You are on page 1of 75

Tugas fainal:

SOSIOLOGI POLITIK

Disusun untuk keperluan tugas

OLEH:

AL GAZALI

(10538 0246 07)

Mata kuliah: Sosiologi Politik

DOSEN: Dr. H. Muhlis Madani, M.Si/ Rudi Hardi, S.Sos., M.Si

JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan tugas makalah ini dapat
diselesaikan.

Tugas makalah ini disusun untuk diajukan sebagai tugas “FAINAL” mata kuliah
Sosilogi Politik dengan judul “ SOSIOLOGI POLITIK” di Starta Satu (S1) Universitas
Muhammadiyah Makassar Bidang Studi Pendidikan Sosiologi.

Terima kasih disampaikan kepada Bapak Dr.H. Muhlis Madani, M.Si beserta Bapak
Rudi Hardi, S.Sos.,M.Si selaku Dosen mata kuliah Sosiologi Politik yang telah membimbing
dan memberikan kuliah demi lancarnya tugas ini.

Demikianlah tugas makalah ini disusun semoga bermanfaat, agar dapat memenuhi
tugas Fainal mata kuliah Sosiologi Politik.

Makassar, 3 juli 2010

Penyusun

Algazali

Nim 10538 0246 07

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
BAB I. KONSEP DAN PENGERTIAN SOSIOLOGI POLITIK............................................. 1
A. Sosiologi .................................................................................................................. 1
I. Latar Belakang Social Lahirnya Sosiologi............................................. 1
II. Pengertian Sosiologi .............................................................................. 2
III. Defenisi Sosiologi ................................................................................. 3
B. Politk ........................................................................................................................ 7
 Pengertian Politik Dari Para Ahli ................................................................ 9
 Teori Politik ............................................................................................... 13
C. Sosiologi Politik ..................................................................................................... 15
I. Sejarah Sosilogi Politik ........................................................................ 15
II. Aliran Pemikiran Sosiologi Politik ...................................................... 19
III. Keterkaitan Antara Sosiologi Dan Politik ............................................ 22
BAB II. MASYARAKAT DAN KONFLIK ........................................................................... 25
A. Masyarakat ............................................................................................................ 25
I. Pengertian Masyarakat ............................................................................... 26
II. Ciri-Ciri Masyarakat .................................................................................. 28
III. Unsur-Unsur Masyarakat ........................................................................... 28
B. Konflik .................................................................................................................. 28
I. Defenisi Konflik ......................................................................................... 29
II. Beberapa Pandangan Mengenai Konflik ................................................... 30
III. Factor Penyebab Konflik ........................................................................... 33
IV. Jenis-Jenis Konflik ..................................................................................... 35
V. Akibat Konflik ........................................................................................... 36
VI. Proses Pemetaan Konflik ........................................................................... 37
VII. Perspektif Mengatasi Dilema ..................................................................... 37
VIII. Metode Dan Teknik Pemetaan Sosial ........................................................ 43
IX. Memahami Masyarakat Dan Masalah Sosial ............................................ 44
BAB III. MASALAH SOSIAL POLITK (KEMISKINAN) ................................................... 50
A. Kemiskinan ............................................................................................................ 50
1. Definisi Kemiskinan .................................................................................. 50
2. Jenis-Jenis Kemiskinan .............................................................................. 53
3. Penyebab Kemiskinan ............................................................................... 54
B. Program Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan ................................................ 55
C. Kesimpulan Dan Saran Mengenai Masalah Kemiskinan ...................................... 56
1. Kesimpulan ................................................................................................ 56
2. Saran .......................................................................................................... 57
BAB IV. PENUTUP (HUBUNGAN TEORI DAN PRAKTEK) ........................................... 58
A. Pencerminan Teori Sosial Dan Praktek Politik ............................................... 58
B. Teori Social Dan Politik Dalam Sejarah Teori Sosial ..................................... 61
C. Perkiraan, Tindakan, Dan Nilai-Nilai Obyektifitas Ilmu-Ilmu Sosial ............ 63
D. Teori Sosial, Pengertian Sosial, Dan Tindakan Politik ……………………... 63
E. Marxisme Dan Komunisme ………………………………………………… 64
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………. 66
RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………………………….69

BAB I
KONSEP DAN PENGERTIAN SOSIOLOGI POLITIK

A. SOSIOLOGI
I. Latar Belakang Sosial Lahirnya Sosiologi
Sosiologi sebetulnya merupakan refleksi ilmiah atas perubahan-perubahan yang
terjadi pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu kita perlu mengetahui beberapa
perubahan sosial yang mendorong lahirnya sosiologi sebagai suatu ilmu.
• Revolusi Politik
Revolusi politik yang fenomenal adalah revolusi politik yang terjadi di
Perancis tahun 1789 dan beberapa perubahan politik lainnya yang terus
berlanjut sampai abad 19. Dalam revolusi itu terjadi situasi khaos dan ketidak
tertiban. Masyarakat tiba-tiba berubah dari organisasi yang teratur, tertib
menjadi tidak teratur. Ketidaktertiban ini mendorong ilmuwan untuk
mereleksikan faktor sosial apa yang mungkin bagi ketertiban sebuah
masyarakat?
• Revolusi Industri dan Kebangkitan Kapitalisme
Revolusi industri dan Kebangkitan Kapitalisme ditandai transformasi
ekonomi dari agrikultur menjadi industri. Banyak orang meninggalkan dunia
pertanian dan memilih bekerja pada dunia industri yang ditawarkan oleh
pabrik-pabrik. Dalam sistem industri ini orang bekerja dengan waktu yang lama
namun mendapat upah yang rendah.
Situasi buruh yang meperihatinkan dalam dunia industri melahirkan
gerakan-gerakan buruh yang menentang sistem kapitalisme yang tidak adil.
Gerakan ini membawa bencana yang besar terutama bagi masyarakat Barat.
Situasi ini mendorong Karl Marx, Emile Durkehim, Max Weber dan Geroge
Simel untuk melakukan refeleksi kritis terhadap apa yang terjadi dalam
masyarakat kapitalisme.
• Kebangkitan Sosialisme
Sosialisme merupakan jawaban atau jalan keluar yang ditawarkan oleh Karl
Marx terhadap eksploitasi terhadap manusia terutama buruh sebagaimana yang
terjadi dalam masyarakat Kapitalisme.
• Urbanisasi
Sejumlah besar orang pada abad 19 dan ke 20 tercerabut dari rumah mereka
di pedesaan dan pergi ke kota. Hal ini disebabkan oleh tawaran industri-industri
di kota. Hal in membawa persoalan, mereka harus menyesuaikan diri dengan
kehidupa kota, kota mengalami kepadatan penduduk, polusi, kemacetan dan
seterusnya. Alam kehidupan perkotaan dan persoalan-persoalannya menarik
perhatian para sosiolog.
• Perubahan Agama
Perubahan-perubahan sosial sebagamana yang terjadi dalam revolusi
industri, politik dan urbanisasi memiliki pengaruh yang besar terhadap agama.
Perubahan dalam agama menarik perhatian August Comte, Emile Durkheim
Max Weber, dan Karl Marx.
• Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan tidak hanya diajarkan di kolese-kolese atau universitas-
universitas tetapi juga dalam masyarakat secara keseluruhan. Produk teknologi
dan ilmu pengetahuan mempengaruhi setiap sektor kehidupan.
II. Pengertian Sosiologi

Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman
sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi Sosiologi adalah ilmu pengetahuan
tentang masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai
hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya.

Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku


sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Kelompok
tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi politik,
ekonomi, sosial.

Istilah Sosiologi sebagai cabang Ilmu Sosial dicetuskan pertama kali oleh
ilmuwan Perancis, bernama August Comtetahun 1842. Sehingga Comte dikenal
sebagai Bapak Sosiologi. Selanjutnya Emile Durkheim— ilmuwan sosial Perancis —
yang kemudian berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis. Di Inggris
Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology pada tahun 1876. Di Amerika Lester F.
Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi
merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran
ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.

Comte menyebutkan ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-


masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya.
Tiga tahapan itu adalah :

1. Tahap teologis; adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda


di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang
berada di atas manusia.

2. Tahap metafisis; pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam


setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada
akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan
bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada
usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3. Tahap positif; adalah tahap dimana manusia mulai berpikir secara
ilmiah.

III. Definisi Sosiologi

Berikut ini definisi-definisi sosiologi yang dikemukakan beberapa ahli.

1. Pitirim Sorokin.
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik
antara gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral),
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik
antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah
ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
2. Roucek dan Warren
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam
kelompok- kelompok.
3. William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya,
yaitu organisasi sosial.
4. J.A.A Von Dorn dan C.J Lammers
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses
kemasyarakatan yang bersifat stabil.
5. Max Weber
Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
6. Paul B. Horton
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan
produk kehidupan kelompok tersebut.
7. Soejono Soekanto
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan
yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan
masyarakat.
8. William Kornblum
Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku
sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai
kelompok dan kondisi.
9. Allan Jhonson
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam
kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi
orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem
tersebut.
Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa : Sosiologi adalah
ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola- pola
hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian
umum,rasional,empiris serta bersifat umum.Ciri-ciri umumnya adalah semua gejala
sosial.
-Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi -

Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial
dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Lebih janjut
Soemardjan dan Soemardi menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan struktur
sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok seperti kaidah-
kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok sertal lapisan-
lapisan sosial.

Sedangkan proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi
kehidupan bersama, umpamnya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi
dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dengan segi kehidupan
agama, antara segi kehidupan agama dengan segi kehidupan ekonomi dan lain
sebagainya. Dan perubahan sosial merupakan bagian dari proses sosial itu sendiri.

Dari dua defenisi tersebut di atas ada beberapa elemen yang dapat kita jelaskan
lebih lanjut yang merupakan hakekat dari sosiologi itu sendiri yakni 1) sosiologi
sebagai suatu ilmu; 2) masyarakat. Walaupun dua ahli tersebut di atas tidak menyebut
“masyarakat”, apa yang sebut sebagai struktur sosial dan proses sosial yang terjadi
dalam struktur sosial itu sendiri melahirkan apa yang kita sebut sebagai masyarakat.

Sosiologi Sebagai Suatu Ilmu

Sebagai ilmu pengetahuan Sosiologi memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

• Bersifat empiris karena didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan


Observasi itu dan hasil atas obeservasi itu didasarkan pada pertimbagana akal sehat
(rasional)
• Bersifat teoretis karena selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi.
Abstraksi tersebut merupakan kerangka unsur-unsur yang tersusun secara logis
yang menjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat, sehingga menjadi teori
• Sosiologi bersifat kumulatif. Sosiologi dibentuk oleh teori-teori yang sudah ada,
namun terus berkembang.
• Sosiologi bersifat nonetis. Sosiologi tidak mempersoalkan baik buruknya fakta
tertentu, tetapi tujuannya menjelaskan fakta secara analitis.

Perspetif Sosiologi

• Perspektif struktural fungsional

Perspektif ini melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri bagian-
bagian yang berbeda, namun secara bersama menghasilkan stabilitas. Asumsi dasar
dari perspetik ini adalah masyarakat dibentuk oleh struktur sosial yang terdiri dari
pola-pola tingkah laku yang relatif stabil. Struktur sosial yang penting adalah bagia-
bagian yang utam dalam masyarakat seperti sistem ekonomi, sistem politik dan agama.
Elemen lain dari struktur sosial adalah fungsi sosial yang mengacu pada konsekwensi
bagi berjalan masyarakat secara keseluruhan. Elemen-elemen ini terdiri dai bagian-
bagian yang saling bergantung satu sama lain.

• Perspekti sosial-konflik

Perspektif ini berakar pada pemikiran Karl Marx yang membagi masyarakat
atas dua kelas yang kelas yakni kaum borjuis dan kaum proletat. Kaum borjuis memiki
kapital untuk mengontrol alat-alat produksi, sedangkan kaum proletar hanya sebagai
tenaga kerja. Kelas yang pertama memiliki kekuasaan, sedangkan kelas yang lain tidak
memiliki kekuasaan. Kedua kelas ini selalu berada dalam kemungkinan untuk saling
menguasai.

• Perspektif interaksi simbolik

Perspektif ini melihat masyarakat sebagai suatu hasil dari interaksi individu
yang berlangsung secara terus menerus dan berbagai konteks.
Ruang Lingkup Sosiologi

Adapun ruang lingkup secara garis besar ialah masyarakat itu sendiri. Selanjutnya
di dalam masyarakat terdapat individu yang antara satu dengan yang lainnya berbeda baik
kriteria, sifat, kemampuan, kebiasaan, maupun kondisi perekonomiannya. Pada
hakekatnya ruang lingkup Sosiologi itu sendiri merupakan segala aspek yang ada dan
terjadi pada lingkungan masyarakat.

