You are on page 1of 12

Sistem hukum civil law

sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya
berbagai ketentuan-ketentuan dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan
ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya hampir 60% dari populasi
dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini. sistem hukum yang juga
dikenal dengan nama civil law ini berasal dari romawi
perkembangan diawali dengan penduduk romawi atas prancis pada masa itu sistem ini
dipraktekan dalam interaksi antara kedua bangsa untuk mengatur kepentingan mereka.
proses ini berlangsung bertahun-tahun, sampai-sampai negara prancis sendiri
menagdopsi istem hukum ini untuk diterapkan pada bangsanya sendiri. bangsa prancis
membawa sistem ini ke negeri belanda, dengan proses yang sama dengan masuknya
ke prancis. selanjutnya sistem ini berkembang ke itali, jerman, portugal, spanyol, dan
sebagainya sistem ini pun berkembang ke seluruh daratan benua eropa. ketika bagsa-
bangsa eropa mulai mencari koloni di asia, afrika, dan amerika latin, sistem hukum ini
digunakan oleh bangsa-bangsa eropa tersebut untuk mengatur masyarakat pribumi
didaerah jajahannya. misalnya belanda menjajah indonesia pemerintah penjajah
menggunakan sistem hukum eropa kontinental untuk mengatur masyarakat di negeri
jajahannya. apabila terdapat suatu peristiwa hukum yang melibatkan orang belanda
atau keturunannya dengan orang pribumi, sistem hukum ini yang menjadi dasar
pengaturanya selama kurang lebih empat abad di bawah kekuasaan portugis dan
seperempat abad pendudukan indonesia, sistem huium eropa kontinental yang
berlaku.
Sistem hukum Common law
sistem huku anglo-saxon sitem adalah sutau sistem hukum yang d dasarkan pada
yurisprudens, yaitu keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang kemudian
menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya sistem hukum ini diterapakan di
irlandia, inggris, auastralia, selandia baryu. afrika selatan, kanada (kecuali provinsi
quebec) dan amerika serikat (walaupun negara bagian louisiana mempergunakan
sistem hukum ini bersamaan dengan sistem hukum eropa kontinental napoleon).
selain negara-negara tersebut beberapoa negara lain juga menerapkan sitem hukum
anglo-saxon campuran, misalnya pakistan, india, dan nigeria yangh menerapkan
sebagian besar sistem hukum anglo-saxon, namun juga memberlakukan hukum adat
dan hukum agama. sistem hukum anglo-saxon, sebenarnya penerapanya lebih mudah
terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan
perkembangan zaman. pendapat para ahli dan praktisi hukum lebih menonjol
digunakan oleh hakim, dalam memutuskan perkara.
di inggris unifikasi hukum dilaksanakan dan dilselesaikan oleh benc dan bar dari
pengadilan bench dan bar ini sangat di hormati oleh rakyat inggris, oleh karena
mampu mewakili rasa keadilan dari m,asyarakat selkalipun bench dan bar merupakan
pegawai pemerintah selama periode revolusi industri, para hakim dan penasehat
hukum yang merupakan penjabaran dari hobeas, corpus, centorari dan madamus tetap
tidak memihak selama masa revolusi dan hukum yang dibentuk pengadilan justru
mendukung kekauatan-kekauatan sosial politik yang menghendaki perubahan dari
masyarakat agraris ke masayarakat industri. dengan demikian di inggris pada masa
revolusi lembaga-lembaga hukum tetap berada di tangan pengadilan yang beribawa
di negara-negara common law hukum kebiasaan berkembang ketika pemikiran
manusia tentang hukum masih bersifat kaku. tugas menciptaka hukum kebiasaan
semula di tangani oleh the court of chancery, the court of chancery ini digunakan oleh
raja untuk menhadapai kekauasaan dari pengadilan. perkembangan tersebut kemudian
menghasilakan perbedaan antara apa yang disebut dengan "law" dan "equity" di lai
pihak. secara historis equity merupakan lembaga hukum terpisah dari law dan
merupakan reaksi terhadap ketidakmampuan hukum kebasaan yang dikembangkan
pengadilan dalam mengatasi adanya kerugian-kerugian yang di timbulkan oleh suatu
pelanggaran hukum.
di negara-negara yang menganut system common law hukum kebiasaan yang di
kembangkan melalui keputusan pengadilan telah berlangsung sejak lama dan tidak
dipengarui oleh adanya perbedaan antara hukum piblik dan hukum privat. berdasarka
uraian diatas jelas terlihat bahwa negara-negara yang menganut common law system
bahwa hukum itu dibentuk oleh pengadilan satu-satunya karakteristik yang sama dari
kedua sistem hukum tersebut adalah sama.
Antara Civil law dan Common law

