You are on page 1of 44

Ringkasan

Hukum Pidana

A. Istilah dan Pengertian Pidana berasal kata

straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari
istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.

Dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit adalah berkaitan dengan hukum pidana Pidana
lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara
pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang
telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut
sebagai tindak pidana (strafbaar feit).

Selanjutnya istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda adalah Strafrecht

sedangkan dalam bahasa Inggris adalah Criminal Law

. Adapun pengertian hukum pidana dibawah menurut pendapat para ahli sebagai berikut : 1.

SIMONS

, hukum pidana adalah keseluruhan larangan-larangan dan keharusan yang pelanggaran


terhadapnya dikaitkan dengan suatu nestapa (pidana/hukuman) oleh negara, keseluruhan aturan
tentang syarat, cara menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut. 2.

MOELJATNO

, hukum pidana adalah aturan yang menentukan :

Perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang, serta ancaman sanksi bagi yang melanggarnya

Kapan dan dalam hal apa kepada pelanggar dapat dijatuhi pidana

Cara pengenaan pidana kepada pelanggar tesebut dilaksanakan 1.


Wirjono Prodjodikoro

, hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai

pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang

berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal
yang tidak sehari-hari dilimpahkan. 2.

WLG. LEMAIRE

, hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan
yang (oleh pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu
penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu
merupakan suatu sistem norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk
melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta
hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. (pengertian ini
nampaknya dalam arti hukum pidana materil). 3.

WFC. HATTUM

, hukum pidana (positif) adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang
diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai
pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang
bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peaturan-peraturannya
denagan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman. 4.

WPJ. POMPE

, hukum pidana adalah hukum pidana itu sama halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata
dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-
peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang abstrahir dari keadaan-keadaan yang bersifat
konkret. 5.

KANSIL,

hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-
kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang
merupakan suatu penderitaan atau siksaan. 6.
ADAMI CHAZAWI

, dilihat dari garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau sumber
pokok hukum pidana, hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang memuat/berisi
ketentuan-ketentuan tentang :

Aturan-aturan hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan denagan) larangan melakukan


perbuatan-perbuatan (aktif/positif) maupun pasif/negatif) tertentu yang diserti dengan ancaman
sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.

Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat
dijatuhkanya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.

Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat
perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan di dakwa sebagai
pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan
sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh
tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-
haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut. Berpijak
dalam garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atau sumber pokok
hukum pidan, hukum pidana merupakan bagi dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-
ketentuan tentang : 1.

Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan
perbuatan-perbuatan (aktif/posiitif) maupun pasf/negatif) tertentu yang disertai denagan ancaman
sanksi pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu. 2.

Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat
dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya. 3.
Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat
perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai
pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan
sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh
tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-
haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut

B. Tujuan Hukum Pidana Ada dua macam :

1.Untuk menakut-nakuti setiap orang agar mereka tidak melakukan perbuatan pidana

(fungsi preventif)

2.Untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan yang tergolong perbuatan pidana agar
mereka menjadi orang yang baik dan dapat diterima kembali dalam masyarakat

(fungsi represif)

. Jadi dapat disimpulkan tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat. Menurut para
ahli tujuan hukum pidana adalah : 1.

Memenuhi rasa keadilan (WIRJONO PRODJODIKORO) 2.

Melindungi masyarakat (social defence) (TIRTA AMIDJAJA) 3.

Melindungi kepentingan individu (HAM) dan kepentingan masyarakat dengan negara ( (KANTER DAN
SIANTURI) 4.

Menyelesaikan konflik (BARDA .N) Tujuan Pidana (Menurut literatur Inggris R3D) : 1.

Reformation, yaitu memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi
masyarakat. Namun ini tidak menjamin karena masih banyak juga residivis. 2.

Restraint, yaitu mengasingkan pelanggar dari masyarakat sehingga timbul rasa aman masyarakat 3.

Retribution, yaitu pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan 4.


Deterrence, yaitu menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang
lain yang potensi menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukankejahatan, melihat pidana
yang dijatuhkan kepada terdakwa. C. Fungsi Hukum Pidana Sebagai hukum publik hukum pidana
memiliki fungsi sebagai berikut : 1.

Fungsi melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang atau memperkosanya.
Kepentingan hukum (rechtsbelang) adalah segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi

kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggot masyarakat, maupun anggota suatu negara, yang
wajib dijaga dan dipertahankan agar tidak dilanggar/diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia.
Semua ini ditujukan untuk terlaksana dan terjaminnya ketertiban di dalam segala bidang kehidupan.
Di dalam doktrin hukum pidana Jerman, kepentingan hukum (rechtsgut) itu meliputi (Satochid
Kartanegara) : 1.

Hak-hak (rechten) 2.

Hubungan hukum (rechtsbetrekking) 3.

Keadaan hukum (rechtstoestand) 4.

Bangunan masyarakat (sociale instellingen) Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga
macam yaitu : 1.

Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen) misalnya kepentingan hukum terhadap hak
hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda,
kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila,
dsb. 2.

Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschapppelijke belangen), misalnya kepentingan


hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya, dsb. 3.

Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan
keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan hukum
terhadap martabat kepala negara dan wakilnya, dsb. Ketiga kepentingan hukum diatas saling berkait
dan tidak bisa dipisahkan. Contoh kepetingan hukum yang diatur dalam hukum pidana materil
(KUHP) larangan mencuri (pasal 362), larangan menghilangkan nyawa (pasal 338). Pasal 363
melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum orang atas hak milik kebendaan pribadi dan
pasal 338 adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum terhadap hak
individu/nyawa orang. Untuk melindung kepentingan hukum diatas adalah melalui sanksi
pidana/straf (hukuman penjara). Misalnya pasal 362 KUHP dapat diancam hukuman penjara
maksimum 5 tahun dan pasal 338 dapat diancam hukuman penjara maksimum 15 tahun, dsb. 1.

Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan
kepentingan hukum yang dilindungi. Fungsi hukum pidana yang dimaksud disini adalah adalah tiada
lain memberi dasar legitimasi bagi negara agar negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan
melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana tadi dengan sebaik-baiknya.
Fungsi ini terutama terdapat dalam hukum acara pidana, yang telah dikodifikasikan dengan apa yang
disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni UU No. 8 tahun 1981. Dalam
hukum acara pidana telah diatur sedemikian rupa tentang apa yang dapat dilakukan negara dan
bagaimana cara negara mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana.
Misalnya bagaimana cara negara melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap terjadinya tindak
pidana seperti melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan, vonis, dll. Semua
tindakan negara diatas tentu berakibat tidak menyenangkan bagi siapa saja. Namun atas dasar
kepentingan hukum dan negara tindakan negara tersebut dibenarkan, melalui prosedur KUHAP
diatas. 1.

Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi
mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi. Sebagaimana diketahui bahwa fungsi hukum
pidana yang kedua diatas adalah hukum pidana telah memberikan hak dan kekuasaan yang sangat
besar pada negara agar dapat menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang
dilindungi dengan sebaik-baiknya. Namun demikian atas kekuasaan negara diatas harus dibatasi.
Walaupun pada dasarnya adanya hukum pidana untuk melindungi kepentingan hukum yang
dlindungi. Namun tentunya pembatasan kekuasaan itu penting agar negara tidak melakukan
sewenang-wenang kepada masyarakat dan pribadi manusia. Pengaturan hak dan kewajiban negara
dengan sebaik-baiknya dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan
hukum yang dilindungi yang secara umum dapat disebut mempertahankan dan menyelenggarakan
ketertiban hukum masyarakat itu, menjadi wajib. Adanya KUHP dan KUHAP sebagai hukum pidana
materi dan formil dalam rangka mempertahankan kepentingan hukum masyarakat yang dilindungi
pada sisi sebagai alat untuk melakukan tindakan hukum oleh negara apabila terjadi pelanggaran
hukum pidana, pada sisi lain sebagai alat pembatasan negara dalam setiap melakukan tindakan
hukum. Misalnya jika seseorang membunuh (pasal 338 KUHP) negara tidak boleh menghukum
melebihi ancaman maksimum 15 tahun. Begitu juga ketika negara menahan seseorang ada batas
masa penahanan misalnya penyidik hanya selama 20 hari. Jika ketentuan diatas dilanggar oleh
negara maka akan terjadi kesewenangan. Dengan demikian masyarakat sendiri dirugikan. Jika akibat
suatu tindakan negara justru merugikan masyarakat, maka tujuan dan fungsi hukum pidana tersebut
tidak tercapai. Tujuan hukum untuk kebenaran dan keadilan hanya semboyan saja. D. Sumber
Hukum Pidana 1.

Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan penjelasan = MVT yang terdiri dari buku I tentang aturan
umum, buku II tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran 2.

Undang-undang di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15 tahun 2003)

Undang-undang Pidana Pencucian Uang (UU No. 15 tahun 2002)

Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (UU DRT No. 7 tahun 1955 dan UU No. 8 tahun 1958, PP No.
1 tahun 1960)

Undang-undang Narkotika dan Undang-undang Psikotropika ( UU No. 22 tahun 1997 tentang


Narkotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika 3. Hukum Adat (Pasal 5 ayat 3 (b) UU
Darurat No. 1 tahun 1951 yaitu berbunyi :

“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil

yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orangorang yang dahulu diadili
oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian : 
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan
tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman
yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman
pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan
penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum,

bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim melampaui padanya
dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat
dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman
adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti
tersebut di atas, dan

bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan
yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman
yang sama dengan hukuman

bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu”.

