You are on page 1of 24

RAGAM TERAPI UNTUK BAYI KUNING

Penelitian menunjukkan sekitar 70 persen bayi baru lahir mengalami kuning.


Meskipun dikategorikan wajar, orang tua tetap harus waspada.
"Bayi ibu kuning? Alaaa itu biasa, kok. Jemur saja di bawah sinar matahari
tiap pagi. Nanti juga baik sendiri." Saran seperti itu kerap diberikan kepada
ibu bila bayi yang baru dilahirkannya dinyatakan kuning.
Cara mengetahui kadar bilirubin bayi baru lahir adalah dengan pemantauan.
Bayi "kuning", yang dalam istilah medis disebut ikterus neonatus, terjadi
karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah hingga melebihi ambang batas
normal. Gejalanya, kulit dan bagian putih mata bayi tampak kuning tapi suhu
badannya normal.
Namun, tidak semua bayi kuning bisa diobati hanya dengan menjemurnya di
bawah
sinar matahari pagi. Ada juga yang perlu dirawat inap di rumah sakit untuk
menjalani beberapa terapi. Menurut dr. Dewi Murniati, Sp.A., rekomendasi
dirawat inap akan diberikan bila bayi terdeteksi memiliki kadar bilirubin di
atas ambang normal.
Mengapa sinar matahari yang merupakan sinar ultra-violet dianggap kurang
efektif? Padahal sinar ini memang bisa membantu memecahkan kadar bilirubin
dalam darah bayi. Seperti diketahui sinar surya yang efektif untuk mengurangi
kadar bilirubin adalah saat jam 07.00 sampai 09.00. Ini berarti bayi tak bisa
sepanjang waktu disinari, sehingga penurunan kadar bilirubinnya akan lama.
Cuaca yang mendung bahkan hujan juga dapat mengganggu proses penyinaran.
Selain itu, merawat bayi kuning di rumah berisiko terhadap keterlambatan
deteksi peningkatan kadar bilirubin. Beda kalau bayi dirawat di rumah sakit,
ia
akan terpantau oleh dokter dari waktu ke waktu.
KAPAN BAYI DINYATAKAN KUNING
Untuk bayi yang lahir cukup bulan, batas aman kadar bilirubinnya adalah
12,5
mg/dl (miligram perdesiliter darah). Sedangkan bayi yang lahir kurang bulan,
batas aman kadar bilirubinnya adalah 10 mg/dl. "Jika kemudian kadar bilirubin
diketahui melebihi angka-angka tersebut, maka ia dikategorikan
hiperbilirubin,"
papar Dewi.
Lalu bagaimana bayi baru lahir bisa mengalami hiperbilirubin? Bilirubin
merupakan zat hasil pemecahan hemoglobin (protein sel darah merah yang
memungkinkan darah mengangkut oksigen). Hemoglobin terdapat dalam eritrosit
(sel darah merah) yang dalam waktu tertentu selalu mengalami destruksi
(pemecahan). Proses pemecahan tersebut menghasilkan hemeglobin menjadi zat
heme
dan globin. Dalam proses berikutnya, zat-zat ini akan berubah menjadi
bilirubin
bebas atau indirect.
Dalam kadar tinggi bilirubin bebas ini bersifat racun; sulit larut dalam
air
dan sulit dibuang. Untuk menetralisirnya, organ hati akan mengubah bilirubin
indirect menjadi direct yang larut dalam air. Masalahnya, organ hati sebagian
bayi baru lahir belum dapat berfungsi optimal dalam mengeluarkan bilirubin
bebas tersebut. Barulah setelah beberapa hari, organ hati mengalami
pematangan
dan proses pembuangan bilirubin bisa berlangsung lancar.
Masa "matang" organ hati pada setiap bayi tentu berbeda-beda. Namun
umumnya,
pada hari ketujuh organ hati mulai bisa melakukan fungsinya dengan baik.
Itulah
mengapa, setelah berumur 7 hari rata-rata kadar bilirubin bayi sudah kembali
normal. Tapi ada juga yang menyebutkan organ hati mulai bisa berfungsi pada
usia 10 hari.
RAGAM TERAPI
Jika setelah tiga-empat hari kelebihan bilirubin masih terjadi, maka bayi
harus segera mendapatkan terapi. Bentuk terapi ini macam-macam, disesuaikan
dengan kadar kelebihan yang ada. Berikut penjelasan dari Dewi yang berpraktek
di RSIA Hermina Daan Mogot, Jakarta.
1.Terapi Sinar (fototerapi)
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin
dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin
dalam
tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus
diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar
bilirubin
agar tak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih fatal.
Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan
panjang gelombang tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 12 buah dan disusun
secara paralel. Di bagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flexy
glass
yang berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga intensitasnya lebih
efektif.
Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi.
Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup
dengan
menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari
lampu-lampu tersebut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi belum sempurna
sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian retinanya. Begitu pula alat
kelaminnya, agar kelak tak terjadi risiko terhadap organ reproduksi itu,
seperti kemandulan.
Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah;
telentang
lalu telungkup agar penyinaran berlangsung merata. Dokter akan terus
mengontrol
apakah kadar bilirubinnya sudah kembali normal atau belum. Jika sudah turun
dan
