You are on page 1of 22

Demokrasi menurut jj rousseau

Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab ia banyak memiliki
konotasi makna, variatif, evolutif, dan dinamis. Maka tidak mudah membuat suatu definisi
yang jelas mengenai demokrasi. Demokrasi juga merupakan konsep evolutif dan dinamis,
bukan konsep yang statis. Artinya, konsep demokrasi selalu mengalami perubahan, baik
bentuk-bentuk formalnya maupun substansinya sesuai dengan konteks dan dinamika sosio
historis di mana konsep demokrasi lahir dan berkembang.
Sejak runtuhnya dominasi pemikiran politik lama dan tradisi agama (yakni saat
bergulirnya gerakan renaisance dan reformasi), diskursus pemikiran politik lebih memberi
porsi kepada keterlibatan atau partisipasi warga negara (citizen) dalam pemerintahan. Para
filosof politik tertarik untuk membincang bagaimana demokrasi mempunyai kekuatan untuk
menjadi pusat mekanisme dalam membangun dan memberdayakan masyarakat. Gerakan dan
pemikiran mereka telah memberikan blue-print perkembangan gagasan-gagasan demokrasi
dengan perjuangannya menentang kekuasaan sewenang-wenang, desakralisasi gereja,
memperjuangkan kebebasan berfikir dan memelopori gagasan pembentukan negara bangsa
(nation-state).
Dalam tulisan ini akan dikaji pemikiran demokrasi Jean-Jacques Rousseau (1712-
1778), Marry Wollstonecraft (1759-1797) dan John Stuart Mill (1806-1873). Ketiganya
mempunyai konsep demokrasi yang berbeda walau sama-sama berangkat dari tradisi
individualisme liberal. Rousseau memulai gagasannya berangkat dari isu-isu utama yang
signifikan pada teori demokrasi. Cara kerja Rousseau yang demikian itu telah memberi
inspirasi pada beberapa pemikir lainnya, salah satunya adalah Mary Wollstonecraft. Dia
adalah pioneer dalam mengamati fenomena interkoneksi natural antara wilayah publik dan
privat.. Di tengah ranah perbedaan yang sangat kontras gagasan radikalisme demokrasi antara
Rousseau dan Wollstonecraft, John Stuart Mill, bagaimanapun, telah memberi gagasan
tentang developmental democracy yang lebih liberal. Konsep Mill tentang demokrasi tidak
berhenti pada demokrasi protektif sebagai akhir seluruh agenda kerja, sebagai contoh,
demokrasi Athena, yang menurut Mill bukan sama sekali contoh model baru demokrasi.
Tetapi pemikiran dia mempresentasikan sebuah kelangsungan yang penting tradisi liberal,
sebuah eksplorasi ide yang berhubungan langsung terhadap demokrasi protektif tetapi juga
melenggang melewatinya dalam beberapa bagian.
Demokrasi Langsung ala Rousseau
Rousseau dapat dikatakan sebagai Machiavelli abad 18. Perbandingan ini berguna
untuk melihat posisi keduanya yang berada dalam aras gagasan yang searah, yaitu bagaimana
mereka telah mencoba mereartikulasikan teori-teori politik klasik. Rousseau mengarahkan
preferensi sistem politik yang dia gagas sebagai republicanism, yang memfokuskan pada
sentralitas kewajiban pada wilayah publik.
Dalam karya klasik Rousseau, The Sosial Contract, dia berasumsi bahwa walaupun
manusia bahagia dalam sebuah komunitas asli dan alami, mereka menggunakan kontrak
sosial untuk menghadapi segala rintangan yang datang kepada mereka. Manusia selalu ingin
mewujudkan pembangunan alamiah mereka, merealisasikan kapasitas berfikir,
mengekspresikan kebebasan secara maksimal, dan itu semua dapat dicapai melalui kontrak
social dengan sisstem hukum yang mapan. Rousseau menyatakan bahwa semua manusia
memiliki hak absolut untuk bebas. Argumennya adalah bahwa apa yang membedakan
manusia dari binatang bukanlah karena manusia memiliki akal, tetapi fakta bahwa manusia
dapat melakukan pilihan moral, dan karena itu, manusia harus bebas agar dapat menjalankan
pilihannya. Jika rakyat tidak bebas, atau jika kebebasannya diingkari, maka kemanusiaan
mereka diingkari dan mereka diperlakukan setengah manusia, sebagai budak atau binatang.
Dalam kontrak social versi Hobbes dan Locke, kedaulatan ditransfer dari rakyat ke negara,
walaupun untuk Locke penyerahan hak pemerintah adalah urusan yang kondisional.
Rousseau jelas berbeda dengan keduanya, ia berpendapat bahwa kedaulatan tidak dapat
direpresentasikan dengan dan oleh apapun. Rousseau menulis :
Sovereignity cannot be represented, for the same reason that it cannot be alienated …
the people’s deputies are not, and could not be, its representatives; there are merely
agent; the cannot decide anything finally. Any law which the people has not ratified in
person is void; it is law in all. The English people believes itself to be free; it is gravely
mistake; it is free only during the election of members of parliament; as soon as the
members are elected, the people is enslaved.
(Kedaulatan tidak dapat direpresentasikan, untuk pikiran yang sama tidak dapat
dialienasikan … para wakil rakyat tidak, dan tidak akan dapat, menjadi representasi
rakyat, mereka hanya sekedar agen saja, dan mereka tidak dapat menentukan keputusan
apapun secara final. Beberapa hukum yang diratifikasi tidak oleh rakyat secara
langsung adalah sebuah kehampaan. Rakyat Inggris percaya mereka akan menjadi
bebas; akan mengubur kesalahan : akan bebas hanya selama pemilihan anggota
parlemen; segera setelah anggota-anggota terpilih, maka rakyat akan menjadi budak.)
Rousseau kemudian menegaskan bahwa jika rakyat harus hidup menurut undang-undang
yang tidak mereka buat sendiri, mereka tidak akan bebas, mereka akan menjadi budak.
Keadaan akan sedikit berubah jika badan pembuat undang-undang dipilih langsung oleh
rakyat. Tetapi karena masih orang lain yang membuat undang-undang tersebut, mereka yang
tunduk pada badan ini masih diingkari kebebasannya, diingkari hak alamiahnya sebagai
manusia.
Masalah yang dikemukakan Rousseau adalah : bagaimana rakyat dapat hidup dalam
masyarakat namun tetap bebas? Menurut Rousseau, ini hanya dimungkinkan jika rakyat
hidup dalam undang-undang yang mereka buat sendiri, bukan oleh orang lain atas ama
mereka. Dan ini pada gilirannya hanya dimungkinkan jika seluruh warga negara berkumpul
di suatu tempat dan secara spontan memilih undang-undang baru yang diusulkan.
Menurutnya undang-undang baru ini merupakan ekspresi dari ‘kehendak umum’. Ia juga
menegaskan bahwa kehendak umum selalu benar; bahwa ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’