E. Aliran-aliran dalam Hukum Pidana Salah satu masalah pokok hukum pidana adalah mengenai
konsep tujuan pemidanaan dan untuk mengetahui secara komprehensif mengenai tujuan
pemidanaan ini harus dikaitkan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana. Aliran-aliran tersebut
adalah aliran klasik, aliran modern (aliran positif) dan aliran neo klasik (sosiologis). Perbedaaan aliran
klasik, modern dan neo klasik atas karakteristik masing-masing erat sekali hubungannya dengan
keadaan pada zaman pertumbuhan aliran-aliran tersebut. 1.

Aliran klasik Aliran yang muncul pada abad ke-18 merupakan respon dari

ancietn regime

di Perancis dan Inggris yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan
ketidakadilan. Aliran ini berfaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (

free will

) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum
pidana perbuatan (

daad-strefrecht

). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut


single track system

berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap
tindak pidana karena tema aliran klasik ini, sebagaimana dinyatakan oleh Beccarian adalah doktrin
pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan
jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Hakim hanya
merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan salah atau tidaknya seseorang dan
kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan terstruktur. Aliran klasik ini
mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1.

Definisi hukum dari kejahatan 2.

Pidana harus sesuai dengan kejahatannya 3.

Doktrin kebebasan berkehendak 4.

Pidana mati untuk beberapa tindak pidana 5.

Tidak ada riset empiris; dan 6.

Pidana yang ditentukan secara pasti. Tokoh dalam aliran klasik ini adalah Cesare Beccaria dan Jeremi
Bentham. Beccaria meyakini konsep kontrak sosial dimana individu menyerahkan kebebasan atau
kemerdekaannya secukupnya kepada negara dan oleh karenanya hukum harusnya hanya ada untuk
melindungi dan mempertahankan keseluruhan kemerdekaan yang dikorbankan terhadap persamaan
kemerdekaan yang dilakukan oleh orang lain. Prinsip dasar yang digunakan sebagai pedoman adalah
kebahagiaan yang terbesar untuk orang sebanyak-banyaknya. Sementara Jeremy Bentham melihat
suatu prinsip baru yaitu

utilitarian

yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dinilai dengan sistem yang irrasional yang absolut,
tetapi melalui prinsip-prinsip yang dapat diukur. Bentham menyatakan bahwa hukum pidana jangan
dijadikan sarana pembalasan tetapi untuk mencegah kejahatan. 1.

Aliran Modern atau aliran positif Aliran ini muncul pada abad ke-19 yang bertitik tolak pada aliran
determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (
the doctrine of free will

). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak
lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana.
Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini
menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku.
Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam
pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau
sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana,
aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari
kenyataan sosial. Marc Ancel, salah satu tokoh aliran modern menyatakan bahwa kejahatan
merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak mudah begitu saja dimasukkan ke
dalam perumusan undang-undang. Ciri-ciri aliran modern adalah sebagai berikut : 1.

Menolak definisi hukum dari kejahatan 2.

Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana 3.

Doktrin determinisme 4.

Penghapusan pidana mati 5.

Riset empiris; dan 6.

Pidana yang tidak ditentukan secara pasti. Marc Ancel mempelopori gerakan perlindungan
masyarakat baru (

new social defence

) yang bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam


konsepsi baru hukum pidana. Tokoh-tokoh lain yang merupakan pelopor aliran modern adalah
Cesare Lambroso, Enrico Ferri dan Raffaele Garofalo. Lambroso menganjurkan bahwa pidana tidak
ditetapkan secara pasti oleh pengadilan (

the indeterminate sentence

), pidana mati merupakan seleksi terakhir yang bilamana penjara pembuangan dan kerja keras,
penjahat tetap mengulangi kejahatan yang mengancam masyarakat dan korban kejahatan harus
diberi kompensasi atas kerugian yang diakibatkan oleh penjahat dan ia memberi tekanan yang besar
pada pencegahan kejahatan. Gorofalo mengusulkan konsep kejahatan natural (

natural crime

) yang merupakan pengertian paling jelas untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan yang oleh
masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan dan ditekan melalui sarana berupa pidana. Ferri
menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan bawaan menuju kejahatan tetapi bilamana
ia mempunyai lingkungan yang baik maka ia akan hidup terus tanpa melanggar pidana ataupun
hukum moral, kejahatan terutama dihasilkan oleh tipe masyarakat darimana kejahatan itu datang,
oleh karena itu pembuat undang-undang harus selalu memperhitungkan faktor-faktor ekonomi,
moral, administrasi dan politik di dalam tugasnya sehari-hari, dan kejahatan hanya dapat diatasi
dengan mengadakan perubahan-perubahan di masyarakat. 1.

Aliran neo klasik (sosiologis) Aliran ini muncul pada abad ke-19 mempunyai basis yang sama dengan
aliran klasik, yakni kepercayaan pada kebebasan berkehendak manusia. Aliran ini beranggapan
bahwa pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan
yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan pada beberapa
kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas
tentang keadaan yang meringankan (

principle of extenuating circumtances

). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan


obyektif. Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku
tindak pidana. Karakteristik aliran neo klasik adalah sebagai berikut : 1.

Modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak, yang dapat dipengaruhi oleh patologi,
ketidakmampuan, penyakit jiwa dan keadaan-keadaan lain; 2.

Diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan; 3.

Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban untuk mengadakan peringatan pemidanaan, dengan


kemungkinan adanya pertanggungjawaban sebagian di dalam kasus-kasus tertentu, seperti penyakit
jiwa usia dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan kehendak
seseorang pada saat terjadinya kejahatan; dan; 4.

Masuknya kesaksian ahli di dalam acara peradilan guna menentukan derajat pertanggungjawaban.

Determinisme dan Indeterminisme


Dualisme istilah ini berkisar pada pesoalan, apakah seorang manusia pada hakikatnya adalah bebas
dari pengaruh (indeterminisme) atau justru selalu terpengaruh oleh kekuatan dari luar
(determinisme)

Kata “determiner” dalam bahasa Prancis bahkan berarti “menentukan”

Determinisme adalah bahwa kekuatan menentukan dari luar itu adalah termasuk tabiat atau watak
dari seorang dan alasan yg mendorong orang itu untuk pada akhirnya mempunyai kehendak
tertentu itu, dan kekuatan2 ini didorong pula oleh keadaan dalam masyarakat tempat orang itu
hidup. Jadi kehendak melakukan perbuatan pidana menurut determinisme dikarenakan kehendak
itu selalu ditentukan oleh kekuatan itu.

Sedangkan indeterminisme seseorang melakukan suatu kejahatan, menurut faham indeterminisme


dianggap mempunyai kehendak untuk itu, mungkin tanpa dipengaruhi kekuatan2 luar tersebut
diatas. E. Sejarah Hukum Pidana Indonesia

De Nederlander, die over zeen en oceanen baan koos naar de koloniale gebieden, nam zijn
eigenrecht mee

(orang-orang Belanda yang berada diseberang lautan dan samudera luas memiliki jalan untuk
menetap di tanah-tanah jajahannya membawa hukumannya sendiri untuk berlaku baginya).
Demikian kalimat pertama yang dikatakan oleh Prof. Mr. J.E Jonkers dalam buku karangannya Het
Nederlandch-Indiche Strafstelsel yang diterbitkan pada tahun 1940 Maka, pada zaman penjajahan
Belanda di Indonesia sejak semula terdapat dualisme dalam perundang-undangan. Ada peraturan-
peraturan hukum tersendiri untuk orang-orang Belanda dan orang-orang Eropa lainnya yang
merupakan jiplakan apa adanya dari hukum yang berlaku di Belanda dan ada peraturan-peraturan
hukum tersendiri untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing (Cina, Arab, dan
India/Pakiskan). Dualisme ini mula-mula juga ada dalam hukum pidana. Untuk orang-orang Eropa,
berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana tersendiri, trmuat dalam Firman raja Belanda
tanggal 10 Februari 1866 No. 54 (staatblad 1866 No. 55) yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari
1867. Sedangkan untuk orang-orang Indonesia dan orang-orang Timur Asing berlaku suatu kitab
undang-undang hukum pidana tersendiri termuat dalam Ordonantie tanggal 6 Mei 1872 (staatblad
1872 No. 85 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1873. Seperti pada waktu itu di Belanda, kedua
kitab undnag-undang hukum pidana di Indonesia ini adalah jiplakan dari Code Penal dari Prancis
yang oleh Kaisar Napoleon dinyatakan berlaku di Belanda ketika negara itu ditaklukan oleh napoleon
pada permulaan abad 19. Pada tahun 1881 di Belanda dibentuk dan mulai berlaku pad atahun 1886
suatu kitab undang-undang hukum pidana baru yang bersifat nasional dan yang sebagian besar
mencontoh kitab undang-undang hukum pidana di Jerman. Sikap semacam ini bagi Indonesia baru
diturut denagan dibentuknya kitab undang-undang hukum pidana baru

(Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie)

dengan Firman raja Belanda tanggal 15 Oktober 1915, mulai berlaku 1 Januari 1918, yang sekaligus
menggantikan kedua kitab undang-undang hukum pidana tersebut yang diberlakukan bagi semua
penduduk di Indonesia. Dengan demikian, diakhiri dualisme dari hukum pidana di Indonesia, mula-
mula hanya untuk daerah-daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, kemudian
untuk seleuruh Indonesia. KUHP ini ketika mulai berlakunya disertai oleh

“invoeringsverordening”

berupa Firman raja Belanda tanggal 4 Mei 1917 (Staatblad 1917 No. 497) yang mengatur secara
terinci peralihan dari hukum pidana lama kepada hukum pidana baru. Tidak kurang dari 277 undang-
undang yang memuat peraturan hukum pidana di laur kedua kitab undnag-undang hukum pidana,
ditetapkan satu peratu, sampai dimana peraturan-peraturan itu dipertahankan, dihapuskan atau
diubah. Keadaan hukum pidana ini dilanjutkan pada zaman pendudukan Jepang dan pada permulaan
kemerdekaan Indonesia, berdasar dari aturan-aturan peralihan, baik dari pemerintah Jepang
maupun dari Undang-undang Dasar RI 1945 pasal II dari aturan peralihan yang bebrunyi :

“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum

diadakan yang baru menurut Undnag-

Undang Dasar ini”.

Dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946, termuat dalam Berita
Republik Indonesia II Nomor 9 diadakan penegasan tentang hukum pidana yang berlaku di Republik
Indonesia., disebutkan :

“Dengan menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden Republik Indonesia

tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2. Peraturan tersebut mengandung dua pasal berikut :

Pasal 1 : Segala badang negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, slama belum diadakan yang baru menurut UUD, masih
berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan UU tersebut.

Pasal 2 : Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Isi peraturan ini hampir sama dengan
pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersbeut diatas. Perbedaannya adalah bahwa kini disebutkan
tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tanggal pembatasan dan bahwa ditentukan peraturan-peraturan
yang dulu itu dianggap tidak berlakuapabila bertentangan dengan UUD. Ketentuan yang terakhir ini
sering dilupakan oleh mereka yang cenderung menganggap semua peraturan dari zaman penjajahan
Belanda yang tidak secara tegas dicabut atau diganti tetap berlaku tanpa kekecualiaan. Padahal
diantara peraturan-peraturan itu ada beberapa yang jelas hanya layak dalam hubungan-hubungan

“kolonial”.

Penyimpangan dari Peraturan Presiden 10 Oktober Nomor 2 oleh UU No. 1 tahun 1946 adalah apa
yang ditentukan dalam pasal I bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekrang (26 Februari
1946) berlaku adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942, saat
pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Balatentara Jepang yang berganti berkuasa di
Indonesia sampai dengan tanggal 17 Agustus 1945. Dengan demikian, ditegaskan pertama-tama
bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dianggap tidak
berlaku lagi Ini memang merupakan penyimpangan dari Peraturan Presiden No. 10 Oktober 1945
Nomr 2 yang menurut peraturan tersebut, semua peraturan yang ada pada tangal 17 Agustus 1945
tetap berlaku selama belum diganti dengan yang baru. Sedangkan setahu saya, pada tanggal 26
Februari 1946 belum ada undang-undang Republik Indonesia yang memuat peraturan hukum
pidana. Pasal II Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 mencabut semua peraturan hukum pidana
yang dikeluarkan oleh Panglima tertinggi balatentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het
Militair Gezag). Beberapa waktu sebelum 8 maret 1942 wilayah Hindia Belanda dinyatakan dalam
keadaan perang (staat van oorlog en beleg alias SOB) dan penguasa militer Hindia-Belanda secara
sah mengeluarkan agak banyak peraturan hukum pidana oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1946
semuanya dicabut. Jadi, yang tertinggal adalah peraturan-peraturan hukum pidana sebelum 8 Maret
1942 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Sipil Hindia-Belanda. Selanjutnya oleh Undang-undang
Nomor 1 tahun 1946 ditentukan sebagai berikut :

Pasal III : Jikalau dalam sesuatu peraturan hukum pidana ditulis perkataan

“Nederlandsch

Indie” atau “Nederlandch

Indich (e) (en)”2, maka perkataan


-

perkataan itu harus dibaca “Indonesie” atau Indonesisch (e) (en)” 2.

Pasal IV : Jikalau dalam ssuatu peraturan hukum pidana suatu hak, kewajiban kekuasaan atau
perlindungan diberikan atas suatu larangan ditujukan kepada suatu pegawai, badan, jawatan dan
sebagainya, yang sekarang tidak ada lagi maka hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan itu
harus dianggap diberikan dan larangan tersebut ditujukan kepada pegawai, badan, jawatan dan
sebagainya, yang harus dianggap menggantinya.

Pasal V : Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan
atau betentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak
mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.

Pasal VI : (1) Nama undang-

undang hukum pidana “Wetboek van Strafrecht voor

Nederlandch-

Indie” diubah menjadi “Wetboek van Strarecht”.

(2) Undang-

undang tersebut dapat disebut “Kitab Undang

-undang Hukum

Pidana”

Pasal VII : Dengan tidak mengurangi apa yang ditetapkan dalam Pasal III,

maka semua perkataan “Nederlandch onderdaan” dalam Kitab Undnag


-

undang Hukum Pidana diganti dengan “warga negara Indonesia”.

Pasal VIII : Beberapa paal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana diubah atau dicabut.

Pasal-pasal IX s.d XVI memuat beberapa tindak pidana baru yaitu pasal IX s/d XIII mengenai alat
pembayaran yangs ah berupa mata uang atau uang kertas, pasal XIV mengenai penyiaran kabar
bohong yang denagan itu sengaja diterbitkan keonaran di kalangan rakyat, pasal XV mengenai
penyiaran kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, pasal XVI
mengenai penghinaan terhadap bendera kebangsaan Indonesia. Pada akhirnya ditetapkan bahwa
undnag-undang ini mulai berlaku untuk pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya (26
Februari 1946) dan untuk daerah lain pada hari yang akan diteapkan oleh presiden. Dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1946 tanggal 8 Agustus 1946 (Berita Republik Indonesia II 20-
21 halaman 234) undang-undang ini untuk Sumatera ditetapkan berlaku mulai tanggal 8 Agustus
1946. Pada waktu itu, Pemerintah Hindia-Belanda yang menamakan dirinya pemeritah federal,
sudah ada di Jakarta dan menguasai beberapa daerah baik di jawa, Madura dan Sumatera maupun
diluar daerah-daerah itu dan mengeluarkan beberpa undang-undang yang mengubah beberapa
pasal dari KUHP yang tentunya hanya berlaku bagi daerah-daerah yang didudukinya sehingga ada
dua KUHP. Keadaan ini tetap berlangsung juga setelah pada 27 Desember 1949 kedaulatan Republik
Indonesia Serikat diakui oleh pemerintah Belanda. Baru pada tanggal 29 September 1958 melalui
Undang-

undang No. 73 tahun 1958 yang berjudul “undang

-undang tentang menyatakan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia
tenatang peraturan hukum pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab
Undang-

undang Hukum Pidana”. Dengan demikian

pada saat itu jelas berlaku satu hukum pidana untuk seluruh wilayah RI dengan Kitan Undang-
undang Hukum Pidana atau KUHP sebagai intinya. F. Pembagian Hukum Pidana 1.

Hukum pidana dalam arti objektif dan dalam arti subjektif Hukum pidana objektif (ius poenale)
adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai
dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidna objektif
memili arti yang sama dengan hukum pidana materiil. Sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel
Suringa, ius poenali adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandunbg larangan dan perintah
dan keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana bagi si pelanggarnya.
Sementara hukum pidana subjektif (ius poeniendi) sebagai aspek subjektifnya hukum pidana,
merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara : 1.

Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum. 2.

Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya denagan menjatuhkan
pidana kepada si pelanggar larangan tersebut, serta 3.

Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum
pidana tadi. Jadi dari segi subjektif negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan/hak fundamental
yakni : 1.

Hak untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan menentukan bentuk serta
berat ringannya ancaman pidana (sanksi pidana) bagi pelanggarnya. 2.

Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada si pelanggar
aturan hukum pidana yang telah dibentuk tadi, dan 3.

Hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pada pembuatnya/petindaknya.
Walaupun negara mempunyai kewenangan/kekuasaan diatas namun tetap dibatasi jika tidak maka
negara akan melakukan kesewenangan-wenangan sehingga menimbulkan ketidakadilan,
ketidaktentraman dan ketidaktenangan warga diantara negara. Pembatasan tersebut melalui
koridor-koridor hukum yang ditetap dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Misalnya dalam hukum pidana materil pasal 362 KUHP tentang larangan perbuatan mengambil
benda milik orang lain dengan maksud memiliki benda itu secara melawan hukum (disebut
pencurian) yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda maksimum Rp.
900.000. Terhadap si pelanggar larangan ini, hak negara dibatasi tidak boleh menjatuhkan pidana : 1.

Selain pidana penjara dan denda 2.

