Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
I. 4. Kegunaan
Melalui identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku remaja terhadap
rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung., diharapkan dapat berguna bagi ;
I.4.1 Instansi Pendidikan (SLTP KP 10 Bandung)
1. Sebagai gambaran bagi instansi mengenai perilaku merokok yang terjadi pada
siswa.
2. Sebagai bahan acuan untuk penegakan disiplin bagi siswa selanjutnya
3. Sebagai bahan pemikiran untuk evaluasi kebijakan yang telah diterapkan sekolah
bagi para siswa.
4. Sebagai landasan untuk pelaksanaan program incidental/ program extra yang
membahas mengenai masalah yang berhubungan dengan perilaku remaja.
I.4.2 Petugas Kesehatan (Instansi Puskesmas)
Menjadi masukan penting bagi instansi puskesmas setempat sebagai bahan pokok
untuk melakukan penyuluhan tentang bahaya merokok sesuai dengan program UKS di
SLTP Karya Pembangunan 10.
I.4.3 Peneliti dan Penelitian selanjutnya
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian atau data awal untuk melakukan
penelitian lebih lanjut terhadap permasalahan perilaku merokok pada anak remaja
SLTP.
1.5 Kerangka konsep
Subanada dalam Soetjiningsih 2004 mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor
resiko timbulnya perilaku merokok pada remaja, yakni :
1. Faktor psikologis/kepribadian yang terdiri dari faktor psikososial yang meliputi
stress, rasa bosan, rasa ingin tahu, ingin terlihat gagah, rendah diri dan perilaku yang
menunjukan pemberontakan. Selain itu perilaku merokok pada remaja diasosiasikan
dengan gangguan psikiatrik seperti depresi dan skizofrenia.
2. Faktor biologis, meliputi fungsi kognisi dimana para perokok menganggap bahwa
merokok dapat meningkatkan konsentrasi mereka. Faktor etnik, dimana remaja yang
berasal dari keturunan ras kulit putih di Amerika akan mempunyai kecenderungan
lebih besar untuk menjadi seorang perokok dibandingkan dengan keturunan lain.
Selanjutnya faktor genetik, yang menyatakan bahwa dalam suatu penelitian, seorang
perokok mempunyai gen yang akan diturunkan yang dapat mempengaruhi munculnya
perilaku merokok pada generasi selanjutnya. Adapun yang terakhir adalah faktor jenis
kelamin, dimana pada saat ini perilaku merokok tidak hanya muncul pada kaum pria
tetapi juga pada wanita.
3. Faktor lingkungan yang meliputi perilaku merokok orangtua, saudara kandung,
teman sebaya dan reklame atau iklan rokok yang menampilkan sang idola remaja
sebagai role model mereka.
4. Faktor regulatori yakni adanya pajak atau bea cukai yang tinggi terhadap rokok
dengan maksud untuk menurunkan daya beli masyarakat terhadap rokok. Selain itu,
yang temasuk kedalam faktor ini adalah adanya pembatasan fasilitas untuk merokok
dengan diberlakukan kawasan bebas asap rokok.
Hasil konsensus FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) tahun 2000 tentang
opiat, masalah media dan penatalaksanaannya menyatakan, terdapat dua hal yang
menjadi faktor pendukung bagi seseorang untuk menggunakan zat aditif termasuk
rokok yaitu faktor psikologis dan lingkungan (Oktariani, 2006). Erikson (Helmi &
Komalasari 2006) mengungkapkan bahwa munculnya perilaku merokok pada remaja
dikarenakan adanya krisis aspek psikososial yang dialami dalam masa proses mencari
jati diri. Ketidaksesuaian antara perkembangan fisik, psikis dan sosial menyebabkan
remaja berada dalam kondisi dibawah tekanan atau stress. Merokok menjadi
alternatif yang mereka pilih karena mereka menganggap merokok dapat mengurangi
ketegangan dan membantu relaksasi terhadap stress.
Aktivitas merokok disaat stress menjadi upaya kompensatoris dari kecemasan yang
dialihkan, yang pada akhirnya merokok menjadi aktivitas yang dapat memberikan
kepuasan psikologis dan bukan semata-mata untuk mewujudkan simbolisasi
kejantanan atau kedewasaan (A.F Muchtar 2005).
Atkinson 1991 dalam bukunya psikologi perkembangan mengungkapkan bahwa, dalam
kondisi stress remaja cenderung mengulang perilakunya. Semakin sering remaja
berada dalam kondisi stress semakin mungkin merokok mereka lakukan yang akhirnya
berdampak pada ketergantungan.
Stress itu sendiri merupakan respon individu dimana terjadi ketidaksesuaian antara
harapan dan pencapaian yang ditampilkan melalui perasaan secara emosional. Banyak
hal yang dapat menyebabkan stress, terlambat dalam perjalanan, kecemasan akan
kondisi diri dan keluarga, ataupun tugas yang sudah ditunggu pada batas waktu akhir.
Ketidakmampuan mengatasi hal tersebut dengan baik akan direfleksikan melalui
perasaan emosional seperti marah, tegang, cemas bahkan agresi. Padahal Earle
mengungkapkan bahwa stress ini merupakan pergerakan energi “mobilized energy”
yang diperlukan agar seseorang dapat berfikir lebih baik, sehingga dari
ketidaksesuaian yang ada, seseorang dapat menganalisa masalah dan memperbaikinya
(Groenewald 2006).
