Professional Documents
Culture Documents
Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali sampai saat ini
belum mampu mejelaskan akar permasalahan ekologis yang melanda dunia, apalagi
memberikan penyelesaian yang solutif. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa wacana
perubahan iklim menjadi perhatian utama masyarakat dunia dalam dua tahun terakhir.
Perhatian masyarakat dunia muncul akibat hadirnya berbagai gejala atau fenomena alam
yang oleh beberapa ahli dianggap sebagai reaksi atau adaptasi alam terhadap kerusakan
yang menimpanya akibat ulah dan perbuatan manusia. Terlebih lagi, berbagai gejala atau
fenomena alam tersebut umumnya baru terjadi sekali dan dominan melanda Eropa, seperti
meningkatnya suhu udara pada musim panas di Eropa, kebakaran hutan di beberapa
negara Eropa, peralihan musim yang tidak menentu, dan mewabahnya berbagai macam
penyakit – penyakit aneh seperti Flu Burung, Penyakit Kuku dan Mulut, dan sebagainya.
Berdasarkan berbagai fakta tersebut, PBB melalui lembaga yang dibawahinya, yaitu
United Nation Climate Change Conference (UNCCC) mencoba untuk melihat dan
memperhatikan lebih serius masalah ekologis global. Berbagai upaya coba untuk
dilakukan, misalnya mencari alternatif energi pengganti bahan bakar fosil yang disinyalir
berperan dalam meningkatnya suhu permukaan bumi akibat emisi gas yang
ditimbulkannya, mengadakan berbagai konferensi terkait masalah perubahan iklim,
kampanye dan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat global,
dan sebagainya.
Akan tetapi, berbagai upaya tersebut ternyata tidak mampu memberikan hasil yang
maksimal, apalagi berbagai upaya tersebut belum mampu melacak permasalahan utama
hingga ke akarnya. Berbagai konferensi yang diadakan oleh PBB seperti UNCCC di Bali
misalnya melihat bahwa permasalahan yang ada sekarang itu adalah perubahan iklim itu
sendiri, sehingga yang harus dicarikan solusinya adalah bagaimana mengatasi perubahan
iklim tersebut dengan pemecahan yang parsial hanya menyangkut masalah itu saja. Maka
muncullah saran alih teknologi sebagai pemecahan masalahnya, khususnya bagi negara –
negara berkembang. Pertanyaan kemudian, seefektif apa peralihan teknologi mampu
mengatasi perubahan iklim, mengurangi kadar polusi, dan mengurangi kadar emisi gas
buangan pabrik – pabrik industri di negara – negara maju? Bagaimana dengan negara –
negara berkembang? Mengapa mereka yang lebih didesak untuk mengalihkan
teknolginya?
Di awal Revolusi Industri pada abad ke-18 di Inggris, berbagai kota seperti
Manchester, Liverpool, dan Bristol menjelma menjadi kawasan – kawasan industri yang
menyuplai berbagai kebutuhan konsumsi masyarakat Eropa dan dunia. Kerajaan Inggris
kemudian mengalami kemajuan ekonomi yang sangat drastis, khususnya di bidang industri
yang memicu munculnya orang – orang yang membuka berbagai usaha dan pabrik baru
yang beroperasi dengan volume output yang tentunya lebih besar, apalagi dengan
dukungan penuh pihak kerajaan. Inilah awal mula industrialisasi masyarakat Eropa yang
kemudian menjadi spirit bagi berkembangnya liberalisme. Meningkatnya standar
kesejahteraan masyarakat Eropa kemudian memancing mereka untuk berharap lebih pada
kebebasan dalam bidang ekonomi.
Peradaban modern kemudian dimulai. Periode peradaban yang juga dikenal dengan
periode renaissance, membawa angin deras perubahan umat manusia-manusia di Eropa.
Tradisi rasionalitas menjadi semangat baru dalam praktek-praktek kehidupan. Perubahan
ini diselingi dengan berbagai macam penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan
fisika, ilmu-ilmu sosial, sistem produksi dan termasuk kemajuan di bidang teknologi.
Namun, dibalik kemajuan yang dicapai oleh masyarakat Eropa tersebut, praktek
kolonialisme menjadi tidak terelakan. Kebutuhan akan penemuan-penemuan baru,
perluasan modal dan pasar serta keperluan akan sumber daya energi untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat akhirnya ditempuh melalui ekspansi
militer ke luar kawasan Eropa. Selain untuk memperluas aliran modal, ekspansi negara-
negara Eropa ke luar kawasannya tidak terlepas dari kepentingan untuk mendominasi
negara-negara jajahan. Kawasan luar Eropa yang mengalami penjajahan tersebut
kemudian dikenal dengan Negara-negara dunia ketiga atau saat ini dikenal dengan istilah
negara sedang berkembang menjadi dan/atau negara sedang berkembang.