Telah lama sejak berabad-abad yang lalu terjadi perdebatan sengit antara mana yang
terbaik antara Civil law dan Common Law. Jeremy Bentham yang kemudian didukung
oleh John Austin merupakan Pendukung civil law, dan mereka menganggap bahwa
sistem common law mengandung ketidakpastian dan menyebutnya sebagai “law of
the dog” Sebaliknya salah satu pendukung sistem common law, F.V Hayek
mengatakan bahwa system common law lebih baik dari pada civil law karena
jaminannya pada kebebasan individu dan membatasi kekuasaan pemerintah.

Cara terbaik untuk mengatsi perbedaan diatas adalah dengan menghampirinya dari
aspek historis seperti sebagaimana dikatakan Benjamin N. Cordozo “sejarah dalam
menerangi masa lalu menerangi masa sekarang, sehingga dalam menerangi masa
sekarang dia menerangi masa depan.“ Tradisi common law lahir pada tahun 1066 ,
terjadi peristiwa pada tahun tersebut yakni ketika bangsa Norman mengalahkan dan
menaklukkan kaum asli (Anglo Saxon) di Inggris. Sedangkan civil law lahir terlebih
dahulu ketika Corpus Juris Civilis of Justinian diterbitkan di Constatinopel pada
tahun 533 yang sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi.

Akar perbedaan yang substansial diantara kedua system hukum itu terletak pada
sumber hukum yang digunakan oleh Pengadilan dalam memutus sebuah perkara.
Sistem civil law menggunakan kodifikasi sebagai sumber hukum, sedangkan sistem
common law menggunakan putusan hakim sebelumnya sebagai sumber hukum atau
yang lebih dikenal dengan doktrin stare decisis. Perbedaan menonjol lainnya
menyangkut peran pengadilan. Di negara civil law hakim merupakan bagian dari
pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari sejarah yang melandasi terciptanya perbedaan
itu. Sebelum revolusi, para hakim Perancis menjadi musuh masyarakat daripada
pembela kepentingan masyarakat karena lebih mendukung kepentingan Raja. Kondisi
inilah yang kemudian memicu revolusi Perancis yang dipimpin oleh Napoleon.
Pengalaman sebelum masa revolusi tersebut menjadi inspirasi bagi Napoleon dalam
meletakkan hakim di bawah pengawasan pemerintahan untuk mencegah
“pemerintahan oleh hakim” seperti yang pernah terjadi sebelum revolusi. Hal ini
membuat kekuasaan pemerintah di negara civil law menjadi sangat dominan. Sistem
Hukum Romawi menggambarkan dengan jelas perbedaan antara hukum privat yang
mengatur hubungan antara warga negara dan hukum publik yang mengatur hubungan
antara warga negara dengan pemerintah.

