Professional Documents
Culture Documents
Visum et Repertum
VISUM ET REPERTUM
Pendahuluan
VISUM et Repertum atau VER adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan
pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan tertulis dari pihak
yang berwenang, dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatan dan KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana).
Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang
sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka) yang
dilakukan atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut
pandang kedokteran forensik. Surat permintaan VER ditujukan kepada Kepala Bagian
Kedokteran Forensik. Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan jenazah
pada hari itu adalah yang melakukan pemeriksaan jenazah tersebut.
Jenazah yang bersangkutan disita sementara waktu untuk pemeriksaan. Selesai pemeriksaan,
jenazah dikembalikan dan sepenuhnya menjadi milik keluarga kembali.
Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu untuk memeriksa jenazah tertentu.
Dan untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang memeriksa tidak boleh menerima balas
jasa dalam bentuk materi atau dalam bentuk apa pun (uang dan lain sebagainya).
Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang meminta. Yang berwenang
mengemukakan isi VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan bukan dokter yang melakukan
pemeriksaan. Adalah hak polisi untuk memberikan keterangan atau menolak memberikan
keterangan yang diminta kepada khalayak ramai/wartawan, sedangkan dokter forensik tidak
berwenang sehingga tidak diperkenankan untuk mengungkapkan isi VER kepada siapa pun juga
(misalnya pers)- apalagi sampai pada detail-detailnya-yang dapat menyinggung pihak-pihak
tertentu (misalnya pihak keluarga korban yang diotopsi).
Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada majelis hakim
dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli (kedokteran
forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga dengan sumpah dokter yang diucapkannya
sewaktu dilantik sebagai dokter untuk menjaga kerahasiaan dalam profesinya maupun korban
yang sudah meninggal sebagai benda bukti seperti yang akan diuraikan di bawah.
Dokter forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa berkewajiban membuka rahasia
mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan dengan sejujur-jujurnya atas sumpah
jabatan bahwa ia akan melaporkan dalam VER semua hal yang dilihat dan ditemukan pada
jenazah yang diperiksanya.
Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah diangkat dan telah
diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli Ilmu Kedokteran Forensik ia tidak
mengucapkan sumpah lain. Pendapat yang menyatakan bahwa dasar Ilmu Kedokteran Forensik
ialah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sangat keliru. KUHAP
adalah peraturan hukum, bukan sumpah.
Dokter forensik tidak diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada pihak lain (misalnya
media massa kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap saja dokter forensik adalah seorang
dokter yang pernah mengucapkan sumpah dokter dan sesuai sumpah dokter, ia harus menyimpan
rahasia kedokteran (dalam hal ini termasuk apa yang dilihat dan ditemukannya dalam
pemeriksaan forensik). Yang berwenang adalah polisi yang meminta VER.
Dan tidak jelas pula pendapat ahli kedokteran forensik yang menyatakan bahwa demi
kepentingan umum, dokter forensik diperkenankan memberikan keterangan apabila diperlukan
kepada media massa (kepentingan pribadi demi popularitas atau sensasi?).
Jenazah tidak dapat disamakan dengan benda bukti lainnya, misalnya sepotong kayu yang telah
dipakai untuk membunuh, karena sebelumnya ia adalah seorang manusia hidup yang bernyawa,
yang mempunyai riwayat kehidupan tertentu, dan dengan demikian juga terdapat ikatan-ikatan
tertentu, seperti hubungan dengan anggota keluarganya yang masih hidup maupun dengan kaum
kerabat lainnya. Oleh karena itu, hal-hal tertentu yang ditemukan dalam pemeriksaan yang dapat
mencemarkan nama baik orang yang sudah meninggal-juga keluarga serta kawan-kawannya
yang masih hidup-itu tidak dapat dibeberkan kepada pihak lain, apalagi untuk dikemukakan
kepada publik. Sesuatu yang memburukkan nama baik orang yang sudah meninggal (jenazah) itu
pasti akan berakibat aib bagi pihak keluarga yang ditinggalkan.
Definisi
Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung tentang visum et
repertum, yaitu pada staatsblad (lembaga Negara) Tahun 1937 No. 350. Ketentuan dalam
Staatsblad ini sebetulnya merupakan terobosan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dokter
dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah tiap kali sebelum membuat visum.
Seperti diketahui setiap keterangan yang akan disampaikan untuk pengadilan haruslah
keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya ketentuan ini, maka sumpah yang telah diikrarkan
dokter waktu menamatkan pendidikannya, dianggap sebagai sumpah yang syah untuk
kepentingan membuat VeR, biarpun lafal dan maksudnya berbeda.
Visum et repertum (VeR) adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik yang
berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup ataupun mati, ataupun
bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk
kepentingan peradilan.
Visum et repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses pembuktian
perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam VeR terdapat uraian hasil
pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap
sebagai pengganti barang bukti. VeR juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai
hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian kesimpulan.
Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat meminta
keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi kemungkinan dilakukannya
pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan
dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan.
Perbedaan VeR dengan Catatan Medis dan Surat Keterangan Medis Lain
Catatan medis adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis beserta tindakan
pengobatan/perawatannya yang merupakan milik pasien, meskipun dipegang oleh
dokter/institusi kesehatan. Catatan medis ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 tentang rahasia kedokteran dengan sanksi hukum
seperti pasal 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dokter boleh membuka isi catatan medis kepada pihak ketiga, misalnya dalam bentuk
keterangan medik, hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik langsung maupun berupa
perjanjuan yang dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak ketiga tertentu, misalnya pada
klaim asuransi.
Karena Visum et repertum dibuat berdasarkan undang-undang yaitu pasal 120, 179, dan 133 ayat
1 KUHAP, maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana
diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien. Pasal 50
KUHP mengatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang, tidak dipidana, sepanjang visum et repertum tersebut hanya diberikan kepada
instansi penyidik yang memintnya, untuk selanjutnya dipergunakan dalam proses pengadilan.
Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan),
visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah, dan visum et repertum psikiatrik.
Tiga jenis visum yang pertama adalah visum et repertum mengenai tubuh/raga manusia yang
dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah mengenai
jiwa/mental tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana.
Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas sebuah kertas
putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, dalam bahasa
Indonesia, tanpa memuat singkatan dan sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa
digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia.
Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat permintaan
visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis atas semua hasil pemeriksaan
medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk pembuatan visum et
repertum. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik,
sehingga membawa surat permintaan visum et repertum. Sedangkan korban dengan luka
sedang/berat akan datang ke dokter sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan
datang terlambat. Keterlambatan dapat diperkecil dengan komunikasi dan kerjasama antara
institusi kesehatan dengan penyidik.
Di dalam bagian pemberitaa biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-
luka atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang
letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis yang
dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat perawatan
selesai. Gejala yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan, sedangkan yang
subyektif dan tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam visum et repertum.
Umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya pada dokter adalah
kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP (meliputi perzinahan,
perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan dengan wanita yang
belum cukup umur, serta perbuatan cabul).
Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya tanda
persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada atau tidaknya
tanda kekerasan.
Bila ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa darah
pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka melalui pemeriksaan
golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut.
1. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan jaringan jenazah
secara teliti dan sistematik.
Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan
penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas.
Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi
”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya
disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak
dipidana”. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga
terkena pasal ini.
Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban
sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan
manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau
tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat
visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit
umum.
Dalam Keadaan tertentu di mana kesaksian seseorang amat diperlukan sedangkan ia diragukan
kondisi kejiwaannya jika ia bersaksi di depan pengadilan maka kadangkala hakim juga meminta
evaluasi kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk visum et repertum psikiatrik.
Aspek Pengadaan Visum Et Repertum
Pejabat yang dapat meminta visum et repertum atas seseorang korban tindak pidana kejahatan
terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah penyidik dan penyidik pembantu polisi, baik
POLRI maupun Polisi Militer, sesuai dengan jurisdiksinya masing-masing. Selain itu jaksa
penyidik berwenang pula meminta visum et repertum pada perkara pelanggaran Hak Asasi
Manusia. Hakim juga dapat meminta visum et repertum (psikiatrik) sesuai dengan pasal 180 jo
pasal 187 KUHAP, biasanya melalui jaksa penuntut umum.
Penasehat hukum tersangka tidak diberi kewenangan untuk meminta visum et repertum kepada
dokter, demikian pula tidak boleh meminta salinan visum et repertum langsung dari dokter.
Penasehat hukum tersangka dapat meminta salinan visum et repertum dari penyidik atau dari
pengadilan pada masa menjelang persidangan.
Korban atau keluarga korban juga tidak memiliki kewenangan untuk meminta visum et repertum
langsung dari dokter. Akan tetapi mereka berhak memperoleh informasi tentang korban pada
saat yang tepat dari penyidik, dan mereka juga dapat memperoleh salinan visum et repertum dari
penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan. Dalam hal visum et repertum
tersebut merupakan hasil pemeriksaan atas seseorang korban hidup, maka dokter pemeriksa
berhak untuk memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada korban. Sikap ini masih dapat
dibenarkan dari segi etika kedokteran, dan berkaitan dengan hak pasien atas informasi medis
dirinya.
Berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati yang telah mempunyai ketentuan yang
mengaturnya dan bahkan mempunyai ancaman hukuman bagi pelanggarnya, prosedur
permintaan visum et repertum korban hidup (luka, keracunan dan kejahatan seksual / abortus)
tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP.
Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan boleh
dilakukan oleh dokter (dalam pasal 133 hanya tertulis pemeriksaan luka). Hal ini berarti bahwa
pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan
mengandalkan tanggung-jawab profesi kedokteran.
KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan seseorang korban
sebagai “barang bukti”. Ketentuan tentang perlakuan terhadap korban hidup tidak menunjukkan
bahwa ia adalah barang bukti; ia tidak diberi label dan tidak disegel, apalagi disita oleh negara.
Situasi tersebut membawa kita kepada keadaan, dimana dokter turut bertanggung-jawab atas
pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum
dengan identitas korban yang diperiksa.
Dalam praktek sehari-hari, orang dengan luka-luka akan dibawa langsung ke dokter, baru
kemudian dilaporkan ke penyidik. Hanya korban dengan luka ringan atau tampak ringan saja
yang akan lebih dahulu melapor ke penyidik sebelum pergi ke dokter. Hal ini membawa
kemungkinan bahwa surat permintaan visum et repertum korban luka akan datang “terlambat”
dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini masih cukup
beralasan dan dapat diterima, maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan
pembuatan visum et repertum. Sebagai contoh keterlambatan seperti ini adalah keterlambatan
pelaporan kepada penyidik seperti yang dimaksud di atas, kesulitan komunikasi dan sarana
perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (keadaan darurat). Syarat pembuatan
visum et repertum sebagai alat bukti surat sebagaimana tercantum dalam pasal 187 butir c sudah
terpenuhi dengan adanya surat permintaan resmi dari penyidik. Tidak ada alasan bagi dokter
untuk menolak permintaan resmi tersebut.
Perlu diingat bahwa selain sebagai korban (pidana), ia juga berperan sebagai pasien, yaitu
seorang manusia yang merupakan subyek hukum, dengan segala hak dan kewajibannya. Hal ini
berarti bahwa seseorang korban hidup tidak secara “en block” (seutuhnya) merupakan barang
bukti. Yang merupakan “barang bukti” pada tubuh korban hidup tersebut adalah perlukaannya
beserta akibatnya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan
orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan
kewajibannya. Dengan demikian, oleh karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan dari
orangnya, maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah “menyalin”
barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum.
Adanya keharusan membuat visum et repertum atas seseorang korban tidak berarti bahwa korban
tersebut, dalam hal ini sebagai pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Keadaan
ini berbeda dengan korban mati yang tidak merangkap perannya sebagai pasien dengan segala
haknya. Korban hidup adalah juga pasien sehingga mempunyai hak untuk memperoleh informasi
medik tentang dirinya, hak menentukan nasibnya sendiri (rights to self determination), hak untuk
menerima atau menolak suatu pemeriksaan dan hak memperoleh pendapat kedua (second
opinion), serta tentu saja hak untuk dirahasiakan ihwalnya.
