You are on page 1of 11

Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta

Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada


Otoritas Kesultanan Yogyakarta
Oleh: Mirza Adrian NP
Pendahuluan

Di dalam RUU Keistimewaan Daerah Yogyakarta yang marak dibicarakan di media massa
baru-baru ini, terdapat sebuah kalimat di bagian penjelasan yang menyatakan bahwa “masyarakat
Yogyakarta kini memasuki sebuah fase baru yang ditandai oleh munculnya masyarakat berwajah
ganda (dual faces society). Di satu sisi, masyarakat tersusun secara hierarkhis mengikuti pola
hubungan patron-client di masa lalu, di sisi yang lain, memiliki corak horizontal yang kuat.” Hal ini
menyebabkan bergesernya otoritas kesultanan Yogyakarta dari yang tadinya memiliki otoritas
politik, menjadi sebuah badan yang hanya memiliki otoritas budaya dan menjadi ciri khas
keistimewaan Provinsi DI Yogyakarta. Akan tetapi, kebenaran dari pernyataan ini masih bisa
dipertanyakan.

Apakah perubahan masyarakat di Yogyakarta mempengaruhi otoritas Kesultanan dalam


masyarakat Yogyakarta? Di satu sisi, kita tidak bisa memungkiri bahwa perubahan budaya karena
globalisasi, modernisasi, dan bahkan nasionalisme telah menggeser posisi Keraton menjadi sekedar
penjaga nilai dan budaya masyarakat Yogyakarta. Namun di sisi lain, dapat dilihat bahwa Keraton
Yogyakarta tetap mempunyai pengaruh dan otoritas dalam masyarakat Yogyakarta sehingga
Keraton masih mempunyai kemampuan untuk menjaga ketertiban masyarakat Yogyakarta melalui
hukum dan peraturan karena kedudukannya sebagai pemegang lembaga eksekutif daerah. Esai ini
mencoba untuk menelaah bagaimana perubahan masyarakat Yogyakarta mempengaruhi posisi
keraton sebagai sumber otoritas di dalam masyarakat itu sendiri.

1. Kondisi Masyarakat Yogyakarta


1.1. Budaya masyarakat Yogyakarta kontemporer
1.2. Faktor-faktor pengubah masyarakat di Yogyakarta
2. Peran Keraton Yogyakarta Dalam Masyarakat
2.1. Peran Keraton dalam ranah politik
2.2. Peran Keraton dalam ranah sosial dan budaya
3. Kesimpulan

1
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta

1. Kondisi Masyarakat Yogyakarta


1.1. Budaya masyarakat Yogyakarta kontemporer

Definisi budaya berdasarkan KBBI adalah semua hasil karya dan pemikiran manusia.
Oleh karena itu dalam peninjauan, budaya dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu mentifak,
sosiofak, dan artefak[ CITATION Koe90 \l 1033 ]. Mentifak berkaitan dengan pemikiran dan
falsafah dasar kebudayaan, sosiofak berkaitan dengan perilaku dan penerapan nyata ideofak
dalam kehidupan, dan artefak merupakan hasil nyata dari sebuah kebudayaan yang dapat
berupa barang, tarian, teks, atau lagu. Ketiga bagian dari kebudayaan ini dapat dianalisis
untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam budaya yang dianut suatu masyarakat.

Yogyakarta dalam peta kebudayaan Jawa termasuk dalam wilayah kebudayaan


Nagarigung atau daerah pusat kerajaan. Dahulu, nilai-nilai budaya lahir dari dalam
lingkungan keraton sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku bagi masyarakat di
lingkungan tersebut. Hal ini menyebabkan masyarakat yang dekat dengan keraton mengenal
lebih dekat nilai-nilai budaya tersebut. Secara umum, dari hasil survey yang pernah dilakukan,
menunjukkan bahwa hingga kini sebagian besar masyarakat Yogyakarta masih memegang
teguh tradisi para pendahulu mereka, sehingga pemahaman mereka terhadap berbagai falsafah
hidup masih sangat kuat[ CITATION Gau03 \p 38 \l 1033 ]. Pemahaman ini ditunjukkan oleh
pemahaman mengenai lima hakekat pokok budaya Jawa yang disebutkan oleh
Koentjaraningrat. Di Yogyakarta, pemahaman mengenai hakekat tersebut adalah sebagai
berikut:

