You are on page 1of 14

PENDIDIKAN YANG SPIRITUALIS:

Mengoptimalkan Kecerdasan Spiritual Melalui Pendidikan Agama


Abstrak
Islam sebagai agama, sesungguhnya mengajarkan kepada umatnya untuk membentuk
masyarakat yang berperadaban tinggi. Antara agama dan peradaban memiliki korelasi
positif,
semakin tinggi sikap keberagamaan seseorang, maka semakin tinggi pula kontribusinya
dalam mewujudkan masyarakat yang berperadaban, demikian pula sebaliknya.
Makalah ini menolak pemikiran Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya "SQ:
Spiritual Intelligence ± The Ultimate Intelligence" yang menyatakan bahwa kecerdasan
spiritual (SQ) tidak memiliki hubungan dengan agama. Dengan demikian, sumber bahan
yang digunakan dalam makalah ini adalah buku SQ: Spiritual Intelligence ± The Ultimate
Intelligence karya pasangan psikolog Danah Zohar dan Ian Marshall yang diterbitkan oleh
Bloomsbury, Great Britain tahun 2000, yang dibaca dengan menggunakan pola pikir
teologis-
tasawuf yang dibuat oleh Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya "Islamic Spirituality
Foundations" dan telah diterjemahkan oleh Rahmani Astuti ke dalam bahasa Indonesia dan
diterbiutkan oleh Mizan Bandung Tahun 2002 lalu dikombinasikan dengan pola pikir
teologis
John Renard dalam bukunya "Seven doors to Islam: spirituality and the religious l
ife of
Muslims" diterbitkan oleh University of California Press dan diterjemahkan ke dalam
bahasa
Indonesia oleh M. Khoirul Anam dengan judul "Dimens-dimensi Islam" terbitan Jakarta:
Inisiasi Press Tahun 2004
Pendahuluan

Kehadiran teori kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) yang dipopulerkan oleh pasangan
psikolog, Danah Zohar dan Ian Marshall pada tahun 2000 turut merubah orientasi
pendidikan
modern yang selama ini lebih cenderung kepada kecerdasan intelektual (Intellectual
Quotient). Kecerdasan spiritual dianggap penggagasnya sebagai jenis "Q" ketiga (third
intelligence) dan kecerdasan tertinggi (the ultimate intelligence) yang paling menentukan
kesuksesan seseorang sekaligus sebagai landasan yang diperlukan untuk memungsikan IQ
dan EQ secara efektif.
Namun teori kecerdasan spiritual yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall tidak
sepenuhnya relevan dengan konsep pendidikan agama, terutama yang berkenaan dengan
konsep hubungan SQ dan agama. Menurut pasangan psikolog ini, SQ tidak mesti
berhubungan dengan agama. Bahkan ia menegaskan bahwa banyak orang humanis dan
ateis
memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya banyak orang yang aktif beragama memiliki SQ
sangat
rendah. Pemahaman semacam ini bisa berdampak negatif terhadap pengembangan
pendidikan. Sebab, ketika SQ dianggap sebagai kecerdasan yang tertinggi maka
pelaksanaan
pendidikan bisa lebih berorientasi kepada kecerdasan spiritual dan mengabaikan aspek
religius, bahkan ajaran agama dapat dianggap sebagai ajaran yang parsial. Jika kondisi ini
terjadi, maka agama tidak lagi menjadi pegangan hidup dan akan mudah ditinggalkan,
termasuk dalam pelaksanaan pendidikan.
Padahal, agama memiliki ajaran yang universal, komprehensif dan holistik sehingga aspek
spiritual yang sesungguhnya menjadi bagian penting di dalamnya. Pendidikan agama
sebagai
upaya mendidik peserta didik memiliki sikap keberagamaan yang sempurna pada
hakikatnya
juga berorientasi kepada multikecerdasan seseorang, termasuk kecerdasan spiritual.
Konklusi
sementara ini akan diuraikan lebih l
anjut dalam makalah ini secara analisis dan rasional
sehingga menjawab hakikat pendidikan agama dan hubungannya dengan kecerdasan
spiritual
(SQ) seseorang.
Adapun metode yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan cara menganalisis konsep
kecerdasan spiritual yang dipopulerkan oleh Ian Marshal dan Danah Zohar, khususnya
yang
berkenaan dengan hubungan agama dan kecerdasan spiritual. Kemudian, akan dianalisis
pula
kajian tentang spiritual dalam Islam. Setelah itu akan dilakukan formulasi model
pendidikan
agama yang mampu mencerdaskan spiritual seseorang yang pada gilirannya akan
mencerdaskan suatu bangsa.
Pemikiran Danah Zohar dan Ian Marshall tentang agama dan kecerdasan spiritual dalam
bukunya "SQ: Spiritual Intelligence ± The Ultimate Intelligence" akan dianalisi dengan
menggunakan pola pikir teologis-tasawuf yang dibuat oleh Sayyed Hossein Nasr dalam
bukunya "Islamic Spirituality Foundations" dan telah diterjemahkan oleh Rahmani Astuti
ke
dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Mizan Bandung Tahun 2002. Selain itu,
kajian
ini juga didasarkan pula kepada pola pikir teologis John Renard dalam bukunya "Seven
doors
to Islam: spirituality and the religious life of Muslims" diterbitkan oleh University of
California Press dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Khoirul Anam
dengan judul "Dimens-dimensi Islam" terbitan Jakarta: Inisiasi Press Tahun 2004.