Umumnya korban tidak akan menolak pemeriksaan dokter bila telah dijelaskan manfaatnya bagi
korban sendiri sehubungan dengan perkara pidananya. Terlebih bila diingat bahwa biasanya
pemeriksaan tersebut dikaitkan dengan upaya pengobatan dirinya. Apabila suatu pemeriksaan
dianggap perlu oleh dokter pemeriksa tetapi pasien menolaknya, maka hendaknya dokter
meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila
hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis.
Ketentuan hukum mengenai siapa yang paling berwenang dalam pembuatan visum et repertum
korban kejahatan seksual tidaklah jelas. Selama ini para dokter spesialis kebidanan dan penyakit
kandungan, yang memang terbiasa memeriksa pasien wanita, dianggap paling berwenang dalam
pembuatan visum et repertum korban kejahatan seksual.
Namun apabila diingat bahwa korban kejahatan seksual pada dasarnya adalah korban
“perlukaan”, dan bahwa pemeriksaan yang harus dilakukan bukan hanya sekedar pemeriksaan
fisik dan tujuannya adalah untuk pembuktian, maka dokter spesialis forensik tampaknya akan
mempunyai peranan yang lebih besar. Hal ini juga didukung oleh segi keilmuan yang digunakan
dalam memeriksa korban kejahatan seksual, yaitu ilmu-ilmu forensik dan bukan ilmu obstetri
maupun ginekologi. Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa pemeriksa adalah dokter
yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai, baik di bidang ginekologi maupun
di bidang kedokteran forensik.
Tindakan yang akan dilakukan harus didahului dengan penjelasan dan permintaan persetujuan
korban, atau bila korban tidak cakap memberi persetujuan dimintakan dari orang tuanya atau
keluarga terdekatnya. Apabila korban belum cukup umur, maka disarankan agar persetujuan
tersebut ditandatangani oleh bersama, baik oleh korban maupun oleh orangtuanya. Selain adanya
surat permintaan visum et repertum dan persetujuan korban, pemeriksaan harus disaksikan oleh
chaperone (saksi yang berjenis kelamin sama dengan korban) guna menghindari keadaan yang
tidak diinginkan.(2)
Konsep visum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari :
1. Pro Yustitia.
Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan bila dibuat di atas kertas materai dan hal
ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum yang dibuat harus memakai kertas materai.
Berpedoman kepada Peraturan Pos, maka bila dokter menulis Pro Yustitia di bagian atas visum
maka ini sudah dianggap sama dengan kertas materai.
Penulisan kata Pro Yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun
pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (Pro Yustitia).
Hal ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakan tentang arti sebenarnya kata Pro
yustitia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah
sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat
mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah
satu alat bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena biarpun Pro
Yustitia hanya kata-kata biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti dan makna yang terkandung di
dalamnya maka kata-kata atau tulisan ini menjadi sangat penting artinya.
2. Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang diperiksa, saat pemeriksa
(tanggal, hari dan jam), di mana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas permintaan siapa visum
itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum dalam permintaan visum.
3. Pemeriksaan.
Bagian terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang dilihat dan
ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada bagian ini. Pada
bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara objektif. Biasanya pada bagian ini
dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban seperti apa adanya, misalnya
didapati suatu luka, dokter menuliskan pada visum suatu luka berbentuk panjang, dengan
panjang 10 cm, lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata, jaringan dalam luka
terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Sebagai tambahan pada bagian pemeriksaan ini, bila
dokter mendapatkan kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan kata-
kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa.
4. Kesimpulan.
Untuk pemakai visum, ini adalah bagian yang penting, karena diharapkan dokter dapat
menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka perlu
penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang derajat
kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan.
Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang tanda-tanda
persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu umur korban (terutama
pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikawini).
Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian
agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.
5. Penutup.
Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat sejujur-
jujurnya dan mengingat sumpah. Untuk menguatkan pernyataan itu dokter mencantumkan
Staatsblad 1937 No.350 atau dalam konsep visum yang baru ditulis sesuai KUHP.(IJO)
Seperti tercantum dalam KUHAP pasal 133 ayat 1, dimana dalam hal penyidik atau kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena
peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
Kedokteran Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, adapun tata cara permintaannya
sabagai berikut :
a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter, Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau
Dokter dan atau Dokter lainnya, harus diajukan secara tertulis dengan menggunakan formulir
sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani oleh penyidik yang berwenang.
b. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 27 tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP pasal 2 yang berbunyi :
1. Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat Serda Polisi.
2. Kapolsek yang berpangkat Bintara dibawah Pelda Polisi karena
3. Jabatannya adalah Penyidik
Catatan : Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2), maka Kapolsek yang berpangkat Serda
tersebut karena Jabatannya adalah Penyidik
1) Korban Mati.
Dalam hal korban mati jenis Visum et Repertum yang diminta merupakan Visum et Repertum
Jenazah. Untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan mayat dengan penuh
penghormatan, menaruh label yang memuat identitas mayat, di lak dengan diberi cap jabatan ,
diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat.
Mayat selanjutnya dikirim ke Rumah Sakit (Kamar Jenazah) bersama surat permintaan Visum et
Repertum yang dibawa oleh petugas Penyidik yang melakukan pemeriksaan TKP. Petugas
penyidik selanjutnya memberi informasi yang diperlukan
Dokter dan mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk memperoleh barang-barang bukti lain
yang ada pada korban serta keterangan segera tentang sebab dan cara kematiannya.
2) Korban Hidup.
Dalam hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi sakit, memerlukan
perawatan/berobat jalan, penyidik perlu memintakan Visum et Repertum sementara tentang
keadaan korban.
Penilaian keadaan korban ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya
tersangka ditahan. Bila korban memerlukan / meminta pindah perawatan ke Rumah Sakit lain,
permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu dimintakan lagi. Dalam perawatan ini dapat terjadi
dua kemungkinan, korban menjadi sembuh atau meninggal dunia.
Bila korban sembuh Visum et Repertum definitif perlu diminta lagi karena Visum et Repertum
ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir keadaan korban. Khusus bagi korban
kecelakaan lalu lintas, Visum et Repertum ini akan berguna bagi santunan kecelakaan.
Kemungkinan yang lain adalah korban meninggal dunia, untuk itu permintaan Visum et
Repertum Jenazah diperlukan guna mengetahui secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada
korban merupakan penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian lainnya.
d. Dalam surat permintaan Visum et Repertum, kelangkapan data-data jalannya peristiwa dan
data lain yang tercantum dalam formulir, agar diisi selengkapnya, karena data-data itu dapat
membantu Dokter mengarahkan pemeriksaan mayat yang sedang diperiksa.
Contoh :
Gambaran luka-luka dan tempat luka pada tubuh dapat menggambarkan bagaimana posisi
korban pada waktu terjadi kecelakaan.
2) Dalam kasus pembunuhan jangan hanya diisi, korban diduga meninggal karena pembunuhan
atau penganiayaan saja. sebutkan keterangan tentang jenis senjata yang diduga dipergunakan
pelaku, senjata tajam, senjata api, racun.
Sebaiknya jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku diikut sertakan sebagai barang bukti,
sehingga dapat diperiksa apakah senjata / alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka yang
terdapat pada tubuh korban.
3) Pada kasus keracunan atau yang diduga mati karena keracunan, cantumkan keterangan tentang
tanda-tanda atau gejala-gejala keracunan (dari saksi serta perkiraan racun yang dipergunakan.)
Bersama dengan korban perlu dikirim sisa-sisa makanan/racun yang dicurigai sebagai penyebab
4) Pada kasus diduga bunuh diri data-data tentang alat ataupun racun yang dipergunakan korban
agar diisi slengkapnya. Apabila korban dirawat, sertakan salinan rekaman medis pada waktu
perawatan
e. Permintaan Visum et Repertum ini diajukan kepada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman atau
Dokter dan atau ahli lainnya.
Catatan :
Dokter ahli Kedokteran Kehakiman biasanya hanya ada di Ibu Kota Propinsi yang terdapat
Fakultas Kedokteran nya
Ditempat-tempat dimana tidak ada Dokter ahli Kedokteran Kehakiman maka biasanya surat
permintaan Visum et Repertum ini ditujukan kepada Dokter.
2) Ditempat yang ada fasilitas rumah sakit umum / Fakultas Kedokteran, permintaan ditujukan
kepada bagian yang sesuai yaitu :
3) Korban, baik hidup ataupun mati harus diantar sendiri oleh petugas Polri, disertai surat
permintaannya
4) Ditempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, permintaan ditujukan kepada Dokter
pemerintah di Puskesmas atau Dokter ABRI/ khususnya Dokter Polri. Bila hal ini tidak
memungkinkan, baru dimintakan ke Dokter swasta
f. Sebaiknya petugas yang meminta Visum / petugas penyidik hadir ditempat otopsi dilakukan
untuk dapat memberikan informasi kepada Dokter yang membedah mayat tentang situasi TKP,
barang-barang bukti relevan yang ditemukan, keadaan korban di TKP hal-hal lain yang
diperlukan, agar memudahkan Dokter mencari sebab dan cara kematian korban.
g. Sebaiknya petugas penyidik dapat segera memperoleh informasi yang perlu tentang korban
seperti :
5) Apakah jenis alat/ senjata yang ditemukan di TKP sesuai dengan bentuk luka yang ada pada
tubuh korban
Apakah luka-luka yang ada pada tubuh korban terjadi sebelum atau sesudah kematian
10) Apakah korban minum obat-obatan atau minuman keras sebelum meninggal(3)
a. Pencabutan permintaan Visum et Repertum pada prinsipnya tidak dibenarkan, namun kadang
kala dijumpai hambatan dari keluarga korban yang keberatan untuk dilaksanakan bedah mayat
dengan alasan larangan Agama, adat dan lain-lain.
b. Bila timbul keberatan dari pihak keluarga, sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 134 ayat 2,
maka penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan bedah jenazah
tersebut.
1) Menurut Agama Islam hukumnya Mubah Fatwa Majelis Kesehatan dan Syurat Nomor 4 /
1955.
2) Bila keluarga tetap menghalangi bedah mayat penyidik dapat memberi penjelasan tentang
ketentuan KUHP Pasal 2 yang tertulis : Barang siapa dengan sengaja mencegah menghalangi
atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Pasal 90 KUHP
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau
yang menimbulkan bahaya mati.
2) Tidak mampu untuk terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai
penganiayaan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan atau terhadap orang yang
bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang berarti dekenakan pidana penjara
pailing lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
(1) Barang siapa melakukan penganiayaan kepada orang dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama sepuluh tahun.
Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada anak yang dilahirkan atau
tidak lama kemudian, dengan sengaja mematikan anaknya, diancam karena membunuh anak
sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena akan ketahuan bahwa ia akan
melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya,
diancam karena akan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.
Pasal 89 KUHP
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena memperkosa, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan hal itu diketahui bahwa
wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas,
bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika wanita belum sampai dua belas
tahun atau jika ada salah satu berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila
perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas ahun.
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, karena melakukan perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 44 KUHP
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena
pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan
supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu
percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung pengadilan Tinggi, dan
Pengadilan Negeri.
Yang berhak meminta visum et repertum adalah penyidik,hakim pidana,hakim perdata dan
hakim agama.
Penyidik
Hakim pidana
Hakim pidana biasanya tidak langsung minta visum et repertum pada dokter,tetapi
memerintahkan kepada jaksa untuk melengkapi berita acara pemeriksaan dengan visum et
repertum.Kemudian jaksa melimpahkan permintaan hakim kepada penyidik.
Hakim perdata
Karena di sidang pengadilan perdata tidak ada jaksa,maka hakim perdata minta langsung visum
et repertum kepada dokter.Sebagai contoh adalah sidang pengadilan mengenai penggantian
kelamin Iwan robyanto iskandar menjadi Vivian rubiyanti iskandar.
