You are on page 1of 30

Perilaku Abnormal pada Anak dan

Remaja
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Abnormal

Disusun oleh:
Prima Septiana V (M2A 004 051)
Tyas Wulandari (M2A 004 073)
Andriani Rahmi (M2A 005 003)
Farida Nurrohmah (M2A 005 030)
Fitria Susanti (M2A 005 034)
Laelatus Syifa S. A (M2A 004 047)
Novita (M2A 005 055)
Waode Azman K (M2A 005 083)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2007
BAB I
PENDAHULUAN

Untuk mengklasifikasikan perilaku abnormal pada anak-anak, hal pertama kita


harus mengetahui apa yang dianggap normal pada usia tersebut. Untuk menentukan apa
yang normal dan abnormal, khusus pada anak dan remaja yang perlu ditambahkan selain
kriteria umum yang telah kita ketahui adalah factor usia anak dan latar belakang budaya.
Banyak masalah yang pertama kali teridentifikasi pada saat anak masuk sekolah. Masalah
tersebut mungkin sudah muncul lebih awal tetapi masih ditoleransi, atau tidak dianggap
sebagai masalah ketika di rumah. Kadang-kadang stres karena pertama kali masuk
sekolah ikut mempengaruhi kemunculannya (onset). Namun, perlu diingat bahwa apa
yang secara sosial dapat diterima pada usia tertentu, menjadi tidak dapat diterima di usia
yang lebih besar. Banyak pola perilaku yang mungkin dianggap abnormal pada masa
dewasa, dianggap normal pada usia tertentu.
Gangguan pada anak-anak ini sering kali di kelompokkan dalam dua kelompok
yaitu eksternalisasi dan internalisasi. Gangguan eksternalisasi ditandai dengan perilaku
yang diarahkan ke luar diri, seperti agresivitas, ketidakpatuhan, overaktivitas, dan
impulsivitas dan termasuk berbagai kategori DSM-IV-TR, yaitu ADHD, gangguan
tingkah laku (GTL), dan gangguan sikap menentang (GSM). Gangguan internalisasi
ditandai dengan pengalaman dan perilaku yang lebih terfokus kedalam diri seperti
depresi, menarik diri dari pergaulan social, dan kecemasan, termasuk juga anxietas dan
mood dimasa anak-anak.
Anak-anak yang memiliki masalah-maslah yang terinternalisasi lebih besar
kemungkinannya untuk tidak tertangani dibandingkan mereka yang memiliki masalah
yang tereksternalisasi yang cenderung lebih mengganggu bagi orang lain. Anak laki-laki
memiliki resiko yang lebih besar untuk mengembangkan banyak masalah di masa kanak-
kanak, berkisar dari autisme sampai hiperaktif hingga ganggua eliminasi. Masalah
kecemasan dan depresi juga mempengaruhi leih banyak anak laki-laki daripada
perempuan. Namun demikian, pada masa remaja gangguan kecemasan dan gangguan
mood lebih umum dijumpai pada anak perempuan dan demikian seterusnya sampai masa
remaja.
BAB II
ISI

A. Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktivitas


Seorang anak yang selalu begerak, mengetuk-ketukkan jari, mengoyang-goyangkan
kaki, mendorong tubuh anak lain tanpa alasan yang jelas, berbicar tanpa henti, dan
bergerak gelisah sering kali disebut hiperaktif. Anak-anak tersebut sulit untuk
berkonsentrasi pada tugasyang dikerjakan dalam waktu tertentu yang wajar.
Diagnosis ADHD tidak tepat untuk anak-anak yang ribut, aktif, atau agak mudah
teralih perhatiannya karena di tahun-tahun awal sekolah anak-anak sering berperilaku
demikian (Whalen, 1983). Anak dengan ADHD mengalami kesulitan mengendalikan
aktifitas dalam berbagai situasi yang menghendaki mereka duduk tenang. Mereka
terdisorganisasi, eratik, tidak berperasaan, kerasa kepala, dan bossy. Banyak anak ADHD
mengalami kesulitan besar untuk bermain dengan anak seusia mereka dan menjalin
persahabatan (Hinshaw & Melnick, 1995; Whalen & Henker, 1985), hal ini mungkin
karena mereka cenderung agresif saat bermain sehingga membuat teman-temannya
merasa tidak nyaman.
Anak ADHD bermain agresif dengan tujuan mencari sensasi sedang anak normal
malakukan hal tersebut dangan tujuan untuk bermain sportif. Anak ADHD mengetahui
tindakan yang dibenarkan secara sosial dalam berbagai situasi hipotesis, namun tidak
mampu mempraktekan pengetahuan tersebut dalam perilaku interaksi sosialnya (Whalen
& Henker, 1985, 1999). Karena simtom-simtom ADHD bervariasai, DSM-IV-TR
mencantumkan tiga subkategori, yaitu:
1. Tipe predominan inatentif: anak-anak yang masalah
utamanya adalah rendahnya konsentrasi.
2. Tipe predominan Hiperaktif-Impulsif: anak-anak yang
masalah utamanya diakibatkan oleh perilaku hiperaktif-impulsif.
3. Tipe kombinasi: anak-anak yang mengalami kedua
rangkaian masalah diatas.
Anak-anak yang mengalami masalah atensi, namun memiliki tingkat aktivitas yang
sesuai dengan tahap perkembangannya, tampak sulit memfokuskan perhatian atau lebih
lambat dalam memproses informasi (Barkley, Grodzinsky, & DuPaul,1992), mungkin
berhubungan dengna masalah pada daerah frontal atau striatal otak (Tannock,1998).
Gangguan ADHD, lebih berhubungan dengan perilaku tidak mengerjakan tugas di
sekolah, kelemahan kognitif, rendahnya prestasi, dan prognosis jangka panjangnya lebih
baik. Berbeda dengan anak yang mengalami gangguan tingkah laku, mereka bertingkah
disekolah dan dimana pun, dan kemungkinan jauh lebih agresif, serta mungkin memiliki
orang tua yang antisosial.
ADHD ini banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Anak yang
mengalami ADHD, menunjukkan aktivitas yang berlebihan, perilaku temperamental, rasa
ingin tahu yang berlebihan, serta sangat energik dalam bermain.

A.1 Teori Biologi ADHD


a. Faktor genetik, penelitian menunjukan bahwa predisposisi genetika terhadap
ADHD kemungkinan berperan. Bila orang tua menderita ADHD, kemungkinan
sebagian anaknya akan mengalami gangguan tersebut (Biederman, dkk, 1995).
Mengenai apa yang diturunkan dalam keluarga sampai saat ini belum ditemukan,
namun studi baru-baru ini menunjukan bahwa ada perbedaan ungsi dan struktur
otak pada anak ADHD dan anak yang tidak ADHD. Frontal lobe pada anak
ADHD kurang responsif terhadap stimulasi (Rubia dkk,1999 ; tannock, 1998),
aliran darah cerebral berkurang (Sieg dkk, 1995). Terlebih lagi beberapa bagian
otak (frontal lobe, nucleus, kaudat, globus pallidus) pada anak ADHD lebih kecil
dari ukuran normal (Castellanos dkk, 1996; Filipek dkk, 1997; Hynd dkk, 1993).
b. Faktor perinatal dan prenatal, berbagai hal yang berhubungan dengan masa-
masa kelahiran, serta berbagai zat yang dikonsumsi ibu saat kehamilan,
merupakan prediktor simtom-simtom ADHD.
c. Racun lingkungan, teori pada tahu 1970-an menyangkut peran racun dalam
terjadinya hiperaktifitas. Zat-zat adiktif pada makanan mempengaruhi kerja
system saraf pusat pada anak-anak hiperaktif. Nikotin, merupakan racun
lingkungan yang dapat berperan dalam terjadinya ADHD.
A.2 Teori Psikologis ADHD
Bruno Bettelheim (1973), mengemukakan teori diathesis-stres mengenai ADHD,
yaitu hiperaktifitas terjadi bila suatu predisposisi terhadap gangguan dipasangkan dengan
pola asuh orang tua yang otoritarian. Pembelajaran juga dapat berperan dalam ADHD,
seperti yang dikemukakan Ross dan Ross (1982), hiperaktivitas dapat merupakan
peniruan perilaku orang tua dan saudara-saudara kandung. Dalam hubungan orang tua-
anak sangat kurang bersifat dua arah dan lebih mungkin merupakan “rantai asosiasi
kompleks” (Hinshaw dkk, 1997). Seperti halnya orang tua anak yang hiperaktif mungkin
memberi lebih banyak perintah dan memiliki interaksi negatif dengan mereka
(a.l.,Anderson, Hinshaw, & Simmel, 1994; Heller dkk, 1996), demikian juga anak-anak
hiperaktivitas diketahui kurang patuh dan memiliki interaksi yang lebih negative dengna
orang tua mereka (Barkley, Karlsson & Pollar; Tallmadge & Barkley, 1983).

