Professional Documents
Culture Documents
Di dalam RUU Keistimewaan Daerah Yogyakarta yang marak dibicarakan di media massa
baru-baru ini, terdapat sebuah kalimat di bagian penjelasan yang menyatakan bahwa “masyarakat
Yogyakarta kini memasuki sebuah fase baru yang ditandai oleh munculnya masyarakat berwajah
ganda (dual faces society). Di satu sisi, masyarakat tersusun secara hierarkhis mengikuti pola
hubungan patron-client di masa lalu, di sisi yang lain, memiliki corak horizontal yang kuat.” Hal ini
menyebabkan bergesernya otoritas kesultanan Yogyakarta dari yang tadinya memiliki otoritas
politik, menjadi sebuah badan yang hanya memiliki otoritas budaya dan menjadi ciri khas
keistimewaan Provinsi DI Yogyakarta. Akan tetapi, kebenaran dari pernyataan ini masih bisa
dipertanyakan.
1
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta
Definisi budaya berdasarkan KBBI adalah semua hasil karya dan pemikiran manusia.
Oleh karena itu dalam peninjauan, budaya dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu mentifak,
sosiofak, dan artefak[ CITATION Koe90 \l 1033 ]. Mentifak berkaitan dengan pemikiran dan
falsafah dasar kebudayaan, sosiofak berkaitan dengan perilaku dan penerapan nyata ideofak
dalam kehidupan, dan artefak merupakan hasil nyata dari sebuah kebudayaan yang dapat
berupa barang, tarian, teks, atau lagu. Ketiga bagian dari kebudayaan ini dapat dianalisis
untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam budaya yang dianut suatu masyarakat.
Tidak
Hakekat Pokok Paham
Paham
Hakekat Hidup 96.35% 3.65%
Hakekat Kerja 96.35% 3.65%
Hakekat Waktu 72.37% 27.63%
Hakekat Hubungan
100% 0%
Antarmanusia
Hakekat Hubungan
73.15% 26.85%
Manusia dan alam
Sumber: [ CITATION Gau03 \l 1033 ]
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa secara ideofak, budaya Jawa di Yogyakarta masih
terjaga dengan cukup baik, lebih baik dari daerah-daerah lain di Jawa. Hal ini disebabkan
adanya keterkaitan budaya antara masyarakat Yogyakarta dan keraton. Keraton di Yogyakarta
menjadi penjaga nilai dan budaya.
2
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta
Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri, perubahan perilaku dan gaya hidup juga terjadi di
Yogyakarta terutama pada generasi muda. Pemahaman falsafah budaya belum tentu
diaplikasikan di kehidupan nyata. Salah satu contoh nyata adalah penggunaan bahasa dalam
kehidupan. Penggunaan bahasa ngoko ketimbang bahasa krama terhadap orang tua sudah
mulai dimaklumi dan menjadi hal yang wajar[ CITATION Gau03 \p 266 \l 1033 ]. Artinya,
interpretasi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan sudah mulai berubah. Bentuk lain dari
perubahan perilaku adalah berubahnya hubungan sosial di dalam masyarakat. Hubungan
kekeluargaan di dalam masyarakat Yogyakarta sudah mulai berkurang akibat gaya hidup
modern yang mendorong orang untuk bersifat individualis. Pekerjaan yang menuntut orang
untuk bepergian mengurangi waktu yang tersedia untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Beberapa orang bahkan tidak menyukai bersosialisasi[ CITATION Gau03 \p 268 \l 1033 ].
Hubungan antarmanusia sekarang bersifat lebih praktis dan orang-orang dapat menikmati
kebebasan individual, bebas dari kekangan komunal masyarakat. Selain itu, penggunaan
sistem kasta sudah hampir dihilangkan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Etika
penghormatan tradisional terhadap orang-orang berkasta tinggi seperti ningrat tidak lagi
penting bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta, walaupun menjadi darah biru tetap
menjadi kebanggaan dan status di dalam masyarakat. Dari perubahan-perubahan di atas, dapat
disimpulkan bahwa falsafah budaya Jawa di Yogyakarta tidak diterapkan di dalam
masyarakat. Artinya, secara sosiofak, budaya Jawa sudah mulai hilang dari masyarakat
Yogyakarta.
