You are on page 1of 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Usaha pembaharuan hukum pidana sampai saat ini terus dilakukan, dengan

satu tujuan utama yakni menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk

menggantikan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial yakni

wetboek van strafrecht voor nederlands indie 1915 yang merupakan turunan dari

wetboek van strafrecht negeri belanda tahun 1886.

Pembaharuan hukum pidana tersebut mau tidak mau akan mencakup

persoalan-persoalan utama yang berkaitan dengan tiga permasalahan pokok di dalam

hukum pidana yakni tentang perbuatan yang yang dilarang, orang yang melakukan

perbuatan yang dilarang dan pidana. dalam hal yang terakhir ini, yakni masalah

pidana, terdapat suatu masalah yang dewasa ini secara universal terus dicarikan

pemecahannya. masalah tersebut adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana

perampasan kemerdekaan, yang dalam pelbagai penelitian terbukti sangat merugikan

baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat di pelbagai

Negara, termasuk Indonesia, terus diusahakan untuk mencari alternatif-alternatif dari

pidana perampasan kemerdekaan, antara lain berupa peningkatan pemidanaan yang

bersifat non-institusional dalam bentuk pidana bersyarat (voorwaardelijke

veroordeling), dan pidana harta (vermogenstraf) misalnya denda.


Pembaharuan hukum pidana yang menyangkut salah satu masalah utama di

dalam hukum pidana berupa lembaga pidana ini, tidak akan terlepas dari pengaruh

perkembangan teori-teori tentang tujuan pemidanaan beserta aliran-aliran di dalam

hukum pidana yang mendasari perkembangan teori-teori tersebut. disamping

kecenderungan ini, harus pula diusahakan adanya pemikiran tentang kerangka teori

tentang tujuan pemidanaan yang benar-benar seusai dengan filsafat kehidupan bangsa

Indonesia yang bersendikan pancasila dan undang-undang dasar 1945, yakni yang

mendasarkan diri atas keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kehidupan

social dan individual.

Perumusan teori tentang tujuan pemidanaan tersebut sangat bermanfaat untuk

menguji sampai berapa jauh suatu lembaga pidana mempunyai daya guna, yang

dalam hal ini ditentukan oleh kemampuan lembaga pidana tersebut untuk memenuhi

pelbagai tujuan pemidanaan yang bersumber pada baik perkembangan teori-teori

yang bersifat universal, maupun sistem nilai yang berlaku di dalam masyarakat

Indonesia sendiri.1

Mardjono mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice

system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

kejahatan. menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada

dalam batas-batas toleransi masyarakat.

1
Prof. Muladi, lembaga pidana bersyarat, 1-6
Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana dapat

dirumuskan :

a. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

b. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga

masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah

dipidana

c. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan

tidak mengulangi lagi kejahatannya.2

Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering

digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan. penggunaan

pidana penjara sebagai sarana untuk menghukum para pelaku tindak pidana baru

dimulai pada akhir abad ke-18 yang bersumber pada faham individualisme dan

gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakin memegang peranan

penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang kejam (Barda

Nawawi Arief, 1996 : 42). sebagai catatan, dari seluruh ketentuan KUHP memuat

perumusan delik kejahatan, yaitu sejumlah 587, pidana penjara tercantum di dalam

575 perumusan delik, baik dirumuskan secara tunggal maupun secara alternatif

dengan jenis-jenis pidana lain (Barda Nawawi Arief : 69,70). ketentuan tersebut

masih ditambah lagi/belum termasuk dengan perumusan sanksi pidana penjara di luar

yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP.

2
Romli Atmasasmita, sistem peradilan pidana kontemporer, hlm.3
Atas dasar tersebut maka pidana penjara yang merupakan primadona dalam

sistem sanksi pidana yang paling sering dijatuhkan oleh hakim dalam memutus

perkara, perlu pula dilakukan pembaharuan terhadap jenis sanksi pidana penjara.

Menurut Mulder bahwa “politik hukum pidana harus selalu memperhatikan masalah

pembaharuan, juga dalam masalah perampasan kemerdekaan. semakin sedikit orang

dirampas kemerdekaannya semakin baik. pandangan terhadap pidana perampasan

kemerdekaan juga dapat berakibat sebagai bumerang…”.

pidana perampasan kemerdekaan mengandung suatu ciri khas, yaitu bahwa

dia adalah sementara. terpidana akhirnya tetap di antara kita (Barda Nawawi Arief,

2002 : 56,57).

Sistem pemasyarakatan yang dianut oleh Indonesia, diatur dalam undang-

undang No. 12 tahun 1995, hal ini merupakan pelaksanaan pidana penjara, yang

merupakan perubahan ide secara yuridis filosofis dari sistem kepenjaraan menjadi

sistem pemasyarakatan. sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur

balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “rumah penjara” secara

berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan

dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari

kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali

menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab bagi diri, keluarga, dan

lingkungannya (penjelasan umum UU pemasyarakatan).


Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan pancasila, pemikiran-pemikiran baru

mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga

merupakan usaha rehabilitasi dan reintegrasi social warga binaan pemasyarakatan

telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari empat puluh tahun

yang dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan. karena sistem pemasyarakatan

adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan

pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara

Pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan

pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi

tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat

aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang

baik dan bertanggungjawab. 3

B. Identifikasi masalah

Dari beberapa uraian di atas kami membatasi masalah menjadi beberapa

identifikasi agar pembahasan tidak melebar, yaitu :

1. Bagaimana efektifitas pidana penjara selama ini dalam proses

resosialisasi dan reintegrasi narapidana?

2. Bagaimana peran lembaga pemasyarakatan dalam proses

resosialisasi dan reintegrasi tersebut.

3
Prof. Dr. Dwidja Priyatno, sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia, 2-3
BAB II

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA

PEMASYARAKATAN

Apa yang dewasa ini disebut sebagai lembaga pemasyarakatan itu sebenarnya

adalah suatu lembaga yang dahulu juga dikenal sebagai rumah penjara, yakni tempat

di mana orang-orang yang telah dijatuhi dengan pidana-pidana tertentu oleh hakim itu

harus menjalankan pidana mereka.

Sesuai gagasan Dr. Sahardjo S.H., yang pada waktu itu menjabat sebagai

menteri kehakiman, sebutan rumah penjara di Indonesia sejak bulan april 1964 telah

diubah menjadi lembaga pemasyarakatan.

Juga telah dijelaskan bahwa pemberian sebutan yang baru kepada rumah

penjara sebagai lembaga pemasyarakatan itu, dapat diduga mempunyai hubungan

yang erat dengan gagasan beliau untuk menjadikan lembaga-lembaga

pemasyarakatan bukan saja sebagai tempat untuk semata-mata memidana orang,

melainkan juga untuk membina atau mendidik orang-orang terpidana, agar mereka itu

setelah selesai menjalankan pidana mereka, mempunyai kemampuan untuk

menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar lembaga pemasyarakatan sebagai warga

Negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku.

Perkataan pemasyarakatan itu sendiri, untuk pertama kalinya telah diucapkan

Dr. Sahardjo S.H., dalam pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causanya dalam
ilmu hukum dari universitas Indonesia pada tanggal 5 juli 1963, yakni di dalam

pidatonya antara lain telah mengemukakan rumusan mengenai tujuan dari pidana

penjara yaitu :

“Di samping menimbulkan rasa derita dari terpidana karena hilangnya

kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik ia menjadi

anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. atau dengan perkataan lain,

tujuan dari pidana penjara itu adalah pemasyarakatan.”4

Amanat presiden RI dalam konferensi dinas menyanpaikan arti penting

terhadap pembaharuan pidana penjara di Indonesia. yaitu merubah nama kepenjaraan

menjadi pemsyarakatan. berdasarkan pertimbangan ini amanat presiden tersebut

disusunlah suatu pernyataan tentang hari lahir pemasyarakatan RI pada hari senin

tanggal 27 april 1964 dan piagam pemasyarakatan Indonesia.

Sambutan menteri kehakiman RI dalam pembukaan rapat kerja terbatas

direktorat jendral bina tuna warga tahun 1976 menandaskan kembali prinsip-prinsip

untuk bimbingan dan pembinaan sistem pemasyarakatan yang sudah dirumuskan

dalam konferensi lembaga tahun 1964 yang terdiri atas sepuluh rumusan.

Prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan itu ialah :

1. orang yang tersesat harus diayomi dengan memberkan bekal

hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.

4
Prof. Lamintang, hukum penitensier Indonesia, 167-168
2. penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari

Negara

3. rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan

dengan bimbingan

4. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk

atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga

5. selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidan harus

dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarkat.

6. pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh

bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga

atau Negara saja, pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk

pembangunan Negara.

7. bimbingan dan pendidikan harus berdasarkan azas pancasila

8. tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai

manusia meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditujukan kepada narapidana

bahwa itu penjahat.

9. narapidana ituhanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.

10. sarana fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah

satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.

Menyadari hal itu maka telah sejak lama sistem pemasyarakatan Indonesia

lebih ditekankan pada aspek pembinaan narapidana, anak didik pemasyarakatan, atau
klien pemasyarakatan yang mempunyai cirri-ciri preventif, kuratif, rehabilitative, dan

edukatif.

Meskipun sistem pemasyarakatan selama ini telah dilaksanakan, tetapi

berbagai perangkat hukum yang secara formal melandasinya masih berasal dari masa

hindia-belanda yang lebih merupakan sistem dan ciri kepenjaraan. oleh karena itu,

praktek pemasyarakatan telah dilaksanakan dengan pemikiran baru dan nilai-nilai

yang terkandung dalam pancasila.5

Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia saat

ini mengacu kepada undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan.

Penjelasan umum undang-undang pemasyarakatan yang merupakan dasar yuridis

filosofis tentang pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia dinyatakan bahwa :

1. Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-

pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar

penjeraan tetapi juga merupakan fungsi rehabilitasi dan reintegrasi social

warga binaan pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan yang

sejak lebih dari tiga puluh tahun yang dikenal dan dinamakan sistem

pemsyarakatan.

2. Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan

(stelsel) pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (pasal 14a KUHP),

pelepasan bersyarat (pasal 15 KUHP), dan pranata khusus penentuan serta


5
Prof. Dr., Dwidja Priyatno, sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia, 97,104.
penghukuman terhdap anak (pasal 45,46,47 KUHP), namun pada dasarnya

sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem pemenjaraan. Sistem

pemenjaraan sangat menekankan pada unsure balas dendam dan penjeraan,

sehingga institusi yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah

penjara bagi narapidana dan rumah pendidikan Negara bagi anak yang

bersalah.

3. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsure

balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “rumah penjara”

secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak

sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi social, agar narapidana

menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak

pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab bagi

diri,keluarga, dan diri.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan

bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem

kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula

disebut rumah penjara dan rumah pendidikan Negara berubah menjadi lembaga

pemasyarakatan berdasarkan instruksi kepala direktorat pemasyarakatan Nomor

J.H.G.8/506 tanggal 17 juni 1964. Sistem Pemasyarakatan merupakan satu rangkaian

kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat

dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.


Narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari

manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan

yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas

adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan Narapidana berbuat hal-hal yang

bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain

yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan

Narapidana atau Anak Pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya

menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-

nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang

aman, tertib, dan damai.

Anak yang bersalah pembinaannya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan

Anak. Penempatan anak yang bersalah ke dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak,

dipisah-pisahkan sesuai dengan status mereka masing-masing yaitu Anak Pidana,

Anak Negara, dan Anak Sipil. Perbedaan status anak tersebut menjadi dasar

pembedaan pembinaan yang dilakukan terhadap mereka.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas

pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas melalui

pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga

Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang

melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan

dalam Undang-undang ini ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum.


Sistem Pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan Warga

Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi

masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan

Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Dalam sistem pemasyarakatan, Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, atau

Klien Pemasyarakatan berhak mendapat pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin

hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik

keluarga maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak maupun

elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan lain sebagainya.

Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga

keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan

maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan

yang telah selesai menjalani pidananya.

Selanjutnya untuk menjamin terselenggaranya hak-hak tersebut, selain

diadakan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang secara langsung melaksanakan

pembinaan, diadakan pula Balai Pertimbangan Pemasyarakatan yang memberi saran

dan pertimbangan kepada Menteri mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan dan

Tim Pengamat Pemasyarakatan yang memberi saran mengenai program pembinaan

Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap Unit Pelaksana Teknis dan berbagai sarana

penunjang lainnya.
Untuk menggantikan ketentuan-ketentuan lama dan peraturan perundang-

undangan yang masih mendasarkan pada sistem kepenjaraan dan untuk mengatur hal-

hal baru yang dinilai lebih sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

maka dibentuklah Undang-undang tentang Pemasyarakatan ini.

Di dalam sistem pemasyarakatan terdapat beberapa istilah yang perlu diperhatikan

yaitu :

1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga

binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara

pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata

peradilan pidana.

2. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas

serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila

yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan

masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar

menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana

sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan

aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang

baik dan bertanggung jawab.

3. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah

tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik

pemasyarakatan.
4. Balai pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata

untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan.

5. Warga binaan pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik

pemasyarakatan, dank lien pemasyarakatan.

6. Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

7. Narapidana adalah terpidana yang menjalani hilang kemerdekaan di

LAPAS

8. Anak didik pemasyarakatan adalah :

a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan

menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18

(delapan belas) tahun

b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan

diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS

anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun

c. Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau

walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS

anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

9. Klien pemasyarakatan yang selanjutnya disebut klien adalah seseorang

yang berada dalam bimbingan BAPAS.


Tujuan diselenggarakannya sistem pemasyarakatan dalam rangka membentuk

warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan

memperbaiki diri, dan tidka mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan

dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab (pasal 2 UU

No.12 tahun 1995).

Yang dimaksud dengan “agar menjadi manusia seutuhnya” adalah upaya

untuk memulihkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada fitrahnya

dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan pribadinya, manusia

dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya (penjelasan pasal 2 UU

No.12 tahun 1995).

Fungsi sistem pemasyarakatan menyiapkan warga binaan pemasyarakatan

agar dapat berinteraksi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan

kembali sebagai anggota masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai

anggota masyarakat yang bebas dan bertangung jawab (pasal 3 UU No.12 tahun

1995). Yang dimaksud dengan “berintegrasi secara sehat” adalah pemulihan kesatuan

hubungan warga binaan pemasyarakatan dengan masyarakat.

BAB III

KASUS POSISI
Dengan asumsi bahwa kapasitas Lapas/Rutan tetap sama dengan kondisi

dalam tahun 2001, selama tahun 1994 s/d 1998 rata-rata jumlah penghuni (tahanan,

narapidana, dan anak didik) masih berada di bawah toleransi kapasitas dan rutan di

seluruh Indonesia, sedangkan pada tahun 1999 s/d 2001 sudah melampaui batas

toleransi kapasitas.

