You are on page 1of 6

Ilmu Ekonomi Regional adalah cabang dari ilmu ekonomi yang memasukkan unsur lokasi di

dalam pembahasannya. Ilmu ini juga menerapkan prinsip-prinsip ekonomi yang terkait dengan
wilayah, sehingga lebih serasi dan tepat untuk diaplikasikan dalam berbagai kebijakan
pembangunan wilayah. Dengan demikian, ilmu ini sangat diperlukan di dalam mengatur
berbagai kebijakan ekonomi wilayah.

Buku ini berisi alat analisis yang bisa digunakan untuk mengetahui potensi dan kelemahan suatu
wilayah serta berbagai kebijakan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah. Buku ini
dapat membimbing pejabat pemerintah di daerah dalam tugas sehari-hari maupun menjadi
pedoman dalam menyusun perencanaan pembangunan ekonomi, baik untuk jangka pendek,
jangka menengah, maupun jangka panjang.

Buku ini direncanakan untuk dua kelompok pembaca sekaligus, yaitu para akademisi dan para
praktisi. Untuk setiap rumus, diusahakan ada uraian menggunakan kalimat biasa untuk
menerangkan isi dan kegunaan rumus tersebut. Dengan demikian, para praktisi diharapkan dapat
menangkap makna yang terkandung pada tiap topik yang dibahas dan terangsang untuk
menerapkannya. Sejalan dengan otonomi daerah, daerah kabupaten dan kota memiliki
kewenangan yang cukup luas untuk membuat perncanaan di wilayahnya masing-masing. Buku
ini dapat membimbing pejabat daerah untuk mampu mengemban tugas tersebut secara lebih
terarah.

PENGERTIAN PERTUMBUHAN EKONOMI

Menurut Sadono Sukirno (1996: 33),pertumbuhan dan pembangunan ekonomi memiliki definisi
yang berbeda, yaitu pertumbuhan ekonomi ialah proses kenaikan output perkapita yang terus
menerus dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan salah satu indikator
keberhasilan pembangunan. Dengan demikian makin tingginya pertumbuhan ekonomi biasanya
makin tinggi pula kesejahteraan masyarakat, meskipun terdapat indikator yang lain yaitu
distribusi pendapatan. Sedangkan pembangunan ekonomi ialah usaha meningkatkan pendapatan
perkapita dengan jalan mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui
penanaman modal, penggunaan teknologi, penambahan pengetahuan, peningkatan ketrampilan,
penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen. Pembangunan ekonomi didefinisikan
dalam beberapa pengertian dengan menggunakan bahasa berbeda oleh para ahli, namun
maksunya tetap sama. Menurut Adam Smith pembangunan ekonomi merupakan proses
perpaduan antara pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi (Suryana, 2000:55). Todaro
(dalam Lepi T. Tarmidi, 1992:11) mengartikan pembangunan sebagai suatu proses
multidimensional yang menyangkut perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap
masyarakat, kelembagaan nasional maupun percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan
ketidakmerataan dan penghapusan dari kemiskinan mutlak. Pembangunan ekonomi menurut
Irawan (2002: 5) adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang
seringkali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riil perkapita. Prof. Meier (dalam
Adisasmita, 2005: 205) mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai proses kenaikan
pendapatan riil perkapita dalam suatu jangka waktu yang panjang. Sadono Sukirno (1985:13)
mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan
perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi tersebut
mengandung pengertian bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu perubahan yang terjadi
secara terus-menerus melalui serangkaian kombinasi proses demi mencapai sesuatu yang lebih
baik yaitu adanya peningkatan pendapatan perkapita yang terus menerus berlangsung dalam
jangka panjang. Menurut Schumpeter (dalam Suryana, 2000:5), pembangunan ekonomi bukan
merupakan proses yang harmonis atau gradual, tetapi merupakan perubahan yang spontan dan
tidak terputus-putus. Pembangunan ekonomi disebabkan oleh perubahan terutama dalam
lapangan industri dan perdagangan. Pembangunan ekonomi berkaitan dengan pendapatan
perkapita dan pendapatan nasional. Pendapatan perkapita yaitu pendapatan rata-rata penduduk
suatu daerah sedangkan pendapatan nasional merupakan nilai produksi barang-barang dan jasa-
jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam masa satu tahun. Pertambahan
pendapatan nasional dan pendapatan perkapita dari masa ke masa dapat digunakan untuk
mengetahui laju pertumbuhan ekonomi dan juga perkembangan tingkat kesejahteraan
masyarakat suatu daerah. Dalam pengertian pembangunan ekonomi yang dijadikan pedoman
adalah sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu
masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Sementara itu pertumbuhan ekonomi menurut
Prof. Simon Kuznets (dalam Jhingan, 2000: 57), adalah kenaikan jangka panjang dalam
kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi
kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan
penyesuaian kelembagaan dan idiologis yang diperlukannya. Definisi ini mempunyai 3 (tiga)
komponen: pertama, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-
menerus persediaan barang; kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan
ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam
barang kepada penduduk; ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan
adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh
ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat. Dengan bahasa lain, Boediono
(1999:8) menyebutkan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output dalam jangka
panjang. Pengertian tersebut mencakup tiga aspek, yaitu proses, output perkapita, dan jangka
panjang. Jadi, dengan bukan bermaksud ‘menggurui’, pertumbuhan ekonomi merupakan suatu
proses, bukan gambaran ekonomi atau hasil pada saat itu. Boediono (1999:1-2) menyebutkan
secara lebih lanjut bahwa Pertumbuhan ekonomi juga berkaitan dengan kenaikan ”output
perkapita”. Dalam pengertian ini teori tersebut harus mencakup teori mengenai pertumbuhan
GDP dan teori mengenai pertumbuhan penduduk. Sebab hanya apabila kedua aspek tersebut
dijelaskan, maka perkembangan output perkapita bisa dijelaskan. Kemudian aspek yang ketiga
adalah pertumbuhan ekonomi dalam perspektif jangka panjang, yaitu apabila selama jangka
waktu yang cukup panjang tersebut output perkapita menunjukkan kecenderungan yang
meningkat
Pembangunan Pedesaan untuk Menunjang Perekonomian

