You are on page 1of 26

PENEGAKAN HUKUM DALAM ERA PEMBANGUNAN

BERDASAR PANCASILA DAN UUD 1945

Pendahuluan

Sejak Indonesia mengandalkan peranan hukum dalam menunjang pembangunan,


maka kaitan antara hukum dan politik juga menjadi relevan. Dalam GBHN terbaru bahkan
kedudukan pembangunan hukum telah dinaikkan dari subsektor menjadi sector yang dengan
demikian menjadi berdiri sendiri. Mengaitkan secara otomatis antara hukum dan pembangunan
berarti meningkatkan pula intensitas pertukaran antara hukum dan politik. Posisi hukum sebagai
sarana untuk melakukan rekayasa sosial menjadi makin besar. Dalam keadaan demikian, maka
hubungan ketegangan antara kemandirian asas, doktrin, dan institusi hukum berhadapan dengan
politik menjadi lebih intensif. Pertanyaannnya bagaimana dengan penegakan hukumnya?.

Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu proses untuk


mewujudkan keinginan-keinginan (pikiran-pikiran pembentuk UU yang dirumuskan dalam
peraturan-peraturan hukum itu) hukum mejadi kenyataan diambil dari makalah perkuliahan PIH
oleh Natangsa Surbakti,S.H, M.Hum).

Pertanyaannya Apakah pemikiran/pikiran/keinginan dari pembentuk UU ini untuk


kemaslahatan orang banyak atau hanya untuk kepentingan pribadi?

Sebelum membicarakan pertanyaan apakah pemikiran dari pembentuk UU ini untuk


kemaslahatan umum atau hanya untuk kepentingan pribadi dan penegakan hukumnya bila
terkadi itu, perlu kiranya terlebih dahulu kita menyinggung pengertian hukum itu sendiri.

Menurut Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, Hukum adalah norma yang mengajak
masyarakat untuk mencapai cita-cita serta keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan dunia
kenyataan dan oleh karenanya ia digolongkan ke dalam norma kultur (diambil dari ³Ilmu Hukum
´, karangan Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, halaman 27).

Dalam pengertian apa hukum itu sendiri, penulis berpendapat bahwa hukum adalah seperangkat
peraturan-peraturan, baik itu tertulis maupun tidak tertulis yang mana ini digunakan untuk
mengatur tingkah laku masyarakat dengan tujuan terwujudnya keamanan dan ketertiban, dan
dalam penegakannya dibutuhkan ketegasan (dilakukan dengan paksaan) serta adanya sanksi
yang tegas bagi pelanggar. Di sini perlu diingat bahwa hukum dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang, beberapa diantaranya seperti sudut pandang rekayasa sosial/politik dan sudut
pandang budaya.

1
Hukum Dan Rekayasa Sosial
Hukum dan rekayasa sosial sebenarnya merupakan bagian dari politik sosial.

Politik sosial adalah keadaan yang ingin dicapai dalam kehidupan bersama sebagai suatu
masyarakat, bangsa, dan negara.Bagi bangsa dan negara Indonesia, keadaan yang ingin dicapai
dalam kehidupan bersama sebagai suatu masyarakat, bangsa, dan negara ini tertuang di dalam
alinea keempat pembukaan UUD 1945; yaitu suatu keadaan terlindunginya segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, keadaan termajukannya kesejahteraan umum, keadaan
tercedaskannya kehidupan bangsa, serta terwujudnya perdamaian abadi.

Singkatnya adalah keadaan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akan
tetapi apakah nanti hal tersebut untuk khalayak umum atau hanya kepentingan pembuat UU
(penguasa)? Bila kita kaitkan dengan politik hukum, apakah ada hubungannya dengan rekayasa
sosial? Sebenarnya kalau kita lihat lebih mendalam politik hukum merupakan bagian dari politik
sosial (Makalah Materi Kuliah PIH Tahun 2004, Bapak Natangsa Surbakti,SH,M.Hum). Ada
beberapa pendapat dari para sarjana mengenai politik dan hukum:

a. Daniel S. Lev Politik kerap kali mengintervensi hukum, baik dalam proses pembuatannya
maupun proses orientasinya.

b. Roberto M.Unger Hukum tidak lepas dari subsistem lain (politik), melalui pergulatan
kepentingan politik, sehingga hukum tidak lagi otonom.

c. Sri Sumantri Hukum dan politik laksana rel dan lokomotif, kerap kali lokomotif keluar dari
relnya.

d. Mochtar Kusumaatmaja

Politik dan hukum harus bekerja sama dan saling menguatkan. Hukum tanpa kekuasaan angan
angan, kekuasaan tanpa hukum kelaliman.Sedangkan mengenai hubungan antara hukum dan
politik dapat dilihat dari 3 asumsi di bawah ini:

a. Hukum determinasi atas politik, hukum sebagai das sollen.

b. Politik determinasi atas hukum, hukum sebagai das sein.

c. Politik dan hukum dalam hubungan seimbang.

2
Sebagai alat politik, maka hukum tidak mewakili norma-norma dan nilai-nilai dari semua
anggota masyarakat, melainkan hanya berisi kepentingan (interest) dari beberapa
orang/kelompok. Dari pendapat tersebut dapat dilihat adanya pemisahan antara hukum dan nilai-
nilai yang merupakan cikal bakal dari budaya.

Hubungan Hukum Dengan Budaya

Perilaku dan praktik hukum suatu bangsa terlalu besar untuk hanya dimasukkan dalam Undang-
Undang begitu saja, karena hal ini terkait erat dengan budaya hukum bangsa yang bersangkutan.
Budaya hukum tersebut ditentukan oleh nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan dalam
mempraktikkan hukumnya.

Jika kita bertolak dari dasar berfikir bahwa institusi hukum itu senantiasa tertanam (embedded)
di dalam suatu struktur social tertentu maka disitu akan muncul banyak variable lain selain
variable politik yang bias mempengaruhi keotonoman hukum.

Apabila hukum dilihat sebagai suatu proses, maka ia tak mungkin berjalan bagaikan menarik
garis dari satu titik ke titik yang lain. Kebudayaan, aspirasi, cita-cita, dan nilai-nilai tetap
merupakan variable bebas yang turut menentukan penampilan akhir dari hukum.

Itu berarti hukum itu tidak berdiri sendiri, dan tidak sepenuhnya absolut.kita tidak dapat
memperoleh gambaran yang lengkap mengenai keadaan hukum yang sebenarnya hanya dengan
membaca peraturan perundang-undangan saja. Undang-undang itu memang penting dalam suatu
negara hukum, tapi ia bukan segalanya.

Demikian pula proses untuk memberi keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir
melalui kelahiran pasal- pasal undang-undang.Pemahaman yang tidak lengkap itu pulalah yang
membuat orang pernah berpolemik mempersoalkan rekomendasi kongres kebudayaan tahun
1991 tentang perlunya pendekatan budaya dalam penyelenggaraan hukum.

Rumusan rekomendasi yang demikian dipersoalkan, karena dinilai bakal merusak usaha
penegakkan hukum, terutama dalam usaha menumbuhkan kepastian hukum.Dalam hal ini harus
dipahami sungguh-sungguh bahwa budaya itu adalah perilaku substantif dan ia muncul dalam
sekalian sector kehidupan, termasuk kehidupan hukum.