B. POLITIK
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau
negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara,
politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti
pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang
memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon
politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah
politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan
politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari
manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat,
ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi
orang lain agar menerima pandangannya. Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha
memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi
adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu
kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan
negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu
kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi
kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution)
atau alokasi (allocation).
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan
(decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu
menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari
tujuan-tujuan yang telah dipilih.
Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-
kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian
(distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada. Untuk
bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan
(power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama
maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara
yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan
(coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan
(statement of intent) belaka.
Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki.
Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan
kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam
beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik
dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya.
Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat
(public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik menyangkut
kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan
(individu).

Pengertian politik dari para ilmuwan:


Johan Kaspar Bluntschli
dalam buku The Teory of the State: “Ilmu Politik adalah ilmu yang
memerhatikan masalah kenegaraan, dengan memperjuangkan pengertian dan
pemahaman tentang negara dan keadaannya, sifat-sifat dasarnya, dalam berbagai
bentuk atau manifestasi pembangunannya.” (The science which is concerned with the
state, which endeavor to understand and comprehend the state in its conditions, in its
essentials nature, in various forms or manifestations its development).
Roger F. Soltau

dalam bukunya Introduction to Politics: “Ilmu Politik mempelajari negara, tujuan-


tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan itu; hubungan antara
negara dengan warganegaranya serta dengan negara-negara lain.” (Political science is the
study of the state, its aims and purposes … the institutions by which these are going to be
realized, its relations with its individual members, and other states …).

J. Barents

dalam bukunya Ilmu Politika: “Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari
kehidupan negara … yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, ilmu politik
mempelajari negara-negara itu dalam melaksanakan tugas-tugasnya.”

Joyce Mitchel

dalam bukunya Political Analysis and Public Policy: “Politik adalah


pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk seluruh
masyarakat.” (Politics is collective decision making or the making of public policies
for an entire society).

Harold D. Laswell dan A. Kaplan

dalam buku Power Society: “Ilmu Politik mempelajari pembentukan dan


pembagian kekuasaan”, dan dalam buku Who gets What, When and How, Laswell
menegaskan bahwa “Politik adalah masalah siapa, mendapat apa, kapan dan
bagaimana.”

W.A. Robson

dalam buku The University Teaching of Social Sciences: “Ilmu Politik


mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, … yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses,
ruang lingkup dan hasil-hasil. Fokus perhatian seorang sarjana ilmu politik … tertuju
pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan
kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.”
(Political science is concerned with the study of power in society … its nature, basis,
processes, scope and results. The focus of interest of the political scientist … centres
on the struggle to gain or retain power, to exercise power of influence over other, or to
resist that exercise).

Karl W. Duetch

dalam buku Politics and Government: How People Decide Their Fate: “Politik adalah
pengambilan keputusan melalui sarana umum.” (Politics is the making of decision by public
means).

David Easton

dalam buku The Political System: “Ilmu politik adalah studi mengenai
terbentuknya kebijakan umum.” Menurutnya “Kehidupan politik mencakup
bermacam-macam kegiatan yang memengaruhi kebijakan dari pihak yang berwenang
yang diterima oleh suatu masyarakat dan yang memengaruhi cara untuk melaksanakan
kebijakan itu. Kita berpartisipasi dalam kehidupan politik jika aktivitas kita ada
hubungannya dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan untuk suatu masyarakat.”
(Political life concerns all those varieties of activity that influence significantly the
kind of authoritative policy adopted for a society and the way it is put into practice.
We are said to be participating in political life when our activity relates in some way
to the making and execution of policy for a society).

Ossip K. Flechtheim

dalam buku Fundamentals of Political Science: “Ilmu politik adalah ilmu sosial
yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari negara sejauh negara merupakan
organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang
tak resmi, yang dapat memengaruhi negara.” (Political science is that specialized
social science that studies the nature and purpose of the state so far as it is a power
organization and the nature and purpose of other unofficial power phenomena that are
apt to influence the state).

Deliar Noer

dalam buku Pengantar ke Pemikiran Politik: “Ilmu Politik memusatkan


perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.
Kehidupan seperti ini tidak terbatas pada bidang hukum semata-mata, dan tidak pula
pada negara yang tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relatif baru. Di luar bidang
hukum serta sebelum negara ada, masalah kekuasaan itu pun telah pula ada. Hanya
dalam zaman modern ini memanglah kekuasaan itu berhubungan erat dengan negara.”

Kosasih Djahiri

dalam buku Ilmu Politik dan Kenegaraan: “Ilmu politik yang melihat
kekuasaan sebagai inti dari politik melahirkan sejumlah teori mengenai cara
memperoleh dan melaksanakan kekuasaan. Sebenarnya setiap individu tidak dapat
lepas dari kekuasaan, sebab memengaruhi seseorang atau sekelompok orang dapat
menampilkan laku seperti yang diinginkan oleh seorang atau pihak yang
memengaruhi.”

Wirjono Projodikoro

menyatakan bahwa “Sifat terpenting dari bidang politik adalah penggunaan


kekuasaan oleh suatu golongan anggota masyarakat terhadap golongan lain. Dalam
ilmu politik selalu ada kekuasaan atau kekuatan.”

Idrus Affandi

mendefinisikan: “Ilmu politik ialah ilmu yang mempelajari kumpulan manusia


yang hidup teratur dan memiliki tujuan yang sama dalam ikatan negara.”
Masih banyak pengertian tentang politik dan atau ilmu politik yang
disampaikan para ahli. Namun dari yang sudah terkutip kiranya dapat dipahami bahwa
politik secara teoritis meliputi keseluruhan azas dan ciri khas dari negara tanpa
membahas aktivitas dan tujuan yang akan dicapai negara. Sedangkan secara praktis,
politik mempelajari negara sebagai suatu lembaga yang bergerak dengan fungsi-fungsi
dan tujuan-tujuan tertentu (negara sebagai lembaga yang dinamis).

Pemahaman saya adalah Politik merupakan proses pembentukan dan


pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam negara. Pemahaman ini merupakan upaya penggabungan
antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam
ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional.

Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

 politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (teori klasik Aristoteles)
 politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan
negara
 politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat
 politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
publik.

Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain:
kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses
politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai
politik.
Teori politik

Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik,


bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam
Teori Politik antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara,
masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial,
pembangunan politik, perbandingan politik, dsb.

Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara
di dunia antara lain: anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme,
federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme,
kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki,
nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.

Secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu
system politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari system
tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya.

Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai


kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.

Kekuasaan yaitu kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk


mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku.

Pembagian atau alokasi adalah pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam


masyarakat. Jadi, politik merupakan pembagian dan penjatahan nilai-nilai secara
mengikat.

Sistem politik suatu Negara selalu meliputi 2 suasana kehidupan. Yaitu:

a. Suasana kehidupan politik suatu pemerintah (the Govermental political


sphere)
b. Suasana kehidupan politik rakyat (the sociopolitical sphere)

Suasana kehidupan politik pemerintah dikenal dengan istilah suprastruktur


politik, yaitu bangunan “atas” suatu politik. Pada suprastruktur poliyik terdapat
lembaga-lembaga Negara yang mempunyai peranan penting dalam proses kehidupan
politik (pemerintah).

Suasana kehidupan politik rakyat dikenal istilah “Infrastruktur politik” yaitu


bangunan bawah suatu kehidupan politik, yakni hal-hal yang bersangkut paut dengan
pengelompokan warga Negara atau anggota masyarakat ke dalam berbagai macam
golongan yang biasa disebut sebagai kekuatan sosial politik dalam masyarakat.

Infrastruktur politik mempunyai 5 unsur diantaranya:

1. Partai politik

2. Kelompok kepentingan

3. Kelompok penekan

4. Alat komunikasi politik

5. Tokoh politik.

C. SOSIOLOGI POLITIK

I. Sejarah Sosiologi Politik

Dalam tradisi ilmu sosial, sosiologi politik sangat konsern pada masalah
kekuasaan. Kekuasaan ditafsir sebagai kesanggupan individu atau suatu kelompok
sosial guna melanjutkan bentuk tindakan (membuat dan melaksanakan agenda
keputusan). Pada awalnya sosiologi politik dipandang sebagai ilmu tentang negara
dan ilmu tentang kekuasaan. Dari dasar teori umum di atas, selanjutnya Marx
mengembangkan ke teori khusus, antara lain:

1. Teori konflik material (ekonomi) yang saling berhubungan, bahkan


seringkali yang satu disandarkan sebagai penghancur yang lainnya

2. Teori nilai lebih dan eksploitasi terhadap kerja.

3. Teori perjuangan kelas (borjuis = pemilik modal, proletar = bukan


pemilik modal).

4. Teori alienasi (pengasingan); bagi kelas proletar dari lingkungan


masyarakatnya.

Walaupun teori yang dikembangkan Marx banyak mendapat kritikan, namun


lebih dari itu yang terpenting, Marx telah memberikan sumbangan bagi
muncul dan berkembangnya sosiologi politik yang tercermin pada teori umumnya
tentang dialektika materialisme dan teori-teori khususnya mengenai perjuangan
kelas, alienasi dan sebagainya; yang dapat merangsang timbulnya karya-karya lain
dalam bidang sama yang mendapatkan pengembangan di sana-sini.

Di samping memberikan sumbangan teori umum dan khusus, sosiologi


di bawah pengaruh Marx mendapatkan pengayaan dalam bidang metodologi. Hal
ini cukup berarti bagi pengakuan karya Marx dalam sosiologi politik, bahwa ia tidak
sekedar mendasari karyanya lewat deskripsi-deskripsi hampa, melainkan selalu
memberikan kerangka dasar dan cara kerja terhadap teori-teorinya dengan jalan
memunculkan pembuktian dan cara pengujiannya secara sistematis dan terkesan amat
jeli dan teliti.

Sedangkan "bapak" pendiri kedua dalam ilmu sosiologi (setelah Marx) adalah
Max Weber. Kendati pada sisi-sisi lain, hadirnya Weber merupakan kritik terhadap
Marx, telapi patut diakui terdapat sejumlah upaya pengembangan yang dilakukannya
yang sangat berarti bagi perkembangan sosiologi politik..
Max Weber  mendasari teori sosiologi politiknya pada status atau posisi
individual di tengah masyarakat; yang  saling berganti dan kadang tumpang tindih.
Bagi Weber, antara status, posisi dan struktur sosial satu sisi dapat dipisah-pisahkan,
namun pada sisi lain terkadang merupakan suatu system yang sulit diidentifikasikan.

Hal tersebut dapat diamati melalui metodologinya dalam sosiologi politik ini.
Dalam metodologinya, Weber menyatakan politik atau perjuangan bersama-sama
berintikan melaksanakan politik atau perjuangan untuk pendistribusian kekuasaan di
dalam suatu kekuasaan besar (negara) maupun kekuasaan kecil (kelompok-
kelompok).

Barangkali sumbangan Weber dalam sosiologi politik begitu mencolok ketika ia


mengemukakan konsep mengenai legitimasi. Menurutnya, ada tiga legitimasi yang
dapat dipahami sebagai pemetaan sosiologi politik, yakni:

1. Dominasi tradisional
Dominasi tradisional adalah legitimasi berdasarkan suatu kewibawaan
yang dapat diperoleh melalui adat-istiadat atau kebisaan yang
karenanya seseorang mendapatkan pengakuan untuk melaksanakan
penyesuaian diri.
2. Dominasi diri
Dominasi diri adalah legitimasi berdasarkan kewibawaan yang
diperoleh lewat keanggunan pribadi yang luar biasa hingga mencapai adi-
manusiawi dan adi-kodrati, dan ketaatan serta kepercayaan kepada wahyu
yang bersifat mutlak. Dalam anti, lewat keluarbisaan ini seseorang individu
mendapatkan legitimasi dalam proses kekuasaan di tengah masyarakat.
3. Dominasi kebajikan legalitas
Legitimasi akan diperoleh oleh seseorang apabila ia menyandarkan
diri pada kepatuhan akan undang-undang atau peraturan-peraturan yang dibuat
secara rasional. Tanpa adanya keabsahan melalui undang-undang dan
seperangkat aturan maka seseorang sulit akan memperoleh legitimasi
kekuasaan di tengah masyaraktnya.
Bermula dari dua "bapak" pendiri ini sosiologi politik berkembang
dengan pesat. Perkembangan itu segera menemukan bentuknya setelah pemikiran politik
memperlakukan hubungan antara civil society dengan negara dalam cara yang berbeda.
Pencetus awalnya adalah Tacqueville. Pandangan Tacqueville difokuskan pada masalah
pembangunan demokrasi dan pembentukan masyarakat modern di Perancis,
Inggris, dan Amerika. Gerakan demokrasi (suatu fenomena gerakan politik modern),
menurutnya ditunjukkan untuk menghasilkan pembedaan persamaan sosial dengan
cara menghasilkan pembedaan kedudukan karma keturunan, penghargaan dan
penghormatan yang melekat pada setup anggota masyarakat. Disinilah barangkali
Tacqueville telah masuk dalam perkembangan sosiologi modern (Bottomore, 1992).

