You are on page 1of 12

TUJUAN MEMPELAJARI PENALARAN DAN ARGUMENTASI HUKUM

KELOMPOK :

NAMA NIM TTD

1. I GDE PRIM HADI SUSETYA (080 300 5009)


2. MADE DWI EKA SURYA DHARMA (080 300 5010)
3. PATTUN NABABAN (080 300 5016)
4. YUDHISTIRA (080 300 5033)
5. KADEK AGUS SUDIARAWAN (080 300 5034)
6. MADE GEDE PURNAMA (080 300 5068)
7. I PUTU SANCHITA (080 300 5077)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2010
BAB I

“ Penggunaan Legal Reasoning Dalam Legal Argumentation “

Secara umum Penalaran merupakan sebuah proses mental di mana kita ( melalui akal ) bergerak
dari apa yang telah kita ketahui menuju ke pengetahuan yang baru (sesuatu yang belum kita
ketahui). Atau kita bergerak dari pengetahuan yang kita miliki menuju ke pengetahuan yang baru
yang berhubungan dengan pengetahuan yang telah kita miliki tersebut. Semua bentuk penalaran
selalu bertolak dari sesuatu yang sudah ada atau sudah kita ketahui. Kita tidak mungkin menalar
bertolak dari ketidaktahuan. Selalu ada sesuatu yang tersedia yang kita pergunakan sebagai titik
tolak untuk menalar. Titik tolak tersebut kita namakan “yang telah diketahui” yaitu sesuatu yang
dapat dijadikan sebagai premis, evidensi, bukti, dasar bahkan alasan-alasan dari mana hal-hal
yang belum diketahui “dapat disimpulkan”. Kesimpulan itu disebut konklusi. Inilah kiranya yang
merupakan alasan mengapa penalaran dapat juga didefinisikan sebagai “berpikir konklusif” atau
“berpikir untuk menarik kesimpulan”. Penyimpulan ini dilakukan dengan cara “induksi dan
deduksi”. Induksi dalam hukum dimulai dengan mengumpulkan fakta-fakta empiris.

Tujuan dilakukannya suatu penalaran adalah untuk mencapai kebenaran. Demikian pula
dengan hukum, tujuan diadakannya penalaran hukum yakni disesuaikan dengan tujuan hukum itu
sendiri. Tujuan hukum mengacu pada ”sasaran yang ingin dicapai oleh fungsi hukum. Tujuan
hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat
dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat itu yang
akhirnya bermuara pada keadilan. Dalam melakukan penalaran, pengertian dan proposisi
mempunyai peranan penting karena tanpa adanya pengertian tidak mungkin disusun proposisi
dan tanpa adanya proposisi tidak mungkin dilakukan penalaran

Sementara jika berbicara mengenai Argumentasi dapat dijelaskan sebagai suatu proses
akal yg digunakan sebagai landasan untuk menyampaikan suatu keteguhan. Argumentasi
Hukum merupakan suatu ketrampilan ilmiah yang bermanfaat untuk dijadikan pijakan oleh para
ahli hukum dalam mendapatkan dan memberikan solusi hukum, Argumentasi Hukum dapat
digunakan untuk membentuk peraturan yang rasional dan accseptable, sehingga sanksinya dapat
menimbulkan efek jera bagi masyarakat hukum yang tidak taat hukum. Peraturan hukum yang
dibentukdengan ketentuan yang rasionaldan memenuhi rasa keadilan dapat menumbuhkan
kesadaran hukum dan kepercayaan masyarakat.
Pada komunitas praktisi hukum, penguasaan dan implementasi yang baik terhadap
argumentasi hukum dalam setiap aktivitas profesinya dapat digunakan sebagai parameter: mana
praktisi hukum yang berdebat yuridis dan mana praktisi hukum yang berdebat kusir. 

Jika mulai membahas secara lebih khusus, Legal Reasoning dartikan sebagai penalaran
tentang hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana
seorang hakim memutuskan perkara / kasus hukum, seorang pengacara mengargumentasikan
hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Pengertian lainnya yang sering
diberikan kepada Legal Reasoning adalah suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang
terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum ( perjanjian,
transaksi perdagangan, dan lain lain ) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum
( pidana, perdata, ataupun administrative ) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang
ada.

Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk
memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi hukum legal reasoning ini berguna untuk
mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari
terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila
terjadi sengketa mengenai peristiwa ataupun perbuatan hukum tersebut. Bagi para penyusun
undang - undang dan peraturan, legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar mengapa suatu
undang - undang disusun dan mengapa suatu peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan bagi
pelaksana, legal reasoning ini berguna untuk mencari pengertian yang mendalam tentang suatu
undang - undang atau peraturan agar tidak hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan
tujuannya yang hakiki.