Tidak
Hakekat Pokok Paham
Paham
Hakekat Hidup 96.35% 3.65%
Hakekat Kerja 96.35% 3.65%
Hakekat Waktu 72.37% 27.63%
Hakekat Hubungan
100% 0%
Antarmanusia
Hakekat Hubungan
73.15% 26.85%
Manusia dan alam
Sumber: [ CITATION Gau03 \l 1033 ]

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa secara ideofak, budaya Jawa di Yogyakarta masih
terjaga dengan cukup baik, lebih baik dari daerah-daerah lain di Jawa. Hal ini disebabkan
adanya keterkaitan budaya antara masyarakat Yogyakarta dan keraton. Keraton di Yogyakarta
menjadi penjaga nilai dan budaya.

2
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri, perubahan perilaku dan gaya hidup juga terjadi di
Yogyakarta terutama pada generasi muda. Pemahaman falsafah budaya belum tentu
diaplikasikan di kehidupan nyata. Salah satu contoh nyata adalah penggunaan bahasa dalam
kehidupan. Penggunaan bahasa ngoko ketimbang bahasa krama terhadap orang tua sudah
mulai dimaklumi dan menjadi hal yang wajar[ CITATION Gau03 \p 266 \l 1033 ]. Artinya,
interpretasi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan sudah mulai berubah. Bentuk lain dari
perubahan perilaku adalah berubahnya hubungan sosial di dalam masyarakat. Hubungan
kekeluargaan di dalam masyarakat Yogyakarta sudah mulai berkurang akibat gaya hidup
modern yang mendorong orang untuk bersifat individualis. Pekerjaan yang menuntut orang
untuk bepergian mengurangi waktu yang tersedia untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Beberapa orang bahkan tidak menyukai bersosialisasi[ CITATION Gau03 \p 268 \l 1033 ].
Hubungan antarmanusia sekarang bersifat lebih praktis dan orang-orang dapat menikmati
kebebasan individual, bebas dari kekangan komunal masyarakat. Selain itu, penggunaan
sistem kasta sudah hampir dihilangkan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Etika
penghormatan tradisional terhadap orang-orang berkasta tinggi seperti ningrat tidak lagi
penting bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta, walaupun menjadi darah biru tetap
menjadi kebanggaan dan status di dalam masyarakat. Dari perubahan-perubahan di atas, dapat
disimpulkan bahwa falsafah budaya Jawa di Yogyakarta tidak diterapkan di dalam
masyarakat. Artinya, secara sosiofak, budaya Jawa sudah mulai hilang dari masyarakat
Yogyakarta.

Perubahan di dalam masyarakat Yogyakarta telah menggeser nilai-nilai yang dahulu


dianut oleh masyarakat tersebut. Walaupun secara falsafah nilai-nilai ini dipahami banyak
orang, di dalam berperilaku, nilai-nilai ini tidak diterapkan sepenuhnya. Falsafah budaya Jawa
sudah menjadi sesuatu yang usang di dalam masyarakat Yogyakarta, sesuatu yang ada tetapi
tidak sepenuhnya terpakai. Hal ini tentu berpengaruh pada peran dan posisi keraton di dalam
masyarakat Yogyakarta. Pandangan masyarakat berubah dari yang dahulu melihat keraton
sebagai sumber otoritas utama di masyarakat, sekarang melihat keraton menjadi cagar budaya
yang harus dilestarikan. Otoritas politik keraton tetap ada di masyarakat bukan karena
pengakuan hirearki kesultanan tetapi pengakuan hirearki pemerintahan Republik Indonesia.
Keraton mempunyai otoritas politik di masyarakat karena Sultan Hamengkubuwono X
menjadi gubernur DI Yogyakarta bukan karena beliau menjabat Sultan.

1.2. Faktor-faktor pengubah masyarakat di Yogyakarta

Perubahan masyarakat Yogyakarta dimulai sejak zaman kolonial hingga sekarang.