(vox populi vox dei). Bagaimanapun, terlepas dari teori ini, gagasan Rousseau
tentang majelis warga, jelas tidak mungkin dipraktikkan di negara modern.Rousseau adalah
pemikir politik yang paling menjengkelkan. Ia adalah teoritikus demokrasi modern yang
pertama, tetapi ia percaya pada bentuk demokrasi langsung yang tidak dapat direalisasikan. Ia
tidak percaya pada partai atau kelompok penekan (pressure group). Ia percaya bahwa rakyat
hanya terikat dengan undang-undang ynag disetujui suara bulat, meskipun rakyat tersebut
tidak memberikan suara pada undang-undang tersebut (seolah-olah rakyat tidak berfikir
egois). Rousseau menghendaki kekuasaan rakyat dan kesetaraan semua warga negara.
Dengan pandangan seperti ini, beberapa penulis memandang Rousseau sebagai bapak
intelektual totalitarianisme modern.

Membongkar Ruang Publik dan Privat


Refleksi atas signifikansi revolusi Perancis dan perbedaan yang radikal antara Inggris
dan negara-negara lain di Eropa, Marry Wollstonecraft (1759-1797) telah menemukan
banyak buah pikiran Rousseau yang patut dipuji. Terinspirasi oleh beberapa isu yang
diguliskan Roesseau, Wollstonecraft menulis salah satu karya yang luar biasa di bidang teori
social dan politik “Vindication of the Right of Women (1792).
Wollstonecraft menerima argumentasi bahwa kebebasan (liberty) dan persamaan
(equality) adalah dua hal yang saling memenangkan. Sebagaimana Rousseau, dia melihat
bahwa siapa saja yang ‘mengharuskan untuk menimbang konsekwensi setiap yang dalam
posisi terjauh, maka mereka terlempar’ maka tidak dapat menikmasti kebebasan ‘hati dan
pikiran’. Seperti Rousseau, dia berargumen bahwa dari respek yang terlalu berlebihan untuk
hak milik dan arus kepemilikan akan menimbukan banyak kejahatan dan sifat buruk di dunia
ini. Secara singkat Wollstonecraft mengingatkan, sebagaimana Rousseau, bahwa kebebasan
dapat dikreasikan dalam masyarakat jika warga negara (citizen) mendapat pencerahan
pemahaman tentang dunia mereka, dan jika produk politik diatur oleh keputusan pikiran dan
suara rakyat.
Namun berbeda dengan Rousseau, Wollstonecraft tidak dapat menerima jika
kekuasaan kandas di pemikiran politik tradisional yang mensubordinatkan kepentingan
perempuan dan anak-anak di bawah ‘individualisme’ warga negara yang ‘laki-laki’.
Wollstonecraft mengkritik beberapa asumsi tentang kepentingan laki-laki, perempuan dan
anak-anak, dan secara mendalam mengkritik gambaran Rousseau tentang hubungan antara
laki-laki dan perempuan yang mengingkari peran perempuan di ruang publik. Menurut
Wollstonecraft, kegagalan untuk mengeksplorasi isu-isu tentang peran politik perempuan
tidak hanya akan merusak kesetaraan hidup laki-laki dan perempuan, tetapi juga akan
merusak rasio dan moralitas mereka yang alami. Menurut pandangannya, hubungan antara
laki-laki dan perempuan dinisbatkan pada sebagian besar asumsi yang tidak benar (tentang
pembedaan secara kodrati laki-laki dan perempuan) dan institusi yang tidak tepat (dari nikah
kontrak sampai absennya perwakilan perempuan di dalam institusi negara).
Dalam demokrasi leberal, menurut Wollstonecraft, perempuan harus diposisikan yang
setara dengan laki-laki, baik tentang hak dan kewajiban. Harus ada wakil-wakil perempuan
dalam badan-badan negara, sehingga tidak sekedar ada nuansa keterwakilan
(representativeness), tetapi agar aspirasi kaum perempuan dapat terakomodir secara efektif.
Pandangan ini setidaknya telah membongkar konstruksi kultural dalam masyarakat yang
selama ini menaruh perempuan dengan segala eksistensinya dalam ruang “privat” di mana
ruang lain yang “publik” menjadi milik laki-laki taken for granted.

