You are on page 1of 13

I.

Sinopsis Novel Siti Nurbaya


Dengan maksud yang licik Datuk Maringgih meminjamkan uangnya pada Baginda
Sulaiman. Berkat pinjangan uang dari Datuk Maringgih tersebut, usaha dagang Baginda
maju pesat. Namun sayang, rupanya Datuk Maringgih menjadi iri hati melihat kemajuan
dagang yang dicapai oleh Baginda Sulaiman ini, maka dengan seluruh orang suruhanya,
yaitu pendekar lima, pendekar empat serta pendekar tiga, serta yanglainnya Datuk
Maringgih memerintahkan untuk membakar toko Baginda Sulaiman. Dan toko
Bagindapun habis terbakar. Akibatnya Baginda Sulaiman jauh bangrut dan sekligus
dengan hutang yang menunpukpadaDatukMaringgih.

Di tengah-tengah musibah tersebut, Datuk Maringgih menagih hutangnya kepadanya.


Jlas, tentu saja Baginda Sulaiman tidak mempu membayarnya. Hal ini memang sengaja
oelh datuk Maringgih, sebab dia sudah tahu pasti bahwa Baginda Sulaiman tidak mampu
membayarnya. Dengan alasan hutang tersebut, Datuk Maringgih langsung menawarkan
bagaimana kalau Siti Nurbaya, Putri Baginda Sulaiman dijadikan istri Datuk Maringgih.
Kalau tawaran Datuk Maringgih ini diterima, maka hutangnya lunas. Dengan terpaksa
dan berat hati, akhirnya Siti Nurbaya diserahkan untuk menjadi istri –Datuk Maringgih.

Waktu itu Samsulbahri, kekasih Siti Nurbaya sedang menuntut ilmu di Jakarta. Namun
begitu, Samsul Bahri tahu bahwa kekasihnya diperistri oleh orang lain. Hal tersebut dia
ketahui dari surat yang dikirim oleh Siti Nurbaya kepadanya. Dia sangat terpukul oleh
kenyataan itu. Cintanya yang menggebu-gebu padanya kandas sudah. Dan begitupun
dengan Siti Nurbaya sendiri, hatinya pun begitu hancur pula, kasihnya yang begitu dalam
pada Samsulbahri kandas sudah akibat petaka yang menimpa keluarganya.

Tidak lama kemudian, ayah Siti Nurbaya jatuh sakit karena derita yangmenimpanya
begitu beruntun. Dan, kebetulan itu Samsulbahri sedang berlibur, sehingga dia punya
waktu untuk mengunjungi keluarganya di Padang. Di samping kepulangnya kekampung
pada waktu liburan karena kangennya pada keluarga, namun sebenarnya dia juga
sekaligus hendak mengunjungi Siti Nurbaya yang sangat dia rindukan.

Ketika Samsulbahri dan Siti Nurbaya sedang duduk di bawah pohon, tiba-tiba muncul
Datuk Maringgih di depan mereka. Datuk Maringgih begitu marah melihat mereka
berdua yang sedang duduk bersenda gurau itu, sehingga Datuk maringgih berusaha
menganiaya Siti Nurbaya. Samsulbahri tidak mau membiarkan kekasihnya dianiaya,
maka Datuk Maringgih dia pukul hingga terjerembab jatuh ketanah. Karena saking kaget
dan takut, Siti Nurbaya berteriak-teriak keras hingga terdengar oleh ayahnya di rumah
yang sedang sakit keras. Mendengar teriakan anak yang sangat dicinatianya itu, dia
berusaha bangun, namun karena dia tidak kuat, ayah Siti Nurbaya kemudian jatuh
terjerembab di lantai. Dan rupanya itu juga nyawa Baginda Sulaiman langsung melayang.

Karena kejadian itu, Siti Nurbaya oleh datuk Maringgih diusir, karena dianggap telah
mencoreng nama baik keluarganya dan adat istiadat. Siti Nurbaya kembali ke
kampunyanya danm tinggal bersama bibinya. Sementara Samsulbahri yang ada di Jakarta
hatinya hancur dan penuh dendam kepada Datuk Maringgih yang telah merebut
kekasihnya. Siti Nurbaya menyusul kekasihnya ke Jakarta, naumun di tengah perjalanan
dia hampir meninggal dunia, ia terjatuh kelaut karena ada seseorang yang mendorongnya.
Tetapi Siti Nurbaya diselamatkan oleh seseorang yang telah memegang bajunya hingga
dia tidak jadi jatuh ke laut.

Rupanya, walaupun dia selamat dari marabahaya tersebut, tetapi marabahaya sberikutnye
menunggunya di daratan. Setibanya di Jakarta, Siti Nurbaya ditangkap polisi, karena
surat telegram Datuk Maringgih yang memfitnah Siti Nurbaya bahwa dia ke Jakarta telah
membawa lari emasnya atau hartanya.

Samsulbahri berusaha keras meolong kekasihnya itu agar pihak pemerintah mengadili
Siti Nirbaya di Jakarta saja, bukan di Padang seperti permintaan Datuk Maringgih.
Namun usahanya sia-sia, pengadilan tetap akan dilaksanakan di Padang. Namun karena
tidak terbukti Siti Nurbaya bersalah akhirnya dia bebas.

