Professional Documents
Culture Documents
Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab ia banyak memiliki
konotasi makna, variatif, evolutif, dan dinamis. Maka tidak mudah membuat suatu definisi
yang jelas mengenai demokrasi. Demokrasi juga merupakan konsep evolutif dan dinamis,
bukan konsep yang statis. Artinya, konsep demokrasi selalu mengalami perubahan, baik
bentuk-bentuk formalnya maupun substansinya sesuai dengan konteks dan dinamika sosio
historis di mana konsep demokrasi lahir dan berkembang.
Sejak runtuhnya dominasi pemikiran politik lama dan tradisi agama (yakni saat
bergulirnya gerakan renaisance dan reformasi), diskursus pemikiran politik lebih memberi
porsi kepada keterlibatan atau partisipasi warga negara (citizen) dalam pemerintahan. Para
filosof politik tertarik untuk membincang bagaimana demokrasi mempunyai kekuatan untuk
menjadi pusat mekanisme dalam membangun dan memberdayakan masyarakat. Gerakan dan
pemikiran mereka telah memberikan blue-print perkembangan gagasan-gagasan demokrasi
dengan perjuangannya menentang kekuasaan sewenang-wenang, desakralisasi gereja,
memperjuangkan kebebasan berfikir dan memelopori gagasan pembentukan negara bangsa
(nation-state).
Dalam tulisan ini akan dikaji pemikiran demokrasi Jean-Jacques Rousseau (1712-
1778), Marry Wollstonecraft (1759-1797) dan John Stuart Mill (1806-1873). Ketiganya
mempunyai konsep demokrasi yang berbeda walau sama-sama berangkat dari tradisi
individualisme liberal. Rousseau memulai gagasannya berangkat dari isu-isu utama yang
signifikan pada teori demokrasi. Cara kerja Rousseau yang demikian itu telah memberi
inspirasi pada beberapa pemikir lainnya, salah satunya adalah Mary Wollstonecraft. Dia
adalah pioneer dalam mengamati fenomena interkoneksi natural antara wilayah publik dan
privat.. Di tengah ranah perbedaan yang sangat kontras gagasan radikalisme demokrasi antara
Rousseau dan Wollstonecraft, John Stuart Mill, bagaimanapun, telah memberi gagasan
tentang developmental democracy yang lebih liberal. Konsep Mill tentang demokrasi tidak
berhenti pada demokrasi protektif sebagai akhir seluruh agenda kerja, sebagai contoh,
demokrasi Athena, yang menurut Mill bukan sama sekali contoh model baru demokrasi.
Tetapi pemikiran dia mempresentasikan sebuah kelangsungan yang penting tradisi liberal,
sebuah eksplorasi ide yang berhubungan langsung terhadap demokrasi protektif tetapi juga
melenggang melewatinya dalam beberapa bagian.
Demokrasi Langsung ala Rousseau
Rousseau dapat dikatakan sebagai Machiavelli abad 18. Perbandingan ini berguna
untuk melihat posisi keduanya yang berada dalam aras gagasan yang searah, yaitu bagaimana
mereka telah mencoba mereartikulasikan teori-teori politik klasik. Rousseau mengarahkan
preferensi sistem politik yang dia gagas sebagai republicanism, yang memfokuskan pada
sentralitas kewajiban pada wilayah publik.
Dalam karya klasik Rousseau, The Sosial Contract, dia berasumsi bahwa walaupun
manusia bahagia dalam sebuah komunitas asli dan alami, mereka menggunakan kontrak
sosial untuk menghadapi segala rintangan yang datang kepada mereka. Manusia selalu ingin
mewujudkan pembangunan alamiah mereka, merealisasikan kapasitas berfikir,
mengekspresikan kebebasan secara maksimal, dan itu semua dapat dicapai melalui kontrak
social dengan sisstem hukum yang mapan. Rousseau menyatakan bahwa semua manusia
memiliki hak absolut untuk bebas. Argumennya adalah bahwa apa yang membedakan
manusia dari binatang bukanlah karena manusia memiliki akal, tetapi fakta bahwa manusia
dapat melakukan pilihan moral, dan karena itu, manusia harus bebas agar dapat menjalankan
pilihannya. Jika rakyat tidak bebas, atau jika kebebasannya diingkari, maka kemanusiaan
mereka diingkari dan mereka diperlakukan setengah manusia, sebagai budak atau binatang.
