Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH
Dosen
Prof. DR. HM Yasir Nasution
DR Hasyimsyah Nasution, MA
DR Mahmuddin Siregar
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2004
2
Isi
Kepustakaan…………………………………………………………………………….18
3
Arab dan Persia pada usia muda, disamping bahasa Urdu sebagai bahasa ibu, Iqbal telah
menjadi dosen di Universitas Lahore pada usia 24. Kemudian melanjutkan studinya ke
Universitas Cambridge di Inggris, dan meraih gelar doktor pada usia 30 dari Universitas
pengacara, Iqbal terjun ke politik dan menjadi anggota parlemen daerah Punjab tahun
1920.1
Iqbal dikenal sebagai filosof penyair yang menggagas wacana tentang ide negara
inilah yang pada 1947 direalisasikan Muhammad Ali Jinnah dengan membentuk negara
Islam Pakistan, sembilan tahun setelah kematian Iqbal pada 21 April 1938.
yang menjadi topik utama bahasan makalah ini. Karya-karyanya yang lain berupa
kumpulan puisi seperti Bal-i Jibril (Sayap Jibril), Payam-i Mashriq (Pesan dari Timur),
Gulshan-i Raz-i Jadid (Taman Misteri Baru), Asrar-i Khudi (Rahasia Diri), yang
keseluruhannya kemudian dihimpun dalam Kulliyat-i Iqbal yang diterbitkan pertama kali
1
Wasiullah Khan, “Muhammad Iqbal” dalam Great Muslims of 20th Century, dalam www. islam101.com.
2
Dr Hasan Asari, MA, Modernisasi Islam, Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, (Bandung : Citapusaka Media,
2002), hal. 164.
4
pemikiran dan gagasan-gagasan Shah Wali Allah Dihlawi, Sayyed Ahmad Khan dan
Jamaluddin al-Afghani. Iqbal juga, sebagaimana dapat dibaca dalam karya utamanya,
adalah pengikut yang kritis dari pemikiran Al-Ghazali dan Immanuel Kant, tetapi banyak
berseberangan pandangan dengan Mu’tazilah dan Al-Asy’ari sekaligus, dan juga dengan
Terhadap dua yang disebut terakhir, misalnya, Iqbal menyayangkan mereka yang
membutuhkan waktu sampai 200 tahun untuk menyadari semangat Al-Qur’an adalah
skeptisisme filsafat, “satu dasar yang agak kurang aman bagi agama dan tak seluruhnya
Kritik tajamnya terhadap filsafat Yunani dia ungkapkan dengan menilai Ibnu
Rusyd sebagai orang yang telah kehilangan pandangan tentang cita-cita besar dan
bermanfaat dalam Islam, dan secara tidak sadar membantu pertumbuhan filsafat
sebagai senjata. Akan halnya Mu’tazilah, Iqbal menyebut mereka sebagai pihak yang tak
kemerdekaan pikiran yang mutlak bebas dari pengalaman nyata adalah tidak mungkin.4
3
Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1983), hal. 35.
4
Ibid., hal. 36.
5
besar dunia Islam, dan telah mempengaruhi disamping dipengaruhi oleh banyak
perspektif intelektual lain, termasuk teologi skolastik (kalam) dan sufisme doktrinal (al-
ma’rifah; ‘irfan). Filsafat Islam lahir dari spekulasi filosofis tentang warisan filsafat
Yunani, tetapi berbeda dengan sumbernya, filsafat Islam berkonsentrasi pada apa yang
seputar filsafat ketuhanan. Menurutnya, ambisi agama terbang lebih tinggi dari ambisi
filsafat. Agama, dalam hal ini, Islam, tidak puas hanya dengan konsepsi saja, tetapi
berusaha mencari pengetahuan yang lebih mesra tentang Obyek dari yang dikejarnya.
Dalam pandangan Iqbal, ada perbedaan prinsip antara filsafat dengan agama.
Semangat filsafat adalah semangat bebas bertanya dan mencurigai semua yang memiliki
pengusutan dan penjelajahan tersebut akhirnya akan bermuara kepada penolakan atau
penerimaan yang jujur bahwa akal semata tidaklah sanggup mencapai kebenaran yang
hakiki.7
5
Seyyed Hossein Nasr, entri Filsafat, dalam John L. Esposito, (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam
Modern, Jilid 2 (Bandung : Mizan, 2001), hal. 71.
