Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Usaha pembaharuan hukum pidana sampai saat ini terus dilakukan, dengan
satu tujuan utama yakni menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk
wetboek van strafrecht voor nederlands indie 1915 yang merupakan turunan dari
hukum pidana yakni tentang perbuatan yang yang dilarang, orang yang melakukan
perbuatan yang dilarang dan pidana. dalam hal yang terakhir ini, yakni masalah
pidana, terdapat suatu masalah yang dewasa ini secara universal terus dicarikan
baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat di pelbagai
dalam hukum pidana berupa lembaga pidana ini, tidak akan terlepas dari pengaruh
kecenderungan ini, harus pula diusahakan adanya pemikiran tentang kerangka teori
tentang tujuan pemidanaan yang benar-benar seusai dengan filsafat kehidupan bangsa
Indonesia yang bersendikan pancasila dan undang-undang dasar 1945, yakni yang
menguji sampai berapa jauh suatu lembaga pidana mempunyai daya guna, yang
dalam hal ini ditentukan oleh kemampuan lembaga pidana tersebut untuk memenuhi
yang bersifat universal, maupun sistem nilai yang berlaku di dalam masyarakat
Indonesia sendiri.1
1
Prof. Muladi, lembaga pidana bersyarat, 1-6
Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana dapat
dirumuskan :
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah
dipidana
Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering
pidana penjara sebagai sarana untuk menghukum para pelaku tindak pidana baru
dimulai pada akhir abad ke-18 yang bersumber pada faham individualisme dan
penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang kejam (Barda
Nawawi Arief, 1996 : 42). sebagai catatan, dari seluruh ketentuan KUHP memuat
perumusan delik kejahatan, yaitu sejumlah 587, pidana penjara tercantum di dalam
575 perumusan delik, baik dirumuskan secara tunggal maupun secara alternatif
dengan jenis-jenis pidana lain (Barda Nawawi Arief : 69,70). ketentuan tersebut
masih ditambah lagi/belum termasuk dengan perumusan sanksi pidana penjara di luar
2
Romli Atmasasmita, sistem peradilan pidana kontemporer, hlm.3
Atas dasar tersebut maka pidana penjara yang merupakan primadona dalam
sistem sanksi pidana yang paling sering dijatuhkan oleh hakim dalam memutus
perkara, perlu pula dilakukan pembaharuan terhadap jenis sanksi pidana penjara.
Menurut Mulder bahwa “politik hukum pidana harus selalu memperhatikan masalah
dia adalah sementara. terpidana akhirnya tetap di antara kita (Barda Nawawi Arief,
2002 : 56,57).
undang No. 12 tahun 1995, hal ini merupakan pelaksanaan pidana penjara, yang
merupakan perubahan ide secara yuridis filosofis dari sistem kepenjaraan menjadi
balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “rumah penjara” secara
berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan
kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali
mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga
telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari empat puluh tahun
adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan
Pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat
aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
B. Identifikasi masalah
3
Prof. Dr. Dwidja Priyatno, sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia, 2-3
BAB II
PEMASYARAKATAN
Apa yang dewasa ini disebut sebagai lembaga pemasyarakatan itu sebenarnya
adalah suatu lembaga yang dahulu juga dikenal sebagai rumah penjara, yakni tempat
di mana orang-orang yang telah dijatuhi dengan pidana-pidana tertentu oleh hakim itu
Sesuai gagasan Dr. Sahardjo S.H., yang pada waktu itu menjabat sebagai
menteri kehakiman, sebutan rumah penjara di Indonesia sejak bulan april 1964 telah
Juga telah dijelaskan bahwa pemberian sebutan yang baru kepada rumah
melainkan juga untuk membina atau mendidik orang-orang terpidana, agar mereka itu
Dr. Sahardjo S.H., dalam pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causanya dalam
ilmu hukum dari universitas Indonesia pada tanggal 5 juli 1963, yakni di dalam
pidatonya antara lain telah mengemukakan rumusan mengenai tujuan dari pidana
penjara yaitu :
anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. atau dengan perkataan lain,
disusunlah suatu pernyataan tentang hari lahir pemasyarakatan RI pada hari senin
direktorat jendral bina tuna warga tahun 1976 menandaskan kembali prinsip-prinsip
dalam konferensi lembaga tahun 1964 yang terdiri atas sepuluh rumusan.
4
Prof. Lamintang, hukum penitensier Indonesia, 167-168
2. penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari
Negara
dengan bimbingan
pembangunan Negara.
