You are on page 1of 6

Dampak Riba terhadap Keterpurukan Ekonomi Indonesia (2)

Krisis moneter yang pada mulanya terjadi di Thailand menular ke Malaysia, Philipine,
Korea dan Indonesia. Pasar saham dan kurs uang tersungkur jatuh secara dahsyat. Bank
sentral terpaksa turun tangan dengan mencetak uang baru, melakukan transaksi forward
dan menaikkan tingkat bunga yang tidak terduga. Volatilitas krisis menimbulkan badai
yang kuat menuju kehancuran dan mengakibatkan goncangnya sistem perbankan yang
rapuh. Padahal lembaga perbankan merupakan tulang punggung perusahaan
manufacturing yang selama ini mengandalkan bunga rendah. Selama tahun pertama
krisis kurs mata uang di lima negara terdepresiasi 35 – 80 %, bahkan Indonesia,
mencapai 400 %. Hal ini menyebabkan menciutnya nilai kekayaan dari negara-negara
tersebut khususnya Indonesia.
Nilai rupiah yang pada mulanya setara dengan Rp 2.445, meningkat secara tajam menjadi
Rp 17.000-an. Dalam masa yang panjang, nilai rupiah ini bertenggger di atas Rp
10.000.-. Kondisi ini membuat lembaga perbankan terpaksa menaikkan suku bunga
secara tajam pula, yaitu mencapai 70 %. Akibatnya lembaga perbankan konvensional
kesulitan mengembalikan bunga tabungan/deposito nasabah, sementara pendapatannya
lebih kecil dari kewajibannya untuk membayar bunga, ditambah lagi kredit macet akibat
krisis moneter. Inilah yang disebut dengan negative spread yang berarti lembaga
perbankan terus-menerus merugi dan modalnya semakin terkuras yang pada gilirannya
berakibat pada likuidasi sejumlah bank.
Bank-bank raksasa yang memiliki nasabah jutaan orang, yang kekurangan modal,
terpaksa direkap (disuntik modal) oleh pemerintah melalui Bank Indonesia dengan BLBI
(Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sejumlah sekitar Rp 400 triliun.
Kalau tidak dibantu, pastilah bank-bank rekap itu mati/tutup karena CARnya di bawah
standart yang ditetapkan pemerintah (8 %).
Karena pemerintah tidak memiliki uang cash/riil, maka pemerintah membantu modal
bank konvensional itu dalam bentuk obligasi. Kalau namanya obligasi, pastilah memiliki
bunga. Bunga ini selanjutnya kembali menjadi beban pemerintah yang tak lain adalah
dana APBN. Dana APBN adalah milik rakyat dan bangsa Indonesia, bukan milik para
konglomerat pemilik bank. Membantu modal bank ribawi itu, berarti membantu para
kapitalis (pemilik dana).
Data-data di bawah ini menginformasikan jumlah BLBI yang diberikan pemerintah
kepada bank-bank konvensional dan besar bunga yang mereka terima dari negara pada
September 2002.(Hilmi, SE, Mei 2002)

Bunga obligasi yang diberikan kepada bank-bank konvensional tersebut sebesar 10 %


pada September 2002. Jika jumlah obligasi mencapai Rp 400 Triliun, maka kewajiban
pemerintah membayar bunga obligasi sebesar Rp 40 triliun dalam setahun. Pada masa-
masa sebelumnya, yakni pasca krisis 1998, bunga obligasi ini sebesar 17 %. Semakin
suku bunga, maka semakin besar beban negara membayar bunganya. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila sumbangan bunga obligasi yang diberikan pemerintah pada
tahun 2001 sebesar Rp 61,2 Triliyun. Dana yang sangat besar ini menjadi beban APBN.