Hukum dan kebudayaan itu sama-sama melakukan kontrol terhadap kehidupan bermasyarakat
kendatipun kekuatannya berbeda. Hukum modern itu memiliki kualitas yang kuat untuk disebut
sebagai teknologi dan mesin, sementara kebudayaan adalah jauh lebih lanjut karena ia bekerja
dengan persuasi atau melalui sosialisasi.

3
Oleh karena itu harus bisa dipahami kalau terjadi benturan antara keduanya, maka budayalah
yang akan banyak mengalami kekalahan. Tapi itu tidak berarti bahwa dalam jangka panjang
kebudayaan sebagai perilaku substantif tidak akan melakukan pembalasan.

Dalam kerangka pemahaman yang demikian itu dapatlah kita mengatakan bahwa undang-
undang itu bukan hanya barisan pasal-pasal, melainkan mempunyai spirit atau semangat juga.
Namun dimensi semangat tersebut hampir selalu terbenam dalam setiap diskusi dan debat
mengenai hukum.

Ketika hukum menanggalkan spiritnya, maka ia semakin tampil secara teknis dan teknologis dan
pembuatan hukum pun sudah semakin menjadi suatu pertukangan (craffmanship) . Prof.Tjip
(Satjipto Rahardjo) menyatakan bahwa selama ini sadar atau tidak sadar bangsa Indonesia boleh
dibilang menjadi ³tawanan barat´.

Betapa tidak, selama hampir 25 tahun sebelum ada pemutusan hubungan kerja sama
pembangunan Indonesia-Belanda, bangsa Indonesia kurang dapat melihat secara kritis terhadap
sekalian yang bersifat barat (Belanda). Orang-orang Indonesia hanya bisa menerima saja tanpa
bisa mengajukan kritiknya. Dalam bidang hukum misalnya, para cendekiawan dan penegak
hukum diberi kesempatan untuk mempelajari hukum modern di Belanda, dan dengan demikian
akan menjadikan bangsa Indonesia semakin jauh dari nilai-nilai kulturalnya sendiri.

Sistem hukum barat yang selama ini dipelajari adalah berwatak liberal yang lebih menekankan
kebebasan,individualisme, dan liberalisme. Watak hukum yang demikian akan menolak
partisipasi masyarakat dalam urusan penegakkan hukum.

Oleh sebab itu beliau (Prof. Tjip) menyarankan sebaiknya sekarang sudah saatnya kita harus
mulai belajar ke Jepang, karena Jepang sendiri telah menempatkan suatu posisi awal yang
hampir sama dengan Indonesia, yaitu menerima penggunaan hukum modern sebagai suatu
institusi yang dipaksakan dari luar.

Sama seperti Indonesia, Jepang juga mengalami pertemuan antara dua kultur yang berbeda yaitu
³kultur Jepang dan kultur Barat´. Dengan demikian di Jepang bisa ditemukan padanan dari unsur
kultur yang terdapat di Indonesia, seperti keselarasan dan kekeluargaan.

Pengalaman Jepang merupakan pelajaran yang sangat menarik buat Indonesia dalam
membangun system hukum modern menurut keharusan atau model Indonesia. Hukum dan
undang-undang itu tidak berdiri sendiri, ia tidak sepenuhnya otonom dan bersifat absolut.

4
Apabila kita menyoroti kehidupan hukum suatu bangsa hanya dengan menggunakan tolak ukur
undang-undang, maka biasanya hasil yang kita peroleh tidaklah memuaskan. Artinya, kita tidak
dapat memperoleh gambaran mengenai keadaan hukum yang sebenarnya hanya dengan
membaca peraturan perundangannya saja.

Diperlukan potret kenyataan hukum yang hanya dapat dilihat melalui perilaku hukum sehari-
hari. Jadi hukum sangat dipengaruhi oleh kebiasaan atau perilaku masyarakat sehari-hari.

Pembangunan Dan Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Semakin kompleks masyarakat
semakin banyak pula pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi sehingga informasi
seringkali mencuat (memuat) di berbagai media massa.

Hendaklah diingat, bahwa informasi seringkali pula dibuat ±buat karena untuk kepentingan
suatu kelompok ataupun penguasa. Keprihatinan dalam usaha penegakan hukum di Indonesia
selama ini semakin bertambah, karena rakyat hampir tak mempercayai lagi dengan badan
penegakan hukum kita, mengapa? Karena kita tidak tahu kunci menyelamatkan mempunyai
keseriusan dan keberanian dalam menegakan hukum.

Dalam praktek penegakan hukum sering terjadi hal-hal yang mengejutkan. Seperti, sering pula
ada yang berperkara sesungguhnya sederhana, dalam arti tidak sulit pembuktiannya, tetapi
pengadilan dinyatakan bebas.

Sesungguhnya penegakanhukum akan berhasil bilamana penegak hukumnya itu harus


mempunyai ketegasan dan keberanian serta koekuensi terhadap penegakan hukum itu sendiri.
Ada beberapa hal positif yang dapat ditarik dari penegakan hukum yang dapat ditarik dari
penegakan hukum yang tegas, antara lain :

a. Memulihkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah

b. Dapat dilakukan penyelamatan aset negara

c. Para penanam modal tidak ragu-ragu menanamkan modalnya di Indonesia.

Disini penulis ingin menambahkan bahwa penegakan hukum akan berhasil pula, bilamana
adanya partisipasi warga negara.

5
Beberapa diantara salah satu cara penegakan hukum adalah di dalam kekuasaan kehakiman itu
harus merupakan kekuasaan yang merdeka, yang artinya pengaruh kekuasaan pemerintah dan
berhubung itu juga harus diadakan jaminan dalam UU tentang kedudukan hakim; dengan jalan
pendidikan, dengan ini maka setiap warga negara tanpa terkecuali perlu untuk mendapatkan
pengetahuan/informasi yang berkaitan dengan hukum.

Kedua hal ini sama pula dengan pokok-pokok pemikiran yang terdapat di UUD
1945.Marilah kita selalu berhati-hati dalam mewujudkan rasa keadilan.

Karena, tenteram tidaknya suatu masyarakat atau tercapai tidaknya kestabilan di dalam
masyarakat sebagai syarat yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi guna kesejahteraan
rakyat, adalah terletak apakah keadilan sudah terwujud di dalam masyarakat itu.

Peranan Mahasiswa Dalam Penegakan Hukum

Peranan mahasiswa dalam penegakan hukum terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu peran
mahasiswa dalam lingkungan kampus dan lingkungan masyarakat.

Di dalam lingkungan kampus, mahasiswa dapat melakukan, seperti jujur dalam setiap proses
perkuliahan, melakukan kajian kritis terhadap setiap laporan pertanggungjawaban kegiatan,
kontrol terhadap pelaksanaan proyek kegiatan kampus, dan lain sebagainya.

Kemudian bagaimanakah dengan peran mahasiswa dalam lingkungan masyarakat? Peran


mahasiswa dalam masyarakat, mahasiswa dapat melakukan membantu masyarakat untuk
mewujudkan ketentuan aturanyang diperlukan masyarakat,membimbing dan membantu
masyarakat mengkritisi aturan yang ada dan lain sebagainya.