3
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta
dan menggeser pusat kekuasan. Dengan adanya kolonial Belanda kapitalisme terbentuk di
Indonesia. Kapitalisme merubah sistem ekonomi tradisional dan merubah sistem sosial
dengan membentuk kelas-kelas berdasarkan level ekonomi. Sebelum masuknya kolonial
Belanda, sistem ekonomi yang digunakan adalah sistem ekonomi feudal dimana ekonomi
didasarkan pada hirarki kerajaan. Petani memberikan hasil tani mereka kepada Raja sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Di zaman kolonial, sistem ini digunakan oleh pemerintah
kolonial pada awalnya, tetapi pada akhirnya pemerintah kolonial Belanda bertransaksi
langsung dengan petani ketika lahan pribadi mulai berkembang sehingga pengaruh
kapitalisme dapat dirasakan hingga ke seluruh sendi masyarakat[ CITATION Kro52 \l 2057 ].
Masuknya masyarakat Indonesia ke dalam sistem perekenomian pasar membuat beberapa
perubahan yang fundamental. Pertama, secara sosial, ikatan-ikatan tradisional berubah
menjadi ikatan rasional berdasarkan kedudukan masing-masing lembaga ekonomi. Hal ini
menyebabkan berpindahnya simbol otoritas dari pembesar-pembesar tradisional kepada kaum
intelektual berpendidikan sehingga keraton sebagai sumber otoritas tradisional melemah.
Selain pembentukan sistem ekonomi, perubahan juga terjadi karena pembentukan sistem
pemerintahan kolonial yang merubah golongan priyayi. Kaum priyayi yang tadinya berada di
bawah Keraton digunakan dalam administrasi kolonial sehingga ikatan subordinasi mereka
berpindah, tidak lagi pada keraton tetapi kepada pemerintah kolonial. Golongan ini menjadi
patron dan pembentuk selera baru dalam kebudayaan dan menggeser hirarki lama dimana
keraton adalah pusat dari segala aspek kehidupan masyarakat. Bersamaan dengan munculnya
golongan priyayi baru, kelas menengah urban yang terdiri dari kaum intelektual, pedagang,
dan pengusaha juga mulai terbentuk di kota-kota. Dua golongan baru ini membentuk sebuah
rasionalitas baru, rasionalitas modern yang berdasarkan kebebasan, produktivitas, partisipasi,
dan perubahan[ CITATION Kun06 \l 2057 ]. Kelas-kelas baru ini berpusat di kota sehingga
4
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta
membuat sebuah locus budaya baru di dalam kebudayaan Jawa. Kebudayaan baru ini
berlawanan dengan kebudayaan tradisional yang hirarkis dengan sifat dominasi yang
menonjol. Perlawanan budaya ini menyatakan dirinya dengan Gerakan Jawa Dipa dan
penggunaan bahasa ngoko oleh kelas priyayi dan wong cilik di awal abad 20. Pembentukan
kebudayaan baru ini menyurutkan otoritas keraton dengan membentuk sebuah kekuatan
tandingan yang bersifat modern dan menentang feodalisme tradisional. Pada akhirnya,
keraton akan tergantikan dengan birokrasi rasional dan modern.
Perubahan di dalam sebuah masyarakat selain bisa menyebabkan erosi budaya juga bisa
menyebabkan retradisionalisasi[ CITATION Kun06 \l 2057 ]. Retradisionalisasi adalah
dampak dari ketakutan masyarakat yang menganggap modernisasi tidak bisa dikontrol
sehingga akan menghapus budaya Indonesia seluruhnya[ CITATION Fer02 \l 2057 ].