Sedangkan berhubungan dengan faktor lingkungan, perilaku merokok muncul
disebabkan karena lingkungan merupakan faktor yang pertama kali mengenalkan
mereka pada perilaku merokok. Aktivitas merokok yang ada di lingkungan
menstimulasi remaja untuk mencoba hal yang sama agar dapat diterima sebagai
anggota kelompok dari lingkungan tersebut. Dengan lingkungan yang baik, remaja
akan menjadi tampak berkembang baik. Sebaliknya, lingkungan yang tidak baik dapat
menjerumuskan remaja kedalam perilaku yang tidak baik pula. Orangtua, saudara
kandung dan teman sebaya merupakan faktor lingkungan yang menjadi agen sosialisasi
perilaku merokok pada remaja. Orangtua yang merokok akan berpengaruh besar
terhadap penularan perilaku merokok pada anaknya (A.F Muchtar 2005).
Pola interaksi remaja yang lebih banyak dihabiskan dengan teman sebaya juga akan
berpengaruh terhadap pembentukan perilaku remaja. Fenomena yang ada adalah
sebagian besar dari anggota kelompok remaja memiliki kebiasaan merokok. Fakta
yang diperoleh diantara remaja perokok dan nonperokok, 87% mempunyai sekurang-
kurangnya satu atau lebih sahabat yang merokok. Semakin banyak remaja merokok,
semakin besar kemungkinan teman-temannya merokok pula. Faktor lingkungan lain
yang tidak dapat dipisahkan adalah pengaruh iklan. Iklan rokok yang menampilkan
gambaran bahwa merokok merupakan lambang kejantanan dan glamour, memicu
remaja untuk mengikuti perilaku tersebut, terlebih apabila iklan tersebut
menampilkan sosok idola sang remaja (Basyir 2005).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dalam penelitian ini penulis mencoba
memfokuskan penelitian mengenai faktor stress, dukungan keluarga, dukungan teman
sebaya dan dukungan iklan yang akan dihubungkan dengan perilaku remaja terhadap
rokok.
1.6 Hipotesa
Hipotesa adalah jawaban sementara atau dalil sementara dari suatu penelitian yang
kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut (Notoatmodjo, 72, 2002).
Adapun hipotesa dalam penelitian ini adalah :
a. Hipotesa 1
H0 : Tidak terdapat hubungan antara stress dengan perilaku remaja terhadap rokok di
SLTP KP 10 Bandung.
H1 : Terdapat hubungan yang bermakna antara stress dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
b. Hipotesa 2 :
H0 : Tidak terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP di SLTP KP 10 Bandung.
H1 : Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
c. Hipotesa 3 :
H0 : Tidak terdapat hubungan antara dukungan teman dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
H1 : Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan teman dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
d. Hipotesa 4 :
H0 : Tidak terdapat hubungan antara dukungan iklan rokok dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
H1 : Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan iklan rokok dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung.
1.7 Definisi Konseptual dan Definisi Operasional
1. Stress
Stress merupakan respon individu dimana terjadi ketidaksesuaian anatara harapan dan
pencapaian yang ditampilkan melalui perasaan secara emosional (Groenewald 2006).
Tingkat stress menurut gronewald dibagi menjadi : stress ringan, stress sedang dan
stress berat.
Stress dalam penelitian ini suatu kondisi dimana remaja berada dalam tekanan,
suasana hati yang tidak menyenangkan, atau menggalami gangguan proses
berfikir/mengambil keputusan.
Instrument baku dari Groenewald
ang telah di alih-bahasakan kedalam bahasa Indonesia.
Ordinal
· Stress ringan
· Stress sedang
· Stress berat
2. Dukungan
Keluarga
Pada lingkungan keluarga menurut A.F Muchtar, remaja cenderung merokok apabila
orangtua (terutama ayah) atau kakak kandung merokok atau bersikap tidak melarang.
3. Dukungan
Teman
Remaja untuk dapat diterima menjadi anggota kelompok sebaya harus dapat
menjalankan peran dan tingkah laku sesuai dengan harapan dan tuntutan kelompok,
dimana mayoritas anggota kelompok memiliki kebiasaan merokok. Maka remaja
cenderung mengikutinya tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri akibatnya
(Hurlock 1993).
Dukungan keluarga dalam penelitian ini adalah ada tidaknya anggota keluarga yang
merokok. Serta ada tidaknya larangan.
Dukungan teman dalam penelitian ini adalah dorongan atau stimulus yang diberikan
oleh anggota kelompok sepermainan kepada siswa untuk melakukan kegiatan
merokok.
4.Dukungan
Iklan
Berita atau promosi baik di media cetak maupun elektronik yang bertujuan
mempengaruhi masa (remaja) untuk membeli atau mengikuti berita tersebut. Melihat
iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok
adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk
mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut, terlebih jika jika iklan
tersebut dibawakan oleh para model populer (artis) yang akan menarik remaja untuk
menjadi seperti idolanya (Basyir, 2005).
Dukungan iklan dalam penelitian ini adalah ada tidaknya pengaruh iklan dan
pengidolaan artis dalam iklan rokok yang mendorong remaja untuk mengikuti gaya
sang idola.
5. Perilaku
Remaja
terhadap
Rokok
Medical Research Council on Respiratory Symptoms 1986, membagi perilaku remaja
terhadap rokok menjadi 2 kriteria yakni : Seseorang dikatakan sebagai perokok adalah
mereka yang merokok sedikitnya 1 batang perhari sekurang-kurangnya selama 1
tahun. Sedangkan bukan perokok merupakan orang yang tidak pernah merokok paling
banyak 1 batang perhari selama 1 tahun (Kurniawati, 2003). /hari).