Jumat, 22 Oktober 2010 18:36 WIB

Setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, argumen lama tentang


paradigma kualitas pertumbuhan ekonomi (The Quality of Growth) kembali mengemuka.
Argumen kualitas pertumbuhan yang dilahirkan para ekonom neoklasik adalah salah satu dari
cabang pemikiran pemerataan pembangunan, bahwa pembangunan ekonomi bukan hanya untuk
mengejar angka atau target-target kuantitatif semata. Pembangunan ekonomi perlu bervisi jauh
ke depan untuk menyebar-ratakan hasil-hasil pembangunan ekonomi kepada segenap lapisan
masyarkat, dari golongan kaya ke golongan miskin, dari pusat ke daerah, dari tengah ke
pinggiran, dari perkotaan ke perdesaan, dari sektor modern ke sektor tradisional, dan sebagainya.
Argumen kualitas pertumbuhan juga mengedepankan penguatan akses bagi kelompok miskin
dan marginal kepada sumber daya ekonomi. Singkatnya, argumen kualitas pertumbuhan ini juga
sangat peduli terhadap pengentasan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja serta penciptaan
lapangan kerja baru. Inilah yang disebut pembangunan ekonomi berkualitas.

Secara kuantitatif ekonomi makro, kinerja satu tahun Pemerintahan SBY-Boediono atau
sebenarnya enam tahun Presiden SBY, ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh di atas 6 persen
per tahun pada 2010. Kinerja itu sebenarnya cukup tinggi mengingat pada 2009 ekonomi
Indonesia hanya tumbuh 4,5 persen per tahun. Namun, pengikut argumen kualitas pertumbuhan
tak terlalu puas dengan kinerja seperti itu karena mereka berfikir pertumbuhan sekitar 6 persen
belum mampu menyerap pertambahan angkatan kerja 2 juta per tahun. Argumen mereka
perekonomian yang masih mengandalkan sektor konsumsi (68 persen) akan sulit berkontribusi
pada pembangunan sektor produktif yang menyerap tenaga kerja dan menciptakan tenaga kerja
baru. Kobtribusi komponen investasi tercatat hanya 30,6 persen, sedangkan komponen ekspor
23,3 persen. Postur pertumbuhan ekonomi seperti dialami Indonesia saat ini sekaligus mampu
menjelaskan bahwa proses penciptaan lapangan kerja baru dan pengentasan kemiskinan tidak
berjalan sebagaimana diharapkan.

Terlepas apakah argumen kualitas pertumbuhan ekonomi dapat diandalkan atau tidak, potret
penurunan angka kemiskinan 2010 yang diumumkan pemerintah melalui Badan Pusat Statistik
(BPS) seakan tak memiliki banyak arti secara ekonomi (dan politik). Angka total penduduk yang
hidup di bawah garis kemiskinan tahun ini memang turun menjadi 31 juta jiwa (13,3 persen),
dari 2009 sebesar 32,6 juta jiwa (14,2 persen). Garis kemiskinan yang digunakan juga telah
dinaikkan dari Rp 200.262 menjadi Rp 211.726 per bulan dengan proksi pengeluaran rumah
tangga. Kelompok masyarakat menengah atas di kota-kota besar terkadang terheran-heran
dengan garis kemiskinan itu, karena bagi mereka, angka itu tidak ubahnya dengan pengeluaran
sekali minum kopi dan makanan ringan di hotel berbintang. Garis kemiskinan itu sebenarnya
cukup rendah, karena setara dengan 78 sen dollar AS per hari, atau lebih rendah dibandingkan
satu dollar per hari sebagaimana strandar internasional.