Perbedaan ini tetap dipertahankan dalam sistem civil law di daerah continental yang
mewarisi tradisi Hukum Romawi. Di Perancis misalnya, pengadilan membedakan
antara kasus kasus yang berhubungan dengan pemerintah dan memberlakukan hukum
yang berbeda dengan hukum yang mengatur hubungan sektor privat. Posisi ini
membuat pengadilan biasa di Perancis secara prosedural tidak mempunyai wewenang
untuk mengkaji kebijakan pemerintah. Sebaliknya, negara common law yang berasal
dari tradisi Inggris memiliki lembaga pengadilan yang independen. Oleh karenanya
kekuasaan untuk menentukan hukum berada pada Mahkamah Agung sebagai
pengadilan tertinggi.

Sumber : Bismar Nasution


Nov 10, '08 9:59 PM
pembahasan Midtest PERBANDINGAN HUKUM PIDANA
for everyone

Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran

Nama : Melita Kristin B.R


NPM : 1101 1106 0604
Mata Kuliah : Perbandingan Hukum Pidana

Dosen : Ibu Nella Sumika Putri, S.H., M.H.

1. Sejarah dan latar belakang terbentuknya Perbandingan Hukum dalam Ilmu Hukum
yaitu sejak studi perbandingan hukum telah dimulai ketika Aristoteles (384-322 SM)
melakukan penelitian terhadap 153 konstitusi Yunani dan beberapa kota lainnya yang
dimuat dalam bukunya yang berjudul Politics. Solon juga melakukan melakukan
penelitian atau studi perbandingan hukum ketika menyusun hukum Athena (650-558
SM). Studi perbandingan hukum berlanjut pada abad pertengahan dimana dilakukan
studi perbandingan antara hukum Kanonik dan hukum Romawi, dan pada abad 16 di
Inggris telah memperdebatkan kegunaan hukum Kanonik dan hukum Kebiasaan.
Studi perbandingan tentang hukum kebiasaan di Eropa pada waktu itu telah dijadikan
dasar penyusunan asas-asas hukum perdata (ius civile) di Jerman. Montesquieu telah
melakukan studi perbandingan untuk menyusun suatu asas-asas umum dari suatu
pemerintahan yang baik. Perkembangan perbandingan hukum sebagai ilmu, relatif
baru dimana istilah comparatif law atau droit compare baru dikenal dan diakui
penggunaannya yang dimulai di daerah Eropa. Perkembangan pesat perbandingan
hukum menjadi cabang khusus dalam studi ilmu hukum adalah bagian kedua
pertengahan abad ke-18 yaitu yang dikenal sebagai era kodifikasi. Perkembangan
pengakuan perbandingan hukum sebagai cabang ilmu hukum baru menghadapi
kendala-kendala, antara lain disebabkan telah berabad lamanya, ilmu hukum yang
sesuai dengan perintah Tuhan dan bersumber pada hukum alam (natural law) serta
mencapai cita kelayakan, dan sangat kurang memperhatikan hukum dalam kenyataan
atau penerapan hukum. Studi tentang hukum positif ketika itu diabaikan di perguruan
tinggi, yang hanya mengajarkan hukum Romawi dan hukum Kanonik. Pada bagian
terakhir dari abad ke-19 perbandingan hukum mulai disukai sebagai cara untuk
membandingkan hukum-hukum di Eropa daratan, sejalan dengan memudarnya
perhatian terhadap ius commune yang mengajarkan eksistensi hukum yang bersifat
universal, serta lahirnya nasionalisme dalam bidang hukum yang ditandai oleh
berperannya kodifikasi. Kodifikasi hukum pertama setelah munculnya nation state,
terjadi di Perancis, dikenal dengan Code de Napoleon. Nasionalisasi hukum tersebut
dipengaruhi oleh Von Savigny, seorang tokoh aliran sejarah hukum. Sekalipun
pengakuan terhadap perbandingan hukum sebagai disiplin hukum terjadi pada abad ke
19, akan tetapi perkembangan yang sangat pesat terjadi pada abd ke-20. Pertanyaan
mendasar yang dikembangkan pada abad ke-19 adalah sebagai berikut:
a. Tujuan dan sifat perbandingan hukum ;

b. Kedudukan perbandingan hukum dalam kerangka ilmu hukum;

c. Karakteristik dan metode perbandingan hukum;

d. Kemungkinan penerapannya dan kegunaan yang bersifat umum ; dan

e. Kontroversi tentang perbandingan hukum yang berdiri sendiri dan perbandingan


hukum sebagai metode.