Antara IQ, EQ dan SQ
Di awal abad ke-20, IQ menjadi isu besar. Kecerdasan intelektual atau rasional merupakan
kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis. Para
psikolog pendukung konsep itu menyusun berbagai tes untuk mengukurnya, dan tes-tes ini
menjadi alat memilah manusia ke dalam berbagai tingkatan kecerdasan, yang kemudian
lebih
dikenal dengan istilah IQ (Intelligence Quotient) yang dianggap mampu menunjukkan
kemampuan mereka. Bahkan menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang, semakin
tinggi
pula kecerdasannya. Melalui tes IQ (intelligence quotient), tingkat kecerdasan intelektual
seseorang dapat dibandingkan dengan orang lain. Kecerdasan inteligensi dapat diperoleh
melalui pembagian usia mental (mental age) dengan usia kronologis (cronological age) lalu
diperkalikan dengan angka 100.
Studi tentang IQ ini yang pertama kali dipelopori oleh Sir Francis Galton pengarang
Heredity
Genius (1869) dan kemudian disempurnakan oleh Alfred Binet dan Simon, pada umumnya
mengukur kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan praktis, daya ingat (memory),
daya nalar (reasoning), perbendaharaan kata dan pemecahan masalah (vocabulary and
problem sol¬ving). IQ telah menjadi mitos sebagai satu-satunya alat ukur atau parameter
kecerdasan manusia, sampai akhirnya Daniel Goleman mempopulerkan apa yang disebut
dengan EQ (Emotional Intelligence) pada tahun 1995 dengan menunjukkan bukti empiris
dari
penelitiannya bahwa orang-orang yang IQ tinggi tidak menjamin untuk sukses. Sebaliknya,
orang yang memiliki EQ, banyak yang menempati posisi kunci di dunia eksekutif. EQ
memberi rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan dan
kegembiraan secara tepat.
Penelitian para psikolog semakin berkembang sehingga ditemukan jenis "Q" ketiga, yaitu
kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient). Kecerdasan ketiga ini dipopulerkan oleh Danah
Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya "SQ: Spiritual Intelligence ± The Ultimate
Intelligence". Pasangan psikolog ini mendefinisikan SQ sebagai kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna
dibandingkan dengan yang lain. Bahkan mereka menegaskan bahwa SQ sebagai
kecerdasan
tertinggi manusia sekaligus sebagai landasan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara
efektif.
Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual, menurut mereka adalah orang yang
memiliki
kemampuan bersikap fleksibel, tingkat kesadaran diri yang tinggi, mampu menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan dan rasa sakit, kualitas hidupnya diilhami oleh visi dan nilai-
nilai,
berpandangan holistic, dan hidup secara mandiri. Dalam konteks pendidikan, orang yang
memiliki kecerdasan spiritual akan menjadi pribadi yang mandiri, merasakan hidupnya
penuh
dengan nilai serta memiliki kriteria-kriteria di atas sehingga pembentukan karakter yang
diinginkan dalam proses pendidikan dapat terwujud.
4
Kecerdasan Spiritual dalam Islam
Istilah spiritual, sebagaimana yang digunakan dalam bahasa Inggris, sesungguhnya
mempunyai konotasi Kristen yang sangat kuat. Menurut Seyyed Hossein Nasr, istilah yang
digunakan untuk "spiritualitas" adalah rhniyyah (bahasa Arab), ma'nawiyyah (bahasa
Persia), atau berbagai turunannya. Istilah pertama diambil dari kata ruh, yang bermakna ruh
dimana Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk mengatakan, ketika ditanya tentang
hakikat ruh: "Sesungguhnya ruh adalah urusan Tuhanku (Qs. al
-Isra'/17: 85). Sedangkan
istilah yang kedua berasal dari kata ma'na yang secara harfiah berarti makna, yang
mengandung konotasi kebatinan, yang hakiki, sebagai lawan dari yang kasatmata, dan juga
"ruh", sebagaimana istilah ini dipahami secara tradisional, yaitu berkaitan dengan tataran
realitas yang lebih tinggi daripada yang bersifat material dan kejiwaan dan berkaitan pula
secara langsung dengan realitas Ilahi itu sendiri.
Pemahaman seperti ini menunjukkan bahwa spiritual dalam pandangan Islam merupakan
aspek yang bersifat batin, hakiki, dan erat kaitannya dengan keilahiahan. Pemahaman ini
juga
memiliki relevansi dengan SQ yang dikemukakan oleh Danah Zohar dan Marshall yang
mengakui hasil penelitian neuropsikolog Michael Persinger di awal tahun 1990-an lalu
dilanjutkan pula tahun 1997 oleh neurology V.S. Ramachandran bersama timnya di
Universitas California mengenai adanya "titik tuhan" (God Spot) dalam otak manusia.
Hasil
penelitian ini justru memperkuat teori SQ yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall,
meskipun pada akhirnya keduanya menolak jika kecerdasan spiritual ini disamakan dengan
agama yang sesungguhnya memperkenalkan Tuhan.