Menuju Demokrasi Perwakilan Liberal


Para filosof politik sampai pada tahap pemikiran yang kemudian menjadi tonggak
teori liberal modern, yang terus-menrus merusaha membenarkan kekuasaan negara berdaulat,
pada saat bersamaan, membenarkan batas-batas kekuasaan tersebut. Upaya ini merupakan
langkah untuk menyeimbangkan antara kekuatan dan hak, kekuasan dan hukum, kewajiban
dan hak. Di satu pihak, negara harus memegang monopoli kekuasaan memaksa untuk
menjamin kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Di pihak lain, jika
kekuasan negara tersebut dibiarkan tanpa kontrol, maka yang terjadi adalah penghancuran
kemerdekaan politik dan sosial warganya.Menurut para pemikir politik – yang kemudian
diidentikkan sebagai demokrat-demokrat liberal –, demokrasi perwakilan merupakan
pembaharuan kelembagaan pokok untuk mengatasi problem keseimbangan antara kekuasaan
memaksa dan kebebasan. Kebebasan dalam hal penalaran, pemerintahan hukum dan
kebebasan memilih hanya bisa ditegakkan secara layak dengan mengakui kesamaan politik
semua orang dewasa. Kesamaan demikian akan menjamin, bukan hanya lingkungan sosial
yang aman di mana rakyat bebas melakukan aktifitas-aktifitas dan kepentingan-kepentingan
pribadi mereka, melainkan juga negara yang berada di bawah saksi mata wakil-wakil politik
yang bertanggungjawab kepada orang-orang yang berhak memilih, akan melaksanakan apa
yang terbaik bagi kepentingan umum atau kepentingan publik.
Dua pernyataan klasik mengenai posisi baru tersebut bisa ditemukan dalam filsafat
James Madison dan karya seorang tokoh kunci liberalisme Inggris abad ke-19, Jeremy
Bentham. Menurut Madison, ‘demokrasi murni’ selalu tidak toleran, tidak adil dan tidak
stabil. Sebaliknya pemerintahan perwakilan mengatasi ekses-ekses ‘demokrasi murni’ karena
pemilihan yang teratur memaksa suatu klarifikasi terhadap persoalan-persoalan publik, dan
kelompo kecil yang terpilih, yang bisa bertahan terhadap proses-proses politik, yang mampu
melihat kepentingan negara mereka yang sesungguhnya.Sejalan dengan itu, Bentham
menyatakan bahwa demokrasi perwakilan “memiliki pengaruh dan tujuan yang khas …
melindungi anggota-anggotanya dari penekanan dan penghinaan di tagan para fungsionaris
yang mempergunakan praktek-praktek tersebut untuk mempertahankan dirinya”.
Pemerintahan demokratis model ini akan menjamin perlindungan warganegaranya dari
penggunaan kekuasan politik yang despotis, apakah itu oleh monarkhi, aristokrasi, ataupun
kelompok-kelompok yang lain.Bentham mengambangkan sebuah versi liberalisme yang
berbeda dari versi liberalisme yang radikal dan demokratis. Ini berbeda dari versi-versi
liberalisme sebelumnya yang menghapuskan ide tentang hak-hak alami (rights of nature),
yang dianggap Bentham tidak hanya nonsense, tetapi ‘nonsense on stilts’. Hal senada juga
diungkapkan oleh James Mill, teman yang sangat berpengaruh terhadap bentham.Adalah
John Stuart Mill, anak James Mill, yang memiliki pandangan berseberangan dengan tradisi
utilitarianisme. Menurutnya, utilitarianisme telah melupakan sisi spiritual, estetik, dan
emosional dari manusia. Mill terpengaruh oleh gagasan Romantik tentang individualitas,
yang melihat setiap orang sebagai suatu keseluruhan yang kompleks, yang masing-masing
berharga dalam keunikan mereka.
Dalam memahami implikasi politis dari arti individualitas yang baru ini, Mill,
melakukan pembedaan ynag sulit antara ‘tindakan menyangkut diri sendiri’ dan ‘tindakan
menyangkut orang lain’. Mill menyatakan bahwa, satu-satunya tujuan di mana kekuasan
dapat digunakan dengan benar oleh anggota komunitas beradab yang berlawanan dengan
kehendak sendiri, adalah keinginan untuk mencegah mengganggu orang lain. Hanya ketika
tindakan individu mempengaruhi orang lain, maka ada alasan bagi munculnya regulasi dari
negara. Apabila tindakan individu adalah menyangkut diri sendiri, yaitu tidak mempengaruhi
orang lain, maka negara tidak memiliki hak untuk campur tangan.
Analisis de Tocqueville tentang demokrasi Amerika yang melihat kecenderungan
Demokrasi Amerika yang telah mengangkat opini publik dan tekanan sosial dari kelompok
penekan (pressure group) sebagai sumber otoritas, telah menakutkan Mill. Ini menimbulkan
dilema dalam sikap Mill terhadap pemerintahan demokratis. Ia secara umum beranggapan
bahwa kedatangan demokrasi adalah benar dan tidak terhindarkan, namun ia takut dengan
apa yang ia sebut ‘tirani mayoritas’. Kaum liberal telah lama berjuang melawan tirani pendeta
dan raja, tetapi mereka sama sekali tidak mengantisipasi masalah yang timbul setelah orang
terbebas dari kedua tirani ini.
Akibatnya, J.S. Mill adalah seorang demokrat yang enggan. Ia percaya demokrasi
perwakilan sebagai kekuatan pendidik (the power of educate), pada sisi lain ketakutan pada
demokrasi (tirani mayoritas) telah mengarahkan dirinya pada semua jenis alat untuk
mencegah pemerintah mengungkapkan kehendak langsung dari mayoritas. Maka ia
menegaskan, bahwa meskipun setiap orang dewasa harus memberikan suara, namun mereka
yang berpendidikan harus lebih banyak memberikan suara. Saat parlemen harus mewakili
semua rakyat dan memiliki otoritas untuk memutuskan undang-undang, undang-undang itu
harus disusun oleh komisi undang-undang yang terdiri atas kaum intelektual.
Akhirnya, bagaimanapun Mill sangat percaya terhadap individualisme, Mill adalah
salah satu pemikir liberal pertama yang mendukung intervensi negara dalam wilayah
pendidikan, tempat kerja industri, dan lain-lain. Dan ini menjadi inspirasi untuk
mengembangkan liberalisme baru, yakni liberalisme sosial.
1.  Demokrasi memiliki dua komponen dasar: substantif dan prosedural.  Komponen pertama
adalah landasan normatif yang bermuatan seperangkat nilai-nilai dasar bagi suatu tatanan
(sistem) kehidupan politik dan ketatanegaraan yang keberadaanya mutlak diperlukan serta
membedakannya dengan sistem yang lain. Komponen kedua adalah seperangkat tata cara
yang dipergunakan agar sistem tersebut dapat bekerja secara optimal dalam suatu konteks
masyarakat tertentu. Jika komponen yang pertama pada hakekatnya bersifat universal dan
permanen,  maka komponen kedua bersifat kontekstual dan bentuknya terus menerus
mengalami perkembangan serta terbuka (open-ended). Kendati keduanya tak dapat
dipisahkan, namun kedua elemen tersebut dapat dibedakan satu dari yang lain.
Sebuah sistem politik dan ketatanegaraan dapat disebut demokratis apabila ia memenuhi
kedua komponen dasar tersebut. Pada kenyataannya tidak ada praktik demokrasi yang
“paripurna” dan telah selesai. Yang bisa dibuat adalah suatu spektrum praktik dari sebuah
sistem politik dan ketatanegaraan yang telah mapan (established) atau yang dalam tahap
masih berkembang (developing), atau yang belum berkembang (underdeveloped) karena
masih adanya kelemahan-kelemahan dalam komponen dasarnya. Pada sebuah sistem
demokrasi yang mapan, yang menjadi persoalan pada dasarnya adalah pada komponen
prosedur yang mengalami pengembangan karena terjadinya perubahan structural yang harus
diakomodasi sehingga tidak terjadi degenerasi sistem. Pada sistem demokrasi yang masih
berkembang, dapat dikatakan bahwa ancaman terhadap kedua komponan masih belum
terselesaikan secara keseluruhan sehingga masih ada kecenderungan degenerasi dan
degradasi kualitas sistem demokrasi yang berjalan. Pada sistem demokrasi yang masih belum
berkembang, kecenderungan degenerasi dan degradasi sangat dominan dan bahkan
ancamanakan  terjadinya proses pembalikan kea rah non demokrasi sangat besar.
2.  Landasan utama demokrasi adalah norma-norma egalitarianism (persamaan) dan liberty
(kebebasan) yang dalam perkembangan modern dikukuhkan dalam Hak-hak Asasi Manusia
Universal. Khususnya, hak-hak dasar yang berkaitan dengan hak berbicara, menyatakan
pendapat, berserikat dan berkumpul adalah norma paling dasar. Seterusnya, kedaulatan
rakyat, rule of law, dan pertanggungjawaban penguasa kepada rakyat (baik langsung maupun
tidak langsung) juga merupakan norma-norma dasar dalam demokrasi.Sementara itu,
komponen prosedural demokrasi antara lain adalah sistem perwakilan,  pola-pola pemilihan
dan rotasi yang berkala atas mereka yang diberi amanat/mandat oleh rakyat, adanya
pemisahan kekuasaan atas cabang-cabang pemerintahan, penerapan mekanisme checks and
balances antar lembaga negara, partisipasi yang tinggi oleh warganegara dalam urusan
publik, tata kelola yang baik (good governance) dalam pemerintahan, dsb.
3. Berdasarkan kedua komponan diatas, maka sejarah pemikiran dan praktik demokrasi bisa
digambarkan dalam tiga fase utama: Fase Klasik (Demokrasi Athena); Fase Pra-Pencerahan;
Fase Modern; dan Fase Kontemporer (Paska Perang Dingin). Praktik demokrasi  pada fase-
fase tersebut tidak berarti selalu berjalan berkesinambungan, tetapi bisa terjadi overlapping
dan bahkan ruptures, sehingga perkembangan tersebut tidaklah berjalan linear. Demikian
pula, harus diingat bahwa selalu ada diskrepansi atau gap antara “pemikiran”,“gagasan
(ideas)” dengan praksis dan realitas yang sedang berkembang. Dengan demikian tidak berarti
bahwa dalam fase klasik realitas politik di Athena merupakan pengejawantahan total gagasan
demokrasi yang ada. Bisa jadi bahwa gagasan yang muncul pada suatu era ternyata masih
merupakan gagasan yang belum terealisasi sebelumnya, atau kalaupun terealisasi ternyata
mengalami berbagai penyimpangan atau perbedaan.
4. Fase Klasik ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan praksis politik
dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara kota
(city states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan
demokrasi (democratia, dari demos + kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai
para Tyrants atau autocrats untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan
perlindungan terhadap warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates
(469-399 SM), Plato (427-347SM), Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh
terkemuka yang mengajukan pemikiran-pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis
seharusnya dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para autocrats dan tyrants.
Dari buah pikiran merekalah  prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu persamaan
(egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar
sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf
Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan sistem
demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi
yang paling keras karena dianggap dapat mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah
Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih
mendukung sebuah sistem politik dimana kekuasaan mengatur Polis diserahkan kepada
kelompok elite yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik
atau yang dikenal dengan nama “the philosopher Kings”. Sebaliknya, Aristoteles memandang
justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis berkembang dan bertahan
karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam pembuatan
keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan yang harus
dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan
sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena pengertian
warga (citizens) yang “egaliter” dan “bebas” pada kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini
adalah kaum pria yang berusia di atas 20 th, bukan budak, dan bukan kaum pendatang
(imigran). Demikian pula demokrasi langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan
penduduk yang kecil (60000-80000 orang). Warga yang benar-benar memiliki hak dan
berpartisipasi dalm Polis kurang dari sepertiganya dan selebihnya adalah para budak, kaum
perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang asing! Demikian pula, para warga
dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses politik karena mereka tidak tergantung secara
ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan imigran.
5. Pada fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M) yang mengemuka adalah gagasan
alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan
legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-
1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-
1755). Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan
liberalisme awal (Locke) serta konsep negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan
eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan
(Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternative dari model absolutis.
Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan dan
Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem
Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka jalan bagi
terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi
Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan
federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara, sedangkan Revolusi Perancis
mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia secara universal.
6. Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20) menyaksikan bermunculannya berbagai
pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan teori-teori tentang negara, masalah kelas dan
konflik kelas, nasionalisme, ideologi, hubungan antara negara dan masyarakat dsb.
Disamping itu, terjadi perkembangan dalam sistem politik dan bermunculannya negara-
negara baru sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khusunya antara
kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (1712-
1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883),
Friedrich Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946).
Rousseau membuat konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana
legitimasi pihak yang kedua akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia
dianggap melakukan penyelewengan. Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil
disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Rousseau. Mill mengembangkan konsepsi tentang kebebasan (liberty) yang
menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern
(Parliamentary system) di mana ia menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari
intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas merupakan inti
pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De Toqcueville
juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara untuk intervensi dalam kehidupan
sosial dan individu sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-komunis yang
menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap
sebagai “panitia eksekutif kaum burjuis” dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol
terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka
keberadaannya haruslah dihapuskan (withering away of the state) dan digantikan dengan
suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah diktator proletariat. Dengan mendasari
analisa mereka mengikuti teori perjuangan kelas dan materialism dialektis, Marx dan Engels
menganggap sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal adalah alat
mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang
murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum proletar.Max Weber dan
Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan demokrasi langsung ala Marx dan
lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua mengemukakan demokrasi
sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses
perubahan masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran.
Dengan makin berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem
pembagian kerja modern, maka tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang
betul-betul mampu secara langsung mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang
efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan oleh mereka yang memiliki kemampuan,
oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern adalah kompetisi kaum elit.
7. Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi
semakin kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa dan pertarungan
ideologis yang melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan sosialisme/komunisme.
Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat
pada abad keduapuluh, kenbdatipun variannya sangat besar dan bahkan bertentangan satu
dengan yang lain.
Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun
otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman
demokrasi semakin mengarah kepada aspek prosedural, khususnya tata kelola pemerintahan
(governance). Pemikir seperti Robert Dahl umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi
bertujuan memahami bagaimana warganegara melakukan control terhadap para
pemimpinnya. Dengan demikian focus pemikiran dan teori demokrasi semakin tertuju pada
masalah proses-proses pemilihan umum atau kompetisi partai-partai politik, kelompok
kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yan memiliki pengaruh kekuasaan.
8. Dengan hancurnya blok komunis/sosialis pada penghujung abad ke duapuluh, demokrasi
seolah-olah tidak lagi memiliki pesaing dan diterima secara global. Fukuyama bahkan
menyebut era paska perang dingin sebagai Ujung Sejarah (the End of History) di mana
demokrasi (liberal), menurutnya, menjadi pemenang terakhir. Pada kenyataannya, sistem
demokrasi di dunia masih mengalami persoalan yang cukup pelik karena komponen-
komponen substantif dan prosedural terus mengalami penyesuaian dean tantangan. Kendati
ideologi besar seperti sosialisme telah pudar, namun munculnya ideologi alternatif seperti
fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb telah tampil sebagai pemain dan penantang baru
terhadap demokrasi, khususnya demokrasi liberal.
Kondisi saat ini di mana globalisasi telah berlangsung, maka demokrasi pun
mengalami pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun prkasis. Munculnya berbagai
pemikiran dan gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi sistem politik demokrasi
liberal, seperti gerakan feminisme, kaum gay, pembela lingkungan, dsb. Termasuk juga
gerakan anti kapitalisme global yang bukan hanya berideologi kiri, tetapi juga dari kubu
liberal sendiri, semakin menuntut terjadinya terobosan baru dalam pemikiran tentang
demokrasi. Contoh yang dapat disebutkan disini adalah upaya mencari jalan ke tiga (the
Third Way) yang menggabungkan liberalisme dan populisme di Eropa dan AS.
Sebelum paham atau ajaran demokrasi muncul, kehidupan bangsa, masyarakat dan
negara di Eropah dilandasi oleh paham agama, atau dinamakan juga dengan “Teokrasi”, yang
artinya pemerintahan/negara berdasarkan Hukum/Kedaulatan Tuhan. Penyelewengan paham
Teokrasi yang dilakukan oleh pihak Raja dan otoritas Agama, mengakibatkan kehidupan
negara-negara di Eropah mengalami kemunduran yang sangat drastis, bahkan hampir-hampir
memporak-poranda seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negara disana. Ditengah
situasi kegelapan yang melanda Eropah inilah JJ.Rousseau berpendapat bahwa landasan
kehidupan bangsa/masyarakat tidak dapat lagi disandarkan pada kedaulatan Tuhan yang
dijalankan oleh Raja dan Otoritas Agama, karena sesungguhnya kedaulatan tertinggi di dalam
suatu negara/masyarakat berada ditangan rakyatnya dan bukan bersumber dari Tuhan.
Bahkan negara/masyarakat berdiri karena semata-mata berdasarkan Kontrak yang dibuat oleh
rakyatnya (Teori Kontrak Sosial).
Singkatnya ajaran/teori Kedaulatan Rakyat atau “demokrasi” ini mengatakan bahwa
kehendak tertinggi pada suatu negara berada ditangan rakyat, dan karenanya rakyat
yang menentukan segala sesuatu berkenaan dengan negara serta kelembagaannya.
Atau dapat juga dikatakan sebagai ajaran tentang Pemerintahan Negara berada
ditangan Rakyat. Ajaran Demokrasi adalah sepenuhnya merupakan hasil olah pikir JJ.
Rousseau yang bersifat hipotetis, yang sampai saat itu belum pernah ada pembuktian
empiriknya. Bahkan pada “Polis” atau City State” di Yunani yang digunakan oleh
Rousseau sebagai contoh didalam membangun Ajaran Demokrasi yang bersifat
mutlak dan langsung, tidak dapat ditemui adanya unsur-unsur demokrasi. Oleh
karenanya Logemann mengatakan bahwa Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau sebagai
“Mitos Abad XIX”, karena tidak memiliki pijakan pada kenyataan kehidupan umat
manusia. Adalah bertentangan dengan kenyataan dimana rakyat secara langsung dan
mutlak (keseluruhan) memegang kendali pemerintahan negara. Karena justru
kenyataannya menunjukan bahwa segelintir (sedikit) oranglah yang memegang
kendali pemerintahan negara dan memerintah kumpulan orang yang banyak, yaitu
rakyat.Benturan yang tidak terdamaikan antara Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau (yang
bersifat mutlak dan langsung) dengan kenyataan empirik kehidupan manusia (yang
sedikit memerintah yang banyak), ditambah lagi sebagai akibat perkembangan
lembaga negara menjadi “National State” yang mencakup wilayah luas serta
perkembangan rakyatnya yang menjadi semakin banyak jumlahnya dan tingkat
kehidupannya yang komplek, maka Ajaran Demokrasi yang awalnya dicetuskan oleh
JJ.Rousseau ini masih memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan. Langkah
penyempurnaan terhadap Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau yang terpenting dan
merupakan awal menuju kearah demokrasi modern yaitu Demokrasi Perwakilan yang
dikenal sampai kini,adalah dengan dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat di Inggris
pada pertengahan Abad XIII (1265).Pada Demokrasi Perwakilan, rakyat secara
keseluruhan tidak ikut serta menentukan jalannya pemerintahan negara, tetapi rakyat
mewakilkan kepada wakil-wakilnya yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat untuk
menentukan jalannya pemerintahan negara.Untuk menentukan siapakah individu-
individu rakyat yang akan mewakili keseluruhan jumlah rakyat di Badan Perwakilan
Rakyat ini digunakan mekanisme Pemilihan (Umum) yang bercirikan :