Padahal dana APBN tersebut seharusnya diutamakan untuk kesejehteraan ekayat yang
masih masih dilanda kemsikinan dan kebodohan, tetapi karena ini meneraplkanm sistemn
ekoomi ribawi (kapitalisme),maka terpelsa keprtingan rakayat dikorbankan demi
membantu bank-bank raksasa. Inilah ironi dan keanehan atau ketidakwarasan sistem
ekonomi ribawi.,
Kondisi dana APBN yang dikuras riba berlanjut terus setiap tahun sampai sekarang,
walaupun cenderung semakin mengecil. Oleh karena beban membayar bunga itu, tidak
mengherankan jika APBN kita defisit terus menerus. Pada tahun 2002 APBN defisit Rp
54 triliun. Pada tahun 2003 defisit Rp 45 triliun, pada tahun 2004 difisit Rp 35 triliun.
Masih defisitnya APBN tahun 2004 yang lalu , karena dana APBN masih dikuras bunga
bank sebesar Rp 68 Trilyun.

Membayar Bunga SBI


Selain kewajiban membayar bunga obligasi, pemerintah juga berkewajiban untuk
membayar bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) kepada lembaga-lembaga perbankan
yang menempatkan dana rakyat di Bank Indonesia. Pada tahun 2002 besar bunga SBI 17
%. Penempatan dana tersebut dilakukan oleh bank-bank pemerintah maupun bank-bank
swasta. Dana masyarakat yang ditabung di lembaga perbankan ternyata lebih banyak
disimpan di Bank Indoenesia, sehingga fungsi intermediasi perbankan saat itu lumpuh
Hal itu terlihat dengan jelas pada LDR lembaga perbankan konvensional yang masih
sangat rendah. Pada tahun 2001-2003, LDR bank konvensional berkisar, sekitar 30 – 40
%. Ini berarti bahwa hanya 30-40 % saja tabungan masyarakat yang disalurkan, padahal
sektor riel mengharapkan bantuan modal. Sisanya 60 – 70 % terperangkap pada kegiatan
riba yang jelas menjadi beban pemerintah yang pada gilirannya menjadi beban rakyat.
Lembaga perbankan yang menempatkan uangnya di Bank Indonesia, akan mendapatkan
bunga SBI. Pada tahun 2001-2002, bunganya mencapai 17 % . Bayangkan, pada saat itu
dana bank konvensional yang disimpan di SBI mencapai Rp 500 Trilyun. Dengan
demikian, pemerintah berkewajiban membayar bunga SBI sebesar 17 % x Rp 500 triliun,
yaitu Rp 85 Trilyun, untuk satu tahun. Uang sebesar ini jelas menjadi beban APBN. Oleh
karena itu tak mengherankan jika APBN dari tahun ke tahun terus mengalami defisit.
Kondisi ini berlangsung selama hampir tiga tahun. Untunglah sejak tahun 2003 bunga
SBI mengalami penurunan secara bertahap. Pada awal tahun 2004 bunganya berkisar 8-9
%. Meskipun demikian, angka ini ini tetap menggerogoti uang negara dalam jumlah yang
besar.
Beban APBN
Yang perlu dicatat dan menjadi keprihatinan besar di sini adalah, bahwa pembayaran
bunga obligasi dan bunga SBI dibebankan kepada rakyat. Dana APBN yang seharusnya
digunakan untuk kesejahteraan rakyat, malah digunakan untuk membantu bank-bank
raksasa.
Lebih dari itu, kewajiban membayar bunga obligasi dan bunga SBI telah membuat
APBN defisit. Untuk mengatasi defisit APBN pemerintah terpaksa berhutang ke
lembaga-lembaga ribawi internasional. Padahal hutang Indonesia telah mencapai titik
yang membahayakan ketika itu. Apabila pada tahun 2002 saja, hutang Indonesia total Rp
1401 Trilyun, (hutang luar negeri Rp 742 Trilyun, hutang dalam negeri sebesar Rp 659
Trilyun, maka pada tahun 2003, hutang Indonesia telah mencapai Rp 2000 Trilyun. Jika
kita hanya mampu membayar hutang tersebut Rp 2 Trilyun setahun, berarti hutang luar
negeri itu baru lunas lebih dari seribu tahun, itupun kalau tidak ditambah hutang baru.