berada di bawah ambang batas bahaya, maka terapi bisa dihentikan. Rata-rata
dalam jangka waktu dua hari si bayi sudah boleh dibawa pulang.
Meski relatif efektif, tetaplah waspada terhadap dampak fototerapi. Ada
kecenderungan bayi yang menjalani proses terapi sinar mengalami dehidrasi
karena malas minum. Sementara, proses pemecahan bilirubin justru akan
meningkatkan pengeluarkan cairan empedu ke organ usus. Alhasil, gerakan
peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang tak semua bayi akan
mengalaminya, hanya pada kasus tertentu saja. Yang pasti, untuk menghindari
terjadinya dehidrasi dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI pada si
kecil.
2.Terapi Transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin
terus
meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi
transfusi darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan
kerusakan
sel saraf otak (kern ikterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak
bisa mengalami beberapa gangguan perkembangan. Misalnya keterbelakangan
mental,
cerebral palsy, gangguan motorik dan bicara, serta gangguan penglihatan dan
pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan dibuang dan
ditukar
dengan darah lain.
Proses tukar darah akan dilakukan bertahap. Bila dengan sekali tukar darah,
kadar bilirubin sudah menunjukkan angka yang menggembirakan, maka terapi
transfusi bisa berhenti. Tapi bila masih tinggi maka perlu dilakukan proses
tranfusi kembali. Efek samping yang bisa muncul adalah masuknya kuman
penyakit
yang bersumber dari darah yang dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Meski begitu,
terapi ini terbilang efektif untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
3.Terapi Obat-obatan
Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan. Misalnya, obat phenobarbital atau
luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga
bilirubin yang sifatnya indirect berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan
yang mengandung plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi timbunan
bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati.
Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti
fototerapi. Jika sudah tampak perbaikan maka terapi obat-obatan ini dikurangi
bahkan dihentikan. Efek sampingnya adalah mengantuk. Akibatnya, bayi jadi
banyak tidur dan kurang minum ASI sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan
kadar gula dalam darah yang justru memicu peningkatan bilirubin. Oleh karena
itu, terapi obat-obatan bukan menjadi pilihan utama untuk menangani
hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerapi si kecil sudah bisa
ditangani.
4. Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin.
Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki
zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan
kecilnya.
Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada
beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk
jaundice). Di dalam ASI memang ada komponen yang dapat mempengaruhi kadar
bilirubinnya. Sayang, apakah komponen tersebut belum diketahui hingga saat
ini.
Yang pasti, kejadian ini biasanya muncul di minggu pertama dan kedua
setelah
bayi lahir dan akan berakhir pada minggu ke-3. Biasanya untuk sementara ibu
tak
boleh menyusui bayinya. Setelah kadar bilirubin bayi normal, baru boleh
disusui
lagi.
5. Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya
dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur
selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam
keadaan telentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan
antara
jam 7.00 sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi
kadar
bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif,
sedangkan
di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak
kulit.
Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat
merusak matanya. Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan udara harus
bersih.
DUA JENIS KUNING
Hiperbilirubin, tutur Dewi, dibagi menjadi dua, yakni ikterus neonatus
fisiologis dan ikterus neonatus patologis.
1. Ikterus neonatus fisiologis (hiperbilirubin karena faktor fisiologis)
merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru lahir. Terjadi pada 2-4
hari setelah bayi lahir, dan akan "sembuh" pada hari ke-7. Penyebabnya organ
hati yang belum "matang" dalam memproses bilirubin. Jadi, hiperbilirubin
karena
faktor fisiologis hanyalah gejala biasa. Meski begitu, orang tua harus tetap
waspada. Bisa saja di balik itu terdapat suatu penyakit.
2. Ikterus neonatus patologis; hiperbilirubin yang dikarenakan faktor
penyakit atau infeksi. Misalnya akibat virus hepatitis, toksoplasma, sifilis,
malaria, penyakit/kelainan di saluran empedu atau ketidakcocokan golongan
darah
(rhesus).
Hiperbilirubin yang disebabkan patologis biasanya disertai suhu badan yang
tinggi (demam) atau berat badan tak bertambah. Biasanya bayi kuning patologis
ditandai dengan tingginya kadar bilirubin walau bayi sudah berusia 14 hari.
Top of Form