Bagi beberapa ahli hukum formulasi tentang legal reasoning sebagaimana disebutkan di
atas mengandung pengertian yang ambigu mengenai apakah legal reasoning adalah reasoning
tentang hukum, yaitu apakah reasoning tersebut mengenai: (i) reasoning untuk mencari dasar
tentang substansi hukum yang ada saat ini, atau (ii) reasoning yang diambil dari substansi hukum
yang ada itu yang harus diterapkan pada putusan yang harus diambil terhadap perkara yang
dihadapkan kepada hakim saat ini. Para ahli juga berbeda pandangan mengenai formulasi tentang
bagaimana hakim memutuskan perkara, yang menurut mereka mengandung juga ambigu, yaitu
apakah dalam memutus perkara, hakim harus mencari reasoning dari substansi hukum positif
yang ada mengenai kasus tersebut ataukah hakim harus mempertimbangkan semua aspek yang
ada termasuk isu mengenai moral dan lain-lain.

Dengan perbedaan ini para ahli teori hukum mengambil tiga pengertian tentang legal reasoning
yaitu:

1. Reasoning untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah yang sedang
terjadi.
2. Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan yang harus
diambil atas suatu perkara yang terjadi.
3. Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu perkara, dengan
mempertimbangkan semua aspek.

Dalam konteks hakekatnya legal reasoning adalah proses penggunaan nalar hukum
dalam argumentasi hukum. Legal reasoning is the process of using legal reason in legal
arguments. Dengan demikian legal reasoning dan legal argumentation tidak dapat dipisahkan.
Legal reasoning sebagai proses berpikir dan legal argumentation bentuk atau wujud pikiran yang
berupa argument. Dari sudut pandang ini, legal reasoning merupakan ruang lingkup atau wilayah
– wilayah bagian studi filsafat hokum yaitu lingkup logika hukum (legal logic) adalah kajian
tentang kaidah – kaidah berpikir yuridik dan argumentasi yuridik.

Kerangka Analitis tentang Legal Reasoning

Reasoning melalui contoh Pola dasar legal reasoning adalah reasoning melalui contoh.
Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hal yang menjadi bahan perdebatan di antara
pada ahli hukum terutama di negara yang menganut case law (common law).
Pembatasan terhadap kebebasan para Hakim untuk tidak keluar dari contoh legal reasoning yang
di peroleh dari pengadilan terdahulu. Hal ini oleh para ahli hukum di Amerika Serikat sebagai
membatasi kebebasan para hakim untuk menggunakan kemampuannya untuk melihat kasus yang
di adilinya. Akibat doktrin yang kaku ini para hakim seakan kehilangan kebebasannya untuk
mencari perbedaan di dalam suatu kasus dengan kasus-kasus yang sudah diputuskan terdahulu.
Dalam perkembangan teori hukum para ahli mengharapkan bahwa hakim tidak hanya berupaya
melihat kasus melalui “mata” para pendahulunya, akan tetapi juga harus dapat melihat kasus
yang diadilinya melalui matanya sendiri. Di negara yang yang menganut sistem hukum common
law seperti Amerika Serikat dan Inggris juga terjadi perdebatan mengenai penerapan legal
reasoning yang didasarkan pada doktrin “stare decisis” yang mewajibkan para hakim untuk tetap
mengacu kepada preseden dari kasus terdahulu. 

Legal Reasoning Dalam Penyusunan Konsep Hukum

Ada berbagai pihak yang menyatakan keberatannya bahwa analisis legal reasoning ini
terlalu banyak menekankan kepada perbandingan antara suatu kasus dengan kasus yang lainnya
dan sedikit sekali penekanan kepada penciptaan konsep-konsep hukum (legal concepts).
Memang benar bahwa persamaan antara suatu kasus dengan kasus lain adalah terlihat dalam
susunan kata-kata, dan ketidakmampuan untuk mengungkapkan kesamaan atau perbedaan akan
menghambat perubahan hukum. Kata-kata yang ditemukan di dalam suatu putusan kasus di masa
lalu mempunyai ketetapannya sendiri dan mengendalikan keputusan yang telah diambil itu.
Sebagaimana diutarakan oleh Judge Cardozo dalam membicarakan suatu metofora, bahwa:
“suatu perkataan dimulai dengan kebebasan dalam berpikir dan berakhir dengan
memperbudaknya”. Pergerakan dari suatu konsep ke dalam dan keluar bidang hukum harus
menjadi perhatian. Jika suatu masyarakat yang telah memulai untuk memperhatikan pentingnya
kesamaan atau perbedaan, maka perbandingan akan timbul dengan kata-kata. Apabila kata-kata
itu akhirnya diterima, maka ia akan menjadi konsep hukum.
Dalam penyusunan konsep hukum berdasarkan legal reasoning ini terjadi lingkaran konsepsi
hukum sebagai berikut:
Tahap yang pertama adalah penciptaan konsep hukum yang terjadi sebagaimana
diutarakan di atas yaitu dengan membandingkan suatu kasus dengan kasus-kasus yang lain,
kemudian tahap yang kedua adalah periode di mana konsep tersebut sedikit banyaknya menjadi
suatu yang tetap, meskipun reasoning melalui contoh terus berlangsung untuk
mengklasifikasikan hal - hal yang ada di luar dan di dalam konsep tersebut. Tahap ketiga adalah
tahap di mana terjadi keruntuhan konsep tersebut, apabila reasoning melalui contoh kasus telah
bergerak ke depan dan membuktikan bahwa ketetapan yang dibuat melalui kata-kata tidak lagi
diperlukan, dan dimulai lagi penciptaan konsep hukum yang baru, dan kemudian mengalami
reasoning kembali, demikian seterusnya yang terjadi sebagai suatu lingkaran yang tak terputus.
Penalaran hokum (legal reasoning) merupakan bentuk pikiran, dapat digambarkan
skemanya, sebagai berikut :
KONSEP :
- Definisi
- Deskripsi
- Klasifikasi

