You are on page 1of 11

Environmental Degradation Dan Transfer Teknologi

Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali sampai saat ini
belum mampu mejelaskan akar permasalahan ekologis yang melanda dunia, apalagi
memberikan penyelesaian yang solutif. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa wacana
perubahan iklim menjadi perhatian utama masyarakat dunia dalam dua tahun terakhir.
Perhatian masyarakat dunia muncul akibat hadirnya berbagai gejala atau fenomena alam
yang oleh beberapa ahli dianggap sebagai reaksi atau adaptasi alam terhadap kerusakan
yang menimpanya akibat ulah dan perbuatan manusia. Terlebih lagi, berbagai gejala atau
fenomena alam tersebut umumnya baru terjadi sekali dan dominan melanda Eropa, seperti
meningkatnya suhu udara pada musim panas di Eropa, kebakaran hutan di beberapa
negara Eropa, peralihan musim yang tidak menentu, dan mewabahnya berbagai macam
penyakit – penyakit aneh seperti Flu Burung, Penyakit Kuku dan Mulut, dan sebagainya.

Berdasarkan berbagai fakta tersebut, PBB melalui lembaga yang dibawahinya, yaitu
United Nation Climate Change Conference (UNCCC) mencoba untuk melihat dan
memperhatikan lebih serius masalah ekologis global. Berbagai upaya coba untuk
dilakukan, misalnya mencari alternatif energi pengganti bahan bakar fosil yang disinyalir
berperan dalam meningkatnya suhu permukaan bumi akibat emisi gas yang
ditimbulkannya, mengadakan berbagai konferensi terkait masalah perubahan iklim,
kampanye dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat global,
dan sebagainya.

Akan tetapi, berbagai upaya tersebut ternyata tidak mampu memberikan hasil yang
maksimal, apalagi berbagai upaya tersebut belum mampu melacak permasalahan utama
hingga ke akarnya. Berbagai konferensi yang diadakan oleh PBB seperti UNCCC di Bali
misalnya melihat bahwa permasalahan yang ada sekarang itu adalah perubahan iklim itu
sendiri, sehingga yang harus dicarikan solusinya adalah bagaimana mengatasi perubahan
iklim tersebut dengan pemecahan yang parsial hanya menyangkut masalah itu saja. Maka
muncullah saran alih teknologi sebagai pemecahan masalahnya, khususnya bagi negara –
negara berkembang. Pertanyaan kemudian, seefektif apa peralihan teknologi mampu
mengatasi perubahan iklim, mengurangi kadar polusi, dan mengurangi kadar emisi gas
buangan pabrik – pabrik industri di negara – negara maju? Bagaimana dengan negara –
negara berkembang? Mengapa mereka yang lebih didesak untuk mengalihkan
teknolginya?

Sejarah kemunculan Transfer Teknologi

Di awal Revolusi Industri pada abad ke-18 di Inggris, berbagai kota seperti
Manchester, Liverpool, dan Bristol menjelma menjadi kawasan – kawasan industri yang
menyuplai berbagai kebutuhan konsumsi masyarakat Eropa dan dunia. Kerajaan Inggris
kemudian mengalami kemajuan ekonomi yang sangat drastis, khususnya di bidang industri
yang memicu munculnya orang – orang yang membuka berbagai usaha dan pabrik baru
yang beroperasi dengan volume output yang tentunya lebih besar, apalagi dengan
dukungan penuh pihak kerajaan. Inilah awal mula industrialisasi masyarakat Eropa yang
kemudian menjadi spirit bagi berkembangnya liberalisme. Meningkatnya standar
kesejahteraan masyarakat Eropa kemudian memancing mereka untuk berharap lebih pada
kebebasan dalam bidang ekonomi.

Peradaban modern kemudian dimulai. Periode peradaban yang juga dikenal dengan
periode renaissance, membawa angin deras perubahan umat manusia-manusia di Eropa.
Tradisi rasionalitas menjadi semangat baru dalam praktek-praktek kehidupan. Perubahan
ini diselingi dengan berbagai macam penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan
fisika, ilmu-ilmu sosial, sistem produksi dan termasuk kemajuan di bidang teknologi.
Namun, dibalik kemajuan yang dicapai oleh masyarakat Eropa tersebut, praktek
kolonialisme menjadi tidak terelakan. Kebutuhan akan penemuan-penemuan baru,
perluasan modal dan pasar serta keperluan akan sumber daya energi untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat akhirnya ditempuh melalui ekspansi
militer ke luar kawasan Eropa. Selain untuk memperluas aliran modal, ekspansi negara-
negara Eropa ke luar kawasannya tidak terlepas dari kepentingan untuk mendominasi
negara-negara jajahan. Kawasan luar Eropa yang mengalami penjajahan tersebut
kemudian dikenal dengan Negara-negara dunia ketiga atau saat ini dikenal dengan istilah
negara sedang berkembang menjadi dan/atau negara sedang berkembang.