A.3 Penanganan ADHD


1). Pemberian Obat Stimulan. Metilfenidat, atau Ritalin, telah diresepkan bagi
ADHD sejak awal tahun 1960-an (Sprague & Gadow, 1976), termasuk
amfetamin, atau Adderall, dan Pemolin atau Cylert. Obat-obatan ini digunakan
untuk mengurangi perilaku menganggu dan meningkatkan konsentrasi. Namun,
penelitian lain mengindikasikan bahwa obat-obatan tersebut tidak dapat
meningkatkan prestasi akademik untuk waktu lama. Efek samping dari obat-
obatan ini adalah hilangnya nafsu makan untuk sementara dan masalah tidur.
2). Penanganan Psikologis. Selain pemberian obat, penanganan yang paling
menjanjikan bagi anak-anak ADHD mencakup pelatihan bagi orang tua dan
perubahan menajemen kelas berdasarkan prinsip-prinsip pengondisian operant.
Program ini mampu untuk memperbaiki perilaku sosial dan akademik. Pada
penanganan ini perilaku anak dipantau dan di rumah dan di sekolah, dan mereka
diberi penguatan untuk berperilaku sesuai dengan harapan.
Fokus program operant ini adalah meningkatkan karya akademik,
menyelesaikan tugas-tugas rumah, atau belajar keterampilan sosial spesifik, dan
bukan untuk mengurangi tanda-tanda hiperaktivitas, seperti berlari ke sana
kemari dan menggoyang-goyangkan kaki. Berbagai intervensi di sekolah bagi
anak ADHD, mencakup pelatihan bagi para guru untuk memahami kebutuhan
unik anak-anak tersebut dan menerapkan teknik-teknik operant tersebut di kelas
(Welsh dkk, 1997), pembimbingan oleh teman sebaya dalam keterampilan
akademik (DuPaul & Henningson,1993), meminta guru-guru untuk memberikan
laporan harian kepada orang tua mengenai perilaku anak di sekolah, yang
ditindaklanjuti dengan hadiah dan konsekuensi di rumah (Kelly, 1990).

B. Gangguan Tingkah Laku


Definisi gangguan tingkah laku pada DSM-IV-TR memfokuskan pada perilaku yang
melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma-norma sosial utama. Tipe perilaku yang
dianggap sebagai simtom gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejian terhadap
orang lain atau hewan, merusakkan kepemilikan, berbohong, dan mencuri. Gangguan
tingkah laku merujuk pada berbagai tindakan yang kasar dan sering dilakukan yang jauh
melampaui kenakalan dan tipuan praktis yang umum dilakukan anak-anak dan remaja.
Seringnya, perilaku ini ditandai dengan kesewenang-wenangan, kekejian dan kurang
penyesalan.
Kriteria gangguan tingkah laku dalam DSM-IV-TR :
1. Pola perilaku yang berulang dan tetap yang melanggar hak-hak dasar orang
lain atau norma-norma sosial konvensional yang terwujud dalam bentuk tiga atau
lebih perilaku dibawah ini dalam 12 bulan terakhir dan minimal satu diantaranya
dalam enam bulan terakhir :
a. Agresi terhadap orang lain dan hewan, contohnya mengintimidasi,
memulai perkelahian fisik, melakukan kekejaman fisik kepada orang lain atau
hewan, memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual
b. Menghancurkan kepemilikan (properti), contohnya membakar,
vandalisme
c. Berbohong atau mencuri, contohnya, masuk dengan paksa ke
rumah atau mobil milik orang lain, menipu, mengutil
d. Pelanggaran aturan yang serius, contohnya tidak pulang ke rumah
hingga larut malam sebelum usia 13 tahun karena sengaja melanggar peraturan
orang tua, sering membolos sekolah sebelum berusia 13 tahun
2. Disabilitas signifikan dalam fungsi sosial, akademik atau pekerjaan
3. Jika orang yang bersangkutan berusia lebih dari 18 tahun, kriteria yang ada
tidak memenuhi gangguan kepribadian anti sosial

Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukkan gangguan
lain. Ada tingkat komorbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah laku dan ADHD. Hal
ini terjadi pada anak laki-laki, namun jauh lebih sedikit yang diketahui mengenai
komorbiditas gangguan tingkah laku dan ADHD pada anak perempuan. Penyalahgunaan
zat juga umum terjadi bersamaan dengan gangguan tingkah laku dimana dua kondisi
tersebut saling memperparah satu sama lain.
Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku dan
komorbid dengan hambatan behavioral memiliki kemungkinan lebih kecil untuk
melakukan kejahatan dibanding mereka yang mengalami gangguan tingkah laku yang
komorbid dengan penarikan diri dari pergaulan sosial. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
anak-anak perempuan yang mengalami gangguan tingkah laku beresiko lebih tinggi
untuk mengalami berbagai gangguan komorbid, termasuk kecemasan, depresi,
penyalahgunaan zat, dan ADHD dibanding dengan anak laki-laki yang memiliki
gangguan tingkah laku.

B.1 Prognosis Gangguan Tingkah Laku


Gangguan tingkah laku di masa kanak-kanak tidak dengan sendirinya berlanjut
menjadi perilaku antisosial di masa dewasa, meskipun memang menjadi faktor yang
mempredisposisi. Studi baru-baru ini, menunjukkan bahwa meskipun sekitar separuh
anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku tidak memenuhi kriteria lengkap
bagi diagnosis tersebut pada pengukuran terkemudian (1-4 tahun kemudian), hampir
semuanya tetap menunjukkan beberapa masalah tingkah laku (Lahey dkk.,1995).
Beberapa individu tampaknya menunjukkan pola perilaku anti sosial yang “tetap
sepanjang hidup”, dengan masalah tingkah laku yang bermula di usia 3 tahun dan
berlanjut menjadi kesalahan perilaku yang serius di masa dewasa. Sementara itu, yang
lain “terbatas di usia remaja”. Orang-orang tersebut mengalami masa kanak-kanak yang
normal, terlibat dalam perilaku antisosial dengan tingkat yang tinggi selama masa renaja,
dan kembali ke gaya hidup tidak bermasalah di masa dewasa.
Lahey, dkk (1995) menemukan bahwa anak laki-laki dengan gangguan tingkah laku
perilaku antisosialnya jauh lebih mungkin untuk berlanjut jika memiliki salah satu orang
tua yang mengalami gangguan kepribadian antisosial atau jika mereka memilki
kecerdasan verbal rendah. Interaksi beberapa faktor individual, seperti temperamen,
psikopatologi yang dialami orang tua, dan interaksi orang tua-anak yang disfungsional,
dan faktor-faktor sosiokultural, seperti kemiskinan, dan dukungan sosial rendah,
berkontribusi terhadap lebih banyaknya kemungkinan timbulnya perilaku agresif di usia
dini dengan sifat tetap.