6
. Pengertian tentang ideologi

Istilah “Ideologi” berasal dari kata “ideo” (cita-cita) dan “logy” (pengetahuan, ilmu faham).
Menurut W. White definisi Ideologi ialah sebagai berikut : “The sum of political ideas of
doctrines of distinguishable class of group of people” (ideologi ialah soal cita-cita politik atau
dotrin (ajaran) dari suatu lapisan masyarakatatau sekelompok manusia yang dapat dibeda-
bedakan).

Sedangkan menurut pendapat Harold H Titus definisi ideologi ialah sebagai berikut : “A term
used for any group of ideas concerning various politicaland economic issues and social
philosophies often appliedto a systematic schema of ideas held by group classes” (suatu istilah
yang dipergunakan untuk sekelompok cita-cita mengenai berbagai macam masalah politik dan
ekonomi serta filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematik
tentang cita-cita yang dijalanakan oleh sekelompok atau lapisan masyarakat).

(Drs Ismaun, pancasila sebagai dasar filsafat atau ideologi negara republik Indonesia dalam Heri
Anwari Ais, Bunga Rampai filsafat pancasila, 1985 : 37).

“The term “isme” something used for these system of thought” (istilah isme/aliran kadang-
kadang dipakai untuk system pemikiran ini.

Dalam pengertian ideologi negara itu termasuk dalam golongan ilmu pengetahuan sosial, dan
tepatnya pada digolongkan kedalam ilmu politik (political sciences) sebagai anak cabangnya.
Untuk memahami tentang ideologi ini, maka kita menjamin disiplin ilmu politik.
Didalam ilmu politik, pengertian ideologi dikenal dua pengertian, yaitu :

Pertama, pengertian secara fungsional dan Kedua, pengertian secara structural

Ideologi dalam pengertian secara fungsional adalah ideologi diartikan seperangkat gagasan
tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik.
Sedangkan pengertian ideologi secara structural adalah ideologi diartikan sebagai system
pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang
diambil oleh penguasa.

7
Lebih lanjut ideologi dalam arti fungsional secara tipologi dapat dibagi dua tipe, yaitu ideologi
yang bertipe doktriner dan ideologi yang bertipe pragmatis.Suatu ideologi digolongkan doktriner
apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan
terinci dengan jelas, diindotrinasikan kepada warga masyarakat, dan pelaksanaanya diawasi
secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah, komunisme merupakan salah satu
contohnya.

Suatu ideology digolongkan pada tipe pragmatis, ketika ajaran – ajaran yag terkandung dalam
ideology tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, melainkan dirumuskan secara
umum (prinsup-prinsipnya saja).

Dalam hal ini, ideology itu tidak diindoktrinasikan, tetapi disosisalisasikan secara fungsional
melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama dan sistem
politik. Individualisme (liberalisme) merupakan salah satu contoh ideology pragmatis.

Untuk memahami lebih dalam lagi contoh-contoh ideology, maka berikut ini kita mencoba
mengenal pijakan pemahaman terhadap empat ideology yang kita kenal dalam wacana politik,
yaitu :

Pertama, liberalisme
Kedua, konservatisme
Ketiga, sosialisme dan komunisme
Keempat, fasisme

Ideologi-ideologi Dunia

Liberalisme

Liberalisme tumbuh dari konstek masyarakat Eropa pada abad pertengahan feudal, dimana
sistem sosial ekonomi dikuasai oleh kaum aristrokasi feodal dan menindas hak-hak individu.
Liberalisme tidak diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan diciptakan oleh
golongan intelektual yang digerakan oleh keresahan ilmiah (rasa ingin tahu da keinginan untuk
mencari pengetahuan yang baru) dan artistic umum pada zaman itu.

8
Ciri-ciri ideology libertalisme sebagai berikut :

Pertama, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik,

Kedua, anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan


berbicara.

Ketiga, pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang
dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk diri
sendiri.

Keempat, kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena
itu pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat
dicegah.

Kelima, suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian terbesar
individu berbahagia, kalau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagiaan sebagian
besar individu belum tentu maksimal.

Konservatisme

Ketika liberalisme menggoncang struktur masyarakat feudal yang mapan, golongan feudal
berusaha mencari ideology tandingan untuk menghadapi kekuasaan persuasive liberalisme.

Dari sinilah muncul ideology konservatisme sebagai reaksi atas paham liberalisme.Paham
konservatisme itu ditanda dengan gejala-gejala sebagai berikut :

pertama, masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang tertata. Masyarakat harus memiliki
struktur (tata) yang stabil sehingga setiap orang mengetahui bagaimana ia harus berhubungan
dengan orang lain.seseorang akan lebih memperoleh kebahagiaansebagai anggota suatu keluarga
anggota gereja daan anggota masyarakat daripada yang dapat diperoleh secara individual.

Kedua, untuk menciptakan masyarakat yang tertata dan stabil diperlukan suatu pemerintah yang
memiliki kekuasaan yang mengikat tetapi bertanggung jawab. Paam konservatif berpandangan
pengatura yang tepat atas kekuasaan akan menjamin perlakuan yang samaterhadap setiap orang.

9
Ketiga, paham ini menekankan tanggung jawab pada pihak penguasa dalam masyarakat untuk
membantu pihak yang lemah.

Posisi ini bertentangan dengan pahamliberal yang berpandangan pihak yang lemah harus
bertanggung jawab atas urusan dan hidupnya. Sisi konservatif inilah yang menimbulkan untuk
pertama kali negara keseahteraan (welfare state) dengan program-program jaminan sosial bagi
yang berpenghasilan rendah.

Ciri lain yang membedakan antara liberalisme dan konservatisme adalah menyangkut hubungan
ekonomi dengan negara lain.

Paham konservatif tidak menghendaki pengaturan ekonomi (proteksi), melainkan menganut


paham ekonomi internasional yang bebas (persaingan bebas), sedangkan paham liberal
cenderung mendukung pengaturan ekonomi internasional sepanjang hal itu membantu buruh,
konsumen dan golongan menengah domestik.

Sosialisme dan komunisme

Sosialisme merupakan reaksi terhadap revolusi industri dan akibat-akibatnya. Awal sosialisme
yang muncul pada bagian pertama abad ke-19 dikenal sosialis utopia. Sosialisme ini lebih
didasarkan pada pandangan kemanusiaan (humanitarian), dan meyakini kesempurnaan watak
manusia.

Penganut paham ini berharap dapat menciptakan masyarakat sosialis yang dicita-citakan dengan
kejernihan dan kejelasan argumen, bukan dengan cara-cara kekerasan dan revolusi. Sedang
paham komunisme berkeyakinan perubahan system kapitalis harus dicapai dengan revolusi, dan
pemerintahan oleh dictator proletariat sangat diperlukan pada masa transisi. Dalam masa transisi
dengan bantuan negara dibawah dictator proletariat, seluruh hak milik pribadi dihapuskan dan
diambil untuk selanjutnya berada pada kontrol negara.

