You are on page 1of 8

ENSIKLOPEDI ISLAM

Metro TV : 14 Sept 08 Jam 17.05 - 18.00

N
Niat

Sahabat-sahabat Rasulullah adalah generasi terbaik ummat ini. Mereka terus belajar dari
Rasulullah apa-apa saja yang harus dikerjakan dan apa saja yang mesti mereka tinggalkan. Soal
menjaga lurusnya niat di dalam hidup dan perjuangan mereka, tak bosan-bosan para sahabat itu
berguru kepada Rasulullah. Seperti dikisahkan oleh Umamah radhiyallahu 'anhu.

Ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah dan bertanya, "Wahai Rasulullah,
Apakah pendapat engkau tentang seseorang yang berperang dengan tujuan mencari pahala dan
popularitas diri. Kelak, apa yang akan ia dapat di akhirat?" Rasulullah menjawab, "Dia tidak
mendapatkan apa-apa ".Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali. Tetapi
Rasulullah tetap menjawabnya, "Ia tidak menerima apa-apa!" Kemudian beliau bersabda,
Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan, kecuali yang murni dan yang
mengharapkan ridha-Nya. (HR. Abu Daud dan Nasa'i).

Dalam kesempatan lain Abu Said Al-Khudri telah mengambil pelajaran berharga dari Rasulullah
pada saat haji wada'.

"Tiga perkara yang menjadikan seorang mukmin tidak akan menjadi pengkhianat: Ikhlas beramal
karena Allah, memberikan nasihat yang baik kepada para pemimpin kaum Muslimin, dan
senantiasa komitmen terhadap jama'ah ".(HR Ibnu Hibban).

Seni menjaga lurusnya niat tidaklah mudah. Karenanya, seperti dikatakan oleh Fudhail bin "lyadh
"Meninggalkan amal karena manusia adalah riya', dan beramal karena manusia adalah syirik.
Maka, ikhlas adalah apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya ".

Urgensi niat sangatlah mendasar bagi kehidupan dan perjuangan setiap mukmin. Dengannya
segala amal akan diukur. Inilah yang didengar dan diamalkan Umar bin Khatab dari Rasulullah,
"Bahwa amal itu tergantung niat-nya". Maka, tak berlebihan kalau Imam Syafi'i menyebut hadits
Rasulullah ini adalah sepertiga dari seluruh ilmu.

Niat yang baik sering mengubah sesuatu yang mubah menjadi ibadah, Wajar bila perhatian para
salafusshalih kepada niat begitu besar. Dengarlah apa yang dikatakan oleh Yahya bin Katsir,
"Pelajarilah niat dalam beramal, karena niat itu lebih cepat sampai kepada Allah dari pada amal
yang engkau lakukan itu ".

Meski upaya menjaga lurusnya niat telah diupayakan, namun mereka tak merasa puas dan
cukup begitu saja. Iman yang benar telah menjadikan mereka memadukan antara rasa
pengharapan dan kecemasan. Karenanya, mereka masih menambahinya dengan istighfar. Imam
Hasan Al-Bashri berkata: "Perbanyaklah istighfar di rumahmu, di ruang makan, di tengah
perjalanan, di pasar, tempat kerja, di pertemuan-pertemuan dan di mana pun dirimu berda saat
itu. Sebab engkau tidak akan tahu di temapt manakah turunnya maghfirah Rabb-mu". Nah
bagaimana dengan kita?

Sebuah masyarakat muslim yang utuh menjadi dambaan setiap sahabat. Tindak tanduk ucapan
mereka bisa menjadi cermin bagi ucapan di atas. Apalagi sebuah jama'ah da’wah. Ibnu
Mas'ud, misalnya, pernah memberi nasehat, "Wahai sekalian manusia, hendaklah kalian selalu
taat dengan jama'ah kaum muslimin. Karena sesungguhnya ia adalah tali Allah yang kokoh yang
diperintahkan untuk dipegang. Sesungguhnya apa yang tidak engkau sukai dalam kebersamaan
di jama'ah itu, adalah lebih baik dari apa yang engkau sukai dalam keadaan terpecah belah ".