B.2 Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Tingkah Laku


a. Faktor-faktor biologis. Dalam tiga studi adopsi berskala besar di Swedia,
Denmark, dan Amerika Serikat, mengindikasikan bahwa perilaku kriminal dan
agresif dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan dimana faktor lingkungan
pengaruhnya sedikit lebih besar. Dari studi terhadap orang kembar mengindikasikan
bahwa perilaku agresif (a.l kejam terhadap hewan, berkelahi, merusak kepemilikan)
jelas diturunkan, sedangkan perilaku kenakalan lainnya (a.l mencuri, lari dari rumah,
membolos sekolah) kemungkinan tidak demikian. Kelemahan neurologis, tercakup
dalam profil masa kanak-kanak dari anak-anak yang mengalami gangguan tingkah
laku. Kelemahan tersebut termasuk keterampilan verbal yang rendah, masalah dalam
fungsi pelaksanaan (kemampuan mengantisipasi, merencanakan, menggunakan
pengendalian diri, dan menyelesaikan masalah) dan masalah memori.
b. Faktor-faktor psikologis. Teori pembelajaran yang melibatkan modelling dan
pengondisian operant memberikan penjelasan yang bermanfaat mengenai
perkembangan dan berlanjutnya masalah tingkah laku. Anak-anak dapat mempelajari
agresivitas orang tua yang berperilaku agresif. Anak juga dapat meniriu tindakan
agresif dari berbagai sumber lain seperti televisi. Karena agresi merupakan cara
mencapai tujuan yang efektif , meskipun tidak menyenangkan , kemungkinan hal
tersebut dikuatkan. Oleh karena itu setelah ditiru, tindakan agresif kemungkinan akan
dipertahankan.Berbagai karakteristik pola asuh seperti disiplin keras dan tidak
konsisten dan kurangnya pengawasan secara konsisiten dihubungkan dengan perilaku
antisosial pada anak-anak.
c. Pengaruh dari teman-teman seusia. Penelitian mengenai pengaruh teman seusia
terhadap agresi dan antisocial anak-anak memfokuskan pada dua bidang besar, yaitu:
1) Penerimaan atau penolakan dari teman-teman seusia. Penolakan
menunjukkan hubungan yang kausal dengan perilaku agresif, bahkan dengan
tindakan pengendalian perilaku agresif yang terdahulu (Coie & Dodge, 1998).
2) Afiliasi dengan teman-teman seusia yang berperilaku menyimpang.
Pergaulan dengan teman seusia yang nakal juga dapat meningkatkan
kemungkinan perilaku nakal pada anak (Capaldi & Patterson, 1994).
d. Faktor-faktor sosiologis. Tingkat pengangguran tinggi, fasilitas pendidikan yang
rendah, kehidupan keluarga yang terganggu, dan subkultur yang menganggap
perilaku criminal sebagai suatu hal yang dapat diterima terungkap sebagai faktor-
faktor yang berkontribusi (Lahey dkk, 1999; Loeber & Farrington, 1998). Kombinasi
perilaku antisosial anak yang timbul di usia dini dan rendahnya status sosioekonomi
keluarga memprediksikan terjadinya penangkapan di usia muda karena tindakan
criminal (Patterson, Crosby, & Vuchinich, 1992). Factor-faktor social berperan,
korelasi terkuat dengan kenakalan adalah hiperaktivitas dan kurangnya pengawasan
orang tua.

B.3 Penanganan Gangguan Tingkah Laku


Hal penting bagi keberhasilan dalam penanganan adalah upaya mempengaruhi
banyak system dalam kehidupan seorang remaja (keluarga, teman-teman sebaya, sekolah,
lingkungan tempat tinggal). Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat adalah
bagaimana menghadapai orang-orang yang nurani sosialnya tampak kurang berkembang.
1. Intervensi keluarga, beberapa pendekatan yang paling menjanjikian untuk
menangani gangguan tingkah laku mnecakup intervensi bagi orang tua atau keluarga
dari si anak antisosial. Gerald Patterson dan kolegannya mengembangkan dan
menguji sebuah program behavioral, yaitu Pelatihan Manajemen Pola Asuh (PMP),
dimana orang tua diajari untuk mengubah berbagai respon untuk anak-anak mereka
sehingga perilaku prososial dan bukannya perilaku antisosial yang dihargai secara
konsisten. Para orang tua diajarkan untuk menggunakan teknik-teknik seperti
penguatan positif bila si anak menunjukkan perilaku positif dan pemberian jeda serta
hilangnya perilaku istimewa bila ia berperilaku agresif atau antisosial. Pmp terbukti
mengubah interaksi orang tua-anak, yang pada akhirnya berhubungan dengan
berkurangnya perilaku antisosial dan agresif (Dishion & Andrews, 1995; Dishion,
Patterson & kavenagh, 1992). PMP juga terbukti memperbaiki perilaku para saudara
kandung dan mengurangi depresi pada para ibu yang mengikuti program tersebut
(Kazdin,1985).
2. Penanganan multisistemik (PMS), Henggeler menujukkan keberhasilan
dalam hal mengurangi tingkat penangkapan karena tindak kriminal dalam empat
tahun setelah penanganan (Borduin dkk, 1995). Intervensi ini memandang masalah
tingkah laku sebagai suatu hal yang dipengaruhi oleh berbagai konteks dalam
keluarga dan antara keluarga dan berbagai sistem sosial lainnya. Teknik yang
dipergunakan variasai meliputi teknik perilaku kognitif, system keluarga, dan
manajemen kasus. Keunikan dari terapi ini terletak pada penekanan kekuatan individu
dan keluarga, mengidenikasikan konteks bagi masalah-masalah tingkah laku, yang
berfokus pada masa kini dan berorientasi pada tindakan, dan menggunakan intervensi
yang membutuhkan upaya harian atau mingguan oleh para anggota.
3. Pendekatan kognitif, terapi dengan intervensi bagi orang tua dan keluarga
merupakan komponen keberhasilan yang penting, tetapi penangana semacam itu
banyak memakan biaya dan waktu. Oleh kerena itu, penanganan dengan terapi
kognitif individual bagi anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku dapat
mempaerbaiki tingkah laku mereka, meski tanpa melibatkan keluarga. Contoh:
mengajarkan keterampilan kognitif pada anak-anak untuk mengendalikan kemarahan
mereka menunjukan manfaat yang nyata dalam membantu mereks mengurangi
perilaku agresif. Mereka belajar untuk bertahan dari serangan verbal tanapa merespon
secara agresif dengan menguanakan teknik pengalihan seperti bersenandung,
mengatakan hal-hal yang menyenangkan pada diri sendiri, atau beranjak pergi.
Strategi lain dengan mengajarkan keterampilan moral kepada berbagai kelompok
remaja yang mengalami ganguan perilaku.

C. Disabilitas Belajar
Disabilitas belajar merujuk pada kondisi tidak memadainya perkembangan dalam
suatu bidang akademik tertentu, bahasa, berbicara, atau keterampilan motorik yang tidak
disebabkan oleh retardasi mental, autisme, gangguan fisik yang dapat terlihat, atau
kurangnya kesempatan pendidikan. Anak-anak yang mengalami gangguan ini umumnya
memiliki intelegensi rata-rata atau di atas rata-rata, namun mengalami kesulitan
mempelajari beberapa keterampilan tertentu (misal aritmatika atau membaca) sehingga
kemajuan mereka di sekolah menjadi terhambat. Disabilitas belajar untuk
menggabungkan tiga gangguan yang tercantum dalam DSM-IV-TR yaitu : gangguan
perkembangan belajar, gangguan berkomunikasi, dan gangguan keterampilan motorik.

C.1 Gangguan Perkembangan Belajar


Kriteria Gangguan Perkembangan Belajar dalam DSM-IV-TR :
a. Prestasi dalam bidang membaca, berhitung atau
menulis ekspresif di bawah tingkat yang diharapkan sesuai usia penderita,
pendidikan, dan intelegensi.
b. Sangat menghambat performa akdemik atau
aktivitas sehari-hari.
Gangguan perkembangan belajar dibagi menjadi tiga kategori. Tidak satupun dari
diagnosis yang tepat jika disabilitas tersebut dapat disebabkan oleh defisit sensori, seperti
masalah visual atau pendengaran.
a. Anak dengan gangguan membaca (disleksia) mengalami kesulitan besar
untuk mengenali kata, memahami bacaan, serta umumnya juga menulis ejaan.
Masalah ini terus dialami hingga dewasa. Gangguan ini terjadi 5-10 persen anak
usia sekolah, tidak menghambat penderitanya untuk berprestasi.
b. Gangguan menulis ekspresif menggambarkan hendaya dalam kemampuan
untuk menyusun kata tertulis (termasuk kesalahan ejaan, kesalahan tata bahasa
atau tanda baca, atau tulisan tangan yang buruk) yang cukup parah sehingga dapat
sangat menghambat prestasi akademik atau aktivitas sehari-hari.
c. Anak-anak dengan gangguan berhitung dapat mengalami kesulitan dalam
mengingat fakta-fakta secara cepat dan akurat, menghitung objek dengan benar
dan cepat, atau mengurutkan angka-angka dalam kolom-kolom.