Hakim Agama
Hakim agama mengadili perkara yang bersangkutan dengan agama islam,sehingga permintaan
visum et repertum hanya berkenaan dengan hal syarat untuk berpoligami,syarat untuk melakukan
perceraian dan syarat waktu tunggu (idah) seorang janda.(2)
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN
PEMBUNUHAN BAYI DI WILAYAH DIY
TESIS
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan
Program Magister Ilmu Hukum
Oleh:
SUSI HADIDJAH, SH
Pembimbing:
PROF. DR. NYOMAN SERIKAT PUTRA JAYA, SH, MH.
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2008
ii
PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN
PEMBUNUHAN BAYI DI WILAYAH DIY
Disusun Oleh:
SUSI HADIDJAH, SH
NIM. B002.93.039
Dipertahankan di hadapan Dewan Penguji
Pada Tanggal :
24 Desember 2008
Tesis ini telah diterima sebagai persyaratan untuk memperoleh
Gelar Magister Ilmu Hukum
Mengetahui,
Pembimbing, Ketua Program
Magister Ilmu Hukum
Prof.Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH, MH. Prof.Dr. Paulus Hadisuprapto, SH.MH.
NIP. 130 529 438 NIP. 130 531 702
iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Dengan ini saya, Susi Hadidjah, SH., menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Tesis ini
adalah asli hasil karya saya sendiri dan Karya Ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai
pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) maupun
Magister (S2) dari Universitas Diponegoro maupun Perguruan Tinggi lain.
Semua informasi yang dimuat dalam Karya Ilmiah ini yang berasal dari penulis
lain baik yang dipublikasikan atau tidak, telah diberikan penghargaan dengan mengutip
nama sumber penulis secara benar dan semua isi dari Karya Ilmiah/Tesis ini sepenuhnya
menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.
Semarang, 24 Desember 2008
Penulis
iv
ABSTRACT
Background: Indonesian people has been longly human right that origin from Pancasila
and Undang-undang Dasar 1945. So, it can be said that Inndnesia people also has great
attention of human right principally for protecting individual’s right. Child is lovely one
who preciousless for every family, as heir and someone that continuos both of his
parents. Nowdays, news that neonatal founded in death condition which got into the
plastic bag or in garbage issue at mass media frequenly.
Objectives: Generally to know and analized law enforcement rights to do infanticide as
legislation now a days. To know and analized law enforcement rights at infanticide in
DIY area. To know and analized law enforcement which in abbreviation in to the
legislation in the future.
Methods: This reasearch uses approach which oriented in legislation approach by
empiric yuridical approach.
Conclusions: Generally law enforcement of infanticed management in legislation
recently enforcement at DIY area solved as same as criminal,s case. However, the rule of
criminalsm law enforcement inthe future legislation, concept of KUHP Paragraf 526 and
Paragraf 527 in 2008, rules about abandon and dump the child but not specifically rules
for infanticide.
Keywords: criminal’s law, criminal’s act, infanticide.
v
ABSTRAK
Latar Belakang; Masyarakat Indonesia telah lama mengenal hak asasi yang bersumber
pada Pancasila dan Undang- Undang Dasar Tahun 1945. Jadi dapat dikatakan bahwa
masyarakat Indonesia juga mempunyai perhatian yang besar terhadap hak asasi manusia
yang pada prinsipnya untuk melindungi hak-hak individu.
Anak adalah buah hati yang sangat berharga bagi setiap keluarga, sebagai pewaris dan
penerus kedua orang tuanya. Sekarang ini berita-berita tentang ditemukannya bayi baru
lahir dalam keadaan meninggal yang dimasukan dalam tas plastik atau di bak sampah
sering dimuat di media masa.
Permasalahan; Bagaimana penegakan hukum pidana secara umumdalam
penanggulangan pembunuhan bayi dalam perundang-undangan dewasa ini? Bagaimana
praktek penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi di wilayah
DIY. Bagaimana penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi,
yang sebaiknya dirumuskan dalam perundang-undangan di masa yang akan datang.?
Metode Penelitian; Penelitian ini digunakan pendekatan yang berorientasi pada
pendekatan hukum yang ditempuh lewat pendekatan yuridis empiris.
Hasil pembahasan; Penegakan Hukum Pidana secara umum dalam penanggulangan
pembunuhan bayi dalam perundang-undangan dewasa ini yaitu Pasal 341 dan Pasal 342
KUHP. Praktek penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi di
wilayah DIY dalam penyelesaiannya sama dengan penyelesaian kasus pidana.Sedangkan
pengaturan penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi dalam
perundang-undangan yang akan datang yaitu Pasal 526 dan Pasal 527 KONSEP KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Tahun 2008 mengatur mengenai
meninggalkan anak dan membuang anak, tetapi tidak khusus mengatur tentang
pembunuhan bayi.
Kata kunci; Hukum Pidana, Perbuatan Pidana, Pembunuhan bayi.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas perkenannya
penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Penegakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Pembunuhan Bayi Di Wilayah DIY, sebagai syarat akhir studi Pasca
Sarjana Bidang Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro Semarang.
Penulis menyadari tesis ini masih kurang ada kekurangannya atau masih jauh
dari sempurna, namun penulis tetap berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Yth;
1. Bapak Prof. DR. PAULUS HADISUPRAPTO,SH.MH., selaku Ketua Program
Pasca Sarjana Ilmu Hukum dan selaku Tim Review Proposal.
2. Bapak Prof. DR. NYOMAN SERIKAT PUTRA JAYA, SH.MH., selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini.
3. Bapak Prof. DR. H. BARDA NAWAWI ARIEF, SH.MH., selaku Tim Review
Proposal.
4. Bapak EKO SOPONYONO, SH.MH, selaku Tim Review Proposal
5. Para Guru Besar, Staf Pengajar,dan Bagian Pendidikan Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro Semarang yang telah memberikan bimbingan
dalam memperdalam keilmuan sebagai akademisi selama perkuliahan.
6. Kepala Kepolisian Yogyakarta, Bantul,Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
vii
7. Bapak Kepala Kejaksaan Negeri Yogyakarta,Bantul, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan
penelitian.
8. Bapak Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta, Bantul, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan
penelitian.
9. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
10. Ibu Kepala Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada.Yang telah memberikan ijin untuk menyelesaikan studi
Pasca Sarjana Ilmu Hukum di Semarang.Juga memberikan ijin untuk penelitian.
11. Bapak Hartono Brojokusumo (suami), dan anak-anak Harumurti
Kusumawardhana, ST dan Whisnu Agus Suryanto, SH. yang selalu memberi
dorongan semangat, doa dan bantuan selama proses studi dan penyelesaian tesis
ini.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak
memberikan bantuan baik dalam doa maupun perbuatan selama penulis mengikuti
pendidikan Program Magister Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro Semarang.
Semoga amal kebaikan bapak, ibu dan saudara sekalian mendapatkan pahala
dari ALLAH SWT, dan tesis ini bermanfaat bagi para pembaca.
Semarang, .................................2008
Penulis
SUSI HADIDJAH, SH.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ................................. iii
ABSTRAK ................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ................................................................... 1
B. PERUMUSAN MASALAH .......................................................... 8
C. TUJUAN PENELITIAN ............................................................... 9
D. KEGUNAAN PENELITIAN ........................................................ 9
E. KERANGKA TEORI ..................................................................... 9
F. METODE PENELITIAN ............................................................... 16
G. SISTEMATIKA PENULISAN ....................................................... 19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. PERBUATAN PIDANA, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN
PEMIDANAAN.............................................................................. 20
B. PENGERTIAN PEMBUNUHAN BAYI (INFANTICIDE) DALAM
PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA .................................. 31
C. KONSEP PEMBERIAN PIDANA DAN SISTEM PERADILAN
PIDANA DALAM KASUS PEMBUNUHAN BAYI ..................... 34
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA
A. PENEGAKAN HUKUM PIDANA SECARA UMUM DALAM
PENANGGULANGAN PEMBUNUHAN BAYI DALAM
PERUNDANG-UNDANGAN DEWASA INI ................................. 38
1. PROSES PENYIDIKAN PEMBUNUHAN BAYI .................... 40
2. PERAN BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK PADA
PEMBUNUHAN KASUS BAYI .............................................. 44
ix
B. PRAKTEK PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM
PENANGGULANGAN PEMBUNUHAN BAYI DI WILAYAH
DIY................................................................................................... 54
C. PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN
PEMBUNUHAN BAYI DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI
MASA YANG AKAN DATANG .................................................. 66
1. PRINSIP YANG HARUS DIPERTIMBANGKAN OLEH HAKIM
DALAM MEMERIKSA KASUS PEMBUNUHAN BAYI ..... 69
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN............................................................................... 77
B. SARAN ............................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 79
LAMPIRAN:
1. SURAT KETERANGAN PENELITIAN DARI KEPOLISIAN KOTA BESAR
DIY, POLRES BANTUL, POLRES SLEMAN.
2. SURAT KETERANGAN PENELITIAN DARI KEJAKSAAN NEGERI
YOGYAKARTA, BANTUL, DAN SLEMAN.
3. SURAT KETERANGAN PENELITIAN DARI PENGADILAN NEGERI
YOGYAKARTA, BANTUL, DAN SLEMAN
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Hukum menurut Undang-undang Dasar 1945 adalah negara hukum
dalam arti yang luas, yang menjamin hak-hak dan kewajiban asasi warga
negara/manusia, memajukan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial berdasarkan
Pancasila1. Hal ini berarti bahwa Negara Indonesia menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Dalam Negara hukum Republik Indonesia penghayatan, pengamalan dan
pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara untuk
menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara. Apabila hak
asasi seseorang dilanggar oleh orang lain, maka orang tersebut akan selalu menuntut
dan memperjuangkan terlaksananya hak asasi ini dengan segala cara. Hal ini
dikarenakan hak-hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia yang dimiliki sejak
bayi dalam kandungan lahir dan hidup di dalam kehidupan masyarakat.
Dalam sejarah kemanusiaan, tak sedikit yang mencatat kejadian dimana
seseorang atau segolongan manusia memperjuangkan apa yang dianggap haknya. Hal
ini terbukti dengan lahirnya naskah-naskah keuniversalan dan keasasian beberapa hak
yang mengandung inti yang sama yaitu manusia tidak ingin dirampas hak asasinya.
Namun, hak asasi bangsa Indonesia yang dikenal dalam kehidupan masyarakat tidak
hanya menonjolkan hak-haknya saja sebagai hak individu yang dituntutnya
melainkan harus dipenuhi pula kewajiban-kewajibannya. Sebenarnya masyarakat
1 BardaNawawi Arief, Kumpulan Hasil Seminar Nasional ke-1 s/d ke-, dan Konvensi Hukum Nasional
2008, Pustaka Magister, Semarang, 2008.
xi
Indonesia telah lama mengenal hak asasi yang bersumber pada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia juga
mempunyai perhatian yang besar terhadap hak asasi manusia yang pada prinsipnya
untuk melindungi hak-hak individu.
Anak adalah buah hati yang sangat berharga bagi setiap keluarga, sebagai
pewaris dan penerus kedua orang tuanya. Sedangkan seorang ibu adalah sosok yang
penuh kasih sayang, apapun dikorbankan demi anak buah hati. Tetapi sekarang ini
berita-berita tentang ditemukannya bayi baru lahir dalam keadaan meninggal yang
dimasukan dalam tas platik sering dimuat di media masa.
Seorang gadis berparas cantik X ( 17 tahun ) Warga Purwobinangun, Pakem
Sleman,Daerah Istimewa Yogyakarta nekat membunuh bayi yang baru di
lahirkannya. Kenekatan X di duga karena merasa malu mengingat bayi yang berjenis
kelamin laki-laki itu merupakan hasil hubungan gelap dengan F yang tak lain kakak
iparnya sendiri2 .