1. Adanya 2 (dua) atau lebih calon yang harus dipilih ;


2. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak dari calon-calon yang ada, maka dialah
yang akan duduk di Badan Perwakilan Rakyat guna mewakili mayoritas rakyat
pemilih.
Kemudian hari tata-cara dan model Pemilihan wakil-wakil rakyat berkembang
menjadi model-model pemilihan yang bervariasi, tetapi tetap berintikan kedua ciri di
atas. Dengan demikian, Demokrasi Perwakilan menjadi tidak bisa dilepaskan dari
penyelenggaraan pemilihan (umum) dan prinsip mayoritas vs minoritas.
Dibawah ini akan diuraikan secara singkat rincian unsur demokrasi perwakilan :
- Sumbernya:Gagasan seorang manusia (Filosuf) yang bernama JJ. Rousseau (Abad
XIX)
- Sejarahnya: Sebagai pengganti Ajaran Kedaulatan Tuhan (Teokrasi) yang
diselewengkan di Eropah pada Abad XIX.
- Tujuannya: Mencapai kebaikan kehidupan bersama di dalam wadah suatu negara,
khususnya dalam tata hubungan antara manusia sebagai warganegara dengan
negaranya.
- Mekanismenya: Keputusan tertinggi yang pasti benar & baik adalah yang ditentukan
oleh mayoritas manusia/warganegara yang dipilih melalui pemilihan umum,
sedangkan keputusan yang dibuat oleh minoritas manusia/warganegara pasti salah &
tidak baik.
- Sarananya: Partai Politik, berdasarkan Sistem Dua Partai atau Sistem Banyak Partai.
- Pembedanya: Model Demokrasi yang dilaksanakan sangat tergantung pada 2 (dua)
aspek, yaitu : (1). sistem pembagian kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara, dan
(2). sifat hubungan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif.
- Mottonya: Vox populi vox dei = Suara rakyat (mayoritas) adalah suara Tuhan, dan
Suara yang minoritas adalah suara setan.