Apabila dibandingkan dengan tingkat hunian, maka pada kondisi beberapa

tahun terakhir jumlah hunian mendekati kapasitas yang tersedia, tercatat tingkat

hunian pada Lapas dan rutan dibandingkan dengan total kapasitas pada tahun 1999

sebesar 86,17 persen menurun pada tahun 2000 sebesar 84,05 persen dan pada tahun

2001 mencapai 92,06 persen. Kondisi ini pada bulan-bulan tertentu atau pada UPT

pemasyarakatan tertentu sudah melampaui tingkat hunian (over capacity).

Walaupun dari segi penyebarannya ada beberapa Lapas dan Rutan yang

belum melebihi kapasitas, namun pada umumnya (sebagian besar) Lapas dan Rutan

jumlahnya melebihi kapasitas, kondisi ini secara jangka pendek dapat diimbangi

dengan melaksanakan pemindahan isi Lapas atau Rutan yang melebihi kapasitas ke

Rutan atau Lapas yang isinya berada di bawah kapasitas dengan tetap memperhatikan

kepentingan pembinaan dan keamanan serta klasifikasi kegiatan kerja pada Lapas

atau Rutan tersebut.


Dengan tingkat kepadatan penghuni akan mengakibatkan pembinaan

narapidana tidak dapat dilaksanakan dengan baik apabila dibandingkan apabila

tingkat kepadatan tidak terlalu besar.

Penuruan angka residivis pada tahun 1994 s/d 1996 yang mencapai 5,61

persen, selama tahun 1997 s/d 1999 terjadi kenaikan mencapai 6,63 persen. Pada

tahun 2000 terjadi penurunan sebesar 5,27 persen dan 2,84 persen pada tahun 2001.

Pendekatan yang secara efektif dapat mencegah dan menanggulangi terjadinya

residivisme adalah dengan menciptakan lingkungan pembinaan yang merupakan

refleksi dari lingkungan masyarakat pada umumnya dengan mengutamakan

pendekatan pembinaan (treatment approach) tanpa mengabaikan tingkat pengamanan

yang disesuaikan dengan kebutuhan pembinaan secara proporsional yang menjadi

salah satu aspek pada sistem pemasyarakatan. Tingkat kenaikan dan penurunan

residivisme juga dipengaruhi oleh factor lingkungan yang berkembang di masyarakat.

Dibandingkan dengan total populasi penghuni (narapidan/tahanan), maka

prosentase pelarian narapidana dan tahanan dari tahun ke tahun terjadi peningkatan

dan puncaknya terjadi pada tahun 1999 dengan prosentase pelarian sebesar 3,00

persen, menurun pada tahun 2000 dan menjadi 0,54 persen pada tahun 2001.

Prosentase angka pelarian diimbangi dengan prosentase tertangkapnya kembali

narapidana pada tahun 2001 sebesar 30,35 persen dibandingkan dengan tahun 2000

yang hanya sebesar 30,30 persen.


Terjadinya peningkatan pelarian yang sangat tajam pada tahun 1999, dengan

melibatkan 1.690 orang penghuni secara umum dapat disebabkan antara lain :

1. Kepemimpinan, kualitas sumber daya antisipasi, penghayatan dan

wawasan terhadap standar minimum pengamanan di kalangan pegawai

pemasyarakatan.

2. Rendahnya kualitas SDM petugas pengamanan karena kurangnya

pemahaman terhdap peraturan penjagaan Lembaga Pemasyarakatan (PPLP)

dan prosedur tetap (protap) pelaksanaan tugas pemasyarakatan.

3. Tidak memadainya jumlah petugas pengamanan.

4. Pengaruh situasi dan kondisi di luar/masyarakat.

5. Kurang lancarnya dan kurang selektifnya pelaksanaan kegiatan

pembinaan narapidana.

6. Sarana fisik dan sarana pengamanan yang kurang memenuhi standar

minimum pengamanan.6

BAB IV

PEMBAHASAN
6
Ibid, hlm. 120, 125, 127, 128
A. Efektivitas Pidana Penjara dalam proses resosialisasi dan reintegrasi

Efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan

pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat, dan aspek perbaikan si pelaku.

yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah,

mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan

masyarakat (antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman,

memperbaiki kerugian atau kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat

kembal nilai-nilai yang ada dalam masyarakat). sedangkan yang dimaksud dengan

aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan yaitu antara lain melakukan

rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari

perlakuan sewenang-wenang di luar hukum.

1. efektivitas pidana penjara dilihat dari aspek perlindungan masyarakat

dilihat dari aspek perlindungan atau kepentingan masyarakat maka suatu

pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau

mengurangi kejahatan. jadi, karena efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi

kejahatan dapat ditekan. dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh

efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah

warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan (Barda

Nawawi Arief, 2002 : 224,225).