Letak kemodernannya pada upayanva amok menghindarkan pengelompokan


masyarakat politik secara diskriminatif seperti secara eksplisit maupun implisit-
dijumpai pada Marx maupun Weber, juga pemikiran demokrasi nyatanya merupakan
pemikiran yang paling laris di panggung politik, pada tataran global, regional, maupun
nasional. Sebuah percobaan, dilaksanakan dan direncanakan, nampak lebih
banyak ingin diupayakan oleh negara-negara modern, ketimbang menantang
secara ekstrem ide demokrasi.

Perkembangan berikutnya sosiologi politik dapat diamati pada beberapa


ilmuwan beserta pemikirannya sebagai berikut:

1. Goentano Mosca
Mosca ingin menekankan pentingnya independensi. Independensi yang
diinginkan Mosca ini menunjukkan pemikiran Marx yang menjelaskan sistem
perlawanan dan berkelas-kelas. Jelasnya, kendati realitas masyarakat politik
menunjukkan pelapisan-pelapisan yang cenderung diskriminatif, namun
menurut Mosca semua dapat dilaksanakannya dengan cara
membangun perimbangan kekuatan dan kekuasaan.
2. Karl Popper
Secara ekstrim, Popper menyebut teori Marxis tentang
masyarakat politik dianggap menunjukkan "inpotensi semua politik", selama
sistem politik dan trasformasinya masih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan non
politis. Jelasnya Popper ingin melihat persoalan politik adalah politik yang hanya
bisa ditafsirkan lewat kesamaan umum dalani realitas sosial masyarakat
politik.
3. Vilfredo Pareto
Pareto ingin menyatakan bahwa betapa pentingnya adanya suatu elite
dalam kekuasaan. Karma elite politik mampu diwujudkan sebagai suatu fakta
kehidupan sosial yang universal, tidak berbeda, dan tidak dapat berubah yang
eksistensinya tergantung pada perbedaan-perbedaan psikologis antar individu.
Dalam pemikiran Pareto tercermin bahwa kekuasaan politik dalam
masyarakat akan terwujud apabila ditegakkan melalui konsep "pemimpin" dan
"dipimpin"; sebagai unsur dominan mekanisme politik dalam masyarakat yang
tidak semata berguna bagi efektivitas mesin politik, melainkan suatu jawaban
adanya tertib politik dalam masyarakat.

Perkembangan terakhir sosiologi politik jelas menunjukkan beragamnya teori,


metodologis dan beragamnya paradigma. Cara menelaahnya, ditunjukkan oleh
Bottomore (1992), yakni bahwa semuanya itu merupakan masalah dan jalan keluar
yang membentuk suatu lapangan bagi penyelidikan ilmiah. Tugas para penstudi
sosiologi politik adalah mengkonfrontif sernua perkembangan itu dengan
memandangnya dalam kerangka proses sejarah perubahan secara terus-menerus
sebagai pertanda kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya dalam sosiologi politik.
Melalui perkembangan itu pula, akan diketahui betapa luasnya cakupan sosiologi
politik itu. 

II. Aliran Pemikiran Sosiologi Politik

Setidaknya sampai saat ini para ilmuwan sosiologi politik - seperti Maurice
Duverger, Michael Rush, Phillip Althoff maupun Tom Bottomore - belum meringkas
secara rinci dan sistematis tentang apa yang disebut aliran pemikiran sosiologi
politik. Kendati demikian, sejak permulaan tumbuh sampai perkembangannya,
setidak-tidaknya dapat diidentifikasikan beberapa aliran yang meliputi positivisme,
marxisme, empirisme dan struktualisme. Walaupun mungkin pembaca acapkali kabur
membedakannya, penulis ingin menerangkan pembatas itu dan sedapat mungkin
mencari benang merah pembedaannya.

1. Positivisme
Akar positivisme berangkat dari pemikiran bahwa tidak ada perbedaan-
perbedaan penting antara ilmu sosial dan ilmu alam, karenanya aliran ini
bermaksud menyajikan suatu hubungan kausal terhadap peristiwa-
peristiwa sosial.
Positivisme memandang bahwa studi tentang masyarakat manusia
merupakan upaya pemahaman tentang pengertian tindakan yang diatur dengan
hukum dan dilakukan dengan sengaja. Namun demikian, sepanjang
perkembangannya, dalam teori politik itu sendiri terjadi perdebatan yang cukup
mendalam dan sistematis seperti dalam karya Poulantzas dan sejumlah tokoh
lainnya mengenai negara dan dalam pembahasan Habermas tentang legitimasi.
Positivisme sering dituding telah melahirkan reorientasi radikal ilmu
politik, careen ia cenderung mengarah pada sudut pandang ilmu alam.
Rumusannya yang mesti mendapatkan perhatian terhadap perilaku politik
dibandingkan dengan struktur formal dari lembaga-lembaga, dapat diikuti
dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan pandangan apakah perilaku
dipandang sebagai aktivitas fisik yang dapat diamati dan yang dapat
dijelaskan secara kasuistis, ataukah sebagai tindakan sengaja. Disinilah
positivisme mendapatkan ruang bagi perdebatan.
2. Empirisme
Empirisme menyatakan pandangannya bahwa pengetahuan ilmiah
haruslah didasarkan pada pengujian dan pengamatan melalui pengumpulan
fakta tertentu yang terdapat secara pasti dalam ilmu-ilmu sosial. Hal ini yang
ditandaskan dalam empirisme adalah bahwa suatu ilmu pengetahuan
bukanlah berkembang melalui pengumpulan fakta-fakta yang dapat
diobservasi secara langsung, tetapi melalui elaborasi konsepkonsep yang
merumuskan fakta dan menentukan kedudukannya.
Dalam empirisme, aktivitas teoritis akan mencakup penemuan dan
analisa terhadap suatu realitas di luar apa yang diterima dengan segera.
Seperti dikatakan Maurice Godelier (1974), bahwa perbedaan tegas antara
pandangan kaum strukturalis dengan empiris terletak pada struktur sosialnya.
Pendapat tersebut nampak relevan dengan empirisme. Berbagai usaha
berikutnya telah dilakukan, terutama yang dibahas dalam Lakatos dan Musgrave
dalam karyanya "Criticism and Growt of Knowledge" untuk merumuskan
berbagai versi pengertian testabilitas empiris yang lebih jitu.
3. Strukturalisme
Strukturalisme seringkali menempatkan dirinya dalam sosok yang
berlainan dengan empirisme. Permasalahannya tidak berkaitan dengan
perbedaan di antara ilmu-ilmu yang bersifat umum dan yang bersifat khusus,
yakni suatu perbedaan yang terfokus pada ilmu alam dengan ilmu sosial, lebih
dari itu dapat diamati pada sifat ilmu pengetahuan umum tentang masyarakat.
Perbedaan itu nampak pada perumusan pernyataan universal tentang
struktur-struktur sosial dan unsur-unsurnya (misalnya; tentang struktur
kekerabatan, hubungan-hubungan politis dan struktur-struktur dalam
sistem politik yang berbeda), juga perbedaan itu terletak pada kultural
codes (ciri kultural). Atau sebaliknya, bahwa untuk merumuskan prinsip-
prinsip evolusi sejarah sebagaimana banyak ditelaah kaum evolusionis sosial.
Pada strukturalisme, sumber-sumber utamanya dalam hal struktur
antropologi dan linguistik; yang dapat ditelusuri dalam doktrin epistimologis
Perancis, khususnya dalam karya Bachelard.
4. Marxisme
Kerdati Marxisme harus disebut sebagai aliran awal sosiologi politik,
namun yang ingin ditekankan di sini bahwa aliran sebelumnya (positivisme,
empirisme dan strukturalisme) sebagaimana ditempatkan oleh Tom Bottomore
(1992) dipandang sebagai kritik terhadap Marxisme.
Sebab harus diakui bahwa Marxisme merupakan inti pusat konsep-
konsep dan proposisi-proposisi teoritis. Namun hal ini tidak berarti akan mampu
menyelesaikan permasalahan secara utuh. Sehingga pada tingkat yang lebih
umum dapat dibedakan secara keseluruhan dengan semua aliran di luar
Marxis. Terlebih aliran Marxis dengan non Marxis tidak selalu jelas dan tidak
dapat ditegaskan batasan-batasannya - kalau memang harus disebut masih
terkait.
Selama Marxisme dapat dibedaksn sebagai sebuah paradigma umum
yang bersifat saling berbeda dengan paradigma Iainnya, maka mau tidak mau
akan melibatkan dua karakteristik khusus yang tidak semata-mata bersifat
teoritis atau metodologis. Pertama, hubungan Marxis dengan kehidupan sosial
praktis. Kedua, terletak pada orientasi idieologisnya. Karena itu, perbedaan
antara Marxisme dengan aliran pemikiran lainnya bukanlah dalam satu
kasus hubungan antara teori dengan praktek, karma hubungan semacam ini
terdapat dalam semua pemikiran sosial walaupun dalam tingkat kejelasan
yang berbeda-beda.
Menanggapi Marxisme sebagaimana ditandaskan oleh Lukacs (1968),
bahwa Marxisme pada hakekatnya tidak lebih dari sekedar ekspresi pemikiran
tentang proses revolusi. Hal yang berguna dari Marxisme, bahwa Marxisme
memberikan kerangka fundamental terhadap bentuk-bentuk masyarakat,
menguatnya segala keyakinan, memunculkan jenis masyarakat baru sehingga
jelas-jelas mengarahkan kepada adanya tindakan politik dalam masyarakat.
Lebih dari itu, Marxisme patut dicatat sebagai aliran pemikiran
sosiologi politik, menurut Rush & Althoff (1995), yang memberikan
sumbangan di bidang metodologi. Usaha pengembangannya mengenai
"sosialisasi ilmiah" memberikan standar keilmuan dan metode-metode yang
menjadi rujukan bagi ilmuwan-ilmuwan berikutnya. Marxisme tergolong
aliran pemikiran yang kokoh teori-teorinya dengan ciri kemampuannya
menyajikan sejumlah pembuktian dan mengujinya dengan cara yang sistematis
dan teliti.

III. Keterkaitan Sosiologi dan Politik


Karena pelaku Politik merupakan bagian dari masyarakat yang juga
harus memiliki rasa sosial, maka di sinilah keterkaitan Sosiologi dan Politik.
Dalam berpolitik kita akan menghadapi berbagai masalah di antaranya pesaing.
Maka agar kita dapat bersaing dengan pesaing, kita harus memiliki Ilmu
Sosiologi yang cukup yang bertujuan untuk mengetahui titik kelemahan
pesaing kita baik dari sikapnya, tingkah lakunya dan lain sebagainya.

Pada intinya, pelaku politik adalah manusia yang merupakan bagian


dari masyarakat, sedangkan Ilmu sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari
tentang hampir keseluruhan dari aspek-aspek yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat. Sehingga untuk berpolitik kita harus mengerti atau faham dulu
tentang aspek kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya keterkaitan antara
Sosiologi dan Politik itu sangat erat dan saling menimbulkan ketergantungan
antara satu dan yang lainnya.

Pendekatan dalam sosiologi politik ?

Pendekatan adalah orientasi khusus atau titik pAndang tertentu yang


digunakan dalam studi atau penelitian sosiologi politik. Ada 4 pendekatan yang
umum dilakukan dalam studi sosiologi politik, yaitu :

(1) Pendekatan historis,

(2) Pendekatan komparatif,

(3) Pendekatan insttitusional, dan

(4) Pendekatan behavioral.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosiologi politik?

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosiologi politik antara lain:

Keluarga
Aspek-aspek kehidupan keluarga yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat mempengaruhi partisipasi politik seorang anak, diantaranya
karena:

a. Tingkat daya tarik keluarga bagi seorang anak

b. Tingkat kesamaan pilihan (preferensi) politik orang tua

c. Tingkat keutuhan (cohesiveness) keluarga

d. Tingkat minat orang tua terhadap politik

e. Proses sosialisasi politik keluarga

Agama dan Ekonomi

Selain keluarga faktor yang mempengaruhi perilaku politik individu


adalah agama yang dianutnya. Dalam kenyataan pendidikan anak dalam
keluarga antara lain mengajarkan tentang otoritas, yaitu otoritas orang tua.
Otoritas ini merupakan perpaduan antara otoritas politik dan agama. Sementara
organisasi keagamaan di luar rumah pada kenyataannya juga mensosialisasikan
ajaran yang mengandung pendidikan politik. Dengan demikian agama yang
memuat nilai-nilai dan ajaran-ajaran juga dapat mendorong individu untuk
berpartisipasi dalam kegiatan politik.

Stratifikasi serta Sistem Nilai dan Kepercayaan

Perbedaan kelas sosial dalam suatu masyarakat akan berpengaruh pada


perbedaan keyakinan dan pola perilaku individu di berbagai bidang kehidupan,
termasuk kehidupan politik. Perbedaan kelas akan tercermin pada praktik
sosialisasi, aktivitas budaya, dan pengalaman sosialnya.Tingkat partisipasi
individu dalam voting dilukiskan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan,
pendapatan, ras, jenis kelamin, umur, tempat tinggal, situasi, dan Status
individu tersebut.