Di Sumber Agung, Kecamatan Jetis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta,
seorang pelajar SMA Swasta, T (17 tahun) membunuh bayinya yang baru dilahirkan
karena hubungan gelap dengan pacarnya yang tidak mau bertanggung jawab3. Selain,
dua kasus di atas, bisa juga dilihat kasus yang diperiksa di Instalasi Kedokteran
Forensik RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Di dusun Bongoskenthi, desa Murtigading, Sanden, Kabupaten Bantul,
seorang ibu, Ny. IW (40 tahun), pada hari minggu 23 Maret 2008, sekitar pukul 06.30
2 Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta: 11 September 2008.
3 Surat Kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta: 12 Oktober 2007.
xii
WIB, membunuh bayi yang baru dilahirkannya dengan memasukkan bayi ke dalam
lubang kloset.4
Kejahatan pembunuhan bayi bukan hanya merusak nilai-nilai asas manusia,
tetapi telah merendahkan derajat manusia, karena masalah moralitas agama melekat
pada seorang manusia juga tidak kalah memegang peranan penting dalam terjadinya
tindak pidana pembunuhan bayi. Oleh sebab itu, menurut Barda Nawawi Arif,
Hukum pidana yang paling dekat dan paling syarat dengan nilai-nilai kejiwaan atau
moralitas.5
Masalah pembunuhan bayi merupakan sebutan yang bersifat umum bagi
setiap perbuatan merampas nyawa bayi di luar kandungan, sedangkan infanticide
(yang dikenal di negara-negara Common Law) merupakan sebutan yang bersifat
khusus bagi tindakan merampas nyawa bayi yang belum berumur satu tahun oleh ibu
kandungnya sendiri. Pengkhususan infanticide sebagai tindak pidana yang
hukumannya lebih ringan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa kondisi
mental pada saat hamil, melahirkan dan menyusui sangat labil dan mudah terguncang
akibat gangguan keseimbangan hormon.6 Disamping alasan tersebut ada motivasi
untuk melakukan kejahatan adalah karena si ibu takut ketahuan bahwa ia telah
melahirkan anak, oleh karena anak tersebut adalah anak sebagai hasil hubungan gelap
atau anak yang tidak diinginkan. Selain alasan itu adalah saat dilakukan tindakan
menghilangkan nyawa si anak, yaitu pada saat anak dilahirkan atau tidak lama
kemudian yang dalam hal ini patokannya adalah sudah ada atau belum ada tanda-
4 SuratKabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta: Maret 2008.
5 Barda Nawawi Arif. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. P.T
Citra Aditya Bakti. Bandung 2001
6 Dahlan Sofwan, Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Badan Penerbit
UNDIP, Semarang, 2000, hal.141
xiii
tanda perawatan, dibersihkan, dipotong tali pusatnya, atau diberi pakaian. Saat
dilakukannya kejahatan tersebut dikaitkan dengan keadaan mental emosional dari si
ibu dimana selain rasa malu, takut, benci, bingung serta rasa nyeri bercampur aduk
menjadi satu sehingga perbuatan itu dianggap dilakukan tidak dalam keadaan mental
yang tenang, sadar serta perhitungan yang matang. Inilah yang menjelaskan mengapa
ancaman hukuman pada kasus pembunuhan bayi/anak lebih ringan dibandingkan
dengan kasus-kasus pembunuhan lainnya. Hukum sebagai salah satu tiang utama
dalam menjamin ketertiban masyarakat, diharapkan mampu mengantisipasi segala
tantangan kebutuhan, kendala-kendala yang menyangkut sarana dan prasarana serta
peluang yang terjadi sebagai akibat dari hasil pembangunan yang telah dicapai.
Hukum harus dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi
dalam masyarakat. Dalam Pembukaan UUD 1945 telah dirumuskan, tujuan negara
ialah; ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan Pancasila. Inilah yang menjadi
landasan dan tujuan politik hukum di Indonesia dan usaha pembaharuan hukum
termasuk pembaharuan di bidang hukum pidana, serta kebijakan atau upaya
penanggulangan kejahatan pembunuhan bayi di Indonesia.
Dengan adanya reformasi maka semangat untuk menanggulangi pembunuhan
bayi yang sudah sejak lama ada lebih digiatkan dan sangsinya berat, tetapi tidak
menyurutkan seorang remaja atau ibu melakukan pembunuhan bayi
Hal semacam ini dapat dipahami karena proses penegakan hukum dalam
upaya penanggulangan pembunuhan bayi, masih menunjukkan permasalahan dan
kendala. Oleh karena itu apabila tujuan dan dasar pemikiran kepada upaya
xiv
pencegahan dan penanggulangan pembunuhan bayi sebagaimana dirumuskan dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002: bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap
hak anak yang merupakan hak asasi manusia.
a. bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dalam
dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
b. bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan
bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang
menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan;
c. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia
perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu
dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak
dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya
perlakuan tanpa diskriminasi.7 Dalam Deklarasi hak-hak anak yang ditetapkan
oleh PBB pada 20 November 1959 dalam Resolusi Sidang Majelis Umum PBB,
dalam mukadimahnya bahwa seorang anak dalam keadaan masih belum matang
jasmani dan rokhani membutuhkan upaya pembinaan dan perlindungan khusus
(termasuk perlindungan hukum) baik sebelum maupun sesudah lahir. Pemerintah
Indonesia mengakui Deklarasi Hak-Hak Anak (Universal) dalam Undang-Undang
No.4 Tahun 1979 yang antara lain menyebutkan bahwa anak berhak atas
7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Penerbit Citra Umbawa, Bandung:
2003
xv
pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah
dilahirkan. 8
Dalam menggunakan dasar penal,praktek penegakan hukum khususnya dalam
proses penanggulangan pembunuhan bayi bersumber pada 3 hal, yaitu;
1. Tahap kebijakan Formulasi atau legislatif;
2. Tahap kebijakan Yudikafif atau Aplikatif, dan
3. Tahap kebijakan Eksekusi atau Administratif.9
Lebih jauh Peter Hoefnagels sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief
mengemukakan, bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasanya
dikenal dengan istilah’’Politik Kriminal’’dapat meliputi ruang lingkup yang lebih
luas. Upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:10
a. Penerapan Hukum Pidana ( Criminal Law Aplication);
b. Pencegahan tanpa Pidana (Prevention Without Punishment);
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat dan pemidanaan lewat media massa
(Influencing Views of Society on Crime andPunishment Mass Media).
Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi
dua, yaitu;
1. lewat jalur penal (hukum pidana);
2. lewat jalur non penal (di luar hukum pidana)
Upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya
non penal. Perbedaannya adalah:
8 Anonim, Citra Anak Indonesia, Kerja sama Kantor Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI
dengan Departemen Sosial Jakarta, 1988.
9 Barda Nawawi Arief, Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung; Citra
Aditya Bakri, 2001, hal 75.
10 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Kriminal, Bandung; Citra Aditya Bakri, 2002.
xvi
Social-Welfare Policy
a. Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada
sifat represif (penindasan, pemberantasan, penumpasan), sesudah kejahatan
terjadi.
b. Upaya-upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal (pencegahan,
penangkalan, pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.
Menurut Barda Nawawi Arief, sekiranya dalam kebijakan penanggulangan kejahatan
atau politik kriminal digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan
hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial (social policy) yang
terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy)
dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).
Hal ini dapat dilihat dari skema berikut:11
Gambar 1. Penal policy menurut Barda Nawawi Arif
11 BardaNawawi Arief, Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,Bandung; Citra
Aditya Bakri, 2001, hal 73-74.
Social Policy
Social-DefencePolicy
Criminal Policy
Goal SW/SD
Penal:
- Formulasi
- Aplikasi
- Eksekusi
Non Penal
xvii
Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal law enforcement policy
operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi (kebijakan
legislatif); tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial) dan tahap eksekusi (kebijakan
eksekutif/administratif).
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulisan ini didasarkan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut;
1. Law Enforcement Policy secara umum sebagai kebijakan hukum, dewasa ini tidak
bisa dilepaskan dari upaya perlindungan terhadap pelaku tindak pidana
pembunuhan bayi, dan juga korbannya.
2. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku pembunuhan bayi para pelaksana
hukum dari mulai penangkapan, penahanan, dan sampai pemeriksaan, ada tidak
pelanggaran hak asasi manusia.
3. Polisi, Jaksa, Hakim dalam melaksanakan tugas sudah sesuai belum dengan
peraturan/undang-undang yanng berlaku.
Berdasarkan latar belakang seperti yang diuraikan di atas, maka dalam penulisan
ini, penulis mengambil judul: “PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM
PENANGGULANGAN PEMBUNUHAN BAYI DI WILAYAH DIY” .
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan
dibahas adalah:
1. Bagaimana pengaturan penegakan hukum pidana secara umum, dalam
penanggulangan pembunuhan bayi dalam perundang-undangan dewasa ini?
xviii
2. Bagaimana praktek penegakan hukum pidana dalam penanggulangan
pembunuhan bayi di wilayah DIY?
3. Bagaimana sebaiknya pengaturan penanggulangan pembunuhan bayi, yang
dirumuskan dalam perundang-undangan di masa yang akan datang?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini bertolak dari perumusan
tersebut di atas adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis penegakan hukum pidana secara umum
dalam penanggulangan pembunuhan bayi dalam perundang-undangan dewasa ini.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis praktek penegakan hukum pidana dalam
penanggulangan pembunuhan bayi di wilayah DIY.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis penegakan hukum pidana dalam
penanggulangan pembunuhan bayi, yang sebaiknya dirumuskan dalam
perundang-undangan di masa yang akan datang.
D. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi terhadap
penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi serta
sumbangan penelitian pada bidang ilmu hukum pidana.
xix
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam
rangka meningkatkan kualitas penegakan hukum pidana dalam penanggulangan
pembunuhan bayi di dalam pengambilan keputusan.
E. KERANGKA TEORI
Anak adalah buah hati yang sangat berharga bagi setiap keluarga, sebagai
pewaris dan penerus kedua orang tuanya. Sedangkan seorang ibu adalah sosok yang
penuh kasih sayang, apapun dikorbankan demi anak buah hatinya. Oleh karena itu
seorang anak harus mendapatkan perlindungan baik masih dalam kandungan maupun
setelah dilahirkan.Tetapi sekarang ini berita-berita tentang ditemukannya bayi yang
baru lahir dalam keadaan meninggal karena dibunuh oleh ibunya, seringkali dijumpai
di media massa.
Soedarto memberi arti pada penegakan hukum adalah
perhatian dan penggarapan perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang
sungguh- sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan
hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potenti)12
Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu
usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan
hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi
kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiranpikiran
pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan- peraturan hukum
itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai
12 Sudarto,
Kapita Selekta Hukum Pidana,Bandung Alumni 1985, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung
Alumni 1988.
xx
kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum)
yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana
penegakan hukum itu dijalankan.13
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto:
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidahkaidah
yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkuman
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.Penegakan Hukum sebagai
suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut
pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan
tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi
berada diantara hukum dan moral.14
Sebagai generasi penerus bangsa, seorang bayi harus ditempatkan pada posisi
yang aman sebagai mana yang ditegaskan pada akhir Deklarasi PBB, tanggal 25
November 1959, tentang Hak-hak anak, bahwa anak-anak haruslah dibesarkan dalam
semangat jiwa yang penuh pengertian, toleransi persahabatan antar bangsa,
perdamaian dan persaudaraan yang bersifat universal.