Jika penjara tidak boleh melebihi 5 tahun, dan jika denda tidak diperkenankan diatas Rp. 900.000.
Juga dibatasi oleh hukum formil artinya tindakan-tindakan nyata negara sebelum, pada saat dan
setelah menjatuhkan pidana serta menjalankannya itu diatur dan ditentukan secara rinci dan
cermat, yang pada garis besarnya berupa tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
persidangan dengan pembuktian dan pemutusan (vonis) dan barulah vonis dijalankan (eksekusi).
Perlakuan-perlakuan negara terhadap pesakitan/pelaku pelanggaran harus menurut aturan yang
sudah ditetapkan dalam hukum pidan formil. 2. Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
Tentang hukum pidana materil dan hukum pidana formil akan dijelaskan menurut pendapat ahli
dibawah ini : 1.

van HAMEL memberikan perbedaan antara hukum pidana materil dengan hukum pidana formil.
Hukum pidana materil itu menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan
pelanggaran hukum itu dengan hukuman. Sedangkan hukum pidana formil menunjukkan bentuk-
bentuk dan jangka-jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana materil. 2.

van HATTUM, hukum pidana materil adalah semua ketentuan dan peraturan yang menujukkan
tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum,
siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan
hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut (hukum pidana materil
kadang disebut juga hukum pidana abstrak). Sedangkan hukum pidana formil memuat peraturan-
peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus
diberlakukan secara nyata. Biasanya orang menyebut hukum pidana formil adalah hukum acara
pidana. 3.

SIMONS, hukum pidana materil itu memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan-rumusan dari tindak
pidana, peraturan-peraturan mengenai syarat tentang bilamana seseorang itu menjadi dapat
dihukum, penunjukkan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai
hukuman-hukumannya sendiri; jadi ia menentukan tentang bilamana seseorang itu dapat dihukum,
siapa yang dapat dihukum dan bilamana hukuman tersebut dapat dijatuhkan. 3. Hukum Pidana
Umum dan Hukum Pidana Khusus Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan
berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membeda-bedakan kualitas pribadi
subjek hukum tertentu. Setiap warga negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum pidana
umum. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang hanya
dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu saja. Misalnya hukum pidana yang dimuat dalam
BAB XXVIII buku II KUHP tentang kejahatan jabatan yang hanya diperuntukkan dan berlaku bagi
orang-orang warga. penduduk negara yang berkualitas sebagai pegawai negeri saja atau hukum
pidana yang termuat dalam Kitab UU Hukum Pidana Tentara (KUHPT) yang hanya berlaku bagi
subjek hukum anggota TNI saja. Jika ditinjau dari dasar wilayah berlakunya hukum, maka dapat
dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana lokal. Hukum pidana umum adalah
hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintahan negara pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang
berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Contohnya
adalah hukum pidana yang dimuat dalam KUHP, berlaku untuk seluruh wilayah hukum negara RI
(asas toritorialitet, pasal 2 KUHP). Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat
oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang
oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahah daerah tersebut. Hukum pidana lokal
dapat dijumpai did alam PERDA, baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun pemerintahan kota.
Menurut PAF. LAMINTANG, penjatuhan-penjatuhan hukum seperti tlah diancamkan terhadap setiap
pelanggar dan peraturan-peraturan daerah itu secara mutlak harus dilakukan oleh pengadilan.
Dengan demikian, maka masalah terbukti atau tidaknya sseorang yang telah dituduh melakukan
suatu pelanggaran terhadap peraturan daerah, pengadilanlah satu-satunya lembaga yang
berwenang untuk memutuskannya. Dengan pula mengenai hukuman yang bagaimana yang akan
dijatuhkan kepada si pelanggar dan mengenai akibat-akibat hukum lainnya seperti dirampasnya
barang-barang bukti untuk keuntungan negara, dikembalikannya barang-barang bukti kepaa
terhukum dan lain-lainnya, hanya pengadilanlah yang berwenang untuk memutuskannya. Tidak
seorangpun termasuk pemerintah-pemerintah daerah dan alat-alat kekuasaannya boleh menahan,
memeriksa orang yang dituduh telah melakukan suatu pelanggaran terhadap barang-barangnya
tanpa mengajukan mereka ke pengadilan untuk diadili. Dalam melakukan penahanan, pemeriksaan,
dan penyitaan-penyitaan, pemerintah-pemerintah daerah berikut aalat kekuasaannya, terikat pada
ketentuan-ketentuan seperti yang telah diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara
pidana. Setiap tindakan yang diambil oleh alat-alat negara dengan maksud menghukum seseorang
yang telah dituduh melakukan suatu pelanggaran terhadap peraturan-peraturan daerah atau
terhadap ketentuan-ketentuan pidana menurut UU tanpa bantuan dari pengadilan, pada hakikatnya
merupakan suatu perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) yang dilarang oleh hukum.
Sebagaimana diungkapkan oleh HAZEWINKEL SURINGA :

“di dalam hukum pidana baik negara maupun badan yang bersifat hukum publik yang lebih rendah
lainya, tidak berwenang main ahakim sendiri”. Maka dapat dikat

akan telah terjadi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan jika dilakukan oleh
penguasa disebut onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melanggar hukum oleh penguasa). 4.
Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis Hukum pidana tertulis adalah hukum pidana
undang-undang, yang bersumber dari hukum yang terkodifikasi yaitu Kitab Undang-udang Hukum
Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan bersumber dari hukum
yang diluar kodifikasi yang tersebar dipelbagai peraturan perundang-undangan. Hukum pidana yang
berlaku dan dijalankan oleh negara adalah hukum tertulis saja, karena dalam hal berlakunya hukum
pidana tunduk pada asas legalitas sebagaimana

tertuang dalam Pasal 1 (1) KUHP berbunyi “tiada suatu perbuatan yang da

pat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang

telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.

Sementara itu hukum pidana tidak tertulis tidak dapat dijalankan. Namun demikian ada satu daar
hukum yang dapat memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum pidana adat (tidak tertulis)
dalam arti yang sangat terbatas berdasarkan Pasal 5 (3b) UU No. 1/Drt/1951. 5. Hukum Pidana Yang
DiKodifikasikan dan Tidak Dikodifikasikan Hukum pidana yang dikodifikasikan (codificatie, belanda)
adalah hukum pidana tersebut telah disusun secara sistematis dan lengkap dalam kitab undang-
undang, misalnya Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Sedangkan yang
termasuk dalam hukum pidana tidak terkodifikasi adalah peraturan-peraturan pidana yang terdapat
di dalam undang-undang atau peraturan-peraturan yang bersifat khusus (van HATTUM) G.
PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA 1. Pentingnya Penafsiran undnag-undang Pidana Dalam
hal berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya penafsiran

(interpretatie)

karena ha-hal sebagai berikut : 1.

Hukum tertulis tidak dapat dengan segera mengikuti arus perkembangan masyarakat. Dengan
berkembangnya masyarakat berarti berubahnya hal-hal yang dianutnya, dan nilai-nilai ini dapat
mengukur segala sesuatu, misalnya tentang rasa keadilan masyarakat. Hukum tertulis bersifat kaku,
tidak dengan mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarkat. Oleh karena itu, hukum
selalu ketinggalan. Untuk mengkuti perkembangan itu acap kali praktik hukum menggunakan suatu
penafsiran. 2.

Ketika hukum tertulis dibentuk, terdapat ssuatu hal yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian
pembentuk undang-undang. Namun setelah undang-undang dibentuk dan dijalanka, barulah muncul
persoalan mengenai hal-hal yang tidak diatur tadi. Untuk memenuhi kebutuhan hukum dan mengisi
kekosongan norma semacam ini, dalam keadaan yang mendeak dapat menggunakan suatu
penafsiran. 3.

Keterangan yang menjelaskan arti beberapa istilah atau kata dalam undnag-undang itu sendiri (Bab
IX Buku I KUHP) tidak mungkin memuat seluruh istilah atau kata-kata penting dalam pasal-pasal
perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya rumusan ketentuan hukum pidana.
Pembentuk undang-undnag memberikan penjelasan hanyalah pada istilah atau unsur yang benar-
benar ketika undnag-undang dibentuk dianggap sangat penting, ssuai dengan maksud dari
dibentuknya norma tertentu yang dirumuskan. Dalam banyak hal, pembentuk undnag-undang
menyerahkan pada perkembangan praktik melalui penafsiran-penafsiran hakim. Oleha karena itu,
salahy satu pekerjaan hakim dalam menerapkan hukum ialah melakukan penafsiran hukum. 4.

Acap kali suatu norma dirumuskan secara singkat dan besifat sangat umum sehingga menjadi kurang
jelas maksud dan artinya. Oleh karena itu, dalam menerapkan norma tadi akan menemukan
kesulitan. Untuk mengatasi kesulitan itu dilakuakn jalan menafsirkan. Dalam hal ini hakim bertugas
untuk menemukan pikiran-pikiran apa yang sebenarnya yang terkandung dalam norma tertulis.
Contohnya dalam rumusan Pasal 1 (2) KUHP perihal unsur

”aturan yang paling menguntungkan terdakwa” mengandung ketidakjelasan arti dan maksud dari
”aturan yang paling menguntungkan. Hal tersebut dapat
menimbulkan bermacam pendapat hukum dari kalangan ahli hukum. Timbulnya beragam pendapat
seperti ini karena adanya penafsiran. Bedasarkan hal diatas sangatlah jelas bahwa perkembangan
masyarakat dimana kebutuhan hukum dan rasa keadilan juga berubah sesuai denagan nilai-nilai
yang dianut dalam masyarakat, maka untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat sesuai
dengan nilai-nilai yang berkembang dan dianut masyarakat tersbeut, dalam praktik penerapan
hukum diperlukan penafsiran. Untuk (KUHP) tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana cara
hakim untuk melakukan penafsiran. Cara-cara penafsiran ada dalam doktrin hukum pidana. Untuk
melakukan penafsiran, cara yang akan digunakan diserahkan pada praktik hukum. Hanya saja
terhadap suatu cara penafsiran telah terjadi perbedaan pendapat yaitu terhadap penggunaan
penafsiran analogi, dimana ada sebagian pakar hukum yang keberatan berkaiatan dengan masalah
asas legalitas tentang berlakunya hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP. 2. Macam-Macam Penafsiran Dalam Hukum Pidana a. Penafsiran Autentik Penafsiran autentik
(resmi) Penafsiran sahih (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu
sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini sudah ada dalam penjelasan
pasal demi pasal, misalnya Pasal 98