Perilaku remaja terhadap rokok dalam penelitian ini dikategorikan menjadi remaja
perokok (merokok ≥ 1 batang / hari), dan remaja bukan perokok (remaja yang tidak
pernah merokok/ merokok < 1 batang / hari)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rokok bukan lagi menjadi barang aneh untuk saat ini, ketika disebut kata “rokok”,
yang terbayang adalah sebuah komoditi terlaris yang paling gampang di undang untuk
menjadi sponsor pada berbagai event olahraga ataupun pertunjunkan besar. Sampai
saat ini jarang sekali toko atau warung yang tidak menjual rokok, bahkan dalam
setiap toko grosir makanan rokok bisa mengisi 40–50 % barang yang laris terjual setiap
harinya. Melihat fenomena ini sepertinya rokok telah menjelma menjadi kebutuhan
pokok layaknya sembako. Seandainya rokok itu sarat manfaat, mengandung unsur gizi
yang dibutuhkan tubuh, tentunya tidak masalah. Tetapi rokok sudah diakui sebagai
komoditi yang berbahaya bagi kesehatan (Basyir 2005).
Berbagai fakta mengungkapkan semakin banyak remaja merokok, maka akan semakin
besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga. Fakta tersebut menyatakan
2 kemungkinan, yakni remaja yang terpengaruh oleh teman-temannya, atau teman-
teman remaja tersebut dipengaruhi olehnya. Diantara remaja baik perokok maupun
yang tidak merokok, 87 % memiliki satu atau lebih sahabat yang merokok (Basyir,
2005).
Kurniawati (2003) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa lingkungan teman
sebaya memberikan sumbangan efektif sebesar 93,8% terhadap munculnya perilaku
merokok pada remaja. Dalam penelitiannya dikatakan bahwa semakin banyak
dukungan teman untuk merokok dapat mendorong seseorang untuk semakin menjadi
perokok.
2.3.4 Dukungan Iklan
Untuk menjaring konsumen yang lebih banyak, para produsen rokok mempunyai cara
yang handal. Berbagai iklan baik dalam bentuk reklame, poster maupun iklan dalam
media elektronik ditampilkan dengan maksud untuk merangsang para konsumen
mencoba produk yang mereka iklankan.
Berbagai istilah seperti low, light, mild pun digunakan produsen sehingga seolah-olah
rokok itu aman dan jumlah kandungan zatnya lebih rendah. Akibatnya, para perokok
merasa boleh merokok bahkan kemungkinan akan mengkonsumsi lebih banyak karena
mereka menganggap rokok yang dikonsumsinya hanya mengandung sedikit zat.
Padahal sebuah studi dalam Journal of The National Cancer Institute menyebutkan
bahwa kandungan zat dalam rokok tersebut tidak berkurang sedikitpun. Bahkan
jumlah tar dan nikotin yang dihisap dalam rokok tersebut ternyata 8 kali lebih tinggi
daripada yang diiklankan (Basyir 2005).
Gambaran bahwa perokok merupakan lambang kejantanan dan glamour dengan
diperankan oleh sosok idola remaja, menarik remaja untuk menjadi seperti idolanya
dan diharapkan dapat mempengaruhi persepsi remaja tentang rokok (Kompas 2001).
Bahkan Subanada (Soetjiningsih, 2004) memperkuat pendapat tersebut dengan
menyatakan bahwa reklame atau iklan tembakau diperkirakan mempunyai pengaruh
lebih kuat daripada pengaruh orangtua dan teman.
Selain berperan terhadap perubahan persepsi, iklan menjadi media penting bagi
remaja dalam memperolah informasi seputar rokok. Syahrir (2004) dalam
penelitiannya menegaskan bahwa sekitar 52,6% remaja mendapatkan informasi
tentang rokok dari iklan terutama iklan di media elektronik.. syahrir gi adap
perubahan persepsi, iklan menjadi media remaja dalam memperolah informasi
tentang rokok yang kurang komitmen t
2.4. Peran Perawat
Berdasarkan hasil konsesus keperawatan tahun 1983 dalam gafar (2000).
“Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan
bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat
keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif serta
ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat, baik sakit maupun sehat yang
mencakup seluruh siklus manusia. Keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena
adanya kelemahan fisik dan atau mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya
kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Bantuan yang diberikan
ditujukan kepada penyediaan pelayanan kesehatan utama (primary health care)
dalam upaya mengadakan perbaikan pelayanan kesehatan sehingga memungkinkan
setiap orang mencapai kemampuan hidup sehat dan produktif“.
Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa perawat memiliki peran yang sangat luas
dalam menjalankan prakteknya. Dalam hal perilaku merokok, peran perawat
berkaitan dengan upaya pencegahan perilaku merokok yang sedang bergulir dewasa
ini. Program pencegahan tersebut didasarkan pada pendekatan psikososial yaitu; 1).
Pendekatan pengaruh sosial dan 2). Pendekatan melatih cara menghadapi kehidupan..
Pendekatan pengaruh sosial didasarkan pada asumsi bahwa model tersebut adalah
faktor utama dalam memulai perilaku merokok dan bahwa anak-anak dan remaja
perlu diajarkan cara menahan tekanan sosial terhadap merokok.program yang
didasarkan pada pendekatan ini memfokuskan pada; a). Membantu individu menjadi
waspada terhadap pengaruh social yang mepromosikan penggunaan tembakau, dan b).
Mengajarkan tehnik khusus agar tahan terhadap pengaruh tersebut seperi peran
bermain, perilaku latihan dan peer leader. Sedangkan pedekatan melatih cara
menghadapi kehidupan didasarkan pada asumsi bahwa yang menyebabkan merokok
dan penggunaan zat-zat tertentu adalah kurangnya intelegensi personal dan sosial.
