You are on page 1of 6

Tinjauan Tentang Nilai-nilai Dasar Adat Minangkabau

Reengineering Masyarak Berbudaya

Persoalan perubahan sosial budaya (reengeneering masyarakat) merupakan fenomena yang


universal dalam masyarakat manusia, karena tidak ada satu kebudayaan yang statis. Lambat atau
cepat, karena faktor-faktor internal dan eksternal setiap kebudayaan akan berkembang mengikuti
dinamikanya sendiri. Dalam dunia yang semakin kecil dewasa ini kontak budaya sebagai salah
satu faktor pendorong terjadinya perubahan sudah demikian ekstensifnya, sehingga perubahan
sudah merupakan gejala yang universal. Namun ditengah gejala perubahan yang universal
tersebut ada aspek-aspek kebudayaan yang bertahan, berlanjut bersama kelanjutan suatu
masyarakat.

Ada berbagai sifat yang kelihatannya paradoksal dari kebudayaaan, yaitu

1. Semua masyarakat mempunyai kebudayaan, tetapi manifestasi lokal atau regional dari
kebudayaan-kebudayaan tersebut bersifat unik.
2. Kebudayaan bersifat stabil, tetapi juga dinamis, dan terus memperlihatkan perubahan-
perubahan.
3. Kebudayaan mengisi dan menentukan jalan kehidupan pendukung-pendukungnya, namun
kebudayaan tersebut jarang menganggu alam sadar kita (Herskovits, 1964:306).

Kalau kita sering menganggap “Adat Minangkabau” unik, maka hal tersebut bukan
keistimewaan kebudayaan masyarakat Minangkabau saja. Semua kebudayaan adalah unik seperti
apa yang dimaksudkan oleh butir pertama. Apabila dalam ungkapan Adat Minangkabau
dikatakan bahwa: “adat indak lakang dek paneh indak lapuek dek hujan”, dan: “Sakali aia
gadang sakali tapian berubah”, dilihat dari perspektif sifat kebudayaan, maka ungkapan ini
kiranya sama dengan isi butir kedua yang disebutkan di atas.

Seperti halnya tata bahasa yang menentukan struktur kalimat yang betul atau sebuah cetak biru
yang menentukan struktur sebuah bangunan, maka kebudayaan mempunyai fungsi yang dapat
dianalogikan dengan tata bahasa atau “design” sebuah bangunan. Ia membimbing dan
menentukan cara berfikir dan bertingkah laku yang “dihargai” dan “diingini” oleh masyarakat
yang mendukung kebudayaaan tersebut. Kalau apa-apa yang “dihargai” dan “diingini bersama”
tersebut telah ditanamkan semenjak awal proses pendidikan, maka hal-hal tersebut akan
melembaga dalam diri para pendukung suatu kebudayaan. Demikian dalamnya tertanam dalam
pikiran dan perasaan mereka, sehingga mereka tidak mempertanyakan mengapa mereka berfikir
dan berbuat menurut “cara tertentu” tersebut. Inilah maksud dari butir ketiga yang tertera di atas.

Apa yang “berharga” dan “diingini bersama” yang mendasari cara berfikir dan bertingkahlaku
anggota-anggota suatu masyarakat dinamakan nilai budaya masyarakat tersebut. Penanaman apa
yang berharga dan apa yang diingini bersama tersebut kepada generasi muda dilakukan melalui
berbagai media. Orang tua dan keluarga luas, teman sepermainan, sekolah, media massa, dan
masyarakat merupakan agen yang menyampaikan apa-apa yang berharga dan apa-apa yang
diingini bersama oleh suatu masyarakat. Pelaziman dapat pula dilakukan melalui hadiah dan
hukum, peniruan dan pemberian contoh, penyamaan diri dengan tokoh teladan, dan penghayatan
dan pemahaman yang mandiri tentang apa-apa yang “berharga dan diingini besama tersebut.

Pemahaman yang mendalam mengenai hal-hal yang dikemukakan di atas sangat diperlukan
dalam mendiskusikan tentang pendidikan adat Minangkabau. Hal ini menjadi demikian
pentingnya, karena generasi muda dewasa ini berhadapan dengan berbagai nilai yang berasal dari
berbagai sumber (nasional dan internasional). Di samping itu generasi muda dilatih terus lewat
pendidikan formal untuk berfikir kritis dan selalu memperbandingkan dan mempertanyakan.
Karena itu pendidikan mengenai adat tersebut seyogianya menggunakan konsep-konsep ilmiah,
sehingga penjelasan-penjelasan yang diberikan dapat dianalisa dengan menggunakan nalar.