Beberapa waktu kemudian. Samsulbahri yang sudah naik pangkat menjadi letnan dikirim
oleh pemerintah ke Padang untuk membrantas para pengacau yang ada di daerah Padang.
Para pengacau itu rupanya salah satunya adalah Datuk Maringgih, maka terjadilah
pertempuran sengit antara orang-orang Letnan Mas (gelar Samsulbahri) dengan orang-
orang Datuk Maringgih. Letnan Mas berduel dengan Datuk Maringgih. Datuk Maringgih
dihujani peluru oleh Lentan Mas, namun sebelum itu datuk Maringgih telah sempat
melukai lentan Mas dengan pedangnya. Datuk Maringgih meninggal ditempat itu juga,
sedangkan letan mas dirawat di rumah sakit.

Sewaktu di rumah sakit, sebelum dia meninggal dunia, dia minta agar dipertemukan
dengan ayahnya untuk minta maaf atas segala kesalahannya. Ayah Samsulbahri juga
sangat menyesal telah mengata-ngatai dia tempo dulu, yaitu ketika kejadian Samsulbahri
memukul Datuk Maringgih dan mengacau keluarga orang yang sangat melanggar adat
istiadat dan memalukan itu. Setelah berhasil betemu dengan ayahnya, Samsulbahripun
meninggal dunia. Namun, sebelum meninggal dia minta kepada orangtuanya agar nanti di
kuburkan di Gunung Padang dekat kekasihnya Siti Nurbaya. Perminataan itu dikabulkan
oleh ayahnya, dia dikuburkan di Gunung Padang dekat dengan kuburan kekasihnya Siti
Nurbaya. Dan di situlah kedua kekasih ini bertemu terakhir dan bersama untuk selama-
lamanya.

II. Unsur – Unsur Intrinsik Novel Siti Nurbaya


A. Tema :
Tradisi kawin paksa
B. Tokoh :
1. Siti Nurbaya
2. Samsul Bahri
3. Pak Ali
4. Datuk Maringgih
5. Bahtiar
6. Sutan Mahmud
7. Baginda Sulaiman
8. Siti Maryam

C. Latar :
* Tempat : - Muka Sekolah Belanda Pasar Ambacang Di Padang
- Dalam Rumah
- Serambi Belakang Rumah
- Gedung Dapang
* Waktu : - Siang Hari Pukul 13.00 Wib.
- Sore Hari.
- Pagi Hari Pukul Lima Pagi.
- Ahad
D. Sudut Pandang : Orang ketiga
E. Gaya Bahasa : Melayu, Belanda, Padang.
F. Amanat :
- Orang Tua Jangan Terlalu Memaksa Keinginan Diri Terhadap Anak- Anaknya.
- Orang Tua Janan Terlal Memandang Orang Dengan Mukanya.
- Biarkan Anak Dapat Memilih Jodohnya Sendiri.
G. Alur : Maju mundur.

III. Bagian yang Menarik dari Novel Siti Nurbaya


Bab I
Pulang Dari Sekolah

“Oya Nur, tunggu sebentar,” kata si Sam.”Hampir lupa aku tadi, waktu keluar bermain-
main, aku telah bermupakat dengan si Arifin dan si Bahtiar, akan pergi esok hari ke
gunung Padang, bermain-main mencari jambu keling, bebab hari ahad sukakah engkau
mengikut?”
”Tentu sekali Sam, ”Jawab si Nur dengan girang. ”Tetapi aku harus izin dahulu kepada
ayahku. Jika dapat, nanti petang kukabarkan kepadamu.“

Bab II
Sutan Mahmud dengan Saudaranya yang Perempuan

Rukiah tunduk kembali kemalu-maluan, serta merah mukanya. Tatkala itu keluarlah
seorang perempuan yang umurnya kira-kira 45 tahun, dari dalam bilik. Rupanya
perempuan ini hapir seroman dengan Sutan Mahmud. Hanya badanya kurus sedikit. Pada
air mukanya yang agak berlainan dengan wajah Sutan Mahmud, terbayang tabiatnya yang
kurang baik, yaitu dengki dan bengis.
Tatkala dilihatnya Sutan Mahmud duduk diatas kursi lalu di tegurnya, engkau, Penghulu!
Alangkah besar hatiku melihat engkau ada pula di rumah ini, karena telah sekian lama
engkau tiada datang kemari. Hampir aku bersangka engkau telah lupa kepada kami.
Karena dahulu setiap hari engkau datang kemari, makan dan minum di sini kadang-
kadang tidur pula di sini. Akan tetapi sekarang ini, jangankan tidur di sini, menjaga kami
datang melihat kami kemari sekali sejum’at pun tidak.
Rukiah tidak bersekoloah itu bukan salah hamba, melainkan salah kakanda sendiri. Sudah
beberapa kali hamba meminta kepada kakanda, supaya anak itu disekolahkan, tetapi
kakandalah yang tak suka, karena tak baik kata kakanda, anak perempuan pandai menulis
dan membaca: suka menjadi jahat. Sekarang hamba disalahkan lagi pula hamba
sekolahkan si Samsu bukan karena apa-apa, melainkan sebab pada pikiran hamba
kewajiban bapaklah memajukan anaknya, kata Sutan Mahmud sambil merengut .
Untung saja anakku perempuan, tak banyak merugikan engkau. Akan tetapi walaupun ia
laki-laki sekalipun, belum tentu ia akan kau sekolahkan. Karena orang tak bersekolah itu
orang yang hina dan miskin, yang tak dapat makan, kalau tak ada kepandaian.
Memang adat dan kelakuanmu telah berubah benar, tiada lama lagi tentulah kau akan
tukarkan pula ayahmu dengan agama nasrani,” kata Putri Rubiah.
Apakah yang telah diberikan istrimu itu kepadamu, tidakkah kau ketahui: hingga tidak
tertinggalkan olehmu perempuan itu sebagai telah terikat kaki tanganmu olehnya.
Sekalian penghulu di Padang ini beristri dua, tiga sampai empat orang. Hanya engkau
sendirilah yang dari dahulu, hanya perempuan itu saja istrimu tidak berganti-ganti, tiada
bertambah-tambah. Bukankah orang yang besar itu beristri banyak? Bukankah baik,
orang berbangsa itu beristri berganti-ganti supaya kembang keturunannya? Bukankah
hina, jika ia beristrikan satu saja? Sedangkan orang kebanyakan yang tiada berpangkat
dan tiada berbangsa, terkadang-kadang sampai empat istrinya, mengapa pula engkau
tiada?
Bab III
Berjalan-Jalan ke Gunung Padang