Hutang ini, jelas menjadi beban cucu dan cicit kita di masa depan, yang diprediksikan 20
turunan generasi ke depan masih menanggung hutang dan bunga ini
Pada tahun 2004, Indonesia menambah hutang baru lebih dari 3 milyar dolar AS. Setiap
tahun bangsa Indonesia harus menambah hutang, untuk menutupi defisit APBN. Hutang
ini jelas menjadi beban yang berat bagi generasi Indonesia mendatang.

Selain meninggalkan beban hutang yang besar bagi generasi mendatang, pemerintah juga
terpaksa menaikkan harga barang-barang strategis seperti harga BBM yang berkali-kali
dinaikkan sepanjang tahun 2001-2003, bahkan di tahun 2005 ini. Hal ini dimaksudkan
untuk menambah in come negara dalam rangka memenuhi APBN yang defisit. Tarif dasar
listrik dan telephone juga ketika itu terpaksa dinaikkan untuk menambah income negara
mengatasi defisit APBN. Inilah akibat berantai dari sistem ribawi dalam sistem
perekonomian Indonesia.
Pajak juga dinaikkan, tetapi banyak dikuras oleh pembayaran bunga. Kasihan rakyat,
mereka dizalimi hanya untuk menyumbang bank-bank rekap. Ironisnya lagi, tanpa
berbuat apa-apa, bank rekap bergembira ria menerima riba sebesar Rp 61, 2 Trilyun dari
pemerintah pada tahun 2001 dan ini berlangsung terus, meskipun mengalami penurunan
sampai tahun 2003.

Dari data dan fakta tersebut, maka tak seorang pun bisa membantah, bahwa bunga bank
memainkan peran penting dalam merusak perekonomian bangsa Indonesia yang telah
semakin memerosokkan Indonesia ke dalam jeratan hutang yang membahayakan.. Bunga
juga telah membuat harga BBM, TDL dan telephon naik. Bahkan lebih dari itu, Indonesia
terpaksa menjual beberapa asset negara strategis, seperti Indosat, BCA dan perkebunan
demi untuk menutupi defisit APBN. Pajak rakyat yang seharusnya digunakan untuk
pembangunan, ternyata sangat banyak disumbangkan kepada bank-bank rekap dalam
bentuk bunga obligasi dan bunga SBI. Berdasarkan kenyataan ini, maka benarlah apa
yang dikatakan oleh Anwar Nasution, Deputi Senior Gubernur BI, bahwa bank-bank
rekap tersebut, adalah parasit bagi perekonomian Indonesia. Hal yang sama juga sering
diungkapkan oleh pakar-pakar dan praktisi perbankan nasional lainnya, seperti Dr. Drajat
Wibowo, direktur INDEF, Hilmi, ( pengawas bank dari Bank Indonesia), dsb. Dari fakta
di atas jelaslah bahwa bunga membawa petaka kehancuran ekonomi Indonesia.(Kompas
25 Februari 2002).
Selanjutnya, kita perlu menyaksikan fakta ketidakwarasan/kegilaan pelaku riba
sebagaimana yang disebutkan Al-Quran (2:275)., yaitu fakta penjualan (devestasi) sebuah
bank swasta raksasa, sebut saja bank ABC. Harga penjualannya sebesar Rp 5 Trilyun.
Namun anehnya, pemerintah memberi bunga obligasi kepada bank ini sebesar Rp 9
Trilyun tahun 2001. Penjualan ini menurut H. Hilmi, mantan pejabat Senior Bank
Indonesia, menurut tindakan sableng (gila). Sebab menurutnya, setiap penjualan asset, si
penjual menerima uang. Tapi dalam sistem yang sableng ini, tidak demikian adanya, “Si
penjual tidak dapat uang”, malah nombok lagi dalam jumlah besar dan selanjutnya
menyumbang bunga terus menerus.
