Professional Documents
Culture Documents
Istilah “sejarah” dalam konteks ini berartti cerita masa lalu berupa “penulisan sejarah” yang
merujuk kepada sumber atau karya yang dihasilkan penulis tempatan.Uraian di dalamnya berupa
tafsiran masa lampau.Tafsiran dibuat berdasarkan uji dan analisis kritis terhadap data yang
diperoleh dari rekaman atau peninggalan masa lalu itu.”Sejarah” dalam uraian berikut tidak
terpisah dari “budaya” atau kebudayaan (cultural historiography).
Secara terpisah kebudayaan diartikan sebagai hasil karya dan karsa manusia,baik dalam bentuk
materiil,buah pikiran maupun corak hidup manusia.Dengan demikian,kebudayaan lebih
mengarah kepada cara hidup manusia,baik masa kini ataupun kehidupan masa silam.Bahkan
menurut EB.Taylor kebudayaan mencakup aspek yang amat luas,yakni
pengetahuan,kepercayaan,kesenian,moral dan adat istiadat dan segala kebiasaan yang dilakukan
dan dimiliki oleh manusia sebagai masyarakat. Segala yang diterima dan dipercayai dilakukan
secara berkekalan.Secara singkat dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah ajaran atau doktrin
yang diamalkan oleh suatu bangsa.Ajaran tumbuh pada dasarnya oleh kehendak
mempertahankan hidup,yang bermula bagi dirinya dan seterusnya anak keturunannya secara
turun-temurun.Sifat dan bentuknya tergantung dengan kondisi alam tempat hidupnya.Karena itu
kebudayaan senantiasa berubah,baik karena disempurnakan ataupun karena bersentuhan dengan
kebudayaan lain.Persentuhan dengan kebudayaan lain tidak selamanya dapat memperkukuh
kebudayaan suatu bangsa,bahkan dapat memperlemah dan mungkin menghancurkannya.
Berkait dengan kebudayaan Melayu,sejarah pertumbuhannya dapat ditelusuri sejak zaman
prasejarah.Untuk memperoleh keterangan yang diperlukan dapat mengacu pada dua
sumber.Pertama,peninggalan manusia prasejarah serta kebudayaannya masa itu yang meliputi
fosil-fosil dan artefak-artefak yang ditemukan di dalam tanah,melalui penggalian atau ditemukan
secara kebetulan.Kedua,Suku-Suku Bangsa yang waktu hidup terbelakang.
Di Sumatera,khususnya Riau menghadapi persoalan prasejarah yang sulit,terutama dalam usaha
memperoleh gambaran tentang asal-usul penghuni pertama,beserta kebudayaannya.Kondisi ini di
Sumatera dan Riau pada umumnya hampir tidak ditemukan fosil-fosil dan artefak-artefak yang
dapat mendukung ke arah penelitian itu.Hal ini berbeda dengan di Jawa ditemukan ditemukan
berbagai fosil dan artefak.Hingga sekarang Sumatera tidak menghasilkan tulang-tulang dari
manusia pertama.Kenyataan tidak mengahasilkan suatu bukti,baik tulang belulang maupun sisa-
sisa tanaman,untuk menunjukkan sesuatu yang timbul disana sebelum akhir Zaman
Pleistosein,10-15.000 tahun yang lalu.Semua penyelidikan geologi yang dilakukan di Sumatera
selama abad terakhir tidak berhasil menemukan fosil mamalia prasejarah,seperti yang banyak
ditemukan di Jawa.Walaupun di Riau belum ditemukan fosil-fosil dan kurangnya artefak-artefak
sebagai sumber utama untuk mendapat keterangan tentang kehidupan manusia pertama di
Riau,tetapi para peneliti masih dapat mengambil manfaat terdapatnya suku-suku yang
terbelakang yang hidup di beberapa daerah Riau saat ini.Suku-suku yang dimaksud antara
lain:Suku Sakai di daerah Minas,Duri,Siak,Sungai Apit;Suku Orang Hutan atau Orang Bonai di
Kec.Kuto Darussalam dan Kepenuhan Kampar;Suku Akik di Siberida,Rengat dan Pasir
Penyu;Suku Laut atau Orang Laut di Inderagiri Hilir dan Kepulauan Riau.
Masih terdapatnya suku-suku terbelakang di atas memperkirakan adanya gelombang kedatangan
nenek moyang itu ke daerah Riau.Gelombang pertama terdiri dari Ras Weddoide(Wedda) yang
dating sesudah zaman es terakhir dan Zaman Mesolitikum yang oleh kebanyakan ahli dinyatakan
sebagai suku Ras pertama penghuni Nusantara ini.Menurut Va Heekeren,kedatangan ras Wedda
ini diikuti pula oleh Ras Melanesia,Austroloida dan Negrito.Mereka mencapai pulau-pulau
Nusantara dengan berperahu.2 Sisa dari Ras Weda ini masih terdapat di Riau sekarang ini,yaitu
Suku Sakai,Kubu dan Suku Orang Utan,sebagaimana disebutkan di atas.