PROPOSISI (STATEMENT)

PENALARAN (REASONING):
- Deduksi
- Induksi
(Philipus M. Hadjon; opcit:8)

1. Penalaran Deduktif (Deductive Legal Reasoning)


Penalaran deduktif yang bertumpu pada logika deduktif merupakan system penalaran
yang menelaah prinsip – prinsip penyimpulan berdasarkan bentuknya serta kesimpulan
yang dihasilkan sebagai kemestian diturunkan dari premisnya (pangkal pikirnya). Dalam
logika deduktif ini yang terutama ditelaah adalah bentuk bekerjanya akal, jika telah runtut
dan sesuai dengan pertimbangan akal yang dibuktikan tidak ada kesimpulan lain, maka
proses penyimpulannya itu adalah tepat dan sah.
2. Penalaran Hukum Analogi (Analogical Legal Reasoning)
Langkah pertama sesuai dengan doktrin preseden, yakni mengidentifikasi putusan hakim
terdahulu dari MA (judexiuris) atau pengadilan judexfactie sesuai dengan yuridiksinya
dan kompetensi relevan dengan kasusnya.
Langkah kedua mengidentifikasi persamaan dan perbedaan fakta hukumnya baik atas
dasar “a problem situation”. Pada langkah ini analogical legal reasoning menurut Steven
Burton, digunakan kemampuan bahasa dan retorika. Dianut system anglosaxson.
Langkah ketiga menentukan apakah fakta hukum yang sama atau yang berbeda itu
penting dihadapkan pada keadaan dalam arti kondisi atau kejadian atas kasus yang
diadili. Disinilah secara yuridis hakim menentukan akan menolak preseden (putusan
hakim terdahulu) atau mengikutinya.
3. Penalaran Hukum Induksi (Analogical Legal Reasoning)
Berbeda dengan logika deduksi, logika induksi bertolak belakang dari hal-hal khusus
yang merupakan fakta dari dunia empiris sampai pada generalisi atau simpulan umum.
BAB II

Bentuk – Bentuk Pemikiran Dalam Mempelajari Hukum

Menurut Michael Barkum, bahwa Aubert secara propokatif menentukan batas yang memisahkan
antara berpikir yuridis dan berpikir ilmiah, secara ringkas sebagai berikut :

a. Hukum cenderung berpikir Particular atau Kasuistis daripada general atau umum
b. Hukum berbeda dari ilmu, tidak mementingkan alat dan tujuan ( means and ends)
c. Kebenaran bagi hukum adalah normative sesuai dengan ketentuan norma, dan
probabilistic
d. Hukum menekankan pada pertanggungjawaban / tanggung gugat hanya pada prilaku
yang lalu dan yang sekarang, jarang bagi pertanggungjawaban / tanggung gugat masa
yang akan dating
e. Akibat hukum hanya valid atau invalid, legal atau illegal
f. Keputusan hukum kecil kemungkinan untuk penyelesaian kompromistis

Julius Stone mengemukakan setiap orang berbicara tentang hokum terkandung maksud pada
pikirannya, mencakup :

a. Pikiran legalistis, ornag berbicara hokum selalu berkaitan dengan peraturan perundang-
undangan.
b. Pikiran normatif-evaluatif, orang berbicara hokum selalu berkaitan dengan norma sebagai
standar berprilaku dalam masyarakat dan keadilan.
c. Pikiran sosiologik, orang berbicara tentang hokum akan selalu mengkaitkannya dengan
prilaku masyarakat.

