersebut sekecil-kecilnya, misalnya dengan jalan
kebijaksanaan/kelembutan, mengubah pikok pembicaraan, dan memulai
aktivitas baru. Jika kemarahan siswa juga tidak reda, guru dapat minta bantuan
kepada petugas bimbingan penyuluhan.
Dalam diskusi kelas, tekankan pentingnya memperhatikan pandangan
orang lain dalam mengembangkan pandangan sendiri. Kita hendaknya
waspada terhadap siswa yang sangat ambisius, berpendirian keras yang
mengintimidasi kelasnya sehingga tidak ada seseorang yang berani tidak
sependapat dengannya.
Reaksi yang sering kli terjadi pada diri remaja terhadap temuan-temuan
mereka bahwa kesalahan orang dewasa merupakan tantangan terhadap otoritas
orang dewasa. Guru-guru di SMA terperangkap oleh kemampuan siswa yang
baru dalam menentukan dan mengangkat kepermukaan tentang kelemahan-
kelemahan orang dewasa. Bertambahnya kebebasan dari remaja seperti
menambah “bahan bakar terhadap api”, bila banyak dari keinginan-

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 18


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

keinginannya langsung dihambat oleh guru-guru dan oran tua. Satu cara untuk
mengatasinya adalah meminta siswa mendiskusikan atau menulis tentang
perasaan-perasaan mereka yang negative. Meskipun penting bagi guru untuk
memahami alasan-alasan pemberontakannya, adalah sama pentingnya bagi
remaja untuk belajar mengontrol dirinya, karena hidup di masyarakat adalah
juga menghargai keterbatasan-keterbatasan, kebebasan individual.
Untuk menunjukkan kematangan mereka, para remaja pertama laki-laki
seringkali merasa terdorong untuk menentang otoritas orang dewasa. Sebagai
seorang guru di SMA, seseorang ada dalam posisi otoritas, dank arena itu
mungkin gurulah yang merupakan target dari pemberontakan dan rasa
permusuhan mereka.
Tampaknya cara yang paling baik untuk menghadapi pemberontakan
para remaja adalah pertama, mencoba untuk mengerti mereka dan kedua,
melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk membantu siswa
berhasil/mempunyai prestasi dalam bidang yang diajarkan. Satu cara untuk
membuktikan kedewasaan seseorang ialah terampil dalam melakukan sesuatu.
Jika guru menyadari sebagai seorang yang bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan tersebut pada diri siswa walaupun dalam cara-cara
yang amat terbatas, pemberontakan dan sikap permusuhan dalam kelas dapat
agak dikurangi. Remaja ada dalam keadaan yang membingungkan dan serba
sulit. Dalam banyak hal ia tergantung pada orang tua dalam keperluan-
keperluan fisik dan merasa mempunyai kewajiban kepada pengasuhan yang
mereka berikan dari saat dia tidak mampu memelihara dirinya sendiri. Namun
ia harus lepas dari orang tuanya agar ia menjadi orang dewasa yang mandiri,
sehingga adanya konflik dengan orang tua tidak dapat dihindari. Apabila
terjadi friksi semacam ini, para remaja mungkin merasa bersalah, yang
selanjutnya memperluas/memperbesar jurang antara dia dengan orang tuanya.
Seorang siswa yang merasa bingung terhadap rantai peristiwa tersebut
mungkin merasa perlu menceritakan penderitaannya, termasuk mungkin