Maka didalam konteks kerangka ilmu hokum, kedudukan perbandingan hukum


(perbandingan hukum pidana) sebagai disiplin hukum merupakan salah satu ilmu
kenyataan hukum, disamping sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum,
dan psikologi hukum.

2. Kita membutuhkan ilmu perbandingan hukum dikarenakan (menurut Van


Apeldorn) beberapa tujuannya berikut :

a. Tujuan yang bersifat teoritis yaitu untuk menjelaskan hukum sebagai gejala dunia
(universal) dan oleh karena itu ilmu pengetahuan hukum harus dapat memahami
gejala dunia tersebut. Dan untuk itu harus dipahami hukum di masa lampau dan
hukum di masa sekarang.

b. Tujuan yang bersifat praktis yaitu merupakan alat pertolongan untuk tertib
masyarakat dan pembaharuan hukum nasional serta memberikan pengetahuan
berbagai peraturan dan pikiran hukum kepada pembentuk undang-undang, juga
hakim.

c. Tujuan yang bersifat politis yaitu mempelajari perbandingan hukum untuk


mempertahankan “status quo” dimana tidak ada maksud sama sekali mengadakan
perubahan mendasar di Negara yang berkembang.

d. Tujuan yang bersifat pedagogis yaitu untuk memperluas wawasan mahasiswa


sehingga mereka dapat berpikir inter dan multi disiplin, serta mempertajam penalaran
dalam mempelajari hukum asing.

Menurut Soedarto bahwa kegunaan studi perbandingan hukum yaitu:

a. Unifikasi hukum yaitu, adanya kesatuan hukum sebagiamana telah diwujudkan


dalam konvensi hak cipta 1886 dan General Postal Convention, 1894 dan konvensi
internasional lainnya.

b. Harmonisasi hukum yaitu, hukum tetap dapat berdiri sendiri namun berjalan
beriringan.

c. Mencegah chauvinisme hukum nasional yaitu kita dapat memperoleh gambaran


yang jelas tentang hukum nasional yang berlaku sehingga kita mawas diri akan
kelemahan-kelemahan yang terdapat pada hukum pidana positif sehingga kita tidak
melebih-lebihkan hukum nasional dan mengesampingkan hukum asing.

d. Memahami hukum asing

Misalnya : apabila Negara Kesatuan Republik Indonesia hendak mengadakan


perjanjian internasional dengan Negara lain, lalu timbul kemudian masalah, maka
untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut pihak NKRI mau tidak mau harus paham
akan system hukum Negara yang menjadi lawannya (dalam sengketa).

3. Perdebatan antara kedudukan hukum sebagai metode dan ilmu masih berlangsung
sampai sekarang. Beberapa pendapat pakar yang menyebutkan hukum sebagai metode
ialah sebagai berikut :

a. Winerton, mengemukakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode yang


membandingkan system-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data
system hukum yang dibandingkan;

b. Rudolf B. Schlesinger, mengatakan bahwa perbandingan hukum merupakan


metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam
tentang hukum tertentu;

c. Gutterdige, menyatakan bahwa perbandingan hukum tidak lain merupakan suatu


metode perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang ilmu hukum;

Beberapa pendapat pakar yang menyebutkan perbandingan hukum sebagai ilmu ialah
sebagai berikut :

a. Soedarto, berpendapat bahwa perbandingan hukum merupkan cabang dari ilmu


hukum dan karena itu lebih tepat menggunakan istilah perbandingan hukum dari
istilah hukum perbandingan.