Kejahatan pembunuhan bayi bukan hanya merusak nilai-nilai asas manusia ,
tetapi telah merendahkan derajat manusia, karena masalah moralitas agama melekat
pada seorang manusia juga tidak kalah memegang peranan penting dalam terjadinya
tindak pidana pembunuhan bayi. Oleh sebab itu, menurut Barda Nawawi Arief, dan
dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang dimaksud menciptakan hukum
positif secara nasional, tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai yang timbul dan
berkembang dalam masyarakat hukum yang hidup dalam masyarakat, karena
13 SatjiptaRahardjo, Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta; 1983, hal 24.
14 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1983, hal 5.
xxi
masyarakat memegang teguh nilai-nilai kemasyarakatan sebagai pedoman untuk
berbuat dan tidak berbuat. Berkaitan dengan kebijakan hukum pidana dalam
kepustakaan asing. juga dikenal dengan berbagai istilah lain, diantaranya adalah penal
policy, criminal law policy, atau stafrecht politeik.15
Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang atau
hukum pidana, pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha
perlindungan masyarakat atau social defence, dan usaha mencapai kesejahteraan
masyarakat atau social welfare. Oleh karena itu, wajar apabila kebijakan atau politik
hukum pidana juga merupakan bagian integral dan kebijakan politik atau social
policy. Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan
masyarakat. Jadi, di dalam pengertian social policy tercakup pengertian social welfare
policy dan social defence policy.16
Penggunaan hukum pidana sebagai suatu upaya untuk mengatasi masalah
sosial atau kejahatan termasuk dalam bidang penegakan hukum, khususnya hukum
pidana sehingga sering dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana
merupakan bagian dari penegakan hukum (law enforcement policy).17
Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
apabila orang mengatakan bahwa hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum
15 Barda Nawawi Arief , Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi
Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP( Semarang 1984)
hal 28.
16 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kedua Edisi Revisi, PT. Citra
Aditya Bakri, Bandung;2002
17 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1983.
xxii
manakala ia tidak pernah dilaksanakan (lagi).18 Dan diketahui pula, bahwa hukum
dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Di
dalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum itulah terkandung tindakantindakan
yang harus dilaksanakan, yang tidak lain berupa penegakan hukum itu.19
Untuk mewujudkan hukum sebagai ide-ide menjadi kenyataan, maka
sebetulnya kita sudah memasuki bidang manajemen. Dan, menurut Shrode dan
Voich, sebagaimana telah dikutip oleh Satjipto Rahardjo, manajemen adalah
seperangkat kegiatan atau suatu proses mengkoordinasikan dan mengintegrasikan
penggunaan sumber-sumber daya dengan tujuan untuk mencapai tujuan organisasi
melalui orang-orang, teknik-teknik dan informasi, dan dijalankan dalam kerangka
suatu strukur organisasi.20
Perwujudan hukum sebagai ide-ide membutuhkan suatu organisasi yang
cukup kompleks. Negara yang harus campur tangan dalam mewujudkan hukum
yang21, abstrak ternyata harus mengadakan berbagai macam badan untuk keperluan
tersebut, seperti pengadilan; kejaksaan; kepolisian; pemasyarakatan; dan juga badan
perundang-undangan.22 Hal ini dapat digambarkan dalam bentuk bagan sebagai
berikut:23
18 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), Sinar Baru, Bandung Tanpa
Tahun
19 Satjipto Rahardjo, Loc.Cit, hal16
20 Satjipto Rahardjo, Loc, Cit, hal 16-17
21 Ibid, hal .16
22 Ibid, hal 5
23 Satjipto Rahardjo, Loc, Cit, hal 16.
Tujuan-
Tujuan
Hukum
Organisasi
Organisasi
Organisasi
Organisasi
- Perumusan UU, Hak,
Kewajiban, Hubungan
Hukum dan sebagainya.
- Keputusan-keputusan
Pengadilan
- Kondisi Ketertiban,
keamanan
- Dan sebagainya.
xxiii
Gambar 2. Perwujudan Tujuan Hukum Melalui Organisasi
Untuk dapat menjalankan tugasnya, organisasi yang dituntut untuk
mewujudkan tujuan-tujuan hukum itu perlu mempunyai suatu tingkat otonomi
tertentu. Otonomi mencapai tujuan organisasi. Sumber-sumber daya ini menurut
Satjipto Rahardjo adalah:24
1. Sumber daya manusia, seperti hakim, polisi, jaksa, panitera.
2. Sumber daya fisik, seperti gedung, perlengkapan, kendaraan.
3. Sumber daya keuangan, belanja negara dan sumber-sumber lain.
4. Sumber daya selebihnya yang dibutuhkan untuk menggerakkan organisasi
dalam usahanya mencapai tujuan.
Menurut Soerjono Soekanto, bahwa masalah pokok dari penegak hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, yaitu:25
1. Faktor hukum (Undang-Undang).
2. Faktor Penegak Hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku dan
diterapkan.
24 SatjiptoRahardjo, Loc, Cit, hal 18
25 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1983, hal.5
xxiv
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Mengenai penegakan hukum atau bekerjanya hukum di dalam masyarakat,
Robert B. Seidman, secara teoritis memberikan penjelasan sebagaimana dikutip oleh
Satjipto Rahardjo yang dapat digambarkan dalam sebuah bagan sebagai berikut:26
26 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: 1980, Alumni, Hal.27
Lembaga Pembuat
Peraturan
Lembaga Penerap
Peraturan
Lembaga Penerap
Peraturan
Aktivitas Penerapan
Faktor-faktor
sosial dan personal
lainnya
Faktor-faktor
sosial dan personal
lainnya
Umpan Balik Umpan Balik
xxv
Gambar 3. Diagram Chambliss dan Seidman mengenai Proses Penegakan Hukum.
Dalam teori tersebut, terdapat tiga komponen utama pendukung bekerjanya
hukum dalam masyarakat. Ketiga komponen tersebut meliputi: 1) Lembaga Pembuat
Peraturan; 2) Lembaga Penerap Peraturan; 3) Pemegang Peran. Dan dari ketiga
komponen dasar tersebut, Robert B. Seidman mengajukan beberapa dalil,
sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, sebagai berikut:27
Setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seorang
pemegang peran itu diharapkan bertindak.
1. Bagaimana seorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respon
terhadap peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya. Sanksi-sanksi,
aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana, serta keseluruhan kompleks
kekuatan sosial, politik, dan lain-lain mengenai dirinya.
2. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon
terhadap peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya
keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, dan lain-lain yang
mengenai diri mereka, serta umpan-umpan balik yang datang dari para
pemegang peran.
3. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan
fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksisanksinya
keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, ideologis,
27 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, Hal.28
xxvi
dan lain-lain yang mengenai diri mereka, serta umpan-umpan balik yang
datang dari para pemegang peran serta birokrasi.
Sedangkan Sudarto memberi arti pada penegakan hukum adalah perhatian dan
penggarapan perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang sungguh-sungguh
terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan
terjadi (onrecht in potentie)28
F. METODE PENELITIAN
Pendapat Soerjono Soekanto ;tentang penelitian dengan mengatakan:
Penelitian hukum dimaksudkan sebagai kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau lebih gejala-gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya
kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktafakta
hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan yang timbul dalam segala hal yang bersangkutan.29
1. Metode Pendekatan
Permasalahan pokok dalam penelitian ini merupakan bagian pokok dari
penegakan hukum. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan yang berorientasi pada pendekatan hukum yang ditempuh lewat
pendekatan yuridis normatif . Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder, data primer lebih bersifat sebagai penunjang.
2. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis.
3. Jenis Data
28 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung; 1986.
29 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta.UI Press, 1981.
xxvii
Sumber data yang digunakan dari sumber primer dan sumber sekunder. Untuk
data sekunder, sumber primer yang digunakan berpusat pada perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang pembunuhan bayi, yaitu:
KUHP; Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter;
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sumber sekunder yang digunakan berupa dokumen atau Konsep KUHP 2008,
pendapat para ahli hukum, ahli medis serta hasil penelitian dan kegiatan ilmiah
lainnya yang menyangkut pembunuhan bayi.
Di samping itu, digunakan pula data sekunder yang berupa putusan perkara
pembunuhan bayi di Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta dan Pengadilan Negeri
Sleman, Pengadilan Negeri Bantul.
Sedangkan, data empiris digunakan data primer dari hasil wawancara dengan
polisi, jaksa, hakim, dan ahli kedokteran forensik Yogyakarta.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data untuk penyusunan dan pembahasan penulisan hukum
ini, penulis memakai metode-metode:
a. Kepustakaan (Library Research)
Yaitu dengan mempelajari buku-buku jurnal, makalah dan peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Wawancara/interview
1) Wawancara secara langsung kepada pihak-pihak yang bersangkutan sebagai
responden, dengan menggunakan pedoman yang berupa penanggulangan
pembunuhan bayi.
xxviii
2) Wawancara dengan daftar pertanyaan yang bersifat terbuka, dalam arti
pertanyaan tersebut hanya memuat garis besar saja, sehingga tidak menutup
kemungkinan diajukannya pertanyaan-pertanyaan baru, sepanjang masih ada
hubungannya dengan permasalahan.
c. Teknik Dokumentasi
Yaitu mengumpulkan data dengan cara mempelajari, meneliti dokumendokumen
atau berkas, karena berkas yang berkaitan dengan pembunuhan bayi.
5. Metode Analisis Data
Setelah data berhasil dikumpulkan, disajikan secara sistematis, selanjutnya akan
dianalisa secara kualitatif dengan penguraian secara deskriptif. Normatif, karena
penelitian ini bertolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum
positif. Deskriptif, karena penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan secara
keseluruhan dan sistematis mengenai kebijakan legislatif dalam merumuskan
peraturan perundangan yang berlaku sekarang dan yang akan datang, serta
penegakan hukum pidana dalam penanggulangan pembunuhan bayi di DIY.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan, untuk Bab I: Pendahuluan dilanjutkan Bab II: Tinjauan Pustaka,
akan dibahas tentang: A. Perbuatan Pidana, Pertanggung jawaban Pidanna, Dan
Pemidanaan, B. Pengertian Pembunuh Bayi Menurut Perundang-undangan Di
Indonesia, C. Konsep Pemberian Pidana dalam kasus pembunuhan Bayi Di Wilayah
DIY.
xxix
Sesuai dengan uraian dalam Bab I dan Bab II, maka Bab III berisi tentang
Hasil Penelitian dan Pembahasan, dari penelitian berikut akhirnya, tesis ini diakhiri
dengan Bab IV, merupakan Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran.
xxx
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PERBUATAN PIDANA, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN
PEMIDANAAN
Dalam penulisan tesis ini diketengahkan 3 (tiga) masalah :(1) penegakan
hukum pidana dalam menanggulangi pembunuhan bayi dalam perundang-undangan
dewasa ini, (2) praktek penegakan hukum pidana dalam penanggulangan
pembunuhan bayi di wilayah DIY, (3) penegakan hukum pidana dalam
penanggulangan pembunuhan bayi, yang dirumuskan dalam perundang-undangan
dimasa datang, merupakan masalah penting, khususnya apabila dikaitkan pengertian
pembunuhan bayi oleh ibu kandung sendiri (infanticide) baik disengaja maupun
direncanakan akibat perzinahan dan perkosaan.
Moeljatno, dalam berbagai tulisannya pernah mengatakan bahwa perbuatan
pidana dapat disamakan dengan Criminal act. Beliau menolak dengan tegas untuk
menggunakan istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah Strafbaar feit atau
delict.30
Senada dengan pendapat Moeljatno, Roeslan Saleh juga mengatakan bahwa
perbuatan pidana itu dapat disamakan dengan criminal act, jadi berbeda dengan
istilah Strafbaar feit yang meliputi pertanggung jawaban pidana. Criminal act
menurutnya berarti kelakuan dan akibat, yang lazim disebut dengan actu reus.
Perbuatan pidana (criminal act) harus dibedakan dengan pertanggung jawaban pidana
30 Moeljatno, Pengantar Ilmu Hukum Pidana, Yogyakarta, 1983
xxxi
(criminal responsibility). Oleh karena itu pengertian perbuatan pidana tidak meliputi
pertanggung jawaban pidana.
Unsur perbuatan pidana adalah sifat melawan hukumnya perbuatan,
sedangkan unsur pertanggung jawaban pidana adalah bentuk-bentuk kesalahan yang
terdiri dari kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) serta tidak adanya alasan
pemaaf. Alasan pemaaf yaitu alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan dari
terdakwa. Adapun asas dari pertanggung jawaban pidana adalah’’ tidak dipidana
apabila tidak ada kesalahan’’. Ini berarti, bahwa kalau ada alasan pemaaf, terdakwa
harus dilepas dari tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging).