KUHP : arti waktu ”malam” berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101
KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah

biak dan babi (periksa KUHP Buku I Titel IX). Contoh lainnya dalam penjelasan atas pasal 12 B ayat (1)
UU No 20 tahun 2001, menjelaskan yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasiltas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
Cuma dan fasiltas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri
dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau sarana tanpa elektronik. Dikatakan
penafsiran otentik karena tertulis secara esmi dalam undnag-undang artinya berasal dari pembentuk
UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam penafsiran bermakna hakim
kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh memberikan arti diluar dari pengertian autentik.
Sedangkan diluar KUHP penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan
penejelasan pasal demi pasal. b. Penafsiran tata bahasa

(gramaticale interpretatie)

, disebut juga penafisran menurut atau atas dasar bahasa sehari-hari yang digunakan oleh
masyarakat yang bersangkutan. Bekerjanya penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian
yang sebenarnya dari suatu rumusan norma/unsurnya, dengan cara mencari pengertian yang
sebenarnya menurut bahasa sehar-hari yang digunakan masyarakat yang bersangkutan. Sebagai
contoh dapat dikemukakan hal yang berikut : Suatu peraturan perundangan melarang orang
memparkir kenderaannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah
yang dimaksudkan dengan istilah

“kendaraan” itu.

Orang lalu bertanya-

tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kenderaan”

itu, hanyalah kenderaan bermotorkah ataukah termasuk juga sepeda dan bendi.
Contoh lain kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432

KUHP se

cara gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata “meninggalkan” dalam pasal 305 KUHP diartikan
secara gramatikal dengan “menelantarkan”.

Contoh lain adalah kasus melalui putusan Pengadilan Tinggi Meda tanggal 8-8-1983 No. 144/Pid/PT
Mdn telah memberikan arti

bonda

(bahasa Batak) dari unsur benda

(goed)

dalam penipuan adalah juga temasuk ”alat kelamin wanita”. Perhatikanlah petimbangan Pengadilan
Tinggi Medan mengenai hal ini sebagai berikut , ”bahwa

walaupun belebihan, khusus dan teutama dalam perkara ini tentang istilah barang,

dalam bahasa daeah tedakwa dan saksi (Tapanuli) dikenal istilah ”bonda” yang tidak

lain daripada barang, yang diatikan kemaluan sehingga bilsa saksi K.br.S menyeahkan
kehormatannya kepada terdakwa samalah dengan menyeahkan benda/barang. Tentu pendapat
Pengadilan Tinggi Medan ini masihd apat diperdebatkan. Pertimbangan Pengadilan tinggi Medan
seperti disini bukan ditujukan pada tepat atau tidak tepatnya pendapat itu, melainkan sekadar
memberi contoh bahwa disini hakim telah berusaha untuk mencapai keadilan dengan menggunakan
penafsian tata bahasa menurut bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang besangkutan
walaupun diakui oleh hakim yang besangkutan sebagai pertimbangan yang berlebihan. c. Penafsiran
historis

(historiche interpretatie)

yaitu : 1) Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum
tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan
perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan,
misalnya rancangan UU, memori tanggapan pemerintah, notulen rapa/sidang, pandangan-
pandangan umum, dll 2) Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada
waktu membuat UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia
sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP 1.

Penafsiran sistematis/dogmatis

(systematische interpretatie)

, penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam UU it
u maupun dengan UU yang lainnya misalnya ”ketentuan paling menguntungkan” dalam rumusan
ayat 2 dari Pasal 1 KUHP apabila dihubungkan dengan rumusan ayat 1 pasal 1 KUHP yang
merumuskan ”suatu

perbuatan dapat dipidana keculai bedasarkan kekuatan ketentuan peundang-undangan pidana yang
telah ada, pengetiannya adalah suatu ketentuan tentang tidak dapat dipidanya perbuatan. Artinya
semula perbuatan tetentu dipidana, kemudian menurut ketentuan yang baru menjadi tidak dapat
dipidana. Misalnya sebulan yang lalu A melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum, kemudian
hari ini muncul UU yang mengatur perbuatan poidana tesebut tidak dapat dihukum. Dengan
demikian yang dibelakukan adalah UU pidana bau yang menguntungkan.

Contoh lain, misalnya pengertian perbuatan ”menggugurkan kandungan”, dalam Pasal

347 KUHP, yang artinya kandungan

(vucht)

atau yang janin dari perut ibu bahwa vrucht yang dipaksa keluarkan itu harus dilakukan pada janin
yang hidup, bukan janin yang sudah mati. Mengapa demikian ? karena jika melihat pasal 347 itu
dengan menghubungkannya pada judul Bab XIX tentang kejahatan terhadap Nyawa (secaa
sistematis), dimana pasal 347 itu adalah bagian dari Bab IX itu, semua objek kejahatan dalam Bab XIX
adalah nyawa. Artinya, janin tadi haruslah benyawa dan tidak berlaku bagi janin yang sudah tidak
bernyawa atau telah mati. Janin yang hidup dalam peut ibu yang mengandungnya dipandang
sebagai satu kehidupan yang bediri sendiri yang lain dari nyawa atau kehidupan ibu yang
mengandungnya. 1.

Penafsiran Logis

(Logische Interpretatie)

adalah suatu macam penafsiran dengan cara menyelidiki untuk mencari maksud sebenarnya dari
dibentuknya suatu rumusan norma dalam UU dengan menghubungkannya (mencari hubungannya)
denagan rumusan norma yang lain atau dengan undang-undang yang lain yang masih ada sangkut-
pautnya dengan rumusan norma tersebut (lihat pasal 55 KUHP). 2.

Penafsiran Teleologis

(Teleologische Interpretatie)

) yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan UU itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-
kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi UU tetap sama saja. Contoh pada saat masih
ebrlakunya UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (dicabut dengan UU
No. 26 tahun 1999), di dalam menafsirkan rumusan yang ada dalam UU itu mengenai suatu kasus
tertentu, selalu didasarkan pada maksud dari pembentuk UU itu, yaitu untuk memberantas setiap
perbuatan atau upaya-upaya yang menggangu dan menggoyang kelangsungan dan atau kestabilan
kekuasaan pemerintahan negara ketika itu. 3.

Penafsiran Analogis, memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas)
pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya
tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut (ada rasio
persamannya kejadian konkretnya terhadap noma-noma tesebut), misalnya pasal 388 ayat (1) yang
melarang oang melakukan pebuatan curang pada waktu menyeahkan keperluan angkatan laut atau
angkatan darat yang dapat membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang. Jadi tidak
ada diatur keperluan angkatan udara. Tetapi dengan menggunakan penafsirang analogis, maka jika
terjadinya menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga dapat dikenakan karena pada
dasar fungsi, peranan dan tugas angkatan laut dan darat juga sama dengan tugas angkatan udara
yaitu dalam usaha perlindungan keselamatan dan keamanan negara. Walaupun banyak kalangan
ahli hukum melarang menggunakan analogis karena bertentangan dengan asas legalitas namun
dalam praktek hukum terjadi juga analogi misalnya (Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921) yang
menganalogikan

“menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik

sehingga dapat dijeat pasal 362 KUHP. 1.

Penafsiran Esktensip, memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu
sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkannya seperti

“aliran listrik” termasuk juga “benda”. Jadi, penafisran ekstensif didasarkan

makna norma itu menurut keadaan yang sekarang yang atinya ada perubahan makna dari sesuatu
pengertian unsur-unsur rumusan atau umusan suatu norma (hampir sama dengan analogi). 2.

Penafsiran a Contrario (menurut peringkaran) ialah suatu cara menafsirkan UU yang didasarkan pada
perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal UU.
Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang
dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal
tersebut. Penafsiran ini diterangkan oleh Satochid Kartanega

ra bahwa ”keadaan ini kita jumpai

apabila terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh UU, tetapi disamping itu tedapat pula
hal-hal, yang sandaran maupun sifatnya sama, tidak diatur denagan tegas oleh UU, sedang hal-hal ini
tidak diliputi oleh UU yang mengatur hal-hal tegas ini (lihat Pasal 285 KUHP). Contoh Pasal 34
KUHPerdata menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum
liwat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan,
bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki ? Apakah seorang laki-laki juga harus dan khusus
ditujukan kepada orang perempuan.