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 19


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

rahasia-rahasia pribadinya, kepada orang lain. Karena itu seorang guru diminta
untuk bersikap seperti pendengar yang simpatik.
Siswa sekolah menengah atas banyak memikirkan hal-hal yang lain
dari pada tugas-tugas sekolah. Misalnya seks, konflik dengan orang tua dan
apa yang akan dilakukan dalam hidupnya setelah ia tamat sekolah, semua ini
mengisi pikiran-pikirannya. Salah satu persoalan yang paling membingungkan
yang dihadapi oleh guru ialah bagaimana menghadapi siswa yang hanya
mempunyai kecakapan terbatas tetapi yang selalu “memimpikan kejayaan”.
Seorang guru tidak ingin membuat mereka putus asa, tetapi jika ia mendorong
siswa tersebut untuk berusaha apa yang tidak mungkin dilakukan, walaupun
mungkin pernah mencoba namun gagal, dapat terjadi kegagalan ini malah
menambah kesengsaraan dalam hidupnya. Barangkali penyelesaian yang
paling baik adalah mendorong anak itu untuk berusaha namun tetap
mengingatkan dia untuk menghadapi kenyataan-kenyataan. Menyarankan
tujuan-tujuan pengganti mungkin merupakan cara untuk membuat ambisi-
ambisinya lebih realistic dan mudah mengatasinya apabila ada kegagalan.
Kebanyakan para siswa di sekolah menengah atas menginginkan
menjadi pegawai negeri/pegawai kantor meskipun kenyataannya hanya
sebagian kecil saja yang mencapai tujuan tersebut. Apabila ia menganggap
remeh pekerjaan sebagai buruh, ini berarti bahwa anak-anak muda yang
memasuki dunia kerja tersebut mungkin tidak mempunyai kebanggaan
terhadap apa yang mereka kerjakan. Kita para guru hendaknya dapat
memberikan keyakinan kepada sisiwa bahwa semua pekerjaan adalah
bermanfaat apabila dikerjakan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggung
jawab, hati-hati serta terampil.
Jadi terdapat berbagai cara untuk mengendalikan lingkungan untuk
menjamin pembinaan pola emosi yang diinginkan, dan menghilangkan reaksi-
reaksi emosional yang tidak diinginkan sebelum berkembang menjadi
kebiasaan yang tertanam kuat.

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 20


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

B. Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap


Dapatkah nilai-nilai hidup dipelajari? Kalau dapat dipelajari sebagai satu
ilmu sebagai pengetahuan, apakah pengetahuan tentang nilai-nilai hidup itu dapat
seketika membuat orang mau dan mampu bertingkah laku sesuai dengan apa yang
diketahuinya?
Antara pengetahuan dan tindakan ternyata tidak selalu terjadi korelasi positif
yang tinggi (Surakhmad, 1980). Proses pertumbuhan dan kelanjutan pengetahuan
menuju bentuk sikap dan tingkah laku aalah proses kejiwaan yang musykil.
Seorang individu yang pada waktu tertentu melakukan perbuatan tercela ternyata
melakukannya tidak selalu karena ia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu
tercela, atau tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang mudah
dilihat dan diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang tampak
saja. Didalamnya tercakup juga sikap mental yang tidak selalu mudah ditanggapi,
kecuali secara tidak langsung, misalnya melalui ucapan atau perbuatan yang
diduga dapat menggambarkan sikap mental tersebut; bahkan secara tidak
langsung pun ada kalanya cukup sulit untuk menari kesimpulan yang teliti.
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan pengertian dan saling
keterkaitan antara nilai, moral dan sikap serta pengaruhnya terhadap tingkah laku.
1. Pengertian dan Keterkaitan antara Nilai, Moral, dan Sikap serta Pengaruhnya
terhadap Tingkah Laku
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna, 1988).
Sopan santun, adat dan kebiasaan serta nilai-nilai kehidupan yang lain, lahir
tumbuh dan berkembang dalam hubungan antar manusia. Nilai-nilai lain
misalnya nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila adalah nilai-nilai hidup
yang menjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya sebagai warga
Negara Indonesia dalam hubungan hidupnya dengan negara serta dengan
sesama warga negara. Apakah ia seorang petani atau ahli ruang angkasa,

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 21


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

apakah ia pria atau wanita, apakah ia pemimpin dalam pemerintahan ataukah


ia warga negara biasa, apakah ia beragama Islam atau beragama lainnya;
sebagai warga Negara Indonesia ia harus berpedoman pada nilai-nilai
tersebut, demikian halnya para remaja.
Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila yang termasuk dalam
sila kemanusiaan yang adil dan beradab, antara lain:
a. Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan persamaan kewajiban
antar sesame manusia,
b. Mengembangkan sikap tenggang rasa,
c. Tidak semena-mena terhadap orang lain, berani membela kebenaran dan
keadilan, dan sebagainya.
Bagaimana kaitannya antara nilai-nilai dan moral?
Moral adalah ajaran tenggang baik buruk, perbuatan dan kelakuan,
akhlak, kewajiban dan sebagainya (Purwadarminto, 1957). Dalam moral di
atur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu
perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan
kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah.
Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Dalam kaitannya dengan pengalaman nilai-nilai hidup, maka moral
merupakan control dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-
nilai hidup yang dimaksud. Misalnya dalam pengalaman nilai hidup:
tenggang rasa, dalam perilakunya seseorang akan selalu memperhatikan
perasaan orang lain, tidak “semau gue”. Dia dapat membedakan tindakan
yang benar dan yang salah.
Nilai-nilai kehidupan sebagai norma dalam masyarakat senantiasa
menyangkut persoalan antara baik dan buruk, jadi berkaitan dengan moral.
Dalam hal ini aliran Psikoanalisa tidak membeda-bedakan antara moral,
norma, dan nilai (Sarwono, 1991). Semua konsep itu menurut Freud menyatu
dalam konsepnya tentang super ego sendiri dalam teori Freud merupakan