Demikianlah Ajaran/Teori Demokrasi berkembang dari waktu ke waktu dan


berkembang sesuai pula dengan kebutuhan suatu negara tertentu, sejalan dengan
ucapkan Mac Iver , “..apa yang kita sebut demokrasi adalah hanya sebuah permulaan
dan bukan sesuatu yang bersifat final….”. Sehingga Ajaran/Teori Demokrasi yang
awalnya dicetuskan oleh JJ.Rousseau telah berkembang menjadi Ajaran/Teori
Demokrasi Perwakilan yang kemudian berkembang lagi menjadi berbagai model
demokrasi perwakilan yang saling bervariasi antara satu dengan lainnya, tergantung
pada kondisi masing-masing negara yang bersangkutan.
Timbulnya variasi model demokrasi perwakilan ini menurut kacamata Ilmu Hukum
Tata Negara bersumber dari perbedaan nilai-nilai dasar bersama yang dianut oleh
rakyat pada masing-masing negara, dan secara khusus pada gilirannya tercermin
melalui perbedaan pada sistem pembagian kekuasaan dan sifat hubungan antar
lembaga-lembaga negara (terutama antara Lembaga Legislatif dan Lembaga
Eksekutif), yang ditetapkan oleh masing-masing negara yang bersangkutan. Namun
semua variasi model demokrasi perwakilan harus tetap berpegang pada 4 (empat)
prinsip, yaitu :
1. Prinsip Kedaulatan Rakyat, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus
menetapkan bahwa kekuasaan tertinggi (kedaulatan) berada ditangan rakyat ;
2. Prinsip Perwakilan, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus menetapkan
bahwa kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat itu dilaksanakan oleh sebuah atau
beberapa lembaga perwakilan rakyat ;
3. Prinsip Pemilihan Umum, dimana untuk menetapkan siapakah diantara
warganegara yang akan duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang
menjalankan kedaulatan rakyat itu, harus diselenggarakan melalui pemilihan umum
4. Prinsip Suara Mayoritas, dimana mekanisme pengambilan keputusan dilaksanakan
berdasarkan keberpihakan kepada suara mayoritas.

Tanpa adanya ke-4 ciri pokok diatas secara lengkap, maka suatu tatanan kenegaraan
tidak dapat dikatakan sebagai Model Demokrasi.

Diantara ke-4 prinsip Model Demokrasi tersebut diatas, maka Prinsip Suara Mayoritas
yang paling banyak mengundang kritik, karena :
1. Manusia tidaklah sama semuanya dalam berbagai aspek, terutama dalam hal aspek
kualitas intelektualitasnya, sehingga keputusan yang diambil dengan suara mayoritas
(kuantitatif) sama sekali tidak menjamin keputusan itu adalah baik atau benar.

2. Prinsip Suara Mayoritas bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Agama


Islam, dimana pada Kitab Suci Al Qur’an terdapat cukup banyak ayat-ayat yang
bernada negatif atau bahkan mengecam prinsip suara terbanyak ini, seperti sebagian
contoh ayat-ayat Al Qur’an dibawah ini :
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap
Allah). (QS. Al Anam [6]: 116)

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan


Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman. (QS. Asy-Syu’ara [26]: 103)

Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami
mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.(QS. Al A’raaf [7]: 102)

Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Ini adalah
karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab
kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah,
sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui.(QS. Al A’raaf [7]: 131)
Rousseau berpendapat bahwa dalam mendirikan negara dan masyarakat kontrak sosial
sangat dibutuhkan. Namun, Rousseau berpendapat bahwa negara dan masyarakat yang
bersumber dari kontrak sosial hanya mungkin terjadi tanpa paksaan. Negara yang disokong
oleh kemauan bersama akan menjadikan manusia seperti manusia sempurna dan
membebaskan manusia dari ikatan keinginan, nafsu, dan naluri seperti yang mencekamnya
dalam keadaan alami. Manusia akan sadar dan tunduk pada hukum yang bersumber dari
kemauan bersama. Kemauan bersama yang berkwalitas dapat mengalahkan kepentingan diri,
seperti yang menjadi pokok permasalahan pemikiran Hobbes.

Konsep pertama Rousseau tentang negara adalah hukum (law). Rousseau menyebut setiap
negara yang diperintah oleh hukum dengan Republik, entah bagaimanapun bentuk
administrasinya. Selanjutnya, badan legislatif (the legislator) yang “maha tahu” membuat
dasar aturan/ hukum namun sama sekali tidak memiliki kekuasaan memerintah orang.
Menurutnya, kekuasaan legislatif harus di tangan rakyat sedang eksekutif harus berdasar pada
kemauan bersama. Rakyat seluruhnya, dianggap sejajar dengan penguasa manapun,
mengadakan sidang secara periodik dan ini meminggirkan fungsi eksekutif. Oleh karena itu,
keterlibatan masyarakat yang seperti ini sulit terjadi pada kota yang sangat besar.
Rousseau tidak membenarkan adanya persekutuan, termasuk partai yang menurutnya hanya
berujung pada penyelewengan. Selain itu, menurutnya, negara jangan terlalu besar dan terlalu
kecil dengan masalahnya masing-masing, disarankan sebesar polis.

Kebaikan Teori Rousseau antara lain sebagai landasan demokrasi modern dan menonjolkan
fungsi warga negara dalam masyarakat dan negara. Selain itu, Rousseau mengubah sistem
politik penuh kekerasan menjadi musyawarah. Teori dan perjanjian ini juga akan
menunjukkan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyatnya. Teori Kontrak Sosial-nya
menganut aliran pactum unionis, yaitu perjanjian masyarakat yang sebenarnya. Ia
menghendaki bentuk negara di mana kekuasaanya di tangan rakyat, atau Demokrasi Mutlak.

Kelemahannya teori ini antara lain tidak berdasar historis dan setiap orang mau tidak mau
terikat kontrak sosial, bukan sukarela. Namun, Rousseau seakan tidak konsekuen,
dikarenakan ia mementingkan pungutan suara, padahal bersumber dari kwantitas. Selain itu,
Rousseau tidak menjelaskan jika ada kemauan bersama yang telah disepakati namun ada
beberapa orang yang merasa berbeda pendapat maka orang itu tidak dapat dikatakan dipimpin
atas kemauan bersama. Pemikiran Rousseau tentang negara, di mana konsep negara sangat
abstrak, juga dapat mempengaruhi terwujudnya pemerintahan yang totaliter, diktator.