Go!

Bottom of Form

• Home
• diriku

Segala Hal tentang Bayi Kuning (Jaundice)


April 6, 2009
Bayi Kuning (Jaundice) adalah warna kekuningan yang didapatkan pada kulit dan lapisan
mukosa (seperti bagian putih mata) sebagian bayi baru lahir. Dalam bahasa Indonesia hal ini
lebih sering disebut sebagai ‘bayi kuning’ saja. Istilah lain yang kadang digunakan adalah
ikterik. Hal ini dapat terjadi pada bayi dengan warna kulit apapun.
Bagaimana jaundice terjadi?

Warna kekuningan terjadi karena penumpukan zat kimia yang disebut bilirubin. Sel darah merah
manusia memiliki waktu hidup tertentu. Setelah waktu hidupnya selesai, sel darah merah akan
diuraikan menjadi beberapa zat, salah satunya bilirubin. Bilirubin ini akan diproses lebih lanjut
oleh hati untuk kemudian dibuang sebagai empedu. Pada janin, tugas tersebut dapat dilakukan
oleh hati ibu. Setelah lahir, tugas tersebut harus dilakukan sendiri oleh hati bayi yang belum
cukup siap untuk memproses begitu banyak bilirubin sehingga terjadilah penumpukan bilirubin.
Apakah jaundice berbahaya?
Sebagian besar jaundice tidak berbahaya. Namun pada situasi tertentu di mana kadar bilirubin
menjadi sangat tinggi, kerusakan otak dapat terjadi. Hal ini terjadi karena walaupun secara
normal bilirubin tidak dapat melewati pembatas jaringan otak dan aliran darah, pada kadar yang
sangat tinggi pembatas tersebut dapat ditembus sehingga bilirubin meracuni jaringan otak.
Keadaan akut pada minggu-minggu awal pasca kelahiran di mana terjadi gangguan otak karena
keracunan bilirubin ini disebut sebagai ‘acute bilirubin encephalopathy’. Bila keadaan tersebut
tidak diatasi, kerusakan otak dapat berlanjut menjadi kronik dan permanen menjadi suatu kondisi
yang disebut ‘kernicterus’. Inilah alasan mengapa bayi baru lahir harus diperiksa dengan teliti
untuk menilai ada tidaknya jaundice dan ditangani secara tepat jika ditemukan adanya jaundice.
Bilirubin juga dapat menjadi sangat tinggi pada infeksi yang berat, penyakit hemolisis autoimun
(penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan tubuh sendiri), atau kekurangan enzim
tertentu.
Bagaimana penilaian jaundice dilakukan?
Penilaian jaundice dilakukan pada bayi baru lahir berbarengan dengan pemantauan tanda-tanda
vital (detak jantung, pernapasan, suhu) bayi, minimal setiap 8-12 jam.4 Salah satu tanda jaundice
adalah tidak segera kembalinya warna kulit setelah penekanan dengan jari. Cara menilai jaundice
membutuhkan cahaya yang cukup, misalnya dengan kadar terang siang hari atau dengan cahaya
fluorescent. Jaundice umumnya mulai terlihat dari wajah, kemudian dada, perut, lengan, dan kaki
seiring dengan peningkatan kadar bilirubin. Bagian putih mata juga dapat tampak kuning.
Jaundice lebih sulit dinilai pada bayi dengan warna kulit gelap. Karena itu penilaian jaundice
tidak dapat hanya didasarkan pada pengamatan visual. Jika ditemukan tanda jaundice pada 24
jam pertama setelah lahir, pemeriksaan kadar bilirubin harus dilakukan. Demikian pula jika
jaundice tampak terlalu berat untuk usia tertentu bayi atau ada keraguan mengenai beratnya
jaundice dari pengamatan visual. Pemeriksaan kadar bilirubin dapat dilakukan melalui kulit
(TcB: Transcutaneus Bilirubin) atau dengan darah (TSB: Total Serum Bilirubin). Kadar bilirubin
yang diperoleh dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi
si bayi.
Bagaimana Membedakan Berbagai Jenis Jaundice?
Jaundice fisiologis (normal) dapat terjadi pada 50% bayi baru lahir. Tipe jaundice ini umumnya
diawali pada usia 2-3 hari, memuncak pada hari 4-5, dan menghilang dengan sendirinya pada
usia 2 minggu. Jaundice karena ketidakcocokan rhesus atau golongan darah ibu dan bayi
umumnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah lahir. Tipe jaundice ini memiliki risiko besar
untuk mencapai kadar bilirubin yang sangat tinggi. Ketidakcocokan rhesus ibu dan janin dapat
terjadi jika ibu memiliki rhesus negatif sementara si janin memiliki rhesus positif. Di Indonesia,
hal ini relatif jarang terjadi karena sebagian besar penduduk Indonesia memiliki rhesus positif.
Di negara dengan proporsi rhesus negatif yang relatif besar, beberapa pemeriksaan dilakukan
untuk mempersiapkan ibu dan bayi menghadapi kemungkinan ketidakcocokan rhesus. Setiap ibu
hamil menjalani pemeriksaan golongan darah dan tipe rhesus. Jika pemeriksaan tersebut tidak
dilakukan dalam kehamilan atau jika ibu memiliki rhesus negatif, maka saat kelahiran dilakukan
pemeriksaan pada darah bayi untuk mengetahui golongan darah, rhesus, dan ada tidaknya
antibodi yang dapat menyerang sel darah merah bayi.
Apakah ASI berhubungan dengan jaundice?
Jaundice lebih sering terjadi pada bayi yang memperoleh ASI dibanding bayi yang memperoleh
susu formula. Ada dua macam jaundice yang dapat terjadi sehubungan dengan ASI:
* Breastfeeding jaundice (5-10% bayi baru lahir): Hal ini terjadi pada minggu pertama
setelah lahir pada bayi yang tidak memperoleh cukup ASI. Bilirubin akan dikeluarkan dari tubuh