Maksudnya “waktu menunggu” dalam pasal 34 KUHPerdata ialah untuk mencegah

adanya keragu-raguan mengenal kedudukan sang anak, berhubung dengan kemungkinan bahwa
seorang perempuan sedang mengandung setelah perkawinannya diputuskan. Jika dilahirkan anak
setelah perkawinan yang berikutnya, maka menurut UU anak itu adalah anaknya suaminya yang
terdahulu (jika anak itu lahir sebelum liwat 300 hari setelah putusnya perkawinan teahulu).
Ditetapkan waktu 300 hari ialah karena waktu itu dianggap sebagai waktu kandungan yang paling
lama. Diatas telah dikemukakan beberapa metode penafsiran (interpretasi), yang mana yang harus
dipilih ? Peraturan umum mengenai pertanyaan metode interpretasi yang mana, dalam peristiwa
konkrit yang mana, yang harus digunakan oleh hakim tidak ada. Pembentuk UU tidak memberi
prioritas kepada salah satu metode dalam menemukan hukum. Hakim hanya akhirnya akan
menjatuhkan pilihannya berdasarkan petimbangan metode manakah yang paling meyakinkan dan
yang hasilnya paling memuaskan. Pemilihan mengenai metode interpretasi merupakan otonomi
hakim dalam penemuan hukum. Motivasi pemilihan metode interpretasi itu tidak pernah kita jumpai
dalam yurisprudensi : mengapa hakim memilih metode interpretasi yang ini dan bukan yang itu tidak
pernah disebut dalam yurisprudensi. Di dalam putusan-putusannnya hakim tidak pernah
menegaskan argumen atau alasan apakah yang menentukan untuk memilih metode tertentu.
Metode interpretasi itu sering digunakan bersama-sama atau campur aduk. Dapatlah dikatakan
bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan UU terdapat unsur2 gramatikal, historis, sistematis
dan teleologis.

BAB II

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam masyarakat agar
dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan
ketertiban.

Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi oleh hal yang sangat penting, yaitu : 1.

Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1 KUHP) 2.


Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2

9 KUHP)

A. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU

Prinsip/asas legalitas telah diperjuangkan sejak abad XVIII di Eropa Barat sebagai reaksi atas
berlakunya hukum pidana zaman monarki absolut dengan menjalankan hukum pidana secara
sewenang-wenang, sekehendak dan menurut kebutuhan Raja sendiri.

Ahli hukum yang memperjuangkan dan memperkenalkan asas legalitas ini yang terkenal adalah
Montesquieu (1689-1755) dengan teori Trias Politicanya yang disempurnakan oleh Von Feurbach
(1755-1833).

Trias Politica : 1.

Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang leh parlemen. 2.

Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan 3.

Kekuasaan yudikatif atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang telah dibuat oleh
parlemen. Badan kehakiman ini tidak bertugas menentukan tentang perbuatan apa yang dilarang
dan diancam pidana, melainkan hanya semata-mata bertugas untuk memeriksa dan memutus
apakah suatu perbuatan tertentu telah bertentangan dengan ketentuan undang-undang.


Dengan adanya ajaran Trias Politica itu, untuk memidana seseorang atas perbuatan yang
dilakukannya, disyaratkan agar terlebih dulu harus ada ketentuan hukum yang menyatakan
perbuatan itu sebagai dilarang dan dapat dipidana (dibuat dulu aturan oleh legislatif).

Anselm Von Feuerbach (Belanda) melakukan upaya yang lebih konkret dalam memperkenalkan asas
legalitas yang terkenal dengan ucapannya dalam bahasa latin (dalam bukunya yang berjudul

“Lehrbuch des peinlichen Recht”

, 1801) yaitu

“Nullum delictum nulla poena sina praevia lege”

yang artinya tidak ada pidana tanpa adanya ketentuan hukum yang lebih dulu menentukan
demikian. Ucapannya ini secara

jelas mengandung pengertian sebagaimana yang dimaksud dengan asas legalitas

Selanjutnya menurut Anselm Von Feuerbach beliau mengajarkan bahwa untuk menjamin dan
mempertahankan ketertiban masyarkat, pidana harus berfungsi menakut-nakuti orang-orang agar
tidak berbuat jahat, dan agar orang takut berbuat jahat, terlebih dulu ia harus mengetahui tentang
ancaman pidana terhadap perbuatan jahat tersebut.

Agar orang mengetahui perihal ancaman pidana itu, hal-hal yang dilarang beserta ancaman
pidananya itu harus ditetapkan terlebih dulu dalam UU.

Asas legalitas yang juga dikenal dengan asas

“asas nulla poena”

pertamakali dimuat dalam pasal 8

“Declaration des droits de L’hommeet du Citoyen”

(1789), semacam Undang-Undang Dasar yang pertama dibentuk pada masa


revolusi Prancis, yang bunyinya “tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain

karena suatu

wet

yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah (Moeljatno, 1983 : 24).
Kemudian asas ini dimuat dalam Pasal 4 Code Penal Prancis tahun 1810.

Ketika Belanda lepas dari pemerintahan Prancis tahun 1813, Code Penal ini tetap diberlakukan di
Belanda sampai digantinya WvS Nederland 1881.

Code Penal 1810 ini berlaku 75 tahun di Belanda walaupun sifatnya sementara

Dalam WvS Nederland (disusun tahun 1881 dan mulai berlaku tahun 1886) yang baru ini asas
legalitas dari Code Penal Prancis itu masuk didalamnya (Pasal 1 ayat 1).

Berdasarkan asas konkordansi WvS Nederland diberlakukan di Hindia Belanda pada 1 Januari 1918
menjadi

Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie

(yakni kini KUHP), dimana juga asas legalitas ini tetap tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP
Indonesia.

Pasal 1 ayat 1 KUHP merumuskan “suatu perbuatan tidak dapat dipidana,

kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dulu

“Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan

vooragegane wettelike strafbepaling)


.

Asas ini dalam bahasa latinnya adalah

Nullum delictum nulla poena sine praevia le

gi poenali”.

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut, ada tiga pengertian dasar dalam asas legalitas itu
yaitu : 1) Ketentuan hukum pidana itu harus ditetapkan lebih dahulu secara tertulis. 2) Dalam hal
untuk menentukan suatu perbuatan apakah berupa tindak pidana ataukah bukan tidak boleh
menggunakan penafsiran analogi. 3) Ketentuan hukum pidana tidak berlaku surut

(terugwerkend

atau retroaktif).

Dari tiga pengertian dasar diatas, tampak betul bahwa asas legalitas ini berlatarbelakang pada

kepastian hukum

yang berkaitan dengan perlindungan yang lebih konkret terhadap hak-hak warga yang berhadapan
dengan kekuasaan pemerintahan negara

Dengan asas legalitas terhindar dan dapat mencegah sewenang-wenangan penguasa dalam bidang
peradilan pidana. Asas legalitas adalah ajaran kepastian hukum

Dapat disimpulkan hukum pidana harus tertulis, tidak boleh ada penafsiran analogi dan tidak boleh
berlaku surut.

1) Hukum pidana harus tertulis :


Peraturan perundangan haruslah tertulis karena tertulis berarti harus ditetapkan terlebih dulu, baru
kemudian diberlakukan.

Ketentuan pidana harus tertulis bukan saja dalam bentuk undang-undang, tetapi juga tertulis dalam
bentuk peraturan-peraturan lainnya yang tingkatannya dibawah undang-undang.

Jadi, sumber hukum pidana itu bukan saja UU dalam arti formil tetapi juga dalam arti materiil
termasuk peraturan pemerintah,peraturan daerah (kabupaten atau kota), peraturan menteri,
keputusan presiden dan lain sebagainya yang mengandung aspek hukum pidana. Kelemahan :

Hukum pidana yang harus dibuat tertulis mempunyai kelemahan yaitu hukum pidana kaku, tidak
dapat dengan cepat mengikuti perkembangan masyarakat dan lagi pula banyak perbuatan-
perbuatan dalam masyarakat yang patut dipidana seperti dalam hukum adat (pidana) yang masih
hidup namun tidak dapat dijalankan karena tidak ada bandingannya dalam peraturan tertulis ini.

Untuk peran hukum adat sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat 3b UU No. 1 (drt) 1951 sangatlah
penting.

2) Larangan Menggunakan Penafsiran Analogi Dalam Hukum Pidfana

Salah satu pekerjaan hakim adalah melakukan penafisran hukum, terutama terhadap norma tindak
pidana dalam hukum tertulis ketika norma tersebut diterapkan dalam suatu peristiwa konkret
tertentu.


Norma-orma hukum pidana mengenai rumusan tindak pidana ketika diterapkan pada kejadian atau
peristiwa-peristiwa konkret tertentu tidak jarang memerlukan penafsiran

Hal ini dapat terjadi pada peristiwa tertentu yang tidak sama persis dengan apa yang dirumuskan
dalam UU, mengenai salah satu atau beberapa unsur tindak pidananya. 

Ada beberapa macam penafsiran yang telah dikenal dalam doktrin hukum pidana yaitu penafisran
autentik, penafsiran gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafisran historis,
penafisran ekstensif, penafsiran a kontrario, penafsiran terbatas dan penafisran analogis

Dari sekian penafsiran diatas penafsiran analogi oleh berbagai kalangan ahli hukum tidak boleh
digunakan dalam hukum pidana, mengingat pasal 1 (1) KUHP walaupun ada sebagian pakar hukum
membolehkan seperti Tavarne, Pompe, Jonkers, di Indonesia Wirjono Prodjodikoro.

Alasan mengapa analogi dilarang dalam hukum pidana berpokok pangkal untuk menjamin kepastian
hukum. Dirasakan sebagai penyerangan dan pelanggaran atas kepastian berlakunya hukum apabila
analogi itu dipergunakan, sebagaimana dasar dibentuknya rumusan Pasal 1 (1) KUHP ialah pada latar
belakang kepastian hukum dalam rangka melindungi rakyat dari upaya kesewenang-wenangan
penguasa melalui para hakim.