Adapun mengenai kecerdasan spiritual dalam perspektif Islam berarti kecerdasan yang
berhubungan dengan keilahiahan, bersifat ruhaniyyah, diliputi oleh hikmah dan menjadi
kajian psikologi Islam. Kecerdasan spiritual merupakan potensi yang dimiliki setiap orang
untuk mampu beradaptasi, berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan ruhaniahnya
yang bersifat gaib atau transcendental, serta dapat mengenal dan merasakan hikmah dari
ketaatan beribadah secara vertikal di hadapan Tuhannya secara langsung. Kecerdasan
spiritual dalam Islam juga erat kaitannya tradisi tasawuf yang menjadi kajian penting dalam
Islam. Sufi atau orang yang bertasawuf sesungguhnya orang yang cinta kepada Allah,
berupaya mengasah kemampuan spiritualnya agar dekat dengan-Nya.
Kaitan antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual pada hakikatnya juga
mendapat
perhatian dalam al-Qur'an, seperti firman-Nya dalam surat al-Baqarah/2: 151. Dalam ayat
ini
dijelaskan bahwa di antara tugas setiap Rasulullah adalah untuk yatlu 'alaikum ayatina,
yuzakkikum, dan yu'allimukum al-kitab wa al-hikmah. Tugas yatlu 'alaikum
ayatina/mengajarkan kamu ayat-ayat Kami, sesunggunya mengandung isyarat kecerdasan
intelektual (IQ), sementara yuzakikum atau mensucikan kamu mengandung makna
kecerdasan emosional (EQ), sedangkan yu'allimukum al-kitab wa al-hikmah berarti
kecerdasan spiritual (SQ). Al-kitab dan al-hikmah sarat akan nilai-nilai keilahiahan
sehingga
tugas terakhir dalam ayat di atas patut disebut kecerdasan spiritual.

Selain dari ayat di atas, juga terdapat ayat-ayat lain yang mengisyaratkan tentang
kecerdasan
spiritual. Hamdani Bakran Adz-Dzakiey juga mengemukakan beberapa indikator
kecerdasan
spiritual yang didukung oleh ayat-ayat al-Qur'an, di antaranya: dekat, mengenal, cinta dan
berjumpa Tuhannya ( Qs. 2: 186, 223, Qs. 11: 29, dan Qs. 5:54); selalu merasakan
kehadiran
dan pengawasan Tuhannya di mana dan kapan saja (Qs. 2: 284); tersingkapnya alam ghaib
(transcendental) atau ilmu mukasyafah (Qs. 7:96, Qs. 15:14-15, Qs. 78: 19 dan Qs. 50: 22);
shiddiq (Qs. 9: 119, Qs. 4: 69 dan Qs. 59:8); Tabligh/menyampaikan (Qs. 3: 104, Qs. 2: 44
dan Qs. 61: 2-3); tulus ikhlas (Qs. 4: 146); selalu bersyukur kepada Allah SWT (Qs. 14:7);
dan malu melakukan perbuatan dosa dan tercela (Qs. 96:14, Qs. 2:284). Begitu banyaknya
ayat-ayat berkenaan dengan spiritualitas ini, John Renard menyebut bahwa al-Qur'an
merupakan pusat (rujukan) bagi diskursus dan pengembangan spiritualitas Islam.
Jika dikaitkan dengan struktur kepribadian manusia, maka kecerdasan spiritual bertumpu
pada qalb. Meminjam istilah Taufik Pasiak, qalb merupakan "otak spiritual". Qalb inilah
yang sebenarnya merupakan pusat kendali semua gerak anggota tubuh manusia. Ia adalah
raja bagi semua anggota tubuh yang lain. Semua aktivitas manusia berada di bawah
kendalinya. Bahkan Rasulullah SAW menegaskan bahwa jika qalb ini sudah baik, maka
gerak dan aktifitas anggota tubuh yang lain akan baik pula; demikian sebaliknya.
Sementara
kecerdasan intelektual berpusat di aql dan emosional berpusat pada nafs. Ketiga komponen
ini mendapat perhatian dalam Islam agar dikembangkan dan dioptimalkan sebagaimana
mestinya.
Hubungan antara Agama dan Kecerdasan Spiritual
Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai tokoh yang memopulerkan SQ, membedakan antara
SQ dengan agama. Menurutnya SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Bahkan ia
menegaskan bahwa banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya
banyak orang yang aktif beragama memiliki SQ sangat rendah. Baginya, agama merupakan
seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal. Agama
dipahaminya
sebagai lembaga yang bersifat formal dan top-down, diwarisi dari para pendeta, nabi, dan
kitab suci yang ditanamkan melalui keluarga atau tradisi. Sementara SQ sendiri, ia pahami
sebagai kemampuan yang bersifat internal, bukan eksternal.
Seperti yang telah disinggung di atas, Zohar dan Marshall sebenarnya mengakui hasil
penelitian psikolog sebelumnya tentang adanya god spot dalam otak manusia yang terletak
di
antara hubungan-hubungan saraf dalam cuping-cuping temporal otak. Namun ia tetap
menyangkal kaitan god spot ini dengan adanya Tuhan. God spot, menurutnya, hanya
menunjukkan bahwa otak telah berkembang untuk menanyakan "pertanyaan-pertanyaan
pokok", untuk memiliki dan menggunakan kepekaan terhadap makna dan nilai yang lebih
luas.
Munculnya pendapat yang membedakan agama dan spiritual ini tentu dilatarbelakangi oleh
pemahaman kedua tokoh ini terhadap agama formal. Jika dilihat setting sosial
kehidupannya
yang dibesarkan dan menetap di Barat, tentu pemikiran ini dipengaruhi oleh budaya Barat
setempat. Barat yang notabenenya penganut agama Kristiani sesungguhnya memiliki
sejarah

yang amat panjang. Dalam perkembangan sejarah, agama Kristen²melalui para pendeta dan
tokoh-tokoh agama ini²pernah mengalami lembaran yang kelam, khususnya ketika
berhadapan dengan para ilmuan.