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 22


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku ego
sehingga tidak bertentangan dengan masyarakat.
Sedangkan menurut Gerungan (Mappiare, 1982) sikap secara umum
diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap hal. Sikap berkaitan
dengan motif dan mendasari tingkah laku seorang. Dapat diramalkan tingkah
laku apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui sikapnya.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa
kecenderungan (predisposisi) tingkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan
untuk beraksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek tersebut.
Dengan demikian keterkaitan antara nilai, moral, sikap dan tingkah
laku akan tampak dalam pengalaman nilai-nilai. Dengan kata lain nilai-nilai
perlu dikenal terlebih dulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru
akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan pada akhirnya
terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.
2. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya
dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun
saja, namun juga seperangkat nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila;
misalnya nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan,
nilai-nilai estetik, nilai-nilai etik, dan nilai-nilai intelektual, dalam bentuk-
bentuk sesuai dengan perkembangan remaja.
Sejauh mana remaja mengamalkan nilai-nilai yang telah
menginformasikan atau dicontohkan kepada mereka? Untuk keperluan ini
perlu ditinjau perkembangan moral remaja.
Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah
mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian
bersedia membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan
social/masyarakat tanpa terus sibimbing, diawasi, didorong dan diancam

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 23


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Remaja diharapkan


mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke
dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.
Michel meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus
dilakukan oleh remaja (Hurlock, 1980) sebagai berikut:
a. Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.
b. Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa
yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
c. Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja
lebih berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang
dihadapinya.
d. Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
e. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa
penilaian moral merupakan bahan emosi dalam arti bahwa penilaian
moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Menurut Furter (Monks, 1984), kehidupan moral merupakan problematic
yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau
perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat
memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat
yang sangat penting.
Kohlberg dalam penyelidikannya mengemukakan enam tahap (stadium)
perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan
tertentu. Ada tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg, yaitu
tingkat pertama, prakonvensional; tingkat kedua, konvensional; dan tingkat
ketiga, poscakonvensional. Masing-masing tingkat terdiri dari dua tahap,
sehingga keseluruhan ada enam tahapan (stadium) yang berkembang secara
bertingkat dengan urutan yang tetap. Tidak setiap orang mencapai tahap
terakhir perkembangan moral.

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 24


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

Tingkat I: Prakonvensional
Pada stadium pertama, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman.
Anak menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak
hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak
bisa diganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium kedua, berlaku prinsip relatisvik-hedonism. Pada tahap ini,
anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau
ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai
beberapa segi. Jadi ada kesanggupan seseorang (hedonistik). Misalnya mencuri ayam
karena kelaparan. Karena perbuatan “mencuri” untuk memenuhi kebutuhannya
(lapar), maka mencuri dianggap sebagai perbuatan mencuri itu sendiri diketahui
sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
Tingkat II: Konvensional
Stadium tiga, menyangkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium
ini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, di mana anak memperlihatkan
orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau buruk oleh orang lain.
Masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan seseorang baik atau
tidak. Menjadi “anak yang manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium empat, yaitu tahap menpertahankan norma-norma social dan
otoritas. Pada stadium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya
agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat
ikut mempertahankan aturan-aturan atau norma-norma social. Jadi perbuatan baik
merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak
timbul kekacauan.
Tingkat III: Pascakonvensial
Stadium lima, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya
dengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbale balik antara
dirinya dengan lingkungan social, dengan masyarakat. Seseorang harus
memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 25