Karena itu pula, Drajat Wibawa, Ekonom Senior INDEF, mengatakan bahwa perbuatan
penjualan saham BCA milik pemerintah (sistem riba) dengan harga Rp 5 Trilyun, tidak
sesuai logika dan dikatakannya bahwa perbuatan itu adalah sableng secara kolektif.
Drajad Wibawa, Ekonom Senior INDEF, menulis, (Kompas 25 Februari 2002).
“Kalau transaksi yang jelas-jelas merugikan dan tidak sesuai dengan logika
(abnormal/gila) di atas diteruskan, Indonesia memang akan mempunyai landmark
kebodohan kolektif. Ini akan menjadi preseden bagi divestasi Bank Danamon. Bank
Niaga dan bank-bank lainnya di bawah APBN. Ini juga menjadi preseden bagi proses
privatisasi BUMN karena skema sablengnya Stanchart bisa ditiru dengan mudah”.
Dikatakannya demikian, karena di dalam divestasi BCA terlihat perbuatan yang tidak
logis. Adalah logis kalau dalam setiap penjualan asset, si penjual menerima uang. Tetapi
dalam penjualan BCA tidak demikian. Secara net, ternyata pemerintah tidak menerima
uang, malah mengeluarkan uang dalam jumlah besar.
Gambarannya perhitungannya ialah, bahwa pada tahun 2002 pemerintah menerima uang
hasil penjualan BCA Rp 5 Trilyun. Tetapi sebaliknya pemerintah justru mengeluarkan
uang untuk BCA sangat besar yaitu berupa bunga (riba) obligasi saja sebesar Rp 9,1
Trilyun. Pemerintah memberinya Rp 9,1 Trilyun. Sementara dalam neracanya 31-12-
2002 terlihat laba Rp 3 Trilyun. Laporannya itu menunjukkan bahwa BCA terlihat hebat.
Tapi ingat, laba ini diperoleh karena mendapat sumbangan bunga riba dari pemerintah
sebsar Rp 9,1 Trilyun tadi.
Karena pemerintah bisa bertindak “gila / sableng” seperti itu ? Menurut H. Hilmi, SE,
biasanya mereka berdalih, bahwa karena semua penyelesaian tidak ada yang baik, maka
karena pusing atau mungkin sempoyongan seperti orang sableng (gila). Mereka terpaksa
memilih jalan yang terbaik di antara yang terjelek itu. Serba susah, itulah suatu dilema
yang kita hadapi, karena sistem riba.

Melihat realitas di atas, sistem moneter yang menggunakan instrumen bunga adalah
sistem yang tidak logis, dan jika ada orang yang masih menggunakannnya berarti ia
termasuk tidak waras/gila, sebagaimana diungkapkan Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah
275. “Orang-orang yang memakan (mempraktekkan) riba, tidak dapat berdiri kecuali
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran pikirannya sudah gila. Mereka
itu mengatakan bahwa riba dan jual beli sama saja (bisa ditafsirkan bank riba dan bank
syariah sama saja). Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa
yang telah sampai kepadanya nasehat dari Tuhannya, lalu terus berhenti dari
mempraktekkan riba, maka apa yang pernah dipraktekkan di masa lalu menjadi urusan
Allah. Tetapi, siapa yang mengulangi lagi sistem riba , maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka . mereka kekal didalamnya”.
Indonesia tidak bisa berdiri karena bunga, terlihat dari hutang Indonesia yang demikian
besar dan kesulitan ekonomi yang dalam. Dan kalau sistem bunga ini diteruskan, maka
bangsa Indonesia sebenarnya sudah tidak waras lagi, karena sistem bunga yang sudah
jelas-jelas membawa petaka, masih dipertahankan. Karena itu, menjadi kewajiban
ummat untuk kembali ke ajaran Ilahi, ajaran Allah Swt, Tuhan yang menciptakan
manusia, juga menciptakan sistemnya untuk kita ikuti dan amalkan. Ajaran Ilahi itu
teraktualisasi dalam bank-bank Islam yang sekarang tengah berkembang dengan pesat.