Dampak dari sosiologi politik?

Sosiologi politik membawa dampak pada lahirnya dimensi-dimensi


baru dalam konsep pembangunan. Menurut Webster (1984), terdapat lima
dimensi yang perlu untuk diungkap, antara lain :

1. Posisi negara miskin dalam hubungan sosial dan ekonominya dengan


negara-negara lain.

2. Ciri khas atau karakter dari suatu masyarakat yang mempengaruhi


pembangunan.

3 Hubungan antara proses budaya dan ekonomi yang mempengaruhi


pembangunan.

4. Aspek sejarah dalam proses pembangunan atau perubahan sosial yang


terjadi.

5. Penerapan berbagai teori perubahan sosial yang mempengaruhi


kebijakan pembangunan nasional pada negara-negara berkembang.

BAB II

MASYARAKAT DAN KONFLIK

A. MASYARAKAT
Dalam melihat masyarakat manusia, terdapat perbedaan pandangan yaitu antara teori
fungsional, teori konflik dan teori radikal. Teori fungsional memposisikan karakter sistemik dari
masyarakat manusia dan kemudian menjelaskan tindakan pada bagian-bagian dalam kaitanya
dengan kebutuhan-kebutuhan dan pencapaian-pencapaian yang diharapkan. Sebaliknya teori
konflik berkarakter antisistemik. Teori ini menekankan bahwa konflik dan perjuangan secara
konstan mengancam struktur masyarakat. Sedangkan teori radikal cenderung memandang
masyarakat manusia berada di tengah-tengah, di mana konflik kehidupan berlangsung.

Kepentingan individu berbeda dengan kepentingan masyarakat. Di mana kepentingan


masing-masing individu berbeda-beda. Manusia tidak mempunyai tujuan yang sama. Meskipun
ada kesamaan tujuan seringkali tidak ditempatkan

pada tingkatan yang sama. Ini dikarenakan masing-masing individu secara tetap
harus memilih di antara tujuan-tujuan yang mereka inginkan. Namun tujuan yang paling
dasar dari individu adalah usaha mempertahankan status dan prestise, menciptakan
kenyamanan, keselamatan di dunia dan akhirat.

Kepentingan masyarakat berbeda dengan kepentingan individu. Karena ketika


menjadi anggota masyarakat kita diharuskan untuk mendefinisikan sebagai tujuan
masyarakat bukan sebagai tujuan individu lagi. Dalam mendefinisikan tersebut tanpa
melihat lagi atau memandang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bagi anggota-
anggota individu bahkan sebagian mayoritas. Dan seringkali kelas yang dominan
mempunyai pengaruh yang sangat besar, di mana mereka memiliki kekuatan untuk
menentukan arah terkoordinasi dari masyarakat. Sehingga tujuan-tujuan masyarakat
adalah tujuan-tujuan dari kelas yang dominan tersebut.

I. Pengertian Masyarakat

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang


membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar
interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata
"masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih
abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar
entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling
tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu
sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.

Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan


sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan
yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi
sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.

Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata


pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu,
masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural
intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap
masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah
dari masyarakat agrikultural tradisional.

Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya:


berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom,
dan masyarakat negara.

Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan
persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti
teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata
society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan
kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.

Obyek Studi sosiologi pada dasarnya adalah masyarakat itu sendiri. Pengertian-
pengertian tentang masyarakat yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini dapat
kita temukan dalam Soerjono Soekanto (2006) dalam bukunya yang berjudul
Sosiologi, Suatu Pengantar.

– MacIver dan Page:

Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari
wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan
pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan
yang selalu berubah inilah yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat
merupakan jalinan hubungan. Dan masyarakat selalu berubah.

– Ralfph Linton:

Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan


bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri
mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan
batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.

– Selo Soemarjan:

masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan


kebudayaan.

Auguste Comte:

Comte melihat masyarakat sebagai keseluruhan organik. Keseluruhan


pada dasarnya selalu terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. Namun
menurut Comte masyarakat lebih dari sekedar terdiri dari bagian-bagian yang
saling tergantung. Masyarakat juga menurut Comte bersifat dinamis dan selalu
berkembang. Untuk menjelaskan tesisnya ini Comte membagi masyarakat
dalam tiga tahap yakni tahap teologis, metafisis dan positif.
Pada tahap teologis manusia percaya bahwa keteraturan sosial
diselenggarakan oleh hal-hal yang bersifat supranatural. Tahap metafisis
merupakan tahap peralihan dari tahap teologis menuju tahap positif. Tahap
metafisis ditandai oleh keyakinan akan hukum-hukum alam yang dapat
dijelaskan oleh akal budi. Dan tahap terakhir adalah tahap positif yakni
kepercayaan kepada data-data empiris. Data-data empiris ini memungkinkan
manusia memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas.

II. Ciri-Ciri Masyarakat:


Soerjono Soekanto, dalam bukunya yang sama merumuskan beberapa ciri
masyarakat sebagai berikut:
o Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama. Tingkatan
hidup bersama ini bisa dalam dimulai dari kelompok duaan.
o Hidup bersama untuk waktu yang cukup lama. Dalam hidup bersama
ini akan terjadi interaksi. Interaksi yang berlangsung terus menerus
akan melahirkan sistem interaksi yang akan nampak dalam
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara manusia.
o Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan
o Mereka merupakan satu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan
bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok
merasa dirinya terkait satu dengan yang lainnya.
III. Unsur-Unsur Masyarakat
Unsur-unsur suatu masyarakat:
 Harus ada perkumpulan manusia dan harus banyak
 Telaah bertempat tinggal dalam waktu lama disuatu daerah tertentu.
 adanya aturan atau undang-undang yang mengatur masyarakat untuk menuju
kepada kepentingan dan tujuan bersama.

B. KONFLIK
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam
suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi
yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya,
konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai
sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.
sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
I. Defnisi konflik
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli.
1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan
kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada
berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua
pihak atau lebih pihak secara berterusan.
2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama,
hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika
masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri –
sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi
ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari
adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap
tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi
telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi
pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi
(Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat
hubungannya dengan stres.
5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau
lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun
terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang
sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak
mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif
(Robbins, 1993).
7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain,
kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini,
pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang
diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku
komunikasi (Folger & Poole: 1984).
9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin
dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil,
maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps,
1986:185; Stewart, 1993:341).
10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya,
tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda
(Devito, 1995:381)

II. Beberapa pandangan mengenai peran konflik


Ada pertentangan pendapat mengenai perbedaan pandangan terhadap peran
konflik dalam organisasi yang disebut oleh Robbin (1996: 431) sebagai The Conflict
Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja
kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk
meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif,
merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah
violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu
hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan,
keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk
tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan
ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang
wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap
sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok
atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar
anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang
bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan
kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan
inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini
cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya
konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang,
damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan
tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu
dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap
anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan
kreatif.

Stoner dan Freeman (1989:392) membagi pandangan menjadi dua bagian, yaitu
pandangan tradisional (Old view) dan pandangan modern (Current View):

1. Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa


konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan
organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena
itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan.
Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang
dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai
pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
2. Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan
banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan,
persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi
kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik,
manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga
tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.

Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner dan Freeman, konflik dipahami
berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)

1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang


buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya
konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu
kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan
kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun
dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan
menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi
itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena
itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.

2. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan


bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai
konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan
adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana
menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan
antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap
sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan
dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal
konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya
bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.

Berdasarkan penjabaran pandangan - pandangan di atas, ada dua hal penting


yang bisa disorot mengenai konflik:
1. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal
ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus
mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik
mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada
komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu
proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu
secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam
proses itu, pasti ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya
diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal
seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan
pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik tidak selalu
diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua
pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang
dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui
kata – kata yang mengandung amarah.

2. Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber


pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan
bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen
suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa
dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik
adanya perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat
berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak
terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara
mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.

Ada tiga teori konflik yang menonjol dalam ilmu sosial. Pertama adalah teori
konflik C. Gerrtz, yaitu tentang primodialisme, kedua adalah teori konflik Karl. Marx,
yaitu tentang pertentangan kelas, dan ketiga adalah teori konflik James Scott, yaitu
tentang Patron Klien.

III. Faktor penyebab konflik


 Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan
pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat
menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan
sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika
berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi
ada pula yang merasa terhibur.
 Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-
pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan
pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada
akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
 Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang
atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang
orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan.
Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang
menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh
ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai
penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para
pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna
mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta
lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan.
Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat.
Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok
atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok
buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara
keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan
pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan
memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
 Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan
itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami
proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian
secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang
berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja
dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan
kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam
organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi
individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak
ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan
istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat
atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di
masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk
perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang
telah ada.
IV. Jenis-jenis konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
1. konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-
peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
2. konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
3. konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
4. konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
5. konflik antar atau tidak antar agama
6. konflik antar politik.
V. Akibat konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
• meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami
konflik dengan kelompok lain.
• keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
• perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci,
saling curiga dll.
• kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
• dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.

Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat
memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian
terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini
akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:

 Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan
percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
 Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan
percobaan untuk "memenangkan" konflik.
 Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan
percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
 Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan
untuk menghindari konflik.
VI. Proses pemetaan konflik
(sumber referensi kuliah)

Pahami isyu/
pernyataan

Identifikasi gerakan

IDENTIFIKAS
VII. Perspektif
IDENTIFIKASI mengatasi Dilema
star I
 Dilema dalam ilmu-ilmu sosial (khususnya Sosiologi KEBUTUHAN
PELAKU/AKTO Politik) adalah tidak
R
adanya konsensus baku untuk memahami berbagai fenomena politik. Setiap
ilmuwan sosial akan dipengaruhi oleh perspektif yangIDENTIFIKASI
berbeda dalam
KEPENTINGA
menyusun kerangka analisis untuk memahami berbagai fenomena sosial.
 Maka kita akan menemukan suatu
IDENTIFIKASI kesimpulan yang berbeda terhadap suatu
IDENTIFIKASI
finis
RESOURCES POSISI AKTOR
fenomena yang sama, karena adanya perbedaan perspektif.
 Dalam proses keilmuan, perspektif atau pendekatan berfungsi sebagai kriteria
utnuk memilah-milah maslah yang hendak diteliti dan sebagai penuntun ke arah
IDENTIFIKASI IDENTIFIKASI IDENTIFIKASI
metode penelitian yang hendak digunakan.
STAKEHOLDE INTERVENSI
IMPLIKASI
R
 Kita perlu memahami keragaman perspektif yang sering digunakan oleh
Sosiologi Politik, karena keragaman itu menunujukkan adanya pengakuan jujur
bahwa fenomena sosial tidak diakibatkan oleh penyebab tunggal atau satu
faktor saja, melainkan adanya hubungan multi-kausal dalam hubungan antar
variabel ilmu sosial.
 Di samping itu untuk menunjukkan bahwa kemampuan manusia untuk
memahami fenomena secara menyeluruh dan dari segala segi sangatlah
terbatas, sehingga perlu dilakukan pengkhususan dan pembatasan pusat
perhatian.