Beberapa deficit personal yang bisa membuat seseorang menjadi peka terhadap
penggunaan zat-zat tertentu adalah rasa rendah diri, kurang komunikasi dan
sosialisasi, kurangnya motivasi untuk berprestasi dan kurangnya strategi untuk
menghadapi stress. Program berdasarkan pedekatan ini memberikan pelatihan pada
bidang; peningkatan rasa percaya diri, ketegasan, cara bekomunikasi, interaksi sosial,
santai dalam menghadapi stress, pemecahan masalah dan membuat keputusan.
Dengan bertumpu pada program tersebut perawat dapat menjalankan peran dan
fungsinya baik sebagai health educator, provider, conselor dan fungsi lainnya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
47
3.3 Populasi dan Sample
3.3.1 Populasi
Populasi adalah sekumpulan objek yang menjadi pusat perhatian/ penelitian, yang
daripadanya terkandung informasi yang ingin diketahui (Gulo, 2002). Perilaku merokok
dikalangan remaja terutama terjadi pada remaja pria, sehingga penulis menetapkan
bahwa populasi dalam penelitian ini adalah siswa laki-laki di SLTP KP 10 yang
berjumlah 488 orang siswa.
3.3.2 Sample
Sample adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002). Menurut
Soekidjo Notoatmodjo, untuk populasi yang berjumlah kurang dari 10.000, maka besar
jumlah sample dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
n : besar sample N : jumlah populasi d : tingkat kekeliruan (5 %)
Jadi besar sample adalah :
= 219,8 dibulatkan menjadi 220 orang.
47 Adapun tehnik sampling yang digunakan adalah proportionate stratified random
sampling yaitu tehnik yang digunakan untuk menyempurnakan tehnik sampling
berstrata dengan pengambilan sampelnya seimbang atau sebanding dengan jumlah
subjek masing-masing strata, dengan menggunakan rumus menurut Notoatmodjo 2002
sebagai berikut:
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas didapatkan sample untuk tiap angkatan
sebanyak :
Sample kelas I : 75 orang
Sample kelas II : 79 orang
Sample kelas III : 66 orang
Setelah didapatkan jumlah sample masing-masing angkatan, pengambilan sample
dilakukan secara acak (random) melalui sistem pengundian.
3.4 Tehnik Pengumpulan Data
3.4.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data (Arikunto, 2005). Adapun metode pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan kuisioner.
Langkah awal dalam proses pengumpulan data adalah menentukan responden atau
subjek yang akan diteliti. Berdasarkan tehnik sampling yang digunakan, subjek
penelitian diambil dengan cara acak (random), yakni dengan mengundi responden
berdasarkan data absensi siswa yang dikeluarkan instansi sekolah (SMP Karya
Pembangunan). Setelah di undi dan diperoleh data siswa sesuai dengan jumlah sampel
yang diperlukan tiap angkatan, siswa yang telah terpilih tersebut dikumpulkan dalam
suatu tempat terpisah untuk kemudian menjadi responden dalam penelitian.
3.4.2 Instrumen penelitian
Instrument penelitian, merupakan alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti
dalam kegiatannya mengumpulkan data (Arikunto, 2005). Untuk variable stress
instrument pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrument berbentuk
skala, yakni sebuah pengumpul data yang berbentuk seperti daftar cocok dengan
alternative jawaban yang disediakan merupakan sesuatu yang berjenjang. Pengkajian
stress dilakukan dengan membuat pertanyaan dengan jawaban berbentuk gradasi dari
satu jenis kualitas (tingkat kualitas keseringan), dari mulai selalu, sering, jarang dan
tidak pernah. Instrument untuk mengkaji variable stress yang digunakan dalam
penelitian ini, merupakan instrument baku yang dikembangkan oleh Andrea
Groenwald, yang telah di alih bahasakan kedalam bahasa Indonesia.
Sedangkan untuk variabel dukungan keluarga, dukungan teman dukungan iklan dan
perilaku remaja terhadap rokok, instrument yang digunakan adalah angket tertutup
dalam bentuk checklist, yakni angket yang disajikan dalam bentuk sedemikian rupa
sehingga responden tinggal memberikan tanda centang / checklist (√) pada kolom
jawaban yang sesuai (Arikunto 2005).
3.5 Rancangan Analisis Hasil Data Penelitian
Analisa data dilakukan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan serta untuk menguji secara statistik kebenaran
dari hipotesis yang telah ditetapkan. Adapun untuk melakukan analisis data
diperlukan suatu proses yang terdiri dari beberapa tahap antara lain :
1. Pengkodean Data (data coding)
Pengkodean dapat merupakan suatu penyusunan data mentah (yang ada dalam
kuisioner) kedalam bentuk yang mudah dibaca oleh komputer.
2. Pemindahan Data ke Komputer (data entering)
Data entering adalah memindahkan data yang telah diubah menjadi kode kedalam
mesin pengolah data. Caranya adalah dengan membuat coding sheet (lembar kode),
direct entry ataupun optical scan sheet.
3. Pembersihan Data (data cleaning)
Data cleaning adalah memastikan bahwa data yang telah masuk sesuai dengan yang
sebenarnya. Prosesnya dilakukan dengan cara possible code cleaning (melakukan
perbaikan kesalahan pada kode yang tidak jelas/ tidak munghkin ada akibat salah
memasukan kode, contingency cleaning dan modifikasi (melakukan pengkodean
kembali / recode data yang asli.
4. Penyajian Data (data output)
Data output merupakan data hasil pengolahan, yang disajikan baik dalam bentuk
numeric maupun grafik.