Perubahan besar ini dan munculnya kebutuhan-kebutuhan masyarakat secara besar-


besaran kemudian juga memunculkan aktor-aktor baru dalam konstelasi politik ekonomi
global. Selain negara, muncul perusahaan multinasional yang menjalankan praktek
investasinya di luar negeri. Di Indonesia pada masa-masa kolonial kita mengenal VOC
sebagai salah satu perusahaan asing milik Belanda yang mampu mengendalikan sektor-
sektor produksi dalam negeri, terutama dalam sektor perkebunan, termasuk juga
kemampuan mereka mempengaruhi keputusan politik negara. Dalam periode Indonesia
kontemporer, struktur ekonomi-politik orde baru juga menggambarkan bagaimana PT.
Freeport di Papua berhasil mengatur perpanjangan kontrak karya mereka hingga tahun
yang hanya pihak freeport yang tahu dan ada juga PT. Adaro di Kalimantan Selatan yang
akan memperpanjang kontrak karya hingga tahun 2042 serta investasi sektor
pertambangan di kawasan lain Indonesia. Tidak mudah membangun kesepakatan antara
negara dengan perusahaan multinasional, namun kemampuan ekonomi-politik mereka
yang beroperasi di lingkaran kekuasaan menyebabkan munculnya praktek korporatokrasi
yang mempengaruhi posisi tawar menawar negara menjadi lemah. Sehingga praktek
penjajahan dalam bentuk yang lain masih saja terjadi. Barangkali jika boleh dikatakan,
keberadaan negara saat ini berada dalam posisi mengambang (floating state).

Konstruk negara-negara pasca kolonial yang ditandai dengan pengakuan kemerdekaan


secara de jure dan de facto dengan proses perjuangan panjang tidak serta merta
menghentikan praktek penjajahan. Bila kita lihat secara kritis, kolonialisme masih terus
berlangsung jauh sesudah kemerdekaan negara terjajah terwujud. Hanya saja bentuk
penjajahan tidak dalam arti fisik, namun dapat dibayangkan bagaimana mereka (negara
maju) atau perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di negara sedang
berkembang terus mengeruk keuntungan pasar dan kekayaan alam tanpa batas, yang
bahkan mencapai tahap konsumerisme tinggi dan kerusakan ekologis yang tidak sedikit.
Kehadiran mereka menjalankan operasi bisnisnya di luar negeri selalu didasari alasan
untuk menanamkan investasi modal agar kemajuan maupun pertumbuhan ekonomi dapat
ditempuh oleh negara sedang berkembang dimana mereka menanamkan modalnya.
Negara sedang berkembang dapat mengambil keuntungan dibalik kehadiran investor
dengan cara menarik pajak investasi ataupun tranasfer teknologi.

Namun ironsinya, sedikit sekali kemampuan negara sedang berkembang untuk


mengambil keuntungan yang sebanding dengan kehadiran investasi global di negaranya.
Ini akhirnya menimbulkan pertanyaan, yaitu apakah ketimpangan ini merupakan
kelemahan kapabilitas negara sedang berkembang untuk mengambil keuntungan dibalik
investasi asing ataukah perusahaan atau negara maju terus menerus melakukan tekanan-
tekanan ekonomi-politik kepada NSB.