PROSES PENYELESAIAN KONFLIK:

1. Langsung
2. Perantara
3. Pengadilan
4. Represif

SALURAN PENYELESAIAN KONFLIK:

a. Politik, penyadaran positioning


b. Ekonomi, redistribusi
c. Budaya, lokalisir isu
d. Institusi, jalur organisasi
e. Hokum formal, pengadilan

Resolusi-resolusi konflik

PERSP Struktural- Konflik Kelas Elitis Pluralis


EKTIF Fungsional (misalnya Ralf (Teori-teori (Gaetano (Robert
TEORI (termasuk teori Dahrendorf, yang Mosca, Dahl,
TIS/ konsensus, Lewis Coser) dipengaruhi Vilfredo Suzzane
teori sistem Karl Marx) Pareto, Robert Keller)
ISSUE dan teori-teori Michels, C.
yang Wright Mills,
dipengaruhi dan Robert D.
Talcott Parson) Putnam)
1. Suatu sistem Arena bagi Arena bagi Didominasi Terdiri
MASYA sosial yang kepentingan- pertikaian dan dipimpin dari
RAKAT diikat nilai- kepentingan antar-kelas oleh kelompok jaringan-
nilai, yang saling sosial. minoritas yang jaringan
kebutuhan- bersaing dan terorganisir, interaksi
kebutuhan dan arena bagi yaitu kaum antar-
tujuan-tujuan pertikaian. elit. Diluar individu
yang sama. kelompok ini dan antar-
Konsensus. massa yang kelompok,
tidak yang
memahami mencermi
keadaan. nkan
kemajemu
kan
kepentinga
n dan
nilai-nilai.
Tidak
satupun
kelompok
yang
mampu
mendomin
asi yang
lain.
2. Suatu Alat pemaksa Sarana Organ atau Hanya
NEGAR subsistem yang yang dipakai kekerasan mekanisme merupaka
A berfungsi oleh kelas yang yang n salah
memelihara, penguasa terorganisir dimanipulasi satu dari
mempersatuka untuk yang oleh banyak
n dan membuat didominasi sekelompok lembaga
mencapai rakyat tunduk oleh satu minoritas yang politik
tujuan-tujuan pada kelas sosial terorganisir, yang ada
masyarakat. kemauann yaitu kelas yaitu kaum dalam
Tindakan- kapitalis. elit, yang masyaraka
tindakan menjalankanny t. Negara
negara bersifat a demi mewakili
mengikat. kepentinganny kepentinga
a sendiri atau n banyak
kepentingan kelompok.
pendukungny. Karenanya
ia
demokrati
s.
3. Masyarakat Masyarakat Sumber Ketertiban dan Perubahan
TERTIB dipandang selalu dalam dinamika status-quo terjadi
SOSIAL sebagai statis; keadaan yang masyarakat sangat secara
DAN selalu diliputi adalah dipentingkan. bertahap.
PERUB mengutamakan perubahan dan perubahan Perubahan Perubahan
AHAN integrasi, pertikaian. sosial. sosial terjadi
SOSIAL ketertiban dan Konflik yang Perubahan dianggap akibat
stabilitas. terjadi itu sosial tidak membahayaka konflik
Kalau merupakan bisa n. Perubahan antara
masyarakat kekuatan dielakkan. yang terjadi kelompok
berubah, dinamik haruslah yang
perubahan itu masyarakat. dituntun oleh saling
berujud Tanpa ada kaum elit. bersaing
penyesuaian konflik Wujud tetapi
terhadap kepentingan, perubahan masih
lingkungannya masyarakat yang terjadi dalam
. Equilibrium. tidak akan sekedar tertib
bermakna sirkulai elit. kelembaga
an.
Perubahan
yang
terjadi
tidak
sampai
menggang
gu
kestabilan.

4. Pelapisan Pelapisan Ketimpangan Ketimpangan Ketimpan


KETIM sosial sosial sosial dan antara elit dan gan sosial
PANGA diperlukan merupakan pelapisan massa pasti memang
N DAN sebagai sistem penghalang sosial adalah terjadi. Elit ada, tetapi
PELAPI integratif terjadinya penyebab pasti pengaruh
SAN untuk integrasi dan konflik. mendominasi dan
SOSIAL memelihara merupakan Ketimpangan massa. Elitis keuntunga
tertib dan sumber utama dan pelapisan klasik: n yang ada
stabilitas terjadinya sosial bisa ketimpangan dalam
sosial. konflik dalam dihilangkan itu tidak bisa masyaraka
Pemberian masyarakat. dihindarkan t
ganjaran Pelapisan/keti dan memang didistribus
secara tidak mpangan itu diperlukan. ikan
merata terjadi karena Elitis radikal: secara
diperlukan langkanya dan mengkritik merata.
untuk tidak keras
menjamin meratanya terjadinya
bahwa hanya distribusi ketimpangan
orang yang sumberdaya antara elit-
cakap yang dalam masa.
menduduki masyarakat.
jabatan
penting.
5. Mekanisme Politik Sarana yang Sarana yang Mekanism
POLITI untuk berkenaan dipakai oleh dipakai kaum e untuk
K mencapai dengan kelas elit untuk menengahi
tujuan-tujuan kekuasaan, penguasa menguasai dan dan
bersama. yaitu tentang untuk memanipulasi mewasiti
Memainkan siapa yang mempertahan massa. berbagai
peran berkuasa, kan kepentinga
menengahi bagaimana ia dominasi. n yang
dalam memperoleh Satu segi dari berbeda
penyelesaian kekuasaan dan suprastruktur dan
konflik. mengapa ia yang mewasiti
berkuasa. didominasi berbagai
Politik oleh kelas konflik.
membantu satu kapitalis.
kelompok
mencapai
tujuannya
dengan
merugikan
kelompok
lainnya.
6. Sarana yang Yang paling Bentuk- Mayoritas Para
PARTIS dipakai oleh aktif bentuk warga bersifat pemilih
IPASI warga-negara berpartisipasi partisipasi pasif dan diam. dan
POLITI dan kelompok- adalah mereka konvensional Mereka kelompok
K kelompok yang paling bisa tidak sekedar kepentinga
kepentingan beruntung efektif, dimanipulasi n
untuk dalam karena hanya oleh kaum elit. mempenga
mendukung masyarakat. dilakukan Para politisi ruhi proses
sistem politik. Tuntutan dari demi yang pembuatan
Sebagai masyarakat kepentingan memerintah keputusan
imbalan terhadap kelas tidak selalu melalui
terhadap sistem politik penguasa. tanggap cara-cara
dukungan tidak Bentuk- terhadap pemilihan,
warga negara ditanggapi bentuk non- tuntutan menjadi
itu, sistem secara konvensional warga. anggota
politik seimbang. Ada mungkin kelompok
memberikan yang diperlukan. kepentinga
kepemimpinan ditanggapi n dan
yang lebih serius, menemui
bertanggungja ada yang tidak. dan
wab dan berunding
memenuhi dengan
tuntutan- pemimpin
tuntutan yang politik dan
diajukan. pemerinta
han.
Sistem
politik
selalu
tanggap
terhadap
tuntutan
warganya.
7. Medium yang Mekanisme Terpusat di Terpusat di Bersifat
KEKUA sah untuk yang tidak sah tangan para tangan mereka polisentris
SAAN mempertukark dan cenderung pemilik alat yang dan
an dan menguntungka produksi, menduduki tersebar
memobilisasi n sekelompok yaitu kelas posisi-posisi diantara
sumberdaya kecil orang penguasa tertinggi dalam berbagai
politik dalam yang struktur sosial. kelompok
sistem politik mendominasi Kekuasaan kepentinga
demi mencapai masyarakat adalah n. Tidak
tujuan-tujuan dengan persekongkola ada satu
bersama. merugikan n kepentingan kelompok
sebagian besar dari lembaga- yang
anggota lembaga utama memonop
masyarakat dalam oli
yang tidak masyarakat itu. kekuasaan.
memiliki
kekuasaan.

VIII. Metode dan teknik pemetaan sosial

DEFINISI DAN CAKUPAN

Pemetaan sosial dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan dalam


Pengembangan Masyarakat yang oleh Twelvetrees (1991:1) didefinisikan sebagai “the
process of assisting ordinary people to improve their own communities by undertaking
collective actions.” Sebagai sebuah pendekatan, pemetaan sosial sangat dipengaruhi
oleh ilmu penelitian sosial dan geography. Salah satu bentuk atau hasil akhir pemetaan
sosial biasanya berupa suatu peta wilayah yang sudah diformat sedemikian rupa
sehingga menghasilkan suatu image mengenai pemusatan karakteristik masyarakat
atau masalah sosial, misalnya jumlah orang miskin, rumah kumuh, anak terlantar, yang
ditandai dengan warna tertentu sesuai dengan tingkatan pemusatannya. 

Perlu dicatat bahwa tidak ada aturan dan bahkan metoda tunggal yang secara
sistematik dianggap paling unggul dalam melakukan pemetaan sosial. Prinsip utama
bagi para praktisi pekerjaan sosial dalam melakukan pemetaan sosial adalah bahwa ia
dapat mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dalam suatu wilayah tertentu
secara spesifik yang dapat digunakan sebagai bahan membuat suatu keputusan terbaik
dalam proses pertolongannya. Mengacu pada Netting, Kettner dan McMurtry
(1993:68) ada tiga alasan utama mengapa para praktisi pekerjaan sosial memerlukan
sebuah pendekatan sistematik dalam melakukan pemetaan sosial:

1. Pandangan mengenai “manusia dalam lingkungannya” (the person-in-


environment) merupakan faktor penting dalam praktek pekerjaan sosial,
khususnya dalam praktek tingkat makro atau praktek pengembangan
masyarakat. Masyarakat dimana seseorang tinggal sangat penting dalam
menggambarkan siapa gerangan dia, masalah apa yang dihadapinya, serta
sumber-sumber apa yang tersedia untuk menangani masalah tersebut.
Pengembangan masyarakat tidak akan berjalan baik tanpa pemahaman
mengenai pengaruh-pengaruh masyarakat tersebut.
2. Pengembangan masyarakat memerlukan pemahaman mengenai sejarah dan
perkembangan suatu masyarakat serta analisis mengenai status masyarakat saat
ini. Tanpa pengetahuan ini, para praktisi akan mengalami hambatan dalam
menerapkan nilai-nilai, sikap-sikap dan tradisi-tradisi pekerjaan sosial maupun
dalam memelihara kemapanan dan mengupayakan perubahan.
3. Masyarakat secara konstan berubah. Individu-individu dan kelompok-
kelompok begerak kedalam perubahan kekuasaan, struktur ekonomi, sumber
pendanaan dan peranan penduduk. Pemetaan sosial dapat membantu dalam
memahami dan menginterpretasikan perubahan-perubahan tersebut.
IX. MEMAHAMI MASYARAKAT DAN MASALAH SOSIAL
Pemetaan sosial memerlukan pemahaman mengenai kerangka konseptualisasi
masyarakat yang dapat membantu dalam membandingkan elemen-elemen masyarakat
antara wilayah satu dengan wilayah lainnya. Misalnya, beberapa masyarakat memiliki
wilayah (luas-sempit), komposisi etnik (heterogen-homogen)_dan status sosial-
ekonomi (kaya-miskin atau maju-tertinggal) yang berbeda satu sama lain. Dalam
makalah ini, kerangka untuk memahami masyarakat akan berpijak pada karya klasik
Warren (1978), The Community in America, yang dikembangkan kemudian oleh
Netting, Kettner dan McMurtry (1993:68-92). Sebagaimana digambarkan Tabel 1,
kerangka pemahaman masyarakat dan masalah sosial terdiri dari 4 fokus atau variabel
dan 9 tugas. 

Penjelasannya:
Focus A: Pengidentifikasian Populasi Sasaran

Tugas 1: Memahami karakteristik anggota populasi sasaran

– Apa yang diketahui mengenai sejarah populasi sasaran pada masyarakat


ini?
– Berapa orang jumlah populasi sasaran dan bagaimana karakteristik
mereka?
– Bagaimana orang-orang dalam populasi sasaran memandang
kebutuhan-kebutuhannya?
– Bagaimana orang-orang dalam populasi sasaran memandang
masyarakat dan kepekaannya dalam merespon kebutuhan-kebutuhan
mereka?

Focus B: Penentuan Karakteristik Masyarakat

Tugas 2: Mengidentifikasi batas-batas masyarakat.

– Apa batas wilayah geografis dimana intervensi terhadap populasi


sasaran akan dilaksanakan?
– Dimana anggota-anggota populasi sasaran berlokasi dalam batas
wilayah geografis?
– Apa hambatan fisik yang ada dalam populasi sasaran?
– Bagaimana kesesuaian batas-batas kewenangan program-program
kesehatan dan pelayanan kemanusiaan yang melayani populasi
sasaran? 

Tugas 3: Menggambarkan masalah-masalah sosial

– Apa permasalahan sosial utama yang mempengaruhi populasi sasaran


pada masyarakat ini?
– Adakah sub-sub kelompok dari populasi sasaran yang mengalami
permasalahan sosial utama?
– Data apa yang tersedia mengenai permasalahan sosial yang
teridentifikasi dan bagaimana data tersebut digunakan di dalam
masyarakat?
– Siapa yang mengumpulkan data, dan apakah ini merupakan proses yang
berkelanjutan?

Tugas 4: Memahami nilai-nilai dominan

– Apa nilai-nilai budaya, tradisi, atau keyakinan-keyakinan yang penting


bagi populasi sasaran?
– Apa nilai-nilai dominan yang mempengaruhi populasi sasaran dalam
masyarakat?
– Kelompok-kelompok dan individu-individu manakah yang menganut
nilai-nilai tersebut dan siapa yang menentangnya?
– Apa konflik-konflik nilai yang terjadi pada populasi sasaran? 

Focus C: Pengakuan Perbedaan-Perbedaan

Tugas 5. Mengidentifikasi mekanisme-mekanisme penindasan yang tampak


dan formal.

– Apa perbedaan-perbedaan yang terlihat diantara anggota-amggota


populasi sasaran?
– Apa perbedaan-perbedaan yang terlihat antara anggota populasi sasaran
dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat?
– Bagaimana perbedaan-perbedaan populasi sasaran dipandang oleh
masyarakat yang lebih besar?
– Dalam cara apa populasi sasaran tertindas berkenaan dengan perbedaan-
perbedaan tersebut?
– Apa kekuatan-kekuatan populasi sasaran yang dapat diidentifikasi dan
bagaimana agar kekuatan-kekuatan tersebut mendukung
pemberdayaan?
Tugas 6. Mengidentifikasi bukti-bukti diskriminasi

– Adakah hambatan-hambatan yang merintangi populasi sasaran dalam


berintegrasi dengan masyarakat secara penuh?
– Apa bentuk-bentuk diskriminasi yang dialami oleh populasi sasaran
dalam masyarakat?