dalam bentuk empedu yang dialirkan ke usus. Selain itu, empedu dapat terurai menjadi bilirubin
di usus besar untuk kemudian diserap kembali oleh tubuh. Jika bayi tidak memperoleh cukup
ASI, gerakan usus tidak banyak terpacu sehingga tidak banyak bilirubin yang dapat dikeluarkan
sebagai empedu. Dan bayi yang tidak memperoleh cukup ASI tidak mengalami buang air besar
yang cukup sering sehingga bilirubin hasil penguraian empedu akan tertahan di usus besar dan
diserap kembali oleh tubuh. Selain itu kolostrum yang banyak terkandung pada ASI di hari-hari
awal setelah persalinan memicu gerakan usus dan BAB. Karena itu, jika Anda menyusui, Anda
harus melakukannya minimal 8-12 kali per hari dalam beberapa hari pertama. Dan penting untuk
diperhatikan bahwa tidak pernah ada alasan untuk memberikan air atau air gula pada bayi untuk
mencegah kenaikan bilirubin.
Untuk menilai apakah bayi telah memperoleh asupan ASI yang cukup, ada beberapa hal yang
dapat diperhatikan:
o Bayi yang memperoleh ASI tanpa suplemen apapun akan mengalami berkurangnya berat
badan maksimal (< 10% berat lahir) pada usia 3 hari. Jika berat badan bayi berkurang ≥ 10%
berat lahir pada hari ketiga, kecukupan ASI harus dievaluasi.
o Bayi yang memperoleh cukup ASI akan BAK dengan membasahi seluruh popoknya 4-6 kali
per hari dan BAB 3-4 kali pada usia 4 hari. Pada usia 3-4 hari, feses bayi harus telah berubah
dari mekonium (warna gelap) menjadi kekuningan dengan tekstur lunak.
* Breastmilk jaundice (1% bayi baru lahir): Hal ini terjadi dalam akhir minggu pertama atau
awal minggu kedua setelah lahir. Sebagian kecil ibu memiliki suatu zat dalam ASI mereka yang
dapat menghambat pengolahan bilirubin oleh hati. Keadaan ini tidak memerlukan penghentian
pemberian ASI karena tipe jaundice ini ringan dan sama sekali tidak pernah menimbulkan
kernicterus atau bahaya lainnya. Tipe jaundice ini hanya memiliki sedikit sekali kenaikan
bilirubin dan akan menghilang seiring dengan makin matangnya fungsi hati bayi pada usia 3-10
minggu. Secara umum, jaundice karena sebab apapun tidak pernah merupakan alasan untuk
menghentikan pemberian ASI
Kapan bayi harus diperiksa setelah meninggalkan RS/RB?
Sebelum meninggalkan RS/RB, risiko bayi mengalami hiperbilirubinemia harus dinilai.
Penilaian ini oleh American Academy of Pediatrics disarankan dengan melakukan pengukuran
kadar bilirubin (TSB atau TcB), penilaian faktor risiko, atau keduanya. Yang merupakan faktor
risiko adalah:
Faktor risiko mayor:
* TSB atau TcB di high-risk zone
* Jaundice dalam 24 jam pertama
* Ketidakcocokan golongan darah atau rhesus
* Penyakit hemolisis (penghancuran sel darah merah), misal: defisiensi G6PD yang dibutuhkan
sel darah merah untuk dapat berfungsi normal
* Usia gestasi 35-36 minggu
* Riwayat terapi cahaya pada saudara kandung
* Memar yang cukup berat berhubungan dengan proses kelahiran, misal: pada kelahiran yang
dibantu vakum
* Pemberian ASI eksklusif yang tidak efektif sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, ditandai
dengan penurunan berat badan yang berlebihan
* Ras Asia Timur, misal: Jepang, Korea, Cina
Faktor risiko minor:
* TSB atau TcB di high intermediate-risk zone
* Usia gestasi 37-38 minggu
* Jaundice tampak sebelum meninggalkan RS/RB
* Riwayat jaundice pada saudara sekandung
* Bayi besar dari ibu yang diabetik
* Usia ibu ≥ 25 tahun
* Bayi laki-laki
Jika tidak ditemukan satu pun faktor risiko, risiko jaundice pada bayi sangat rendah.
Pemeriksaan bayi pertama kali setelah meninggalkan RS/RB adalah pada usia 3-5 hari karena
pada usia inilah umumnya bayi memiliki kadar bilirubin tertinggi. Secara detail, jadwal
pemeriksaan bayi setelah meninggalkan RS/RB adalah sebagai berikut:
* Jika bayi meninggalkan RS/RB < usia 24 jam à pemeriksaan pada usia 72 jam (3 hari)
* Jika bayi meninggalkan RS/RB pada usia antara 24 – 47,9 jam à pemeriksaan pada usia 96 jam
(4 hari)
* Jika bayi meninggalkan RS/RB pada usia antara 48 – 72 jam à pemeriksaan pada usia 120 jam
(5 hari)
Pemeriksaan yang dilakukan harus meliputi:
* Berat badan bayi dan perubahan dari berat lahir
* Kecukupan asupan ASI/susu formula
* Pola BAK dan BAB
* Ada tidaknya jaundice
Jika ada keraguan mengenai penilaian derajat jaundice, pemeriksaan kadar bilirubin harus
dilakukan. Jika ada satu atau lebih faktor risiko, pemeriksaan setelah meninggalkan RS/RB dapat
dilakukan lebih awal.
Selain pemeriksaan kadar bilirubin, penyebab jaundice juga harus dicari. Misalnya dengan
memeriksa kadar bilirubin terkonjugasi dan tidak terkonjugasi, melakukan urinalisis dan kultur
urin jika yang meningkat terutama adalah kadar bilirubin terkonjugasi, melakukan pengukuran
kadar enzim tertentu jika ada riwayat serupa dalam keluarga atau bayi menunjukkan tanda-tanda
spesifik.
Bagaimana jaundice ditangani?
Sebagian besar jaundice adalah keadaan fisiologis yang tidak membutuhkan penanganan khusus
selain dilanjutkannya pemberian ASI yang cukup. Namun pada keadaan tertentu, jaundice
memerlukan terapi khusus yaitu terapi cahaya atau exchange transfusion.