Roeslan Saleh mengikuti pendapat Moeljatno, dengan menamakan
kesengajaan dan kealpaan itu sebagai bentuk-bentuk kesalahan., ‘’Untuk menentukan
ada tidaknya kesalahan, maka yang ditinjau adalah sifat-sifat dari orang yang
melakukan perbuatan tersebut. Sifat-sifatnya ini dilihat pada saat dia melakukan
perbuatan pidana’’ 31. Sifat melawan hukum dari pada perbuatan pidana’’adalah
bagian dari Ilmu Hukum Pidana, demikian pendapat dari Roeslan Saleh. Beliau
menambahkan bahwa32; ‘’Bersifat melawan hukum berarti bertentangan dengan
hukum, yaitu lebih luas dari pada bertentangan dengan undang-undang. Selain dari
pada peraturan undang-undang disini haruslah diperhatikan aturan-aturan yang tidak
tertulis.
Adapun asas daripada perbuatan pidana adalah asas legalitas, yang dimuat
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Seperti telah dikemukakan dimuka, bahwa sifat
31 Roeslan Saleh, Perbuatan pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, Jakarta, Aksara Baru, Cetakan
kedua,1981, hal 150.
32 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana.Jakarta, Aksara Baru, 1981, Cetakan
ketiga.
xxxii
melawan hukumnya perbuatan, berarti tidak ada alasan pembenar.Alasan pembenar
inilah yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan.
Dalam praktek Pengadilan, apabila ada alasan pembenar, maka terdakwa
haruslah dibebaskan dari segala dakwaan (Vrijspraak) yang lazim disebut bebas
murni,sesuai dengan pasal 191 ayat (1) KUHAP. Apabila ada alasan pemaaf,
terdakwa harus dilepas dari tuntutan hukum, ini berarti bebas tidak murni (ontslag
van rehctsvervolging) sesuai dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
Dalam hal putusan Pengadilan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari
tuntutan hukuman, maka dalam amar putusan Pengadilan harus memuat rehabilitasi
yang berbunyi: “Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan
harkat serta martabatnya”, sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) BABV tentang
Rehabilitasi dalam PP tentang pelaksanaan KUHAP, dan upaya hukumnya adalah
kasasi ke Mahkamah Agung RI.
Berbicara tentang pidana dan pemidanaan sangat luas sekali lingkupnya, oleh
karena itu dalam pembahasan kali ini, penulis akan membatasi pembicaraan dalam
konteks, formulasi pidana dan pedoman pemidanaan nya sehingga dengan demikian
dapat terarah dengan jelas.
Memulai pembicaraan ini, kiranya tidak perlu lagi diuraikan mengenai
pengertian pidana dan pemidanaan itu secara harfiah/ maknawiah. Namun secara
singkat dapat diartikan dalam konsep sistem, sehingga pidana dapat diartikan sebagai
susunan dan pemidanaan diartikan sebagai cara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum pidana merupakan hasil
konsruksi lembaga yang berwenang, dalam hal memformulasikan pidana tersebut
xxxiii
dalam batasan-batasan yang sejelas mungkin dengan sanksi yang tegas, sehingga
dapat mereaksi perbuatan pidana yang dilakukan oleh individu maupun oleh Badan
hukum.
Dalam memformulasikan pidana (susunan), hukum pidana dapat dilihat
dalam sudut pandang sebagai berikut:
a. Strafaatmaat, yaitu dalam aspek lamanya pidana,
b. Strafsoort yaitu dalam aspek jenis pidana, dan
c. Strafaatmodus, yaitu dalam aspek pelaksanaan pidana.
Sedangkan pemidanaan(cara) dipandang dalam konteks;
1. Pola pemidanaan ;
2. Tujuan pemidanaan; dan
3. Pedoman pemidanaan.
Kejahatan dalam arti kriminologi menurut Roeslan Saleh masih dibutuhkan
upaya-upaya adat untuk memulihkan kembali keseimbangan masyarakat yang
terganggu (misalnya terhadap delik perkosaan), baik yang dilakukan oleh orang
dewasa maupun remaja, dimana remaja sebagai korbannya, maupun remaja sebagai
pelakunya. Pidana penjara saja tidaklah cukup, masyarakat belum bersih dari kotoran
batin. Pengadilan tidak berwenang untuk memerintahkan upaya-upaya adat tersebut
diatas, kecuali sebagai syarat istimewa pada pidana bersyarat.33 Berbicara tentang
pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya setelah melahirkan yang diatur Pasal 341 dan
Pasal 342 KUHP juga terdapat dalam Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak.
Adanya aturan dalam Pasal 341 dan Pasal 342 sebagai akibat Pasal 284 KUHP
tentang delik perzinahan. Barda Nawawi Arief memaparkan sebagai berikut:
33 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Perbuatan Pidana (Jakarta,Aksara Baru,1981), Cetakan Ketiga
xxxiv
A. Perumusan delik perzinahan dalam Pasal 284 KUHP (yang didalam Konsep
disebut dengan istilah permukahan) mengalami perubahan redaksional,
walaupun inti deliknya sama, yaitu:
• Pria/Wanita telah kawin, melakukan persetubuhan dengan orang lain yang
bukan istri/suaminya; dan
• Seorang yang melakukan persetubuhan dengan orang lain yang sudah
kawin.
• Sejak Konsep pertama Buku II tahun 1977 (disebut KonsepBAS) s/d
Konsep 1991/1992 edisi revisi bulan Desember 1992, delik permukahan
ini oleh Konsep tidak lagi dijadikan delik aduan (berarti menjadi delik
biasa); tetapi dalam perkembangan terakhir Maret 1993, dirubah kembali
menjadi delik aduan.Hal semacam ini seharusnya dilihat dari pendekatan
kebijakan (policy-oriented approach)
B. Perumusan delik perkosaan yang diatur dalam pasal 285 KUHP;Barang siapa
dengan kekerasan dan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.
C. Selain itu masih ada lagi pasal 287 dan pasal 289 KUHP.34
Dilihat sebagai salah satu delik masalah kebijakan (policy), banyak faktor dan
alternatif yang perlu dipertimbangkan,antara lain;
1. Konsep nilai dan kepentingan yang melatar belakangi sifat dan hakikat
delik perzinahan.
34 Bahan Ceramah, Diklat Aparatur Penegak Hukum, Depkumdang, Di Pusdiklat Cinere, Jakarta, 28
Januari 2000.
xxxv
2. Aspek tujuan dari kebijakan / politik kriminal
3. Aspek nilai kesusilaan nasional, faktor kriminogen dan dampak negatif
4. Aspek kepentingan individu dan alternatif teknik perumusan delik aduan.
Dalam pasal 287 s/d pasal 289 KUHP yang mengatur mengenai delik
perkosaan dan percabulan dalam konsep KUHP yang akan datang lebih diperluas,
sedangkan Pasal 284 s/d 289 KUHP sebagai akibat terjadinya pembunuhan bayi baik
yang dilakukan oleh remaja maupun ibu.
Delik perzinahan pada hakekatnya termasuk salah satu delik kesusilaan yang
erat hubungannya dengan nilai-nilai kesucian dari lembaga perkawinan. Jadi masalah
sentralnya bukan berkisar masalah, apakah perzinahan itu delik aduan atau bukan,
tetapi masalah sentralnya harus melihat pada masalah pandangan dan konsep nilai
masyarakat mengenai nilai-nilai kemanusiaan dan kesucian dari lembaga perkawinan
itu sendiri.
Menurut pandangan ‘’Barat’’yang individualistik-liberalistik, hak-hak dan
kebebasan individu (termasuk dibidang hubungan seksual/moral) sangat menonjol
dan dijunjung tinggi. Sepanjang hubungan seksual/moral itu bersifat individual, bebas
tanpa paksaan dianggap wajar dan tidak tercela. Oleh karena itu wajar perzinahan
dalam lembaga perkawinan bersifat sangat pribadi (privat), konsekuensinya
perzinahan dipandang delik aduan. Yang melatar belakangi konsep delik aduan
menurut WvS (KUHP) yang termasuk keluarga civil law system atau The Romano
xxxvi
Gormanic Family. Menurut Rene David, keluarga hukum ini dipengaruhi oleh ajaran
yang menonjolkan paham individualism, liberalism dan individual rights..35
Masalah perzinahan dan lembaga perkawinan dalam pandangan dan struktur
sosial budaya masyarakat yang lebih bersifat kekeluargaan, kolektivistik dan
monodualistik, tidak hanya masalah privat dan kebebasan individual; tetapi terkait
pula nilai-nilai dan kepentingan masyarakat luar, minimal kepentingan keluarga,kaum
dan kepentingan lingkungan.
Dengan demikian dilihat dari sudut kebijakan, apakah cukup bijaksana.
apabila delik perzinahan dijadikan delik aduan absolute (menjadi hak absolut
istri/suami untuk mengadu/menuntut). Sementara di lain pihak ada juga kepentingan
umum, atau kepentingan pihak lain di luar istri/suami yang bersangkutan. Terlebih
apabila sudah ada korban di pihak wanita (misal terjadi kehamilan), ini ada
hubungannya dengan pembunuhan bayi yang kelahirannya tidak dikehendaki.
Sedangkan pihak istri dari pria yang menghamili tidak melakukan pengaduan atas
dasar perzinahan. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan terjadinya kehamilan diluar
nikah, sehingga kelahiran nya tidak dikehendaki maka seorang ibu nekat membunuh
bayinya.
1. Pengertian Kesengajaan dan Kealpaan
Pengertian atau definisi mengenai kesengajaan dan kealpaan tidak kita
jumpai dalam KUHP kita saat ini . Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Baru yang akan datang bermaksud merumuskan kedua bentuk kesalahan itu.
35 BardaNawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Jakarta, Kencana,2007 Ed I. Cet I 32. Soegandhi, Buku Pedoman Pengadaan
Visum Et Repertum, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran UGM,Yogyakarta, 1984.
xxxvii
Sedangkan Konsep Tahun 2008 KUHP yang baru tidak memformulasikan
pembunuhan bayi dalam Pasal 526;
(1) Setiap orang yang meninggalkan anak yang belum berumur 7 (tujuh) tahun
dengan maksud supaya ditemukan orang lain, sehingga dapat melepaskan
tanggung jawab atas anak tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan:
a. pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, jika perbuatan tersebut
mengakibatkan luka berat pada anak yang ditinggalkan; atau
b. pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika perbuatan tersebut
mengakibatkan matinya anak yang ditinggalkan.
Pasal 527; Seorang ibu yang membuang atau meninggalkan anaknya tidak
lama setelah dilahirkan karena takut kelahiran anak tersebut diketahui oleh orang lain,
dengan maksud agar anak tersebut ditemukan orang lain atau dengan maksud melepas
tanggung jawabnya atas anak yang dilahirkan, maksimum pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 526 dikurangi 1/2 (satu per dua).
Ancaman pidana yang didasarkan pada pertimbangan bahwa rasa takut
seorang ibu yang melahirkan diketahui orang lain sudah dianggap suatu
penderitaan. Sedangkan dalam pembunuhan bayi ada yang disengaja dan
direncanakan, hal ini bisa dilihat dari tanda-tanda bayi yang telah dilahirkan
apakah bayi lahir hidup atau lahir mati. Dalam ilmu kedokteran hal seperti ini bisa
ditentukan sebab-sebab kematiannya contoh apakah dicekik atau dibekap dan
akan dituangkan/ditulis dalam Visum et Repertum, masalah seperti ini akan
xxxviii
membantu dalam proses peyidikan oleh polisi dan dapat untuk alat bukti di
Pengadilan akan mempengaruhi sanksi pidananya.36
Menurut Soerjono Soekanto mengartikan penegakan hukum sebagai
berikut, secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan
didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dalam sikap
tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup. Penegakan Hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya
merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara
ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian
pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral.37
Menurut Soedarto, pengertian politik hukum pidana dapat dilihat dari
politik hukum maupun politik kriminal, politik hukum adalah: Usaha untuk
mengajukan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu saat.38 Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang
untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan bisa
digunakan untuk diekspresikan apa yang dicita-citakan.39
Dalam konsepsi tujuan demikian, merupakan keajiban Negara untuk satu
pihak melindungi mensejahterakan masyarakat pada umumnya dari gangguangangguan
perbuatan jahat dan dilain pihak juga berarti melindungi dan
mensejahterakan si pelaku kejahatan.