Perbedaan sosialisme dan komunisme terletak pada sarana yang digunakan untuk mengubah
kapitalisme menjadi sosialisme. Paham sosialis berkeyakinan perubahan dapat dan seyogyanya
dilakukan dengan cara-cara damai dan demokratis.

10
Fasisme

Fasisme merupakan tipe nasionalisme yang romantis dengan segala kemegahan upacara dan
symbol-simbol yang mendukungnya untuk mencapai kebesaran negara.

Hal itu akan dapat dicapai apabila terdapat seorang pemimpin kharismatis sebagai symbol
kebesaran negara yang didukung oleh massa rakyat.. dukungan massa yang fanatik ini tercipta
berkat indoktrinasi, slogan-slogan dan symbol-simbol yang ditanamkan sang pemimpin besar
dan aparatnya. Fasisme ini pernah diterapkan di Jerman (Hitler), Jepang, Italia (Mossolini), dan
Spanyol.

Dewasa ini pemikiran fasisme cenderung muncul sebagai kekuatan reaksioner (right wing)
dinegara-negara maju, seperti skin ilead dan kluk-kluk klan di Amerika Serikat yang berusaha
mencapai dan mempertahankan supremasi kulit putih.

Pengertian tentang reformasi

Makna serta pengertian reformasi dewasa ini banyak disalah artikan sehingga gerakan
masyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan reformasi juga tidak
sesuai dengan gerakan reformasi itu sendiri.

Hal ini terbukti dengan maraknya gerakan masyarakat dengan mengatasnamakan gerakan
reformasi, melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan makna reformasi itu sendiri, misalnya
dengan pemaksaan kehendak dengan menduduki kantor suatu instansi atau lembaga baik negeri
atau swasta, dan tindakan lain yang justru tidak mencerminkan sebagai reformis.

Makna “reformasi” secara etimologis berasal dari kata “reformation” dengan akar kata “reform”
yang secara semantic bermakna “make or become better by removing or putting right what is
bad or wrong” (oxford advanced leaner’s dictionary of current English, 1980, dalam Wibisono
1998 : 1).

Secara harfiah reformasi memiliki makna : suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang
atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk
semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat(Riswanda, 1998).

11
Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut :
Pertama, suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan.

Masa pemerintahan ORBA banyak terjadi suatu penyimpangan – penyimpangan, misalnya asas
kekeluargaan menjadi “nepotisme” kolusi dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan
semangat pembukaan UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945.

Kedua, suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan
ideologis) tertentu, dalam hal ini pancasila sebagai ideology bangsa dan negara Indonesia. Jadi
reformasi pada prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan pada dasar nilai-nilai
sebagaimana dicita-citakan oleh bangsa Indonesia.

Tanpa landasan visi dan misi ideology yang jelas maka gerakan reformasi akan mengarah
anarkisme, disintegrasi bangsa dan akhirnya jatuh pada kehancuran bangsa dan negara
Indonesia, sebagaimana yang telah terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia.

Ketiga, suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu acuan reformasi.
Reformasi pada prinsipnya gerakan untuk mengadakan suatu perubahan untuk mengembalikan
pada suatu tatanan structural yang ada, karena adanya suatu penyimpangan.

Maka reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem negara demokrasi, bahwa
kedaulatan adalah ditangan rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Reformasi harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah sistem negara hukum dalam
arti yang sebenarnya sebagaimana terkandung dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya
perlindungan hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari pengaruh penguasa, serta
legalitas dalam arti hukum.

Oleh karena itu reformasi itu sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Selain
itu reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah transparasi dalam setiap
kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara karena hal ini sebagai manesfestasi bahwa
rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan negara dan rakyatlah segaa aspek kegiatan negara. Atau
dengan prinsip, bahwa “Tiada Reformasi dan Demokrasi tanpa supremasi hukum dan tiada
supremasi hukum tanpa reformasi dan demokrasi”.

12
Keempat, Reformasi diakukan ke arah suatu perubahan kearah kondisi serta keadaan yang lebih
baik dalam segala aspeknya antara lain bidang politik, ekonomi, sosial budaya, serta kehidupan
keagamaan. Dengan lain perkataan reformasi harus dilakukan ke arah peningkatan harkat dan
martabat rakyat Indonesia sebagai manusia democrat, egaliter dan manusiawi.
Kelima, Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik sebagai manusia yang
berketuhanan yang maha esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Atas dasar lima syarat-syarat di atas, maka gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam
kerangka perspektif pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideology, sebab tanpa adanya suatu
dasar nilai yang jelas, maka reformasi akan mengarah kepada disintegrasi, anarkisme,brutalisme,
dengan dmikian hakekat reformasi itu adalah keberanian moral untuk membenahi yang masih
terbengkalai, meluruskan yang bengkok, mengadakan koreksi dan penyegaran secara terus-
menerus, secara gradual, beradab dan santun dalam koridor konstitusional dan atas
pijakan/tatanan yang berdasarkan pada moral religius.

Pancasila sebagai ideologi terbuka

pancasila sebgaai filsafat bangsa / negara dihubungkan dengan fungsinya sebagai dasar negara,
yang merupakan lndasan ideal bangsa Indonesia dan negara republik Indonesia dapat disebut
pula sebagai ideologi nasional atau disebut juga sebagai ideologi negara.

Artinya pancasila merupakan ideologi yang dianut oleh negara (penyelenggaraan negara dan
rakyat) Indonesia secara keseluruhan, bukan milik atau monopoli seseorang atau sekelompok
orang, disamping masih adanya beberapa ideologi yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang
lain, sepanjang tidak bertentangan dengan ideologi negara, sebab Pancasila merupakan
kristalisasi nilai-nilai kebenaran yang telah dipilih oleh para pendiri negara ini, yang mana lima
dasar atau lima silanya merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan walaupun
terbedakan sebagai dasar dan ideologi pemersatu.

Sebagai suatu rumusan dasar filsafat negara atau dalam kedudukan sebagai ideologi negara yang
dikandung oleh pembukaan UUD 1945 ialah pancasila.

Rumusan pancasila itu dapat pula disebut sebagai rumusan dasar cita negara (staatidee) dan
sekaligus dasar dari cita hokum (rechtidee) negara republik Indonesia.

Sebagai cita negara, ia dirumuskan berdasarkan cita yang hidup di dalam masyarakat
(volksgeemenshapidee) yang telah ada sebelum negara itu didirikan.

13
Memang sebelum negara republik Indonesia berdiri, masyarakatnya telah ada sejak berabad-
abad silam.

Terbentuknya suatu masyarakat pada umumnya terjadi secara alamiah. Masyarakat itu kemudian
mengembangkan citanya sendiri, yang berisi cita-cita, harapan-harapan, keinginan-keinginan,
norma-norma dan bentuk-bentuk ideal masyarakat yang dicita-citakannya.

Cita negara dirumuskan berdasarkan cita yang hidup dalam masyarakat tadi sebagai hasil
refleksi filosofis.Pertanyaan yang mendasar dan ilmiah adalah Apakah pancasila itu sebagai
Ideologi ? dan jika sebagai ideologi apakah sebagai ideologi tertutup atau ideologi terbuka dan
dimana letak terbukanya ?