2. efektivitas pidana penjara dilihat dari aspek perbaikan si pelaku

dilihat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas terletak

pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dari pidana. jadi, ukurannya

terletak pada masalah seberapa jauh masalah itu (penjara) mempunyai pengaruh

terhadap si pelaku atau terpidana. ada dua aspek pengaruh pidana terhadap

terpidana, yaitu pencegahan awal (deterent aspect) dan aspek perbaikan

(reformative aspect).

aspek pertama (deterent aspect), biasanya diukur dengan indikator

residivis. berdasarkan indicator inilah RM. Jackson menyatakan, bahwa suatu

pidana adalah efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode

tertentu selanjutnya ditegaskan, bahwa efektivitas adalah suatu pengukuran dari

perbandingan antara jumlah pelanggar yang dipidana kembali dan yang tidak

dipidana kembali.

aspek kedua yaitu aspek perbaikan (reformative aspect), berhubungan

dengan maslah perubahan sikap dari terpidana. seberapa jauh pidan penjara dapat

mengubah sikap terpidana, masih merupakan masalah yang masih belum dapat

dijawab secara memuaskan. hal itu disebabkan adanya beberapa problem

metodologis yang belum terpecahkan dan belum ada kesepakatan, khususnya

mengenai :
a. apakah ukuran untuk menentukan telah adanya “tanda-tanda

perbaikan atau adanya perubahan sikap pada diri si pelaku; ukuran recidivism

rate atau reconviction rate masih banyak yang meragukan.

b. berapa lamanya periode tertentu untuk melakukan evaluasi

terhadap ada tidaknya perubahan sikap setelah terpidana menjalani pidana

penjara.

berdasarkan masalah-masalah metodologis yang dikemukakan di atas dapatlah

dinyatakan, bahwa penelitian-penelitian selama ini belum dapat membuktikan secara

pasti apakah pidana penjara itu efektif atau tidak. terlebih masalah efektivitas pidana

sebenarnya berkaitan dengan banyak factor (Barda Nawawi Arief, 2002 : 225, 229,

230).

Paham abolisionisme mulai dikembangkan oleh Louk Hulsman dari Belanda

ketika ia menjadi ketua hukum pidana dan kriminologi di universitas Erasmus,

Rotterdam, pada tahun 1964. Arah pemikiran Hulsman yang secara eksplisit memiliki

perspektif tampak nyata dalam sebuah pidato wisudanya, Handhaving van Recht (The

Maintenance of Justice). Dalam pidatonya ia sangat memerhatikan aspek

kemanusiaan yang dipandangnya dapat dikikis oleh keadilan yang dicapai melalui

pelaksanaan hukum pidana. Bahkan ia berpendapat bahwa hukum pidana seharusnya

dipandang sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan pencegahan dan

perbaikan terhadap ketidakadilan dalam masyarakat.


Lebih jauh lagi Hulsman menyimpulkan bahwa sistem peradilan pidana harus

dihapuskan seluruhnya karena menurutnya bahwa secara logika sistem ini tidak akan

dapat menjadi sarana yang manusiawi dan peka dalam menghadapi kejahatan.

Karakterisktik abolisionisme dalam konteks sistem peradilan pidana adalah

bahwa sistem peradilan pidana mengandung masalah dan paham ini tidak yakin

kemungkinan terdapatnya kemajuan melalui pembaruan karena sistem ini menderita

cacat structural yang tidak dapat diperbaiki. Satu-satunya cara yang dianggap realistic

dan paling baik ialah dengan mengubah dasar-dasar struktur sistem tersebut.

Dalam perspektif Hulsman, criminal justice system atau sistem peradilan

pidana dipandang sebagai masalah social. Ada empat pertimbangan yang melandasi

pemikiran Hulsman, yaitu :

1. Sistem peradilan pidana memberikan penderitaan

2. Sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja sesuai dengan yang

tujuan yang dicita-citakannya.

3. sistem peradilan pidana tidak terkendalikan

4. pendekatan yang digunakan sistem peradilan pidana memiliki cacat

mendasar.

Keempat pertimbangan tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :


Bahwa sistem peradilan pidana telah menjatuhkan pidana kepada pelaku

kejahatan; hal ini berarti terjadi pembatasan kemerdekaan terhadap pelaku tersebut

dan mereka dipisahkan atau diasingkan dari masyarakat lingkungannya. Lebih dari

itu, mereka dan keluarganya sudah dikenai stigma dan direndahkan martabatnya

sehingga kedudukan mereka dalam masyarakat menjadi sangat marginal.

penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan ini memiliki pelbagai tujuan,

mulai dari tujuan memberikan pembalasan dan melindungi masyarakat, sampai tujuan

yang bersifat rehabilitative dan sosialisasi. Akan tetapi semua tujuan tersebut tidak

pernah dapat dicapai secara optimal karena masing-masing tujuan memiliki berbagai

kelemahan yang ternyata sangat menonjol dan banyak memperoleh kritik tajam

dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai dari tujuan pemidanaan tersebut.

dalam mekanisme kerja sistem peradilan pidana ini, pelaku kejahatan tidak

pernah diikutsertakan sehingga pada gilirannya mereka tidak dapat ikut menentukan

tujuan akhir dari pidan yang telah diterimanya. Bahkan para korban kejahatan juga

pernah memperoleh manfaatdari hasil akhir suatu sistem peradilan pidana.

penderitaan atau kerugian korban diwakilkan kepada jaksa penuntut umum

sehingga pada esensinya, perwakilan tersebut dipandang sebagai “mencuri

kesempatan” dari konflik antara para pihak dan diwujudkan ke dalam dua pihak,

pertama Negara dan di lain pihak tersangka pelaku kejahatan.