Menyadari hal itu maka telah sejak lama sistem pemasyarakatan Indonesia
lebih ditekankan pada aspek pembinaan narapidana, anak didik pemasyarakatan, atau
klien pemasyarakatan yang mempunyai cirri-ciri preventif, kuratif, rehabilitative, dan
edukatif.
berbagai perangkat hukum yang secara formal melandasinya masih berasal dari masa
hindia-belanda yang lebih merupakan sistem dan ciri kepenjaraan. oleh karena itu,
sejak lebih dari tiga puluh tahun yang dikenal dan dinamakan sistem
pemsyarakatan.
sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem pemenjaraan. Sistem
penjara bagi narapidana dan rumah pendidikan Negara bagi anak yang
bersalah.
balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “rumah penjara”
secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak
bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem
disebut rumah penjara dan rumah pendidikan Negara berubah menjadi lembaga
kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat
yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas
menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-
nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang
Anak Negara, dan Anak Sipil. Perbedaan status anak tersebut menjadi dasar
Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi
Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari
Klien Pemasyarakatan berhak mendapat pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin
hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik
keluarga maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak maupun
Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap Unit Pelaksana Teknis dan berbagai sarana
penunjang lainnya.
Untuk menggantikan ketentuan-ketentuan lama dan peraturan perundang-
undangan yang masih mendasarkan pada sistem kepenjaraan dan untuk mengatur hal-
hal baru yang dinilai lebih sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu :
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata
peradilan pidana.
aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
pemasyarakatan.
4. Balai pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata
LAPAS
c. Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau
memperbaiki diri, dan tidka mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab (pasal 2 UU
agar dapat berinteraksi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan
anggota masyarakat yang bebas dan bertangung jawab (pasal 3 UU No.12 tahun
1995). Yang dimaksud dengan “berintegrasi secara sehat” adalah pemulihan kesatuan
BAB III
KASUS POSISI
Dengan asumsi bahwa kapasitas Lapas/Rutan tetap sama dengan kondisi
dalam tahun 2001, selama tahun 1994 s/d 1998 rata-rata jumlah penghuni (tahanan,
narapidana, dan anak didik) masih berada di bawah toleransi kapasitas dan rutan di
seluruh Indonesia, sedangkan pada tahun 1999 s/d 2001 sudah melampaui batas
toleransi kapasitas.
tahun terakhir jumlah hunian mendekati kapasitas yang tersedia, tercatat tingkat
hunian pada Lapas dan rutan dibandingkan dengan total kapasitas pada tahun 1999
sebesar 86,17 persen menurun pada tahun 2000 sebesar 84,05 persen dan pada tahun
2001 mencapai 92,06 persen. Kondisi ini pada bulan-bulan tertentu atau pada UPT
Walaupun dari segi penyebarannya ada beberapa Lapas dan Rutan yang
belum melebihi kapasitas, namun pada umumnya (sebagian besar) Lapas dan Rutan
jumlahnya melebihi kapasitas, kondisi ini secara jangka pendek dapat diimbangi
dengan melaksanakan pemindahan isi Lapas atau Rutan yang melebihi kapasitas ke
Rutan atau Lapas yang isinya berada di bawah kapasitas dengan tetap memperhatikan
kepentingan pembinaan dan keamanan serta klasifikasi kegiatan kerja pada Lapas
Penuruan angka residivis pada tahun 1994 s/d 1996 yang mencapai 5,61
persen, selama tahun 1997 s/d 1999 terjadi kenaikan mencapai 6,63 persen. Pada
tahun 2000 terjadi penurunan sebesar 5,27 persen dan 2,84 persen pada tahun 2001.
salah satu aspek pada sistem pemasyarakatan. Tingkat kenaikan dan penurunan
prosentase pelarian narapidana dan tahanan dari tahun ke tahun terjadi peningkatan
dan puncaknya terjadi pada tahun 1999 dengan prosentase pelarian sebesar 3,00
persen, menurun pada tahun 2000 dan menjadi 0,54 persen pada tahun 2001.
narapidana pada tahun 2001 sebesar 30,35 persen dibandingkan dengan tahun 2000
melibatkan 1.690 orang penghuni secara umum dapat disebabkan antara lain :
pemasyarakatan.
pembinaan narapidana.