Secara wacana akademik istilah ideologi pada walnya digunakan oleh seorang filsuf Prancis,
ANTOINE DESTUTT DE TRACY, yang diartikannya “ilmu pengetahuan mengenai gagasan-
gagasan (science of ideas). Istilah ini mula-mula mengandung konotasi politik karena
penggunaanya berhubungan dengan epistmologi ilmu pengetahuan.

Dalam sejarahnya istilah ideologi baru berhubungan dengan kehidupan politik setelah Napoleon
Bonaparte dari Prancis menamakan semua orang yang menentang gagasan-gagasan “patriotic”
yang dikemukakannya sebagai kaum “ideologis”. Bagi Napoleon, ideologi adalah pemikiran-
pemikiran khayali kaum idealis yang menghalang-halangi pencapaian tujuan-tujuan
revolusioner.

Istilah ini semakin popular pada abad pertengahan ke 19 setelah KARL MARX menerbitkan
buku German Ideology. Menurut ideologi hanyalah kesadaran yang palsu, ideologi adalah
kesadaran sebuah kelas sosial dan ekonomi dalam masyarakat demi mempertahankan
kepentingan-kepentingan mereka.

Dan sejarah mencatat, berbagai akibat yang ditimbulkan oleh ideologi KARL MARX, sejak
kemenangan revolusi kaum Bolsjevik di Rusia pada tahun 1926 sampai masa keruntuhan
kemunisme pada tahun-tahun belakangan ini.

14
Kajian komprehensif dari segi sosiologi pengetahuan mengenai ideologi dipelopori oleh KARL
MANNHEIM. Tokoh ini menerima dasar pemikiran Karl Max bahwa ideologi adalah
“kesadaran kelas”. Mann Heim membuat dua kategori ideologi, yaitu :

Pertama, Ideologi yang bersifat particular

Kedua, Ideologi yang bersifat menyeluruh

Pada kategori pertama dimaksudkannya sebagai keyakinan-keyakinan yang tersusun secara


sistimatis dan terkait erat dengan kepentingan suatu kelas sosial dalam masyarakat.

Sedangkan pada kategori kedua diartikannya sebagai suatu system pemikiran yang menyeluruh
mengenai semua aspek kehidupan sosial. Ideologi dalam kategori kedua ini bercita-cita
melakukan transformasi sosial secara besar-besaran menuju bentuk tertentu.

Jadi Mann Heim menganggap ideologi pada kategori kedua ini tetap berada dalam batas-batas
yang realistic dan berbeda dengan “utopia” yang hanya berisi gagasan-gagasan besar yang
hampir tidak mungkin dapat diwujudkan.

Pertanyaannya adalah apakah pancasila adalah ideologi dalam kategori pertama atau pada
ideologi pada kategori kedua ?Bagi bangsa Indonesia ideologi tentu bukan kesadaran sebuah
kelas sebagaimana dipahami KARL MARX.

Cara pandang kenegaraan bangsa Indonesia menolak penggunaan analisis kelas karena negara
diciptakan untuk semua.

Negara mengatasi paham golongan dan paham perseorangan, demikian ditegaskan dalam
penjelasan umum UUD 1945, jadi ideologi negara dimaksudkan untuk mengatasi kemungkinan
adanya paham golongan-golongan di dalam masyarakat karena keberadaan golongan-golongan
itupun diakui oleh ketentuan pasal 2 UUD 1945.

Penjelasan atas pasal ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan golongan-golongan ialah
badan-badan seperti koperasi, serikat sekerja, dan badan-badan kolektif lain.Dengan demikian
dari dua kategori ideologi yang dikemukakan oleh Mann Heim di atas, ideologi pancasila dapat
digolongkan sebagai ideologi menyeluruh.

15
Memang lima sila didalam pancasila itu mengandung cirri universal sehingga mungkin saja ia
ditemukan dalam gagasan berbagai masyarakat dan bangsa di dunia. Letak kekhasan dan
orsinilitasnya sebagai dasar filsafat dan ideologi negara republik Indonesia ialah, kelima sila itu
digabungkan dalam kesatuan yang integrative, bulat dan utuh.

Dan sebagai ideologi bersifat menyeluruh, karena pancasila yang dirumuskan dalam pembukaan
UUD 1945 pada alinea keempat itu, ditafsirkan secara otentik oleh konstitusi / UUD 1945 dalam
pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945, oleh karena pancasila sebagai ideologi juga
didalamnya sekaligus sebagai cita hukum, artinya pancasila membimbing arah pembentukan
hukum dalam masyarakat.

Sebagai norma-norma mendasar (staatfundamentalnorm) rumusan pancasila bukan rumusan


hukum yang bersifat operasional yang pelaksanaanya dikenakan sanksi. Untuk membuat
operasiaonal, negara membentuk berbagai peringkat peraturan perundang-undangan.

Penyelenggara negara dalam mengoperasionalkan ideologi pancasila, maka harus mengacu


kepada penafsiran otentik dari pancasila, dan telah menjadi kesepakatan para ahli hukum
Indonesia, bahwa pokok-pokok pikiran dalam penjelasan umum pembukaan UUD 1945 adalah
tafsir otentik dari pancasila yang dirumuskan atas dasar kesepakatan pendiri negara dan itulah
yang kemudian kita sebut PARADIGMA PANCASILA.

Kemudian dimana letak terbukanya sebagai ideologi, hal ini dapat ditelusuri dari pernyataan
dalam penjelasan umum, bahwa kita harus ingat dengan dinamika negara dan jangan terlalu
cepat membuat kristalisasi terhadap pikiran-pikiran yang mudah berubah.

Contoh yang paling jelas adalah tentang konsep negara hukum yang dianut oleh negara republik
Indonesia didalam kontitusinya didasari dengan satu paradigma yaitu dengan suatu prinsip
“semangat para penyelenggara negara itu baik, maka baiklah segalanya”.

Bagaimana pijakan berpikirnya, penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa negara berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna bahwa para penyelenggara negara berkewajiban
“memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur”.

Kepatuhan terhadap norma-norma moral berbeda dengan kepatuhan terhadap norma-norma


hukum, karena sangat bergantung pada keinsafan batin setiap individu dan adanya kontrol yang
kuat dari masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan istilah “semangat para penyelenggara
negara”.

16
Keberadaan lembaga kontrol yang terdiri dari masyarakat, para cendikiawan, ulama, tokoh-
tokoh masyarakat, dan kalangan pers menjadi sangat penting untuk “mengawasi”, perilaku para
lagislator dalam merumuskan norma-norma hukum, maupun prilaku para penyelenggara negara.

Oleh karena itu di era reformasi ini, pancasila sebenarnya dapat dijadikan paradigma reformasi,
apabila keberadaaan civil society yang kuat dan berprilaku democrat, egaliter dan manusiawi.

Civil society adalah elemen kunci dalam menentukan terwujudnya masyarakat demokratis yang
efektif. Civil society mungkin ada tanpa demokrasi, tetapi demokrasi tidak bias ada tanpa civil
society yang kuat.

Salah satu parameter civil society yang kuat adalah adanya gerakan masyarakat terhadap
tegaknya supremasi hukum didalam negara dmokrasi yang sekaligus negara hukum.
Pertanyaanya adalah dapatkah pancasila sebagai paradigma reformasi hukum ? Jawaban atas
pertanyaan ini adalah tergantung pemahaman penyelenggara negara dan pemerintah terhadap
konsep negara hukum menurut paradigma UUD 1945.