Pada sangkaku aku terlambat, kata Arifin setelah ia duduk dekat Samsu.
Biarpun engkau terlambat, tentu akan kutunggu juga. Sebab demikian perjanjian kita,
jawab Samsu.
Apa sebabnya engkau terlambat? Tanya Nurbaya.
Sebab aku memang orang yang suka tidur, apalagi tadi malam aku tak dapat lekas-lekas
tidur, jawab Arifin.
Mengapa? Ada keramaian di rumahmu tadi malam? Tanya Samsu.
Ya, memang ada keramaian yang amat besar. Sampai pukul dua belas malam masih jaga
aku.
Cobalah lihat Sam, baik hatinya Arifin ini! Ada keramaian di rumahnya, tiada dipanggil-
panggilnya kita, kata Nurbaya mengumpat.
Cobalah kau ceritakan kepada kami, bagaimana asal dan kejadiannya pengamukan itu?
Kata Bakhtiar.
Oleh sebab engkau sekalian minta supaya kuceritakan hal ini, itulah tandanya engkau
sekalian hendak mendengarnya juga bukan? Akan tetapi kita hampir sampai ke muara,
katakan keinginan hatimu itu, sampai nanti, kalau kita telah mendaki.
Coba lihat, kikirnya Arifin, jawab Bakhtiar yang hendak membalas dendam pada Arifin.
”sudah tiada dipanggilnya kita, tatkala ada keramaian di rumahnya. Sekarang ditahannya
pula keinginan hati hendak mengetahui keramaian itu.
Sesungguhnya keempat anak muda itu telah sampai dekat ke sebuah rumah jaga di
muara. Di sebelah pangkalan ini adalah sebuah rumah tempat pengail-ngail menjual ikan,
dan di sebelah baratnya menjelang Gunung Padang sebagai kepala naga yang timbul dari
dalam laut, yang menjadi leher naga ini adalah bagian yan rendah, itulah badan ular naga
yang membengkok ke timur diiringkan oleh Sungai Arau yang mengalir di kakinya.
Jauh di sebelah barat tengah-tengah kolam, kelihatan beberapa buah pulau yang berleret-
leret letaknya sebagai batas pagar kolam. Dibalik pulau-pulau itu adalah suatu mustika
yang bundar sebagai sebuah bola mas yang menyala-nyala, memancarkan cahayanya
yang kilau kemilu ke muka air kolam, seakan-akan sebuah kaca besar membalikkan
cahaya yang jartuh ke atasnya, kedalam taman padi, menyinari segala pohon-pohon dan
bunga-bungaan yang ada di sana.
Perlahan-lahan dengan tak kelihatan jalannya, turunlah mustika itu ke bawah. Bagai
ditarik oleh seorang jin yang tida kelihatan sehingga akhirnya tenggelamlah ia ke dalam
kolam yang ujungnya bagaikan bersabung dengan langit, meninggalkan gambar-gambar
yang rupanya seakan-akan timbul dari dalam air.
Gunung Padang yang tingginya kira-kira 322 m, ialah ujung sebelah utara gunung-
gunung rendah yang memanjang di sebelah selatan Kota Padang. Itu sebabnya pinggir
laut di tempat itu pada beberapa tempat curam dan jarang didiami orang. Asalnya
gunung-gunung ini pada Bukit Barisan yang memanjang di tengah-tengah pulau
Sumatera dari ujung barat laut ke ujung tenggara. Gunung Padang sebagai suatu cabang
Bukit Barisan itu , yang menganjur ke barat, sampai ke tepi laut kota Padang. Orang
Belanda menamai Gunung Padang ini Apenberg (Gunung Kera), sebab puncaknya
banyak kera yang jinak-jinak yang memberi kesukaan pada mereka yang mendaki.

Bab IV
Putri Rubiah dengan Saudaranya Sutan Hamzah

Pada petang hari ahad, tatkala Samsu dan sahabatnya pergi jalan-jalan ke Gunung
Padang. Kelihatan putri rubiah duduk di serambi belakang rumahnya, diatas sebuah tikar
rumput sedang menjahit. Dekat puri ini duduk saudaranya yang bungsu Sutan Hamzah
sedang menggulung rokok daun nipah. Bagaimana pikiranmu tentang kakakmu Mahmud
Hamzah? Pada pikiran hamba kelakuannya sangat berubah acapkali timbul pula dalam
hatiku, memang pangkat itu aku sukai dan harus dijaga benar-benar. Supaya jangan
bercacat nama. Tetapi janganlah hendaknya karena itu, berubah kelakuan adat dan
pikirannya.
Yang menjadikan bimbang hatiku siang-malam hingga acapkali aku tak dapat tidur
karena memikirkan hal ini. Aku takut kalau benar diperbuatnya itu, menjadi berbantah
kita, antara saudara dengan saudar. Bukan tak baik saja perbuatan yang sedemikian,
tetapi aku malu kepada orang lain. Sebab tak layak orang yang berbangsa seperti kita
berbuat begitu, kata Putri Rubiah pula dengan mengeluh.
Bab V
Samsul Bahri Berangkat ke Jakarta