Ini berarti bahwa dalam konsepsi tujuan untuk melindungi dan
mensejahterakan masyarakat untuk pandangan hidup bangsa Indonesia, sekaligus
36 Soegandhi,
Buku Pedoman Pengadaan Visum et Repertum, Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman,
Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1984.
37Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1983.
38 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana ,(Bandung,Alumni,1981),hal 159
39 Sudarto Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung, Al Gumni 1981), hal 20
xxxix
juga mengandung tujuan untuk melindungi, memperbaiki, mendidik dan
mensejahterakan si pelaku kejahatan itu sendiri.
Undang-undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak pada Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2),
mengatur tentang definisi anak dan perlindungan anak.
Pasal 1 ayat (1); Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pasal 1 ayat (2); Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 80 ayat (1); Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan
atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling
banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal 80 ayat (2); Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (! )
luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 80 ayat (3); Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 200.000.000,00(dua ratus juta rupiah).
xl
Pasal 80 ayat (4); pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut orang tuanya.40
Xcviii
Bunuh Bayi
Posted by admin in Health
0 Comments
25Apr
Hasil dan akibat dari penyakit dan trauma pada umumnya sama untuk semua korban atau pasien,
tetapi ada gambaran yang spesial untuk cedera pada bayi dan anak-anak yang perlu diperhatikan.
Sangat penting diingat, bahwa bayi dan anak-anak bukan hanya orang dewasa kecil dan mereka
mempunyai problem yang unik masing-masing, seperti stillbirth dan sudden infant death
syndrome, dimana mempunyai aspek medikolegal yang penting. Mereka juga sangat tergantung
dari orang lain dan mempunyai kecenderungan untuk mengalami kekerasan, baik fisik maupun
seksual. (1)
Sampai tahun 1922, menghilangkan nyawa bayi yang baru lahir (dalam segala keadaan) adalah
pembunuhan. Keadaan ini tidak mengijinkan fakta bahwa melahirkan dapat berefek yang secara
sementara mengganggu keadaan jiwa ibu sehingga dia harus bertanggung jawab atas tindakan
membunuh anaknya. Undang-undang Infantisida tahun 1922, yang mengatur tentang kejahatan
infantisida membatasi kemungkinan terjadinya hal ini, namun tidak mendefinisikan keadaan
“baru lahir” dan apakah benar adanya kemungkinan lanjut bahwa menyusui juga dapat
menyebabkan ketidakseimbangan mental secara sementara. (2)
Undang-undang Infantisida tahun 1938 bagian 1 menyebutkan “Ketika wanita melakukan
tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat menyebabkan kematian anak kandungnya
yang berusia di bawah 12 bulan, tetapi pada saat itu kegiatan melakukan tindakan atau tidak
melakukan tindakan tersebut keadaan pikirannya terganggu dengan alasan belum pulih dari
pengaruh melahirkan dan pengaruh menyusui setelah melahirkan, walaupun demikian keadaan
demikian tetap berlaku sebagai pembunuhan…” dia dinyatakan bersalah telah melakukan
infantisida secara kejam dan kemungkinan dapat diancam atau dihukum seperti dia telah
membantai manusia. Pencegahan juga dibuat pada keadaan, jika dia didakwa melakukan
pembunuhan, sebagai tuduhan alternatif dari pembantaian, bersalah namun gila atau
menyembunyikan kelahiran tergantung keputusan juri. (2)
DEFINISI
Infantisida adalah tindakan pembunuhan terhadap bayi baru lahir atau bayi yang berusia dibawah
12 bulan (1 tahun). (3)
Neonaticide adalah tindakan pembunuhan terhadap anak berumur 24 jam setelah kelahirannya.
Pelakunya biasanya adalah sang ibu. (4)
Pembunuhan bayi menurut hukum pidana Indonesia ialah pembunuhan terhadap bayi yang
dilahirkan hidup yang dilakukan oleh wanita yang melahirkannya pada saat bayi tersebut
dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan. Pada saat dilahirkan diartikan sejak mulai
terjadinya kelahiran bayi sampai dengan keluarnya plasenta secara tuntas. Sedangkan tidak lama
setelah dilahirkan berarti sejak selesainya proses kelahiran sampai dengan selesainya perawatan
post partus. (5)
Perkembangan janin di dalam kandungan dibagi menjadi 3 fase, yakni fase embrio murni, fase
embrio lanjutan, dan fase foetus murni. Embrio murni adalah janin yang berusia 2-8 minggu post
konsepsi yang bentuknya segumpal darah dan belum dapat disamakan dengan manusia walaupun
telah hidup. Embrio lanjutan adalah peralihan embrio menjadi foetus yang berusia 9-16 minggu
yang bentuknya telah menyerupai manusia tapi belum sempurna, belum dapat bergerak dan
peredaran darahnya belum berjalan sebagaimana mestinya. Feotus murni adalah janin yang
berusia 16-40 minggu yang bentuknya telah menyerupai manusia secara sempurna, organ-organ
vital telah ada dan peredaran darah sudah berfungsi sebagaimana mestinya. (5)
Berdasarkan penjelasan diatas, pengertian pembunuhan bayi dapat diartikan membunuh feotus
yang hidup dalam kandungan dan membunuh bayi yang hidup pada saat dilahirkan. (5)
Bunuh bayi adalah merupakan suatu bentuk kejahatan terhadap nyawa yang unik sifatnya. Unik
dalam arti si pelaku pembunuhan haruslah ibu kandungnya sendiri, dan alasan atau motifasi
untuk melakukannya kejahatan tersebut adalah karena si ibu takut ketahuan bahwa ia telah
melahirkan anak, oleh karena anak tersebut adalah anak sebagai hasil hubungan gelap. Selain
kedua hal tadi, keunikan lainnya adalah saat dilakukannya tindakan untuk menghilangkan nyawa
si anak, yaitu pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, yang dalam hal ini
patokannya adalah sudah ada atau belum ada tanda-tanda perawatan, dibersihkan, dipotong tali
pusatnya, atau diberi pakaian. Saat dilakukannya kejahatan tersebut dikaitkan dengan keadaan
mental emosional dari si ibu, selain rasa malu, takut, benci, serta nyeri bercampur aduk menjadi
satu, sehingga perbuatannya itu dianggap dilakukan tidak dalam keadaan mental yang tenang,
sadar, serta dengan perhitungan matang. Inilah yang menjelaskan mengapa ancaman hukuman
pada kasus pembunuhan bayi lebih ringan bila dibandingkan dengan kasus pembunuhan lainnya.
(6)
Pada kasus pembunuhan bayi terdapat 3 unsur yang penting, yaitu :
1. Si pelaku haruslah ibu kandung korban
2. Alasan pembunuhan adalah karena takut ketahuan akan melahirkan anak
3. Pembunuhan segera dilakukan pada saat anak dilahirkan atau tidak berapa lama kemudian,
yang dapat diketahui dari ada tidaknya tanda-tanda perawatan. (6)
Pada kasus bunuh bayi, jaksa harus membuktikan bahwa bayi dilahirkan dalam keadaan hidup
dan kematian bayi itu adalah akibat tindakan criminal berupa kekerasan terhadap bayi tersebut.
Telah lama sekali diketahui, bahwa seorang bayi yang bayi lahir mudah sekali menjadi korban
tindakan criminal . Dalam hal ini, maka dokter harus memeriksa mayat bayi dan ibu (tersangka)
untuk mencari bukti berupa tanda-tanda baru melahirkan. (3)
Untuk dapat dituntut sebagai pembunuhan bayi, harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Adanya rasa takut akan ketahuan melahirkan anak.
Karena adanya rasa takut akan ketahuan melahirkan anak, si calon ibu jauh sebelumnya berusaha
menyembunyikan kehamilannya. Meskipun ia dapat menyembunyikan kandungannya, tetapi ada
beberapa orang dekat yang mengetahuinya. Pada waktu melahirkan anak, ia berusaha
bersembunyi, supaya tidak ada orang yang menyaksikan ia telah melahirkan anak.
2. Pembunuhan dilakukan pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian.
Anak mulai dilahirkan, bila kontraksi rahim atau his sudah mulai teratur. Pada waktu ini belum
nampak bagian anak. Bila kepala sudah keluar dan dapat dijangkau si ibu, ia dapat melakukan
beberapa tindakan : mencekik, menusuk ubun-ubun, menutup lubang pernapasan dengan kain
basah. (7)
EPIDEMIOLOGI
Angka pembunuhan anak di Amerika Serikat setiap tahun relatif kecil bila dihubungkan dengan
angka total kematian. Fakta ini sudah dipublikasikan oleh media, dimana dilaporkan seribu anak
dibunuh setiap tahunnya. Data tahun 1999, menunjukkan angka pembunuhan anak berdasarkan
umur, yaitu sebagai berikut : 205 pembunuhan untuk infant (dibawah 1 tahun), 280 pembunuhan
untuk anak umur 1-4 tahun, 95 pembunuhan untuk anak umur 5-8 tahun, dan 79 pembunuhan
untuk anak umur 9-12 tahun. (4)
Tahun 1999, di Amerika Serikat, kurang lebih 205 anak berumur kurang dari 1 tahun dilaporkan
dibunuh. Senjata yang paling sering digunakan adalah senjata personal seperti tangan dan kaki
sebanyak 105 kasus. Senjata atau kekerasan lainnya adalah pencekikan dan asfiksia sebanyak 29
kasus, objek tumpul 10 kasus, luka bakar 4 kasus, pisau dan alat potong lainnya 6 kasus, dan
yang lainnya sebanyak 51 kasus. (4)
CARA INFANTISIDA(2)
Ketika ada kemungkinan bahwa bayi tersebut lahir hidup, adalah penting ketika dapat dilakukan,
untuk memastikan sebab kematiannya. Untuk tujuan saat ini perbedaan kecil dalam diagnosis,
yang dapat tergantung dari perubahan struktural yang kecil, hanya memiliki kepentingan kecil.
Langkah pertama adalah menentukan apakah kematian terjadi akibat kekerasan, kemudian baru
dibedakan apakah cedera terjadi karena pers
alinan, atau terjadi saat kehamilan, ataukah akibat tindak kriminal. Perhatian saat ini adalah
untuk mempertimbangkan cara yang mungkin untuk infantisida atau membunuh dan untuk
menunjukkan diperlukannya perhatian sebelum menyatakan temuan-temuan yang ada sebagai
bukti tindak kriminal.
a) Penjeratan
Penjeratan adalah cara yang umum. Tindakan tersebut menghasilkan bekas jeratan, yang dapat
terlihat di leher, yang harus dibuktikan apakah hal tersebut dilakukan sebelum kematian. Dapat
dinyatakan, meskipun tanpa bukti, bahwa jeratan dapat dilakukan oleh ibu untuk membantu
persalinan sendiri. Penjelasan lain yang mungkin adalah bahwa bayi terjerat secara tidak sengaja
oleh tali pusat. Pemeriksaan tali pusat dapat menunjukkan bahwa tali pusat telah dipegang secara
kasar yaitu hilangnya jelly Wharton, yang dapat menyingkirkan kemungkinan jeratan tak sengaja
dan menunjukkan penggunaan tali pusat oleh ibunya (atau orang lain) sebagai alat jerat. Pada
kejadian tersebut juga dapat ditemukan tanda kekerasan pada leher bayi.
b) Pembekapan
Pembekapan adalah cara yang mudah dan nyaman dan dapat tanpa meninggalkan bekas, akan
tetapi bila tenaga yang diberikan terlalu besar (dimana hal tersebut sering terjadi) maka akan
meninggalkan bekas kekerasan.