Bila kita mencoba menilai secara kritis, maka sebetulnya kehadiran perusahaan
multinasional yang beroperasi pada sektor pertambangan misalnya, maka akan kita
temukan kecenderungan bahwa mereka mengabaikan dampak yang timbul terhadap
lingkungan. Dibalik kehadiran mereka juga masih ada kemiskinan dan ketimpangan. Alih-
alih melakukan transfer teknologi, dalam persoalan ketimpangan, kemiskinan dan
lingkungan saja mereka terlihat tidak mau berbagi dengan negara sedang berkembang. Itu
barangkali menjadi sebab dimana kemajuan tidak dapat dicapai oleh negara sedang
berkembang selain ongkos kerugian yang timbul terhadap kerusakan ekologis dan
munculnya praktek korporatokrasi dari praktek-praktek bisnis mereka. Akan tetapi sangat
tidak adil bila kita mengatakan bahwa tidak ada keuntungan sama sekali yang diperoleh
negara sedang berkembang. Pendapatan NSB dari sektor pajak bisa dijadikan sarana
penopang percepatan pembangunan, namun angka yang diperoleh negara hanya berkisar
kurang dari 5 persen dari total keuntungan yang diperoleh dari investasi perusahaan
multinasional di NSB.

Olehnya, tidaklah salah jika mengatakan bahwa MNC, selain membawa banyak
dampak negatif, ia juga memberikan dampak positif bagi suatu negara. Namun, ada
baiknya untuk mengkaji secara substansial dampak-dampak positif tersebut, salah satunya,
dengan isu adanya transfer teknologi yang kemudian dapat dijadikan sebagai salah satu
faktor untuk mempercepat pembangunan nasional negara.

Mendefenisikan Transfer Teknologi

Teknologi didefinisikan sebagai aplikasi sistematis atas rasionalitas kolektif manusia


untuk memecahkan masalah-masalah dengan cara mengusahakan kendali atas alam
dan atas segala macam proses manusia.1
Dalam bukunya ‘The Uncertain Promise: Value Conflicts in Technology Transfers‘,
Denis Goulet mengatakan bahwa teknologi memiliki peran penting antara lain karena:
teknologi adalah sumber dan pencipta sumber daya baru, teknologi adalah instrumen yang
kuat untuk menciptakan kontrol sosial, teknologi mempengaruhi pengambilan keputusan
1
http://nadya.wordpress.com/2009/02/27/menelanjangi-alih-teknologi/diakses pada 09 Jan 2011
untuk mencapai kehidupan yang berkualitas, dan teknologi membentuk makna-makna
baru sebagai lawan dari alienasi-yang merupakan antitesis dari kehidupan yang bermakna
(meaningful life). Sedangkan jika dikaitkan dengan isu transfer maka United Nations
Commissions on Transnational Corporation mendefenisikan transfer teknologi sebagai
“Technical knowledge or know-how that is related to the method and techniques of good
and services.”. Kemudian United Nations Conference on Trade and Develoopment, Alih
teknologi meliputi setiap cara pengalihan hak-hak teknologi baik yang berbentuk hak
milik maupun tidak, tidak dipersoalkan bentuk hukum cara pengalihannya termasuk
transaksi teknologi yang dilakukan oleh subsidiary yang sebagian atau seluruhnya dimiliki
oleh perusahaan transnasional dan perusahaan asing lainnya serta joint venture yang
bagian dari saham-sahamnya dimiliki orang asing.

Berbeda halnya dengan defenisi dari pemerintah Indonesia, melalui UU No. 18 Tahun
2002, Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi mendefenisikan transfer atau Alih teknologi sebagai pengalihan kemampuan
memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan
organ baik yang berada di lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri
ke dalam negeri dan sebaliknya.

Beberapa defenisi diatas, secara ideal menggambarkan bagaimana isu transfer


teknologi menjadi isu penting bagi hampir semua negara khususnya negara-negara
berkembang. Mereka menjadikan isu ini sebagai salah satu alternatif dalam mempercepat
dan memudahkan pembangunan nasional negaranya. Isu ini juga dipandang sebagai jalan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam hal pemberdayaan masyarakat,
memperkuat bargaining position di dunia internasional dan tentunya menjadi prestise
tersendiri bagi negara yang berhasil memanfaatkan isu transfer teknologi ini. Namun,
muncul pertanyaan selanjutnya, apakah isu ini diciptakan memang untuk mewujudkan
sebagian kecil tujuan-tujuan di atas? Apakah isu transfer atau alih teknologi itu ada?
Bagaimana barat atau yang lebih representatif yakni perusahaan Multinasional
mengalihkan teknologinya? Bagaimana negara menyikapi isu ini khususnya Indonesia?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, penulis akan memulai pembahasan