Sedang mereka asik bekerja itu, datanglah Nurbaya dari rumahnya dengan berpakaian
yang indah-indah, membawa dua ikat karangan dari bermacam-macam bunga yang baik
warnanya. Lalu bertanya, ”Belum selesai Sam?” Tatkala mendengar perkataan ini,
menoleh Samsu ke belakang dan ketika terpandang olehnya gadis ini, tidaklah terkata-
kata, ia sejurus lemahnya. Mukanya yang mula-mula riang, tiba-tiba menjadi muram. Jika
Nurbaya tiada lekas menegurnya pula, barangkali kedatangan Nurbaya ini akan
mengeluarkan air mata. Ketika Nurbaya hendak kembali ke rumahnya, berkatalah Samsu,
”Biarlah ku antarkan engkau ke rumahmu, sebab hari telah jauh malam. Tak baik
perempuan berjalan seorang diri.” Oleh karena itu setuju dengan maksud Samsu ini,
kedua anak muda ini berjalan perlahan-lahan menuju rumah Siti Nurbaya. Tatkala itu
bulan bercahaya bagaikan siang. Bintang-bintang yang serupa mestika, berkilau-kilauan
di langit tinggi sebagai kunang-kunang di tempat yang gelap. Awan bergerak beriring-
iring dari barat lalu ke timur.
”Alangkah terang bulan ini,” kata Samsu tengah berjalan itu. ”Menambah rawan dan pilu
hatiku, sehingga bertambah-tambah berat bagiku meninggalkan Padang ini. Memang
sejak dari kemarin tiadalah dapat kulipur hatiku dengan pikiran akan melihat negeri yang
selalu lebih besar dan menuntut pelajaran yang lebih tinggi saja. Makin dekat aku pada
waktu akan berangkat, makin hancur hatiku.”
”Ada suatu pikiran yang selalu menggoda hatiku, yang selalu melintas dalam ingatan dan
tak dapat kulupakan siang malam.” Dengan bercakap-cakap sedemikian sampailah
keduanya ke dalam pekarangan Nurbaya. Lalu duduklah mereka berdekat-dekatan di atas
sebuah bangku, di bawah pohon tanjung yang rindang dalam kebun anak gadis ini.
Engkau tiada tahu rasa hatiku saat ini: itulah sebabnya kau permudah saja hal ini, pikiran
yang ada dalam hatiku rupanya tak ada dalam hatimu, sehingga tak dapat kau pikirkan
hatiku.
Nurbaya, karena besok aku akan meninggalkan kota Padang ini, akan pergi ke rantau
orang, entah berbalik entah tidak. Sebab itu pada sangkaku inilah waktunya akan
membukakan rahasia hatiku. Ketahuilah olehmu, Nur, bahwa aku ini sangat
mencintaimu. Percintaan itu telah lama kusembunyikan dalam hatiku, sekarang baru
kubukakan. Karena pada sangkaku, rahasia itu harus kau ketahui, sebelum kita bercerai.
Siapa tahu, barangkali tak dapati aku kembali lagi, tak dapat kita ketemu pula. Jika tidak
kubukakan rahasia ini kepadamu, pastilah ia menjadi sebagai duri di dalam daging
padaku, terasa-rasa bebilang waktu. Oleh sebab untung manusia tidak dapat ditentukan,
itulah sebabnya sangat ingin hatiku hendak mengetahui bagaimanakah hatimu kepadaku
atau hanya aku sendiri yang rindu seorang? Sambil memegang tangan Nurbaya.
Samsu menghampiri Nurbaya lalu bertanya perlahan-lahan dengan mendekatkan
kepalanya kepada kepala Nurbaya, ”Sudikah engkau kelak menjadi istriku, apabila aku
telah berpangkat dokter?”
”Masakan tak sudi,” sahut Nurbaya perlahan-lahan sebagai takut mengeluarkan perkataan
ini....
Maka diciumlah oleh Samsu perlahan-lahan punggung tangan perawan ini.
Sekarang maklumlah engkau, bagaimana takkan khwatir hatiku meninggalkan engkau.
Terimalah olehmu dokoh ini! di dalamnya ada gambarku. Nurbaya menerima tanda tanda
mata dari Samsu laulu diciumnya, sedang air matanya jatuh bercucuran.
Sekalian merela, menangis mencucurkan air mata, karena hampir sekaliannya sayang
kepada Samsu, sebab adat dan kelakuannya yang baik.
Akhirnya ia pergilah kepada Nurbaya, lalu dipeganglah tangan gadis ini beberapa
lamanya, sebagai tak hendak didepannya. Dadanya rasakan sesak menahan kesedihan
yang timbul dalam hatinya karena perceraian ini, sehingga ia tiadalah dapat berkata-kata
lain daripada, ”Selamat tinggal Nur....! Mudah-mudahan lekas bertemu kembali. ”
Nurbaya pun tiada pula dapat menjawab apa-apa melainkan ”Selamat jalan Sam!.....
selamat sampai ke Jakarta!”