Ijma’ Ulama tentang keharaman Bunga Bank
Setelah menjelaskan dampak dan pengaruh bunga terhadap keterpurukan ekonomi
Indonesia, perlu juga dipaparkan di sini ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank. Hal
ini dianggap penting karena masih ada intelektual muslim yang masih meragukan
keharaman bunga bankdan masih ada ilmuwan muslim yang mengganggap persoalan
bunga bank sebagai masalah khilafiyah secara tidak proporsional.
Seluruh ahli ekonomi Islam dunia, telah sepakat bahwa bunga bank tidak sesuai dengan
syari’ah Islam, dan hukum mengambilnya adalah haram. Menurut Prof.Dr.M.Akram
Khan (pakar ekonomi Islam asal Pakistan), kesepakatan itu telah menjadi ijma’ ulama
(ahli ekonomi) dunia. Prof. Dr Ali Ash-Shobuni (ulama terkemuka dari Mesir) dalam
buku Jarimah ar-Riba, juga mengatakan bahwa para ahli ekonomi Islam telah ijma’
tentang keharaman bunga bank. Kesepakatan itu terjadi berkali-kali di forum ulama
Internasional sejak tahun 1973 sampai saat ini. Menurutnya, tahun 1976 telah
dilaksanakan Konferensi Ekonomi Islam se-dunia di Mekkah yang dihadiri 300 ulama
dan pakar keuangan Islam. Tak seorang pun di antara pakar ekonomi Islam itu menolak
kaharaman bunga bank. Bahkan sebelum tahun 1976, yakni tahun 1973, seluruh ulama
OKI yang berasal dari 44 negera sepakat tentang keharaman bunga bank tersebut (lihat,
M.Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah, 1999).
Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan pendapat tentang keharaman bunga bank.
Perdebatan tentang halal-haramnya bunga bank telah selesai sekitar 30 tahun yang lalu.
Kalau ada ummat Islam masih mempersoalkan hukum bunga bank, berarti ia terlambat
30 tahun.
Kalau pun ada tokoh yang berkomentar tentang kebolehan bunga bank, pastilah mereka
bukan ahli dalam ekonomi/moneter Islam, seperti, Gusdur atau Syafi;i ma’arif atau
ulama yang sama sekali tak faham tentang perbankan syari’ah dan ilmu moneter, seperti
Muhmmad Abduh dan AS.Hasan dari Bandung. Karena itu pendapat mereka tertolak dan
tidak bisa menggugurkan ijma’ ulama yang ahli di bidangnya.
Kalau kita mau berpikir logis, kita harus menyerahkan persoalan hukum moneter kepada
ahlinya. Analoginya, jika seluruh dokter spesialis kulit telah sepakat tentang jenis
penyakit kulit seseorang, lalu ada segelintir dokter gigi membantahnya, maka sangat aneh
bila orang mengikut pendapat dokter gigi yang tak ahli di bidang kulit. Pendapat dokter
gigi itu sangat aneh dan amat menyesatkan.
Pakar ekonomi Islam adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi,
sejak awal, sampai Professor dan doktor di bidang ekonomi/moneter Islam. Mereka
paham betul tentang ilmu moneter dan mengerti secara mendalam tentang teknis
perbankan. Mereka antara antara lain, 1. Prof.Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy,2.
Prof.Dr.Muhammad Abdul Mannan,MA, 3.Prof.Dr.M.Umer Chapra, 4. Prof.Dr.Masudul
Alam Khudary, 5. Prof.Dr. Monzer Kahf, 6. Prof.Dr. M.Akram Khan, 7. Prof.Dr.Kursyid
Ahmad, 8.Prof.Dr.Dhiauddin Ahmad, 9. Prof.Dr. Muhammad Muslehuddin, 10.Prof.Dr.