dengan pertanyaan, bagaimana transfer atau alih teknologi di transfer atau di alihkan?
Untuk mengetahui bagaimana proses transfer teknologi tersebut maka dapat terlihat
dari jenis-jenis dan cara-cara alih teknologi. Perusahaan Multinasional menjadi aktor kunci
dalam proses ini. Anthony I. Akubue “Technology Transfer: A Third World Perspective”
menjelaskan jenis-jenis alih teknologi. Yang sering terjadi antara lain2:
Foreign Direct Investment, yaitu investasi jangka panjang yang ditanamkan oleh
perusahaan asing. Investor memegang kendali atas pengelolaan aset dan produksi. Untuk
menarik minat investor asing, Negara Dunia Ketiga menjalankan berbagai kebijakan
seperti liberalisasi, privatisasi, menjaga stabilitas politik, dan meminimalkan campur
tangan pemerintah. Padahal, kepemilikan asing atas modal sama saja dengan
membentangkan jalan lebar menuju keuntungan dan pelayanan bagi korporasi
transnasional. Mereka mengeksploitasi banyak keuntungan dengan resiko yang ditanggung
oleh Negara Dunia Ketiga. Bayangan mengenai terjadinya alih teknologi dan
pengembangan teknologi pribumi dirasakan sebagai impian yang terlalu muluk.
Joint Ventures, yaitu kerjasama (partnership) antara perusahaan yang berasal dari
negara yang berbeda dengan tujuan mendapat keuntungan. Dalam model seperti ini,
kepemilikan diperhitungkan berdasarkan saham yang dimiliki. Jenis alih teknologi ini
menjadi menarik sebab perusahaan-perusahaan asing dapat menghindari terjadinya
nasionalisasi atas perusahaan. Perlu diketahui bahwa dalam model FDI (Foreign Direct
Investment) resiko terjadinya nasionalisasi secara tiba-tiba adalah cukup tinggi. Selain itu
investor asing juga merasa riskan bila harus melakukan joint ventures dengan perusahaan
nasional Negara Dunia Ketiga.
Licensing Agreements, yaitu izin dari sebuah perusahaan kepada perusahaan-
perusahaan lain untuk menggunakan nama dagangnya (brand name), merek, teknologi,
paten, hak cipta, atau keahlian-keahlian lainnya. Pemegang lisensi harus beroperasi di
bawah kondisi dan ketentuan tertentu, termasuk dalam hal pembayaran upah dan royalti.
Biasanya cara ini digunakan oleh perusahaan asing dengan mitra Negara Dunia Ketiga.
Cara ini adalah yang paling memungkinkan terjadinya alih pembayaran atau larinya
modal dari Negara Dunia Ketiga kepada perusahaan-perusahaan asing.
Turnkey Projects, yaitu membangun infrastruktur dan konstruksi yang diperlukan
perusahaan asing untuk menyelenggarakan proses produksi di Negara Dunia Ketiga. Bila
segala fasilitas telah siap dioperasikan, perusahaan asing menyerahkan ‘kunci’ kepada
perusahaan domestik atau organisasi lainnya. Perusahaan asing juga menyelenggarakan

2
Balian Zahab, “Alih Teknologi Bukan Pasar Baru”, dalam
http://balianzahab.wordpress.com/ | Diskusi dan Konsultasi Masalah Hukum, diakses pada 09 Januari 2011
pelatihan pekerja dalam negeri agar suatu saat dapat mengambil alih segenap proses
produksi yang dibutuhkan. Kecil kemungkinan terjadi alih teknologi sebab perusahaan
domestik hanya bisa mengoperasikan tanpa mengerti kepentingan pengembangan
teknologi tersebut. Perusahaan domestik juga tidak bisa membangunnya, sehingga peran
mereka sekadar menjadi budak suruhan.

Penerapan Transfer Teknologi Di Negara-Negara Berkembang

Permasalahan yang muncul kemudian yakni, adakah aktivitas yang di sebut dengan
transfer teknologi yang terjadi khususnya di negara berkembang? Sangat ironis, jika
melihat isu transfer teknologi yang terjadi saat ini tidak lebih hanya sebatas isu
perdagangan teknologi dari negara maju ke negara berkembang yang berujung pada
kerugian negara berkembang itu sendiri. Kondisi ini dipertegas kemudian dengan kondisi
dari transfer teknologi itu sendiri yakni: teknologi itu bukan sesuatu yang murah. Negara
berkembang harus bersedia membayar harga teknologi yang cukup mahal ditengah kondisi
negara yang masih memiliki kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya. Parahnya,
penentuan harga jual hampir mutlak terletak pada tangan pemilik teknologi. Pembeli
hanya diberi pilihan membeli atau tidak sama sekali. Teknologi seringkali dijual secara
paket, di mana paket tersebut dengan segala perekatnya (tie-in) secara sepihak sering
sengaja dimahalkan. Untuk industri tinggi, pembelian teknologi secara terpisah (partial)
hampir mustahil.