5. Penganalisisan Data (data analyzing)
Langkah selanjutnya adalah analisis data, yakni proses pengolahan data untuk melihat
bagaimana menginterpretasikan data, kemudian menganalisis data dari hasil yang
sudah ada pada tahap hasil pengolahan data. Adapun analisis yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain :
3.5.1 Analisa Univariat
Untuk variable stress, pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala likert,
yakni dengan menganalisa seberapa sering remaja mengalami situasi / gejala yang
menunjukan stress, dengan point penilaian (3) selalu (2) sering (1) kadang-kadang (0)
tidak pernah. Kemudian setelah ditabulasikan, hasil dikategorikan berdasarkan
kategori stress menurut Groenewald (2006) menjadi :
Skor antara 0 – 20 : stress ringan
Skor antara 20 – 40 : stress sedang
Skor antara 40 – 60 : stress berat
Sedangkan angket yang digunakan untuk mengukur tentang dukungan keluarga,
dukungan teman dan dukungan iklan setiap jawaban Ya diberi nilai 1 (satu), dan
jawaban Tidak diberi nilai 0 (nol). Tiap responden akan memperoleh nilai sesuai
pedoman penilaian tersebut.
Analisa data untuk variable dukungan keluarga, dukungan teman dan iklan, dimana
hasil ukur dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu ada dan tidak ada, dilakukan dengan
menggunakan rumus T skor median. Adapun rumus tersebut adalah sebagai berikut :
Keterangan :
X = Skor responden pada varibel yang hendak diubah menjadi skor T
X = Mean skor kelompok
S = Deviasi standar skor kelompok
Kemudian hasil perhitungan di tafsirkan dengan kriteria :
Apabila : T ³ 50 skor T = ada dukungan
T < 50 skor T = tidak ada dukungan
3.5.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara dua variable yaitu variabel
independent dan dependen. Sesuai dengan tujuan penelitian maka analisa bivariat ini
meliputi hubungan antara stress pada remaja, dukungan keluarga, dukungan teman
dan dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya
Pembangunan (KP) 10 Bandung. Dalam hal ini analisa data masing-masing variabel
menggunakan uji chi square, adapun rumus uji ini adalah :
Keterangan : X Chi Square
f = Frekuensi Observasi
f = Frekuensi Harapan
Kemudian hasil X2 hitungan dibandingkan dengan X2 tabel dengan tarap signifikan 5 %
dan dk = 1 dan 2 (X2 tabel = 3,481 dan 5,591). Bila hasil X2 hitungan lebih besar dari
X2 tabel berarti didapatkan hubungan signifikan. Jadi dapat disimpulkan bahwa H1
diterima (berarti ada hubungan antara stress pada remaja, dukungan keluarga,
dukungan teman dan iklan dengan perilaku merokok pada siswa).
Selain itu bisa juga dengan menggunakan cara probabilistic, yakni dengan
menggunakan SPSS for windows 13,0 dapat dihitung nilai P (P value), dengan taraf
kesalahan 5% (α = 0.05). Jika P value < dari 0,05, maka dapat dinyatakan bahwa H1
diterima yang berarti terdapat hubungan antara variable dependen dan variable
independent.
Selanjutnya untuk mengetahui derajat hubungan antara variable stress pada remaja,
dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung, digunakan analisa
contingensi coefficient (nilai C), bila nilai C mendekati nilai C maksimal maka
keeratan hubungan bersifat erat. Adapun rumus contingensy coefficient adalah :
C=
Keterangan :
C = Koefisien kontingensi
X2 = Harga dari kontingensi yang diperoleh
N = Jumlah sampel
Interpretasi makin dekat harga C kepada C maksimal, maka makin besar derajat
kontribusi antara variable. Dengan kata lain, variable yang satu makin berkaitan
dengan variable yang lain. Sugiyono 2005 mengkategorikan tingkat hubungan atau
keeratan antara kedua variabel sebagai berikut :
Tabel : Pengkategorian Tingkat Hubungan
Korelasi
Kriteria
0,00 – 0,199
0,20 - 0,399
0,40 - 0,599
0,60 - 0,799
0,80 - 1,000
Hubungan sangat tidak erat / bisa diabaikan
Hubungan tidak erat
Hubungan sedang
Hubungan erat
Hubungan sangat erat
Adapun untuk instrumen yang digunakan untuk mengukur variable dukungan keluarga,
teman, dan dukungan iklan, tehnik uji validitas empiris yang digunakan adalah tehnik
koefisien “Korelasi Point Biserial”, karena tipe jawaban setiap item pertanyaan
berupa 2 alternatif jawaban (dikotomis yang diberi nilai 1 & 0) dengan skala nominal
(Arikunto, 2005).
Masrun (Sugiyono 2005) mengungkapkan bahwa item pertanyaan yang dikatakan valid
jika r minimum = 0,30. semakin positif dan semakin besar nilai r, maka item tersebut
dikatakan semakin valid.
Dalam penelitian ini, uji coba instrumen dilakukan sebanyak 2 kali. Pertama, uji coba
dilakukan di SMP Karya Pembangunan 10 dengan jumlah responden sebanyak 30 orang.
Adapun hasil perhitungan terlampir. Untuk instrumen yang kedua, dilakukan karena
hasil uji coba instrumen yang pertama menunjukan bahwa instrumen yang di buat
belum layak untuk dijadikan alat penelitian. Untuk itu dilakukan revisi atau perbaikan
terhadap instrumen yang tidak valid, dan kemudian instrumen tersebut di uji coba-
kan kembali di tempat yang berbeda yakni di SMP Gunadharma, dengan jumlah
responden sebanyak 20 orang. Adapun data hasil uji coba instrumen terlampir.
Kriteria reliabilitasnya adalah jika KR-20 ³ 0,70 maka dimensi kuesioner reliabel
(konsisten) dan jika KR-20 < 0,70 maka dimensi kuesioner tidak reliabel.