Dapat pula dipikirkan bahwa fraktur terjadi sebagai akibat persalinan cepat saat ibu dalam
keadaan berdiri. Akan tetapi persalinan tidak dapat menghasilkan ekspulsi yang kuat dan cepat
dan panjang tali pusat normal yaitu sekitar 20 inci sangat mungkin akan mencegah bayi jatuh
dengan keras, panjang tali pusat tentu saja berariasi yaitu di bawah 5-6 ini. Bahkan bila bayi
jatuh ke tanah, tenaga yang diterima tidak akan cukup untuk menimbulkan fraktur. Bila
ditemukan caput succedaneum dan molase yang jelas, persalinan tidak terjadi dengan cepat dan
hal ini dapat menimbulkan keraguan terhadap cerita si ibu.
Fraktur tengkorak yang terjadi saat atau akibat persalinan memiliki karakteristik tertentu. Fraktur
tersebut tidak menimbulkan laserasi pada kulit kepala. Fraktur biasanya terjadi pada tulang
parietal dan berjalan ke bawah pada sudut tertentu ke arah sutura sagital sepanjang sekitar satu
inci. Bentuknya daalah fraktur garis. Pada kejadian lebih jarang, fraktur dapat terjadi dari ubun-
ubun depan ke eminensia frontalis. Fraktur akibat forceps dapat disertai laserasi kulit kepala,
fraktur terjadi pada titik yang secara normal dipegang oleh forceps dan biasanya berupa fraktur
beralur. Orang yang memasang forceps juga harus ada untuk memberi keterangan menganai
cedera yang terjadi.
d) Penenggelaman
Penenggelaman dapat juga menjadi cara untuk membuang bayi lahir mati. Ibu dapat menaruh
bayi di kloset dan menyatakan ia melahirkan saat menggunakannya atau bila ia memakai ember,
ia mengaku bayi lahir ke dalam ember.
e) Pembakaran
Infantisida dengan membakar jarang terjadi meskipun, seperti penenggelaman, pembakaran
sering merupakan cara untuk membuang korban infantisida atau bayi lahir mati. Radtke (1933)
menemukan bahwa bahwa tes yang biasa pada kematian akibat pembakaran tidak dapat
diterapkan seluruhnya, tapi ia menekankan pentingnya ditemukan benda asing, sesuatu yang
lebih dari partikel karbon, di paru-paru bayi yang terbakar. Mungkin demonstrasi saturasi
karbonmonoksida yang tinggi adalah bukti kematian karena pembakaran pada kasus ini. Sisa-sisa
kalsifikasi dapat ditemukan di tempat pembakaran tapi hal tersebut jelas tidak mungkin
membuktikan infantisida; tuduhan penyembunyian kelahiran mungkin dapat diberikan.
e) Menggorok leher
Infantisida dengan melukai seperti menggorok leher jarang ditemukan. Cara ini menunjukkan
niat untuk membunuh. Jenis alat yang digunakan sangat penting karena , meskipun mungkin,
kemungkinannya sangat kecil bahwa cedera akibat pisau cukur atau pisau lipat merupakan
kecelakaan; hal yang mungkin bila alatnya adalah gunting. Pada kejadian manapun sangatlah
penting untuk menentukan apakah cedera yang ditemukan mungkin akibat kecelakaan. Sebuah
luka iris yang luas di leher hampir pasti menyingkirkan kecelakaan. Kemungkinan pelaku panik
saat kejadian dapat membuat seorang wanita melakukan tindakan dimana ia tidak dapat
bertangung jawab, akan tetapi tindakan tersebut tetap menunjukkan serangan yang diniatkan.
f) Penelantaran bayi
Infantisida dengan tidak memberi makan atau dengan penelantaran jarang terjadi. Pengalaman
yang sering terjadi adalah ibu yang mengabaikan anaknya meninggalkan si anak terbungkus rapi
dan meletakkannya di tempat dimana bayi tersebut dapat segera ditemukan dan dirawat oleh
orang lain. Dapat pula terjadi bahwa si ibu menunggu di sekitar tempat si bayi ditinggalkan
sampai ia tahu bahwa bayinya ada di tempat yang aman.
Terdapat beberapa hal yang perlu ditentukan pada autopsi mayat bayi yang baru lahir seperti :
1. Apakah bayi baru dilahirkan sudah dirawat atau belum dirawat?
2. Apakah bayi sudah mampu hidup terus di luar kandungan ibu (viable) atau belum (non-
viable)?
3. Umur bayi dalam kandungan, premature, matur, atau postmatur?
4. Sudah bernapas (lahir hidup) atau belum (lahir mati)?
5. Bila terbukti lahir hidup dan telah dirawat, berapa jam/hari umur bayi tersebut (umur setelah
dilahirkan)?
6. Adakah tanda-tanda kekerasan?
7. Bila terbukti lahir hidup, apakah sebab matinya? (3,7)
Ciri-Ciri Eksternal :
• Daun telinga pada bayi lahir cukup bulan, menunjukkan pembentukan tulang rawan yang sudah
sempurna, pada helix teraba tulang rawan yang keras pada bagian dorsokrnialnya dan bila dilipat
cepat kembali ke keadaan semula.
• Puting susu pada bayi yang matur, sudah berbatas tegas, areola menonjol diatas permukaan
kulit dan diameter tonjolan susu 7 mm atau lebih.
• Kuku jari tangan sudah panjang, melampaui ujung jari, ujung distalnya tegas dan relative keras
sehingga tersa bila digarukkan pada telapak tangan.
• Terdapat garis-garis pada seluruh telapak kaki, dari depan hingga tumit. Yang dinilai garis yang
relative lebar dan dalam.
• Pada bayi laki-laki matur, testis sudah turun dengan sempurna, yakni sampai pada dasar
skrotum dan rugae pada kulit skrotum sudah lengkap. Dan pada bayi perempuan yang matur,
labia minor sudah tertutup dengan baik oleh labia mayor.
• Rambut kepala relative kasar, masing-masing helai terpisah satu sama laindan tampak
mengkilat, batas rambut pada dahi jelas.
• Skin opacity cukup tebal sehingga pembuluh darah yang agak besar pada dinding perut tidak
tampak atau tampak samara-samar.
• Processus xyphoideus membengkok kedorsal, sedangkan bayi premature membengkok
keventral atau satu bidang dengan korpus manubrium sterni.
• Alis mata sudah lengkap, yakni bagian lateralnya sudah ada.
• Pada bayi cukup bulan terdapat pusat penulangan epifisial diujung distal femur dengan
diameter 4-5 mm.dan adanya pusat penulangan pada tallus dan calcaneus. (3,7)
Bayi yang dilahirkan hidup dan penentuan berapa lama bayi itu hidup
Terdapat beberapa pemeriksaan medis yang harus dilakukan melalui autopsi untuk menentukan
berapa lama bayi tersebut telah hidup sebelum dibunuh seperti :
1. Perubahan pada kulit ( Kulit bayi baru lahir bewarna merah terang disertai lapisan verniks
kaseosa yang terdapat pada lipat paha, ketiak, dan leher. Verniks kaseosa ini baru bisa hilang jika
dibersihkan dalam waktu 2 hari. Warna kulit menjadi lebih gelap pada hari ke-2 dan ke-3
akhirnya berubah menjadi bewarna merah bata san sedikit kuning. Warna kulit normal akan
tampak dalam waktu 1 minggu.
2. Perubahan pada kaput suksedaneum dimana pada proses persalinan jaringan kulit kepala bayi
mengalami pembengkakan yang berisi cairan darah atau lebih sering berisi serum.
Pembengkakan ini akan hilang setelah 1 hingga 3 hari.
3. Perubahan pada usus besar dan lambung dimana jika terdapat udara di dalam usus besar,
berarti bayi telah hidup beberapa jam. Jika lambung berisi udara, berarti bayi telah hidup selama
satu hari.
4. Perubaan pada mekonium, jika meckonium telah hilang sama sekali, berarti bayi sudah hidup
selama 4 hari.
5. Perubahan pada cephal hematom yaitu bila menghilang, berarti bayi tersebut telah hidup
selama 8-14 hari
6. Perubahan pada tali pusat
a. Bekuan darah pada bekas potongan : setelah 2 jam
b. Tali pusat mulai kering masih menempel pada bayi : 12-14 jam
c. Peradangan sekitar tali pusat bayi : 36-48 jam
d. Tali pusat terlepas dari bayi : 5-8 hari
e. Luka menyembuh atau pembentukan jaringan parut : 8-12 hari (3,5)
ASPEK MEDIKO-LEGAL
Dokter yang memeriksa sering mendapatkan pertanyaan berikut ini pada sidang pengadilan
sehubungan dengan kasus pembunuhan bayi.
i. Apakah bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup atau mati ?
ii. Jika bayi lahir hidup, berapa lama bayi tersebut bertahan ?
iii. Apa penyebab kematian bayi ?
Pada tindak pidana Pembunuhan Anak Sendiri, terdapat tiga unsur yang khas, yaitu pelaku
adalah ibu kandung dari bayi yang bersangkutan, pembunuhan dilakukan dalam tenggang waktu
tertentu dan si ibu dalam keadaan kejiwaan takut akan ketahuan bahwa ia melahirkan anak.
Ibu kandung
Hanya seorang ibu kandung yang dapat dipidana karena melakukan pembunuhan anak sendiri
(kinderdoodslag) ataupun pembunuhan anak sendiri yang direncanakan (kindermoord). Seorang
ayah yang membunuh anaknya pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian, karena takut akan
ketahuan bahwa karenanya telah lahir anak itu, akan dipidana karena melakukan pembunuhan
(KUHP pasal 338) atau pembunuhan dengan rencana (KUHP pasal 340).
Tidak dipermasalahkan, apakah wanita terdakwa tersebut mempunyai suami atau tidak, dan
apakah anak itu didapat didalam perkawinan atau diluar perkawinan.
Tenggang waktu
Apa yang dimaksud dengan perkataan pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, undang-
undang tidak memberikan tafsiran otentik.Undang-undang menetapkan tenggang waktu pada
saat dilahirkan hingga tidak lama kemudian. Dari uraian tersebut d atas, dapatlah disimpulkan
bahwa pengertian pada saat bayi dilahirkan sebagaimana tercantum dalam KUHP adalah saat
keluarnya bayi dari kandungan sampai dengan saat keluarnya placenta yang mana pada kelahiran
normal proses ini berlangsung dalam waktu kurang lebih 15-20 menit. Namun, ukuran ini
tidaklah mutlak. Dalam hal ibu kandung membunuh anaknya setelah batas waktu tidak lama
kemudian, maka ia dapat dipidana karena melakukan pembunuhan atau pembunuhan dengan
rencana. (5)
Undang-undang tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan tidak lama kemudian, tidak
ditentukan berapa menit, jam, atau hari setelah kelahiran. Hendaknya “tidak lama kemudian”
diartikan sebagai selama bayi baru lahir itu belum dirawat. Dengan perkataan lain selama bayi
tersebut masih dalam keadaan seperti pada saat ia meninggalkan jalan lahir. Tubuh yang masih
berlumuran darah serta tali pusat yang belum diikat dan dipisahkan dari uri menunjukkan bayi
tersebut belum dirawat.(3)
DAFTAR PUSTAKA
1. Shepherd R. Deaths and injury in infancy. In : Simpson , s forensic medicine. Twelfth Edition.
London : Arnold A Member Of The Hodder Headline Group; 2003.
2. Anonim. PAS dan pengguguran kandungan stop infanticide. [Online]. 2006. [cited 2008
September]. Available from : URL :
http://www.freewebs.com/pas_pengguguran_kandungan_by_summervernith/carainfantisida.htm
3. Chadha PV. Infantisida. Dalam : Catatan kuliah ilmu forensik dan toksikologi. Edisi V.
Jakarta : Widya Medika; 1995.
4. Dimaio VJ, Dimaio D. Neonaticide, infanticide, and child homicide. In : Forensic pathology.
Second Edition.
5. Perdanakusuma M. Beberapa permasalahan mengenai kasus pembunuhan. Dalam : Bab-bab
tentang kedokteran forensik. Jakarta : Ghalia Indonesia; 1984.
6. Idries AM. Pembunuhan anak. Dalam : Pedoman ilmu kedokteran forensik. Edisi I. Jakarta :
Binarupa Aksara; 1997.
7. Hamdani N. Pembunuhan anak. Dalam : Ilmu kedokteran kehakiman. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama. 1992.