Dalam kontrak social versi Hobbes dan Locke, kedaulatan ditransfer dari rakyat ke negara,
walaupun untuk Locke penyerahan hak pemerintah adalah urusan yang kondisional.
Rousseau jelas berbeda dengan keduanya, ia berpendapat bahwa kedaulatan tidak dapat
direpresentasikan dengan dan oleh apapun. Rousseau menulis :
Sovereignity cannot be represented, for the same reason that it cannot be alienated …
the people’s deputies are not, and could not be, its representatives; there are merely
agent; the cannot decide anything finally. Any law which the people has not ratified in
person is void; it is law in all. The English people believes itself to be free; it is gravely
mistake; it is free only during the election of members of parliament; as soon as the
members are elected, the people is enslaved.
(Kedaulatan tidak dapat direpresentasikan, untuk pikiran yang sama tidak dapat
dialienasikan … para wakil rakyat tidak, dan tidak akan dapat, menjadi representasi
rakyat, mereka hanya sekedar agen saja, dan mereka tidak dapat menentukan keputusan
apapun secara final. Beberapa hukum yang diratifikasi tidak oleh rakyat secara
langsung adalah sebuah kehampaan. Rakyat Inggris percaya mereka akan menjadi
bebas; akan mengubur kesalahan : akan bebas hanya selama pemilihan anggota
parlemen; segera setelah anggota-anggota terpilih, maka rakyat akan menjadi budak.)
Rousseau kemudian menegaskan bahwa jika rakyat harus hidup menurut undang-undang
yang tidak mereka buat sendiri, mereka tidak akan bebas, mereka akan menjadi budak.
Keadaan akan sedikit berubah jika badan pembuat undang-undang dipilih langsung oleh
rakyat. Tetapi karena masih orang lain yang membuat undang-undang tersebut, mereka yang
tunduk pada badan ini masih diingkari kebebasannya, diingkari hak alamiahnya sebagai
manusia.
Masalah yang dikemukakan Rousseau adalah : bagaimana rakyat dapat hidup dalam
masyarakat namun tetap bebas? Menurut Rousseau, ini hanya dimungkinkan jika rakyat
hidup dalam undang-undang yang mereka buat sendiri, bukan oleh orang lain atas ama
mereka. Dan ini pada gilirannya hanya dimungkinkan jika seluruh warga negara berkumpul
di suatu tempat dan secara spontan memilih undang-undang baru yang diusulkan.
Menurutnya undang-undang baru ini merupakan ekspresi dari ‘kehendak umum’. Ia juga
menegaskan bahwa kehendak umum selalu benar; bahwa ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’
(vox populi vox dei). Bagaimanapun, terlepas dari teori ini, gagasan Rousseau
tentang majelis warga, jelas tidak mungkin dipraktikkan di negara modern.Rousseau adalah
pemikir politik yang paling menjengkelkan. Ia adalah teoritikus demokrasi modern yang
pertama, tetapi ia percaya pada bentuk demokrasi langsung yang tidak dapat direalisasikan. Ia
tidak percaya pada partai atau kelompok penekan (pressure group). Ia percaya bahwa rakyat
hanya terikat dengan undang-undang ynag disetujui suara bulat, meskipun rakyat tersebut
tidak memberikan suara pada undang-undang tersebut (seolah-olah rakyat tidak berfikir
egois). Rousseau menghendaki kekuasaan rakyat dan kesetaraan semua warga negara.
Dengan pandangan seperti ini, beberapa penulis memandang Rousseau sebagai bapak
intelektual totalitarianisme modern.
Tanpa adanya ke-4 ciri pokok diatas secara lengkap, maka suatu tatanan kenegaraan
tidak dapat dikatakan sebagai Model Demokrasi.
Diantara ke-4 prinsip Model Demokrasi tersebut diatas, maka Prinsip Suara Mayoritas
yang paling banyak mengundang kritik, karena :
1. Manusia tidaklah sama semuanya dalam berbagai aspek, terutama dalam hal aspek
kualitas intelektualitasnya, sehingga keputusan yang diambil dengan suara mayoritas
(kuantitatif) sama sekali tidak menjamin keputusan itu adalah baik atau benar.
Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami
mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.(QS. Al A’raaf [7]: 102)
Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Ini adalah
karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab
kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah,
sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui.(QS. Al A’raaf [7]: 131)
Rousseau berpendapat bahwa dalam mendirikan negara dan masyarakat kontrak sosial
sangat dibutuhkan. Namun, Rousseau berpendapat bahwa negara dan masyarakat yang
bersumber dari kontrak sosial hanya mungkin terjadi tanpa paksaan. Negara yang disokong
oleh kemauan bersama akan menjadikan manusia seperti manusia sempurna dan
membebaskan manusia dari ikatan keinginan, nafsu, dan naluri seperti yang mencekamnya
dalam keadaan alami. Manusia akan sadar dan tunduk pada hukum yang bersumber dari
kemauan bersama. Kemauan bersama yang berkwalitas dapat mengalahkan kepentingan diri,
seperti yang menjadi pokok permasalahan pemikiran Hobbes.
Konsep pertama Rousseau tentang negara adalah hukum (law). Rousseau menyebut setiap
negara yang diperintah oleh hukum dengan Republik, entah bagaimanapun bentuk
administrasinya. Selanjutnya, badan legislatif (the legislator) yang “maha tahu” membuat
dasar aturan/ hukum namun sama sekali tidak memiliki kekuasaan memerintah orang.
Menurutnya, kekuasaan legislatif harus di tangan rakyat sedang eksekutif harus berdasar pada
kemauan bersama. Rakyat seluruhnya, dianggap sejajar dengan penguasa manapun,
mengadakan sidang secara periodik dan ini meminggirkan fungsi eksekutif. Oleh karena itu,
keterlibatan masyarakat yang seperti ini sulit terjadi pada kota yang sangat besar.
Rousseau tidak membenarkan adanya persekutuan, termasuk partai yang menurutnya hanya
berujung pada penyelewengan. Selain itu, menurutnya, negara jangan terlalu besar dan terlalu
kecil dengan masalahnya masing-masing, disarankan sebesar polis.
Kebaikan Teori Rousseau antara lain sebagai landasan demokrasi modern dan menonjolkan
fungsi warga negara dalam masyarakat dan negara. Selain itu, Rousseau mengubah sistem
politik penuh kekerasan menjadi musyawarah. Teori dan perjanjian ini juga akan
menunjukkan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyatnya. Teori Kontrak Sosial-nya
menganut aliran pactum unionis, yaitu perjanjian masyarakat yang sebenarnya. Ia
menghendaki bentuk negara di mana kekuasaanya di tangan rakyat, atau Demokrasi Mutlak.
Kelemahannya teori ini antara lain tidak berdasar historis dan setiap orang mau tidak mau
terikat kontrak sosial, bukan sukarela. Namun, Rousseau seakan tidak konsekuen,
dikarenakan ia mementingkan pungutan suara, padahal bersumber dari kwantitas. Selain itu,
Rousseau tidak menjelaskan jika ada kemauan bersama yang telah disepakati namun ada
beberapa orang yang merasa berbeda pendapat maka orang itu tidak dapat dikatakan dipimpin
atas kemauan bersama. Pemikiran Rousseau tentang negara, di mana konsep negara sangat
abstrak, juga dapat mempengaruhi terwujudnya pemerintahan yang totaliter, diktator.
Pemikiran Rousseau tentang agama sangat aneh, hal ini juga dilihat perubahan agamanya dari
Calvinisme menjadi Katholik dan kembali Calvinisme. Ia dengan tegas menolak adanya
agama Protestan di negaranya. Hal itu dikarenakan Protestan mementingkan isolasi diri dan
berpotensi memecah-belah negara. Agama baginya adalah sebagai penguat negara, bukan
sebaliknya. Rousseau lebih membenarkan negara seperti Nabi Muhammad dan khalifah-
khalifahnya yang memiliki perpaduan antara rohaniah dan duniawiah.