Supremasi Hukum dalam konsep negara hukum “pancasila”

Berbicara tentang supremasi hukum, kita harus berbicara tentang masyarakat dimana hukum itu
berlaku baik yang disebut masyarakat nasional maupun internasional.

Supremasi hukum didalam masyarakat nasional kita karena didalamnya ada aturan yang disebut
hukum. Secara sederhana kita dapat mendefinisikan hukum sebagai aturan tentang tingkah laku
manusia dimasyarakat tertentu.

Aturan yang disebut hukum tadi akan terkait dengan tindakan manusia atau tingkah laku
manusia didalam suatu masyarakat nasional yang mempunyai berbagai macam aspek atau
bidang, didalamnya ada bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosial, bidang budaya,
pendidikan dan juga keamanan.

Didalam berbagai bidang itulah manusia melakukan tingkah laku dan manusia satu dengan yang
lain melakukan interaksi dan interaksi itu berjalan secara tertib, maka dibutuhkan aturan yang
disebut hukum.

Oleh karena itu ketika kita akan berbicara tentang supremasi hukum maka timbul beberapa
pertanyaan yang perlu mendapat jawaban secara jelas yaitu apa dimaksud dengan supremasi
hukum, untuk apa supremasi hukum itu ditegakkan dan bagaimana caranya supremasi hukum itu
bisa diwujudkan.

17
Tetapi kita pertanyaan tadi dialam kehidupan masyarakat nasional pada akhirnya bermuara
kepada apa yang disebut terwujudnya negara hukum.

Ketika kita berbicara tentang negara hukum yang disebut supremasi hukum itu tentu saja tidak
akan lepas dari konsepsi dasar yang dipakai sebagai landasan untuk menciptakan sebuah negara
nasional yang pada tataran kenegaraan dan hukum tertinggi disebut konstitusi atau Undang-
undang dasar.

Ini merupakan dasar yang bersifat universal yang berlaku pada tiap-tiap negara. Oleh karena itu
ketika kita harus berbicara secara kongkrit tentang supremasi hukum di Indonesia pada
umumnya dan khususnya Kalimantan Barat pada khususnya, kita tidak bisa lain kecuali kembali
harus melihat kembali kepada konstitusi atau UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang
berlaku seluruh republik Indonesia.

Jika berbicara dalam tataran koridor konstitusional, maka persoalan supremasi hukum yang
hanya mungkin terwujud didalam sebuah masyarakat nasional yang disebut negara hukum
konstitusional, yaitu suatu negara dimana setiap tindakan dari penyelenggara negara :
pemerintah dan segenap alat perlengkapan negara di pusat dan didaerah terhadap rakyatnya
harus berdasarkan atas hukum-hukum yang berlaku yang ditentukan oleh rakyat / wakilnya
didalam badan perwakilan rakyat.

Dan dalam wacana politik modern, maka dalam paktek negara demokrasi dengan sendirinya
negara hukum. Sesuai prinsip kedaulatan rakyat yang ada, didalam negara demokrasi hukum
dibuat untuk melindungi hak-hak azasi manusia warga negara, melindungi mereka dari tindakan
diluar ketentuan hukum dan untuk mewujudkan tertib sosial dan kepastian hukum serta keadilan
sehingga proses politik berjalan secara damai sesuai koridor hukum/konstitusional.

UUD 1945 sebenarnya telah mempunyai ukuran-ukuran dasar yang bisa dipakai untuk
mewujudkan negara hukum dimana supremasi hukum akan diwujudkan.

Kalau kita pelajari UUD 1945 dengan seksama ada sebuah kalimat dalam kaitan dengan apa
disebut negara hukum yang secara jelas disebutkan bahwa “Indonesia adalah negara berdasar
atas negara hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka” ini sebenarnya Grundnorm yang telah
diberikan oleh Fonding father yang membangun negara ini.

Bagaimana kita akan menyusun negara hukum, bagaimana negara hukum itu akan diarahkan,
dalam arti untuk apa kita wujudkan negara hukum ini, sekaligus dituntut untuk menegakkan
hukum sebagai salah satu piranti yang bisa dipergunakan secara tepat didalam mewujudkan
keinginan atau cita-cita bangsa.

18
Formula UUD 1945 tersebut mengandung pengertian dasar bahwa didalam negara yang
dibangun oleh rakyat Indonesia ini sebenarnya diakui adanya dua faktor yang terkait dalam
mwujudkan negara hukum, yaitu satu factor hukum dan yang kedua factor kekuasaan.

Artinya hukum tidak bisa ditegakkan inkonkreto dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat tanpa adanya kekuasaan dan dimanesfestasikan pada adanya apa yang UUD
disebut. Kata penyelenggara negara di bidang Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.

Sebaliknya pembentukan kekuasaan dan penggunaan kekuasaan sama sekali tidak boleh
meninggalkan factor hukum tersebut oleh karena hukum yang berupa Grundnorm dalam UUD
1945 ini memberikan dasar terhadap terbentuknya kekuasaan yaitu kedaulatan rakyat.

Artinya rakyat yang berdaulat bukan negara yang berdaulat dan hukum juga memberikan dasar
terhadap penggunaan kekuasaan tersebut hingga penggunaan kekuasaan yang ada pada negara
tidak boleh diterapkan semena-mena tanpa ada dasar hukumnya yang jelas.

Dengan demikian maka kekuasaan yang ada pada negara pada saat diterapkan harus
menghormati kewenangan-kewenangan yang sifat terbatas diberikan kepada aparat negara.
Begitu juga hukumlah yang menentukan arah kemana kekuasaan negara itu dipergunakan dan
menentukan tujuan-tujuan apa yang hendak dicapai dengan menggunakan kekuasaan tersebut.

Yang idak boleh dilupakan adalah bahwa hukum tidak hanya memberi dasar, tidak hanya
memberi arah, tidak hanya menentukan tujuan, tetapi hukum juga menentukan cara atau
prosedur bagaimana kekuasaan itu diterapkan didalam praktek penyelenggaraan negara.

Dengan demikian dua factor hukum dan kekuasaan, tidak bisa dilepaskan satu sama lain,
bagaikan lokomotif dan relnya serta gerbong yang ditarik lokomotif. Artinya hukum tidak bisa
ditegakkan bahkan lumpuh tanpa adanya dukungan kekuasaan.

Sebaliknya kekuasaan sama sekali tidak boleh meninggalkan hukum, oleh karena apabila
kekuasaan dibangun dan tanpa mengindahkan hukum, yang terjadi adalah satu negara yang
otoriter.

Fungsi kekuasaan pada hakekatnya adalah memberikan dinamika terhadap kehidupan hukum
dan kenegaraan sesuai norma-norma dasar atau grundnorm yang dituangkan dalam UUD 1945
dan kemudian dielaborasi lebih lanjut secara betul dalam hirarki perundang-undangan yang
jelas.