b. Lemaire, mengemukakan perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan


mempunyai lingkup kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-
sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya;

c. Ole Lando, mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum mencakup


analysis dan comparison of laws;

d. Hessel Yutema, mengemukakan definisi perbandingan hukum hanya suatu nama


lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu dari ilmu sosial atau
seperti cabang ilmu lainnya yang bersifat universal;

Kesimpulannya, kedudukan perbandingan hukum tersebut muncul sebagai metode


dan ilmu berdasarkan masanya sehingga ada juga kebenaran dari para pendapat
tersebut. Namun perbandingan hukum sebagai ilmu lebih tepat dikarenakan lebih
relevan dengan perkembangan masyarakat masa kini karena perbandingan hukum
tidak hanya semata-mata sebagai alat untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dua
system hokum yang berbeda satu sama lain, melainkan sudah merupakan studi
tersendiri yang mempergunakan metode dan pendekatan khas yaitu metode
perbandingan, sejarah dan sosiologis serta objek pembahasan tersendiri yaitu system
hukum asing tertentu.

4. System Juri merupakan ciri khas dari Common Law yaitu orang-orang sipil yang
mendapatkan tugas dari Negara untuk berperan sebagai juri dalam sidang perkara. Juri
ditunjuk oleh Negara secara acak dan seharusnya adalah orang-orang yang
kedudukannya sangat netral dengan asumsi juri adalah orang awam yang tidak
mengetahui sama sekali latar belakang perkara yang disidangkan. Kedua pihak dalam
perkara kemudian diberi kesempatan untuk mewawancara dan menentukan juri
pilihannya. Seseorang tidak boleh menolak untuk menjadi juri kecuali untuk alasan-
alasan tertentu seperti adanya conflict interest atau mengenal terdakwa baik secara
langsung maupun tidak langsung. Di US, Canada dan beberapa negara di Eropa
memakai Sistem juri. Tim juri terdiri dari 12 orang awam, yang harus mendaftar,
kemudian mengikuti tes psikologi. Lalu setelah lulus tes psikologi, akan dipilih 14
orang (2 orang cadangan) untuk “diwawancarai” oleh Pengacara, Jaksa dan Hakim.
Umumnya wawancara mengacu kepada latar belakang juri, hubungan juri dengan
terdakwa atau pendapat mereka tentang kasus tersebut. Bisa juga hanya sekedar
perasaan tidak suka Pengacara atau Jaksa secara personal terhadap juri tersebut, mulai
dari wajahnya, rasnya, senyumnya, atau hal-hal lain yang personal (disebut sebagai
“based on cause”). Baik Pengacara, Jaksa dan Hakim punya hak untuk mengatakan
tidak setuju dengan juri tersebut. Tapi khusus untuk Pengacara dan Jaksa, tentunya
harus cerdik dalam hal mengeluarkan anggota juri, karena mereka harus berstrategi,
kira-kira juri mana yang pro pada mereka. Bila Pengacara tidak setuju dengan salah
satu juri, maka Jaksa tidak punya hak untuk memanggil juri itu kembali. Begitu pula
sebaliknya. Pekerjaan jadi Juri sebenarnya tidak terlalu menguntungkan. Para Juri
hanya dibayar USD 50 per hari, dengan jam kerja tidak jelas, tergantung dengan lama
tidaknya sidang, ditambah lagi rapat-rapat internal berhubungan dengan sidang. Tentu
dapat dibayangkan, kualitas personal dari para Juri ini seperti apa. Hal tersebut pula
yang menjadi salah satu isu hukum di US, kualitas para Juri. Rata-rata orang tidak
mau jadi juri, karena bayarannya kecil dan hanya duduk seharian di kursi. Dalam
mengambil keputusan, keduabelas juri tersebut harus bersama-sama (suara mutlak
atau tak boleh berpecah suara) mengatakan “guilty” atau “not guilty.” Tidak terdapat
voting di dalam system Juri.