Selama beberapa abad, Barat dikuasai oleh doktrin gereja yang cenderung menolak kajian
ilmu pengetahuan dan budaya berpikir atau filsafat yang pernah berkembang pada masa
sebelumnya di Yunani sehingga mereka jauh dari peradaban. Bapak-bapak gereja Kristen,
setelah agama Kristen menjadi agama resmi Imperium Romawi pada dasawarsa ketiga
abad
ke empat Masehi, bersemangat melakukan kampanye membasmi ilmu dan filsafat. Mereka
menganggap ilmu sebagai sihir. Para ilmuan dianggap kafir, zindik dan keluar dari agama
Masehi. Bahkan antara tahun 1481 hingga 1801, lembaga penyelidikan yang dibentuk oleh
penguasa Paus untuk mencari dan menemukan para ilmuan yang dianggap murtad, telah
berhasil menghukum 340.000 orang, hampir 32.000 di antaranya dibakar hidup-hidup
termasuk sajana besar Bruno. Galileo Galilei (1564-1642 M), sarjana besar lainnya, dengan
terpaksa dihukum seumur hidup dalam penjara, karena keyakinannya bertentangan dengan
kitab Injil dimana ajaran gereja waktu itu berpegang pada konsep geosentris (matahari
mengelilingi bumi) sementara Galileo menganut konsep heliosentris, yaitu bumi bergerak
mengelilingi matahari.
Sikap dari bapak-bapak gereja yang menginginkan umatnya bodoh semata-mata demi
kepentingan pribadi dan kepentingan penguasa. Dengan kebodohan umat tersebut, maka
tidak
akan ada perlawanan atas kezaliman yang mereka lakukan. Dogmatik gereja tersebut
berkembang hingga abad pertengahan. Hingga saat itu pula, Barat mengalami masa
kegelapan yang pada gilirannya berakhir dengan perlawanan para ilmuan yang
mempertahankan pendirian ilmiahnya dan berkoalisi dengan raja untuk menumbangkan
kekuasaan gereja. Koalisi ini berhasil dan tumbanglah kekuasaan gereja sehingga muncul
renaissance yang pada gilirannya melahirkan sekularisasi dan lahirlah dikotomi antara ilmu
dan gereja (agama).
Dampak dari sejarah kelam tentang agama versus ilmu pengetahuan yang terjadi di Barat
tersebut hingga saat ini masih terlihat. Meskipun agama kristen mayoritas, akan tetapi
epistemologi keilmuan yang berkembang di Barat tidak dilandasi oleh ajaran agama
sehingga
ilmu pengetahuan yang mereka hasilkan bisa mengabaikan²bahkan menolak²peran dan
kedudukan suatu agama.
Berbeda dengan sejarah umat Islam, meskipun terdapat lembaran sejarah yang kelam²
seperti sejarah kekuasaan umat Islam yang sulit untuk berjamaah, termasuk ketertinggalan
umat Islam dewasa ini dalam perkembangan iptek, dll.²namun dalam hal perkembangan
ilmu pengetahuan justru berkembang dari motivasi agama. Artinya, puncak ilmu
pengetahuan
pada abad pertengahan di dunia Timur sesungguhnya dipicu oleh semangat ajaran agama
sangat respon terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari wahyu pertama yang
diturunkan justru bermula dengan kata iqra', bacalah! Bukankah membaca sebagai akti
vitas
pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan?

Demikian pula pandangan tentang hubungan agama dan spiritual, Islam tentu memiliki
pandangan yang berbeda dari Danah Zohar dan Ian Marshall di atas. Islam merupakan
agama
yang memiliki ajaran universal dan bersifat totalitas; mencakup berbagai aspek kehidupan
manusia, baik sosial-budaya, politik, ekonomi, material/fisikal, dan termasuk aspek
spiritual.
Karena totalitas dan universalitas Islam itu pulalah Allah menyeru agar manusia yang
berakal
masuk ke dalam Islam secara kaffah (Qs. al-Baqarah/2: 208) atau utuh, tidak setengah-
setengah.
Hubungan antara spiritual dengan agama juga tampak dalam pernyataan Allahbakhsh K.
Brohi yang berpendapat bahwa siapa saja yang memandang Tuhan atau Ruh Suci sebagai
norma yang penting dan menentukan atau prinsip hidupnya bisa disebut "spiritual". Seyyed
Hossein Nasr juga menegaskan bahwa tujuan spiritualitas itu sendiri adalah memperoleh
sifat-sifat Ilahi dengan jalan meraih kebaikan-kebaikan yang dimiliki dalam kadar
sempurna
oleh Nabi dan dengan bantuan metode-metode serta anugerah yang datang darinya dan
wahyu dari al-Qur'an.
Dengan demikian, dalam perspektif Islam, antara agama dan spiritual memiliki korelasi
positif: semakin tinggi kualitas agama seseorang maka semakin cer
das spiritualnya;
sebaliknya, semakin tinggi tingkat kecerdasan spiritual seseorang maka semakin baik pula
sikap keberagamaannya. Dalam istilah John Renard, aspek spiritualitas yang sesungguhnya
mengembangkan dan juga meninggikan sikap keberagamaan.