Walaupun Rousseau sangat terkenal di Perancis, namun di Inggris tidak sama sekali.
Pemikiran Locke tentang keterwakilan dilanjutkan oleh John Stuart Mill. Jika dilihat lebih
lanjut, pemikiran Rousseau tentang kontrak sosial sebenarnya dapat dibandingkan dengan
teori kontrak sosial sebelumnya, versi Thomas Hobbes dan John Locke.
Thomas Hobbes (1558-1676) menggambarkan keadaan yang kacau balau, ketika setiap
manusia berperang dengan manusia lain. Menurut Hobbes, setiap manusia memiliki
keinginan yang sangat kuat untuk memiliki kekuasaan demi kekuasaan dan keinginannya
hanya akan diberhentikan oleh ajal. Walaupun sebenarnya manusia juga berkeinginan untuk
hidup damai dan rukun, namun tingkatannya masih kalah dari kekuasaan. Akibat pandangan
Hobbes bagi hidup bermasyarakat dan bernegara diungkapkannya dengan keadaan alami
(state of nature), suatu keadaan di mana fitrah dan tabiat manusia terdapat tanpa ada
hambatan dan restriksi apapun. Dengan sendirinya, potensi perselisihan dan perang dengan
kekerasan sekalipun akan terjadi untuk mempertahankan kebebasannya, tentunya dengan
menguasai akan lebih efektif. Wajar jika seperti itu, Hobbes melupakan pertimbangan akal
budi manusia yang sebenarnya dapat mempengaruhi tindakan mereka.
Hobbes lantas memberi solusi berupa kontrak sosial dan manusia, yang selalu dihantui
ketakutan, akan terdorong untuk melakukan perjanjian dengan memilih penguasa di antara
mereka. Pihak-pihak yang berjanji menyerahkan kekuatan dan kekuasaannya kepada sang
penguasa. Namun, menjadi masalah ketika sang penguasa tidak mengikatkan diri pada
perjanjian, hal ini menyebabkan sang penguasa memiliki kekuatan dan kekuasaan yang
absolut. Walaupun sang penguasa memiliki kekuasan absolut, menurut Hobbes seseorang
dapat menentang jika sudah menyakiti secara jasmaniah.Teori Kontrak Sosial-nya menganut
aliran pactum subyectionis.
Teori Kontrak Sosial Rousseau dan Hobbes sama-sama mengelompokkan manusia pada dua
masa, pra-negara dan bernegara. Teori milik Rousseau yang menganut aliran pactum unionis,
sangat berkebalikan dengan versi Hobbes dengan pactum subyectionis. Belum lagi nilai-nilai
hewan pada diri manusia pada pemikiran Hobbes tidak berlaku pada Rousseau. Konsep
penguasa pada pemikiran Hobbes yang tidak terikat janji berbeda dengan perjanjian yang
mengikat semua pada pemikiran Rousseau. Penguasa versi Rousseau hanya sekedar
“pelayan” dari kepentingan rakyat banyak, sedangkan menurut Hobbes sangat berkuasa.
John Locke (1632-1704) bertentangan dengan Hobbes dalam hal ini. Tidak seperti pemikiran
Hobbes yang memuat nilai-nilai hewan pada manusia, Locke menganggap adanya nilai
kemanusiaan. Locke menganggap penguasa absolut yang notabene manusia biasa akan dapat
terpengaruh sifat kotor manusia dan memperburuk kondisi. Oleh karena itu, solusi Locke
adalah menyusun badan legislatif yang membuat hukum, badan eksekutif yang
melaksanakan, dan kekuasaan federatif yang menyangkut dalam pembuatan perjanjian dan
persekutuan. Sempat menyinggung tentang pentingnya pengadilan, namun Locke melupakan
badan yudikatif begitu saja.