Bab VI
Datuk Maringgih

Di kampung ranah, di kota Padang adalah sebuah rumah kayu, beratapkan seng, letaknya
jauh dari jalan besar, dalam kebun yang luas, tersembunyi di bawah pohon-pohon kayu
yang rindang. Jika ditilik pada alat perkakas rumah ini dan susunannya, nyatalah rumah
ini suatu rumah yang tiada dipelihara benar-benar karena sekalian yang ada dalamnya
telah tua kotor dan tempatnya tiada teratur dengan baik.
Itulah rumah Datuk Maringgih, saudagar yang termasyhur kaya di Padang. Ia bergelar
Datuk bukanlah karena ia penghulu adat, melainkan panggilan saja baginya. Walaupun
rumahnya ini katanya sekedar tempat gendi kereta dan kuda dengan kursinya, tetapi
memang itulah rumahnya yang sesungguh-sungguhnya. Karena di sanalah ia tetap
tinggal. Sedang sebuah daripada tokonya yang dikatakannya rumahnya yang sebenar-
benarnya.
Datuk maringgih ini bukan seorang yang masih muda, remaja dan bersikap tampan,
melainkan seorang tua renta yang buruk.
Saudagar ini adalah seorang saudagar yang bakhil, loba dan tamak, tiada pengasih dan
penyayang serta bengis, kasar budi pekertinya. Oleh sebab itu kerap kali dipermain-
mainkannya hartanya itu dan dibawanya tidur bersama-sama untuk mendapatkan mimpi
yang menyenangkan hatinya.
Tetapi ingat! Kata datuk maringgih pula, kalau tak sampai maksudku ini tak perlu engkau
datang-datang lagi kemari.
Mendengar perkataan ini, berdebarlah hati pendekar lima, karena artinya tentulah ia akan
dilepaskan oleh datuk maringgih, apabila maksudnya ini tak sampai.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu kelihatanlah pendekar lima keluar dari dalam
bilik tadi lalu hilang di dalam gelap.

Bab VII
Surat Samsul Bahri kepada Nurbaya

Tiga bulan Samsul Bahri berangkat ke jakarta, meninggalkan tanah airnya. Sejak hari
perceraiannya, sampai kepada waktu itu kekasihnya ini tiada hilang barang sekejap pun
dari ingatannya.
Mula-mula pada sangkanya akan mudah melipur pikirannya, apabila kesedihan hatinya
telah hilang. Akan tetapi setelah sepekan lamanya ia bagaikan demam dan setelah
sembuh pula ia kembali pada lahirnya, pada batinnya bertambah-tambah ia menanggung
kesakitan.
Ketika itulah baru diketahuinya benar-benar betapa besar harga saudaranya dan
kekasihnya itu baginya. Karena ketika itu pula dirasainya benar-benar keberatan
perceraiannya itu.
Jika datang godaan yang sedemikian itu, dicobanyalah melipur hatinya dengan pikiran
ini: Samsu tiada lama lagi akan kembali dan tentulah ia akan dapat bertemu kembali
dengan dia. Apabila Samsu menjadi dokter, tentulah ia akan beroleh kemudian dan
kesenangan pula.
Tatkala Nurbaya berpikir-pikr sedemikian itu, tiba-tiba didenarnya suara surat pos,
sehingga terkejutlah ia. Di tangga rumahnya dilihat seorang tukang pos berdiri
memegang sepucuk surat.
Maka Nurbaya berseri, ketika melihat surat itu karena besar hatinya dan pada bibirnya
kelihatab gelak senyum, yang mencekung kedua pipinya, menambah manis rupanya.
Bertambah-tambah menerima surat dari Nurbaya.
Tatkala Nurbaya membaca surat, berlinang-linanglah air matanya, karena untungnya pun
sedemikian pula.
Adikku Nurbaya!” demikianlah bunyi surat itu, ketika terus dibaca oleh
Nurbaya.”Begitulah penanggunganku. Bukan bukan sedikit beratnya perceraian rasanya.
Bukan engkau saja yang terbang di mataku.”
Setelah dibacaa oleh Nurbaya surat itu, lalu diciumnya dan diletakkannya ke atas
dadanya, ketempat jantungnya yang berelebar kemudian disimpannya dalam lemari
pakaiannya, bersama-sama dengan surat yang lain, yang telah diterimanya dari
kekasihnya itu.
Tiba-tiba kira-kira pukul dua malam, terbangunlah ia daripada tidurnya dengan
terperanjat karena didengarnya bunyi tabuh pada segala tempat sangat, dahsyat memberi
tahu ada rumah terbakar.
Bertanyalah penghuku pada orang jaga yang ada di sana. Akhirnya tiada dapat lagi Sutan
Mahmud berbendi, di situ nyatanya yang terbakar itu adalah toko baginda Sulaiman, ayah
Nurbaya, yang telah habis dimakan api.