Kolonialisme di Indonesia membawa perubahan-perubahan mendasar di dalam masyarakat

3
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta

dan menggeser pusat kekuasan. Dengan adanya kolonial Belanda kapitalisme terbentuk di
Indonesia. Kapitalisme merubah sistem ekonomi tradisional dan merubah sistem sosial
dengan membentuk kelas-kelas berdasarkan level ekonomi. Sebelum masuknya kolonial
Belanda, sistem ekonomi yang digunakan adalah sistem ekonomi feudal dimana ekonomi
didasarkan pada hirarki kerajaan. Petani memberikan hasil tani mereka kepada Raja sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Di zaman kolonial, sistem ini digunakan oleh pemerintah
kolonial pada awalnya, tetapi pada akhirnya pemerintah kolonial Belanda bertransaksi
langsung dengan petani ketika lahan pribadi mulai berkembang sehingga pengaruh
kapitalisme dapat dirasakan hingga ke seluruh sendi masyarakat[ CITATION Kro52 \l 2057 ].
Masuknya masyarakat Indonesia ke dalam sistem perekenomian pasar membuat beberapa
perubahan yang fundamental. Pertama, secara sosial, ikatan-ikatan tradisional berubah
menjadi ikatan rasional berdasarkan kedudukan masing-masing lembaga ekonomi. Hal ini
menyebabkan berpindahnya simbol otoritas dari pembesar-pembesar tradisional kepada kaum
intelektual berpendidikan sehingga keraton sebagai sumber otoritas tradisional melemah.

Kedua, dengan perkembangan kapitalisme, masyarakat kelas menengah mulai terbentuk


di Indonesia. Hal ini terjadi terutama di wilayah urban, wilayah yang berkembang pesat di
zaman kolonial. Golongan ini hidup dengan bebas, dengan patron baru, yaitu kelas menengah
itu sendiri dan pasar. Ikatan golongan ini tidak terletak kepada keraton tetapi pada pasar. Di
sini, hubungan patron-client dalam budaya tradisional digantikan oleh hubungan produsen-
konsumen, hubungan vertikal diganti dengan hubungan horizontal [ CITATION Kun06 \l
2057 ]. Status sosial tidak lagi ditentukan oleh keturunan, siapa saja yang mampu mengangkat
dirinya secara ekonomis, sosial, dan intelektual dapat menjadi elit sosial. Bangkitnya kelas
menengah merusak hegemoni elit sosial tradisional dan menciptakan elit baru berdasarkan
status ekonomi. Kepemimpinan sosial mulai berpindah tangan kepada kaum elit baru.

Selain pembentukan sistem ekonomi, perubahan juga terjadi karena pembentukan sistem
pemerintahan kolonial yang merubah golongan priyayi. Kaum priyayi yang tadinya berada di
bawah Keraton digunakan dalam administrasi kolonial sehingga ikatan subordinasi mereka
berpindah, tidak lagi pada keraton tetapi kepada pemerintah kolonial. Golongan ini menjadi
patron dan pembentuk selera baru dalam kebudayaan dan menggeser hirarki lama dimana
keraton adalah pusat dari segala aspek kehidupan masyarakat. Bersamaan dengan munculnya
golongan priyayi baru, kelas menengah urban yang terdiri dari kaum intelektual, pedagang,
dan pengusaha juga mulai terbentuk di kota-kota. Dua golongan baru ini membentuk sebuah
rasionalitas baru, rasionalitas modern yang berdasarkan kebebasan, produktivitas, partisipasi,
dan perubahan[ CITATION Kun06 \l 2057 ]. Kelas-kelas baru ini berpusat di kota sehingga

4
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta

membuat sebuah locus budaya baru di dalam kebudayaan Jawa. Kebudayaan baru ini
berlawanan dengan kebudayaan tradisional yang hirarkis dengan sifat dominasi yang
menonjol. Perlawanan budaya ini menyatakan dirinya dengan Gerakan Jawa Dipa dan
penggunaan bahasa ngoko oleh kelas priyayi dan wong cilik di awal abad 20. Pembentukan
kebudayaan baru ini menyurutkan otoritas keraton dengan membentuk sebuah kekuatan
tandingan yang bersifat modern dan menentang feodalisme tradisional. Pada akhirnya,
keraton akan tergantikan dengan birokrasi rasional dan modern.