Dalam konteks pertimbangan ketiga ini, Hulsman berpendapat bahwa sistem

peradilan pidana tidak terkendali apabila menghadapi kebijaksanaan dari pengambil

keputusan sehingga sering rentan dan berubah-ubah, bahkan tiap-tiap instansi

memiliki kewenangan yang berbeda satu sama lain dalam menangani mekanisme

kerja sistem peradilan pidana yang sering merugikan hak asasitersangka pelaku

kejahatan.

pertimbangan keempat menunjukkan bahwa selama ini pendekatan yang

dilakukan sistem peradilan pidanamengandung cacat, karena batasan tentang

kejahatan dan proses sseorang memperoleh pidana kurang tepat dan tidak layak.

Sedangkan menurut Hulsman, konsep kejahatan dan pidana berkaitan erat satu sama

lain sehingga tidak mudah menetapkan apa yang merupakan batasan kejahatan dan

pidana. selain itu, keahatan merupakan konsep yang kompleks dan tidak sekedar

hanya menetapkan apa yang benar dan tidak benar, apa yang salah dan tidak salah.

penetapan melalui cara demikian tampak menggunakan pendekatan individual

sedangkan sistem peradilan pidana memerlukan pendekatan yang bersifat

multivarian.

Selama ini menurut Hulsman terjadi kesalahan persepsi tentang pidana dan

kejahatan atau penjahat. Bahwa antara konsep-konsep tersebut terdapat hubungan

yang erat tidak selalu berarti jika ada kejahatan (dan juga penjahat) harus selalu ada

pidana sehingga dalam konteks inilah tampak bahwa sistem peradilan pidana tidak
luwes dan tidak kreatif dalam menemukan bentuk lain dari pengendalian social

(social control).

Cohen menegaskan kembali nilai-nilai (values) yang melandasi perspektif

abolisionis, sebagai berikut:

1. Masih masuk akal untuk mencari alternatif yang lebih

manusiawi, layak, dan efektif daripada lembaga seperti penjara.

2. kerjasama timbale balik, persaudaraan dan hidup bertetangga

secara baik terkesan lebih baik bergantung pada birokrasi dan para ahli

3. Kota-kota seharusnya diperuntukkan sedemikian rupa sehingga

setiap orang merasa memilikinya dan di mana gangguan ketertiban lebih

ditenggang rasa (ditoleransi) daripada dibedakan dalam zona daerah rawan

dan aman.

4. pandangan masyarakatseharusnya ditujukan kepada keadaan

fisik dan kebutuhan social

5. perlu dicari suatu cara yang dapat menghentikan proses yang

sangat merugikan di mana masyarakat tetap memelihara klasifikasi,

pengawasan, dan mengasingkan kelompok masyarakat berdasarkan usia,

etnis, tingkah laku, status moral, kemampuan, dan keunggulan fisik.7

kritik terhadap pidana penjara pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian yaitu

kritik yang moderat dan kritik yang ekstrim.


7
Romli atmasasmita, sistem peradilan pidana kontemporer, 108-112
1. kritik yang moderat pada intinya masih mempertahankan

pidana penjara namun penggunaannya dibatasi. kritik yang menyangkut sudut

Strafmodus melihat dari sudut pelaksanaan pidana penjara; jadi dari sudut

sistem pembinaan/treatment dan kelembagaan/institusinya. kritik dari sudut

strafmaat melihat dari susut lamanya pidana penjara, khususnya ingin

membatasi atau mengurangi penggunaan pidana penjara pendek. kritik dari

sudut strafsoort ditujukan terhadap penggunaan atau penjatuhan pidana

penjara dilihat sebagai jenis pidana, yaitu adanya kecenderungan untuk

mengurangi atau membatasi penjatuhan pidana penjara secara limitative dan

selektif.

2. kritik yang ekstrim menghendaki hapusnya sama sekali pidana

penjara (prison abolition) ini terlihat dengan adanya international conference

on prison abolition (ICOPA) yang diselenggarakan pertam kali pada bulan

mei 1983 di Toronto Kanada, yang kedua pada tanggal 24-27 juni 1985 di

Amsterdam dan ketiga pada tahun 1987 di montreal, Kanada. Pada konferensi

ketiga ini istilah “prison abolition” telah diubah menjadi “penal abolition”.