C.2 Gangguan Komunikasi


Beberapa kategori gangguan berkomunikasi, antara lain :
a. Gangguan berbahasa ekspresif, dimana anak
mengalami kesulitan mengekspreksikan dirinya dalam berbicara. Anak tampak
sangat ingin berkomunikasi tetapi sangat sulit untuk menemukan kata-kata yang
tepat. Misalnya tidak mampu mengucapkan kata mobil saat menunjuk sebuah
mobil yang melintas. Kata-kat yang sudah terkuasai terlupakan oleh kata-kata
yang baru dikuasai, dan penggunaan struktur bahasa sangat di bawah tingkat
usianya.
b. Gangguan fonetik, dimana anak menguasai dan
mampu mempegunakan perbendaharaan kata dalam jumlah besar tetapi tidak
dapat mengucapkannya dengan jelas, contohnya biru diucapkan biu. Mereka tidak
menguasai artikulasi suara dari huruf-huruf yang dikuasai terkemudian, seperti r,
s, t, f, z, l, dan c.
c. Gagap, yaitu gangguan kefasihan verbal yang
ditandai dengan satu atau lebih pola bicara berikut ini : seringnya pengulangan
atau pemanjangan pengucapan konsonan atau vokal, jeda yang lama antara
pengucapan satu kata dengan kata berikutnya, mengganti kata-kata yang sulit
dengan kata-kata yang mudah diucapkan, dan mengulang kata. Jumlah laki-laki
yang mengalami masalah ini sekitar 3 kali lebih banyak dari perempuan, biasanya
muncul sekitar usia 5 tahun dan hampir selalu sebelum usia 10 tahun. DSM
memperkirakan bahwa 80% indivisu yang gagap dapatb sembuh tanpa intervensi
profesional sebelum penderita menmcapai usia 16 tahun.

C.3 Gangguan Keterampilan Motorik


Disebut juga gangguan komunikasi perkembangan dimana seorang anak
mengalami hendaya parah dalam perkembangan koordinasi motorik yang tidak
disebabkan oleh retardasi mental atau gangguan fisik lain yang telah dikenal sebagai
serebral palsi. Anak mengalami kesulitan menalikan sepatu dan mengancingkan baju, dan
bila berusia lebih besar kesulitan membuat suatu bangun, bermain bola, dan menggambar
atau menulis. Diagnosis hanya ditegakkan bila hendaya tersebut sangat menghambat
prestasi akademik atau aktivitas sehai-hari.

C.4 Etiologi Disabilitas Belajar


a. Etiologi Disleksia
Kelemahan inti yang membentuk disleksia mencakup berbagai masalah dalam
proses-proses visual/pendengaran dan bahasa. Penelitian menunjukkan adanya satu
masalah atau lebih dalam pemrosesan bahasa yang dapat mendasari disleksia, termasuk
persepsi bicara dan analisis bunyi bahasa ucapan dan hubungannya dengan kata-kata
tertulis (Mann & Braddy, 1988). Beberapa anak tertentu lebih mungkin mengalami
disleksia, yaitu : mereka yang mengalami kesulitan mengenali sajak atau puisi di usia 4
tahun (Bradley & Bryant, 1985); mengalami kesulitan menyebutkan nama objek familiar
dengan cepat pada usia 5 tahun (Scarborough, 1990); dan mereka yang terlambat
menguasai berbagai aturan bentuk kalimat pada usia 2,5 tahun (Scarborough, 1990).
Bukti lain, bahwa berbagai studi keluarga dan anak kembar menegaskan bahwa terdapat
komponen keturunan dalam disleksia, yang kemungkinan dikendalikan oleh kromosom 6
(Cardon dkk. ,1994 ;Fisher dkk. ,1999; Gayan dkk. ,1999; Grigoreko dkk. , 1997)
b. Etiologi Gangguan Berhitung
Terdapat tiga subtipe gangguan berhitung menurut para ahli. Pertama, kelemahan
pada memori verbal semantik dan memicu timbulnya masalah dalam mengingat fakta-
fakta aritmatik, bahkan setelah melalui latihan ekstensif. Tipe ini tampaknya
berhubungan dengan beberapa disfungsi pada belahan kiri otak dan seringkali terjadi
bersamaan dengan gangguan membaca.
Kedua, menyangkut penggunaan strategi yang tidak sesuai dengan tahap
perkembangan dalam menyelesaikan soal-soal aritmatik dan seringnya melakukan
kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal sederhana.
Ketiga, jarang terjadi yaitu yang menyangkut hendaya keterampilan visuospasial,
yang mengakibatkan kesalahan dalam mengurutkan angka-angka dalam kolom atau
melakukan kesalahan menempatkan angka (meletakkan poin desimal di tempat yang
salah).
Secara khusus, tipe disabilitas berhitung yang menyangkut hendaya memori
semantik merupakan tipe yang paling mungkin diturunkan. Sebuah studi terhadap lebih
dari 250 pasangan kembar menunjukkan bahwa faktor-faktor genetis yang sama
mendasari kelemahan membaca dan berhitung pada anak-anak yang mengalami kedua
gangguan tersebut (Gillis & DeFries, 1991).

C.5 Penanganan Disabilitas Belajar


Berbagai program penanganan harus memberikan kesempatan bagi anak-anak
untuk mengalami rasa kemampuan dan self efficacy, mengurangi masalah behavioral
yang diakibatkan oleh rasa frustrasi, mencakup strategi untuk mengatasi masalah
penyesuaian masalah sosial dan emosional sekunder yang mereka alami.
Intervensi untuk Gangguan Belajar (Lyon & Moats, 1988)
1. Model Psikoedukasi. Menekankan pada kekuatan-kekuatan dan
preferensi-preferensi anak dari pada usaha untuk mengoreksi defisiensi yang
mendasarinya. Misalnya anak yang menyimpan informasi auditori lebih baik
dibanding visual akan diajar secara verbal, misalnya mengguanakan rekaman pita,
dan bukan materi-materi visual.
2. Model Behavioral. Mengasumsikan bahwa belajar akademik
dibangun diatas hierarki ketermpilan-keterampilan dasar, atau ’perilaku yang
memampukan (enabling behaviours)”. Kompetensi belajar anak akan dinilai untuk
menentukan letak defisiensi dalam hierarki keterampilan. Program intruksi dan
penguatan perilaku yang disusun secara individual akan membantu anak.
3. Model Medis. Mengasumsikan bahwa gangguan belajar
merefleksikan dalam pengolahan informasi yang memiliki dasar biologis. Program-
program harus diadaptasi untuk memperhatikan defisit-defisit yang mendasarinya ini
dan disesuaikan dengan kebiutuhan anak (Levine, 2000).
4. Model Linguistik. Terfokus pada defisiensi dasar pada bahasa anak.
Menekankan intruksi dalam keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis dengan cara yang logis, berurutan, dan multi indrawi, seperti membaca
dengan keras seraya disupervisi dengan teliti. Model ini mengajarkan keterampilan
bahasa secara bertahap, membantu murid-murid menangkap struktur dan
meggunakan kata-kata (Shaywitz, 1998; Wagner & Torgesen, 1987)
5. Model Kognitif. Berfokus pada bagaimana anak mengatur
pemikiran mereka ketika belajar materi-materi akademik. Anak dibantu untuk belajar
dengan (1) mengenali sifat dari tugas belajar, (2) menerapkan strategi-strategi untuk
menyelesaikan tugas-tugas dan (3) memonitor kesuksesan strategi-strategi mereka.
Para peneliti mengembangkan permainan komputer khusus dan rekaman radio
yang memperlambat pengucapan bunyi. Latihan intensif dapat meningkatkan
keterampilan bahasa anak yang mengalami gangguan bahasa berat .

D. Retardasi Mental
Retardasi mental ialah keterlambatan yang mencakup rentang yang luas dalam
perkembangan fungsi kognitif dan social (APA, 2000).
Kriteria Retardasi Mental dalam DSM-IV-TR :
 Fungsi intelektual yang secara signifikan di bawah rata-rata, IQ kurang dari 70
 Kurangnya fungsi sosial adaptif dalam minimal dua bidang berikut :
komunikasi, mengurus diri sendiri, kehidupan keluarga, keterampilan interpersonal,
pengguanaan sumber daya komunitas, kemampuan untuk mengambil keputusan
sendiri, keterampilan akademik fungsional, rekreasi, pekerjaan, kesehatan dan
kemanan
 Onset sebelum usia 18 tahun

D.1 Kriteria Tradisional untuk Retardasi Mental


Skor Tes Intelegensi. Mereka yang memiliki skor di bawah 70 hingga 75, dua
deviasi standar di bawah rata-rata populasi, memenuhi kriteria “fungsi intelektual umum
secara signifikan di bawah rata-rata.”
Fungsi Adaptif. Merujuk pada penguasaan keterampilan masa kanak-kanak
seperti menggunakan toilet dan berpakaian, memahami konsep waktu dan uang, mampu
menggunakan peralatan, berbelanja, dan melakukan perjalanan dengan transportasi
umum, serta mengembangkan responsivitas sosial.
Usia Onset. Gangguan retardasi mental terjadi sebelum usia 18 tahun, untuk
mencegah mengklasifikasikan kelemahan intelegensi dan perilaku adaptif yang
disebabkan oleh cedera atau sakit yang terjadi kemudian dalam hidup sebagai retardasi
mental.