Urgensi Pendidikan yang Spiritualis
Ketika agama dan spiritual memiliki hubungan yang jelas, maka pendidikan²khususnya
pendidikan agama²sejatinya berorientasi terhadap pengembangan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual tersebut tidak hanya diperlukan oleh seseorang secara individual, akan
tetapi lebih dari itu juga dibutuhkan oleh masyarakat luas, bahkan dalam konteks suatu
bangsa. Ada beberapa alasan penting yang menunjukkan urgensi pendidikan agama yang
bersifat spiritualis tersebut--khususnya dalam kaitannya dengan masyarakat luas²setidaknya
mencakup tiga bentuk, yaitu pertama, sebagai penggerak dan kontrol peradaban; kedua,
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dan ketiga; menjawab tantangan era globalisasi.
Sebagai Penggerak dan Kontrol Peradaban
Tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban suatu bangsa turut dimotivasi oleh keberadaan
agama. Bahkan peradaban yang dicapai oleh umat Islam di era awal dan abad pertengahan
juga dimotivasi oleh agama. Hal itu dapat dilihat dari doktrin dan perintah pertama yang
diterima oleh Nabi Muhammad SAW; iqra'. Ayat sekaligus perintah pertama (QS.96:1)
yang
diterima Nabi itu membawa implikasi yang amat besar terhadap peradaban yang dibangun
dengan basis iman dan ilmu pengetahuan.
Ketika agama diamalkan oleh pemeluknya dengan sempurna, maka spiritualitas masyarakat
pun akan terbangun. Dengan spiritualitas itu pula seseorang mampu memahami hakikat
hidupnya lalu membentuk suatu peradaban yang dinamis. Inilah yang dimaksud dengan
"penggerak" peradaban. Sementara "kontrol" peradaban merupakan peranan agama yang

mencerdaskan spiritual dibutuhkan untuk menjaga stabilitas suatu peradaban agar tidak
terjerumus kepada bangsa yang berfoya-foya, berorientasi duniawi semata yang pada
gilirannya akan mengundang keterpurukan.
Fakta sejarah juga membuktikan bahwa para pecinta spiritual (sufi) memainkan peranan
penting dalam menggerakkan peradaban suatu bangsa. Menjelang 1920, misalnya, setiap
negeri Muslim²kecuali empat di antaranya, Persia, Arab Saudi, Afganistan, dan Turki
²
telah dikuasai dan dijajah oleh kekuatan asing yang kebanyakan adalah bangsa Kristen
Eropa.
Dalam sebuah proses yang telah bermula sejak seabad sebelumnya, rezim-rezim kolonial
memperluas wilayah kekuasaannya atas negara-negara yang mayoritas penduduknya
Muslim.
Di sejumlah daerah, tarekat-tarekat Sufi merupakan institusi-institusi lokal terkuat yang
masih tetap bertahan ketika para penguasa setempat dijatuhkan oleh kekuatan bangsa
Eropa.
Oleh sebab itulah tarekat-tarekat Sufi mampu menjadi pusat-pusat perlawanan antikolonial
di
beberapa tempat, seperti di Aljazair, Kaukasus, dan Sudan. Kondisi ini juga dapat dilihat di
Indonesia dimana para santri bergerak melawan kolonial Belanda. Kaum santri yang
dipimpin oleh Kiyai ini merupakan kelompok yang kaya akan spiritual sehingga eksistensi
mereka memberikan kontribusia yang amat besar terhadap kemerdekaan Republik
Indonesia.
Dengan demikian, suatu bangsa yang berperadaban tinggi memiliki kecerdasan spiritual
yang
tinggi pula, sementara spiritual yang tinggi sangat identik dengan agama. Oleh karena itu,
pendidikan agama yang mencerdaskan spiritualitas bangsa amat dibutuhkan.
Mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 4, disebutkan bahwa pada
tujuan
pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Kata-kata iman dan takwa jelas mengandung muatan spiritualitas yang amat mendalam.
Kata-
kata itu sendiri tentu terinspirasi dari isi al-Qur'an yang juga sarat akan nilai-nilai spiritual.
Bahkan mendahulukan tujuan iman dan takwa dari yang lainnya, termasuk ilmu
pengetahuan,
mengisyaratkan bahwa pendidikan nasional memberikan penekanan yang lebih terhadap
pendidikan yang mencerdaskan spiritual peserta didiknya.
Dalam perspektif Islam, mewujudkan peserta didik yang beriman dan bertakwa serta
berkakhlak mulia sebagai watak bangsa mustahil dapat dilakukan tanpa adanya perhatian
terhadap dimensi spiritual peserta didik. Perhatian itu tentu melalui pendidikan agama.
Namun persoalannya, pendidikan agama, termasuk PAI, belum mampu mewujudkan tujuan
yang diinginkan. Ketidakmampuan ini turut disebabkan oleh orientasi pendidikan agama
yang selama ini lebih mementingkan aspek kognisi (kecerdasan intelektual). Akibatnya,
peserta didik tidak mampu menjadi manusia yang tawakal, tawadhu', serta shaleh secara
individual dan sosial, sehingga seringkali muncul ketidakpercayaan terhadap pendidikan
agama dalam membentuk etika dan moral bangsa.

Oleh karena itu, pendidikan agama yang berorientasi spiritual amat dibutuhkan dalam
konteks keindonesiaan yang pada dasarnya bercorak religius. Tanpa orientasi seperti itu,
maka bangsa ini akan kehilangan jati dirinya, termasuk corak religiusnya, dan diambil alih
oleh pola hidup materialis, hedonis, dan pragmatis.