Pergerakan nasionalisme di Indonesia juga berperan dalam pelemahan kekuatan


tradisional karena ideologi pergerakan nasionalisme ingin menghapuskan ikatan-ikatan
tradisional dan menggantikannya dengan ikatan-ikatan modern. Ideologi dari pergerakan
kemerdekaan Indonesia sangat dipengaruhi oleh ideologi modern Barat karena pemimpin-
pemimpin intelektual mendapatkan pendidikan Barat. Baik itu liberalisme, komunisme,
ataupun humanisme, semua menentang hirarki sosial yang dimiliki oleh sistem sosial
tradisional Indonesia. Pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah pergerakan anti-feudal.
Untuk Sjahrir, feudalisme adalah alasan utama untuk keterbelakangan dan penghambaan,
bukan hanya sebuah sistem dominasi tetapi cara berpikir yang mengerikan[ CITATION
REE08 \l 2057 ]. Dengan pemikiran ini, nasionalisme Indonesia berkembang dengan ide
tentang masyarakat egaliter, sebuah masyarakat tanpa hirarki sosial dimana semua orang
setara dan berkesempatan sama untuk mewujudkan potensinya.

Perubahan di dalam sebuah masyarakat selain bisa menyebabkan erosi budaya juga bisa
menyebabkan retradisionalisasi[ CITATION Kun06 \l 2057 ]. Retradisionalisasi adalah
dampak dari ketakutan masyarakat yang menganggap modernisasi tidak bisa dikontrol
sehingga akan menghapus budaya Indonesia seluruhnya[ CITATION Fer02 \l 2057 ].
Ketakutan akan perubahan ini membuat beberapa masyarakat kembali kepada budaya
tradisional dengan menghidupkan kembali simbol-simbol tradisional seperti jimat, pusaka,
atau upacara-upacara. Akan tetapi, penghidupan kembali tradisi ini bersifat semu karena
hanya bernilai ekstrinsik, yaitu sebagai lambang status setelah orang memperoleh kedudukan
kelas tertentu dalam masyarakat atau bersifat politis sebagai gejala nasionalisme-protradisi-
antiasing. Tradisi disini dijadikan sebagai fashion oleh kelas menengah kota sebagai tanda
kelimpahan ketika tanda-tanda kelas modern seperti mobil, rumah, atau pangkat
tercapai[ CITATION Kun06 \l 2057 ]. Walaupun ada gerakan retradisionalisasi dalam
masyarakat, gerakan ini tidak memberikan banyak otoritas kepada sistem hirarki tradisional
karena gerakan ini hanya mengambil kulit dari budaya Jawa, bukan resureksi budaya yang
menyeluruh.

5
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta

2. Peran Keraton Yogyakarta Dalam Masyarakat


2.1. Peran Keraton di ranah politik

Otoritas politik dalam tulisan ini diartikan sebagai otoritas dalam pengaturan
masyarakat. Artinya, kemampuan untuk membuat perintah agar masyarakat berbuat sesuatu
untuk mencapai tujuan tertentu, contohnya ketertiban dan keamanan masyarakat. Otoritas
politik merupakan sebuah otoritas yang memberikan alasan untuk tindakan, bukan alasan
untuk berpikir, sehingga otoritas politik disebut otoritas praktis [ CITATION Cri04 \l 2057 ].
Otoritas dalam kebudayaan Jawa berbeda dengan otoritas dalam budaya Barat. Perbedaan
tersebut terletak pada sifat dasar otoritas, sumber otoritas, sifat otoritas, dan legitimasi dari
otoritas [ CITATION Ben06 \l 2057 ]. Otoritas dalam kebudayaan Jawa bersumber dari
wahyu Ilahi yang diberikan kepada orang-orang terpilih sehingga legitimasi dari otoritas tidak
berasal dari rakyat yang dipimpin tetapi dari ranah supernatural. Dengan konsep otoritas
seperti ini, otoritas seorang raja berakhir ketika wahyu Ilahi tersebut berpindah ke orang lain.
Perpindahan wahyu ini bisa dilihat oleh rakyat jelata dari penurunan kepemimpinan atau
kekalahan raja dalam peperangan. Untuk orang-orang dengan kemampuan spiritual tinggi,
perpindahan otoritas ini bisa terlihat sebagai perpindahan cahya atau teja dari satu orang ke
orang lain. Otoritas dalam kebudayaan Jawa tidak bisa dipertanyakan oleh rakyat.