Bab VIII
Surat Nurbaya kepada Samsul Bahri

Keberatan dan kesusahan yang sangat dideritanya pada mula-mula mereka datang ke
Jakarta, hilanglah sudah dan biasalah mereka pada kehidupannya yang baru. Hanya
ingatan dan rindu hati Samsul Bahri kepada Nurbayalah yang tiada hendak berkurang-
kurang., bahkan kian hari kian bertambah rasanya. Sehingga terkadang-kadang hampir
tak dapat ditanggungnya denda yang sedemikian itu. Terlebih-lebih dalam beberapa hari
ini, hatinya sangat rawan bercampur sedih, dengan tiada diketahuinya apa sebabnya:
sebagai adalah sesuatu marabahaya yang telah jatuh ke atas diri kekasihnya itu. Oleh
sebab itu mekinlah ia teringat kepada Nurbaya dan demikianlah bertambah ingin hatinya
hendak bertemu dengan adiknya itu.
Heran, katanya dalam hatinya, tatkala ia duduk termenung seorang diri di atas sebuah
batu dalam pekarangan sekolah. ”Mimpiku yang dahulu itu datang pula menggoda
pikiranku. Semangatlah hatiku, tatkala ingatan kepada mimpi celaka itu mulai hilang.
Sedang ia berpikir-pikir sedemikian, datanglah Arifin membawa sepucuk surat yang
dialamatkan kepada Samsu. Tatkala dilihatnya alamat surat itu nyata datangnya dari
Nurbaya , masuklah ia ke dalam biliknya, sehingga hancur kaca bingkainya, sedang
potret itu sendiri rusak pula dari Nurbaya.
Kekasihku Samsul Bahri
Walaupun kuketahui, bahwa surat yang malang ini yang telah kutulis dengan air mata
yang bercucuran dan hati yan sangat sedih lagi pedih, terlebih daripada diiris dengan
sembilu dan dibubuh asam, garam, serta pikiran yang kelam kabut dan membawa kabar
yang sangat duka cita kepadamu. Aku menulis surat ini, karena takut kalau engkau
bersangka bahwa sesungguhnyalah hatiku telah berpaling daripadamu.
]biarlah aku bersumpah terlebih dahulu, barangkali engkau percaya kembali kepadaku.
Wallah wa nabi, tiadalah hatiku berubahy dari sediakala kepadamu dan tiadalah ada
ingatanku akan menyakiti hatimu dan memutuskan pengharapanmu. Sesungguhnya aku
beribu kali lebih suka mati berkalang tanah daripada hidup bertemu bangkai bebagai ini,
dan jika tiada takut dan tiada ingat aku akan engkau, pastilah kubunuh diriku supaya
jangan menanggung sengsara lagi.
Disitu tak dapat lah Samsu membaca surat ini lagi, sehingga menjadi kembang dan huruf
yang tertulis di atasnya menjadi kurang terang. Oleh sebab itu dilampauilah oleh Samsu
tulisan yan kuran terang itu, lalu dibacanya lanjutkannya.
Bagaimana rasa hati ayahku ketika mendengar kabar itu, tak dapatlah kuceritakan di sini,
melainkan Allah jugalah yang mengetahuinya.
Tiada lama kemudian daripada itu, rupanya ayahku meminjam duit kepada Datuk
Maringgih, banyaknya sepuluh ribu dengan janji itu bagi ayahku, tiadalah kuketakui.
Barangkali akan membayar utang atau akan dipinjamkan pula membangunkan
perniagaan yan telah jatuh itu.
Setelah sampailah tiga bulan, datanglah Datuk Maringgih meminta uang kembali,
katanya sebab perlu dipakainya. Tetapi ayahku tiada beruang lagi, walaupun ayahku
minta janji tiadalah diperkenankannya.
Oleh sebab itu, tatkala akan sampaikan janji ayahku itu kepada Datuk Maringgih pada
malamnya, datanglah ia kepadaku, bertanyakan pikiranku tentang hal ini, karena
keesokan tentulah akan datang Datuk ini mendengar keputusan kami.
Setelah Datuk Maringgih menagih piutangnya, tiadalah aku dapat tidur setiap malam,
melainkan selalu menangis bersedih hati. Kerap kali aku terkejut, karena sebagai
kelihatan olehku Datuk Maringgih datang menguasai aku. Dengan demikian badanku
menjadi kurus kering tinggal kulit membalut tulang. Jika engkau melihat aku sekarang
ini, pastilah tak kenal lagi engkau kepadaku.
Karena engkau sendirilah memutuskan perkara ini, jika sudi engkau menjadi istri Datuk
Maringgih, selamatlah aku tak masuk penjara dan tentulah tiada akan terjual rumah dan
tanah kita ini.
Tatkala ayahku melihat halku sedemikian itu, air matany tak ditahannya. Lalu diciumnya
kepadaku sambil berkata, ”Nurbaya, sekali-kali aku tiada berniat hendak memaksa
engkau, jika tak sudi engkau, sudahlah, tak mengapa.”
Tatkala mendengar perkataan ayahku ini, merentakkan ia dengan marahnya lalu berkata,
”jika demikian tanggunglah olehmu!” Lalu diserahkannya perkara itu kepada pegawai
Belanda.
Ayahku tiada dapat menyahut apa-apa lian daripada, ”lakukan kewajiban tuan-tuan!”
Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang
bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada ku ketahui,
keluarlah aku, lalu berteriak jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk
Maringgih.
Mendengar perkataan itu tersenyumlah Datuk Maringgih dengan senyum yang pada
penglihatanku sebagai senyum seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya, dan
terbayanglah suka citanya dan berahi serta hawa nafsu hewan kepada matanya, sehingga
terpaksa aku menutup mataku.
Setelah menangis amat sedih beberapa lamanya, tiba-tiba berdirilah ia dengan muka yang
amat pucat dan mata yang bernyala-nyala, karena menahan marahnya, dipegangnyalah
poto Nurbaya yang ada detetnya sambil mengangkat mukanya lalu bersumpah.