Selanjutnya, negara berkembang yang masih bergelut dengan pemeliharaan dan


pertahanan kemerdekaan, di pihak lain, dengan alih teknologi ini bukan mustahil negara
akan melepaskan sebagian kemerdekaan tersebut. Sangat besar kemungkinan, teknologi
yang dimasukkan tersebut menimbulkan ketergantungan teknologi (technological
dependency). Hal ini tidak sehat bagi perekonomian Negara berkembang. Negara negara
berkembang sekadar menjadi sandera dari pemasaran teknologi asing. Negara-negara maju
dan perusahaan multinasional akan menjadikan kekayaan negara berkembang sebagai
sasaran pemasaran teknologinya. Kemudian kerugian yang dirasakan kemudian, ketika
ketergantungan teknologi sudah semakin tinggi, maka kreativitas masyarakat dan anak
sekolah akan merosot. Kemalasan untuk bersusah payah pun muncul. Akibat yang paling
signifikan adalah berkurangnya lapangan pekerjaan sehingga terjadi pemutusan hubungan
kerja (PHK) dan meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan. Inilah wajah tidak
manusiawi dari alih teknologi.
Kerugian-kerugian yang berpeluang dirasakan oleh negara-negara berkembangn
menjadi lebih jelas karena:
 Belum adanya UU Paten yang mengatur apakah teknologi yang masuk setelah jangka
waktu tertentu akan menjadi milik umum (public domain).
 Berbagai kontrak yang dibuat PT PMA atau PT PMDN dengan perusahaan-
perusahaan asing mengenai teknologi tersebut tidak menjamin terjadinya alih
teknologi. Pengetahuan mengenai berbagai kontrak itu sangat miskin, tidak tahu apa
saja isi kontrak-kontrak tersebut karena tidak ada kewajiban untuk mengumumkan isi
kontrak itu kepada pemerintah, apalagi kepada umum.
 Kalaupun ada UU Paten dan kontrak-kontrak alih teknologi, hanya dijadikan sarana
untuk masuk ke pasaran domestik. Pengusaha asing dengan berbagai upayanya
mempertahankan patennya melalui berbagai modifikasi sehingga paten tersebut tidak
jatuh menjadi public domain. Ada keengganan besar pada pemilik paten asing ini
untuk mengalihkan teknologinya.
 Mekanisme kontrol terhadap alih teknologi relatif lemah. Dan,
 Mitra bisnis yang sepadan di dalam negeri belum cukup tersedia.
Olehnya, tidaklah salah jika transfer teknologi saat ini lebih cenderung mengarah ke
komersialisasi teknologi. Yang menurut V. Matthew Kurian adalah sebagai berikut:
Modern technology – in multiple ways – is instrumental in subordinating the Third World
to the First World and in bleeding out their economic surplus to the imperialistic center.3

Penjajahan Teknologi oleh korporasi Multinasional

Perkembangan teknologi modern akibat Revolusi Industri kapitalis di Barat telah


membunuh teknologi yang telah berkembang sedemikian lama di Negara berkembang.
Alih teknologi menciptakan selera Barat di Negara berkembang. Untuk mewujudkan
kepentingan kapitalis imperialis, mereka melabeli pandangan hidup yang berbeda dengan
mereka sebagai tidak modern, bahkan tidak beradab. Mereka mendekonstruksi nilai-nilai
tradisional dan mempengaruhi secara mental agar Negara berkembang mau menerima
hegemoni pandangan hidup Barat. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

3
Kurian, “Technology as a Tool of Imperial Domination and Exploitation: A Study on Third World with
Special Reference to India”, dalam Indian Church History Review no. 30,
modern berperan besar dalam hal ini. Kemudian ini memberi keuntungan bagi mereka dan
menciptakan ketergantungan kepada mereka.