Jika ditilik, asal usul negara menurut Locke dan Rousseau hampir sama, yaitu kehidupan
individu bebas dan sederajat. Teori Kontrak Sosial Rousseau dan Locke juga sama-sama
mengelompokkan manusia pada dua masa, pra-negara dan bernegara. Keduanya juga
memasukkan nilai kemanusiaan pada pemikirannya, tidak seperti Hobbes. Teori Kontrak
Sosial Locke yang menganut kedua aliran, pactum unionis dan pactum subyectionis, bagi
Rousseau cukup pactum unionis. Para penguasa menurut keduanya sama-sama berkurang
kekuasaannya, tidak mutlak. Jika Locke mengenal keterwakilan rakyat, di mana legislatif
merupakan amanah rakyat, tetapi Rousseau menginginkan rakyat sendiri dan ini bukan ide
cemerlang untuk negara besar. Pemikiran Locke tentang kekuasaan legislatif dan eksekutif
dipisahkan namun dapat saling mempengaruhi, Inggris menurutnya sebagai contoh terbaik,
walaupun kenyataan berkata lain. Locke dan Rousseau sama-sama mengaburkan kekuasaan
judikatif, namun pemikiran Locke memiliki rangka untuk dikembangkannya Trias Politika
oleh Montesquieu.
Trias Politika (Tiga Pembagian Kekuasaan) adalah kekuasaan legislatif sebagai pembentuk
undang-undang, kekuasaan eksekutif yang menjalankan undang-undang, dan kekuasaan
judikatif yang mengadili pelanggaran. Doktrin Trias Politika pertama kali disinggung oleh
John Locke, dan untuk selanjutnya diperjelas oleh Montesquieu (1689-1755). Locke pernah
menyinggung tentang eksekutif dan legislatif, namun melupakan judikatif, walaupun ia tahu
pentingnya pengadilan. Giliran pada taraf Montesquieu ditafsirkan sebagai pemisahan
kekuasaan (separation of powers) .
Latar belakang dari Trias Politika yaitu untuk menjamin adanya kemerdekaan, dan ketiganya
harus terpisah-pisah dikarenakan jika:
Legislatif pada Trias Politika harus terletak pada seluruh rakyat, dilakukan dengan
perwakilan rakyat. Perwakilan bangsawan, Montesquieu juga bangsawan, terdiri dari dua
kekuasaan, yaitu eksekutif dan judikatif. Kebebasan kekuasaan judikatif yang ditekankan
Montesquieu di sinilah letak kemerdekaan individu dan hak azasi manusia dijamin dan
dipertaruhkan. Berbeda dengan Locke yang memasukkan judikatif pada eksekutif,
Montesquieu, sebagai seorang hakim, menganggap eksekutif dan judikatif adalah berbeda.
Doktrin Trias Politika Montesquieu banyak mempengaruhi orang Amerika saat undang-
undangnya dirumuskan, sehingga Amerika dianggap mencerminkan Trias Politika dalam
konsep aslinya. Misalnya, presiden Amerika tidak dapat dijatuhkan Congress, dan sebaliknya.
Presiden dan menteri dilarang merangkap sebagai anggota Congress, serta presiden tidak
diperkenankan membimbing Congress. Mahkamah Agung berkedudukan bebas, sekali
diangkat presiden, selanjutnya tergantung kelakuannya.
Jika Kontrak Sosial Rousseau dibandingkan dengan Trias Politika maka akan terdapat banyak
perbedaan. Mengingat Trias Politika Montesquieu melanjutkan pemikiran John Locke, bukan
Rousseau. Pemikiran Locke dengan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan federatif serta juga
menganut keterwakilan rakyat inilah yang dimaksud. Rousseau dengan demokrasi
absolutnya, berpikiran masyarakat seluruhnya sebagai pemegang kekuasaan yang sama
dengan penguasanya. Kekuasaan eksekutif dan legislatif sangat tergantung pada rakyat.
Padahal, pemikiran Trias Politika versi Montesquieu ini memisahkan kekuasaan antara
eksekutif, legislatif, dan judikatif, khususnya dengan penyempurnaan segi judikatif. Tidak
seperti Rousseau yang berpikiran kekuasaan rakyat mendominasi, Montesquieu menganggap
kekuasaan harus dipisah dan tidak pada orang yang sama. Namun hal ini juga beresiko
dominasi oleh tiap kekuasaan, oleh karena itulah ada checks and balance.
Dalam rangka checks and balance ini karakteristik Trias Politika Amerika Serikat berubah
menjadi:
DICKYAK ALKALABY
(070913091)
Dr.DWI WINDYASTUTI,MA