Menjawab Tantangan Era Globalisasi
"Globalisasi" merupakan kata yang digunakan untuk mengacu kepada bersatunya berbagai
negara dalam globe menjadi satu entitas. Proses globalisasi yang semakin menemukan
momentumnya sejak dua dasawarsa menjelang millennium baru telah mempengaruhi
berbagai dimensi kehidupan suatu bangsa: literatur akademik, idiologi ekonomi dan politik,
sosial-budaya, hingga pada dimensi pendidikan. Singkatnya, proses globalisasi tidak lagi
mengenal tanpa batas (borderless) dengan kemajuan sistem teknologi dan informasi.
Dalam konteks pendidikan, berbagai kecenderungan perkembangan baru pendidikan yang
muncul sebagai konsekuensi globalisasi pada akhirnya diadopsi oleh sistem pendidikan
nasional. Pada adab 21 ini, pendidikan dituntut untuk menyiapkan sumber daya manusia
yang
adaptif, siap pakai, mampu menerima dan menyesuaikan perubahan yang kian cepat di
lingkungannya. Padahal arus globalisasi yang begitu deras, di samping dampak positif yang
ditimbulkan, juga membawa dampak negatif terhadap cita-cita bangsa.
Meskipun era globalisasi mampu membuka sekat-sekat antara satu negara dengan negara
lain, namun disadari atau tidak, era globalisasi juga memunculkan hegomoni bangsa yang
relatif kuat dengan bangsa yang sedang berkembang, apalagi yang terbelakang. Akibatnya,
idiologi, falsafah, budaya dan cara pandang mereka akan berpengaruh pula terhadap watak
bangsa Indonesia.
Dalam konteks kekinian, Barat memegang peran yang signifikan dalam percaturan global
di
berbagai aspek, termasuk pendidikan. Barat pun dianggap negara maju karena lebih mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan secara dinamis dan varian sehingga negara-negara
berkembang dan yang sedang merangkak maju kerap kali menjadikannya sebagai referensi
(barat-centris) dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini pernah disinggung oleh
Ismail Raji al-Faruqi yang menyatakan bahwa materi dan metodologi yang kini diajarkan
di
dunia Islam adalah jiplakan dari materi dan metodologi Barat, namun tak mengandung
wawasan yang selama ini menghidupkannya di negeri Barat. Padahal, umat Islam tidak
mesti
meniru secara mutlak metodologi Barat.
Ketika Barat dianggap lebih maju dan dijadikan sebagai referensi dalam pembangunan dan
pengembangan suatu bangsa, termasuk Indonesia, maka bangsa ini akan rentan terpengaruh
oleh idiologi liberal yang mereka anut serta menjadi korban "imperialisme kultural".
Seperti
yang disinggung sebelumnya, bangsa Barat memiliki sejarah kelam terhadap pihak gereja
vs
ilmuan selama berabad-abad sehingga memicu berkembangnya idiologi liberalisme.
Bahkan,
idiologi ini pada gilirannya turut berpengaruh terhadap epistemology keilmuan yang
mereka
kembangkan. Mujamil Qomar menyatakan bahwa epistemology yang dikembangkan Barat
lebih menekankan pada pendekatan skeptis, rasional-empiris, dikotomik, positif-objektif,
dan
pendekatan yang menentang dimensi spiritual. Semua pendekatan ini menunjukkan bangsa

Barat mengabaikan dimensi spiritual, terutama yang bersifat keilahiahan. Mereka juga
mengeluarkan agama secara total dari epistemology tersebut dengan dalih dapat
menghambat
objektifitas dan merusak validitas ilmu pengetahuan.
Umat Islam memang tidak antipati terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa Barat.
Bahkan fakta sejarah menunjukkan bahwa umat Islam juga belajar kepada Barat dengan
menerjemahkan karya-karya ilmuan Yunani. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat
toleran terhadap pihak asing dan dibolehkan belajar kepada mereka selagi yang dipelajari
itu
bermanfaat. Demikian pula yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada masanya
senantiasa memotivasi umatnya untuk belajar, termasuk kepada non-Muslim. Para tawanan
Badr, misalnya, yang pandai baca tulis itu justru dapat menebus dirinya jika ia bersedia
mengajarkan baca-tulis kepada 10 orang anak-anak Madinah.
Peristiwa ini mengisyaratkan bahwa umat Islam diperkenankan belajar dari manapun
asalnya,
termasuk dari Barat. Hanya saja, bangsa Indonesia harus memiliki karakter yang kuat
sehingga tidak mudah luntur dengan sesuatu yang baru yang datangnya dari luar. Pola
hidup
materialis, pragmatis, hedonis, dan liberalis yang bertentangan dengan akaran Islam mesti
diwaspadai oleh bangsa ini.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, pendidikan yang spiritualis perlu ditampilkan
dengan
cara menerapkan pendidikan agama yang berorientasi spiritual. Jika pendidikan agama
yang
berorientasi spiritualitas ini dapat dilakukan, maka ilmu pengetahuan yang dikembangkan
di
Barat tidak akan menimbulkan mudharat, justru sebaliknya, ilmu pengetahuan seperti itu
akan mampu menghasilkan peradaban yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari peradaban yang
telah mereka dicapai.