Untuk maksud tersebut pada bagian berikut ini akan diuraikan pandangan-pandangan mengenai
konsep kebudayaan dan adat, sehingga diharpakan pembicaraan menyangkut pendidikan adat
dapat diletakkan dalam kerangka ilmiah pembicaraan kebudayaan.

Adat dan Kebudayaan

Kalau hubungan pengertian adat dan kebudayaan tidak dijelaskan dalam kegiatan pendidikan
adat, maka mungkin akan ada kesan bahwa pendidikan adat akan menyangkut pendidikan
mengenai kebiasaan-kebiasaan kuno atau lama yang tak terpakai lagi di zaman modern ini.
Padahal menurut ajaran adat Minangkabau: “Adat dipakai baru, baju dipakai usang”. Oleh sebab
itu sebaiknya sebelum membicarakan berbagai kategori adat, perkembangan adat, dan nilai-nilai
yang terkandung dalam adat Minangkabau, dibicarakan kaitan adat dengan kebudayaan.

Dalam ilmu kebudayaan dan kemasyarakatan (antropologi dan sosiologi) konsep kebudayaan
mempunyai arti yang sangat luas. Dalam ilmu-ilmu ini kebudayaan diartikan semua yang
dipelajari manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Setiap generasi dalam suatu masyarakat
mewariskan kepada generasi berikutnya hal-hal yang bersifat abstrak (gagasan, nilai-nilai,
norma-norma) dan hal-hal atau benda-benda yang bersifat kongkrit. Apa yang dipelajari atau apa
yang diwariskan tersebut disebut secara umum kebudayaan. Dengan demikian wujud
kebudayaan tersebut ada yang ideal (abstrak) dan ada yang kongkrit (benda-benda budaya).

Definisi kebudayaan sangat banyak sekali. Inventarisasi yang dilakukan oleh Kroeber &
Kluckhohn,( 1952) dan Koentjaraningrat (1985), telah menemukan lebih kurang 179 definisi.
Kata kebudayaan yang merupakan terjemahan kata culture yang berasal dari kata Latin colere
berarti “mengolah, mengerjakan”, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari pengertian ini ia
berkembang menjadi ungkapan yang berarti segala daya dan usaha manusia untuk mengolah
alam. Hanya manusialah yang dikarunia Tuhan dengan daya untuk merubah alam dengan
menggunakan akalnya.

Definisi yang sangat luas tentang kebudayaan berbunyi “Kebudayaan adalah kompleks totalitas
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan apa saja
kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh oleh sebagian anggota masyarakat”. (Tylor 1971).
Ahli lain mendefinisikan: “Himpunan reaksi motois, kebiasaan-kebiasaan, teknik-teknik,
gagasan-gagasan, nilai-nilai dan perilaku yang ditimbulkannya” (Kroeber 1948). Kroeber dan
Kluckhohn (1952) selanjutnya mengemukakan bahwa: Kebudayaan mencakup model dari dan
model bagi perilaku yang ekplisit atau inplisit yang diperoleh dan disampaikan dengan
menggunakan symbol-simbol yang membentuk prestasi khusus masyarakat-masyarakat manusia,
dalam mana termasuk benda-benda yang dihasilkan mereka”. Untuk menyederhanakan
pengertian apa yang dimaksud dengan kebudayaan oleh definisi-definisi di atas barangkali
pengertian yang dikemukakan Bierstedt (1970) dapat menolong. Baginya: “Kebudayaan
merupakan suatu kompleks totalitas yang terdiri dari semua cara orang berfikir dan berbuat dan
segala sesuatu yang dimiliki.” Berfikir, berbuat menurut pola tertentu, dan memiliki merupakan
tiga kategri dasar yang ada dalam tata bahasa setiap bahasa. Dengan demikian kebudayaan
tersebut terdiri dari tiga komponen, yaitu gagasan-gagasan (ideas), norma-norma (norma), dan
benda hasil kebudayaan (things).