Afzalur Rahman, 11. Prof.Dr. Munawar Iqbal Quraisy, 12. Prof.Dr.Hasanuz Zaman, 13.
Prof. Dr.M.Sudin Haroen, 14. M.Fahim Khan,.15. Prof.Dr.Volker Ninhaus, 16. Dr.Mustaq
Ahmad. 17. Abbas Mirakhor, 18. Ausaf Ahmad, 19. Rauf Ahmed Azhar, 20. Syed Nawab
haidar Naqvi, 21. Baqir al-Sadr, 22. Ahmad Najjar, 23. Ahmad Shalah Janjum (Pakistan),
24. Muhammad Ahmad sakr, 25 .Kadim Al-Sadr, 26. Abdul Hadi Ghanameh, 27.
Manzoor Ali, 28. Dr.Ali Ahmad Rusydi, 29. Dr.Muhammad Ariff, 30. Dr. Zubeir Hasan,
31.Prof.Dr Muhammad Iqbal Anjum, 32. Prof.Dr.Mazhar Islam, 33. Dr. Fariruddin
Ahmad, 34. Dr.Syahadat Husein 35.Dr.Badruddin (Oman) dan banyak lagi pakar
ekonomi Islam lainnya.-. Semua mereka mengecam dan mengharamkan bunga, karena
bunga telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan negara.
Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1930 s/d 2000, adalah bukti paling nyata dari
dampak sistem bunga.
Setelah tahun 1976, para ahli ekonomi Islam terus melangsungkan kegiatan-kegiatan
konferensi Ekonomi Islam Internasional. Dalam beberapa konferesnsi, hukum halal-
haram bunga bank tidak lagi menjadi pembahasan, sebab sudah disepakati sejak awal
akan keharamannya. Kesekapatan-kesekapatan itu didukung lagi oleh Lembaga Islam
Internasional, yaitu oleh para ulama dunia yang tergabung dalam Rabithah Alam al-
Islami.
Jadi, kalau seluruh ahli ekonomi Islam dunia sepakat tentang keharaman bunga bank,
dikuatkan lagi oleh ulama OKI dan Rabithah Alam Al-islami serta majma’ buhuts
(lembaga fatwa) di seluruh dunia, mengapa ada segelintir orang yang tak ahli tentang
ekonomi Islam berkomentar membantah keharaman bunga bank. Itu adalah sebuah
keanehan dan secara keilmuan cukup memalukan. Hal ini jelas apabila kita ambil
sindiran Alquran tentang mereka yang tak ahli dalam bidang itu. Firman Allah,
“Kemudian kami jadikan bagi kamu syari’ah untuk urusan itu, maka ikutilah syari’ah itu,
jangan ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. Menurut ayat ini, orang
yang tidak mengikuti syari’ah (termasuk ekonomi syari’ah), adalah karena dua alasan.
Pertama, Mereka mengikuti hawa nafsu, karena terganggu kepentinga dunianya, 2.
Mereka memang tidak tahu tentang syari’ah itu (dalam hal ini ekonomi Syari’ah).
Seorang Professor muslim sekalipun, tapi tidak pernah mendalami ilmu moneter, (tidak
ahli ilmu moneter) mereka wajar jika seringkali mereka tidak tahu tentang praktek
moneter dan dampaknya dalam ekonomi makro. Kalau mereka telah mendalami itu, bisa
dipastikan mereka akan mengharamkan bunga, sebagaimana ijma”nya ratusan pakar
ekonomi Islam lainnya. Bahkan, pakar ekonomi non Muslim sekalipun banyak yang
melarang bunga seperti Roy Davies dan Glyin Davies, Rodney Wilson, Rodnet
Shakespeare, Volker Ninhaus, dll..
DIPOSTING OLEH Agustianto | April 19, 2008

You might also like