19
Jika dipahami dengan benar pemahaman dan norma ini sebenarnya secara konsepsional
Indonesia memiliki landasan yang kuat untuk mewujudkan negara hukum konstitusional yang
demokratis dan dengan dengan demikian secara konsepsiaonal supremasi hukum telah dijamin
eksistensinya oleh UUD 1945.

Artinya secara implementasi pemecahan-pemecahan segala dibidang politik, ekonomi, sosial,


budaya, pendidikan dan lain-lain menggunakan legal approach dan apabila mau menggunakan
pendekatan kekuasaan itu harus didasarkan atas hukum.

Dan memang setiap transisi dalam demokrasi pasti memiliki masalah khusus. Masalah yang
pokok terutama terkait dengan (1) kultur politik dan juga (2) struktur politik. Demokrasi
memerlukan adanya kultur dan struktur yang mendukung proses-proses demokratisasi. Dua hal
ini biasanya belum terbentuk dengan baik dalam masyarkat transisi, seperti Indonesia saat ini,
atau Kal-Bar khusus saat ini.

Di Indonesia, pasca orde baru, belum ada kultur demokrasi yang kuat (misalnya tradisi berbeda
pendapat, toleransi, dialog terbuka, tradisi melakukan advokasi, prilaku yang menjunjung hukum
dan moral religius dalam menghadapi persoalan secara jernih). Struktur politik yang ada saat ini
juga belum cukup demokratis, karena diperlukan adanya perubahan structural yang harus
diawali dengan perubahan atau amandemen UUD 1945 dan atau produk-produk hukum yang
bertipe represif, ke arah otonom, dan bertipe responsive.

Dengan dmkian demokrasi modern selalu hadir dalam wadah negara hukum, sehingga sering
disebut sebagai negara hukum konstitusional. Ciri yang mendasar dari demokrasi kontitusional
yang demokratis adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang
terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga
negaranya.

Pembatasan-pembatasan atas kekuasan pemerintah tercantum dalam konstitusi, sehingga sering


disbut “pemerintah berdasar atas konsttusi” (constitutional goverment), yang juga sama dengan
limited government atau restrained government.

20
Kemudian dimana letak kaitan pancasila sebagai ideology dengan supremasi hukum ?
Supremasi hukum baru dapat ditegakkan apabilapara penyeleggara negara berprilaku democrat,
egaliter dan manusiawi yang dijiawai oleh nilai-nilai ideology pancasila, artinya letak persoalan
pokoknya belum tegaknya supremasi hukum bukan pada konsepsi negara hukumnya, bukan
konsepsi dasar ideology negara pancasila yang tidak bisa memenuhi tantangan jaman, tetapi
terletak pada praktek penyelenggara negara disemua bidang yang telah meninggalkan unsur-
unsur iotanamkan oleh UUD 1945, yaitu semangat penyelenggara negara.

Terutama butir 4 dari pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam pembukaanUUD 1945 yang
mengandung isi yang mewajibkan kepada pemerintah dan lain-lain penyeleggara negara untuk
budi pekerti kemanusiaan yang luhur dengan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur,
yang digali berdasarkan nilai-nilai ketuhan yang maha esa (moral religius), nilai-nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab (harkat dan martabat manusia dan hakhak azasi manusia),
nilai-nilai persatuan dan kesatuan, nilai-nilai kerakyatan dan prisip musyawarah mufakat, prinsip
perwakilan, dan nilai-nilai keadilan kebenaran untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

21
UNDANG-UNDANG POLITIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM

Cita-cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD


1945 meliputi cita-cita politik dalam dan luar negeri. Cita-cita kemerdekaan dikemukakan
dengan rumusan “supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka dengan ini rakyat
Indonesia menyatakan kemerdekaannya”.

Cita-cita persatuan dan kesatuan dapat diungkapkan dalam rumusan “melindungi


segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Dalam politik luar negeri cita-
cita Bangsa Indonesia dirumuskan dengan kata-kata “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Sedangkan cita-cita dalam
bidang kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan dikemukakan dalam rumusan kata-kata” untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Partai politik sesungguhnya merupakan wahana dan sarana yang ampuh dalam
mengembangkan demokrasi. Demokrasi yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia adalah
demokrasi yang berdasarkan pada Pancasila. Hal itu berarti bahwa demokrasi yang harus
dikembangkan adalah demokrasi yang sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia. Asas
demokrasi yang dicita-citakan itu terkandung dalam sila Keempat Pancasila yang berbunyi
“kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”,
sedangkan dasarnya dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
           
II
Perbincangan atau diskursus tentang undang-undang politik baru dalam perspektif hukum dapat
dikaji dengan mempergunakan pendekatan konstitusi sebagai sumber utama hukum tata negara.
Hal ini dapat dipahami karena cabang hukum tata negara adalah cabang ilmu hukum yang sangat
dekat kaitannya dengan masalah-masalah politik. Konstitusi dapat diartikan sebagai sekumpulan
peraturan yang isinya mengenai ketentuan-ketentuan dasar yang mengatur sistem ketatanegaraan
suatu negara.

Dalam praktek ketatanegaraan atau praktek politik, konstitusi belum tentu dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan atau jiwa (semangat) konstitusi itu sendiri.
Ketidak sesuaian antara ketentuan atau isi konstitusi dengan praktek ketatanegaraan
seringkali mendatangkan ketidakstabilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam ajaran ilmu hukum sebuah konstitusi dipandang sebagai perjanjian masyarakat
yang berisikan bahwa masyarakat atau warga negara menentukan arah penguasa. Apabila
pandangan hukumtentang konstitusi sebagaimana dikemukakan tersebut, maka dalam sebuah

22
masyarakat modern tidak dapat tidak warga masyarakat yang tergabung dalam partai politik
menentukan kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah atau eksekutif.
Dengan demikian konstitusi adalah realisasi demokrasi yang di dalamnya juga terjamin
hak-hak asasi manusia dengan kesepakatan bahwa kebebasan penguasa dalam menetapkan
kebijaksanaan umum atau undang-undang ditentukan oleh warga masyarakat.

Dengan ajaran tersebut jelas bahwa pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang digaris
konstitusi pada hakekatnya adalah pelanggaran terhadap kehendak rakyat.

III

Konstitusi negara Indonesia UUD 1945 yang merupakan sumber hukum tertinggi dalam
hirarkhi perundang-undangan Indonesia memuat ketentuan-ketentuan tentang ketatanegaraan
Indonesia secara ringkas dengan rumusan pasal-pasal yang sederhana. Bagi warga negara
Indonesia generasi sekarang dan kemudian mungkin tidak mudah untuk menangkap apa makna,
jiwa dan semangat yang terkandung dibalik kesederhanaan rumusan pasal-pasalnya.