Hal serupa juga dilakukan para sahabat lainnya. Para sahabat lebih suka memutuskan masalah
dengan syura, agar barisan masyarakat muslim tetap rapat. Suatu hari Umar ber-pidato,

"Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan untuk Islam ini orang-orang yang layak untuk
memeluknya. Lalu Allah menyatukan hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Seorang
muslim dengan muslim yang lain bagaikan satu tubuh. Bila yang satu terkena sakit yang lain tak
akan tinggal diam. Karenanya, sangat layak bila mereka menjadikan perkara mereka diputuskan
dengan syura bersama para ahli di antara mereka,"

Demikian Imam Ibnu Jarir meriwayatkan. Karenanya, Umar bin Khatab dalam menjalankan
pemerintahannya, menjadikan para sahabat senior, khususnya pengikut perang Badr, untuk
menjadi tim penasihatnya. Mereka bahkan tak boleh tinggal jauh di luar Madinah.
Saat genting setelah wafatnya Rasulullah juga menjadi waktu penting para sabahat untuk
menjaga agar barisan da'wah Islam tetap utuh, seperti yang ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib,
misalnya. Kisahnya, setelah Abu Bakar di angkat menjadi Khalifah, Abu Sufyan menemui Ali
seraya berkata, "Engkau dikalahkan dalam urusan kekuasaan ini oleh suku Quraisy yang jumlah
warganya sedikit? Demi Allah, kalau engkau mau, kami akan memenuhi kampungnya dengan
laki-laki dan kuda-kuda (menyerbu), jika engkau mau ". Mendengar itu, Ali bin Abi Thalib
menjawab lantang, "Apakah engkau ini masih menjadi musuh Islam dan kaum muslimin.
Sesungguhnya semua ini (pengangkatan Abu Bakar) tak merugikan Islam dan umatnya
sedikitpun. Dan sesungguhnya kami mengetahui bahwa Abu Bakar memang layak untuk itu ".

Untuk menjaga agar masyarakat mereka selalu rapi, para sahabat itu selalu berusaha untuk
dekat antara yang satu dengan yang lain. Menghindari perselisihan dan mengutamakan
persatukan. Sebagai pengikatnya, mereka menepatkan kerinduan akan ridha Allah untuk
mengalahkan potensi-potensi konflik di antara mereka. Seperti yang diucapkan oleh Ibnu Mas'ud,
"esungguhnya Allah, dengan keadilan dan pengetahuan-Nya menjadikan kebahagian dan suka
cita di dalam sikap yang yakin dan ridha, dan menjadikan duka dan nestapa di dalam sikap ragu-
ragu dan benci terhadap ketentuan-Nya".

Mereka saling menghibur bila ada yang diuji oleh Allah. Suatu hari Ali bin Abi Thalib menemui
'Adi bin Hatim yang nampak kusut masai. Raut mukanya menggambarkan kesedihan yang berat.
"Mengapa engkau tampak bersedih hati?" Adi menjawab, "span style="font-style:
italic;">Bagaimana aku tidak sedih, sedangkan dua orang anakku terbunuh dan mataku
tercongkel dalam pertempuran". Ali menyahut, "Barang siapa ridha terhadap takdir Allah, maka
takdir itu tetap berlaku atasnya dan ia mendapatkan pahala-Nya. Dan barangsiapa yang tidak
ridha terhadap takdir-Nya, maka takdir itu pun tetap berlaku atasnya dan terhapuslah pahalanya".

Sikap ini juga kemudian diwarisi oleh para tabi'in. Lihatlah apa yang dikatakan Hasan Al-Bashri,
"Barangsiapa yang ridha terhadap apa yang sudah menjadi suratan hidupnya, maka jiwanya
akan merasa lapang menerima hal itu, dan Allah pun akan memberkahinya. Tetapi, barangsiapa
yang tidak ridha, maka pandangannya menjadi sempit dan Allah juga tidak memberkahinya".

Selain itu, para sahabat itu juga menjauhi berlaku curang. Al-Baihaqi meriwayatkan, bahwa
setiap tahun Abdullah bin Rawahah datang menemui Yahudi Khaibar untuk menetapkan berapa
bagian dari panen kurma yang harus mereka setor kepada Rasulullah. Abdullah bin Rawahah
menetapkan separoh hasil panen yang harus disetorkan. Maka mereka mengeluh. Orang-orang
Yahudi itu juga berusaha menyuap Abdullah bin Rawahah. Dengan marah Abdullah menolak,
"Wahai musuh-musuh Allah. Kalian akan memberiku makanan kotor? Demi Allah, aku ini datang
dari orang yang paling tercinta di antara seluruh manusia. Dan sesungguhnya kalian lebih aku
benci dari pada kera dan babi. Namun ketahuilah, kebencianku kepada kalian, juga kecintaanku
kepada Rasulullah, tidak akan membuatku berbuat tidak adil dengan menerima suap itu".
Mendengar itu orang-orang Yahudi itu berkata "Dengan sikap seperti itulah langit dan bumi
tegak".