5. Asas the binding force of precedent (kekuatan mengikat dari preseden atau putusan
sebelumnya mengenai kasus yang sejenis) pada common law system memiliki peran
yang penting karena hakim tunduk pada keputusan-keputusan hakim terdahulu
mengenai kasus yang sejenis. Jika ada kasus yang sama maka untuk membuat
keputusan, hakim harus melihat keputusan kasus sebelumnya dan kemudian
menjatuhkan hukuman. Keputusan hakim terdahulu itu menjadi dasar bagi hakim
untuk memberi putusan. Dalam praktik sehari-hari asas preseden ini tidak lagi murni
diterapkan karena sukar dalam pola penerapannya walaupun sangat penting sifatnya.
Dalam keluarga sistem common law, keaktifan dituntut datang dari
para hakim. Undang-undang bukanlah sesuatu yang dapat diandalkan oleh mereka
dalam
menghadapi situasi terberi (given situation) di pengadilan. Dalam pencarian sumber
hukum, perhatian mereka pertama-tama tidak tertuju kepada undang-undang, tetapi
lebih
kepada konstelasi hubungan para pihak yang bersengketa. Sekalipun ada undang-
undang
yang dapat dijadikan sumber acuan, hakim tetap diberi kesempatan untuk
menemukan
hukum lain di luar undang-undang, dengan bertitik tolak dari pandangan subjektifnya
atas
kasus yang dihadapi. Cara berpikir pragmatis ini mengarahkan hakim-hakim dari
keluarga sistem common law untuk meletakkan nilai kemanfaatan (daya guna,
Zweckmäßigkeit) pada tempat pertama. Kemanfaatan di sini tentu pertama-tama
dilihat
dari optik kepentingan para pihak yang bersengketa, namun konsep “pihak” di sini
dapat
saja diperluas, khususnya dalam sengketa hukum publik.
Pada kasus-kasus demikian, hakim dituntut untuk menyelaraskan makna kemanfaatan
itu tadi dengan kepentingan masyarakat luas, sehingga tercapai pula dimensi keadilan
(Gerechtigkeit) dalamputusannya. Untuk melembagakan semangat berkeadilan inilah,
antara lain lalu dihadirkan dewan juri di pengadilan sebagai pranata khas common
law.
Demikian juga dengan eksistensi pranata equity yang lahir sebagai alternatif dari
pengadilan common law. Selanjutnya, agar nilai kepastian hukum juga tercakup
dalam putusan hakim, maka asas preseden yang mengikat (the binding force of
precedent) diterapkan. Tatkala hakim menjatuhkan putusan, ia dipastikan sudah
memperhatikan dengan saksama putusan-putusan sebelumnya yang mengadili kasus
serupa. Jika tidak ada alasan yang sangat prinsipiil, hakim tersebut tidak dapat
mengelak kecuali ia juga menjatuhkan putusan yang secara substantif sama dengan
putusan sebelumnya.

6. Perbedaan antara Civil Law dan Common Law

Sistem hukum Civil Law yakni sebagai berikut :

a. Ciri khas sistem hukum ini adalah adanya penghimpunan dari berbagai ketentuan
hukum (kodifikasi) secara sistematis yang pada prakteknya ketentuan-ketentuan ini
akan ditafsirkan lebih lanjut. Dalam civil law peraturan hukum yang telah
dikodifikasikan berlaku sebagai undang-undang dan merupakan pedoman penegakan
hukum dalam Negara.