6
Iqbal, op.cit., hal. 135.
7
Ibid., hal. 31.
6
Untungnya, iman tidaklah semata faktor perasaan tetapi membutuhkan akal sebagai alat
penjelas. Tetapi menyesuaikan agama dengan akal tidaklah berarti mengakui kelebihan
filsafat atas agama. Meski filsafat memiliki kewenangan mempersoalkan agama, tetaplah
hal itu harus mengacu kepada sifat agama itu sendiri, yakni agama tidak semata
menyangkut akal, dan tidak pula semata menyangkut intuisi, melainkan meliputi
keduanya.8
Akal sebagai wilayah kajian filsafat dan akal beserta intuisi sebagai wilayah
temporer kebenaran, agama merumuskan aspek keabadian kebenaran. Agar dapat sampai
kepada tujuan masing-masing, filsafat berangkat melalui pengujian intelektual dan agama
pemahaman kritis tanpa asumsi dasar apa pun dari pengalaman manusia, dengan tujuan
agama. Adapun pengujian pragmatis lebih mengacu kepada hasil akhir. 9 Dengan kata
lain, Iqbal nampaknya hendak mengatakan pengujian intelektual yang dilakukan filosof
berorientasi kepada metode, dan pengujian pragmatis yang dilakukan para Nabi
Dalam kalimat lain, Iqbal membedakan filsafat sebagai pandangan akal tentang
8
Ibid., hal. 32.
9
Ibid., hal. 62.
7
memandang Hakikat dari jauh, agama mencari hubungan yang lebih akrab dengan
Hakikat. Filsafat adalah teori, dan agama adalah pengalaman dan pendekatan yang
mengutip QS. 2 : 31 yang menjelaskan tentang penciptaan Adam yang diikuti dengan
“mengajarkan nama dan karakteristik benda agar ia dapat hidup dan mengambil manfaat
dari alam”11
Isi pokok ayat tersebut, demikian Iqbal, adalah pernyataan bahwa manusia
tentang benda. Berdasar hal tersebut, simpulnya, sifat pengetahuan manusia menurut Al-
mendekati bidang yang dapat terlihat oleh indra (empirisisme), sebagaimana ditegaskan
dalam sejumlah ayat Al-Qur’an tentang penciptaan langit dan bumi, perobahan malam
dengan siang, dan seterusnya (QS 2 : 164); penciptaan bintang-bintang sebagai pedoman
perjalanan di darat dan di laut, penciptaan manusia dan tumbuh-tumbuhan (QS 6 : 97-99).
ثم سواه ونفخ فيه من روحه وجعل لكم السمع واالبصار واالفئدة قليال ماتشكرون
10
Ibid., hal. 103.
11
QS 2 : 31 dikutip dari Tafsir Al-Muntakhab, Edisi Arab-Indonesia (Kairo : Universitas Al-Azhar,
Kementerian Wakaf dan Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Republik Arab Mesir, 1421 H), http ://www.
awkaf.org. Seluruh terjemahan ayat selanjutnya dikutip dari sumber yang sama, kecuali dinyatakan lain.
8
Hati adalah semacam intuisi atau pandangan ke dalam yang membuat manusia
sanggup melakukan kontak dengan segi-segi lain dari kebenaran yang tidak tertangkap
indra. Hati menurut Al-Qur’an adalah alat melihat ke dalam, dan laporannya jika
ditafsirkan sewajarnya (alamiah), tidak pernah salah. Hati membawa manusia kepada
pengalaman mistis yang tak dapat dijangkau lewat ilmu pengetahuan biasa. Sifat-sifat
utama pengalaman mistis itu dalam penjelasan Iqbal adalah : Pertama, bersifat langsung.