Secara mikro, potret angka kemiskinan tahun ini menjadi berita sedih, khususnya bagi sektor
pertanian dan pedesaan, karena persentase angka kemiskinan di pedesaan meningkat, dari 63,4
persen pada 2009 menjadi 64,2 persen pada 2010. Peningkatan kemiskinan di pedesaan ini
seharusnya ”kartu kuning” bagi para pemimpin yang masih berupaya bermain dengan retorika
dan semantik politik pencitraan yang tidak berujung. Dengan membesarnya angka kemiskinan di
pedesaan, dapat disimpulkan pembangunan pertanian saat ini boleh disebut gagal. Masyarakat
juga tidak habis pikir karena secara politis, masa administrasi kedua pemerintahan SBY, kata-
kata manis revitalisasi pertanian, tidak pernah disampaikan secara eksplisit, seperti pada masa
administrasi pertama periode 2004-2009.  Maknanya, beberapa pernyataan pejabat negara
tentang keberhasilan pencapaian swasembada beras dan sekian macam laporan peningkatan
produksi pangan nyaris tidak berarti apa-apa karena pembangunan pertanian tidak membawa
perbaikan kesejahteraan petani, atau tidak memberikan nilai tambah yang dinikmati masyarakat
desa. Apalagi, jika pernyataan surplus beras yang disampaikan pejabat seakan mendapat
tamparan keras dari kepastian untuk impor beras 300 ribu ton, walaupun berkali-kali
disampaikan alasan untuk menjaga cadangan pangan, tidak akan bocor ke pasar domestik, dan
sebagainya.

****
Secara umum, masyarakat awam akan sangat paham bila tidak terjadi peningkatan modal
investasi dan modal kerja, maka kapasitas produksi di dalam negeri juga ikut mengecil.
Ujungnya upaya menyerap tambahan tenaga kerja ikut terganggu. Dampak berikutnya industri
akan mengurangi jam kerja dan jumlah pekerja, sehingga jumlah lapangan kerja berkurang, atau
dengan kata lain industri tidak akan mampu menyerap dan menciptakan lapangan kerja baru.
Ketika pada beberapa bulan terakhir muncul fenomena industri hilir pada sektor pertanian dan
basis sumber daya alam lain banyak yang dialihkan ke luar negeri, perekonomian tidak akan
mampu menciptakan lapangan kerja baru. Demikian pula, struktur produksi yang masih
mengandalkan bahan baku impor akan sulit membawa dampak berganda bagi upaya peningkatan
produktivitas dan kreativitas sistem produksi domestik. Sangat mungkin pasokan produk lokal ke
pasar domestik juga menurun, suatu indikator bahwa upaya pengentasan kemiskinan dari sisi
produktif masih terkendala persoalan struktural di dalam domestik ekonomi Indonesia.

Peningkatan kemiskinan di pedesaan sangat berhubungan dengan fenomena penurunan


produktivitas di sektor pertanian, terutama pada dekade terakhir. Ukuran produktivitas pertanian
biasanya terdiri dari produktivitas lahan (produksi pangan per areal panen) dan produktivitas
tenaga kerja (produksi pangan per jumlah tenaga kerja). Penurunan produktivitas tenaga kerja
sektor pertanian (baca: peningkatan kemiskinan) secara langsung dan tidak langsung juga
ditentukan produktivitas lahan pertanian. Pada kesempatan lain, penulis pernah menyampaikan
bahwa sejak otonomi daerah diberlakukan pada 2001, produktivitas lahan pertanian kini hanya
2,2 ton pangan ekuivalen per hektare. Pada dekade 1980-an, produktivitas lahan tercatat 5,6 ton
per hektare. Produktivitas tenaga kerja pertanian kini hanya 2 ton pangan ekuivalen per tenaga
kerja, yang merupakan penurunan sangat signifikan dari angka produktivitas pada dekade 1980-
an yang tercatat 4,1 ton pangan per tenaga kerja (Arifin, 2010).