Hasil uji reliabilitas untuk instrumen stres diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar
0,820 untuk uji coba pertama dan 0,868 untuk uji coba yang kedua. Untuk instrumen
dukungan keluarga menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,708, sedangkan untuk
instrumen dukungan teman menunjukan koefisien korelasi sebesar 0,837, dan untuk
instrumen dukungan iklan menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,714. Dengan
demikian, maka instrumen penelitian ini dikatakan reliabel (hasil lengkap dapat
dilihat pada lampiran).
3.7 Langkah-Langkah Penelitian
3.7.1 Tahap Persiapan
Proses yang dilalui dalam tahap ini adalah mengadakan studi pendahuluan, studi
kepustakaan, memilih topik penelitian, penentuan lahan, penyusunan proposal
penelitian, seminar proposal, ujicoba dan perbaikan instrumen.
Hasil penelitian untuk mengetahui hubungan antara tingkat stress pada remaja,
dukungan keluarga, dukungan teman, dan dukungan Iklan dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP Karya pembangunan (KP) 10 Bandung yang dilaksanaka pada
bulan Agustus 2006, dengan jumlah responden sebanyak 220 responden yang terbagi
menjadi : sebanyak 75 responden kelas satu, 79 responden kelas dua, dan 66
responden kelas tiga. Dalam pembahasan ini akan dibahas dua bagian yaitu hasil
penelitian dengan analisis univariat, dan hasil penelitian dengan analisis bivariat, yang
selanjutnya dibagi dalam sub Bab 4.1, dan sub Bab 4.2 sebagai berikut.
Berdasarkan data tabel 4.1 tentang perilaku responden terhadap rokok, bahwa
sebagian besar responden (72,73%) tergolong ke dalam kategori bukan perokok.
Berdasarkan data tabel 4.2 tentang distribusi tingkat stres pada responden, terdapat
kecenderungan remaja mengalami stres berat. Hal ini ditunjukan dengan sebagian
besar remaja (66,36%) berada dalam kategori stres berat.
4.1.3 Distribusi Dukungan Keluarga, Dukungan Teman dan Dukungan Iklan Pada
Responden
Hasil analisis mengenai dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan untuk
merokok di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.1.3 Distribusi Dukungan Keluarga, Dukungan Teman dan Iklan Pada Responden
Kategori
Variabel
Ada
Tidak ada
f
%
f
%
Dukungan keluarga
163
74,09
57
25,91
Dukungan teman
84
38,18
136
61,82
Dukungan iklan
28
12,73
192
87,27
Sumber : Olah Data
Berdasarkan data tabel 4.3 tentang dukungan keluarga, dukungan teman dan
dukungan iklan pada responden, dapat dilihat bahwa pada variabel dukungan keluarga
163 responden (74,09%) tergolong ke dalam responden yang memiliki keluarga yang
mendukung untuk merokok, dan 57 responden (25,91%) sisanya tergolong ke dalam
responden yang memiliki keluarga yang tidak mendukung untuk merokok. Sedangkan
untuk variabel dukungan teman, 84 responden (38,18%) tergolong ke dalam responden
yang memiliki Teman Dekat yang mendukung untuk merokok, dan 136 responden
(61,82%) sisanya tergolong ke dalam responden yang memiliki Teman Dekat yang tidak
mendukung untuk merokok. Adapun untuk variabel dukungan iklan, 28 responden
(12,73%) tergolong ke dalam responden yang mendapatkan dukungan iklan untuk
merokok, dan 192 responden (87,27%) sisanya tergolong ke dalam responden yang
tidak mendapatkan dukungan iklan untuk merokok.
4.2 Hasil penelitian dengan analisis Bivariat
Dalam sub Bab ini, akan dijelaskan dalam tabel secara rinci “Hubungan antara tingkat
Stress, Dukungan Keluarga, Dukungan Teman, dan Dukungan Iklan dengan Perilaku
Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
4.2.1 Analisis Hubungan Tingkat Stres dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di SLTP
KP 10 Bandung Tahun 2006.
Hasil analisis mengenai hubungan tingkat stres dengan perilaku remaja terhadap rokok
di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2.1 Analisis Hubungan tingkat Stres dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok
di SLTP KP 10 Bandung Tahun 2006.
Stres
Perilaku Remaja Terhadap Rokok
Total
X2
P value
CC
Merokok
Tidak Merokok
F
%
f
%
F
%
8,232
0,000
0,27
Ringan
2
0,91
2
0,91
4
1,82
Sedang
27
12,27
43
19,55
70
31,82
Berat
31
14,09
115
52,27
146
66,36
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
Berdasarkan tabel tabulasi silang mengenai hubungan antara tingkat stres dengan
perilaku remaja terhadap rokok di atas, didapatkan informasi bahwa hasil uji chi-
square sebesar 8,232. Adapun χ2 tabel dengan db = 2 dan α = 0,05 yakni sebesar
5,591. Hal ini menujukan bahwa nilai χ2 hitung > χ2 tabel, yang berarti Ho ditolak
sehingga dapat disimpulkan bahwa “Terdapat Hubungan antara tingkat stres dengan
perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP”. Selain itu, untuk menolak Ho, dapat pula
dilihat dari hasil perhitungan P value, dimana P value (0,000) < α (0,05). Adapun
untuk melihat tingkat keeratan hubungan tersebut, dapat dilihat dari nilai koefisien
kontingensi yakni sebesar 0,27 yang berarti hubungan tidak erat tapi pasti.
Data perhitungan chi-square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.
4.2.2 Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok
di SLTP KP 10 Bandung Tahun 2006.
Hasil analisis mengenai hubungan dukungan keluarga, dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2.2 Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap
Rokok di SLTP KP 10 Bandung Tahun 2006.