Gagasan pendidikan agama yang spiritualis sesungguhnya relevan dengan kondi
si bangsa
Indonesia itu sendiri yang mayoritas menganut agama Islam dan didukung oleh kebijakan-
kebijakan politik pendidikan yang religius. Untuk itu, agar umat Islam Indonesia yang
dikenal sebagai "The Biggest Moslem Community in The Word" mampu tampil terdepan
dengan kebudayaan dan peradaban yang tinggi, perlu menerapkan strategi pendidikan
agama
yang mencerdaskan spiritual bangsa.
Strategi PAI dalamMengoptimalkan Kecerdasan Spiritual
Untuk mewujudkan pendidikan agama yang mampu mengoptimalkan kecerdasan spiritual,
perlu dilakukan beberapa strategi. Dalam hal ini, strategi itu akan dilihat dari sudut
pendekatan atau metodologi keilmuan yang digunakan. Ada lima pendekatan yang
mendapat
penekanan lebih dalam konteks pendidikan agama yang mengoptimalkan kecerdasan
spiritual, yaitu: 1) pendekatan intrinsic, 2) pendekatan teoantroposentris dan humanistic
religius, 3) pendekatan integralistik tematik, 4) pendekatan keteladanan, dan 5) pendekatan
amanu wa 'amilushsholihat.
Pendekatan intrinsik
Pendekatan intrinsik adalah pendekatan yang berupaya untuk membangkitkan kesadaran
beragama dalam dirinya sendiri, bukan semata-mata dorongan dari luar. Ada dua cara
macam
beragama: yang ekstrinsik dan yang intrinsik. Cara ekstrinsik memang agama sebagai
sesuatu
untuk dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live. Orang
berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan
untuk
menunjang motif-motif lain; kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Orang yang
beragama dengan cara ini, melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama, ia puasa, shalat,
naik haji, dan sebagainya ± tetapi tidak di dalamnya. Cara beragama seperti ini memang
erat
kaitannya dengan penyakit mental. Cara beragama semacam ini tidak akan melahirkan
masyarakat yang penuh kasih sayang. Sebaliknya kebencian, irihati, dan fitnah masih akan
tetap berlangsung.
Agaknya, beragama dengan cara ekstrinsik inilah yang identik dengan pendapat Danah
Zohar
dan Ian Marshall tentang orang-orang yang beragama, tetapi rendah kecerdasan
spiritualnya.
Hanya saja, keduanya tidak menguraikan lebih lanjut, akan tetapi mengklaim secara
langsung
bahwa agama tidak ada hubungannya dengan SQ.
Dengan pendekatan instrinsik, maka sikap keberagamaan setiap peserta didik diharapkan
muncul dari dalam dirinya, bukan karena dari luar. Kondisi semacam ini pada gilirannya
akan
membentuk kepribadiannya sehingga menjadi akhlak dalam hidupnya. Jika kondisi
semacam
ini terbentuk, niscaya akan berpengaruh pula terhadap perkembangan masyarakat, serta
bangsa dan negaranya.
Pendekatan teo-antroposentris atau humanistik religious
Corak pemikiran filosofis yang berkembang pada tiap-tiap zaman memiliki ciri tertentu
yang
berbeda. Ada yang berpendapat bahwa filsafat zaman kuno bersifat "kosmosentris" dan
filsafat abad pertengahan bersifat "teosentris" sedangkan zaman modern bersifat
"antroposentris". Namun, jika dilihat dari konsep ajaran Islam, dapat dipahami bahwa
ajarannya mengandung pesan yang bersifat humanis, berorientasi pada manusia, akan tetapi
dilandasi dan dibarengi oleh keimanan kepada Allah SWT.
Esensi pendekatan humanistik religious adalah mengajarkan sikap keberagamaan tidak
semata-mata merujuk teks kitab suci, tetapi melalui pengalaman hidup dengan
menghadirkan
Tuhan dalam mengatasi persoalan kehidupan individu dan sosial. Tegasnya, pendekatan
teoantroposentris menekankan akan pentingnya aspek spiritual dalam pengembangan
pendidikan agama. Hanya saja, tidak berorientasi kepada aspek yang bersifat transenden
belaka, tetapi konsep pendidikan itu harus "membumi", dapat menyentuh dan menjawab
berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh umat.
Pendekatan integralistik tematik
Sebagaimana yang disinggung sebelumnya, pendidikan agama yang bermuatan spiritual
tidak
hanya mengedepankan aspek spiritual lalu mengabaikan aspek materil. Tetapi, kedua aspek

itu mesti dikombinasikan, saling melengkapi dan saling terpadu. Disinilah diperlukan
pendekatan integralistik-tematik.
Pendekatan integralistik tematik merupakan sebuah pendekatan penyajian agama, baik
secara
lisan maupun tertulis dengan cara mengintegrasikan seluruh bidang ilmu agama ke dalam
sebuah tema tertentu. Ketika mengajarkan tema tentang shalat misalnya, tidak hanya dilihat
atau didekati dari segi formalistik, simbolistik dan ritualistiknya (fikih-nya) saja, melainkan
juga dilihat dari segi dalil-dalil berupa ayat al-Qur¶an dan al-hadis yang pada hakikatnya
berkaitan dengan bidang kajian al-Qur¶an dan al-Hadis. Kemudian dilihat pula dari segi
hikmahnya yang berkaitan dengan ajaran tentang filsafatnya. Selanjutnya dilihat pula latar
belakang terjadinya kewajiban shalat yang selanjutnya berkaitan dengan ajaran tentang
sejarah. Kemudian dilihat pula dari segi spirit atau kejiwaannya yang pada hakikatnya
berkaitan dengan ajaran tasawuf.