Ke dalam konsep gagasan-gagasan dimasukkan kebenaran-kebenaran ilmiah, kepercayaan-


kepercayaan agama, mitos, legenda, kesusastraan, takhyul, pernyataan tentang prinsip-prinsip
dasar atau rumusan-rumusan kebenaran (aphaeisan), pepatah- petitih, dan cerita rakyat.
Sedangkan di dalam konsep norma-norma tercakup: hukum, anggaran dasar, undang-undang,
peraturan-peraturan, adat istiadat (custom), kebiasaan (folk-ways), tata kelakuan (mores),
larangan-larangan (taboos), mode, upacara peralihan status, upacara yang berhubungan dengan
kepercayaan (ritual) upacara kehormatan (ceremonies), konvensi, dan basa basi (etiquetts).
Selanjutnya yang termasuk ke dalam kebudayaan materil adalah mesin-mesin, peralatan, perabot,
gedung-gedung, jalan-jalan, jembatan, peninggalan-peninggalan, benda-benda seni, pakaian,
kendaraan, bahan makanan dan obat-obatan.

Setiap kebudayaan mempunyai komponen seperti yang disebutkan di atas. Ketiga komponen di
atas akan berhubungan dengan unsur-unsur universal dari setiap kebudayaan. Unsur tersebut
adalah bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencarian hidup dan ekonomi, organissi sosial,
sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Pembatasan atas tiga wujud atau 7 bidang aktivitas,
seperti di atas menyatukan dan merupakan persamaan kebudayaan. Perbedaan lingkungan,
sejarah, dan orientasi nilai budaya akan menimbulkan perbedaan dalam kompleksitas
kebudayaan. Dengan demikian semua kebudayaan yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa
yang ada di muka bumi ini memiliki unsur-unsur yang sama dan keragaman-keragaman yang
menyangkut kompleksitasnya.

Pengembangan dan penafsiran konsep ilmiah culture ke dalam bahasa Indonesia dengan
menyamakannya dengan kata kebudayaan menimbulkan definisi kebudayaan yang mencakup
semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat (Selo Soemarjan dan S. Soemardi, 1964). Cipta
merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir yang menghasilkan filsafat serta ilmu
pengetahuan. Rasa yang meliputi jiwa manusia menghasilkan nilai-nilai dan norma-norma yang
perlu untuk mengatur kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya agama, ideologi,kebatinan,
kesenian dan semua unsur yang merupakan ekspressi dari jiwa manusia. Karya masyarakat
menghasilkan tekonologi dan kebudayaan kebendaan. Koentjaraningrat (1974, 1985)
mengemukakan bahwa kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta budhayah, bentuk jamak dari
buddhi yang berarti budi dan akal. Ini berarti bahwa kebudayaan bersangkutan dengan budi dan
akal. Tafsiran yang hampir bersamaan menurutnya adalah bahwa kata kebudayaan berasal dari
kata majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan akal. Kekuatan akal manusia
menghasilkan tiga wujud, yaitu wujud ideal (sistem kebudayaan), wujud kelakuan (sistem
sosial), dan wujud kebendaan (kebudayaan fisik). Wujud ideal berupa gagasan konsep dan
fikiran manusia. Wujud kelakuan berbentuk kompleks aktivitas. Sedangkan wujud kebendaan
menghasilkan benda-benda kebudayaan.

Berdasarkan konsep tersebut, Koentjaraningrat menafsirkan bahwa adat merupakan perwujudan


ideal dari kebudayaan. Ia menyebut adat selengkapnya sebagai adat tata kelakuan. Adat dibagi
atas empat tingkatan, yaitu 1) tingkat nilai budaya, 2) tingkat norma, 3). tingkat hukum, 4)
tingkat aturan khusus.

Adat yang berada pada tingkat nilai budaya bersifat sangat abstrak, ia merupakan ide-ide yang
mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat. Misalnya nilai
gotong royong dalam masyarakat Indonesia dan nilai yang meletakkan prestasi pada usaha
sendiri dalam masyarakat Barat.

Adat pada tingkat norma merupakan nilai-nilai budaya yang telah terkait pada peranan
tertentu (roles). Peran sebagai pemimpin, sebagai mamak, dan sebagai guru misalnya
membawakan sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan
peranannya dalam berbagai kedudukan tersebut.