Abu Sangkan

ENSIKLOPEDI ISLAM
Metro TV : 15 September 2008 Jam 17.05 – 18.00

O
Otak

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan
dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi
kaum yang memikirkan. (QS. Al Baqarah [2]:164).

Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya,
(yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka ". (QS. Al 'Aqla [96]:15-16).
Ungkapan "ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka" dalam ayat di atas sungguh
menarik. Penelitian yang dilakukan di tahun-tahun belakangan mengungkapkan bahwa bagian
prefrontal, yang bertugas mengatur fungsi-fungsi khusus otak, terletak pada bagian depan tulang
tengkorak. Para ilmuwan hanya mampu menemukan fungsi bagian ini selama kurun waktu 60
tahun terakhir, sedangkan Al Qur'an telah menyebutkannya 1400 tahun lalu. Jika kita lihat bagian
dalam tulang tengkorak, di bagian depan kepala, akan kita temukan daerah frontal cerebrum
(otak besar).

Buku berjudul Essentials of Anatomy and Physiology, yang berisi temuan-temuan terakhir hasil
penelitian tentang fungsi bagian ini, menyatakan: Dorongan dan hasrat untuk merencanakan dan
memulai gerakan terjadi di bagian depan lobi frontal, dan bagian prefrontal. Ini adalah daerah
korteks asosiasi. Berkaitan dengan keterlibatannya dalam membangkitkan dorongan, daerah
prefrontal juga diyakini sebagai pusat fungsional bagi perilaku menyerang.

Jadi, daerah cerebrum ini juga bertugas merencanakan, memberi dorongan, dan memulai
perilaku baik dan buruk, dan bertanggung jawab atas perkataan benar dan dusta. Jelas bahwa
ungkapan "ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka" benar-benar merujuk pada
penjelasan di atas. Fakta yang hanya dapat diketahui para ilmuwan selama 60 tahun terakhir ini,
telah dinyatakan Allah dalam Al Qur'an sejak dulu.

Otak manusia dan Shalat

Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa menghadap Allah (meninggal dunia), sedangkan ia


biasa melalaikan shalatnya, maka Allah tidak mempedulikan sedikit-pun perbuatan baiknya (yang
telah ia kerjakan tsb)". Hadist Riwayat Tabrani.

Sholat itu bikin otak kita sehat

"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah" (QS. Al Kautsar [108]:2)

Sebuah bukti bahwa keterbatasan otak manusia tidak mampu mengetahui semua rahasia atas
rahmat, nikmat, anugrah yang diberikan oleh ALLAH kepadanya.

Seorang Doktor di Amerika (Dr. Fidelma) telah memeluk Islam karena beberapa keajaiban yang
di temuinya di dalam penyelidikannya. Ia amat kagum dengan penemuan tersebut sehingga tidak
dapat diterima oleh akal fikiran. Dia adalah seorang Doktor Neurologi. Setelah memeluk Islam dia
amat yakin pengobatan secara Islam dan oleh sebab itu telah membuka sebuah klinik yang
bernama "Pengobatan melalui Al Qur'an". Kajian pengobatan melalui Al-Quran dengan
menggunakan obat-obatan yang digunakan seperti yang terdapat didalam Al-Quran. Di antara
berpuasa, madu, biji hitam (jadam) dan sebagainya.