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

karena sebaliknya lingkungan sosial atau masyarakat akan memberikan perlindungan


kepadanya.
Stadium enam, disebut prinsip universal. Pada tahap ini ada norma etik
disamping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara
seseorang dengan masyarakatnya ada unsure – unssur subjektif yang menilai apakah
suatu perbuatan itu baik atau tiddak baik.Subjektivisme ini berarti ada perbedaan
penilaian antara seseorang denngan orang lain.Dalam hal ini unsure etik akan
menentukan apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya .Remaja
mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah
sendiri.Tingkat perkembangan moral pasca konvensional harus dicapai selama masa
remaja.
Menurut Furter ( Monk’s 1984 ), menjadi remaaja berarti mengerti nilai –
nilai .Mengerti nilai – nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian melainkan
juga dapat menjalankannyaaa / mengamalkannka. Hal ini sselanjutnya berarti bahwa
remaja sudah dapat menginttenalisasikan penilaian – penilaian moral,
emnjadikannya sebagai nilai – nilai pribadi .Untuk selanjutnya penginternalisasikan
nilai – nilai ini akan tercermin dalam sikap dam tingkah lakunya .
3. Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai , Moral dan Sikap
Sama seperti perkembangan lainnya , maka perkembangan nilai, moral
dan sikap dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berdasarkan sejumlah hasil
penelitian, perkembangan internalisasi nilai –nilai terjadi melalui identifikasi
dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg
menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisai atau pelajaran yang
diperoleh dari kebiasaan dan hal – hal lain yang berhubungan dengan nilai
kebudayaan . Tahap – tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitaas spontan
pada anak – anak ( Gunarsa , 1990).
Moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, perkembangannya
dipengaruhi oleh peerkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget.

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 26


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

Makin tinggi tingkat penalaraan sesseorang menurut tahap-tahap perkembangan


piaget makin tinggi pula tingkat moral seseorang .
4. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Pengertian moral dan nilai pada anak-anak umur sepuluh tahun atau
sebelas tahun berbeda dengan anak-anak yang lebih tua. Pada anak-anak terdapat
anggapan bahwa aturan-aturan adalah pasti dan mutlak oleh karena itu diberikan
oleh orang dewasa atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi ( Kohlberg .1963.)
Menurut Kohlberg faktor kebudayaan mempengaruhi perkembangan
moral, Terdapat berbagai rangsangan yang diterima oleh anak – anak dan ini
mempengaruhi tempo perkembangan moral. Bukan mengenai cepat atau
lambatnya tahap-tahap perkembangan dicapai, melainkan juga mengenai batas
tahap-tahap yang dapat dilihat pada latar belakang kebudayaan tertentu .
5. Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja dan Implikasinya
dalam Penyelenggaraseseoran Pendidikan
Perwujudan nilai moral dan sikap tidak terjadi dengen sendirinya , Proses
yang dilalui seseorang dalam pengembangan nili–nilai hidup tertentu adalah
sebuah proses yang belum seluruhnya difahami oleh para ahli ( Surakhmad, 1980)
Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral seperti yang
diharapkan , maka kita didhapkan dengan masalah pembinaan , Adapun upaya–
upaya yang dapat dilakukan dalam pengembangan nilai , moral dan sikap remaja
adalah :
a. Menciptakan komunikasi
b. Menciptakan iklim lingkungan yang serasi

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 27


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Afektif adalah Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan
emosi seperti minat, sikap, apresiasi dan cara penyesuaian diri. Kelakuan
seseorang yang baik atau buruk.
2. Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-
perubahan tubuh. Jenis emosi yang secara normal dialami antara laliln: cinta,
gembira, marah, takut, cemas dan sedih.
3. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi emosi antara lain kematangan dan
kondisi-kondisi kehidupan atau kultur.
4. Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
atau prinsip-prinsip hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam hidupnya
baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara. Sedangkan moral adalah
ajaran tentang baik buruk suatu perbuatan dan kelakuan. Sikap adalah
kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal.
5. Tingkat perkembangan pasca-konvensional harus dicapai oleh remaja.
Menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai, yang tidak hanya memperoleh
pengertian saja namun juga dapat menjalankannya.
6. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan nilai, moral
dan sikap remaja adalah menciptakan komunikasi disamping member
informasi dan remaja diberi kesempatan untuk berpartisipasi untuk aspek
moral, serta menciptakan system lingkungan yang serasi/kondusif.
B. Saran
Menjadi seorang remaja dalam masa pencarian jati diri tetap harus
memahami konsep ranah afektif yang akan mempengaruhi kehidupannya, baik
sekarang maupun yang akan datang. Sehingga harapannya akan kehidupan yang
lebih baik dan menjadi seorang yang peka terhadap sosial dapat terwujud.

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 28


Perkembangan Peserta Didik “Perkembangan Afektif Remaja”

DAFTAR PUSTAKA

Daruma, A.Rasak dkk. 2009. Perkembangan Peserta Didik. Makassar : FIP UNM

http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom. diakses tanggal 10 Mei 2010

www.scribd.com. Diakses tanggal 10 Mei 2010

ICP Of Physics’09, Kelompok IV, Murni, Maskur, Amaliah, Irma, Ummi 29

You might also like