Pengalaman biasa (nonmistis) tunduk kepada pemahaman yang didapat indra yang
terumuskan dalam ilmu pengetahuan. Demikian pula pengalaman mistis tunduk kepada
pemahaman yang didapat hati yang terumuskan dalam pengetahuan manusia tentang
keberadaan Tuhan. Dengan kata lain, manusia mengenal Tuhan lewat qalb, persis sama
Kedua, pengalaman mistis tidak dapat dianalisa, dan Obyek-nya tidak dapat
kecil yang membentuk komponen benda menjadi benda itu sendiri. Ketiga, pengalaman
mistis adalah penyatuan diri yang mesra dengan suatu Diri lain yang unik, dimana pada
saat penyatuan tersebut diri manusia larut dalam Diri yang lain itu. Di sini, Osman Raliby
selaku penerjemah buku Iqbal, agak berbeda dengan Hasyimsyah Nasution dalam
menyatakan manusia (diri) tidak boleh membiarkan dirinya terserap ke dalam Diri (baca :
12
Iqbal, op.cit., hal. 51.
9
Tuhan). Sebaliknya manusialah yang harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya, dalam arti
Dalam kaitan dengan sifat ketiga di atas, Iqbal mengutip Al-Qur’an Surah Al-Baqarah
186 :
واذا سالك عبادي عني فاني قريب اجيب دعوة الداع اذا دعان فليستجيبوا لي وليؤمنوا بي لعلهم يرشدون
Kedekatan Diri yang diungkap dalam ayat di atas itulah yang dimaknai Iqbal
sebagai kemampuan diri manusia menyatu dengan Diri yang lain melalui pengalaman
mistis.
berwujud perasaan daripada pikiran. Pengertian dan substansi yang diperoleh melalui
pengalaman mistis dapat dikomunikasikan kepada orang lain dalam bentuk proposisi-
proposisi, tetapi isi dari substansi itu sendiri tidak, karena pada dasarnya ia adalah suatu
materi dari perasaan (yang berarti immateri) yang tidak dapat dijangkau oleh logika akal.
pengalaman mistis juga memiliki unsur pengenal yang membuatnya bisa menjelma (atau
13
Dr Hasyimsyah Nasution, MA, Filsafat Islam (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002), hal. 191.
10
terungkapkan) dalam bentuk pikiran. Sebab sudah menjadi watak dasar dari perasaan
Harus diakui ada kesulitan memahami ungkapan Iqbal tentang sifat ketiga dan
keempat dari pengalaman mistis di atas, dan salah-salah bisa membuat kita
tersebut. Jauh dari keinginan mengkafirkan Al-Hallaj (ingat kisah Sunan Kalijaga versus
Syekh “Al-Hallaj” Siti Jenar!), Iqbal justru membuat pengakuan yang sangat jujur.
“Sekarang ini,” ungkapnya, “Kita masih belum sanggup memiliki metode ilmiah
seperti Al-Hallaj. Pun, gagasan dari sistem ketuhanan yang dibungkus dengan
terminologi metafisika yang paling praktis sekali pun, tak dapat membantu kita yang
berpusat pada zat yang membentuk roh manusia. Dengan kata lain diri manusia (human
ego) dikendalikan oleh roh. Inilah yang oleh Iqbal disebut konsep tentang khudi. 16
Konsep diri (jiwa dan raga) mengungkapkan dirinya dalam satu kesatuan keadaan
mental (mental states) yang kompleks tetapi utuh menyatu yang dinamakan akal.
Kesatuan keadaan mental dari diri itu dijelaskan Iqbal sebagai pikiran yang tidak
berhubungan dengan ruang (tempat), sebab diri dapat berpikir tentang lebih dari satu
susunan tempat. Ruang sadar dan ruang mimpi dari satu diri adalah terpisah dan tidak
14
Ibid., hal 54.
15
Ibid., hal 144.
16
Ibid.
11
adalah zat dari roh yang utuh. Hanya tambahannya, demikian Iqbal, pengalaman sadar
fisik manusia tidak bisa digunakan menjelaskan makna zat dari roh itu sendiri.17
Kehidupan zat dari roh atau sebutlah diri dalam pengertian jiwa dan raga hadir
dari ketegangan yang ditimbulkan oleh diri itu sendiri dalam berhadap-hadapan dengan
lingkungannya. Diri tidak berada di luar tetapi larut dalam konflik sebagai energi
pembimbing yang dibentuk serta diatur oleh pengalaman diri tersebut. Iqbal mengutip Al-
Menurut Iqbal, harus dibedakan antara amr dan khalq, sebagai dua kata yang
mengungkapkan dua cara yang berbeda tentang kegiatan penciptaan yang dilakukan
memimpin dari Tuhan, walaupun manusia tidak mengetahui bagaimana mekanisme amr
tersebut bekerja. Dengan demikian, disimpulkan tubuh manusia adalah alat dari roh untuk
berinteraksi dengan lingkungan. Jika kita mengambil buku dari atas meja, demikian Iqbal
mencontohkan, adalah karena raga kita diperintahkan oleh jiwa (roh) untuk
17
Ibid., hal. 152.