Saat ini, pertambahan produktivitas pangan utama seperti padi, jagung, dan kedelai masih
mengandalkan peningkatan areal panen dan intensitas pertanaman, yang tentu sangat bergantung
pada faktor musim. Hal ini terjadi karena upaya perbaikan sarana irigasi, drainase, dan
infrastruktur lain yang menjadi sumber peningkatan produktivitas masih bermasalah. Perbaikan
teknik budidaya, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit masih sangat terkait ketersediaan
dan manajemen pemakaian air. Berkurangnya areal panen padi dan kedelai tahun ini sangat
berhubungan dengan musim kemarau basah, karena perubahan iklim masih sulit dijinakkan.
Maksudnya, fokus peningkatan produktivitas pangan yang tradisional dan terkesan seadanya
sulit diharapkan membawa hasil spektakuler.

****
Salah satu strategi untuk menggenjot peningkatan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan
adalah dengan inovasi teknologi, termasuk basis bioteknologi seperti telah dijelaskan pada
editorial sebelumnya. Strategi lain adalah fokus pada penurun persentase kemiskinan di pedesaan
melalui industrialisasi pertanian dan pembangunan pedesaan. Tidak ada pembangunan pertanian
tanpa pembangunan pedesaan atau peningkatan nilai tambah di pedesaan. Aktivitas
industrialisasi pertanian atau agro-industri pertanian merupakan salah satu kegiatan ekonomi
yang mengarah pada pembangunan nilai tambah di pedesaan. Pilihan strategi industrialisasi
pertanian cukup banyak, tergantung pada kondisi pemungkin (enabling condition) yang tersedia
di pedesaan dan kebijakan pendukung yan ditempuh oleh administrasi pemerintahan yang
berkuasa.

Pembangunan pedesaan yang dirangsang oleh agroindustri dengan pertimbangan sumber daya di
pedesaan lebih banyak menunjang produksi pertanian, karena mengandalkan lahan dan tenaga
kerja. Sumber daya pedesaan ini umumnya lebih terampil dalam hal usaha tani di hulu, tapi tidak
terlalu terampil dalam produksi manufaktur di hilir. Maksudnya industrialisasi pertanian yang
difokuskan pada daerah pedesaan akan merangsang peningkatan kualitas sumber daya manusia
pedesaan dan pembangunan pedesaan umumnya. Di sini ditekankan pentingnya keterkaitan ke
depan dan ke belakang dari suatu proses industrialisasi, yang akan berakumulasi menghasilkan
nilai tambah yang cukup besar. Kelemahan utama strategi industrialisasi ini adalah
ketergantungan terhadap dukungan infrastruktur, investasi dan pendanaan aktivitas ekonomi,
sehingga masih terlalu mengandalkan dominasi peran pemerintah.

Pemerintah perlu secara sistematis memfokuskan investasi ekonomi produktif di pedesaan untuk
menciptakan daya dorong pembangunan yang menekankan pada pentingnya peningkatan
produktivitas dan daya beli kaum miskin dan berfungsi sebagai gelombang pendorong bagi
golongan kaya.  Analogi yang sama diunakan untuk menggambarkan daya dorong pembangunan
pedesaan (atau daerah secara umum) bagi pembangunan di daerah perkotaan (atau pusat aktivitas
ekonomi dan kekuasaan). Prinsip industrialisasi di sini perlu memprioritaskan perhatian pada
golongan miskin dan daerah pedesaan, bukan golongan kaya dan daerah perkotaan. Kelemahan
strategi supply-push ini selain karena terlalu statis dan tidak memanfaatkan peluang pasar dan
permintaan, juga impresi ketidakberdayaan atau “dorongan keluar” bagi tenaga tidak terampil
dari pedesaan ke perkotaan atau dari sektor pertanian ke sektor industri. Tingkat produktivitas
tenaga kerja tidak terampil ini jelas berkait erat dengan kecilnya upah buruh dan dikhawatirkan
menjadi faktor kunci dalam penciptaan kemiskinan atau kantong-kantong baru kemiskinan di
daerah perkotaan.

Akhirnya, faktor keamanan dan kepastian hukum adalah fixed variable yang tidak dapat ditawar
lagi dan harus senantiasa menjadi yang terdepan dalam setiap keputusan investasi produktif,
apalagi di daerah pedesaan. Pemerintah pusat dan daerah perlu terus-menerus meningkatkan rasa
aman, kepastian usaha, dan kenyamanan berusaha “mengawal” langkah-langkah pembangunan
ekonomi di daerah dan kawasan sekitarnya untuk mencapai fixed variable. Falsafah kemitraan
tripartit swasta-pemerintah-masyarakat dapat dikembangkan untuk mencapai tujuan peningkatan
nilai tambah, pembenahan daya saing dan pengurangan kemiskinan di pedesaan. Di sinilah,
kelak pembangunan ekonomi Indonesia akan meningkat kualitasnya.

You might also like