Menurut B. Arief Sidharta cara berpikir yuridik dikaitkan dengan jenis argumentasi hokum yang
mencakup :

a. Cara berpikir aksiomatik atau berpikir bebas ragu, yakni berdasar pada kepastian, seperti
dalam ilmu pasti matematik, misalnya sudut bersebrangan, menurut rumus ‘aksioma’
adalah pasti sama benar.
b. Cara berpikir problematik, berpikir dengan penuh pertimbangan yang disebut pula
berpikir dialektikal yakni menimbang-nimbang klaim yang saling bertentangan atau
pendapat pro dan kontra.
c. Cara berpikir sistematik-problematik adalah cara berpikir yang merujuk pada aturan
hokum yang berlaku dalam pemecahan masalah dengan mempertimbangkan klaim yang
saling bertentangan, sehingga dapat diambil keputusan hokum yang mendekati rasa
keadilan masyarakat.

Prof. Philipus M. Hadjon mengaitkan berpikir dengan aliran argumentasi hokum, dikemukakan
ada tiga aliran argumentasi hokum sebagai berikut :

a. Aliran logische yakni cara berpikir logis, berpikir sistematis mengaitkan kaidah atau
norma hukum yang berhubungan.
b. Aliran retorische yakni cara berpikir retorika menggunakan kekuatan bahasa untuk
menarik simpati atau meyakinkan hakim dan penegak hokum lainnya.
c. Aliran dialogische yakni cara berpikir dialektika dengan mempertimbangkan argumentasi
pro dan kontra.

Tampaknya dalam praktek bila kita cermati yurisprudensi cara berpikir sistematik-problematik
yang diikuti dalam putusan-putusan hakim ,karena itu tampaknya aliran yang mewarnai cara
berpikir dialogis.Namun dalam perbincangannya atau diskusi akademik seringkali para ahli
hokum kita melontarkan kritik bahwa putusan-putusan pengadilan didominasi oleh pikiran-
pikiran legalities.yakni hakim hanya menerapkan undang-undang .Hakim kurang
mempertimbangkan rasa keadilan yang merupakan problem utama dalam penyelesaian perkara
yang dituntut atau dikehendaki masyarakat.

Adapun perbedaan tahapan berpikir antara retorika dialektika adalah sebagi berikut :

Dialektika

a.Fase Konfrontasi b.Fase pembukaan usahan ( problem solving )

c.fase mempertahankan argumentasi d.Fase mempertahankan pendapat demi kepentingan


Retorika

a. Exondium :usaha menarik simpati , b. Narassio : paparan kasus Digresio ; dari naratio ke
argumentation
b. Argumentatio ; meyakinkan, d.Prorario ; kesimpulan atas dasar fakta.

Didalam perbedaan tahapan berpikir dialektikal dan retorika bila dikaitkan dengan unsure-unsur
penalaran hokum sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan,bahkan dari
tahapan atau fase-fase berpikir itu tampak saling mempertahankan argumentasi dan fase terakhir
berpikir dialektika,fase mempertahankan pendapat,logikanya harus dilengkapi dengan retorika
yakni fase argumentation atau meyakinkan,dan kesimpulan atas dasar fakta,dan intinya retorika
adalah menarik simpati agar argumentasi kita dapat meyakinkan dan diterima.
BAB III

PENUTUP

Simpulan

 Legal reasoning sangatlah penting di terapkan dalam  hukum,,sebagai contohnya seorang


hakim haruslah mencari reason tentang hukum mengenai kasus apa yang akan dia putus.
Penalaran disini berarti mencari inti atau dasar daripada hukum tersebut. Pembatasan
terhadap kebebasan para Hakim untuk tidak keluar dari contoh legal reasoning yang di
peroleh dari pengadilan terdahulu. Hal ini oleh para ahli hukum di Amerika Serikat
sebagai membatasi kebebasan para hakim untuk menggunakan kemampuannya untuk
melihat kasus yang di adilinya.
 Dalam praktek bila kita cermati yurisprudensi cara berpikir sistematik-problematik yang
diikuti dalam putusan-putusan hakim ,karena itu tampaknya aliran yang mewarnai cara
berpikir dialogis.Namun dalam perbincangannya atau diskusi akademik seringkali para
ahli hokum kita melontarkan kritik bahwa putusan-putusan pengadilan didominasi oleh
pikiran-pikiran legalities.yakni hakim hanya menerapkan undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hadjon, Philpus M. 2009. Argumentasi Hukum. Gajah Mada University Press : Yogyakarta;

2. Atmadja, I Dewa Gede. 2009. Pengantar Penalaran Dan Argumentasi Hukum. Bali Aga :

Bali;

3. Darmodiharjo Darji, Shidarta. 1999. Pokok – Pokok Filsafat Hukum. Gramedia Pustaka

Utama: Jakarta;

4. Bahan Ajar Penalaran Dan Argumentasi Hukum Prof. I Dewa Gede Atmaja dkk

You might also like