Teknologi modern yang dikembangkan sekarang cenderung bias pandangan hidup


teknokratis yang materialis, linear, dan kuantitatif, sehingga tidak mampu menghargai
nilai-nilai hidup yang nonmaterial. Sebuah contoh dapat dikemukakan di sini. Teknologi
modern bertanggung jawab terhadap terjadinya kelaparan massal di Negara-negara
berkembang. Revolusi Industri di Eropa membutuhkan banyak bahan-bahan mentah,
sehingga dicarilah akal untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Muncullah penjajahan.

Di bawah penjajahan, negara-negara terjajah terpaksa mengalihkan jenis tanaman


mereka, dari menanam tanaman pangan menjadi menanam tanaman perdagangan untuk
dijual. Hal ini menciptakan ketergantungan dalam dua cara. Yang pertama, negara jajahan
kehilangan basis pangan (food base). Yang kedua, mereka dipaksa menggantungkan diri
pada penjajah untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Sebab, untuk menjual tanaman
perdagangan yang mereka tanam di bawah paksaan tersebut, mereka tidak punya pilihan
selain menjual kepada tuan penjajah mereka. Itu adalah salah satu contoh latar belakang
yang menunjukkan bahwa kepentingan kapital di balik pengembangan teknologi
membutuhkan terjadinya dominasi dan homogenisasi.

Contoh kasus lain yang terjadi di India adalah tergesernya keahlian kerajinan ukir
tradisional akibat pendudukan penjajah. Negara ini diubah menjadi penyedia bahan baku
sekaligus pasar bagi Inggris Raya. Karena barang kerajinan jauh lebih baik dan bermutu
daripada barang buatan pabrik, demikian pula lebih tinggi ongkos membuat dan
memperolehnya, maka orang India terpaksa membeli produk impor dari penjajah. Ini
semakin mengokohkan posisi penjajah dan dengan kekerasan mereka menghabisi
pengetahuan dan keahlian lokal India. Bahkan mereka memotong tangan para pengrajin
ukir di India.

Sedangkan di Indonesia, dampak transfer teknologi tidaklah seperti di India.


Indonesia dengan watak inlandernya, menganggap bahwa apapun yang ditawarkan oleh
Barat, maka itu baik untuk pembangunan nasional negeri. Indonesia seharusnya perlu
menyadari bahwa isu ini berpeluang besar menjadi ajang untuk mempromosikan teknologi
terbaru yang sekali lagi hanya memberikan keuntungan bagi beberapa pihak tertentu, yaitu
negara – negara maju dan menjadikan negara – negara berkembang lagi – lagi sebagai
korban yang harus membeli teknologi tersebut. Padahal negara – negara berkembang,
seperti yang kita ketahui bersama tidak punya andil yang lebih besar dari negara – negara
maju dalam kerusakan ekologis global. Kerusakan ini jika kita tilik lebih jauh justru
merupakan wujud kegagalan negara – negara maju dalam merumuskan model ekonomi
dunia.
Bagaimanapun, transfer teknologi dapat mencapai sasaran yang tepat guna, jika
pemerintah menerapkan pembatasan atau aturan-atauran yang ketat dalam aktivitasnya.
Tidak dapat dielakkan bahwa Indonesia sangat berkepentingan dalam transfer teknologi
mitigasi listrik dari energi terbarukan seperti panas bumi dan batubara bersih. Yang tidak
kalah penting juga adalah transfer teknologi di sektor pertanian dan pesisir. Namun,
dengan adanya jalinan aktivitas transfer teknologi, pemerintah perlu memperkuat sistem
inovasi nasional guna memacu pemanfaatan dan pengembangan hasil-hasil ilmu
pengetahuan dan teknologi secara mandiri. Pemerintah juga perlu menfokuskan pada
peningkatan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan iptek dengan sasaran menguatkan
kelembagaan, sumber daya, serta jaringan iptek maupun meningkatkan kemampuan
nasional dalam penguatan iptek.
Tugas Kelompok Ekonomi Politik Global

PENGARUH TRANSFER TEKNOLOGI BAGI


PEMBANGUNAN NASIONAL NEGARA

Oleh:

Yoga Suharman

Finahliyah Hasan

PROGRAM MASTER HUBUNGAN INTERNASIONAL

PASCASARJANA FISIPOL

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2010

You might also like