Bab IX
Samsul Bahri Pulang ke Padang

Setelah tiga hari puasa dijalankan, pada keempat harinya, masuklah sebuah kapal yang
datang dari Jakarta ke Pelabuhan Teluk Bayur, membawa murid-murid sekolah Jakarta.
Diantara murid-murid itu adalah Samsul Bahri dengan ssahabatnya Arifin dan Bakhtiar.
Siti Mariyam takut kalau-kalau Samsul telah putus asa pengharapan pula. Bertanyalah ia
kepada Samsu, ”Sudahkah engkau tahu bahwa Nurbaya telah kawin dengan Datuk
Maringgih?”
”Sudah,” jawab Samsu dengan pensek, karena tak dapat rupanya ia mendengar lagi kabar
itu.
Barangkali engkau kurang suka melihat perkawinanini, sebab sesungguhnya tak layak
saudaramu itu duduk dengan Datuk Maringgih.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, keluarlah Samsu dari ruah orang tuanya,
diiringkan oleh kusir ke rumah baginda sulaiman.
Sangat terperanjat Samsu serta sedih hatinya melihat perubahan ayah Nurbaya ini.
Apabiladi tempat yang lain ia bertemu baginda sulaiman, tentulah tiada percaya ia yang
berbaring itu memang mamanda angkatnya.
Tatkala itu tiba-tiba masuklah Nurbaya ke dalam bilik itu. Sesungguhnya Nurbaya telah
lama datang, karena dipanggil oleh ayahnya, akan tetapi ketika didengarnya suara Samsul
Bahri dalam bilik ayahmnya, tiadalah tahu apa yang hendak dibuatnya.
Setelah didengarnya janji Samsu kepada ayahnya, barulah hilang bingungnya, bertukar
dengan suka yang sangat. Karena sekarang diketahuilah bahwa hati kekasih dan
saudaranya ini, tiada berubah kepadanya.
Ketika Samsu memandang muka Nurbaya, dengan sekonyong-konyong terbukalah
mulutnya, tiada berkata-kata, hatinya suka bercampur duka.
Tatkala terpandang oleh Nurbaya, Samsu pura-pura terperanjatlah ia.

Bab X
Kenang Kenangan Kepada Samsul Bahri

Hai pungguk! Mengapakah engkau merindu sedemikian itu, seraya memandang dengan
tiada berkeputusan kepada bulan yang tinggi itu? Apakah yang menjadikan sedihmu itu,
dan apakah maksud perbuatanmu itu?
Aduh bulan, aduh jiwaku, jantung hatiku, cahay mataku! Bilakh engkau turun ke dunia
ini, melihat aku yang sekian lama mengandung rindu dendam kepadamu? Bilakah engkau
jatuh ke bumi, ke atas pangkuanku untuk mengobati luka hatiku yang telah tembus kena
panah berahi merindukan engkau dengan tiada mengindahkan jerih dan lelah.
Aduh kekasihku yang sangat kucintai! Betapakah ahirnya aku ini? karena semenjak aku
kau tingalkan, adalah halku ini sebagai orang yang tiada bernyawa lagi dan adalah dunia
ini rasanya telah menjadi sangat sempit.
Maka bercucuran pula air mata perempuan ini, sedang ia menangis sedemikian itu. Tiba-
tiba dirasakannya bahunya dipegang orang dari belakang dan didengarnya suara orang
yang lemah lembut.

Bab XI
Nurbaya Lari ke Jakarta

Pada sebuah kedai, yang ada di Teluk Bayur, kelihatan seorang laki-laki tua yang
sebentar-sebentar menjenguk ke luar lalumengintip ke sana-sini, sebagai takut
memperlihatkan dirinya. Setelah masuknya ia kembali ke dalam kedai itu, lalu berkata
kepada perempuan muda, rupanya tak ada orang yang tahu akan perjalanan kita ini ke
jakarta.
”Baiklah kak pendekarlima,” jawab pendekar tiga. Tiba-tiba kelihatan seorang laki-laki
yang berpakaian serba hitam datang dengan cepat mendekati Nurbaya yang seang duduk
di kursinya, tak dapat berdiri, karena pusing. Dengan segera orang itu memegang badan
Nurbaya lalu mengangkat dan membawanya ke sisi kapal, hendak melemparkannya ke
dalam laut. Tatkala dilihat oleh Nurbaya orang itu adalah pendekar lima yang dikenalnya,
hendak menikam Samsul Bahri dahulu. Berteriaklah ia minta tolong serta berkuat hendak
melepaskan dirinya dari penjahat ini.

Bab XII
Percakapan Nurbaya Dengan Alimah

Perkumpulan yang tiada sabar, terkadang-kadang, karena sangat sakit hatinya


dipermalukan, bukan pekasih yang diberikannya kepada suaminya yan sedemikian, tetapi
racun. Sehinga bertambah-tambah lekslah ia berpulang ke negeri yang baka.
Setelah sampai ia ke jalan besar, tiba-tiba keluarlah seseorang yang memakai baju serba
hitam dari balik pohon kayu lalu menghampiri tukang kue itu, setelah dekat bertanyalah
ia, ”Bagaimana, pendekar empat?”
”Dibelinya, dan aku berikan yan bergula enak.”
”Bagus, sekarang marilah kita pergi lekas-lekas dari sini.”
Turutlah aku! Lalu hilanglah keduanya pada tempat yan gelap. Pada keesokan harinya,
tatkala sampai kabar kematian Nurbaya ini pada siti maryam yang sedang sakit keras di
kampung sebelah, karena terkejut ditinggalkan oleh anaknya Samsu. Tiba-tiba
berpulanglah pula ibu Samsul Bahri ini, sebab kabar ini rupanya sangat menyedihkan
hatinya.