b. Kodifikasi merupakan sumber hukum materill yang kemudian dijadikan dasar


dalam menyelesaikan permasalahan melalui hukum formil

c. Pengambil keputusan dalam civil law adalah hakim atau mejelis hakim yang
memeriksa perkara tersebut. Selsain itu hakim bersifat aktif dalam persidangn dan
memutus perkara berdasarkan undang-undang yang berlaku disertai keyakinan hakim
itu sendiri dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

d. Selain keyakinan hakim doktrin juga merupakan factor penting yang menjadi
pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara

e. Pada civil law Yurisprudensi tidak terlalu dipertimbangkan tetapi dapat


dipergunakan sebagai bahan acuan atau referensi.

f. Civil Law menggunakan logika berpikir metode deduktif

System hukum Common Law yakni sebagai berikut :

a. System hukumnya didasarkan pada yurisprudensi yaitu keputusan-keputuasan


hakim yang terdahulu menjadi dasar putusan-putusan hakim selanjutnya

b. Dalam coomon law dikenal stare decisis, yaitu suatu prinsip hukum yang
menyatakan bahwa pengadilan yang lebih rendah harus mengikuti keputusan
pengadilan yang lebih tinggi

c. Dalam common law tidak ada kodifikasi hukum. Dalam pengambilan keputusan
suatu perkara yurisprudensi merupakan dasar yang paling utama

d. Case Law atau pengumpulan kasus-kasus preseden yang berkaitan dengan perkara
sangat penting dalam common law

e. System common law mengenal system juri yaitu orang-orang sipil yang
mendapatkan tugas dari Negara untuk berperan sebagai juri dalam persidangan suatu
perkara

f. System Common Law merupakan system hukum yang memakai logika berpikir
induktif dan analogi.

7. Adversarial system mengandung pengertian bahwa modus untuk menemukan


kebenaran adalah melalui “benturan” argumentasi dari pihak-pihak yang berperkara di
pengadilan dengan bukti-bukti pendukung yang diajukan para pihak tersebut. Dari
kata “adversary” itu berarti pihak-pihak tidak dalam satu persekutuan (ally) tapi
dalam posisi yang berlawanan (opponent). Hazel B. Kerper secara lengkap
mendeskripsikan adversary model dengan menyatakan, “system which arrives at a
decision by : (1) having each side to a dispute present its best case and, (2) then
permitting a neutral decision maker to determine the facts and apply the law in light
of the opposing presentation of two sides. Dari gambaran di atas dapat diketahui
bahwa penyelesaian satu perkara sampai pada putusan adalah setelah melalui proses.
Jadi tekanannya adalah pada proses bukan pada hasil atau putusan, dimana dalam
proses ini kedua belah pihak yang berperkara mempresentasikan semaksimal mungkin
“best case-nya”. Artinya pihak-pihak mengajukan bukti-bukti dan argumentasi hukum
tanpa ada pembatasan. Selanjutnya, para pihak tersebut menyerahkan pada “a neutral”
untuk memeriksa fakta-fakta dan hukumnya dari semua yang disampaikan oleh pihak-
pihak dalam perkara. “a neutral” ini adalah hakim dan juri. Selama proses persidangan
hakim bersifat pasif, tapi kedua belah pihak yang berperkara-lah yang aktif. Hakim
hanya akan memfokuskan pada tata-tertib persidangan utamanya bila ada keberatan
dari salah satu pihak.
Gambaran dari pengadilan yang menganut adversary model ini adalah :

(1) Adanya kesetaraan antara pihak-pihak yang berperkara;


(2) Adanya aturan-aturan yang melindungi terdakwa selama proses dari kesewenang-
wenangan kekuasaan;
(3) Adanya proses yang mengendalikan penyalahgunaan kekuasaan;
(4) Adanya praduga tidak bersalah.

Menentukan Fakta-fakta (kesalahan) adalah wewenang juri, sementara hukumnya


tugas yang akan dilengkapi oleh hakim. Sistem ini umumnya berlaku di negara yang
menganut Common Law.