Akan tetapi, terlepas dari adanya kelemahan dari larangan menggunakan analogi, perluasan
berlakunya hukum yang demikian ini mempunyai mamfaat dalam upaya mencapai keadilan, dimana
menurut masyarakat sesuatu perbuatan yang tidak secara tepat dapat dipidana melalui aturan
pidana tertentu, namun dengan menggunakan analogi bagi pelaku perbuatan itu menjadi dapat
dipidana.


Diakui bahwa analogi mengurangi kepastian hukum dan dapat disalahgunakan oleh penguasa
melalui para hakimnya atau oleh hakim yang tidak bijaksana, namun begitu analogi amat berguna
dan dapat dipakai dalam hal untuk mengisi kekosongan dalam peraturan perundang-undangan.

Analogi adalah penafsiran terhadap suatu ketentuan hukum (pidana) dengan cara memperluas
berlakunya aturan hukum tersebut dengan mengabstraksikan rasio ketentuan itu sedemikian rupa
luasnya pada kejadian konkret tertentu sehingga kejadian yang sesungguhnya tidak masuk ke dalam
ketentuan itu menjadi masuk ke dalam isi atau pengertian ketentuan hukum tersebut.

Dengan kata lain, analogi itu terjadi apabila suatu peraturan hukum menyebut dengan tegas suatu
kejadian yang diatur, tetapi peraturan itu dipergunakan juga bagi kejadian/peristiwa lain yang tidak
termasuk dalam peraturan itu, ada banyak persamaannya dengan kejadian yang disebut tadi.

Contoh kasus : misalnya dari ketentuan pasal 365 (2) sub 1 yang antara lain melarang melakukan
pencurian dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, berlaku juga pada pencurian dalam
sebuah bis yang sedang berjalan. Dalam hal ini bis dianalogikan dengan kereta api atau trem
sehingga orang yang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan dapat pula diterapkan
ketentuan hukum pidana menurut Pasal 365 (2) sub 1 ini (Wirjono Prodjodikoro).

Mengapa bis dianalogikan dengan trem, rasio larangan mencuri didalam trem yang sedang berjalan
yang berlatar belakang pada larangan mencuri dalam kenderaan angkutan yang sedang berjalan
pada dasarnya sama dengan rasio melarang mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan karena
kereta api, trem dan bis adalah sama, angkutan umum yang berjalan.

Mengapa tidak disebut bis dalam Pasal 365 ayat 2 sub 1 karena ketika KUHP (WvS Belanda 1881)
dibentuk, belum ada bis yang dipergunakan sebagai angkutan umum seperti keadaan sat ini. Jadi apa
salahnya dengan analogi melarang pula mencuri dalam sebuah bis yang sedang berjalan. 
Pengertian seperti ini sesuai dengan pengertian dari perbuatan mengambil sebagai unsur tingkah
laku pada pencurian yaitu berupa benda-benda yang dapat diambil, artinya yang dapat dipidahkan
kekuasaannya dalam arti yang sebenarnya. Mengambil dalam arti berbuat sesuatu dengan
memindahkan kekuasaan atas sesuatu benda ke dalam kekuasaannya/ ke tangannya menurut akal
pikiran orang pada umumnya hanyalah dapat dilakukan pada benda-benda berwjud dan bergerak
saja. Aliran/energi dari sudut pandang demikian bukanlah benda. Akan tetapi, untuk menjangkau
keadilan, Hoge Raad telah menggunakan analogi dengan memberi arti baru tentang benda, yakni
berupa sesuatu bagian dari kekayaan manusia. Dengan dasar pengertian semacam itu, energi listrik
dapat pula merupakan benda yang menjadi objek pencurian. Energi listrik adalah bagian kekayaan,
karena mempunyai nilai ekonomis. Pemakaian energi itu harus membayar kepada perusahaan si
pemilik energi. Dengan alasan seperti itu, maka dapat dimengerti bahwa kemudian pada sebagian
ahli hukum memberi arti baru bahwa benda merupakan sesuatu yang bernilai ekonomis dan
mempunyai nilai bagi manusia (Satochid Kartanegara, 172).

Contoh lain : dalam sejarah praktik hukum, dengan menerapkan analogi yang terkenal dan banyak
dimuat dalam berbagai literatur hukum, dalam arrest HR tanggal 23 Mei 1921 yang meganalogikan
aliran/tenaga listrik itu dengan pengertian benda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP
(pencurian). Pengertian benda dalam kejahatan ini menurut keterangan dalam MvT mengenai
pembentukan Pasal 310 WvS Belanda (362 KUHP kita) terbatas pada benda-benda bergerak (roerent
goed) dan benda-benda berwujud (Stoffelijk goed).

3) Hukum pidana tidak berlaku surut

Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tepai berlaku ke depan dapat d

isimpulkan dari kalimat yang menyatakan “…..

ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada

” (Pasal 1 ayat 1 KUHP)

Yang artinya adalah ketika perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yg melarang
melakukan perbuatan tsb. Disini perlu ada kepastian hukum (rechtszekerheid).

Pernyataan hukum pidana tidak berlaku surut, tetapi berlaku ke depan dapat

disimpulkan dari kalimay yg menyatakan “…..ketentuan perundang

-undangan

pidana yang telah ada” (Pasal 1 ayat 1 KUHP). Yang artinya adalah ketik

a perbuatan itu dilakukan telah berlaku aturan hukum pidana yang melarang melakukan perbuatan
tsb. Disini perlu ada kepastian hukum (rechtszekerheid).

Selanjutnya pada Pasal 1 ayat 2 KUHP berbunyi

“bilamana ada perubahan

dalam peraturan perUUan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan
ketentuan yg paling menguntungkan

”. (Disini

mengandung keadilan)

Pasal 1 ayat 2 KUHP ini (asas retroaktif) adalah pengecualian pasal 1 ayat 1 KUHP (asas legalitas).
Disini terjadi hukum boleh diberlakukan surut (hukum diberlakukan kebelakang)

Ada 3 syarat diberlakukannya hukum berlaku ke belakang/surut menurut pasal 1 ayat 2 KUHP yaitu :
1) Harus ada perubahan perUUan mengenai suatu perbuatan, 2) Perubahan tersebut terjadi
setelah perbuatan dilakukan, dan 3) Dimana peraturan yangg baru itu lebih menguntungkan atau
meringankan bagi pelaku perbuatan itu.

B. BATAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT DAN ORANG


Batas diberlakunya hukum pidana menurut tempat diatur dalam pasal 2,3,4,8,9 KUHP sedangkan
batas berlakunya hukum pidana menurut orang atau subjeknya diatur dalam pasal 5,6,7 KUHP.

Mengenai berlakunya hukum pidana menurut tempat dan orang dikenal ada 4 asas yaitu : 1.

Asas teritorialiteit (territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah negara 2.

Asas personaliteit (personaliteits beginsel) disebut juga dengan asas kebangsaan, asas nationalitet
aktif atau asas subjektif (subjektions prinzip) 3.

Asas perlindungan (bescbermings beginsel) atau disebut juga asas nasional pasif 4.

Asas universaliteit (universaliteits beginsel) atau asas persamaan

Asas teritorialiteit :

Adalah asas yang memberlakukan KUHP bagi semua orang yang melakukan pidana di dalam
lingkungan wilayah Indonesia. Asas ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 dan 3 KUHP. Tetapi KUHP
tidak berlaku bagi mereka yang

memiliki hak kebebasan diplomatik berdasarkan asas ”

ekstrateritorial

”.

Asas teritorial ini diatur dalam pasal 2 yang berbunyi “aturan pidana dalam

perundang-undangan Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pida
na di dalam wilayah Inbdonesia”

Disini siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia dapat dipidana sesuai hukum
pidana yang berlaku di Indonesia baik didarat, laut maupun udara.

Wilayah laut 12 mil pulau terluar, kalau kurang dari 12 mil, maka di pakai garis tengah selat (selat
malaka) = UU No 4/Prp/1960 Pasal 1 ayat 2.

Sedangkan tindak pidana di air dan udara diatur dalam pasal 3 dan UU no. 4

tahun 194, dimana disebutkan “ketentuan pidana perudang

-undangan Indonesia berlaku bagi setaip orang yang diluar Indonesia melakukan tindak pidana di
dalam kenderaan air atau pesawat udara Indonesia

Asas Personaliteit :

Adalah asas yang memberlakukan KUHP terhadap orang-orang Indonesia yang melakukan perbuatan
pidana di luar wilayah Republik Indonesia. Asas ini bertitik tolak pada orang yang melakukan
perbuatan pidana. Asas ini dinamakan juga asas personalitet.

Asas ini terdapat dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8 KUHP

Pasal 5 ayat 1 berbunyi “Ketentuan pidana dalam Peraturan perundang


-undangan Indonesia berlaku terhadap warga negara yang diluar Indonwesia melakukan : 1.

Salah satu kejahatan tersebut dlm Bab I dan II Buku Kedua dan Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451
KUHP 2.

Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan
pidana Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara
dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana

Pasal 5 ayat 2 berbunyi “Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam

butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.

Bab I berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara (104-129) dan Bab II adalah mengenai
kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden (130-139).

Pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana yg terjadi kepada setiap
warga negara RI yg melakukan diluar Indonesia sebagaimana diancam dalam pasal-pasal tsb.