Ketika ditanya bagaimana dia tertarik untuk memeluk Islam maka Doktor tersebut memberitahu
bahwa sewaktu kajian saraf yang dilakukan, terdapat beberapa urat saraf di dalam otak manusia
ini tidak dimasuki oleh darah. Padahal setiap inci otak manusia memerlukan darah yang cukup
untuk berfungsi secara yang lebih normal. Setelah membuat kajian yang memakan waktu
akhirnya dia menemukan, bahwa darah tidak akan memasuki urat saraf di dalam otak tersebut
melainkan ketika seseorang tersebut bersembahyang yaitu ketika sujud. Urat tersebut
memerlukan darah untuk beberapa saat tertentu saja. Ini artinya darah akan memasuki bagian
urat tersebut mengikut kadar sembahyang waktu yang diwajibkan oleh Islam. Begitulah
keagungan ciptaan Allah. Jadi barang siapa yang tidak menunaikan sembahyang maka otak
tidak dapat menerima darah yang secukupnya untuk berfungsi secara normal. Oleh karena itu
kejadian manusia ini sebenarnya adalah untuk menganut agama Islam "sepenuhnya" karena sifat
fitrah kejadiannya memang telah dikaitkan oleh Allah dengan agamanya yang indah ini.

Makhluk Allah yang bergelar manusia yang tidak bersembahyang walaupun akal mereka
berfungsi secara normal tetapi sebenarnya di dalam sesuatu keadaan mereka akan hilang
pertimbangan di dalam membuat keputusan secara normal. Justru itu tidak heranlah manusia ini
kadang-kadang tidak segan-segan untuk melakukan hal hal yang bertentangan dengan fitrah
kejadiannya walaupun akal mereka mengetahui perkara yang akan dilakukan tersebut adalah
tidak sesuai dengan kehendak mereka karena otak tidak bisa untuk mempertimbangkan secara
lebih normal.

Abu Sangkan

ENSIKLOPEDI ISLAM
Metro TV : 16 September 2008 Jam 17.05 – 18.00

P
Pasrah

Ada indikasi bahwa Islam adalah inisial seseorang masuk ke dalam lingkaran ajaran Ilahi.
Sebuah Ayat Suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi
Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman
melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka (lihat, QS. al-Hujarat
49:14). Jadi, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam konteks firman itu, kaum Arab
Badui tersebut barulah tunduk kepada Nabi secara lahiriah, dan itulah makna kebahasaan
perkataan "Islam", yaitu "tunduk" atau "menyerah ". Tentang hadits yang terkenal yang
menggambarkan pengertian masing-masing Islam, iman dan ihsan, Ibn Taimiyah menjelaskan
bahwa agama memang terdiri dari tiga unsur: Islam, iman dan ihsan, yang dalam ketiga unsur itu
terselip makna kejenjangan: orang mulai dengan Islam, berkembang ke arah iman, dan
memuncak dalam ihsan. Ibn Taimiyah menghubungkan pengertian ini dengan firman Allah,

"Kemudian Kami (Allah) wariskan Kitab Suci pada kalangan para hamba Kami yang Kami pilih,
maka dari mereka ada yang (masih) berbuat zalim, dari mereka ada yang tingkat pertengahan
(muqtashid), dan dari mereka ada yang bergegas dengan berbagai kebijakan dengan izin Allah"
(QS. Fathir35:32).

Menurut Ibn Taimiyah, orang yang menerima warisan Kitab Suci (yakni, mempercayai dengan
berpegang pada ajaran-ajarannya) namun masih juga berbuat zalim adalah orang yang baru ber-
Islam, menjadi seorang Muslim, suatu tingkat permulaan pelibatan dari dalam kebenaran. Ia bisa
berkembang menjadi seorang yang beriman, menjadi seorang mu'min, untuk mencapai tingkat
yang lebih tinggi, yaitu tingkat menengah (muqtashid), yaitu orang yang telah terbebas dari
perbuatan zalim, namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja. Dalam tingkatnya yang
lebih tinggi, pelibatan diri dalam kebenaran itu membuat ia tidak saja terbebas dari perbuatan
jahat atau dzalim dan berbuat baik, bahkan ia "bergegas" dan menjadi "pelomba" atau "pemuka"
(sabiq) dalam berbagai kebaiikan, dan itulah orang yang telah ber-ihsan, mencapai tingkat
seorang muhsin.

Orang yang telah mencapai tingkat muqtashid dengan imannya dan tingkat sabiq dengan ihsan-
nya, kata Ibn Taimiyah, akan masuk surga tanpa terlebih dulu mengalami azab. Sedangkan
orang yang pelibatannya dalam kebenaran baru mencapai tingkat ber-Islam sehingga masih
sempat berbuat dzalim, ia akan masuk surga setelah terlebih dulu merasakan azab akibat dosa-
dosanya itu. Jika ia tidak bertobat tidak diampuni Allah (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman [Kairo: Dar
al-Thiba'at al-Muhammadiyah, tt.], hal. 11).