Bab XIII
Samsul Bahri Membunuh Diri

Sambil dipikir-pikir demikian, dibukanyalah kedua surat kawin itu dengan tangan yang
gemetar. Setelah dibacanya kedua surat itu, jatuhlah ia pingsan tiada kabarkan dirinya,
sebab kedua syart irulah yang membawa kabar kematian Nurbaya dan ibunya.
Beberapa lamanya ia terbaring pingsan itu, tiadalah diketahui ketika ia sadarkan dirinya
pula, adalah halnya seperti orang yang gila, tak dapat berpikir dan berkata-kata.
Tatkala pintu balik ini akan ditutupnya, diperhatikannyalah segala benda yang telah
dipergunakannya sekian lama. Setelah itu ditariknyalah pintu ini dengan keras, sebagai
takut ia memandang lama-lama sekalian perkakas yan akan ditinggalkannya itu.
Tiba-tiba menolehlah ia kepada sahabatnya ini sebab didengarnya Samsu berkata,
”Sekarang engku jangan marah, Raf, sebab aku akan meninggalkan engkau.”
Tatkala yang diperhatikan Arifin benar-benar orang ini, nyatalah yang duduk itu Samsu,
yang sedang mengacungkan sebuah pistol ke kepalanya. Dengan tiada berpikir lagi
menjeritlah ia, ”Samsu, ingat akan dirimu!” sambil melompat memburu sahabatnya itu.
Akan tetapi terlambat, karena tatkala itu didengarnya bunyi pistol dan dilihatnya Samsu
rebah ke bangku.

Bab XIV
Sepuluh Tahun Kemudian

Sepuluh tahun sudah Samsul Bahri menembak diri di Jakarta, kelihatanlah pada suatu
hari, kira-kira pukul lima petang, dua orang opsis berjalan perlahan-lahan serta bercakap-
cakap, menuju stasium kereta api di Cimahi. Walaupun kedua mereka itu sama-sama
sama petah lidahnya berkata dalam bahas Belanda dan pakaiannya serupa pula, tetapi dari
jauh, telah nyata sangat berlainan.

Bab XV
Rusuh Perkara Belasring di Padang

Sudahkah engkau duduk melelo mendengar kabar yang kurang baik itu? Tanya seorang
tua di Pasar Bukit Tinggi kepada temannya. Kabar apakah itu, engkau malim batuah?
Sahut sahabatnya. Kompeni akan meminta uang belasting kepada kita, jawab malim
batuah.
Oleh sebab pemerintah merasa khawatir anak negeri tiada hendak menurut saja aturan
baru ini, melainkan boleh jadi membantah, bermufakatlah pegawai-pegwai Belanda
dengan pegawai anak negeri di Padang Hilir dengan tuanku-tuanku penghulu, di Padang
Hulu dengan tuanku-tuanku laras untuk mencari akal yang baik, supaya dapat juga
menjalankan belasting itu dengan aman.

Bab XVI
Peperngan Antara Samsul Bahri dan Datuk Maringgih

Kabar kedatangan bala tentara ini sekejap juga pecah kesana-kemari, sampai ke luar-luar
kota, sehingga perempuan dan ank-anak pun tahu hal ini. Maka ramailah dibicarakan
peperangan yan akan terjadi. Yang penakut, larilah bersembunyi ke gunung-gunug
dengan anak bini dan harta bendanya, yang berani tinggallah di dalam kota, karena ingin
hendak melihat tamasya peperangan.
Tatkala berbunyilah bedil kedua kalinya, rebahlah sebaris orang yang dimuka jatuh ke
tanah. Oleh sebab cepat datang mereka menyerbukan dirinya, serdadu-serdadu, letnan,
tiadalah sempat menembak lagi, lalu mempergunakan bayonetnya.
Tiada berapa lamanya beperangan itu, banyaklah yan mati dan luka pada kedua belah
pihak. Untunglah pada waktu itu juga kedengaran tempik sorak serdadu letnan van stat,
yang menyerbukan diri ke medan perang.
Tetapi tatkala itu juga Datuk Maringgih melompat ke mulia, menetak Samsul Bahri
dengan parangnya, sambil berteriak, rasailah pula olehmu bekas tanganku, hai anjing
Belanda!

IV. Biografi Penulis


MARAH RUSLI, nama lengkapnya Marah Rusli bin Sutan Abubakar, dilahirkan pada
tanggal 7 Agustus 1889 di Padang, Sumatera Barat.
Riwayat Pendidikan:
1904 Taman Sekolah Rakyat di Padang
1909 Taman Sekolah Raja di Bukittinggi
1915 Taman Sekolah Dokter Hewan di Bogor
Pengalaman Kerja :
1915-1922 Menjadi dokter hewan di berbagai tempat di Nusa Tenggara Barat dan Jawa
Barat
1923-1945 Menjadi dokter hewan di Semarang
1945-1949 Menjadi dokter hewan di zaman pengungsian di Sala dan Klaten, kemudian
ke Semarang dan pensiun tahun 1951.
1952-1960 Dipekerjakan kembali sebagai dokter hewan di Pusat Pendidikan Peternakan
Bogor.
Marah Rusli meninggal dunia tanggal 17 januari 1968, dimakamkan di Bogor. Selain
mengarang, Marah Rusli juga mempunyai hobi berolahraga, musik, melukis dan
sandiwara. Buku-buku karya Marah Rusli yang lain di antaranya Anak Dan Kemenakan,
La Hami, Memang Jodoh, dan Gadis Yang Malang (terjemahan dari novel Charles
Dickens).

You might also like