D.2 Klasifikasi Retardasi Mental


 Retardasi Mental Ringan (IQ 50 hingga 70). Di usia remaja akhir dapat
mempelajari ketrampilan akademik setara dengan kelas enam. Ketika dewasa,
mampu melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan, meski masih
membutuhkan bantuan dalam masalah sosial dan keuangan. Mereka bisa menikah
dan mempunyai anak.
 Retardasi Mental Sedang (IQ 35-40 hingga 50-55). Mereka dapat
mengalami kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat
keterampilan motorik normal. Dengan banyak bimbingan dan latihan, mereka
dapat bepergian sendiri di tempat yang tidak asing bagi mereka.
 Retardasi Mental Berat (IQ 20-25 hingga 35-40). Memiliki abnormalitas
fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor. Mereka
hanya dapat melakukan sedikit aktivitas karena kerusakan otak yang parah.
Mereka mampu melakukan pekerjaan yang sangat sederhana dengan supervisi
terus menerus.
 Retardasi Mental Sangat Berat (IQ di bawah 20-25). Mereka membutuhkan
supervisi total dan seringkali harus diasuh sepanjang hidup mereka. Sebagian
besar memiliki abnormalitas fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat
berjalan sendiri ke manapun.

D.3 Etiologi Retardasi Mental


Penyebab spesifik yang dapat diidentifikasi umumnya adalah penyebab biologis:
1. Anomali Genetik atau kromosom. Abnormalitas kromosom terjadi pada
kurang dari 5 % dari seluruh kehamilan yang dapat bertahan. Secara keseluruhan,
sekitar separuh dari 1 % bayi yang dilahirkan mengalami abnormalitas kromosom
(Smith, Bierman, & Robinson, 1978). Sebagian besar bayi tersebut meninggal sesaat
setelah dilahirkan. Bayi yang dapat bertahan, mayoritas mengalami Sindroma Down
atau trisomi 21.
2. Penyakit Gen Resesif. Salah satu penyakit tersebut adalah fenilketonuria
(PKU) dimana terjadi defisiensi enzim hati (fenilalanin hidroksilase) yang pada
akhirnya menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki.
3. Penyakit Infeksi. Konsekuensi paling terjadi dalam trimester pertama dimana
janin belum memiliki respon imunologis yang dapat dideteksi, yaitu sistem imunnya
belum berkembang untuk melawan virus.
4. Kecelakaan. Dapat menyebabkan berbagai cedera otak dalam tingkat yang
bervariasi dan retardasi mental.
5. Bahaya Lingkungan. Beberapa polutan seperti merkuri, timah dapat
menyebabkan keracunan dan retardasi mental.

D.4 Pencegahan dan Penanganan Retardasi Mental


Penanganan Residensial
Sejak tahun 1975, individu yang mengalami retardasi mental berhak mendapatkan
penanganan yang sesuai dalam lingkungan dengan batasan yang sangat minimal. Orang
dewasa dengan retardasi mental sedang, tinggal di tempat sederhana dan disediakan
perawatan medis. Mereka didorong untuk berpartisipasi dalam tugas rutin rumah tangga
semampu mereka. Mereka yang mengalami retardasi mental berat, tinggal di rumah
perawatan yang dilengkapi dengan layanan pendidikan dan psikologis.
Intervensi Behavioral Berbasis Pengondisian Operant
Dalam metode operant, anak-anak diajari berbagai keterampilan selangkah demi
selangkah dan berurutan. Prinsip-prinsip pengondisian operant kemudian diterapkan
untuk mengajarkan berbagai komponen aktivitas pada anak, juga digunakan untuk
mengurangi perilaku yang tidak pada tempatnya dan perilaku mencederai diri sendiri.
Intervensi Kognitif
3. Latihan Inruksional Diri mengajari mereka yang mengalami
retardasi mental untuk memandu upaya penyelesaian masalah mereka melalui kata-
kata yang diucapkan.
Intruksi dengan Bantuan Komputer
Komponen visual dan auditori dalam komputer dapat mempertahankan
konsentrasi para siswa yang sulit berkonsentrasi. Komputer dapat memenuhi kebutuhan
akan banyaknya pengulangan materi tanpa menjadi bosan atau tidak sabar seperti yang
dapat terjadi pada guru.

E. Gangguan Autistik (Gangguan Perkembangan Pervasif)


E.1 Karakteristik Gangguan Autistik
Individu autis tidak mampu berhubungan dengan orang lain secara wajar. Mereka
memiliki keterbatasan yang parah dalam bahasa dan keinginan obsesif yang kuat. Mereka
mengalami ketertarikan dan menciptakan kelekatan kuat dengan berbagai benda-benda
mati dan berbagai benda mekanis.
Kekurangan Komunikasi. Mengoceh (babbing), istilah yang menggambarkan
ucapan bayi sebelum mereka mulai mengucapkan kata-kata sebenarnya, jarang dilakukan
oleh bayi autis. Pada usia 2 tahun, sekitar 50 % anak autis tidak pernah belajar berbicara
sama sekali. Mereka yang jarang belajar berbicara, bicaranya mencakup berbagai
keanehan. Salah satu cirinya adalah ekolalia, dimana anak mengulangi, biasanya dengan
ketepatan luar biasa, perkataan orang lain yang didengarnya. Abnormalitas lain yang
umum terjadi adalah pembalikan kata ganti. Anak merujuk dirinya sendiri dengan kata
“ia”, atau “kamu” atau dengan menyebut nama mereka sendiri. Neologisme, kata-kata
ciptaan atau kata-kata yang digunakan dengan cara tidak biasa. Misalnya anak 2 tahun,
dapat menyebut milk (susu) dengan kata “moyee” dan terus berlanjut hingga melewati
masa dimana anak normal sudah bisa mengucapkannya. Anak-anak dengan autisme
sangat kaku dalam menggunakan kata-kata. Kelemahan komunikasi tersebut dapat
menjadi penyebab kelemahan sosial pada mereka. Meskipun mereka telah belajar
berbicara, mereka seringkali kurang memiliki spontanitas verbal dan jarang berekspresi
secara verbal serta penggunaan bahasa mereka tidak selalu tepat (Paul, 1987).
Tindakan Repetitif dan Ritualistik. Anak dengan autis dapat menjadi sangat
marah bila terjadi perubahan dalam rutinitas harian dan situasi sekeliling mereka.
Karakteristik obsesional juga terdapat dalam perilkau anak autis dengan cara yang
berbeda. Mereka juga memiliki perilaku stereotipik, gerakan tangan ritualistik yang aneh,
dan gerkan ritmik lainnya, seperti menggoyangkan tubuh tanpa henti, berjalan dengan
berjinjit. Menunjukkan fokus yang berlebihan pada bagian-bagian objek (misalnya
memutar roda moil-mobilan secara berualang-ulang,) atau kelekatan yang tidak biasa
terhadap objek-objek (seperti membawa seutas tali).
Kemunculannya (onsetnya) terjadi sebelum usia 3 tahun yang tampak dari fungsi
yang abnormal pada paling tidak satu dari hal-hal berikut ini: perilaku sosial, komunikasi,
atau bermain imjinatif.

E.2 Prognosis Gangguan Autistik


Berdasarkan kajiannya terhadap semua studi yang dipublikasikan, Lotter (1978)
menyimpulkan bahwa 5 hingga 17 % anak-anak autis yang dapat melakukan penyesuaian
yang relatif baik pada masa dewasa, menjalani hidup mandiri, namun tetap mengalami
beberapa masalah residual seperti kegugupan sosial. Sebagian besar menjalani kehidupan
yang terbatas dan sekitar separuhnya dirawat di institusi mental.
Individu autistik yang tidak mengalami retardasi mental dan memiliki
keberfungsian tinggi mengindikasikan bahwa sebagian besar tidak membutuhkan
perawatan di suati institusi dan beberapa diantaranya mampu belajar di perguruan tinggi
dan membiayai diri sendiri dengan bekerja (Yirmia & Sigman, 1991). Namun banyak
juga yang mampu berfungsi secara mandiri tetap menunjukkan hendaya dalam hubungan
social.