Dengan demikian, sebuah tema kajian dapat dilihat dari berbagai bidang ilmu agama.
Pendekatan integralistik tematik ini akan memberikan pemahaman kepada anak didik
tentang
ayat-ayat Allah baik dalam bentuk qawliyah maupun kawniyah secara integral. Kedua ayat
-
ayat ini sesungguhnya mampu meningkatkan keimanan seorang mukmin. Dengan
pendekatan
ini, akan nampak bahwa ternyata berbagai bidang ilmu agama tersebut saling berhubungan
dengan erat. Pendekatan penyajian agama secara integralistik tematik ini selain akan lebih
efisien dan menantang serta penuh dengan daya analisa, juga sejalan dengan prinsip
pendekatan pengajaran yang modern, serta didukung oleh teori psikologi Gestalt yang
melihat bahwa antara satu kemampuan dengan kemampuan lainnya yang dimiliki manusia
saling berhubungan. Dengan pendekatan yang integralistik tematik ini, maka tidak akan ada
lagi pertentangan (dikotomi) antara satu ilmu agama dengan ilmu agama lainnya
sebagaimana yang pernah terjadi dalam sejarah dan masih cukup kuat pengaruhnya hingga
sekarang.
Pendekatan keteladanan
Metode keteladanan merupakan metode yang paling berpengaruh dalam mendidik peserta
didik, khususnya dalam hal pembentukan kepribadian. Pentingnya metode ini juga dimiliki
oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Bahkan al
-Qur¶an menegaskan bahwa
Nabi Muhammad SAW itu menjadi teladan bagi para umatnya (Qs. al-Ahzab/33: 21).
Keteladanan itu terlihat dari setiap perilaku yang ditampilkan oleh Rasulullah, sehingga
Allah
pun memujinya dalam al-Qur¶an: dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak
yang agung (Q.s. Qalam/68:4).
Untuk menerapkan pendidikan agama yang berorientasi kepada kecerdasan spiritual,
pendekatan keteladan merupakan pendekatan yang paling efektif. Bahkan, dalam tradisi
tarekat, keteladanan seorang mursyd atau guru amat dibutuhkan. Dalam hal ini, seorang
guru
dituntut untuk memiliki integritas kepribadian yang mulia sehingga menjadi model dan
teladan bagi peserta didiknya.

Pendekatan aman wa 'amilushshliht


Banyak ditemukan dalam al-Qur'an kata-kata aman wa 'amilushshliht yang secara
tekstual
diartikan sebagai beriman dan beramal shaleh. Orang-orang yang termasuk ke dalam
kelompok ini adalah orang yang beruntung (al-Ashr/103:3), mendapat ampunan dan pahala
(al-Fath/48: 29), dijadikan sebagai penguasa atau khalifah di muka bumi (an-Nur/24: 55),
memperoleh keamanan (Saba'/34: 37), memperoleh karunia-Nya (asy-Syuura/42: 26), dan
sebagainya.
Aman wa 'amilushshliht juga dapat diartikan sebagai sikap yang memliki konsisten,
komitmen, dan loyalitas loyaliyas yang kuat serta berpikir dan bertindak secara kreatif dan
produktif. Konsep Aman wa 'amilushshliht ini dapat dijadikan sebagai pendekatan
pendidikan agama. Aman wa 'amilushshliht mengandung sarat nilai
-nilai spiritual
sekaligus memberi inspirasi untuk berkarya secara kreatif, inovatif, dan produktif. Modal
ini
sangat dibutuhkan dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang berperadaban tinggi.
Kesimpulan
Makalah ini menolak pemikiran Danah Zohar dan Ian Marshall tentang hubungan agama
dengan kecerdasan spiritual dalam bukunya "SQ: Spiritual Intelligence ± The Ultimate
Intelligence". Dalam buku tersebut Zohar dan Marshalla menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara agama dengan kecerdasan spiritual (SQ). Menurut penulis, agama justru
mendidik pemeluknya untuk memiliki kecerdasan spiritual dalam arti yang sesungguhnya.
Antara agama dan spiritual memiliki korelasi yang positif: semakin tinggi kualitas
keberagamaan seseorang maka semakin tinggi pula kualitas spiritualnya, demikian
sebaliknya.
Hubungan antara agama dan spiritualitas ini juga dikemukakan oleh Sayyed Hossein Nasr
dalam bukunya Islamic Spirituality Foundations. Menurutnya, hakikat spiritual justru
bersifat
ilahiah yang menjadi puncak tertinggi dalam ajaran Islam. Demikian juga John Renard
berpendapat bahwa spiritualitas mengembangkan dan juga meninggikan kehidupan
keberagamaan. Namun, dikotomi antara agama dan dimensi spiritualitas juga banyak
dikemukakan oleh sarjana Barat, di antaranya J. Harold Ellens, Vernon A. Holtz dan
Stephen
R. Honeygosky. Bahkan John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000
menyebutkan slogan New Age dengan Spirituality, Yes! Organized Religion, No!.
Perbedaan
ini tampaknya dilatarbekalangi oleh pemahaman mereka sendiri yang tidak utuh terhadap
agama sehingga agama hanya dianggap sebagai organisasi formal yang tidak menjamin
terpenuhinya kepuasan spiritua

You might also like