minimum pengamanan.6
BAB IV
PEMBAHASAN
6
Ibid, hlm. 120, 125, 127, 128
A. Efektivitas Pidana Penjara dalam proses resosialisasi dan reintegrasi
Efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan
kembal nilai-nilai yang ada dalam masyarakat). sedangkan yang dimaksud dengan
aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan yaitu antara lain melakukan
pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau
mengurangi kejahatan. jadi, karena efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi
kejahatan dapat ditekan. dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh
efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah
pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dari pidana. jadi, ukurannya
terletak pada masalah seberapa jauh masalah itu (penjara) mempunyai pengaruh
terhadap si pelaku atau terpidana. ada dua aspek pengaruh pidana terhadap
(reformative aspect).
pidana adalah efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode
perbandingan antara jumlah pelanggar yang dipidana kembali dan yang tidak
dipidana kembali.
dengan maslah perubahan sikap dari terpidana. seberapa jauh pidan penjara dapat
mengubah sikap terpidana, masih merupakan masalah yang masih belum dapat
mengenai :
a. apakah ukuran untuk menentukan telah adanya “tanda-tanda
perbaikan atau adanya perubahan sikap pada diri si pelaku; ukuran recidivism
penjara.
pasti apakah pidana penjara itu efektif atau tidak. terlebih masalah efektivitas pidana
sebenarnya berkaitan dengan banyak factor (Barda Nawawi Arief, 2002 : 225, 229,
230).
Rotterdam, pada tahun 1964. Arah pemikiran Hulsman yang secara eksplisit memiliki
perspektif tampak nyata dalam sebuah pidato wisudanya, Handhaving van Recht (The
kemanusiaan yang dipandangnya dapat dikikis oleh keadilan yang dicapai melalui
dipandang sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan pencegahan dan
dihapuskan seluruhnya karena menurutnya bahwa secara logika sistem ini tidak akan
dapat menjadi sarana yang manusiawi dan peka dalam menghadapi kejahatan.
bahwa sistem peradilan pidana mengandung masalah dan paham ini tidak yakin
cacat structural yang tidak dapat diperbaiki. Satu-satunya cara yang dianggap realistic
dan paling baik ialah dengan mengubah dasar-dasar struktur sistem tersebut.
pidana dipandang sebagai masalah social. Ada empat pertimbangan yang melandasi
mendasar.
kejahatan; hal ini berarti terjadi pembatasan kemerdekaan terhadap pelaku tersebut
dan mereka dipisahkan atau diasingkan dari masyarakat lingkungannya. Lebih dari
itu, mereka dan keluarganya sudah dikenai stigma dan direndahkan martabatnya
mulai dari tujuan memberikan pembalasan dan melindungi masyarakat, sampai tujuan
yang bersifat rehabilitative dan sosialisasi. Akan tetapi semua tujuan tersebut tidak
pernah dapat dicapai secara optimal karena masing-masing tujuan memiliki berbagai
kelemahan yang ternyata sangat menonjol dan banyak memperoleh kritik tajam
dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai dari tujuan pemidanaan tersebut.
dalam mekanisme kerja sistem peradilan pidana ini, pelaku kejahatan tidak
pernah diikutsertakan sehingga pada gilirannya mereka tidak dapat ikut menentukan
tujuan akhir dari pidan yang telah diterimanya. Bahkan para korban kejahatan juga
kesempatan” dari konflik antara para pihak dan diwujudkan ke dalam dua pihak,
memiliki kewenangan yang berbeda satu sama lain dalam menangani mekanisme
kerja sistem peradilan pidana yang sering merugikan hak asasitersangka pelaku
kejahatan.
kejahatan dan proses sseorang memperoleh pidana kurang tepat dan tidak layak.
Sedangkan menurut Hulsman, konsep kejahatan dan pidana berkaitan erat satu sama
lain sehingga tidak mudah menetapkan apa yang merupakan batasan kejahatan dan
pidana. selain itu, keahatan merupakan konsep yang kompleks dan tidak sekedar
hanya menetapkan apa yang benar dan tidak benar, apa yang salah dan tidak salah.
multivarian.
Selama ini menurut Hulsman terjadi kesalahan persepsi tentang pidana dan
yang erat tidak selalu berarti jika ada kejahatan (dan juga penjahat) harus selalu ada
pidana sehingga dalam konteks inilah tampak bahwa sistem peradilan pidana tidak
luwes dan tidak kreatif dalam menemukan bentuk lain dari pengendalian social
(social control).
secara baik terkesan lebih baik bergantung pada birokrasi dan para ahli
dan aman.
kritik terhadap pidana penjara pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian yaitu
Strafmodus melihat dari sudut pelaksanaan pidana penjara; jadi dari sudut
selektif.
mei 1983 di Toronto Kanada, yang kedua pada tanggal 24-27 juni 1985 di
Amsterdam dan ketiga pada tahun 1987 di montreal, Kanada. Pada konferensi
ketiga ini istilah “prison abolition” telah diubah menjadi “penal abolition”.