Selanjutnya adat pada tingkat hukum terdiri dari hukum adat dan hukum tertulis. Sedangkan adat
pada aturan-aturan khusus merupakan aturan-aturan yang mengatur kegiatan-kegiatan khusus
yang jelas dan terbatas ruang lingkupnya, umpamanya sopan santun.

Setelah memperhatikan kerangka ilmiah mengenai kebudayaan dan kedudukan adat dalam
kerangka tersebut, berikut ini akan dibicarakan adat yang bersifat abstrak, yanitu sistem nilai
budaya.

Sistem nilai budaya

Dalam pembicaraan sehari-hari sering terdengar kata perubahan nilai, pergeseran nilai,dan krisis
nilai, walaupun seringkali sukar mendefinisikannya, karena nilai itu bagian terabstrak dari
kebudayaan.

Nilai adalah suatu konsepsi, ekspilisit atau implisit, yang menjadi milik khusus seseorang atau
ciri khusus suatu laingkungan sosial (masyarakat) mengenai sesuatu yang diingini bersama
(karena berharga) yang mempengaruhi pemilihan berbagai cara-cara, alat-alat, dan tujuan sebuah
tindakan (Kluckhohn et.al. 1951:395). Dalam proses penilaian selalu terlihat adanya pemilihan,
penetapan nilai, dan tindakan (Simon at.al. 1972: 19). Pada konsep nilai tersembunyi bahwa
pilihan nilai tersebut merupakan suatu ukuran atau standard yang memiliki kelestarian, yang
secara umum digunakan untuk mengorganisasi sistem tingkah laku. Kumpulan nilai-nilai yang
dianut suatu masyarakat merupakan sistem nilai budaya bangsa, yaitu suatu rangkaian konsepsi
abstrak yang hidup dalam pemikiran sebagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang
harus dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tak
berharga dalam hidup.
Sistem nilai budaya juga berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam
hidup sehingga juga berfungsi sebagai suatu sistem tata kelakuan (Koentjaraningrat, 1969).
Sistem ini memberi arah atau orientasi kepada anggota-anggota suatu masyarakat. Orientasi nilai
bersifat kompleks tetapi jelas memberi pola prinsip yanag bersifat “rank ordered”, sebagai
hasildari interaksi tiga elemen penting yang bersifat analitik, yaitu yang bersifat pengetahuan,
perasaan, kemauan, yang memberi tata (order) dan arah kepada arus pemikiran dan tindakan
anggota-anggota suatu masyarakat manakla prinsip-prinsip tersebut dihubungkan dengan
pemecahan masalah-masalah kehidupan yang umum bagi semua manusia. Prinsip-prinsip ini
beragam, tetapi keragamana tersebut bersifat hanya perbedaan tingkat bahagian-bhagian dari
semua elemen-elemen yang universal dari kebudayaan ummat manusia (Kluckhohn dan
Strodbeek 1961: 4).

Elemen yang universal tersebut adalah masalah hidup yang menentukan orientasi nilai budaya
suatu masyarakat, yang terdiri dari:

1. Hakikat hidup,
2. Hakikat kerja,
3. Hakikat kehidupan manusia dalam ruang waktu,
4. Hakikat hubungan manusia dengan alam,
5. Hakikat hubungan manusia dengan manusia.

Setiap kebudayaan tersebut mempunyai pandangan terhadap kehidupan, yaiut meletakkan suatu
nilai tertentu, apakah hidup itu sesuatu yang baik atau buruk, atau sesuatu yang buruk yang harus
diperbaiki. Demikian pula ada penilaian terhadap pekerjaan, apakah pekerjaan itu untuk hidup,
untuk kedudukan, atau untuk menambah kerja?

Pandangan terhadap waktu akan menentukan penilaian suatu masyarakat dalam penggunaan
waktu. Orientasi waktu tersebut akan menentukan berbagai pola tingkah laku. Apakah suatu
masyarakat sangat menghargai masa lalu, masa sekaranag atau masa depan? Sedngkan dalam
pandangan yang menyangkut hubungan manusia dengan alam pilihan nilai yang dominan akan
berkisar di sekitar pertanyaan apakah orang harus tunduk pada alam, mencari keselarasan dengan
alam, atau menundukkan alam? Mengenai hubungan dengan manusia, pertanyaannya adalah:
apakah suatu masyarakat menganut pandangan bahwa ada hierarki di antara sesama anggota
masyarakat, atau pandangan saliang tergantung sesamanya, atau menjunjung tinggi semangat
ketidak tergantungan?