12
melakukannya. Tidak mungkin menarik garis pemisah antara amr dan khalq atas suatu
tindakan yang dilakukan. Keduanya menyatu dalam suatu sistem yang terintegrasi. Diri
bergerak melakukan perpaduan kreatif antara indra dan akal berdasar perintah Diri
Mutlak18 Inilah inti filsafat ketuhanan Iqbal, yaitu perlunya penciptaan dan
Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin. Dan Dia
mengetahui segala sesuatu {yang tampak (fisik) dan yang tidak terlihat (roh)}. (QS
Al-Hadid (57) : 3)
Kristen Barat yang mengembangkan konsep Tuhan adalah cahaya dalam makna yang
harfiah. Ia merujuk kepada pemikiran Lewis R Farnell dalam The Attributes of God yang
menyebut Tuhan sebagai unsur kosmis yang menyusup seperti cahaya, 19 yang
اهلل نور السماوات واالرض مثل نوره كمشكاة فيها مصباح المصباح في زجاجة الزجاجة كانها كوكب دري يوقد من
شجرة مباركة زيتونة الشرقية والغربية يكاد زيتها يضيئ ولو لم تمسسه نار نور على نور يهدي اهلل لنوره من يشاء
ويضرب اهلل االمثال للناس واهلل بكل شئ عليم
Allah adalah sumber segala cahaya di langit dan di bumi. Dialah yang
menerangi keduanya dengan cahaya yang bersifat materiil yang dapat kita lihat dan
berjalan di bawah cahayanya. Cahayanya juga ada yang bersifat maknawi seperti
18
Ibid., hal. 155-156.
19
Lewis R Farnell, The Attributes of God (Oxford : Clarendon Press, 1925)
13
Tidak diragukan, kalimat pembuka dalam ayat di atas memberi kesan penjauhan
diri dari konsep individualistis (keesaan?) dari Tuhan, tegas Iqbal. Tetapi jika diikuti
metafor selanjutnya, justru memberi kesan sebaliknya; menyatakan sugesti tentang unsur
kosmis yang tidak berbentuk yang kemudian dipusatkan dalam sesuatu yang menyala
(matahari?). Berdasar hal itu, Iqbal menyarankan penggambaran Tuhan sebagai cahaya
dalam tradisi Islam, Kristen, dan Yahudi harus ditafsirkan secara berlainan. Dalam fisika
kecepatan cahaya tidak dapat dilampaui, sehingga metafor Tuhan sebagai cahaya
14
haruslah dipandang menunjukkan Kemutlakan Tuhan dan bukan wujud atau tempatNya
berada.20
Qur’an tentang Tuhan dipandang dari pemahaman intelektual semata adalah Maha
Bukti kemahapenciptaan Tuhan adalah alam semesta yang terdiri dari ruang,
waktu, dan benda, meski konsep tentang ketiganya adalah penafsiran yang dilahirkan
pikiran manusia terhadap enerji penciptaan dari Tuhan. Dengan kata lain, ketiganya
bukanlah realitas bebas yang ada dengan sendirinya, melainkan hanya sebagai cara
jika ada orang yang mengatakan bahwa dahulu, sebelum alam semesta diciptakan,
Menurut fisika, kecepatan gerak gelombang memiliki frekuensi 400 triliun per
detik, sedang batas daya penglihatan manusia terhadap cahaya hanyalah 200 per detik.