Narapidana
Sehubungan dengan tujuan hukum pada umumnya ialah tercapainya
Kerugian itu berarti ada korbannya. Perlu diingat bahwa korban dari perbuatan itu
tidak hanya orang lain selain si pembuat, akan tetap i dapat pula si pembuat sendiri.
Korban ini dapat tampak dengan jelas, misalnya pada pembunuhan, pencurian,
pembakaran, pemberontakan dan sebagainya. Namun dapat pula korban itu tidak
oleh pabrik-pabrik besar, iklan yang sangat merangsang untuk membeli, pengambilan
penggunaan narkotika, hubungan seks di luar perkawinan, dan sebagainya. yang jelas
ialah bahwa perbuatan yang tidak merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai
perbuatan yang tidak dikehendaki. Sebaliknya tidak semua perbuatan yang merugikan
Tim perancang konsep rancangan KUHP 2004 telah sepakat bahwa tujuan
pemidanaan adalah :
8
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Hlm. 37
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
RKUHP 2004).
Sedangkan dalam pasal 51 ayat (2) konsep rancangan KUHP tersebut di atas
pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum Proses ini berjalan, peranan hakim
penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan
tertentu.
Ketentuan dalam pasal ini memuat tujuan ganda yang hendak dicapai melalui
dalam masyarakat. Tujuan ketiga sejalan dengan pandangan hukum adat dalam arti
“reaksi adat” itu dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan (magis) yang
terganggu oleh perbuatan yang berlawanan dengan hukum adat. Jadi pidana yang
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Tujuan yang keempat bersifat spiritual
terselenggaranya sistem peradilan pidana (criminal justice system ) yang baik, maka
perlu dibuat suatu pedoman pemidanaan yang lengkap dan jelas. Pedoman ini sangat
berguna bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara dan mempunyai dasar
pertimbangan yang cukup rasional. Maka sehubungan dengan hal tersebut di atas
dalam konsep rancangan KUHP 2004 pasal 52 terdapat pedoman pemidanaan yang
Akibat negative itu antara lain terampasnya juga kehidupan seksual yang normal dari
kemerdekaan berusaha dari orang itu yang dapat mempunyai akibat seirus bagi
memberikan stigma yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak lagi
melakukan kejahatan. Akibat lain yang juga sering disoroti ialah bahwa pengalaman
penjara dapat menyebabkan terjadinya degradasi atau penurunan derajat dan harga
Jika dipandang dari sudut kasus posisi di atas di mana tingkat residivisme,
Rutan jelas terlihat bahwa sistem pemasyarakatan sebenarnya (walaupun tidak bisa
dikatakan gagal) belum mampu menjalankan apa yang menjadi cita-cita dan tujuan
meninggal dunia dengan cara tidak wajar justru di dalam Lembaga pemasyarakatan
9
Dwidja Priyatno, sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia, 28,71,72
yang seharusnya menjadi pengayom bagi narapidana yang ada di dalamnya, jual beli
narkoba di dalam lapas, praktek perjudian, praktek suap agar mendapat fasilitas yang
lebih dari narapidana lain, atau paket tur ke bali dengan bonus rambut palsu sudah
bukan rahasia lagi bagi masyarakat sekarang ini. membuat kita berpikir apakah
yang menjadi “guru yang baik” bagi sebagian besar narapidana yang begitu keluar
merehabilitasi diri narapidana agar kembali menjadi warga yang baik dan
bertanggung jawab.
menunaikan ibadah.
memperbaikinya.
masyarakat menjadi sarana yang tepat bagi narapidana untuk kembali ke masyarakat
tanpa adanya ketakutan akan stigmatisasi yang buruk dari masyarakat. karena tujuan
pemidanaan yang paling baik adalah dengan memasyarakatkan kembali para
narapidana yang tersesat dan minghilangka rasa bersalah pada diri terpidana seperti
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan yang dapat kami tarik dari makalah ini adalah Tujuan
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup
secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab. Namun memang tidak
sistem peradilan pidana khususnya sistem pemasyarakatan, yang tadi sudah kami
pemasyarakatan.
pemasyarakatan.
pembinaan narapidana.
dan tidak musiman, kami yakin lembaga pemasyarakatan dapat merubah stigma
buruk yang mulai mengendap dalam sistem pemasyarakatan khususnya Lapas atau
Rutan.
DAFTAR PUSTAKA
2010.
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984.
B. Peraturan Perundang-undangan