Ketakutan akan perubahan ini membuat beberapa masyarakat kembali kepada budaya
tradisional dengan menghidupkan kembali simbol-simbol tradisional seperti jimat, pusaka,
atau upacara-upacara. Akan tetapi, penghidupan kembali tradisi ini bersifat semu karena
hanya bernilai ekstrinsik, yaitu sebagai lambang status setelah orang memperoleh kedudukan
kelas tertentu dalam masyarakat atau bersifat politis sebagai gejala nasionalisme-protradisi-
antiasing. Tradisi disini dijadikan sebagai fashion oleh kelas menengah kota sebagai tanda
kelimpahan ketika tanda-tanda kelas modern seperti mobil, rumah, atau pangkat
tercapai[ CITATION Kun06 \l 2057 ]. Walaupun ada gerakan retradisionalisasi dalam
masyarakat, gerakan ini tidak memberikan banyak otoritas kepada sistem hirarki tradisional
karena gerakan ini hanya mengambil kulit dari budaya Jawa, bukan resureksi budaya yang
menyeluruh.
5
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta
Otoritas politik dalam tulisan ini diartikan sebagai otoritas dalam pengaturan
masyarakat. Artinya, kemampuan untuk membuat perintah agar masyarakat berbuat sesuatu
untuk mencapai tujuan tertentu, contohnya ketertiban dan keamanan masyarakat. Otoritas
politik merupakan sebuah otoritas yang memberikan alasan untuk tindakan, bukan alasan
untuk berpikir, sehingga otoritas politik disebut otoritas praktis [ CITATION Cri04 \l 2057 ].
Otoritas dalam kebudayaan Jawa berbeda dengan otoritas dalam budaya Barat. Perbedaan
tersebut terletak pada sifat dasar otoritas, sumber otoritas, sifat otoritas, dan legitimasi dari
otoritas [ CITATION Ben06 \l 2057 ]. Otoritas dalam kebudayaan Jawa bersumber dari
wahyu Ilahi yang diberikan kepada orang-orang terpilih sehingga legitimasi dari otoritas tidak
berasal dari rakyat yang dipimpin tetapi dari ranah supernatural. Dengan konsep otoritas
seperti ini, otoritas seorang raja berakhir ketika wahyu Ilahi tersebut berpindah ke orang lain.
Perpindahan wahyu ini bisa dilihat oleh rakyat jelata dari penurunan kepemimpinan atau
kekalahan raja dalam peperangan. Untuk orang-orang dengan kemampuan spiritual tinggi,
perpindahan otoritas ini bisa terlihat sebagai perpindahan cahya atau teja dari satu orang ke
orang lain. Otoritas dalam kebudayaan Jawa tidak bisa dipertanyakan oleh rakyat.
Kekuasaan raja adalah kekuasaan absolut karena kekuasaan raja adalah tanggung jawab
yang diberikan langsung oleh Tuhan melalui pemberian wahyu. Otoritas politik keraton dalam
masyarakat Jawa tradisional meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat karena keraton
adalah pusat dari kehidupan. Keraton adalah asal dari kehidupan itu sendiri sehingga
pengaturan kehidupan diberikan seluruhnya kepada keraton. Aspek ini terlihat dari gelar
penuh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yaitu Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng
Sultan Hamengkubuwono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo,
Kalifatullah Ingkang Kaping IX. Arti gelar yang panjang ini adalah dia adalah penguasa yang
sah di dunia ini; dia juga Senopati Ing Ngalogo, yang berarti bahwa dia adalah panglima
tertinggi, penentu perdamaian dan peperangan. Sultan juga disebut Abdurrahman Sayidin
Panoto Gomo yang berarti penata agama yang pemurah, sebab dia diakui sebagai
Kalifatullah, pengganti Muhammad SAW [ CITATION Soe09 \l 2057 ]. Otoritas Sultan
dalam masyarakat tradisional Yogyakarta terlegitimitasi oleh budaya dan kultur masyarakat.
Bagi masyarakat tradisional Yogyakarta, tiap kata Sultan adalah hukum karena Sultan bukan
sekedar seseorang yang kebetulan memegang kekuasaaan tetapi seseorang yang didukung
oleh segenap kekuatan magis pusaka-pusaka kerajaan.