E.3 Etiologi Gangguan Autistik


Basis Psikologis
1). Teori psikoanalisis
Yang paling dikenal adalah teori yang dikemukakan oleh Bruno Bettelhem (1967)
dimana asumsi dasarnya bahwa autis disebabkan oleh pengalaman masa lalu. Balita dapat
menolak orang tuanya dan mampu merasakan perasaan negatif mereka. Bayi melihat
tindakannya hanya berdampak kecil pada perilaku orang tua yang tidak responsif. Maka,
si anak kemudian meyakini bahwa ia tidak memiliki danpak apapun pada dunia,
kemudian menciptakan “benteng kekosongan” autisme untuk melindungi diri dari
penderitaan dan kekecewaan.
2). Teori Behavioral
Beberapa teori mengemukakan teori bahwa pengalaman belajar tertentu di masa
kanak-kanak menyebabkan autisme. Ferster (1961), berpendapat bahwa tidak adanya
perhatian dari orang tua, terutama ibu, mencegah terbentuknya berbagai asosiasi yang
menjadikan manusia sebagai penguat sosial.

Basis Biologis
1). Faktor-Faktor Genetik
Resiko autisme pada saudara-saudara kandung dari orang-orang yang mengalami
gangguan tersebut sekitar 75 kali lebih besar dibanding jika kasus indeks tidak
mengalami gangguan autistik (McBride, Anderson, & Shapiro, 1996).dalam studi
terhadap orang kembar, menemukan 60-91 % kesesuaian bagi autisme antara kembar
identik, dibanding dengan tingkat kesesuaian 0-20 % pada kembar fraternal (Bailey dkk. ,
1995 ; LeCouter dkk., 1996 ; Steffenberg dkk.,1989).
2). Faktor-Faktor Neurologis
Dari berbagai studi EEG, banyak anak autis yang memiliki pola gelombang otak
abnormal, adanya tanda-tanda disfungsi otak. Abnormalitas neurologis tersebut
menunjukkan bahwa dalam masa perkembangan otak mereka, sel –sel otak gagal
menyatu dengan benar dan tidak membentuk jaringan koneksi seperti terjadi dalam
perkembangan otak secara normal.
Prevalensi autisme pada anak yang ibunya terinfeksi rubella semasa hamil hampir 10
kali lebih besar dibanding pada anak-anak dalam popilasi umum. Pada para individu
dengan autisme, berbagai daerah otak yang berhubungan dengan pemrosesan ekspresi
wajah (lobus temporalis) dan emosi (amigdala) tidak aktif selama melakukan tugas
tersebut (Critchley dkk., 2001).

E.4 Penanganan Gangguan Autistik


Penanganan untuk anak autis biasanya mencoba mengurangi perilaku mereka
yang tidak wajar dan meningkatkan keterampilan komunikasi dan sosial. Meski teori
biologis labih banyak mendapat dukungan empiris, intervensi psikologislah yang paling
menjanjikan.
Masalah Khusus dalam Menangani Anak dengan Autis
Ada beberapa karakteristik yang dimiliki anak autis yang membuat mereka sulit
untuk ditangani, antara lain :
 Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik
terhadap perubahan rutinitas dan karakteristik serta tujuan utama penanganan
mencakup perubahan.
 Pengisolasian diri dan gerakan stimulasi diri yang
mereka lakukan dapat menghambat pengajaran yang efektif.
 Sangat sulit menemukan cara untuk memotivasi anak
dengan autis. Penguat harus eksplisit, konkret dan sangat menonjol.
 Selektivitas yang berlebihan dalam mengarahkan
perhatian. Jika mereka sudah terfokus pada satu hal atau benda, yang lain akan
terabaikan sama sekali.
Penanganan Behavioral Untuk Anak dengan Autis
Dengan Modelling dan Pengondisian Operant, para terapis perilaku mengajari
anak-anak autis untuk berbicara, mengubah bicara ekolalik mereka, mendorong mereka
untuk bermain dengan anak lain, dan membantu mereka secara umum menjadi lebih
responsif kepada orang dewasa.
Ivar Lovaas menjalankan programoperant intensif bagi anak autis yang sangat
muda ( di bawah usia 4 tahun). Terapi mencakup semua aspek kehidupan anak selama
lebih dari 40 jam seminggu dalam waktu lebih dari 2 tahun. Para orang tua diberi
pelatihan ekstensif sehingga penanganan dapat terus dilakukan hampir selama waktu
terjaga anak-anak tersebut. Semua anak diberi hadiah bila berperilaku kurang agresif,
lebih patuh, dan lebih berperilaku pantas secara sosial, misalnya berbicara dan bermain
dengan anak lain. Tujuan program ini adalah membaurkan anak-anak tersebut dengan
asumsi bahwa anak autis seiring membaiknya kondisi mereka, akan lebih memperolah
manfaat bila berbaur bersama anak normal. Pendidikan yang diberika oleh orang tua bagi
anak dari pada penanganan berbasis klinik atau rumah sakit. Koegel dan para koleganya
(1982) menunjukkan bahwa 25 hingga 30 jam pelatihan bagi orang tua sama efektifnya
dengan 200 jam penanganan langsung di klinik dalam hal memperbaiki perilaku anak
autis. Namun Koegel berpendapat bahwa dari pada mengajari para orang tua untuk
memfokuskan pada mengubah perilaku bermasalah yang ditargetkan secara individual
dengan cara berurutan, orang tua akan lebih efktif bila diajari untuk terfokus pada
meningkatkan motivasi dan responsivitas umum anak autis mereka. Misalnya,
mengjinkan anak memilih bahan pengajaran, memberi penguat alami (pujian, bermain)
dari pada pengaut berupa makanan, dan menguatkan upaya merespon serta memperbaiki
respon dapat meningkatkan interaksi dan komunikasi keluarga. Salah satu intervensi
berbasis komunitas yang berupaya melibatkan orang tua dalam proses penanganan adalah
Treatment and Education of Autistic and related Communication Handicapped Children
(TEACHC).
Penanganan Psikodinamik bagi Anak-Anak Autis
Menurut Bruno Bettelheim (1967, 1974), atmosfer yang hangat dan penuh kasih
sayang harus diciptakan untuk mendorong si anak memasuki dunia. Kesabaran sebagai
penerimaan positif tanpa syarat diyakini merupakan hal yang perlu dilakukan oleh anak
autis untuk memulai mempercayai orang lain dan untuk mengambil kesempatan dalam
membangun hubungan dengan orang lain.
Penanganan dengan Obat-Obatan
Obat yang paling umum digunakan adalah haloperidol, suatu obat antipsikotik
yang sering digunakan untuk menangani skizofrenia. Beberapa studi menunjukkan bahwa
obat ini mengurangi penarikan diri dari kehidupan sosial, perilaku motorik stereotipik,
dan perilaku maladaptif, seperti melukai diri sendiri dan agresi.namun, obat ini tidak
menunjukkan efek positif untuk aspek-aspek lain gangguan autistik, seperti hubungan
interpersonal yang abnormal dan hendaya bahasa.
Para peneliti meneliti suatu antagonis reseptor opioid, neltrakson, dan
menemukan bahwa obat ini mengurangi hiperaktivitas pada anak anak autis dan cukup
meningkatkan perilaku memulai interaksi sosial. Selain itu juga menunjukkan sedikit
peningkatan dalam perilaku memulai komunikasi. Namun obat tersebut tampaknya tidak
berpengaru pada simtom-simtom utama autisme, dan beberapa bulti menunjukkan bahwa
dalam dosis tertentu obat tersebut dapat meningkatkan perilaku melukai diri sendiri
(Anderson dkk, 1997).