Pemikiran Rousseau tentang agama sangat aneh, hal ini juga dilihat perubahan agamanya dari
Calvinisme menjadi Katholik dan kembali Calvinisme. Ia dengan tegas menolak adanya
agama Protestan di negaranya. Hal itu dikarenakan Protestan mementingkan isolasi diri dan
berpotensi memecah-belah negara. Agama baginya adalah sebagai penguat negara, bukan
sebaliknya. Rousseau lebih membenarkan negara seperti Nabi Muhammad dan khalifah-
khalifahnya yang memiliki perpaduan antara rohaniah dan duniawiah.

Walaupun Rousseau sangat terkenal di Perancis, namun di Inggris tidak sama sekali.
Pemikiran Locke tentang keterwakilan dilanjutkan oleh John Stuart Mill. Jika dilihat lebih
lanjut, pemikiran Rousseau tentang kontrak sosial sebenarnya dapat dibandingkan dengan
teori kontrak sosial sebelumnya, versi Thomas Hobbes dan John Locke.

Kontrak Sosial versi Hobbes dibandingkan dengan Rousseau

Thomas Hobbes (1558-1676) menggambarkan keadaan yang kacau balau, ketika setiap
manusia berperang dengan manusia lain. Menurut Hobbes, setiap manusia memiliki
keinginan yang sangat kuat untuk memiliki kekuasaan demi kekuasaan dan keinginannya
hanya akan diberhentikan oleh ajal. Walaupun sebenarnya manusia juga berkeinginan untuk
hidup damai dan rukun, namun tingkatannya masih kalah dari kekuasaan. Akibat pandangan
Hobbes bagi hidup bermasyarakat dan bernegara diungkapkannya dengan keadaan alami
(state of nature), suatu keadaan di mana fitrah dan tabiat manusia terdapat tanpa ada
hambatan dan restriksi apapun. Dengan sendirinya, potensi perselisihan dan perang dengan
kekerasan sekalipun akan terjadi untuk mempertahankan kebebasannya, tentunya dengan
menguasai akan lebih efektif. Wajar jika seperti itu, Hobbes melupakan pertimbangan akal
budi manusia yang sebenarnya dapat mempengaruhi tindakan mereka.

Hobbes lantas memberi solusi berupa kontrak sosial dan manusia, yang selalu dihantui
ketakutan, akan terdorong untuk melakukan perjanjian dengan memilih penguasa di antara
mereka. Pihak-pihak yang berjanji menyerahkan kekuatan dan kekuasaannya kepada sang
penguasa. Namun, menjadi masalah ketika sang penguasa tidak mengikatkan diri pada
perjanjian, hal ini menyebabkan sang penguasa memiliki kekuatan dan kekuasaan yang
absolut. Walaupun sang penguasa memiliki kekuasan absolut, menurut Hobbes seseorang
dapat menentang jika sudah menyakiti secara jasmaniah.Teori Kontrak Sosial-nya menganut
aliran pactum subyectionis.

Teori Kontrak Sosial Rousseau dan Hobbes sama-sama mengelompokkan manusia pada dua
masa, pra-negara dan bernegara. Teori milik Rousseau yang menganut aliran pactum unionis,
sangat berkebalikan dengan versi Hobbes dengan pactum subyectionis. Belum lagi nilai-nilai
hewan pada diri manusia pada pemikiran Hobbes tidak berlaku pada Rousseau. Konsep
penguasa pada pemikiran Hobbes yang tidak terikat janji berbeda dengan perjanjian yang
mengikat semua pada pemikiran Rousseau. Penguasa versi Rousseau hanya sekedar
“pelayan” dari kepentingan rakyat banyak, sedangkan menurut Hobbes sangat berkuasa.

Kontrak Sosial versi Locke dibandingkan dengan Rousseau

John Locke (1632-1704) bertentangan dengan Hobbes dalam hal ini. Tidak seperti pemikiran
Hobbes yang memuat nilai-nilai hewan pada manusia, Locke menganggap adanya nilai
kemanusiaan. Locke menganggap penguasa absolut yang notabene manusia biasa akan dapat
terpengaruh sifat kotor manusia dan memperburuk kondisi. Oleh karena itu, solusi Locke
adalah menyusun badan legislatif yang membuat hukum, badan eksekutif yang
melaksanakan, dan kekuasaan federatif yang menyangkut dalam pembuatan perjanjian dan
persekutuan. Sempat menyinggung tentang pentingnya pengadilan, namun Locke melupakan
badan yudikatif begitu saja.

Kelemahan pemikiran Locke adalah berkurangnya peran pemerintah, mengingat eksekutif


tergantung legislatif. Selain itu, penyuburan dinasti ekonomi menyebabkan si miskin tanpa
milik tidak memiliki suara. Locke juga jauh mementingkan masalah mayoritas daripada
minoritas.
Walaupun banyak kelemahan, pemikirannya sangat berpengaruh di negara-negara Barat,
teorinya tentang pemisahan kekuasaan (separation of powers) dikembangkan oleh
Montesquieu. Pemikiran Locke tentang Kontrak Sosial untuk selanjutnya diikuti oleh
Rousseau, tentunya dengan perbedaan, seperti perbedaan mendasar Kontrak Sosial versi
Locke dan Hobbes. Teori Kontrak Sosial-nya menganut aliran pactum unionis dan pactum
subyectionis.

Jika ditilik, asal usul negara menurut Locke dan Rousseau hampir sama, yaitu kehidupan
individu bebas dan sederajat. Teori Kontrak Sosial Rousseau dan Locke juga sama-sama
mengelompokkan manusia pada dua masa, pra-negara dan bernegara. Keduanya juga
memasukkan nilai kemanusiaan pada pemikirannya, tidak seperti Hobbes. Teori Kontrak
Sosial Locke yang menganut kedua aliran, pactum unionis dan pactum subyectionis, bagi
Rousseau cukup pactum unionis. Para penguasa menurut keduanya sama-sama berkurang
kekuasaannya, tidak mutlak. Jika Locke mengenal keterwakilan rakyat, di mana legislatif
merupakan amanah rakyat, tetapi Rousseau menginginkan rakyat sendiri dan ini bukan ide
cemerlang untuk negara besar. Pemikiran Locke tentang kekuasaan legislatif dan eksekutif
dipisahkan namun dapat saling mempengaruhi, Inggris menurutnya sebagai contoh terbaik,
walaupun kenyataan berkata lain. Locke dan Rousseau sama-sama mengaburkan kekuasaan
judikatif, namun pemikiran Locke memiliki rangka untuk dikembangkannya Trias Politika
oleh Montesquieu.