cahaya tersebut. Iqbal tidak menyebut satuan gerak gelombang, tetapi angka perhitungan
definitif yang kita peroleh melalui hitungannya sesungguhnya adalah 6.341 tahun. Dalam
pemahaman Iqbal, satu hari ketuhanan menurut istilah Al-Qur’an dan Injil sama dengan
1.000 tahun kehidupan manusia. Sehingga wajarlah jika Tuhan menyatakan dalam Al-
Qur’an Surah Al-Furqaan 59 bahwa langit dan bumi beserta semua yang ada di antara
keduanya Dia ciptakan dalam enam hari, 23 yang menunjukkan proses evolusi alam
yang menegaskan bahwa “Dialah yang telah menjadikan malam dan siang berganti-ganti
sebagai tanda bagi orang yang mau berpikir dan mau berterimakasih”. Berganti-gantinya
malam dan siang itu (berarti : waktu) tunduk kepada penambahan, dalam arti alam
semesta bukanlah satu hasil yang telah cukup lengkap yang telah ditinggalkan oleh
Tangan Pembuatnya berabad-abad yang lampau dan kini hanya terbentang dalam ruang
sebagai kumpulan benda mati yang tidak diapa-apakan oleh waktu. 24 Maka alam harus
mempunyai batas keluar yang berkesudahan. Batas satu-satunya adalah ke dalam, yaitu
memberi makna spiritual baru bagi fisika, dimana pengetahuan kita tentang alam adalah
pengetahuan kita tentang tindak-tanduk Tuhan, atau yang lazim kita sebut sebagai ayat-
ayat kauniyah.
Waktu yang dipandang sebagai satu keseluruhan organis itulah yang oleh Al-
Qur’an dinamakan takdir atau nasib, kata yang menurut Iqbal banyak disalahmengerti
tidak saja oleh kalangan non-Muslim, tetapi juga pada mayoritas umat Muslim. Dalam
penyimpulannya Iqbal merumuskan, takdir adalah waktu sebagai “diri” waktu itu sendiri,
dan bukan sebagai “waktu yang dipikirkan” atau “waktu yang diperkirakan”, dan waktu
24
Ibid., hal. 95.
16
itulah yang membentuk intisari dari materi, sesuai penafsirannya atas Al-Qur’an Surah
At-Thalaq 3 dan Al-Qamar 49, bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu menurut
qadarnya masing-masing. Apa yang kita sebut benda (materi), kata Iqbal, adalah
peristiwa dalam kelanjutan alam semesta yang oleh pikiran manusia diberi tempat dalam
suatu ruang (space) tertentu. Alam semesta yang bagi kita seolah merupakan kumpulan
materi bukanlah suatu zat keras yang menempati ruang hampa. Alam semesta
sesungguhnya bukan materi atau benda tetapi gerak. Intisari dari materi, yaitu atom
adalah listrik, dan listrik bukanlah materi tetapi gerak, simpul Iqbal.25
Tuhan. Tahap pencarian dipengaruhi Ibn Arabi dan Plato yang memandang Tuhan
sebagai Keindahan Abadi. Tahap kedua sebagai tahap pertumbuhan, menyangsikan sifat
kekal dari keindahan itu dan mulai terpengaruh Jalaluddin Rumi yang memandang Tuhan
sebagai Kemauan Abadi. Adapun “Keindahan Abadi” bergeser sifatnya menjadi hanya
sifat Tuhan. Terakhir tahap kematangan, Iqbal memandang Tuhan sebagai Hakikat dari
keseluruhan yang pada dasarnya bersifat spiritual. Dengan kata lain, Tuhan adalah Khudi
Salah satu kesulitan memahami alur pemikiran Iqbal adalah karena ia sering
seperti alam semesta, misalnya, dengan konsep yang bersifat imateri seperti waktu, gerak,
dipengaruhi oleh bakat dan posisinya sebagai seorang penyair. Seperti layaknya syair,
25
Ibid., hal. 90-91.
26
Nasution, op.cit., hal. 190-191.
17
kita terkadang menemui kesulitan menetapkan mana isi dan mana sampiran dari
karyanya.
Kepustakaan
18
Esposito, John L., (ed.), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 2 (Bandung :
Mizan, 2001).
Hasan Asari, Dr, MA, Modernisasi Islam, Tokoh, Gagasan, dan Gerakan, (Bandung :
Nasution, Dr Hasyimsyah, MA, Filsafat Islam (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2002).
Iqbal, Muhammad, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby,
Khan, Wasiullah, “Muhammad Iqbal” dalam Great Muslims of 20th Century, dalam
www. islam101.com.
Wakaf dan Majelis Tinggi Urusan Agama Islam Republik Arab Mesir, 1421 H),