Focus D: Pengidentifikasian Struktur

Tugas 7. Memahami lokasi-lokasi kekuasaan.

– Apa sumber-sumber utama pendanaan (baik lokal maupun dari luar


masyarakat) bagi pelayanan kesehatan dan kemanusiaan yang dirancang
bagi populasi sasaran dalam masyarakat?
– Adakah pemimpin-pemimpin kuat dalam segmen pelayanan kesehatan
dan kemanusiaan yang melayani populasi sasaran?
– Apa tipe struktur kekuasaan yang mempengaruhi jaringan pemberian
pelayanan yang dirancang bagi populasi sasaran?

Tugas 8. Menentukan ketersediaan sumber.

– Apa lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok masyarakat yang ada


pada saat ini yang dipandang sebagai pemberi pelayanan bagi populasi
sasaran?
– Apa sumber utama pendanaan pelayanan-pelayanan bagi populasi
sasaran?
– Apa sumber-sumber non-finansial yang diperlukan dan tersedia?

Tugas 9. Mengidentifikasi pola-pola pengawasan sumber dan pemberian


pelayanan.

– Apa kelompok-kelompok dan asosiasi-asosiasi yang mendukung dan


memberikan bantuan terhadap populasi sasaran?
– Bagaimana distribusi sumber bagi populasi sasaran dipengaruhi oleh
interaksi di dalam masyarakat?
– Bagaimana distribusi sumber bagi populasi sasaran dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan masyarakat ekstra?

  PENDEKATAN PEMETAAN SOSIAL

Metode dan teknik pemetaan sosial yang akan dibahas pada makalah ini
meliputi survey formal, pemantauan cepat (rapid appraisal) dan metode partisipatoris
(participatory method) (LCC, 1977; Suharto, 1997; World Bank, 2002). Dalam wacana
penelitian sosial, metode survey formal termasuk dalam pendekatan penelitian makro-
kuantitatif, sedangkan metode pemantauan cepat dan partisipatoris termasuk dalam
penelitian mikro-kualitatif (Suharto, 1997).

Survey Formal

Survey formal dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi standar dari


sampel orang atau rumahtangga yang diseleksi secara hati-hati. Survey biasanya
mengumpulkan informasi yang dapat dibandingkan mengenai sejumlah orang yang
relatif banyak pada kelompok sasaran tertentu. 

Pemantauan Cepat (Rapid Appraisal Methods)

Metode ini merupakan cara yang cepat dan murah untuk mengumpulkan
informasi mengenai pandangan dan masukan dari populasi sasaran dan stakeholders
lainnya mengenai kondisi geografis dan sosial-ekonomi. 

Metode Partisipatoris

Metode partisipatoris merupakan proses pengumpulan data yang melibatkan


kerjasama aktif antara pengumpul data dan responden. Pertanyaan-pertanyaan
umumnya tidak dirancang secara baku, melainkan hanya garis-garis besarnya saja.
Topik-topik pertanyaan bahkan dapat muncul dan berkembang berdasarkan proses
tanya-jawab dengan responden.
BAB III

MASALAH SOSIAL POLITIK

(kemiskinan)

A. KEMISKINAN

1. Defenisi Kemiskinan

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup


memilihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak
mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisik dalam kelompok tersebut. Dan
dapat diartikan juga sebagai Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi
pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok
masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang
berada di bawah garis kemiskinan (poverty line) merupakan dua masalah besar di
banyak negara-negara berkembang (LDCs), tidak terkecuali di Indonesia.
Pemberdayaan merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk menekan angka
kemiskinan agar tercapai tujuan pembagunaan .

Menurut John Friendman mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi


tidak terpenuhinya kebutuhan dasar (esensial) individu sebagai manusia.Sementara
Chambers menggambarkan kemiskinan, terutama di pedesaan mempunyai lima
karakteristik yang saling terkait:

1. kemiskinan material,

2. kelemahan fisik,

3. keterkucilan dan keterpencilan,

4. kerentanan, dan

5. ketidakberdayaan.

Dari kelima karakteristik tersebut yang perlu mendapat perhatian adalah


kerentanan dan ketidakberdayaan. Kerentanan adalah ketidakmampuan keluarga
miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti datangnya
bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin
.Kerentanan sering menimbulkan kondisi memprihatinkan yang menyebabkan keluarga
miskin harus menjual harta benda dan asset produksinya sehingga mereka makin
rentan dan tidak berdaya.

Sedangkan ketidakberdayaan adalah dimana elit desa dengan seenaknya


memfungsikan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan yang sebenarnya
diperuntukkan untuk orang miskin. Ketidakberdayaan keluarga miskin di kesempatan
yang lain mungkin dimanifestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin di tipu dan
ditekan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Ketidakberdayaan mengakibatkan
terjadinya bias bantuan untuk si miskin kepada kelas di atasnya yang seharusnya tidak
berhak memperoleh subsidi, seperti kasus dana Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Secara ekonomi kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan
sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.Sumber daya dalam konteks ini
menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan
(wealth) yang dapat meningklatkan kesejahteraan masyarakat.

Kenyataannya menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan


sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi
kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia
berikut ini :

Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang
terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak
balita dan ibu.

Terbatasnya akses dan rendahnya di sebabkan oleh kesulitan mendapatkan


mutu layanan kesehatan,kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat,kurang
nya layanan reproduksi .jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya pengobatan
dan biaya perawatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi
oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan
di Puskesmas. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan dan asuransi kesehatan
sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial pada penduduk miskin.

Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang


disebabkanoleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas,
biayapendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang
terbatas,tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung.

Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap


aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi
pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu
rumah tangga.
Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang
tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan
memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam
satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang
kurang memadai.

Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih
terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu
sumber air.

Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin


menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta
ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah
tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan
mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian.

Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta


terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang
tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah
pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan.

Lemahnya jaminan rasa aman. Lemahnya partisipasi. Berbagai kasus


penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran
petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi
mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin
dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai
kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan
keterlibatan mereka.

Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan


keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Rumahtangga
miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumah tangga tidak
miskin

2. Jenis-Jenis Kemiskinan

Besarnya kemiskinan bisa diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garis
kemiskinan. Konsep yang mengacu kepada garis kemiskinan disebut kemiskinan
relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan
disebut kemiskinan absolute

· Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam


distribusi pendapatan, biasanya dapat didefinisikan didalam kaitannya dengan tingkat
rata-rata dari distribusi yang dimaksud.

· Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan dibawah, dimana kebutuhan-


kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi.

3. Penyebab Kemiskinan

Faktor-faktor penyebab kemiskinan sangat sulit untuk dipastikan mana


penyebab yang berpengaruh langsung dan yang tidak lagsung terhadap kemiskinan

– Tingkat dan laju pertumbuhan output

– Tingkat upah neto.

– Distribusi pendapatan.

– Kesempatan kerja

– Tingkat inflasi

– Pajak dan subsidi Investasi

– Alokasi serta kualitas SDA dan ketersediaan fasilitas umum


– Penggunaan teknologi dan tingkat & jenis pendidikan

– Kondisi fisik dan alam

– Politik dan peperangan

– Bencana alam

Sedangkan Secara teoritis kemiskinan dapat dipahami melalui akar


penyebabnya yang dibedakan menjadi dua kategori :

1. Kemiskinan Natural atau alamiah

Kemiskinan yang timbul sebagai akibat terbatasnya jumlah sumber daya


dan/atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah.

2. Kemiskinan structural

Kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota
atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-
fasilitas secara merata. Artinya sebagian anggota masyarakat tetap miskin
walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh
masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua anggota
masyarakat dari kemiskinan.

Golongan yang menderita kemiskinan struktural itu misalnya terdiri dari para
petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau para petani yang tanah miliknya kecil
sehingga hasilnya tidak mencukupi untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan
keluarganya. Termasuk golongan miskin lain adalah kaum buruh yang tidak terpelajar
dan terlatih, atau apa yang dengan kata asing disebut unskilled labors. Golongan
miskin ini meliputi juga para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari
pemerintah yang sekarang dapat dinamakan golongan ekonomi sangat lemah.

B. PROGRAM KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN


Persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial masih menjadi masalah besar di
negara Indonesia terutama didaerah pedesaan. Persoalan kemiskinan dan kesenjangan
sosial dapat menjadi konflik untuk itu harus mencari alternatif penanggulanan
kemiskinan.

Salah satu upaya dalam penanggulangan kemiskinan adalah dengan


pemberdayaan, misalnya pemberdayaan lingkungan dan pembedayaan kewirausahaan.
Pemberdayaan adalah suatu proses yang mengembangkan dan memperkuat
kemampuan masyarakat untuk terus terlibat dalam proses pembangunan yang secara
dinamis sehingga masyarakat dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi serta dapat
mengambil keputusan. Pemberdayaan merupakan program komprehensif dan terpadu
dalam rangka peningkatan mutu Sumber Daya Manusia, human capital, yang sekaligus
diarahkan untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) yang tujuan
utamanya penghapusan kemiskinan dan peningkatan mutu manusia yang berbudaya
dan demokratis.

Pemerintah pun telah banyak mengeluarkan program kebijakan yang digunakan


untuk menanggulangi kemiskinan contohnya :

– PKPS BBM yang terdiri dari program bagi-bagi uang atau BLT

– P2KP yang kemudian diganti menjadi PNPM dengan aneka ragam jenis
PNPM

– program BOS

– RASKIN

– Askeskin

– Kredit Usaha Rakyat (KUR)


Menurut Roger Harris dalam bukunya yang berjedul information and
communication technologies for poverty alleviation (2004), Strategi penanggulangan
kemiskinan, antara lain:

 Mendistribusikan informasi yang relevan untuk pembangunan.

 Memberdayakan masyarakat yang kurang beruntung (disadvantaged) dan


terpinggirkan (marginalized).

 Mendorong usaha mikro (fostering micro entrepreneurship)

 Meningkatkan layanan informasi kesehatan jarak jauh (telemedicine).

 Memperbaiki pendidikan melaslui e-learning dan pembelajaran seumur hidup


(life long learning)

 Mengembangkan perdagangan melalui ecommerce.

 Menciptakan ketataprajaan yang lebih efesien dan transparan melalui e-


govermence.

 Mengembangkan kemampuan.

 Memperkaya kebudayaan.

 Menunjang pertanian

 Menciptakan lapangan kerja, dan Mendorong mobilisasi social

C. KESIMPULAN DAN SARAN MASALAH SOSIAL (kemiskinan)

1. Kesimpulan

Kemajuan suatu masyarakat atau bangsa biasanya ditandai dengan tingginya


perhatian yang diberikan pihak pemerintah terhadap kelompok-kelompok marjinal,
baik marjinal dari sisi geografis maupun sosiologis, sebab kemajuan yang dicita-
citakan mestinya berorientasi pada pemerataan kesejahteraan masyarakat. Karena itu,
sebuah bangsa akan disebut maju jika seluruh atau sebagian besar masyarakatnya telah
berada dalam kondisi sejahtera. Indonesia sebagai sebuah negara berkembang masih
menghadapi berbagai problem ekonomi baik makro maupun mikro, dan hal tersebut
telah turut menghambat lajunya proses kesejahteraan kehidupan rakyat contohnya
masalah kemiskinan dan kesejangan sosial antara desa dan kota. Salah satu akibat
terjadinya kesenjangan sosial meningkatnya kasus kejahatan dan kriminalitas,
meningkatnya urbanisasi dari desa ke kota . Dengan demikian pemerintah harus
berupaya memberikan perhatian kepada masyarakat miskin sebagai langkah untk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Salah satu upaya pemerintah untuk
menanggulangi kemiskinan dengan pemberdayaan. Pemberdayaan adalah sebuah
program untuk mendorong masyarakat agar mampu melakukan perubahan yaitu keluar
dari kemiskinan dan menjadai berdaya mandiri.

2. Saran

Terkadang bantuan-bantuan yang didapat dari pemerintah tidak dirasakan


langsung oleh masyarakat dan tidak sesuai yang diharapkan dan terkadang ada aparat
yang di percaya untuk menyalurkan bantuan kepada masyarakat malah
menyelewengkan dana bantuan tersebut. Untuk itu diharapkan pemerinatah dapat
terjun langsung memberikan dana tersebut ke masyarakat yang di tuju dan sebelumnya
di tinjau terlebih dahulu apa yang sebenarnya masyarakat perlukan untuk dapat
mensejahterakan keluarganya.
Selain bantuan materi yang di butuhkan masyarakat tetapi masyarakat juga
membutuhkan bantuan moril atau ilmu pengetahuan untuk dapat mengelola dana
tersebut agar dapat meningkatkan taraf kehidupan keluarganya.