Trias Politika dibandingkan dengan Kontrak Sosial Rousseau

Trias Politika (Tiga Pembagian Kekuasaan) adalah kekuasaan legislatif sebagai pembentuk
undang-undang, kekuasaan eksekutif yang menjalankan undang-undang, dan kekuasaan
judikatif yang mengadili pelanggaran. Doktrin Trias Politika pertama kali disinggung oleh
John Locke, dan untuk selanjutnya diperjelas oleh Montesquieu (1689-1755). Locke pernah
menyinggung tentang eksekutif dan legislatif, namun melupakan judikatif, walaupun ia tahu
pentingnya pengadilan. Giliran pada taraf Montesquieu ditafsirkan sebagai pemisahan
kekuasaan (separation of powers) .

Latar belakang dari Trias Politika yaitu untuk menjamin adanya kemerdekaan, dan ketiganya
harus terpisah-pisah dikarenakan jika:

· Eksekutif + Legislatif = Tidak akan terjadi kemerdekaan.


· Judikatif + Eksekutif + Legislatif = Tidak akan terjadi kemerdekaan.
· Judikatif + Legislatif = Kehidupan dan kemerdekaan negara dikuasai pengawasan suka-hati,
hakim juga membuat undang-undang.
· Judikatif + Eksekutif = Hakim akan sangat keras dan menindas.

Legislatif pada Trias Politika harus terletak pada seluruh rakyat, dilakukan dengan
perwakilan rakyat. Perwakilan bangsawan, Montesquieu juga bangsawan, terdiri dari dua
kekuasaan, yaitu eksekutif dan judikatif. Kebebasan kekuasaan judikatif yang ditekankan
Montesquieu di sinilah letak kemerdekaan individu dan hak azasi manusia dijamin dan
dipertaruhkan. Berbeda dengan Locke yang memasukkan judikatif pada eksekutif,
Montesquieu, sebagai seorang hakim, menganggap eksekutif dan judikatif adalah berbeda.

Doktrin Trias Politika Montesquieu banyak mempengaruhi orang Amerika saat undang-
undangnya dirumuskan, sehingga Amerika dianggap mencerminkan Trias Politika dalam
konsep aslinya. Misalnya, presiden Amerika tidak dapat dijatuhkan Congress, dan sebaliknya.
Presiden dan menteri dilarang merangkap sebagai anggota Congress, serta presiden tidak
diperkenankan membimbing Congress. Mahkamah Agung berkedudukan bebas, sekali
diangkat presiden, selanjutnya tergantung kelakuannya.

Jika Kontrak Sosial Rousseau dibandingkan dengan Trias Politika maka akan terdapat banyak
perbedaan. Mengingat Trias Politika Montesquieu melanjutkan pemikiran John Locke, bukan
Rousseau. Pemikiran Locke dengan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan federatif serta juga
menganut keterwakilan rakyat inilah yang dimaksud. Rousseau dengan demokrasi
absolutnya, berpikiran masyarakat seluruhnya sebagai pemegang kekuasaan yang sama
dengan penguasanya. Kekuasaan eksekutif dan legislatif sangat tergantung pada rakyat.
Padahal, pemikiran Trias Politika versi Montesquieu ini memisahkan kekuasaan antara
eksekutif, legislatif, dan judikatif, khususnya dengan penyempurnaan segi judikatif. Tidak
seperti Rousseau yang berpikiran kekuasaan rakyat mendominasi, Montesquieu menganggap
kekuasaan harus dipisah dan tidak pada orang yang sama. Namun hal ini juga beresiko
dominasi oleh tiap kekuasaan, oleh karena itulah ada checks and balance.

Checks and Balance dibandingkan dengan Kontrak Sosial Rousseau

Amerika dianggap mencerminkan dipengaruhi doktrin Trias Politika Montesquieu dalam


konsep aslinya. Walaupun ketiganya sudah dipisah sesempurna mungkin, namun para
penyusun UUD Amerika Serikat masih menganggap perlunya menjamin bahwa masing-
masing kekuasaan tidak melampaui batas. Oleh karena itu, solusi yang diambil Amerika
Serikat adalah pengadaan sistem checks and balance (pengawasan dan keseimbangan) di
mana setiap kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi kekuasaan lainnya.

Dalam rangka checks and balance ini karakteristik Trias Politika Amerika Serikat berubah
menjadi:

-Presiden diberi wewenang memveto rancangan undang-undang yang telah diterima


-Congress, namun veto dapat dibatalkan Congress dengan dukungan 2/3 suara dari kedua
Majelis.
-Mahkamah Agung mengecek badan eksekutif dan legislatif melalui judicial review (hak uji).
-Hakim Agung yang diangkat badan eksekutif dapat dibatalkan Congress jika terkena
masalah kriminal.
-Presiden juga dapat di-impeach oleh Congress.
-Presiden boleh menandatangani perjanjian internasional dianggap sah jika Senat
mendukungnya.
-Pengangkatan jabatan-jabatan yang termasuk wewenang Presiden perlu persetujuan Senat.
-Pernyataan perang hanya boleh diselenggarkan Congress.
Jadi, sistem checks and balance ini mengakibatkan satu cabang kekuasaan dalam batas-batas
tertentu dapat turut campur dalam tindakan cabang kekuasaan lain, tidak dimaksud untuk
memperbesar efisiensi kerja (seperti di Inggris dalam fungsi dari kekuasaan eksekutif dan
legislatif), tetapi untuk membatasi kekuasaan dari setiap cabang kekuasaan secara lebih
efektif. Keanehan di Inggris, menurut Montesquieu yang merupakan suri-teladan dari Trias
Politika sama sekali tidak ada pemisahan kekuasaan. Selain itu, negara berbasis komunis
secara tegas menolak Trias Politika.
Mengamati dari beberapa negara yang menganut Trias Politika ada kesulitan dalam praktek
penafsirannya. Ada kecenderungan untuk menafsirkan Trias Politika tidak lagi sebagai
pemisahan kekuasaan (separation of powers), tetapi sebagai pembagian kekuasaan (division
of powers) yang diartikan hanya fungsi pokok yang dibedakan menurut sifatnya serta
diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands), tetapi untuk selebihnya kerjasama di
antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi.Jika pemikiran
Rousseau dibandingkan dengan Trias Politika yang sudah menganut checks and balance jelas
berbeda. Pertama, Trias Politika Montesquieu menganut pemikiran Locke, yang agak berbeda
dengan Rousseau. Kedua, checks and balance adalah pengembangan dari Trias Politika
Montesquieu. Namun, pemikiran Rousseau, dengan tanggung jawab pemerintah kepada
rakyatnya, musyawarah rakyat, merupakan landasan demokrasi modern yang juga
dipertimbangkan.
TUGAS PEMIKIRAN POLITIK BARAT
DEMOKRASI MENURUT PEMIKIRAN JJ ROUSSEAU

DICKYAK ALKALABY
(070913091)
Dr.DWI WINDYASTUTI,MA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK


UNIVERSITAS AIRLANGGA
2011

You might also like