Non Adversarial System


Secara harfiah kata non adversary adalah sebaliknya dari adversary, yakni tidak
berlawanan, jadi para pihak di pengadilan itu sekutu (ally). Secara lebih lengkap dapat
dirumuskan bahwa non adversary model adalah satu modus untuk menemukan
kebenaran materiil dari satu perkara pidana melalui proses penyidikan yang dilakukan
agak tertutup yang kemudian pembuktian kasusnya dilakukan di pengadilan dengan
cara “terpimpin”. Dengan demikian, pengadilan akan menentukan fakta-fakta hukum
yang dianggap terbukti dan menentukan hukum yang dapat diterapkan terhadap fakta
itu. Oleh karena tertutup dan terpimpin proses pemeriksaannya, maka non adversary
system ini disebut juga dengan the inquisitorial procedure. Oleh karena proses
terpimpin, maka dalam sistem ini dengan sendirinya tidak dikenal pihak “a neutral”
dalam mengambil keputusan seperti dalam non adversary system. Dalam non
adversary system, semua aspek dari peradilan itu menjadi tanggung jawab hakim.
Kedua belah pihak, dalam hal ini jaksa dan penasehat hukum, dapat saja mengajukan
bukti-bukti tapi semua bukti-bukti itu tidak dengan sendirinya mengikat hakim.
Dalam persidangan, kedua belah pihak mengajukan pertanyaan hanya melalui
perantaraan hakim. Bahkan hakim dapat menolak pertanyaan yang diajukan dengan
alasan pertanyaan itu tidak relevan atau memerintahkan mengganti dengan pertanyaan
yang lain. Dalam sistem ini, untuk sampai pada putusan pengadilan tidak
memperkenalkan benturan argumentasi dari kedua-belah pihak tapi hakim cukup
mencari ada dua alat bukti saja ditambah keyakinan dari hakim. Dengan begitu
seseorang sudah dapat dinyatakan bersalah dan kemudian dihukum. Dibandingkan
dengan adversary model yang menekankan pada due process, maka non adversary
model menekankan pada crime control, dimana gambaran dari proses pengadilannya
adalah :
(1) Mengabaikan pengawasan hukum (disregard legal control).
(2) Secara diam-diam berpraduga bersalah.
(3) Dengan hukuman tinggi.
(4) Dukungan pada polisi.

Dari penjabaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan yang dianut
Indonesia ialah mengikuti non adversary model (Civil Law System).
8. Penerapan system juri dalam peradilan pidana Indonesia yakni Tidak ada sytem
yang bebas dari cacat. Sistem juri maupun sistem hakim, masing-masing memiliki
kelebihan dan kelemahan. Sejak sistem kita memberi kekuasaan besar kepada hakim,
sebaiknya didorong agar menghasilkan putusan-putusan yang progresif. Dalam
hokum system kita, putusan akhirnya diserahkan kepada hakim dan ia akan memutus
berdasar keyakinannya. Apa pun yang dikemukakan oleh jaksa, advokat, dan
terdakwa dalam persidangan, kata putus terakhir ada pada hakim. Jika sudah begini,
dimensi persoalan sebenarnya tidak lagi murni hukum, tetapi psikologis. Predisposisi
psikologis hakim menentukan kualitas putusan. Siapa hakimnya, berapa usianya,
bagaimana latar belakang sosial, ekonomi, kulturalnya, bagaimana pendidikan, dan
lain menjadi acuan penting. Ilmu hukum perilaku (behavioral jurisprudence) banyak
meneliti masalah ini, yaitu predisposisi psikologis hakim dihubungkan dengan
putusannya. Sehingga menurut saya tetap saja dipertahankan system hakim yang telah
ada. Hal yang terpenting tanpa adanya system juri karena mungkin justru nantinya
jadi mengacau proses peradilan karena adanya system baru yang diterapkan di
Indonesia. Hal yang perlu dibenahi adalah sikap karakter intelektual dan moral dari
hakim kita saat ini demi terciptanya putusan yang adil.

You might also like