F. KECEMASAN DAN DEPRESI


Kecemasan dianggap tidak normal apabila berlebihan dan menghambat fungsi
akdemik dan soaial atau menjadi menyusahkan atau persisten. Beberapa gangguan
kecemasan yang dapat dialami oleh anak dan remaja antara lain fobia spesifik, fobia
sosial, gangguan kecemasan menyeluruh, PTSD, dan gangguan mood, termasuk depresi
mayor dan gangguan bipolar. Diperkirakan 8%-9% anak-anak usia 10-13 tahun pernah
mengalami depresi mayor selama setahun (Goleman, 1994a). perbedaan gender yang
jelas yampak setelah usia 15 tahun, dimana jumlah remaja perempuan yang mengalami
depresi dua kali lebih banyak dari pada laki-laki (Hankin dkk.,1998;Lewinsohn, rohde, &
Seeley, 1994).
Gangguan Kecemasan akan Perpisahan
Gangguan kecemasan akan perpisahan ditandai oleh ketakutan yang berlebihan
akan perpisahannya dari orang tua atau pengasuh lainnya. Anak-anak dengan gangguan
ini cenderung terikat pada orang tua dan mengikuti kemana pun mereka berada di
lingkungan rumahnya. Anak tersebut dapat mengemukakan kecemasan tentang kematian
dan memaksa seseorang untuk menemani saat mereka tidur. Mereka seringkali menglami
mimpi buruk, salit perut, mual, dan muntah ketika mengantisipasi perpisahan. Gangguan
ini terjadi sekitar 4% anak dan remaja awal, dapat berlangsung sampai dewasa,
menyebabkan perhatian yang berlebihan pada keselamatan nak-anak dan pasangan serta
kesulitan mentoleransi perpisahan apapun dari mereka. Perkembangan gangguan ini
sering muncul setelah adanya kejadian hidup yang menekan, seperti kematian, kondisi
sakit, perubahan sekolah atau rumah.
Perpektif tentang Gangguan Kecemasan di Masa Kanak-Kanak
Teoretikus psikoanalisis berpendapat bahwa kecemasan-kecemasan dan ketakutan
pada masa kecil seperti yang terjadi pada orang dewasa, melambangkan konflik-konflik
yang tidak disadari. Teoretikus kognitif memfokuskan pada peran bias-bias kognitif yang
mendasari reaksi kecemasan, seperti meragukan kemampuandalam mengatasi masalah,
menginterpretasikan situasi-situasi ambigu sebagai sesuatu yang mengancam,
mengharapkan hasil yang negatif, melakukan self-talk yang negatif.
Teoretiokus belajar menyatakan bahwamunculnya kecemasan menyeluruh dapat
menyentuh tema-tema yang luas, seperti ketakutan akan penolakan atau kegagalan yang
dibawa pada berbagai situasi. Gaktor genetik dapat memegang peranan dalam kecemasan
akan perpisahan dan gangguan kecemasan lain disamping masalah interaksi sosial
(Coyle, 2001).
Depresi pada Masa Kanak-Kanak dan Remaja
Anak-anak dan remaja yang mengalami depresi dapat memiliki perasaan tidak
berdaya, pola berpikir yang lebih terdistorsi, kecenderungan untuk menyalahkan diri
sendiri sehubungan dengan kejadian-kejadian negatif, serta self-esteem. Self-confidence,
dan depresi akan kompetensi yang lebih rendah dibandingkan dengan teman dsebaya
yang tidak depresi (Lewinsohn dkk.,1994; Kovacs, 1996). Mereka sering melaporkan
adanya episode kesdiahn danm menangis, merasa apatis, sulit tidur, lelah, dan kurang
nafsu makan. Mereka memiliki keinginan untuk bunuh diri bahkan mencoba untuk bunuh
diri.
Nak-anak dan remaja yang depresi mungkin gagal melabelk perasaan mereka
sebagai depresi. Sebagian dari masalahnya adalah perkembangan kognitif. Anak biasanya
tidak mampu mengenali perasaan internal sampai usia 7 tahun. Bahkan kadang samapi
remaja, mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka alami adalah depresi.
Lamanya episode depresi mayor pada anak-anak dan remaja kira-kira 11 bulan,
tetapi episode individual bisa mencapai 18 bulan pada beberapa kasus (Goleman, 1994a)
dengan tingkat sedang dapat bertahan samapi beberapa tahun dan amat mempengaruhi
prestasi sekolah dan fungsi sosial.
Anak-anak yang depresi juga kurang memiliki berbagai keterampilan, termasuk
keterampilan akademik, atletik dan sosial. Mereka sulit berkonsentrasi di sekolah dan
mengalami hendaya memori sehingga sulit meningkatkan nilai mereka. Depresi pada
anak jarang terjadi dengan sendirinya. Mereka umumnya mengalami gangguan psikologis
laian seperti CD atau ODD.
Korelasi dan PenangananDepresi pada Masa Kanak-Kanak dan Remaja
Anak-anak dan remaja depresi cenderung mengadopsi gaya kognitif yang ditandai
oleh sikap negatif terhadap diri sendiri dan masa depan. Secara keseluruhan, perubahan
kognisi pada anak-anak yang depresi meliputi hal-hal berikut :
Mengharapkan yang terburuk (pesimis)
Membesar-besarkan konsekuaensi dari kejadian-kejadian yang negatif
c.Mengasumsikan tanggung jawab pribadi untuk hasil yang negatif, walaupun tidak
beralasan
Secara selektif hanya memperhatikan aspek-aspek dari berbagai kejadian
Terapi kognitif behavioral yang digunakan untuk menangani anak dan remaja
depresi biasanya melibatkan model keterampilan coping dimana anak-anak dan remaja
memperoleh keterampilan sosial (misalnya belajar bagaimana memulai percakapan, atau
berteman) untuk meningkatkan kemungkinan memperoleh reinforcement sosial. Terapi
ini biasanya uga mencakup pelatihan dalam keterampilan pemecahan masalah dan cara-
cara untuk meningkatkan frekuensi dari aktivitas yang menyenangkan serta mengubah
gaya berpikir depresi.
Terapi keluarga dapat bermanfaat dalam membantu keluarga memecahkan
konflik-konflik dan mengatur kembali hubungan mereka sehingga anggota keluarga
dapat menjadi lebih suportif satu sama lain.
Antidepresan tipe SSRI, seperti prozac, cukup menjanjikan dalam mengatasi
depresi anak-anak dan remaja. Litium juga digunakan dan umumnya memberikan hasil
yang baik dalam mengatasi anak-anak dan remaja dengan gangguan bipolar.
Bunuh diri pada anak dan remaja. Beberapa faktor yang diasosiasikan dengan
peningkatan resiko bunuh diri diantara anak dan remaja :
a. Gender. Anak perempuan memiliki
resiko tiga kali lebih besar untuk melakukan usaha bunuh diri. Namum anak laki-laki
cenderung lebih berhasil melakukannya, mungkin mereka lebih memilih cara-cara
yang mematikan.
b. Usia. Mereka yang berada pada usia
remaja akhir atau dewasa awal (15-24 tahun) beresiko lebih besar dibandingkan anak
dan remaja awal.
c. Geografi. Remaja yang tinggal di
pemukiman yang kurang padat memiliki resiko lebih besar untuk bunuh diri.
d. Ras. Tingkat bunuh diri pada remaja Afrika Amerika, Asia Amerika, dan
Hispanik Amerika sekitar 30%-60% lebih rendah dari pada remaja kulit putih non
Hispanik.
e. Depresi dan Keputusasan.
f. Perilaku bunuh diri sebelumnya. Seperempat dari remaja yang melakukan
percobaan bunuh diri sudah pernah mencoba sebelumnya. Lebih dari 80% remaja
yang bunuh diri sudah pernah membicarakan hal tersebut sebelumnya. Sejarah bunuh
diri dalam keluarga meningkatkan resiko bunuh diri pada remaja.
g. Masalah-masalah keluarga. 75% remaja melakukan bunuh diri karena adanya
masalah dalam keluarga.
h. Kejadian-kejadian yang menimbulkan stres. Misalnya saja, putus cinta dengan
pacar, kehamilan di luar nikah, masalah di sekolah.
i. Penyalahgunaan obat.
j. Penularan sosial. Remaja dapat meromantisasi bunuh diri sebagai suatu aksi
kepahlawanan yang menantang.
G. GANGGUAN ELIMINASI
Enuresis
Enuresis berasal dari bahasa Yunani en-, yang berarti “di dalam” dan auron, yang
berarti “urine”. Enuresis adalah kegagalan mengontrol BAK setelah seseorang mencapai
usia “normal” untuk mampu melakukan kontrol. Enuresis diperkirakan mempengaruhi
7% anak laki-laki dan 3% anak perempuan usia 5 tahun. Gangguan ini biasanya hilang
dengan sendirinya pada usia remaja atau sebelumnya, walaupun pada 1% kasus masalah
ini berlanjut sampai dewasa (APA, 2000).
Enuresis dapat terjadi selama tidur malam saja, selama anak terjaga saja, atau
keduanya. Enuresis saat tidur malam saja adalah tipe yang paling umum, dan enuresis
yang muncul saat tidur disebut mengompol.
Ciri-ciri diagnostik dari Enuresis
 Anak berulang kali mengompol di tempat tidur atau
pakaian (baik disengaja maupun tidak).
 Usia kronologis anak minimal 5 tahun (atau anak
berada pada tingkat perkembangan yang setara).
 Perilaku tersebut muncul setidaknya dua kali seminggu
selama 3 bulan, atau menyebabkan hendaya yang signifikan dalam fungsi atau distres.
 Gangguan ini tidak memiliki dasar organik.
Perspektif Teoretis. Teori psikodinamika mengemukakan bahwa enuresis dapat
mempresentasikan ekspresi kemarahan terhadap orang tua karena pelatihan BAK dan
BAK yang keras. Teoretikus belajar menekankan bahwa enuresis muncul paling sering
pada anak-anak dengan orang tua yang mencoba melatih mereka sejak usia dini.
Kagagalan pada masa awal dapat menghubungkan kecemasan dengan usaha untuk
mengontrol BAK.
Enuresis primer, ditandai oleh mengompol yang terus menerus dan tidak pernah
mampu untuk mengontrol BAK, diturunkan secara genetis. Enuresis sekunder tampak
pada anak-anak yang memiliki masalah setelah mampu mengontrol BAK dan
diasosiasikan dengan mengompol secara berkala.
Penanganan. Enuresis biasanya hilang dengan sendirinya setelah anak-anak
menjadi dewasa. Metode behavioral mengondisikan anak-anak untuk bangun bila
kandung kemih mereka penuh. Salah satu contohnya adalah metode bel dan bantalan dari
Mowrer. Caranya adalah dengan meletakkan bantalan di bawah anak yang sedang tidur.
Bila bantalan basah, sirkuit listrik menutup menyebabkan bel berbunyi dan
membangunkan anak yang masih tidur.setelah beberapa kali pengulangan, anak-anak
belajar untuk bangun sebagai respon dari tekanan kandung kemih sebelum mereka
mengompol. Teknik ini biasanya dilakukan dengan metode classical conditioning.
Terapi obat dapat dilakukan dengan menggunakan flufoxamine, sebuah SSRI tipe
anti depresan, bekerja pada sistem otak yang mengontrol BAK.