Kekuasaan raja adalah kekuasaan absolut karena kekuasaan raja adalah tanggung jawab
yang diberikan langsung oleh Tuhan melalui pemberian wahyu. Otoritas politik keraton dalam
masyarakat Jawa tradisional meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat karena keraton
adalah pusat dari kehidupan. Keraton adalah asal dari kehidupan itu sendiri sehingga
pengaturan kehidupan diberikan seluruhnya kepada keraton. Aspek ini terlihat dari gelar
penuh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yaitu Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng
Sultan Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo,
Kalifatullah Ingkang Kaping IX. Arti gelar yang panjang ini adalah dia adalah penguasa yang
sah di dunia ini; dia juga Senopati Ing Ngalogo, yang berarti bahwa dia adalah panglima
tertinggi, penentu perdamaian dan peperangan. Sultan juga disebut Abdurrahman Sayidin
Panoto Gomo yang berarti penata agama yang pemurah, sebab dia diakui sebagai
Kalifatullah, pengganti Muhammad SAW [ CITATION Soe09 \l 2057 ]. Otoritas Sultan
dalam masyarakat tradisional Yogyakarta terlegitimitasi oleh budaya dan kultur masyarakat.
Bagi masyarakat tradisional Yogyakarta, tiap kata Sultan adalah hukum karena Sultan bukan
sekedar seseorang yang kebetulan memegang kekuasaaan tetapi seseorang yang didukung
oleh segenap kekuatan magis pusaka-pusaka kerajaan.

6
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta

Sultan

Patih

Bupati

Wedana

Asisten
Wedana

Lurah

Kepala
Dukuh

Gambar 1 Organisasi Kesultanan Sebelum Masuknya Belanda

Adanya pemerintahan kolonial Belanda memperlemah otoritas keraton secara


signifikan. Dalam pemerintahan kolonial Belanda, otoritas Sultan digunakan dalam
pemerintahan masyarakat Yogyakarta dalam sistem yang dikenal sebagai Indirect Rule.
Dalam sistem ini, sistem pemerintahan tradisional tetap dipertahankan tetapi status penguasa
lokal berubah menjadi pegawai sipil yang mempunyai gelar dan atribut penguasa lokal.
Pembuatan keputusan, dalam sistem ini, dibuat oleh Sultan untuk keputusan-keputusan yang
bersifat internal

Selain itu pemerintahan colonial juga mempunyai aparat hukum beserta hukum perdata
sendiri untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan orang Belanda.

7
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta

Sultan Pakualam

Pemerintah
Kontroller

Gubernur
Belanda

Belanda

Belanda

Belanda
Residen
Asisten

Jendral
Hindia
Patih Patih

Bupati Bupati

Wedana Wedana

Asisten Asisten
Wedana Wedana

Lurah Lurah

Kepala Kepala
Dukuh Dukuh

Gambar 2 Organisasi Kesultanan Saat Pemerintahan Kolonial Belanda

Kesetiaan kepada keraton berarti kesetiaan kepada negara Republik Indonesia karena
keduanya adalah bagian yang tidak terpisahkan antara satu lainnya.

8
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta

Menteri Dalam Negeri

Dewan Perwakilan
Sultan (Kepala)
Pakualam (Wakil)
Badan Pemerintah Harian

Dewan Perwakilan
Bupati

Badan Pemerintah Harian

Panewu

Majelis Desa

Garis Tanggung Jawab


Dewan Perwakilan Lurah
Dipilih Rakyat

Berperan Ganda
Kepala Dukuh

Gambar 3 Sistem Pemerintahan Berdasarkan Dekrit Presiden No. 6 Tahun 1959

2.2. Peran Keraton di ranah sosial budaya

Peran keraton dalam ranah sosial dan budaya adalah sentral karena keraton adalah salah
satu locus pendidikan budaya dimana nilai dan budaya mengalir ke bawah paling
deras[ CITATION Kun06 \l 2057 ]. Selain itu, peran keraton dalam pelaksanaan adat dan
tradisi sangat penting karena pelaksanaan adat dan tradisi termasuk dalam pemeliharaan
kekuasaan keraton itu sendiri.