Terapi cahaya
Perlu tidaknya terapi cahaya ditentukan dari kadar bilirubin, usia gestasi (kehamilan) saat bayi
lahir, usia bayi saat jaundice dinilai, dan faktor risiko lain yang dimiliki bayi.
Beberapa faktor risiko yang penting adalah
* Penyakit hemolisis autoimun (penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan tubuh
sendiri)
* Kekurangan enzim G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk berfungsi normal
* Kekurangan oksigen
* Kondisi lemah/tidak responsif
* Tidak stabilnya suhu tubuh
* Sepsis (keadaan infeksi berat di mana bakteri telah menyebar ke seluruh tubuh)
* Gangguan keasaman darah
Kadar albumin (salah satu protein tubuh) < 3.0 g/dL
Pada bayi yang menerima ASI yang harus menjalani terapi cahaya, pemberian ASI dianjurkan
untuk tetap dilakukan. Namun ASI juga dapat dihentikan sementara untuk menurunkan kadar
bilirubin dan meningkatkan efek terapi cahaya.
Selama terapi cahaya, beberapa hal ini perlu diperhatikan:
* Pemberian ASI atau susu formula setiap 2-3 jam
* Jika TSB ≥25 mg/dL, ulangi pengukuran dalam 2-3 jam
* Jika TSB 20–25 mg/dL, ulangi pengukuran dalam 3-4 jam
* Jika TSB <20 mg/dL, ulangi pengukuran dalam 4-6 jam
* Jika TSB terus menurun, ulangi pengukuran dalam 8-12 jam
* Jika TSB tidak menurun atau meningkat menuju batas perlunya exchange transfusion,
pertimbangkan exchange transfusion
Pada penyakit hemolisis autoimun, pemberian globulin (gamma globulin) direkomendasikan jika
TSB tetap meningkat dengan terapi cahaya atau TSB berada 2-3 mg/dL dari batas perlunya
exchange transfusion. Pemberian ini dapat diulangi dalam 12 jam. Pemberian globulin dapat
menghindari perlunya exchange transfusion pada bayi dengan ketidakcocokan rhesus atau
golongan darah.
Penghentian terapi cahaya ditentukan oleh usia bayi saat dimulainya terapi tersebut, kadar
bilirubin, dan penyebab jaundice. Pada bayi yang diterapi cahaya setelah sempat dipulangkan
dari RS/RB pasca kelahiran, terapi cahaya umumnya dihentikan jika kadar bilirubin sudah di
bawah 13-14 mg/dl. Pengukuran ulang bilirubin setelah 24 jam penghentian terapi
direkomendasikan terutama pada bayi dengan penyakit hemolisis atau bayi yang menyelesaikan
terapi cahaya sebelum usia 3-4 hari.
Exchange transfusion
Penanganan khusus lainnya yang mungkin diperlukan pada bayi dengan jaundice adalah
exchange transfusion. Exchange transfusion adalah tindakan di mana darah pasien diambil
sedikit demi sedikit dengan meningkatkan volume pengambilan pada setiap siklusnya, untuk
kemudian digantikan dengan darah transfusi dengan jumlah yang sama.
Exchange transfusion dilakukan dengan segera pada bayi dengan gejala ’acute bilirubin
encephalopathy’ seperti meningkatnya ketegangan otot, meregangnya bayi dengan posisi seperti
busur, demam, tangisan dengan nada tinggi, atau jika TSB ≥ 5 mg/dl di atas kurva yang sesuai.
Jika kadar TSB berada pada level di mana exchange transfusion dibutuhkan atau ≥ 25 mg/dl, hal
ini adalah keadaan gawat darurat dan harus segera ditangani.
Info ikterus neonatorum
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam
tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam
Ikterus neonatorum
I. Definisi
Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam
tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan
terjadinya gangguan fungsional dari hepar, sistem biliary, atau sistem hematologi. Ikterus dapat
terjadi baik karena peningkatan bilirubin indirek ( unconjugated ) dan direk ( conjugated ) .
II. Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang tersering
ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompabilitas golongan darah ABO atau
defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini juga dapat timbul akibat perdarahan tertutup (hematom
cefal, perdarahan subaponeurotik) atau inkompabilitas darah Rh, infeksi juga memegang peranan
penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis
dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain adalah hipoksia/anoksia, dehidrasi dan asidosis,
hipoglikemia, dan polisitemia.
III. Epidemiologi
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya.
Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi
kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi
patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.
IV. Patolofisiologi
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh oleh tubuh.
Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi berasal
dari hem bebas atau dari proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi
dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin
inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit
larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi
dan mudah melalui membrane biologic seperti placenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas
tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi
mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat dengan oleh reseptor membran sel hati dan masuk
ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin
( protein-Y), protein-Z, dan glutation hati lain yang membawanya ke reticulum endoplasma hati,
tempat terjadinya proses konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase
yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini larut dalam air dan pada
kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini
diekskesi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar dari tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diarbsorbsi kembali
oleh mukosa usus dan terbentuklah proses arbsorpsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama
kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses
tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebuh
pendek (80 – 90 hri ), dan belum matangnya fungsi hepar.
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian tersering
adalah apabila terdapat pertambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini
dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya
umur eritrosit bayi/janin, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan
sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh.
Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein-Y berkurang atau pada keadaan protein-Y dan protein-
Z terikat oleh anion lain, misalkan pada bayi dengan asidosis atau keadaan anoksia/hipoksia.
Keadaan lain yang dapat memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
konjugasi hepar ( defisiensi enzim glukoronil transferase ) atau bayi menderita gangguan eksresi,
misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu ekstra/intrahepatik.
V. Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat onstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakan
diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas
darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko
kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada
bayi. Faktor risiko itu antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada
ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi
intrauterine, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari
kemudian. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang
sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit
tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit dikarenakan ketergantungan dari warna kulit bayi
sendiri.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang
cukup berarti memerlukan penilaian diagnostic lengkap, yang mencakup penentuan fraksi
bilirubn langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan
darah, tes Coombs dan pemeriksaan apusan darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan
sediaan apusan memperlihatkan petunjuk adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat
hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis hepatitis, fibrosis kistis dan sepsis. Jika hitung
retikulosit, tes Coombs dan bilirubin indirek normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia
indirek fisiologis atau patologis.
Ikterus fisiologis. Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah 1
– 3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl /24 jam; dengan demikian
ikterus baru terlihat pada hari ke 2 -3, biasanya mencapai puncak antara hari ke 2 – 4, dengan
kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya
menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 – 7 kehidupan.
Hiperbilirubin patologis. Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang
tinggi , berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 – 20 mg/dl pada bayi
aterm. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah akan memperlihatkan kernikterus pada kadar
yang lebih rendah ( 10 – 15 mg/dl)
VI. Diagnosis banding
Ikterus yang timbul 24 jam pertatama kehidupan mungkin akibat eritroblstosis foetalis, sepsis,
rubella atau toksoplasmosis congenital. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3 dan dalam minggu
pertama, harus dipikirkan kemungkinan septicemia sebagai penyebabnya. Ikterus yang
permulaannya timbul setelah minggu pertama kehidupan memberi petunjuk adanya septicemia,
atresia kongental saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubella, hepatitis herpetika, anemia
hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan dan sebagainya.
Ikterus yang persisten selama bulan pertama kehidupan memberi petunjuk adanya apa yang
dinamakan “inspissated bile syndrome”. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi parenteral
total. Kadang bilirubin fisiologis dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu
seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pylorus.
VII. Komplikasi
Kernikterus adalah suatu sindrom neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan tak
terkonjugasi dalam sel-sel otak
VIII. Terapi
Tujuan utama penatalaksanaan ikterus neonatal adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin
serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/encefalopati biliaris, serta
mengobati penyebab langsung ikterus tersebut. Pengendalian bilirubin juga dapat dilakukan
dengan mengusahakan agar kunjugasi bilirubin dapat dilakukan dengan megusahakan
mempercepat proses konjugasi. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya
glukoronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal atau fenobarbital.
Pemberian substrat yang dapat menghambat matabolisme bilirubin ( plasma atau albumin ),
mengurangi sirkulasi enterohepatik ( pemberian kolesteramin ), terapi sinar atau transfusi tukar,
merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Fototerapi. Ikterus klinis dan hiperbilirubin indirek akan berkurang kalau bayi dipaparkn pada
sinar dalam spectrum cahaya yang mempunyai intensitas tinggi. Bilirubin akan menyerap cahaya
secara maksimal dalam batas wilayah warna biru ( mulai dari 420 – 470 nm ). Bilirubin
dalam kulit akan menyerap energi cahaya, yang melalui fotoisomerasi mengubah bilirubin tak
terkonjugasi yang bersifat toksik menjadi isomer-isomer terkonjugasi yang dikeluarkan ke
empedu dan melalui otosensitisasi yang melibatkan oksigen dan mengakibatkan reaksi oksidasi
yang menghasilkan produk-produk pemecahan yang akan diekskresikan oleh hati dan ginjal
tanpa memerlukan konjugat. Indikasi fototerapi hanya setelah dipastikan adanya hiperbilirubin
patologik. Komplikasi fototerapi meliputi tinja yang cair, ruam kulit, bayi mendapat panas yang
berlebihan dan dehidrasi akibat cahaya, menggigil karena pemaparan pada bayi, dan sindrom
bayi perunggu, yaitu warna kulit menjadi gelap, cokelat dan keabuan.
Fenobarbital. Meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. Pemberian obat ini akan
mengurangi timbulnya ikterus fisiologik pada bayi neonatus, kalau diberikan pada ibu dengan
dosis 90 mg/24 jam beberap hari sebelum kelahiran atau bayi pada saat lahir dengan dosis 5
mg/kgBb/24 jam. Pada suatu penelitian menunjukan pemberian fenobarbital pada ibu untuk
beberapa hari sebelum kelahiran baik pada kehamilan cukup bulan atau kurang bulan dapat
mengkontrol terjadinya hiperbilirubinemia. Namun karena efeknya pada metabolisme bilirubin
biasanya belum terwujud sampai beberapa hari setelah pemberian obat dan oleh karena
keefektifannya lebih kecil dibandingkan fototerapi, dan mempunyai efek sedatif yang tidak
diinginkan dan tidak menambah respon terhadap fototerapi, maka fenobarbital tidak dianjurkan
untuk pengobatan ikterus pada bayi neonatus.
Transfusi tukar. Dilakukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum bayi
aterem kurang dari 20 mg/dl atau 15 mg/dl pada bayi kurang bulan . Dapat diulangi sebanyak
yang diperlukan, atau keadaan bayi yang dipandang kritis dapat menjadi petunjuk melakukan
transfusi tukar selama hari pertama atau kedua kehidupan, kalau peningkatan yang lebih diduga
akan terjadi, tetapi tidak dilakukan pada hari ke empat pada bayi aterm atau hari ke tujuh pada
bayi premature, kalau diharapkan akan segera terjadi penurunan kadar bilirubin serum atau
akibat mekanisme konjugasi yang bekerja lebih efektif. Transfusi tukar mungkin merupakan
metode yang paling efektif untuk mengkontrol terjadinya hiperbilirubinemia.