Pada saat ini, tentu saja, kata-kata "al-Islam" telah menjadi nama sebuah agama, khususnya
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. yaitu agama Islam. Tapi, secara generik, "Islam"
bukanlah nama dalam arti kata sebagai nama jenis atau sebuah proper noun. Dan ini melibatkan
pengertian tentang istilah itu yang lebih mendalam, yang justru banyak diketemukan dalam Kitab
Suci. Perkataan itu, sebagai kata benda verbal yang aktif, mengandung pengertian sikap pada
sesuatu, dalam hal ini sikap pasrah atau menyerahkan diri kepada Tuhan. Dan sikap itulah yang
disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar dan diterima Tuhan:

"Sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah pada-Nya (al-Islam) (QS. Al-Imran 3:19).

Maka selain dapat diartikan sebagai nama sebuah agama, yaitu agama Islam, perkataan al-Islam
dalam firman ini bisa diartikan secara lebih umum, yaitu menurut makna asal atau generiknya,
yaitu "pasrah kepada Tuhan," suatu semangat ajaran yang menjadikan karakteristik pokok
semua agama yang benar. Inilah dasar pandangan dalam al-Qur'an bahwa semua agama yang
benar adalah agama Islam, dalam pengertian semuanya mengajarkan sikap pasrah kepada
Tuhan, sebagaimana antara lain bisa disimpulkan dari firman Nya.

Dan janganlah kamu sekalian berbantahan dengan para penganut Kitab Suci (Ahl al-Kitab)
melainkan dengan yang lebih baik, kecuali terhadap mereka yang dzalim. Dan nyatakanlah
kepada mereka itu, "Kami beriman kepada Kitab Suci yang diturunkan kepada kami dan kepada
yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Maha Esa, dan kita semua
pasrah kepada-Nya (muslimun) (Q.S. al-'Ankabut 29:46).

Sama dengan perkataan "al-Islam" di atas, perkataan "muslimun" dalam firman itu lebih tepat
diartikan menurut makna generiknya, yaitu "orang-orang yang pasrah kepada Tuhan". Jadi
seperti diisyaratkan dalam firman itu, perkataan muslimun dalam makna asalnya juga menjadi
kualifikasi para pemeluk agama lain, khususnya para penganut Kitab Suci. Ini juga diisyaratkan
dalam firman:

"Apakah mereka mencari (agama) selain agama Tuhan? Padahal telah pasrah (aslama - "ber-
Islam") kepada-Nya mereka yang ada di langit dan di bumi, dengan taat atau pun secara
terpaksa, dan kepada-Nya-lah semuanya akan kembali. Nyatakanlah, "Kami percaya kepada
Tuhan, dan kepada ajaran yang diturunkan kepada kami, dan yang diturunkan kepada Ibrahim,
Isma'il, Ishaq, Ya'qub serta anak turun mereka, dan yang disampaikan kepada Musa dan 'Isa
serta para Nabi yang lain dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan mereka itu, dan kita
semua pasrah (muslimun) kepada-Nya. Dan barang siapa menganut agama selain sikap pasrah
(al-Islam) itu, ia tidak akan diterima, dan di akkirat termasuk orang-orang yang merugi. (QS.
Al-'lmran 3:83-85).

Ibn Katsir dalam tafsirnya tentang mereka yang pasrah (muslimun) itu mengatakan yang
dimaksud ialah "mereka dari kalangan umat ini yang percaya pada semua Nabi yang diutus,
pada semua Kitab Suci yang diturunkan, mereka tidak mengingkarinya sedikitpun, melainkan
menerima kebenaran segala sesuatu yang diturunkan dari sisi Tuhan dan dengan semua Nabi
yang dibangkitkan oleh Tuhan" (Tafsir Ibn Katsir [Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M), jilid 1, hal.
380). Sedangkan al-Zamakhsari memberi makna pada perkataan Muslimun sebagai "mereka
yang bertawhid dan mengikhlaskan diri pada-Nya," dan mengartikan al-Islam sebagai sikap
memaha-esakan (ber-tawhid) dan sikap pasrah diri kepada Tuhan" (taisir al-Kaskshaf [Teheran:
Intisharat-e Aftab, tt.] jilid 1, hal. 442). Dari berbagai keterangan itu dapat ditegaskan bahwa
beragama tanpa sikap pasrah kepada Tuhan, betapapun seseorang mengaku sebagai "muslim"
atau penganut "Islam", adalah tidak benar dan tidak bakal diterima oleh Tuhan.