Jawaban nilai mana yang dominan dalam kebudayaana suatu masyarakat menentukan orientasi
nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tersebut. Nilai yang dominan tersebut akan
dirumuskan dalam norma-norma yang akan menuntun anggota masyarakat dalam berfikir, yang
selanjutnya akana menentukan perilaku anggota masyarakat bersangkutan. Demikian pula nilai
yang dominan tersebut akan dapat pula menentukan sikap-sikap anggota suatu masyarakat
terhadap lingkungan kehidupannya yang juga menjurus kepada pola perilaku tertentu. Dalam
hubungan kepribadian anggota-anggota suatu masyarakat nilai yang dominan akan disampaikan
lewat media pendidikan (proses sosialisasi) sehingga akan menghasilkan anggota-anggota
masyarakat dengan kepribadian yang relatif hampir bersamaan.
Klasifikasi nilai yang lain mungkin banyak sekali. Sprangers mengemukakan klasifikasi nilai
yang dominan yang dianut suatu masyarakat berdasar nilai teoritis, nilai ekonomi, dan nilai
agama (Kluckhohn dkk,1951, dan Alisjahbana,1974).

Untuk mengetahui nilai dasar yang dianut masyarakat Minangkabau dapat dilihat dari apa yang
dikatakan mereka tentang diri mereka, tentang masyarakat mereka, dan lingkungan mereka, atau
dengan mengamati perilaku mereka.

Dengan mempelajari kata (kato) mereka akan dapat diungkapkan nilai-nilai dasar dan norma-
norma yang menjadi pegangan hidup mereka, katakanlah filsafat hidup mereka mengenai makna
hidup, makna waktu, makna alam, makna kerja bagi kehidupan, dan makna individu dalam
hubungana kemasyarakatan.

Kata-kata (kato) seperti yang terkandung dan terungkap dalam prinsip-prinsip dasar atau
rumusan-rumusan kebenaran, petatah-petitih, petuah, mamangan dan lain-lain ekspresi simbolik
tentang diri mereka dalam hubungan dengan alam, dengan lingkunga sosial budaya mereka
merupakan media yang dapat dipakai dalam mengetahui dan memahami nilai-nilai yang
dominan dianut mereka.

Sesuai dengan tahap perkembangan masyarakatnya, orang Minangkabau sewaktu merintis


penyusunan adat mereka mengambil kenyataan yang ada pada alam sebagai sumber analogi bagi
nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur kehidupan mereka. Mereka mengungkapkan hal ini
dalam perumusan yang dianggap mereka sebagai kebenaran: “Alam takambang jadi guru”.
Hukum alam menjadi sumber inspirasi yang dijadikan pedoman untuk merumuskan nilai-nilai
dasar bagi norma-norma yang akan menuntun mereka dalam berfikir dan berbuat.

Nilai dasar utama yang menjadi pegangan mereka adalah bahwa manusia itu harus belajar dari
pengalaman. Dari pengalaman mereka bergaul dengan alam mereka melihat keteraturan dan
perubahan. Keteraturan yang dilihat dari kehidupan tanam-tanaman membawa mereka kepada
ungkapan “patah tumbuah, hilang baganti”.

Dari pengalaman hidup mereka bergaul dengan alam muncul mamangan “ maambiak conto ka
nan sudah, maambiak tuah ka nan manang”.

Orang Minang melihat bahwa hidup pada hakikatnya baik, karena itu tujuan hidup adalah
berbuat baik atau jasa, “hiduik bajaso, mati bapusako”. Mengambil analogi pada alam, mereka
ibaratkan :” gajah mati maninggakan gadiang, harimau mati maninggakan balang, manusia
mati maninggakan namo”.

Wassalam,

Buya H. Mas'oed Abidin

Padang, 18 Desember 2010 (sehari sebelum HBN, 19 Desember 2010)

You might also like