IX. Prognosis
Hiperbilirubemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar
otak.
Apa sich ikterus itu ??? si kuning yang merepotkan. si kuning yang membahayakan

Definisi Ikterus Neonatorum


Ikterus sendiri sebenarnya adalah perubahan warna kuning akibat deposisi bilirubin berlebihan
pada jaringan; misalkan yang tersering terlihat adalah pada kulit dan konjungtiva mata.
Sedangkan definisi ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir
dengan keadaan meningginya kadar bilirubun di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit,
konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning.
Ikterus juga disebut sebagai keadaan hiperbilirubinemia (kadar bilirubin dalam darah lebih dari
12 mg/dl). Keadaan hiperbilirubinemia merupakan salah satu kegawatan pada BBL karena
bilirubin bersifat toksik pada semua jaringan terutama otak yang menyebabkan penyakit kern
icterus (ensefalopati bilirubin) yang pada akhirnya dapat mengganggu tumbuh kembang bayi.

Jenis-jenis Ikterus Neonatorum


Ikterus neonatorum sendiri ada 2 jenis yang berbeda tanda, penyebab dan penanganannya. Ke-2
jenis tersebut adalah :

1. Ikterus Neonatorum Fisiologis


Adalah keadaan hiperbilirubin karena faktor fisiologis yang merupakan gejala normal dan sering
dialami bayi baru lahir.
Ikterus ini terjadi atau timbul pada hari ke-2 atau ke-3 dan tampak jelas pada hari ke-5 sampai
dengan ke-6 dan akan menghilang pada hari ke-7 atau ke-10. kadar bilirubin serum pada bayi
cukup bulan tidak lebih daro 12 mg/dl dan pada BBLR tidak lebih dari 10 mg/dl, dan akan
menghilang pada hari ke-14. Bayi tampak biasa, minum baik dan berat badan naik biasa.
Penyebab ikterus neonatorum fisiologis diantaranya adalah organ hati yang belum “matang”
dalam memproses bilirubin, kurang protein Y dan Z dan enzim glukoronyl tranferase yang belum
cukup jumlahnya. Meskipun merupakan gejala fisiologis, orang tua bayi harus tetap waspada
karena keadaan fisiologis ini sewaktu-waktu bisa berubah menjadi patologis terutama pada
keadaan ikterus yang disebabkan oleh karena penyakit atau infeksi.

2. Ikterus Neonatorum Patologis


Adalah keadaan hiperbilirubin karena faktor penyakit atau infeksi. Ikterus neonatorum patologis
ini ditandai dengan :
a. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan; serum bilirubin total lebih dari 12 mg/dl.
b. Peningkatan kadar bilirubin 5 mg/dl atau lebih dalam 24 jam.
c. Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg% pada bayi kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg%
pada bayi cukup bulan.
d. Ikterus yang disertai proses hemolisis.
e. Bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl, atau kenaikan bilirubin serum 1 mg/dl/jam atau lebih 5
mg/dl/hari.
f. Ikterus menetap sesudah bayi berumur 10 hari (cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada
BBLR.

Dibawah ini adalah beberapa keadaan yang menimbulkan ikterus patologis :


a. Penyakit hemolitik, isoantibodi karena ketidakcocokan golongan darah ibu dan anak seperti
Rhesus antagonis, ABO dan sebagainya.
b. Kelainan dalam sel darah merah seperti pada defisiensi G-6-PD, thalasemia dan lain-lain.
c. Hemolisis : hematoma, polisitemia, perdarahan karena trauma lahir.
d. Infeksi : septikemia, meningitis, infeksi saluran kemih, penyakit karena toxoplasmosis, sifilis,
rubella, hepatitis dan lain-lain.
e. Kelainan metabolik : hipoglikemia, galaktosemia.
f. Obat-obatan yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti : solfonamida,
salisilat, sodium benzoat, gentamisin dsb.
g. Pirau enterohepatik yang meninggi: obstruksi usus letak tinggi, penyakit Hirschprung,
mekoneum ileus dan lain-lain.
Mengenal Ikterus Neonatorum

Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000
kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok
ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun
2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada
bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati
bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka
mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi,
paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan
rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi
bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena
jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.

Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi
<37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang
ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara
klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar
bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki
penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama
kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis,
septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).

A. Definisi

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya
deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan
tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL.

Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.

Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:
• Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
• Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10
mg/dL.
• Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
• Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
• Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
• Terdapat faktor risiko.

Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke
jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin
dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas
3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan
minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama):
hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun
pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.

B. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus.
Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru
lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah
studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto
Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar
58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL
pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan
sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13
mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap
hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan.
Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada
95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509
neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.

Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada
tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya
ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga
data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.

Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan
13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara
pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar
bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada
hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.

C. Etiologi dan Faktor Risiko

1. Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
• Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih
pendek.
• Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,
UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh
hepatosit dan konjugasi.
• Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di
usus dan belum ada nutrien.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh
faktor/keadaan:
• Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD,
sferositosis herediter dan pengaruh obat.
• Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
• Polisitemia.
• Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
• Ibu diabetes.
• Asidosis.
• Hipoksia/asfiksia.
• Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

2. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

a. Faktor Maternal
• Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
• Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
• Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
• ASI

b. Faktor Perinatal
• Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
• Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

c. Faktor Neonatus
• Prematuritas
• Faktor genetik
• Polisitemia
• Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
• Rendahnya asupan ASI
• Hipoglikemia
• Hipoalbuminemia

D. Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai
meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-
lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.

1. Ikterus fisiologis

Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun
kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola
ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya
mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun
kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin
sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.

Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai
contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-
6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina
cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir.
Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi
peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80
hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur
dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin.

2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)

Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang
berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga
meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak
perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.

Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada
peningkatan kadar bilirubin.
E. Penegakan Diagnosis

1. Visual

Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak
ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias
penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila
terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining
positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.

WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
• Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan
dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
• Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan
jaringan subkutan.
• Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning. (tabel 1)

2. Bilirubin Serum

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum
serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan
tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang
diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium
foil)

Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL
atau usia bayi > 2 minggu.

3. Bilirubinometer Transkutan

Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan


bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan
merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.

Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen
kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak
terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan
untuk diagnosis.

Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi
pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum
(metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan
usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi
bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan
TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76,
p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk
mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk
menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.

Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis
biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum
ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif
dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.

4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa
ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.

Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya
dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi
peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan
bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.

Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam
jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan
melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus
Usia Kuning terlihat pada Tingkat keparahan ikterus
Hari 1 Bagian tubuh manapun Berat
Hari 2 Tengan dan tungkai *
Hari 3 Tangan dan kaki

* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan,
tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan
memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin
serum untuk memulai terapi sinar.

F. Tata laksana

1. Ikterus Fisiologis

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum
kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil.
Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
• Minum ASI dini dan sering
• Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
• Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih
cepat (terutama bila tampak kuning).

Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi
hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini
kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup
besar.

Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)


• Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
• Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum
usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
• Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
• Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi
sinar.
• Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar,
lakukan terapi sinar
• Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau
bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila
memungkinkan.
• Tentukan diagnosis banding

2. Tata laksana Hiperbilirubinemia

Hemolitik

Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah ABO antara
bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku
untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya.
• Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan
terapi sinar.
• Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
• Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar hemoglobin <
13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.
• Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan tes
Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13
g/dL (hematokrit < 40%).
• Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
• Persiapkan transfer.
• Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas transfusi tukar.
• Kirim contoh darah ibu dan bayi.
• Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk dan
terapi apa yang akan diterima bayi.
• Nasihati ibu:
• Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan
informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan kehamilan
berikutnya.
• Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-zat
tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat antimalaria, obat-
obatan golongan sulfa, aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).
• Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
• Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3 minggu
lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu),
terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).
• Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4 minggu.
Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.

Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice)


• Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup
bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
• Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab.
• Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi dan
rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila
memungkinkan.
• Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.

Mengenai penatalaksanaan dengan terapi sinar dan transfusi tukar selengkapnya dimuat
terpisah.

G. Efek Hiperbilirubinemia

Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-
sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat
menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat
menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius)
sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.

Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin
serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan
lama paparan bilirubin terhadap jaringan.

Ensefalopati bilirubin
Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan
komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan
lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang menyebabkan kematian
sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar
darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam
cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan
ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik
bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang
disebabkannya.

Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan
belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan
albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi
efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa
ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya diperkirakan
dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin.

Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak
permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau
hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.

H. Pencegahan

Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO
sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan
hiperbilirubinemia sebagai berikut:

1. Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan
yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-
12 kali sehari selama beberapa hari pertama.

Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan
dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan
kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif
bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.

AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus
nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum
maupun menurunkan kadar bilirubin serum.

2. Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi
ikterus neonatorum.
Pemeriksaan Golongan Darah
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta
menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan
darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah
dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan
pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.

Penilaian Klinis

Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi
terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus.
Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-
tanda vital lain.

Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga memperlihatkan
warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling
baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi
kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian
wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.

Referensi:
1. Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of Health
Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia.
2. Masukan berdasarkan hasil rapat tim ahli HTA Indonesia.
3. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J Med
2001;344:581-90.
4. Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and breast-
feeding. Paedatr Indones 2001;41:69-75.
5. Laporan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.
6. Laporan RS Dr. Kariadi Semarang.
7. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement of
Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva 2003.
8. Briscoe L, Clark S. Yoxall CW. Can transcutaneous bilirubinometry reduce the need for
blood tests in jaundiced full term babies? Arch Dis Child Fetal Neonatal 2002;86:F190-2.
9. Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent
kernicterus in newborn infants. Pediatrics 2004;114:917-24.
10. Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin bebas. Berkala
Ilmu Kedokteran 1995;27:43-6.
11. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC,
Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott Williams and
Wilkins;2004,185-222.
12. Masukan Dr. Ali Usman, SpA(K)
13. American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline. Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics
2004;114:297-316.

You might also like