Bila kita mencoba menilai secara kritis, maka sebetulnya kehadiran perusahaan
multinasional yang beroperasi pada sektor pertambangan misalnya, maka akan kita
temukan kecenderungan bahwa mereka mengabaikan dampak yang timbul terhadap
lingkungan. Dibalik kehadiran mereka juga masih ada kemiskinan dan ketimpangan. Alih-
alih melakukan transfer teknologi, dalam persoalan ketimpangan, kemiskinan dan
lingkungan saja mereka terlihat tidak mau berbagi dengan negara sedang berkembang. Itu
barangkali menjadi sebab dimana kemajuan tidak dapat dicapai oleh negara sedang
berkembang selain ongkos kerugian yang timbul terhadap kerusakan ekologis dan
munculnya praktek korporatokrasi dari praktek-praktek bisnis mereka. Akan tetapi sangat
tidak adil bila kita mengatakan bahwa tidak ada keuntungan sama sekali yang diperoleh
negara sedang berkembang. Pendapatan NSB dari sektor pajak bisa dijadikan sarana
penopang percepatan pembangunan, namun angka yang diperoleh negara hanya berkisar
kurang dari 5 persen dari total keuntungan yang diperoleh dari investasi perusahaan
multinasional di NSB.
Olehnya, tidaklah salah jika mengatakan bahwa MNC, selain membawa banyak
dampak negatif, ia juga memberikan dampak positif bagi suatu negara. Namun, ada
baiknya untuk mengkaji secara substansial dampak-dampak positif tersebut, salah satunya,
dengan isu adanya transfer teknologi yang kemudian dapat dijadikan sebagai salah satu
faktor untuk mempercepat pembangunan nasional negara.
Berbeda halnya dengan defenisi dari pemerintah Indonesia, melalui UU No. 18 Tahun
2002, Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi mendefenisikan transfer atau Alih teknologi sebagai pengalihan kemampuan
memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan
organ baik yang berada di lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri
ke dalam negeri dan sebaliknya.
2
Balian Zahab, “Alih Teknologi Bukan Pasar Baru”, dalam
http://balianzahab.wordpress.com/ | Diskusi dan Konsultasi Masalah Hukum, diakses pada 09 Januari 2011
pelatihan pekerja dalam negeri agar suatu saat dapat mengambil alih segenap proses
produksi yang dibutuhkan. Kecil kemungkinan terjadi alih teknologi sebab perusahaan
domestik hanya bisa mengoperasikan tanpa mengerti kepentingan pengembangan
teknologi tersebut. Perusahaan domestik juga tidak bisa membangunnya, sehingga peran
mereka sekadar menjadi budak suruhan.
Permasalahan yang muncul kemudian yakni, adakah aktivitas yang di sebut dengan
transfer teknologi yang terjadi khususnya di negara berkembang? Sangat ironis, jika
melihat isu transfer teknologi yang terjadi saat ini tidak lebih hanya sebatas isu
perdagangan teknologi dari negara maju ke negara berkembang yang berujung pada
kerugian negara berkembang itu sendiri. Kondisi ini dipertegas kemudian dengan kondisi
dari transfer teknologi itu sendiri yakni: teknologi itu bukan sesuatu yang murah. Negara
berkembang harus bersedia membayar harga teknologi yang cukup mahal ditengah kondisi
negara yang masih memiliki kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya. Parahnya,
penentuan harga jual hampir mutlak terletak pada tangan pemilik teknologi. Pembeli
hanya diberi pilihan membeli atau tidak sama sekali. Teknologi seringkali dijual secara
paket, di mana paket tersebut dengan segala perekatnya (tie-in) secara sepihak sering
sengaja dimahalkan. Untuk industri tinggi, pembelian teknologi secara terpisah (partial)
hampir mustahil.
3
Kurian, “Technology as a Tool of Imperial Domination and Exploitation: A Study on Third World with
Special Reference to India”, dalam Indian Church History Review no. 30,
modern berperan besar dalam hal ini. Kemudian ini memberi keuntungan bagi mereka dan
menciptakan ketergantungan kepada mereka.
Contoh kasus lain yang terjadi di India adalah tergesernya keahlian kerajinan ukir
tradisional akibat pendudukan penjajah. Negara ini diubah menjadi penyedia bahan baku
sekaligus pasar bagi Inggris Raya. Karena barang kerajinan jauh lebih baik dan bermutu
daripada barang buatan pabrik, demikian pula lebih tinggi ongkos membuat dan
memperolehnya, maka orang India terpaksa membeli produk impor dari penjajah. Ini
semakin mengokohkan posisi penjajah dan dengan kekerasan mereka menghabisi
pengetahuan dan keahlian lokal India. Bahkan mereka memotong tangan para pengrajin
ukir di India.
Oleh:
Yoga Suharman
Finahliyah Hasan
PASCASARJANA FISIPOL
2010