6
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta
Sultan
Patih
Bupati
Wedana
Asisten
Wedana
Lurah
Kepala
Dukuh
Selain itu pemerintahan colonial juga mempunyai aparat hukum beserta hukum perdata
sendiri untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan orang Belanda.
7
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta
Sultan Pakualam
Pemerintah
Kontroller
Gubernur
Belanda
Belanda
Belanda
Belanda
Residen
Asisten
Jendral
Hindia
Patih Patih
Bupati Bupati
Wedana Wedana
Asisten Asisten
Wedana Wedana
Lurah Lurah
Kepala Kepala
Dukuh Dukuh
Kesetiaan kepada keraton berarti kesetiaan kepada negara Republik Indonesia karena
keduanya adalah bagian yang tidak terpisahkan antara satu lainnya.
8
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta
Dewan Perwakilan
Sultan (Kepala)
Pakualam (Wakil)
Badan Pemerintah Harian
Dewan Perwakilan
Bupati
Panewu
Majelis Desa
Berperan Ganda
Kepala Dukuh
Peran keraton dalam ranah sosial dan budaya adalah sentral karena keraton adalah salah
satu locus pendidikan budaya dimana nilai dan budaya mengalir ke bawah paling
deras[ CITATION Kun06 \l 2057 ]. Selain itu, peran keraton dalam pelaksanaan adat dan
tradisi sangat penting karena pelaksanaan adat dan tradisi termasuk dalam pemeliharaan
kekuasaan keraton itu sendiri.
Pada tahun 1996, Sri Sultan Hemengkubuwono X dengan jelas mengatakan bahwa
dirinya dan Keraton Yogyakarta adalah simbol dan penjaga budaya Jawa. Beliau mengatakan
bahwa dengan pengakuan Sri Sultan Hamengkubuwono IX terhadap negara Republik
Indonesia, tugas dari Keraton harus dibatasi kepada kegiatan budaya dan pelaksanaan ritual
[ CITATION Woo10 \l 2057 ].
3. Kesimpulan
9
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta
otoritas politik Kesultanan Yogyakarta ada karena status Yogyakarta sebagai Daerah
Istimewa. Sumber otoritas Sultan adalah posisinya sebagai Gubernur DI Yogyakarta. Tanpa
status ini, Kesultanan Yogyakarta akan sama dengan kesultanan di daerah lain seperti Cirebon
dimana kesultanan ada tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengatur daerahnya.
Keistimewaan Yogyakarta memberikan kemampuan ini pada Kesultanan Yogyakarta.
Legitimasi pemerintahan di Yogyakarta diberikan kepada Keraton oleh rakyat Yogyakarta
karena Kesultanan Yogyakarta adalah bagian dari negara Republik Indonesia bukan karena
Keraton adalah lembaga pemerintahan tradisional di Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, B. (2006). Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia.
Jakarta: Equinox Publishing.
Cristiano, T. (2004). Authority. Retrieved from Stanford Encylopedia Of Philosophy:
http://www.seop.leeds.ac.uk/entries/authority/
Elson, R. E. (2008). The Idea of Indonesia: A History. UK: Cambridge University Press.
Ferzacca, S. (2002, Mar - Jun). A Javanese Metropolis and Mental Life. Ethos, Vol. 30(No.
1/2), 95 - 112.
Gauthama, M. P. (Ed.). (2003). Budaya Jawa Dan Masyarakat Modern. Jakarta: P2KTPW
BPPT.
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kroef, J. M. (1952, July). Society and Culture in Indonesian Nationalism. The American
Journal of Sociology, Vol. 58(No. 1), 11-24.
Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Murniatmo, G., Sumintarsih, Sukari, Ariani, C., & Nurwanti, Y. H. (2000). Aktualisasi Nilai
Budaya Bangsa Di Kalangan Generasi Muda DI Yogyakarta. Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional. Jakarta: Depdikbud.
Soemardjan, S. (1962). Social Changes in Jogjakarta. New York: Cornell University Press.
10
Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada Otoritas Kesultanan Yogyakarta
Woodward, M. (2010). Muslims in Global Societies Series (Vol. III). (G. Marranci, & B. S.
Turner, Eds.) Springer.
11