Selanjutnya, penjelasan yang sangat penting tentang makna "al-Islam" ini juga diberikan oleh Ibn
Taimiyah. Ia mengatakan bahwa "al-Islam" mengandung dua makna adalah: pertama, ialah sikap
tunduk dan patuh, jadi tidak sombong; kedua, ketulusan dalam sikap tunduk kepada satu pemilik
atau penguasa, seperti difirmankan Allah, "wa rajul-an salam-an li rajul-in" (Dan seorang lelaki
yang tulus tunduk kepada satu orang lelaki) (QS. al-Zumar 39:29).

Jadi orang yang tulus itu tidak musyrik, dan ia adalah seorang hamba yang berserah diri hanya
kepada Allah, Pangeran sekalian alam, sebagaimana Allah firmankan:

Dan siapalah yang tidak suka kepada agama Ibrahim kecuali orang yang membodohi dirinya
sendiri. Padahal sungguh Kami telah memilihnya di dunia, dan ia di akhirat pastilah termasuk
orang-orang yang salih. Ketika Tuhannya bersabda kepadanya, "Berserah dirilah engkau!', lalu ia
menjawab, "Aku berserah diri (aslam-tu) kepada Tuhan seru sekalian alam ". Dan dengan ajaran
itu Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. "Wahai anak-anakku,
sesungguhnya Allah telah memilihkan agama untuk kamu sekalian, maka janganlah sampai
kamu mati kecuali kamu adalah orang-orang yang pasrah -muslimun- (kepada-Nya) (Q.S. Al-
Baqarah [2]:130-132).

"Katakanlah (Hai Muhammad), ",Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhanku ke arah
jalan yang lurus. Yaitu agama yang tegak, ajaran Ibrahim, yang hanif, dan tidaklah dia termasuk
orang-orang musyrik ". Katakan juga (hai Muhammad), "Sesungguhnya sembahyangku,
darmabaktiku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah seru sekalian alam, tiada serikat bagi-Nya.
Begitulah aku diperintahkan, dan aku adalah yang pertama dari kalangan orang-orang yang
pasrah ". (QS. Al-An'am [ 6]:161-163).

Dan kembalilah kamu semua kepada Tuhanmu, serta berserah dirilah kamu semua (aslimu)
kepada-Nya sebelum tiba kepada kamu azab, lalu kamu tidak tertolong lagi. (QS. Al-Zumar
[39]:54).
Demikian itu sebagian dari penjelasan yang diberikan Ibn Taimiyah tentang makna al-Islam [lihat,
Ibn Taimiyah, al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, 1976,
hal. 72-3). Berdasarkan pengertian-pengertian itu juga harus dipahami penegasan dalam al-
Qur'an bahwa semua agama para Nabi dan Rasul adalah agama Islam. Yakni, agama yang
mengajarkan sikap tunduk dan patuh, pasrah dan berserah diri secara tulus kepada Tuhan
dengan segala qudrat dan iradat-Nya. Maka sebagai misal, mengenai Nabi Ibrahim as.
ditegaskan bahwa dia bukanlah seorang penganut agama komunal seperti Yahudi atau Nasrani,
melainkan dia adalah seorang yang tulus mencari dan mengikuti kebenaran (hanif) dan yang
pasrah kepada Tuhan (muslim) (QS. 'Ali 'Imran 3:67).

Demikian agama seluruh Nabi keturunan Ibrahim, khususnya anak-cucu Ya'qub atau Bani Israil,
sebagaimana dilukiskan dalam penuturan Kitab Suci, demikian:

"Adakah kamu menyaksikan tatkala maut datang kepada Ya'qub, dan ketika ia bertanya kepada
anak-anakuya, "Apakah yang akan kamu sekalian sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab,
"Kami menyembah Tuhanmu dan Tuhan leluhurmu, Ibrahim, Isma'il dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang
Maha Esa, dan kepada-Nya kamu semua pasrah (muslim) (QS Al-Baqarah [2]:133).

Abu Sangkan

You might also like