Enkopresis
Enkopresis berasal dari bahasa Yunani en- dan kopros, yang artinya “feses”.
Enkopresis adalah kurangnya kontrol terhadap keinginan buang air besar yang bukan
disebabkan oleh masalah organik. Anak harus memiliki usia kronologis minimal 4 tahun,
atau pada anak-anak dengan perkembangan yang lambat, usia mentalnya minimal 4 tahun
(APA, 2000). Sekitar 1% dari anak usia 5 tahun menederita enkopresis. Gangguan ini
lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Enkopresis jarang terjadi pada usia remaja kecuali
mereka yang mengalami retardasi mental yang parah atau intens. Faktor-faktor
predisposisi yang mungkin diantaranya adalah toilet training yang tidak konsisten atau
tidak lengkap dan sumber stres psikologis, seperti kelahiran saudara sekandung atau
mulai bersekolah.
Soiling (mengotori), tidak seperti enuresis, lebih sering terjadi pada siang hari.
Hal ini akan memalukan bagi anak. Anak-anak membuat jarak dengan teman-temannya
atau pura-pura sakit agar bisa tinggal di rumah.
Metode operant conditioning dapat membantu dalam mengatasi soiling. Disini
diberikan reward (dengan pujian atau cara-cara lain) untuk keberhasilan usaha self-
control dan hukuman untuk ketidaksengajaan (misanya, dengan memberi peringatan agar
lebih memperhatikan rasa ingin BAB dan meminta anak untuk membersihkan pakaian
dalamnya). Bila enkopresis bertahan, direkomendasikan evaluasi medis dan psikologis
untuk menentukan kemungkinan penyebab dan penanganan yang tepat.
Ringkasan jurnal
Judul jurnal: Deteksi Dini ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders)
Oleh: Dr Widodo Judarwanto SpA,
Ringkasan jurnal

Diagnosis and Statistic Manual (DSM IV) menyebutkan prevalensi kejadian


ADHD pada anak usia sekolah berkisar antara 3 hingga 5 persen. Lebih sering pada anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan. Secara epidemiologis rasio kejadian dengan
perbandingan 4 : 1. Namun semakin lama tampaknya semakin meningkat. Sering
dijumpai pada anak usia pra sekolah dan usia sekolah, terdapat kecenderungan keluhan
ini akan berkurang setelah usia Sekolah Dasar. Meskipun tak jarang beberapa manifestasi
klinis tersebut dijumpai pada remaja atau orang dewasa. ADHD adalah gangguan
perkembangan yang mempunyai onset gejala sebelum usia 7 tahun. Setelah usia anak,
akan menetap saat remaja atau dewasa. Diperkirakan penderita ADHD akan menetap
sekitar 15-20% saat dewasa. Sekitar 65% akan mengalami gejala sisa saat usia dewasa
atau kadang secara perlahan menghilang. Angka kejadian ADHD saat usia dewasa sekitar
2-7%. Predisposisi kelainan ini adalah 25% pada keluarga dengan orang tua yang
membakat.
Ada tiga gejala utama yang nampak dalam perilaku anak ADHD, yaitu inatensi,
hiperaktif, dan impulsif. Gangguan tersebut sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi
sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi,
misalnya di rumah dan di sekolah. Sekitar 50-60% penderita ADHD didapatkan
sedikitnya satu gangguan perilaku penyerta lainnya.

PENANGANAN DINI HIPERAKTIFITAS


Terapi yang diterapkan terhadap penderita ADHD haruslah bersifat holistik dan
menyeluruh. Penanganan ini hendaknya melibatkan multi disiplin ilmu yang berpengaruh
terhadap penderita secara bersama-sama.
Terapi medikasi atau farmakologi adalah penanganan dengan menggunakan obat-
obatan. Sebelumnya, diagnosa ADHD haruslah ditegakkan lebih dulu dan pendekatan
terapi okupasi lainnya secara simultan juga harus dilaksanakan agar penanganannya lebih
efektif.
Terapi nutrisi dan diet. Diantaranya adalah keseimbangan diet karbohidrat,
penanganan gangguan pencernaan, penanganan alergi makanan atau reaksi simpang
makanan lainnya.
Terapi biomedis dilakukan dengan pemberian suplemen nutrisi untuk mengatasi
defisiensi mineral, essential Fatty Acids, gangguan metabolisme asam amino dan
toksisitas Logam berat. Terapi inovatif yang pernah diberikan terhadap penderita ADHD
adalah terapi EEG Biofeed back, terapi herbal, pengobatan homeopatik dan pengobatan
tradisional Cina seperti akupuntur.
Terapi okupasi. Diantaranya, Sensory Integration (AYRES), snoezelen,
neurodevelopment Treatment (BOBATH), modifkasi perilaku, terapi bermain.
STIMULASI DINI
Terapi modifikasi perilaku harus melalui pendekatan perilaku secara langsung,
dengan lebih memfokuskan pada perubahan secara spesifik. Pendekatan ini cukup
berhasil dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial, bahasa dan perawatan diri
sendiri, serta mengurangi perilaku yang tidak diinginkan. Modifikasi perilaku dapat
menghindarkan anak dari perasaan frustrasi, marah, dan berkecil hati menjadi suatu
perasaan yang penuh percaya diri.
Terapi bermain sangat penting untuk mengembangkan ketrampilan, kemampuan
gerak, minat dan terbiasa dalam suasana kompetitif dan kooperatif dalam melakukan
kegiatan kelompok. Bermain juga dapat dipakai untuk sarana persiapan untuk beraktifitas
dan bekerja saat usia dewasa.
Umpan balik, dorongan semangat, dan disiplin merupakan pokok dari upaya
perbaikan perilaku anak. Umpan balik diberikan agar anak bersedia melakukan sesuatu
dengan benar disertai dengan dorongan semangat dan keyakinan bahwa dia mampu
mengerjakan. Keberhasilannya haruslah diberi penghargaan yang tulus baik berupa
pujian atupun hadiah tertentu yang bersifat konstruktif. Bila hal ini tidak berhasil dan
anak menunjukkan tanda-tanda emosi yang tidak terkendali harus segera dihentikan atau
dialihkan pada kegiatan lainnya yang lebih ia sukai.

Daftar pustaka

Davison, Gerald C dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Nevid, Jeffrey S dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta : Penerbit Erlangga.
www. puterakembara.com

You might also like