Kategori Dukungan Keluarga
Perilaku Remaja Terhadap Rokok
Total
X2
P value
CC
Merokok
Tidak Merokok
F
%
f
%
F
%
2,467
0,124
0,15
Ada
49
22,27
114
51,82
163
74,09
Tidak Ada
11
5,00
46
20,91
57
25,91
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
Berdasarkan data tabulasi silang mengenai hubungan dukungan teman dengan perilaku
remaja terhadap rokok di atas dapat diketahui bahwa, hasil uji chi-square (χ2 hitung)
sebesar 39,19. Adapun nilai χ2 tabel dengan db = 1 dan α (0,05) adalah 3,841. Hal ini
menunjukan bahwa χ2 hitung > χ2 tabel, yang berarti Ho ditolak sehingga dapat
disimpulkan bahwa “Terdapat Hubungan yang Signifikan antara dukungan teman
dengan perilaku remaja terhadap rokok”. Nilai chi square tersebut diperkuat dengan
hasil perhitungan P value (0,000 ) < α (0,05). Adapun untuk melihat kuatnya hubungan
tersebut, dapat dilihat dari nilai koefisien kontingensi yakni sebesar 0,55 yang berarti
hubungan sedang.
Data perhitungan chi square, P value dan koefisien kontingensi terlampir.
4.2.4 Analisis Hubungan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di
SLTP KP 10 Bandung Tahun 2006.
Hasil analisis mengenai hubungan dukungan iklan, dengan perilaku remaja terhadap
rokok di SLTP KP 10 Bandung dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2.4 Analisis Hubungan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap
Rokok di SLTP KP 10 Bandung Tahun 2006.
Kategori Dukungan Iklan
Perilaku Remaja Terhadap Rokok
Total
X2
P value
CC
Merokok
Tidak Merokok
f
%
f
%
f
%
31,538
0,000
0,50
Ada
20
9,09
8
3,64
28
12,73
Tidak Ada
40
18,18
152
69,09
192
87,27
Total
60
27,27
160
72,73
220
100,00
4.3 Pembahasan
4.3.1 Pembahasan Hubungan Tingkat Stres dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok di
SLTP KP 10 Bandung.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai stres, diperoleh hasil bahwa, “Terdapat
hubungan antara tingkat stres dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP KP 10
Bandung”. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Brandon (2000), bahwa
seseorang yang berada dalam kondisi stress mempunyai kemungkinan lebih besar
untuk menjadi perokok, bahkan akan mengalami kesulitan untuk berhenti dari
perilakunya tersebut. Dikatakan A.F Muchtar (2005) dalam bukunya bahwa aktivitas
merokok disaat stress menjadi upaya kompensatoris dari kecemasan yang dialihkan,
yang pada akhirnya merokok menjadi aktivitas yang dapat memberikan kepuasan
psikologis dan bukan semata-mata untuk mewujudkan simbolisasi kejantanan atau
kedewasaan. Aktivitas merokok menjadi penyeimbang mereka dalam kondisi stress.
Dengan kata lain berdasarkan pandangan Leventhal dan Clearly (Helmi & Komalasari,
2006), kemungkinan remaja telah masuk kedalam tahap bukan saja sebagai become a
smoker tetapi telah masuk pada tahap maintenance of smoking, dimana merokok
sudah menjadi salah satu cara dalam pengaturan hidup. Seorang ahli (Brandon, 2000)
mengatakan terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan remaja untuk bisa
mengalihkan kebiasaan merokok disaat stres diantaranya, a). Remaja tidak
menghindar dari permasalahan yang sedang dihadapi. b). Memperbanyak aktivitas
yang positif. c) Membicarakan masalah dengan orang yang bisa membantu dalam
penyelesaian. d) Menyadari bahwa stress merupakan bagian dari kehidupan.
4.3.2 Pembahasan Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Remaja terhadap
Rokok di SLTP KP 10 Bandung.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai dukungan keluarga, didapatkan hasil bahwa
“Tidak Terdapat Hubungan yang Signifikan antara Dukungan Keluarga dengan Perilaku
Remaja terhadap Rokok di SLTP Karya Pembangunan 10 Bandung”. Hal ini tidak
sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa keluarga
merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan perilaku merokok pada
remaja. Dalam penelitian ini walaupun didapatkan bahwa sebagian besar remaja
mendapatkan dukungan keluarga untuk merokok, akan tetapi tidak terdapat hubungan
antara dukungan keluarga denga perilaku remaja terhadap rokok. Begitu pula dengan
apa yang diungkapkan oleh A.F Muchtar (2005) yang mengatakan bahwa perilaku
merokok remaja berkaitan dengan dukungan dari keluarga, dimana keluarga perokok
akan menyebabkan anak memiliki kemungkinan lebih besar untuk menjadi perokok
pula.
Dalam hal ini kemungkinan yang terjadi adalah terdapat faktor lain yang lebih penting
yang mendukung remaja untuk merokok. Karena, secara psikososial Mahreni
(Soetjiningsih, 2004) mengungkapkan bahwa pada periode masa remaja keterikatan
remaja dengan keluarga terutama orangtua mulai melemah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemungkinan keluarga bukan lagi menjadi
role model yang utama bagi remaja. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di
luar lingkungan rumah, dan nilai-nilai yang mereka anut lebih tertuju pada nilai yang
mereka anggap ideal yang sesuai dengan lingkungan dimana mereka biasa berkumpul.
4.3.3 Pembahasan Hubungan Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja terhadap
Rokok di SLTP KP 10 Bandung.