BAB IV
PENUTUP

(hubungan teori dan praktek)

A. Pencerminan Teori Sosial dan Praktek Politik


Masalah hubungan antara teori social dan praktek social sebenarnya sudah
menjadi obyek pembicaraan semenjak 2 abad yang lalu dan selama itu keduanya telah
ditandai oleh kenyataan bahwa ia lebih mudah menimbulkan perselisihan daripada
menghasilkan kejelasan pemikiran dan pemahaman. Meski demikian, masalah ini
merupakan pokok persoalan yang cenderung menimbulkan perdebatan.
Dalam tulisan yang notabene kutipan dari ceramahnya ini, Ralf Dahrendorf
menawarkan empat pemikiran sekaligus beberapa pertanyaan skeptis tentang teori
social dan praktek social di dalamnya. Namun perlu kiranya diketahui terlebih dahulu
bahwa apa yang ia maksud dengan praktek social sebagai hal-hal yang dilakukan oleh
para menteri atau barangkali para anggota parlemen. Sedang teori social yang
dimaksud adalah sebagai hal-hal yang dilakukan oleh para professor, paling tidak
professor-profesor tertentu – profesor filsafat politik, kadang-kadang juga professor
ekonomi, atau mungkin juga professor sejarah atau sosiologi.
Pemikiran pertama berkisar tentang persoalan sebagian orang yang nampaknya
ingin menguasai bidang praktek politik dan teori social. Dengan kata lain, ada orang-
orang yang ingin menjadi filsafat-politikus seklaigus. Dia mencontohkan, pada
pertengahan tahun 1981 ada dua orang anggota parlemen yang pada mulanya sangat
kritis dan keras pengecamannya terhadap Negara serta mengatakan bahwa Negara
telah menjadi steril dari praktek politik ortodok, tapi setelah menjadi menteri mereka
menjadi melempem dengan kebijakan-kebijakannya dan tuntutan-tunttan kritisnya
dulu.
Perbedaan antara teori dan praktek semacam ini tidak terbatas pada spectrum
poltik saja. Pada jajaran oposisi juga ada yang mengaku dirinya sebagai ahli teori
social yang melihat dirinya dalam tradisi lama pemikir-pemikir social serta menyebut
dirinya sebagai keturunan keluaraga Leverres. Ia juga sering menyebut agama Kristen
sebagai sumber pemikiran politik dan sosialnya. Sayangnya, bila orang tersebut telah
menduduki jabatan apalagi sebagai legislator penting, maka sama saja dengan para
politisi lain, ada petunjuk bahwa mereka lebih dipengaruhi oleh sesuatu yang juga
dikemukannya, yaitu langkah-langkah tekhnologi hebat yang melahirkan “kesaling
tergantungan, kompleksitas, dan sentralisasi”. Bagi Dahrendorf, paling tidak dalam
kenyataannya ada suatu jurang yang aneh antara teori social dengan praktek poltik.
Individu-individu yang percaya pada apa yang mereka katakan dan tuliskan ketika
bergelut dengan teori-teori social akan berubah sikapnya manakala sudah menduduki
kursi social.
Pemikran yang kedua adalah masalah social dan politik menurut Hegel, yaitu
bahwa para teoritisi social tidaklah boleh menulis mendahului waktu ketika ia
memikirkan makna kemajuan sejarah. Kalimat Hegel yang terkenal adalah “ apa yang
masuk akal adalah yang nyata dan apa yang nyata adalah yang masuk akal” dengan
suatu moral (gagasan normatif). Ia mencoba mengatakan bahwa sesuatu yang
difikirkan pada suatu waktu mempunyai hubungan yang pasti dengan sesuatu kejadian
terjadi pada saat itu. Teori dan praktek mempunyai hubungan yang erat satu sama lain,
sekalipun tidak bisa segera dibuktikan.
Sesungguhnya republic- nya Plato tidak lebih dari perkiraan mengenai struktur
moral dasar masyarakat sekitar Plato berada. Alasan yang sebenarnya tidaklah boleh
melebihi realita. Teori social harus mencerminkan praktek social. Inilah yang
menjadikan ungkapan Hegel menjadi relevan. Menurutnya, filsafat tidaklah
mengajarkan apapun pada dunia. Filsafat hanyalah merupakan alat untuk memahami
isi pokok dunia seperti adanya ; dan filsafat akan lengkap, sempurna, dan matang.
Tidak mungkin seorang filosof bisa mendahului dunia tempat semasa ia hidup. Dalam
beberapa hal, teori social bagi Hegel tidak lain merupakan ideology dalam arti sempit.
Teori social merupkan gagasan yang melulu mencerminkan apa yang disebut Marx
hubungan produksi dan kepentingan kelas yang mereka pertahankan. Gagasan
hanyalah cermin realita yang mempunyai struktur penguasaan yang khas dan
kepentingan yang terus membengkak. Teori social tidak saja bisa mengubah sesuatu,
lebih dari itu ia juga bisa mendahului realita atau lepas darinya. Tidak ada peranan
kritik bagi teori social baik dalam pengertian aliran Frankfrut atau aliran Kant yang
sebenarnya. Bagi Hegel, jika teori meninggalkan realita, maka ia akan sia-sia dan tidak
relevan.
Pemikiran ketiga yaitu pembicaraan tentang Marx. Titik tolaknya adalah pada
tesisnya, Theses on Feuerbach: “ Para filosof hanyalah mengartikan dunia secara
berbeda-beda, sedang masalahnya adalah bagaiman mengubahnya”. Perkataan ini
rumit tapi juga berguna bagi interpretasi terburuk dan tidak menguntungkan, demikian
kata Dahrendorf. Sebenarnya Marx hanya ingin mengatakan bahwa kalau keadaan
ekonomi, social, dan politik dalam beberapa hal salah urus, maka filsafat juga akan
mengena. Hanya dalam kondisi politik dan sosial yang benarlah filsafat akan benar.
Tampak bahwa jalan keluar khas Marx yang menjungkirbalikkan posisi ajaran Hegel
merupakan awal dari suatu tradisi khusus Marxis hingga kini yang cenderung
menekankan pentingnya teori dan penegasan terhadap suatu pengertian yang
menunjukkan bahwa teori dan praktek bukanlah dua kegiatan yang terpisah melainkan
saling menjalin dalam suatu hubungan yang dialektis. Teori sebagai pengakuan dari
suatu proses sejarah adalah praktek dan praktek tersebut akan ada tanpa teori.
Pemikiran yang keempat adalah mengenai Max Weber. Dalam dua pidato
pentingnya pada 1919 yang berbunyi pengetahuan sebagai suatu profesi, yang
mengupas bahwa politik tidaklah berada di ruang kuliah dan kita harus
membedakannya dengan jelas antara apa yang dikerjakan sarjana dan apa yang
dikerjakan politikus. Pertimbangan Weber ini mirip dengan pertimbangan Wilhelmina,
yaitu bahwa dalam ruang sekolah murid-murid harus diam, esementara gurulah yang
berbicara. Tentu saja seharusnya tidak demikian. Usaha Weber untuk membedakan
ilmu pengetahuan (teori social) dengan politik tentu saja merupakan pernyataan tajam
yang menegaskan bahwa tidak banyak penelitian ilmiiah yang bisa membuktikan
pembenaran nilai. Alasan inilah yang membuatnya ingin memisahkan antara ilmu
pengetahuan dan politik.
Dalam ceramah keduanya pada tahun yang sama dan judul yang sama, Weber
membedakan antara etika keyakinan yang absolute dan tidak menerima realita apapun
dengan etika tanggung jawab, yaitu pendekatan moral yang menilai situasi khusus
secara pragmatis tanpa mengabaikan moralitas , tapi pada saat yang sama tidak
membiarkan dikuasainya tindakan politik seseorang. Baginya politik harus diatur oleh
suatu etika tanggung jawab yang dikendalikan etika keyakinan, yang berarti bersifat
praktis. Politik dilakuakn satu orang meski tidak harus hasil pemikiran satu orang.
Politik bukanlah hasil penerapan teori social, sebab keduanya adalah bidang yang
terpisah.
B. Teori Sosial dan Politik dalam sejarah Teori Sosial
Inti dari tulisan Tom Bottomore ini adalah pembatasan diri yang kuat pada
hubungan sejarah antara teori social dan politik dan mengabaikan perluasan pertanyaan
filosofis yang muncul tentang hubungan antara teori dan praktek. Jadi sesungguhnya ia
ingin menegaskan bahwa pengembangan teori social modern secara keseluruhan ini
untuk menyebut tentang pengeahuan-pengetahuan social yang teoritis telah dikaitkan
secara tertutup dan tidak dapat dilepaskan dari pengembangan sosio-ekonomis dan
ekspresi-ekspresinya dalam perjuangan politik. Akhirnya mengakibatkan pertumbuhan
yang cepat dari suatu ekonomi kapitalis dan munculnya berbagai kepentingan baru.
Hal telah dipaparkan secara jelas dalam Encyclopedia Diderot dan d’ Alembert , yang
ditujukan tidak untuk tidak hanya sekedar penyajian terakhir dari pengetahuan modern,
namun pembelaan khusus dari pengetahuan modern, namun suatu pembelaan khusus
dari pengetahuan social, dan suatu sumbangan bagi kemajuan gerakan demokratis.
Selama abad kesembilan belas, teori social menjadi lebih berhubungan secara
baik sekali dengan doktrin-doktrin politik dan dengan gerakan-gerakan social yang
bertujuan untuk menimbulkan perubahan-perubahan besar di dalam organisasi
masyarakat. Pada satu sisi para teoritisi social menjadi sangat bersungguh-sungguh
memusatkan perhatiannya terhadap apa yang mereka bayangkan sebagai masalah
politik yang utama pada zaman mereka dan pada sisi yang lain, teori-teori social itu
sendiri sampai dilihat di dalam cara yang terbaru sebagai suatu dasar yang penting dari
doktrin-doktrin politik dan yang menyediakan elemen-elemen yang dapat dimasukkan
secara langsung pada program-program dari gerakan-gerakan social dan partai-partai.
Penemuan itu adalah tentang ide bahwa kaum proletar merupakan factor social
dan politik yang paling penting di dalam masyarakat modern. Penemuan ini
selanjutnya membawa Marx pada suatu analisa akan situasi dari kaum proletar
berkenaan dengan milik, produksi, dan pertukaran serta pada penonjolan perjuangna
kelas sebagai elemen dinamis yang utama di dalam kehidupan social.
Dalam hal ini, Tom Bottomore mengungkapkan dengan gayanya yang menolak
kemungkinan perluasan pengetahuan social yang obyektif dengan alas an ada
perbedaan yang mencolok antara obyek-obyek penelitian ilmu pengetahuan alam dan
ilmu pengetahuan social.Masyarakat, katanya, bukanlah struktur luar yang pasti, yang
tidak bisa mengubah, tindakan dan kesadaran manusia dalam beberapa cara yang biasa
dapat diketahui dan dapat diduga.
Tom Bottomore juga berpendapat bahwa pembangunan social ekonomi dan
pencuatannya dalam perjuangan politik telah menjadi demikian penting. Dengan kata
lain, dengan munculnya masalah-masalah praktis dari kepentinan-kepentingan social
yang baru telah melahirkan pemikiran yang sistematis tentang sifat masyarakat dan
politik pada tempat pertama, dan para teoritisi masyhur dari masa sosiologi klasik
akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, misalnya, semua orang
mengembangkan ide-ide mereka di dalam kerangka komitmen poliik atau orietasi nilai.
Pada dasawarsa terakhir kita telah mengalami, di dalam penilaian Bottomore,
suatu pencarian ide-ide yang lebih tua ketimbang suatu semburan yang kreatif, dan
merosotnya kehidupan politik saat itu tampaknya telah pula mendorong keterbatasan
dan kegelisahan para teoritisi. Namun, ia juga melihat sinar di kaki langit dalam bentuk
gerakan-gerakan protes orang Eropa.
Di penghujung uraiannya, Bottomore memita untuk diperhatikannya filsafat
yang telah ikut ambil bagian dalam pengembangan ilmu social pada dasawarsa-
dasawarsa yang lalu; dan pada salah seorang pengecam dasar-dasar positivistis yang
paling masyhur yang banyak terdapat dalam pengetahuan social yang juga merupakan
penjelas alternative hermeneutis yaitu Charles Taylor, yang uraian terakhirnya
membicarakan adanya kemungkinan peranan teori di dalam meruntuhkan atau
memperkuat dan biasanya menyusun sifat dan tindakan-tindakan kita.
Berbagai teori mempunyai efek ini, ia tetap berharap untuk membuktikan
bahwa teori-teori ini tak pernah bisa menjadi factor yyang tidak terlalu menmentukan
berbagai tindakan. Peranan teori ini menurutnya adalah untuk membedakan ilmu
pengetahuan social dengan ilmu pengetahuan alam, karena ilmu-ilmu itu bukanlah
obyek-obyek yyang kurang lebih bebas, melainkan merupakan bagian yang menyusun
atau mengubah obyk-obyek mereka. Persoalan selanjutnya adalah pengesahan teori
sehubungan dengan tidak adanya test atau aplikasi empiris yang sederhana.
Pengesahan katanya, hanya bisa datang dari efek-efek tindakan, kalau tindakan itu
bersifat waskita bagi pelaku. Akan tetapi kemungkinan untuk berangan-angan, meski
untuk diri sendiri, menjadi sangat besar. Tidak ada cara yang sederhana yang
memungkinkan tercapainya pemahaman social yang waskita.
C. perkiraan, Tindakan, dan Nilai-nilai Obyektivitas Ilmu-Ilmu Sosial
Apabila Bottomore berpendapat bahwa pengesahan ,hanya bisa datang dari
efek-efek tindakan, kalau tindakan itu bersifat waskita bagi pelaku. Akan tetapi
kemungkinan untuk berangan-angan, meski untuk diri sendiri, menjadi sangat besar.
Tidak ada cara yang sederhana yang memungkinkan tercapainya pemahaman social
yang waskita, maka bagi Amartya Sen ada kebutuhan yang sangat besar dari ilmu
pengetahuan social yang factual terhadap cara untuk mempertimbangkan pernyataan-
pernyataan social dan politik yang penting yang ia sebut sebagai kebutuhan ilmu
sosial. Ia berharap bisa mempertahankan gagasan akan “pengetahuan social yang
obyektif” dengan mencoba mengupayakan melalui perbuatan perbedaan-perbedaan
penting di antara perhitungan dan tindakan , atau antara kebenaran dan kebajikan. Dari
sana ia berharap bisa menemui obyektivitas bahkan kejujuran, yang menghimpun
peristiwa-peristiwa dan proses-proses politik.
Namun begitu, hal ini tidaklah cukup karena kita juga perlu tahu bahwa
perhitungan tersebut adalah baik, dan tergantung pada pernyataan apa yang kita
harapkan bisa diperhitungkan. Oleh karena itu, tegasnya, kita mempunyai suatu use-
interest di dalam perhitungan. Tindakan, di lain fihak merupakan sesuatu yang sarat
nilai-nilai yang mencakup upaya praktek ilmiah dan pembuatan pernyataan. Inilah
masalah ilmu pengetahuan alam seperti halnya juga pengetahuan social. Pengetahuan
social mungkin bisa menjelaskan kebenaran dan kebajikan dari berbagai pernyataan,
tapi sudah tentu ia tidak dapat menceritakan kepada kita kenapa tindakan – tindakan itu
dilakukan, selain juga tidak menyediakan pertimbangan-pertimbangan nilai tentang
mereka.
D. Teori Sosial, Pengertian Sosial, dan Tindakan Politik
Masalahnya bukannya teori-teori di atas harus mendukung praktek sosialnya
seperti yang disepakati oleh Charles Taylor dan Amartya Sen, tapi sebagaiman
ditegaskan oleh Jhon Dunn, semua yang dimiliki harus bisa menjembatani jurang
pemisah antara pemahaman social kita dengan pengetahauan kita tentang sejarah
modern. Karena baginya manusia bukanlah sesuatu yang sederhana tetapi perlu
dipelajari bahkan harus dipelajari secara mendalam. Kita semua mungkin harus
menjadi para teoritisi amatir, sekalipun hasrat terhadap ilmu pengetahuan social yang
sesungguhnya telah pernah menghasilkan dosis-dosis yang lebih berarti ketimbang
pembentukan teori sebab-akibat yang professional (yang di dalam konteks kepercayaan
yang diyakini bahwa dunia tidaklah mungkin bisa difahami secara fundamental), yang
dalam pandangannya menuju ke suatu pernyataan yang mencerminkan kemabukan
ideologis. Sebagai teoritisi amatir ini kita nantinya diharapkan menemukan dasar
pemikiran bahwa setiap manusia mempunyai sedikit banyaknya teoritisi social resmi
yang homogen, atau seperangkat teori social. Seperti Habermas, ia percaya bahwa para
teoritisi social sedikit banyak harus mengerti tentang teori dan filsafat secara utuh dan
memperhatikan konsepsi diri yang dipegang oleh dirinya asendiri.
Jurang pemisah antara pemahaman terhadap diri sendiri dan orang lain harus
ditutup. Hanya dengan cara ini, tegasnya, teori dapat melayani praktek dengan lebih
baik. Kesimpulan ini dikaitkan secara langsung oleh Dunn pada politik orang-orang
Inggris modern yang sebelumnya pernah dicoba dengan teori-teori resmi yang tidak
saja menimbulkan penderitaan besar ( karena tak adanya integritas social dan sintesa
ideology yang bermoral , sehingga muncullah kekerasan bagi yang benar), tetapi juga
penyurutan atas kemungkinan-kemungkinan kerjasama social.
Apa yang dibutuhkan, menurut keyakinannya adalah kesederhanaan dan
pandangan terhadap wewenang politik yang lebih demokratis serta penutupan jurang-
jurang pemisah antara teori-teori resmi, amatir, dan professional.
E. Marxisme dan Komunisme
Akhirnya, pertautan antara teori Marxis dan praktek komunis merupakan
masalah yang abadi bagi para ilmuwan social dan praktisi politik. Dalam uraian yang
terakhir, Wlodzimiers Bruss mempersoalkan relevansi pandangan teoritis Marxis yang
kritis untuk memahami dari mencari suatu use-value bagi para praktisi politik di
Negara-negar tersebut. Ia menegaskan bahwa kondisi yang penting dari hal ini adalah
pengakuan bahwa Negara-negara tersebut sarat dengan kecenderungan dan kekuatan
yang saling bertentangan dan begitulah Marxisme, suatu teori yang baik asal
muasalnyamaupun sifatnya sama mengandung berbagi kontradiksi social, sekalipun
kemudian ia mampu menawarkan pengertian-pengertian tertentu pada para pembaharu.

DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Hikmat, Harry (2001), Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora Utama.

LCC (League of California Cities) (1977), “Problem Analysis: Data Collection Technique”,

dalam Gilbert, Neil dan Harry Specht, Planning for Social Welfare: Issues, Models and

Tasks, New Jersey: Prentice-Hall, hal. 311-323.

Netting, F. Ellen, Peter M. Kettner dan Steven L. McMurtry (1993), Social Work Macro

Practice, New York: Longman.

Suharto, Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum

Pemikiran, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS).

-------- (2002), Profiles and Dynamics of the Urban Informal Sector in Bandung: A Study of

Pedagang Kakilima, unpublished PhD thesis, Palmerston North: Massey University

Twelvetrees, A. (1991), Community Work, London: McMillan.

Warren, R. L. (1978), The Community in America, Chicago: Rand McNally.

World Bank (2002), Monitoring and Evaluation: Some Tools, Methods and Approaches,

Washington D.C.: The World Bank

--------1957. "Ritual and Social Change: A Javanese Example", American Anthropologist, Vol.

59, No. 1.
Arnold, Matthew. 1869. Culture and Anarchy. New York: Macmillan. Third edition, 1882,
available online. Retrieved: 2006-06-28.

 Barzilai, Gad. 2003. Communities and Law: Politics and Cultures of Legahkjkjl
Identities. University of Michigan Press.
 Boritt, Gabor S. 1994. Lincoln and the Economics of the American Dream. University
of Illinois Press. ISBN 978-0-252-06445-6.
 Bourdieu, Pierre. 1977. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press.
ISBN 978-0-521-29164-4
 Cohen, Anthony P. 1985. The Symbolic Construction of Community. Routledge: New
York,
 Dawkiins, R. 1982. The Extended Phenotype: The Long Reach of the Gene. Paperback
ed., 1999. Oxford Paperbacks. ISBN 978-0-19-288051-2
 Forsberg, A. Definitions of culture CCSF Cultural Geography course notes. Retrieved:
2006-06-29.
 Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. New York.
ISBN 978-0-465-09719-7.

 Goodall, J. 1986. The Chimpanzees of Gombe: Patterns of Behavior. Cambridge, MA:


Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 978-0-674-11649-8
 Hoult, T. F., ed. 1969. Dictionary of Modern Sociology. Totowa, New Jersey, United
States: Littlefield, Adams & Co.
 Jary, D. and J. Jary. 1991. The HarperCollins Dictionary of Sociology. New York:
HarperCollins. ISBN 0-06-271543-7
 Keiser, R. Lincoln 1969. The Vice Lords: Warriors of the Streets. Holt, Rinehart, and
Winston. ISBN 978-0-03-080361-1.
 Kroeber, A. L. and C. Kluckhohn, 1952. Culture: A Critical Review of Concepts and
Definitions. Cambridge, MA: Peabody Museum
 Kim, Uichol (2001). "Culture, science and indigenous psychologies: An integrated
analysis." In D. Matsumoto (Ed.), Handbook of culture and psychology. Oxford:
Oxford University Press
 Middleton, R. 1990. Studying Popular Music. Philadelphia: Open University Press.
ISBN 978-0-335-15275-9.
 Rhoads, Kelton. 2006. The Culture Variable in the Influence Equation.
 Tylor, E.B. 1974. Primitive culture: researches into the development of mythology,
philosophy, religion, art, and custom. New York: Gordon Press. First published in
1871. ISBN 978-0-87968-091-6
 O'Neil, D. 2006. Cultural Anthropology Tutorials, Behavioral Sciences Department,
Palomar College, San Marco, California. Retrieved: 2006-07-10.
 Reagan, Ronald. "Final Radio Address to the Nation", January 14, 1989. Retrieved
June 3, 2006.
 Reese, W.L. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western
Thought. New Jersey U.S., Sussex, U.K: Humanities Press.
 UNESCO. 2002. Universal Declaration on Cultural Diversity, issued on International
Mother Language Day, February 21, 2002. Retrieved: 2006-06-23.
 White, L. 1949. The Science of Culture: A study of man and civilization. New York:
Farrar, Straus and Giroux.
 Wilson, Edward O. (1998). Consilience: The Unity of Knowledge. Vintage: New York.
ISBN 978-0-679-76867-8.

http://www.damandiri.or.id/file/buku/buku3haryono2005bab2.pdf
http://www.undp.or.id/pubs/imdg2005/BI/TUJUAN%201.pdf
http://komunitas.wikispaces.com/file/view/kemiskinan+dan+upaya+pemberdayaan+masyarakt
.pdf
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/humanity/article/view/156/0
http://www.p2kp.org/wartaprint.asp?mid=1495&catid=2&
http://komunitas.wikispaces.com/file/view/kemiskinan+dan+upaya+pemberdayaan+masyarakt
.pdf
http://www.bappeda-purwakarta.or.id/artikel/kemiskinan%20perempuan.pdf
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. DATA PRIBADI
Nama : AL GAZALI
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat/Tanggal Lahir : Malabo, 23 Maret 1984
Status : Lajang
Golongan darah : (A)
Tinggi,Berat : 165 CM, 55KG
Alamat Lengkap : M.Yamin Baru Lr.21 No.13
Telpon Hp : 085238202110
E-Mail : al_gazali@rocketmail.com
Alzapatista07@gmail.com

2. ORANG TUA
AYAH .
Nama : Abd Djalil Sh
Umur : 55th
Alamat lenkap : jl.a.yani no.153 (polewali-sulbar)
Pekerjaan : Wira Usaha
IBU: .
Nama : Nurhayati
Umur : 50th
Almat lengkap : jl.a.yani no.153(polewali-sulbar)
Pekerjaan : Wira Usaha
3. SAUDARA
Banyaknya Saudara : Satu (1)
Nama : Rukya
Jenis Kelamin : perempuan
Alamat Sekarang : Blitar (jawa timur)
Status : Kawin
Pekerjaan : Wira usaha
Status Saudara : Saudara kandung
4. PENDIDIKAN FORMAL
Sd : Inpres Malabo (1996)
Sltp : Malabo (1999)
Sma : Smkn 2 Pare-Pare ( Pindah)
Smk Wonomulyo (2002-2003)
Perguruan Tinggi : Unismuh Makassar
5. PENGALAMAN ORGANISASI
Osis : Ketua (2000 Pare-pare)
Saka Bahari : Aggota
Fprm : Inisiator (Pembentuk/2009)
Fmn (Front Mahasiswa Nasional) : Koordinator Ranting Unismuh
Cabang Makassar
6. PENHARGAAN AKADEMIS
SERTIFIKAT/PIAGAM .
Latihan Dasar Kepemimpinan : Osis Skmn2 Pare-Pare (1999)
Kelopak Se-Sulsel : Limbung/Gowa (2000)
Program Pelatihan : 2002
Pesantren Mahasiswa : Unismuh Makassar (2007)
DAD : Unismuh Makassar (2010)
DLL………
SEMINAR .
Kongres 1 Mahasiswa Sosiologi Se-Indonesia : Hmj pend.Sosiologi UMM(2008)
Peningkatan Mutu Ujaian Nasional : BEM FAI UMM (2010)
Kongres Mahasiswa Sayap Kiri (B.MERAH) : FISIP UMY Jogjakarta (2008)
Kongres KMKM UIT : KMKM UIT (2009 dan 2010)
Kongres FBRM : Mabes FBRM (2009 dan 2010
DLL………

You might also like