Dalam kaitannya dengan undang-undang politik, kesederhanaan sususan dan rumusan


pasal-pasal UUD 1945 dapat kita temukan misalnya dalam bunyi pasal 1 ayat (2) bila
dihubungkan dengan bunyi pasal 2 ayat (1), pasal 5 ayat (1) dan pasal 28.
Pasal 1 ayat (2) menyatakan : “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Pasal 2 ayat (1) menyatakan : “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan ditetapkan dengan undang-undang”
Pasal 5 ayat (1) menyatakan; “ Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-
undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 28 menyatakan; “ Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Rangkaian keempat pasal tersebut menunjukkan bahwa Presiden dan DPR berdasarkan
pasal 5 ayat (1) dapat membuat undang-undang politik yakni:
1.  Undang-undang tentang Pemilu sebagai penjabaran dari pasal 1 (2) UUD 1945
2.  Undang-undang tentang Susduk Anggota MPR, DPR dan DPRD sebagai penjabaran dari
pasal 2 (1) UUD 1945
3.  Undang-undang tentang Partai Politik sebagai penjabaran dari pasal 28 UUD 1945

23
Sekalipun Presiden dan DPR dapat membuat produk hukum yang dinamakan undang-
undang, namun jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan keempat
pasal tersebut harus tertuang di dalamnya, yakni:
a.   Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara.
b.   Kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR
c.   Produk hukum apapun yang dihasilkan oleh Presiden maupun bersama lembaga lain,
kekuatannya berada di bawah MPR.
Berdasarkan jiwa dan semangat tersebut, apapun produk hukum dalam bentuk undang-
undang termasuk undang-undang politik, wajib tunduk pada jiwa dan semangat tersebut.

Atas landasan berpikir tersebut, berikut ini akan kita kaji sistem politik yang berlaku
saat ini. Untuk keperluan tersebut, lebih dahulu kita pertanyakan sudahkah sistem politik yang
berlaku pada Orde reformasi sekarang ini semangat kedaulatan rakyat telah diatur dan
dituangkan sepenuhnya dalam tiga undang-undang politik yang baru, yakni:
a.   Undang-undang tentang partai politik (UU No:2/1999)
b.   Undang-undang tentang Pemilu (UU No:3/1999)
c.   Undang-undang tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD (UU No.4/1999)

Sebagaimana kita pahami ketiga Undang-undang politik tersebut merupakan revisi


keseluruhan ketentuan di bidang politik pada masa Orba yang dianggap telah memberikan
konstribusi terhadap hilangnya jiwa dan semangat kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan
oleh konstitusi. Ketiga undang-undang politik yang baru itu merupakan program politik
pemerintah Habibie dalam rangka mengahadapi pemilu yang akan diselenggarakan pada bulan
Juni 1999.

Namun begitu menambah apa yang dipertanyakan di atas, persoalan relevan untuk
dikemukakan adalah; cukup memadaikahkeseluruhan aturan perundangan tersebut bagi
pelaksanaan demokrasi dimasa depan ? Apa dampaknya bagi kehidupan politik nasional,
khususnya yang menyangkut hubungan antara negara dan masyarakat, serta perkembangan
partai politik dan lembaga perwakilan rakyat kita ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas
memerlukan jawaban lebih lanjut.

24
IV

Reformasi politik yang digulirkan telah memberikan ruang publik yang luas kepada
rakyat, hal ini ditandai dengan munculnya sistem kepartaian yang pluralistik dan kompetitif.
Sebelumnya sistem kepartaian di Indonesia diatur dalam UU No.3/1985 tentang Partai Politik
dan Golongan Karya.

Sejak awal peluncurannya, UU No.3/1985 banyak mengundang protes. Protes pertama


berakar dari persoalan fusi dan pembatasan partai dan protes kedua sekitar debat mengenai asas
tunggal. Undang-undang tersebut sepanjang waktu dapat dikatakan tidak pernahsepi dari
gugatan, bahkan selalu dijadikan target perubahan oleh pelbagaigerakan prodemokrasi di
Indonesia. Bersama dengan UU pemilu, UU Susunan kedudukan DPR/MPR, dan UU
keormasan, UU tersebut disebut sebagai paket “UU Politik” yang harus segera dicabut dan
direvisi.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, kehadiran partai politik mutlak diperlukan sebagai
penghubung antara rakyat dan pemerintah, menjadi penampung dan penyalur aspirasi rakyat.
Selain sebagai sarana untuk meraih kekuasaan politik, partai yang saling bersaing lewat
pemilihan umum misalnya dapat mendorong dan meningkatkan partisipasi politik rakyat.

Dari aspek konstitusional, kebebasan setiap warga negara untuk berkumpul, berserikat
dan menyatakan pendapat secara eksplisit dijamin oleh pasal 28 UUD 1945. Secara implisit
pasal 28 UUD 1945 juga memberi isyarat akan kemajemukan masyarakat Indonesia.

Sesuai dengan tuntutan demokrasi sebagaimana dikemukakan diatas Partai Politik


adalah penyalur aspirasi rakyat dan merupakan suatu lembaga otonom dan mandiri serta
memiliki peran yang nyata. Ini menuntut negara agar memberikan kesempatan yang sama
kepada semua warga negara untuk berafiliasi ke dalam partai politik yang diyakininya.

Pada masa Orde Baru, terutama sejak diberlakukannya Pancasila sebagai satu-satunya
asas, serta penataan sistem kepartaian melalui kebijakan fusi yang menciutkan jumlah parpol
hanya menjadi tiga organisasi sosial politik (PPP, PDI dan Golkar), hal ini jelas tidak
dimungkinkan. Ketiga Orsospol tersebut hanya berperan sebagai mesin politik para elite dalam
setiap pemilihan umum.

Selama ini kesalahan partai politik yang paling utama adalah tidak menyadari bahwa
secara konstitusional pihak eksekutif di Indonesia sangat dominan. Mereka cenderung terlalu
percaya pada demokrasi, bahkan menganggap demokrasi itu sendiri sebagai tujuan. Kepercayaan

25
yang berlebihan ini yang menyebabkan partai politik kurang peka terhadap perubahan konstelasi
politik di Indonesia.

Seiring dengan tuntutan reformasi politik saat ini, hak dan kedaulatan rakyat harus
dikedepankan kembali. Untuk itu, partai politik selayaknya dibiarkan tumbuh dan berkembang
secara wajar, dibiarkan memiliki otonomi dan kemandirian, serta diberi ruang gerak untuk dapat
menjalankan perannya secara optimal. Tidak pada yempatnya jika parpol ditekan dan dibatasi
ruang geraknya, apalagi dicampuri urusan internalnya.

Atas dasar pemikiran tersebut di atas, tidak dapat tidak perlu perbaikan atas materi
undang-undang partai politik. Karena itu pula pada tanggal 28 Januari 1999 DPR dalam sidang
paripurnanya telah menyetujui tiga rancangan undang-undang yang diajukan oleh Pemerintah,
salah satu diantaranya adalah undang-undang partai politik, yakni UU Nomor 2/1999.
Undang-undang Nomor 2/1999 tersebut terdiri dari 9 Bab, 22 pasal  Beberapa hal yang
perlu dikedepankan untuk mengkaji apakah UU Nomor 2/1999 telah sesuai dengan tuntutan
reformasi dan prinsip kedaulatan rakyat adalah menyangkut antara lain hal-hal sebagai berikut :
a.     Tidak membedakan antara Golkar dan partai politik
b.     Asa partai politik
c.     Keanggotaan dan kepengurusan partai politik
d.     Pembekuan atau pembubaran partai melalui putusan pengadilan
e.     Kepengurusan partai politik boleh sampai ke daerah administrasi terkecil, yaitu desa.
f.       Pembiayaan
g.     Jumlah partai

26

You might also like