Berdasarkan penelitian mengenai dukungan teman didapatkan bahwa “Terdapat
Hubungan yang Signifikant antara Dukungan Teman dengan Perilaku Remaja terhadap
Rokok di SLTP Karya Pembangunan 10 Bandung”. Hal ini sejalan dengan penelitian
sebelumnya yang mengatakan bahwa dukungan teman memberikan sumbangan efektif
terhadap munculnya perilaku merokok pada remaja sebesar (93,8%) (Kurniawati,
2003). Teman sebaya menjadi sesuatu yang sangat penting bagi remaja. Adanya
kebutuhan untuk dapat diterima dan diakui sebagai anggota kelompok menjadi alasan
mereka untuk mengikuti perilaku yang ada pada kelompok, termasuk perilaku
merokok.
Friedman dalam Hurlock (1993) mengatakan bahwa “Kekuasaan yang mempengaruhi
anggota kelompok hampir menuntut pengawasan mutlak dari anggota kelompok
terhadap perilaku seseorang. Hanya diperlukan sedikit contoh untuk meyakinkan
setiap anggota kelompok bahwa mereka harus mengikuti keputusan kelompok, atau
kalau tidak, mereka harus menghadapi akibat yang lebih parah”.
Dengan kata lain dapat digambarkan bahwa adaptasi atau penyesuaian perilaku
remaja dengan perilaku yang umum ada pada kelompok merupakan suatu cara agar
remaja tidak berada dalam tekanan. Karena adanya penyimpakan nilai antara remaja
dengan nilai yang dianut kelompok bisa menyebabkan remaja tidak lagi mendapatkan
pengakuan sebagia anggota kelompok.
4.3.4 Pembahasan Hubungan Dukungan Iklan dengan Perilaku Remaja terhadap Rokok
di SLTP KP 10 Bandung.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai dukungan iklan diketahui bahwa “Terdapat
hubungan antara dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP
Karya Pembangunan 10 Bandung”. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh
Subanada (Soetjiningsih, 2004) yang menjelaskan bahwa iklan rokok mempengaruhi
persepsi siswa tentang rokok. Gambaran glamour, lambang kejantanan yang
ditampilkan oleh sosok idola remaja merangsang remaja untuk mengikuti perilaku
yang diperankan sosok idola remaja tersebut yakni perilaku merokok. Handayani
(2000) menjelaskan bahwa salah satu tugas perkembangan remaja adalah
memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai, dimana skala nilai tersebut
diperoleh remaja melalui indentifikasi dari orang yang diidolakan olehnya. Sehingga
perilaku sang idola sangat mudah diadopsi oleh remaja, salah satunya adalah perilaku
merokok yang ditampilkan sang idola dalam iklan.
Selain itu, iklan merupakan media informasi yang baik bagi remaja. Akan tetapi, tidak
semua informasi yang remaja dapatkan memiliki nilai yang positif. sala satunya adalah
istilah yang digunakan dalam iklan ataupun kemasan rokok yang mengambarkan
seolah-olah rokok merupakan produk yang aman karena kandungan zat yang terdapat
dalam rokok tersebut lebih rendah. Sehingga pada akhirnya remaja merasa boleh
untuk merokok bahkan kemungkinan mengkonsumsi lebih banyak yang akan
berdampak pada ketergantungan.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, agen sosialisasi perilaku merokok dalam penelitian ini
adalah lingkungan teman sebaya dan iklan. Selain itu perilaku merokok berkaitan juga
dengan aspek emosional yakni stress. Untuk itu saran dari penelitian ini :
5.2.1 Untuk Instansi Pendidikan (SLTP KP 10 Bandung)
Sekolah sebagai tempat remaja menghabiskan sebagian besar waktunya menjadi
tempat yang baik untuk proses transfer perilaku dari masing-masing anggota
masyarakat didalamnya termasuk remaja sebagai bagian dari masyarakat sekolah.
Untuk mengantisipasi transfer perilaku negatif termasuk perilaku merokok, salah
satunya diperlukan kegiatan positif yang bersifat kelompok yang dapat mengalihkan
remaja dari perilaku merokok, misalnya dengan mengadakan kegiatan ekstrakulikuler
olahraga. Selain itu diperlukan peran dari dewan guru, terutama bagian bimbingan
konseling untuk memberikan bimbingan agar remaja bisa lebih disiplin dalam bergaul
dan memilih teman.
Adapun dilihat dari segi emosional, remaja merokok berkaitan dengan stres, untuk itu
diperlukan adanya pembinaan suatu hubungan yang baik antara guru dan remaja,
dengan harapan remaja bisa lebih terbuka akan masalah yang dihadapinya dan guru
bisa membantu remaja dalam mencari penyelesaian dari masalah yang menimbulkan
stres pada remaja. .
5.2.2 Untuk Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi maupun
pelayanan kesehatan yang komprehensif baik bio-psiko-sosial dan spiritual.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan suatu kondisi dimana terdapat
kecenderungan remaja mengalami stres, yang pada akhirnya dapat berujung pada
upaya kompensatoris remaja menanangi stres tersebut dengan merokok. Sehingga, itu
diperlukan upaya preventif maupun kuratif yang lebih menekankan pada pendekatan
emosional / afeksional, dengan memberikan penyuluhan maupun pelatihan mengenai
manajemen stres pada remaja, selain pendekatan kognitif berupa pemberian
informasi akan bahaya atau dampak negatif dari merokok.
5.2.3 Untuk Peneliti dan Penelitian Selanjutnya
Dalam penelitian ini tidak didapatkan faktor mana yang paling dominan yang
berhubungan dengan perilaku remaja, untuk itu diperlukan penelitian lanjutan yang
mengkaji hal tersebut. Selain itu, ditemukan bahwa tingkat stres pada remaja di SLTP
KP 10 sebagian besar berada pada tingkat stres yang berat, untuk itu diperlukan
penelitian lanjutan mengenai faktor apa yang menyebabkan tingginya tingkat stres
pada remaja tersebut.