Sedangkan pasal 5 ayat 1 ke-2 hanya berlaku berkaitan dengan tindak pidana setiap warga negara RI
yg melakukan diluar Indonesia namun tindak pidana tsb harus berupa kejahatan bukan pelanggaran
dan perbuatan tindak pidana tsb oleh negara dimana perbauatan tsb dilakukan juga merupakan
perbuatan pidana yg dapat diancam.

Sedangkan ayat 2 Pasal 5 berkaitan dengan apabila ada orang asing melakukan tindak pidana diluar
negeri setelah itu ia masuk warga negara Indonesia. Maka dapat juga dituntut menurut ayat 2 ini.


Selanjutnya dalam pasal 6 berbunyi

“berlakunya pasal 5 ayat 1 ke 2 dibatasi

sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jiak menurut perundang-undangan negara
dimana perbauatan dilakukan, terhadapnya tidak

diancam dengan pidana mati”.

Selanjutnya dalam pasal 7 berbunyi “ketentuan pidana dalam perUUan

Indonesia berlaku bagi setiap pejabat Indonesia yg diluar Indonesia melakukan salah satu tindak
pidana sebagaimana dimaksudkan dalam bab XXVIII buku kedua.

Pasal 7 ini menerangkan khusus warga negara sebagai pejabat Indonesia (PNS) yang melakukan
perbuatan yg diancam salah satu bab XXVIII. Artinya pasal ini tidak berlaku warga negara yg bukan
pejabat.

Selanjutnya dalam pasal 8 KUHP berbunyi “ketentuan pidana dalam

perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang kenderaan air Indonesia,
yang diluar Indonesia, sekalipun diluar kenderaan air, melakukan salah satu tindak pidana sbgmana
dimaksudkan dlm bab XXIX buku kedua, dan bab IX buku ketiga, begitu pula yg tersebut dlm
peraturan mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia maupunn dalam ordonannsi perkapalan
(schepnordonantie, 1927).

Bab XXIX buku kedua membahas tentang kejahatan-kejahatan pelayaran (Pasal 438-479) sedangkan
bab IX buku ketiga ttg pelanggaran mengenai pelayaran (pasal 560-569)

Asas Perlindungan atau Asas nasional Pasif


Adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap siapapun juga baik WNI maupun WNA yang
melakukan perbuatan pidana di luar wilayah Indonesia. Jadi yang diutamakan adalah keselamatan
kepentingan suatu negara.

Asas ini bertumpu pada kepentingan bangsa dan negara bukan kepentingan pribadi/individu diatur
dalam pasal 4 KUHP

Pasal 4 berbunyi “ketentuan pidana dalam peraturan perundang

-undangan Indonesia diterapkan terhadap setiap orang yang melakukan di luar Indonesia yaitu salah
satu kejahatan berdasarkan pasal 104, 106, 107, 108, 110 bis ke 1, 127 dan 131.

Juga kejahatan mata uang kertas, materai, merek yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, dll

Asas Universaliteit :

Asas ini berlaku untuk kepentingan penduduk dunia atau bangsa dunia. Jadi bukan sekedar
kepentingan bangsa Indonesia

Diatur dalam pasal 4 ayat 2,3,4 KUHP, misalnya pasal 4 ayat 4 berkaiatan dengaan pembajakan di
laut bebas (446) dan pembajakan udara (479) dan penerbangan sipil, pemalsuan uang negara lain
yang bukan uang negara Indonesia


Asas universaliteit adalah suatu asas yang memberlakukan KUHP terhadap perbuatan pidana yang
terjadi di luar wilayah Indonesia yang bertujuan untuk merugikan kepentingan internasional.
Peristiwa pidana yang terjadi dapat berada di daerah yang tidak termasuk kedaulatan negara
manapun. Jadi yang diutamakan oleh asas tersebut adalah keselamatan internasional.

BAB III

JENIS-JENIS PIDANA

Menurut Pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun
pidana pokok sebagai berikut :

1.Pidana mati

2.Pidana penjara

3.Pidana kurungan

4.Pidana denda

Sedangkan pidana tambahan adalah 1.

Pidana pencabutan hak-hak tertentu 2.

Pidana perampasan barang-barang tertentu 3.

Pidana pengumuman putusan hakim

Selanjutnya ada juga pidana pokok menurut UU No. 20 tahun 1946 yaitu berupa pidana tutupan.

Antara pidana pokok dan tambahan mempunyai perbedaan yaitu : 1.


Penjatuhan salah satu pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana
tambahan sifatnya fakultatif Penjelasan :

Apabila dalam persidangan tindak pidana yg didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim
telah terbukti secara sah dan meyakinkan hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok sesuai
dengan jenis dan batas maksimum khusus yg diancamkan pada tindak pidana yg bersangkutan.
Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang
dianggap terbukti adalah suatu keharusan artinya imperatif. 2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak
harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana tambahan (berdiri sendiri), sedangkan menjatuhkan
pidana tambahan tidak diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok.

Penjelasan :

Sesuai dengan namanya pidana tambahan, penjatuhan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri,
lepas dari pidana pokok melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu
putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yg diancamkan pada
tindak pidana yang bersangkutan. Artinya jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri
secara terpisah dengan jenis pidana pokok, melainkan bersama dengan jenis pidana pokok. Dalam
hal ini telah jelas bahwa pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan kecuali setelah adanya penjatuhan
pidana pokok, artinya pidana pokok dapat berdiri sendiri sedangkan pidana tambahan tidak dapat
berdiri sendiri. Walaupun jenis pidana tambahan mempunyai sifat yg demikian, ada juga
pengecualiannya, yakni dimana jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak bersama jenis
pidana pokok tetapi bersama tindakan (maatregelen) seperti pasal 39 ayat 3 dan 40. 3. Jenis pidana
pokok yag dijatuhkan bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde zaak)
diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie)

Penjelasannya :

Pengecualiaannya adalah apabila pidana yg dijatuhkan itu adalah jenis pidana pokok dengan
bersyarat (Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak dilanggar. Hal ini berbeda
dengan sebagian jenis pidana tambahan misalnya pidana pencabutan hak-hak2 tertentu sudah
berlaku sejak putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 38 ayat 2). Ole karena
itu, berjalannya/dijalankannya putusan antara jenis pidana pokok dengan pidana pencabutan hak
tertentu berdasarkan pasal 38 ayat 2 tidak sama.

Selain itu juga ada prinsip dasar pidana pokok yaitu tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi
(menjatuhkan 2 pidana pokok secara bersamaan).

Hal ini dapat dilihat sbgmana tercantum dalam buku II (kejahatan) dan buku III (pelanggaran) dimana
dijelaskan bahwa : 1.
Dalam rumusan tindak pidana hanya diancam dengan satu jenis pidana pokok saja. 2.

Dalam beberapa rumusan tindak pidana yg diancam dgn lebih dari satu jenis pidana pokok
ditetapkan sbg bersifat alternatif (misal pasal 340, 362 dll) dengan menggunakan kata atau.

Prinsip dasar jenis pidana pokok ini hanya berlaku pada tindak pidana umum (KUHP). Bagi tindak
pidana khusus (diluar KUHP), prinsip dasar ini ada penyimpangan seperti UU No 7 (drt) 1955 (UU
tindak pidana ekonomi), UU No. 31 tahun 1999 (UU tindak pidana korupsi), UU Narkotika (UU No. 22
tahun 1997), UU Perbankan (UU No. 10 tahun 1998), dll 1.

Pidana mati (Pasal 11 KUHP)

Di Belanda sejak tahun 1870 pidana mati tidak diberlakukan lagi.

Di Indonesia sejak tahun 1918 masi diberlakukan pidana mati.

RUU KUHP 1992 dan 1999/2000 revisi masih dicantumkan tapi bukan dalam pidana pokok, hanya
dikategorikan pidana yang bersifat khusus dan selalu bersifat altertnatif.

Di Belanda sejak tahun 1870 pidana mati tidak diberlakukan lagi.

Di Indonesia sejak tahun 1918 sampai sekarang masih diberlakukan pidana mati.

Penjatuhan pidana mati dalam KUHP hanya diatur dalam bentuk kejahatan berat saja, misalnya : 1.

Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (Pasal 104, 111 ayat 2, 124 ayat 3 jo 129)
2.

Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor
pemberat, misalnya 140 ayat 3, 340 KUHP 3.

Kejahatan terhadap harta benda yg disertai unsur/faktor yg sangat memberatkan (365 ayat 4, 368
ayat 2) 4.

Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (Pasal 444)

Adanya pidana mati oleh pembentuk KUHP dalam penerapan harus hati-hati, tidak boleh gegabah
karena pidana mati berkaitan dengan hilangnya nyawa manusia.

Untuk itu dalam KUHP pasal pidana mati selalu dibuat alternatif dengan penjara seumur hidup,
pidana 20 tahun, misalnya pasal 365 (4), 340, 104, 368 (2) jo 365 (4), dll sedangkan diluar KUHP
pidana mati diatur dalam UU 26 tahun 1999 (subversi), UU 22 tahun 1997 (Narkotika, 80, 81, 82),
Pasal 59 UU No 5 tahun 1997 (Psikotropika).

Eksekusi pidana mati dulu dengan cara digantung (Pasal 11 KUP) telah dihapuskan diganti dengan
cara ditembak oleh regu penembak sampai mati (UU No. 2 (PNPS) tahun 1964. 1.

Pidana penjara (Pasal 12


17 KUHP)

Berdasarkan pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak yakni pidana penjara
dan kurungan.

You might also like