B. Peran sistem pembinaan pemasyarakatan dalam proses resosialisasi dan reintegrasi

Narapidana
Sehubungan dengan tujuan hukum pada umumnya ialah tercapainya

kesejahteraan masyarakat materiil dan spiritual, maka perbuatan yang tidak

dikehendaki ialah perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga masyarakat.

Kerugian itu berarti ada korbannya. Perlu diingat bahwa korban dari perbuatan itu

tidak hanya orang lain selain si pembuat, akan tetap i dapat pula si pembuat sendiri.

Korban ini dapat tampak dengan jelas, misalnya pada pembunuhan, pencurian,

pembakaran, pemberontakan dan sebagainya. Namun dapat pula korban itu tidak

tampak, kerugiannya tidak segera dirasakan, misalnya pencemaran lingkungan hidup

oleh pabrik-pabrik besar, iklan yang sangat merangsang untuk membeli, pengambilan

kayu dari hutan secara besar-besaran tanpa perhitungan, abortus provocatus,

penggunaan narkotika, hubungan seks di luar perkawinan, dan sebagainya. yang jelas

ialah bahwa perbuatan yang tidak merugikan tidaklah boleh ditetapkan sebagai

perbuatan yang tidak dikehendaki. Sebaliknya tidak semua perbuatan yang merugikan

perlu dicegah dengan menggunakan hukum pidana.8

Tim perancang konsep rancangan KUHP 2004 telah sepakat bahwa tujuan

pemidanaan adalah :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan

norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.

8
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Hlm. 37
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana (pasal 51 konsep

RKUHP 2004).

Sedangkan dalam pasal 51 ayat (2) konsep rancangan KUHP tersebut di atas

memberikan makna terhadap pidana dalam sistem hukum Indonesia. Ditegaskan

bahwa “pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan

merendahkan martabat manusia”.

Perumusan tersebut cukup memadai bilamana ditinjau dari pandangan

integrative Pancasila, sebab faktor-faktor individual dan social diperhatikan secara

integralistik. Penjelasan pasal 51 Konsep Rancangan KUHP 2004 menyatakan

pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum Proses ini berjalan, peranan hakim

penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan

perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam kasus

tertentu.

Ketentuan dalam pasal ini memuat tujuan ganda yang hendak dicapai melalui

pemidanaan. Dalam tujuan pertama jelas tersimpul pandangan perlindungan

masyarakat. Tujuan kedua mengandung maksud bukan saja unutk merehabilitasi,

tetapi juga meresosialisasi terpidana dan mengintegrasikan yang bersangkutan ke

dalam masyarakat. Tujuan ketiga sejalan dengan pandangan hukum adat dalam arti
“reaksi adat” itu dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan (magis) yang

terganggu oleh perbuatan yang berlawanan dengan hukum adat. Jadi pidana yang

dijatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan dan juga

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Tujuan yang keempat bersifat spiritual

dicerminkan dalam Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia.

Berdasarkan praktek peradilan pidana di Indonesia untuk dapat

terselenggaranya sistem peradilan pidana (criminal justice system ) yang baik, maka

perlu dibuat suatu pedoman pemidanaan yang lengkap dan jelas. Pedoman ini sangat

berguna bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara dan mempunyai dasar

pertimbangan yang cukup rasional. Maka sehubungan dengan hal tersebut di atas

dalam konsep rancangan KUHP 2004 pasal 52 terdapat pedoman pemidanaan yang

bunyinya sebagai berikut :

a. kesalahan pembuat tindak pidana

b. motif dan tujuan melakukannya tindak pidana

c. sikap batin pembuat tindak pidana

d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana

e. cara melakukan tindak pidana

f. sikap dan tindakan pembuat sesuadah melakukan tindak pidana

g. riwayat hidup dan keadaan social ekonomi pembuat tindak pidana

h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana

i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban


j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan /atau

k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pidana penjara tidak hanya

mengakibatkan perampasan kemerdekaan, tetapi juga menimbulkan akibat negative

terhadap hal-hal yang berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan itu sendiri.

Akibat negative itu antara lain terampasnya juga kehidupan seksual yang normal dari

seseorang, sehingga sering terjadi hubungan homoseksual dan masturbasi di kalangan

terpidana. Dengan terampasnya kemerdekaan seseorang juga berarti terampasnya

kemerdekaan berusaha dari orang itu yang dapat mempunyai akibat seirus bagi

kehiduppan social ekonomi keluarganya. terlebih pidana penjara itu dapat

memberikan stigma yang akan terbawa terus walaupun yang bersangkutan tidak lagi

melakukan kejahatan. Akibat lain yang juga sering disoroti ialah bahwa pengalaman

penjara dapat menyebabkan terjadinya degradasi atau penurunan derajat dan harga

diri manusia (Barda N., Arief, 1999 : 36,37)9

Jika dipandang dari sudut kasus posisi di atas di mana tingkat residivisme,

narapidana melarikan diri, ditambah dengan membludaknya penghuni Lapas atau

Rutan jelas terlihat bahwa sistem pemasyarakatan sebenarnya (walaupun tidak bisa

dikatakan gagal) belum mampu menjalankan apa yang menjadi cita-cita dan tujuan

dari dibentuknya Lembaga pemasyarakatan. Belum lagi banyak narapidana yang

meninggal dunia dengan cara tidak wajar justru di dalam Lembaga pemasyarakatan

9
Dwidja Priyatno, sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia, 28,71,72
yang seharusnya menjadi pengayom bagi narapidana yang ada di dalamnya, jual beli