Pada tahun 1996, Sri Sultan Hemengkubuwono X dengan jelas mengatakan bahwa
dirinya dan Keraton Yogyakarta adalah simbol dan penjaga budaya Jawa. Beliau mengatakan
bahwa dengan pengakuan Sri Sultan Hamengkubuwono IX terhadap negara Republik
Indonesia, tugas dari Keraton harus dibatasi kepada kegiatan budaya dan pelaksanaan ritual
[ CITATION Woo10 \l 2057 ].

3. Kesimpulan

Perubahan budaya di dalam masyarakat Yogyakarta menggeser otoritas politik


Kesultanan Yogyakarta dengan menggeser legitimasi Kesultanan Yogyakarta. Saat ini,

9
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta

otoritas politik Kesultanan Yogyakarta ada karena status Yogyakarta sebagai Daerah
Istimewa. Sumber otoritas Sultan adalah posisinya sebagai Gubernur DI Yogyakarta. Tanpa
status ini, Kesultanan Yogyakarta akan sama dengan kesultanan di daerah lain seperti Cirebon
dimana kesultanan ada tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengatur daerahnya.
Keistimewaan Yogyakarta memberikan kemampuan ini pada Kesultanan Yogyakarta.
Legitimasi pemerintahan di Yogyakarta diberikan kepada Keraton oleh rakyat Yogyakarta
karena Kesultanan Yogyakarta adalah bagian dari negara Republik Indonesia bukan karena
Keraton adalah lembaga pemerintahan tradisional di Yogyakarta.

Pemisahan antara otoritas Sultan dalam pengaturan masyarakat Yogyakarta tidak


diinginkan oleh masyarakat Yogyakarta terjadi karena banyak hal antara lain
ketidakpercayaan pada pemerintah pusat, pandangan bahwa Sultan adalah manifestasi Tuhan
di Bumi masih cukup kuat, dan keinginan untuk melestarikan budaya lokal yang unik dari
daerah lain. Dengan disahkannya RUU Keistimewaan Yogyakarta, dimana pemerintah daerah
terpisah dari kesultanan dengan pembedaan fungsi antara gubernur yang dipilih oleh rakyat
dan gubernur utama yang dipegang oleh Sultan, otoritas budaya Kesultanan tidak akan hilang
tapi otoritas politiknya akan terkikis sehingga kedudukan Sultan sebagai pemegang otoritas di
Yogyakarta akan pudar.

DAFTAR PUSTAKA
 Anderson, B. (2006). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia.
Jakarta: Equinox Publishing.
 Cristiano, T. (2004). Authority. Retrieved from Stanford Encylopedia Of Philosophy:
http://www.seop.leeds.ac.uk/entries/authority/
 Elson, R. E. (2008). The Idea of Indonesia: A History. UK: Cambridge University Press.
 Ferzacca, S. (2002, Mar - Jun). A Javanese Metropolis and Mental Life. Ethos, Vol. 30(No.
1/2), 95 - 112.
 Gauthama, M. P. (Ed.). (2003). Budaya Jawa Dan Masyarakat Modern. Jakarta: P2KTPW
BPPT.
 Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
 Kroef, J. M. (1952, July). Society and Culture in Indonesian Nationalism. The American
Journal of Sociology, Vol. 58(No. 1), 11-24.
 Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
 Murniatmo, G., Sumintarsih, Sukari, Ariani, C., & Nurwanti, Y. H. (2000). Aktualisasi Nilai
Budaya Bangsa Di Kalangan Generasi Muda DI Yogyakarta. Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional. Jakarta: Depdikbud.
 Soemardjan, S. (1962). Social Changes in Jogjakarta. New York: Cornell University Press.

10
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta

 Woodward, M. (2010). Muslims in Global Societies Series (Vol. III). (G. Marranci, & B. S.
Turner, Eds.) Springer.

11

You might also like