narkoba di dalam lapas, praktek perjudian, praktek suap agar mendapat fasilitas yang

lebih dari narapidana lain, atau paket tur ke bali dengan bonus rambut palsu sudah

bukan rahasia lagi bagi masyarakat sekarang ini. membuat kita berpikir apakah

Lembaga pemasyarakatan sebenarnya efektif untuk mengayomi narapidana dalam

proses resosialisasi dan reintegrasi ketika nanti keluar dari Lembaga

pemasayarakatan, atau malah sebaliknya justru Lembaga pemasyarakatan itu sendiri

yang menjadi “guru yang baik” bagi sebagian besar narapidana yang begitu keluar

malah menjadi penjahat kelas kakap.

Saat ini Lembaga pemasyarakatan dirasa memang belum bisa menjadi

pengayom narapidana dalam proses resosialisasi dan reintegrasi dalam rangka

merehabilitasi diri narapidana agar kembali menjadi warga yang baik dan

bertanggung jawab.

Peran sistem pembinaan masyarakat dilaksanakan berdasarkan asas :

a. Pengayoman adalah perlakuan terhadap warga binaan

pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan

diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, juga

memberikan bekal hidupnya kepada warga binaan pemasyarakatan agar

menajdi warga yang berguna dalam masyarakat.


b. Persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian

perlakuan dan pelayanan yang sam kepada warga binaan pemasyarakatan

tanpa membeda-bedakan orang (tidak termasuk kasus Artalytha Suryani).

c. Pendidikan adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan

bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa

kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk

menunaikan ibadah.

d. Penghomatan harkat dan martabat manusia adalah bahwa

sebagai orang yang tersesat warga binaan pemasyarakatan harus tetap

diperlukan sebagai manusia.

e. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan

adalah warga binaan pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk

jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk

memperbaikinya.

f. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga

dan orang-orang tertentu adalah bahwa walaupun warga binaan

pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus tetap didekatkan dan

dikenalkan dengan mayararakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

Dengan asas-asas yang tercantum di atas sudah seharusnya sistem pembinaan

masyarakat menjadi sarana yang tepat bagi narapidana untuk kembali ke masyarakat

tanpa adanya ketakutan akan stigmatisasi yang buruk dari masyarakat. karena tujuan
pemidanaan yang paling baik adalah dengan memasyarakatkan kembali para

narapidana yang tersesat dan minghilangka rasa bersalah pada diri terpidana seperti

yang tercantum dalam Rancangan Konsep KUHP 2004.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan yang dapat kami tarik dari makalah ini adalah Tujuan

diselenggarakannya sistem pemasyarakatan dalam rangka membentuk warga binaan

pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan memperbaiki


diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup

secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab. Namun memang tidak

selamanya seperti yang diharapkan karena berbagai faktor penghambat kemajuan

sistem peradilan pidana khususnya sistem pemasyarakatan, yang tadi sudah kami

jelaskan di atas yakni :

1. Kepemimpinan, kualitas sumber daya antisipasi, penghayatan

dan wawasan terhadap standar minimum pengamanan di kalangan pegawai

pemasyarakatan.

2. Rendahnya kualitas SDM petugas pengamanan karena

kurangnya pemahaman terhdap peraturan penjagaan Lembaga

Pemasyarakatan (PPLP) dan prosedur tetap (protap) pelaksanaan tugas

pemasyarakatan.

3. Tidak memadainya jumlah petugas pengamanan.

4. Pengaruh situasi dan kondisi di luar/masyarakat.

5. Kurang lancarnya dan kurang selektifnya pelaksanaan kegiatan

pembinaan narapidana.

6. Sarana fisik dan sarana pengamanan yang kurang memenuhi

standar minimum pengamanan.

Meskipun dengan berbagai hambatan yang ada, bukan berarti sistem

pemasyarakatan yang gagal dalam proses resosialisasi dan reintegrasi narapidana


ketika kembali ke masyarakat nanti. dengan pengawasan yan tepat secara bersama

dan tidak musiman, kami yakin lembaga pemasyarakatan dapat merubah stigma

buruk yang mulai mengendap dalam sistem pemasyarakatan khususnya Lapas atau

Rutan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Literatur

Dwidja Priyatno, Sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia ,Bandung:

Refika Aditama, 2006.

Romli Atmasasmita, Sistem peradilan pidana kontemporer, Jakarta: Kencana,

2010.
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 2007.

Muladi, Lembaga Pidana bersayarat, Bandung: Alumni, 1985.

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dengan Pidana penjara, Semarang:

Badan penerbit Undip, 1996.

B. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan

You might also like