Para ahli mensejajarkan Suku Sakai yang mendiamin daerah Bengkalis dengan suku-suku Senoi
di Malaysia,suku Tokeo dan Toela di Sulawesi,sebagai sisa yang termurni dari orang
Wedda.Bahkan Setyawati Sulaiman memperkirakan orang Senai di Melaka sebagai sisa yang
termurni dari orang Wedda. Di Indonesia menurutnya ciri-ciri orang Wedda itu ada pada orang
Sakai di Riau dan Orang Kubu di Jambi dan Palembang.Ciri-ciri mereka antara lain rambut
berombak-ombak,warna kulit sawo matang,bertubuh pendek(1,55 meter),dan berkepala
“mesocephal”.
Kemudian menyusul kedatangan ras rumpun Melayu.Gelombang pertama dating sekitar tahun
2500-1500 SM yang disebut bangsa “Proto-Melayu” atau “Austronesian”
Ke Asia menyebar ke Semenanjung Tanah Melayu dan terus ke bafian barat Nusantara.Mereka
adalah pendukung Kebudayaan Zaman Batu (Neolitikum) atau yang mencerminkan kehidupan
manusia dalam zaman Neolithic.Pada masa itu manusia telah mampu menghasilkan bahan
makanan dengan cara bertani.Keturunan mereka banyak tinggal di pedalaman Kepulauan
Melayu,dan di Riau diidentifikasikan sebagai suku Talang Mamak dan suku Laut.Gelombang
kedua terjadi sekitar tahun 300 SM,disebut Deutro Melayu.Kedatangan mereka menyebabkan
terdesaknya suku Proto-Melayu,sehingga memaksa terdesaknya suku Proto-Melayu,sehingga
memaksa mereka pindah ke daerah pedalaman,dan sisanya bercampur dengan pendatang baru.
Dalam proses selanjutnya,suku Deuto Melayu yang berasimilasi dengan pendatang terdahulu
serta dengan orang-orang yang datang kemudian,menurunkan generasi yang hidup sekarang
ini.Keturunan mereka itu yang pada umumnya mendiami Nusantara (Asia Tenggara),khususnya
di Kepulauan Melayu.Setelah masuknya Islam di wilayah ini,identitas Melayu menemukan jati
dirinya.
Istilah “Melayu” di dalam tulisan ini digunakan untuk menunjuk kepada suku bangsa yang
mendiami wilayah-wilayah Islam di Indonesia,Malaysia (Semenanjung),Pathani (Thailand
Selatan) dan Mindanao (Filipina Selatan).Dalam cakupan wilayah demikian,juga disamakan
pengertiannya dengan Asia Tenggara atau Nusantara yang mencakup wilayah yang sama
pula,tidak tebatas pada wilayah kepulauan yang kini masuk kekuasaan Republik
Indonesia.Dalam konteks yang terakhir sekali,istilah Melayu merujuk secara terbatas kepada
Semenanjung Malaysia.Inilah yang disebut V.Matheson dan B.W.Andaya sebagai Melayu dalam
arti sempit,yaitu negara(wilayah) yang melanjutkan dan mewarisi tradisi Melaka.Ciri yang paling
akrab adalah adanya bahasa yang sama,yaitu bahasa Melayu.
Sebelum Islam,Melayu dikenal sebagai salah satu suku bangsa yang menggunakan bahasa
tertentu yang disifatkan sebagai salah satu bahasa daerah.Dengan kepercayaan terhadap Hindu-
Buddha,mereka tersebar di seluruh Asia Tenggara dengan cirri-ciri budaya dan keagamaan yang
sama.Setelah Islam masuk dan berkembang,kawasan ini menjadi suatu rumpun yang memiliki
identitas berbeda dari segi keagamaan .Identitas rumpun ini menjadi jelas,setelah Islam memilih
menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa penyebaran agama Islam di kawasan ini.Dengan
demikian bahasa Melayu yang dahulunya merupakan salah satu bahasa daerah dan bersifat
pinggiran diangkat menjadi bahasa yang mampu membicarakan persoalan ilmiah dan
rasional,dan bangsa yang mendukung bahasa tersebut turut terangkat derajatnya bersama bangsa
Melayu.Setelah Islamisasi meluas di Nusantara istilah Melayu ini digunakan untuk semua
rumpun di Nusantara,sehingga ia dikenal pula sebagai”Alam Melayu” atau “Dunia
Melayu”.Karena itu,dari segi istilah Melayu disinonimkan dengan istilah-istilah Islam,Melayu
dan Jawi merupakan rangkaian kata yang berhubungan rapat.Contoh,istilah masuk Islam sering
dikatakan masuk Melayu,kitab Jawi tidak lain adalah kitab bertuliskan Arab-Melayu.
Bab II
Definisi Melayu
Pengertian orang mengenai Melayu sering saja keliru dan dicampurbaurkan.Hal ini disebabkan
karena Melayu oleh karena pengertian “Bahasa” ada karena pengertian “Ras” dan ada pula
karena pengertian etnis sukubangsa dan kemudian dalam pengertian umum”sesama agama
Islam”.Maka mau tidak mau haruslah kita telusuri kembali sejauh mungkin apa yang dicatat oleh
sejarah.Orang Melayu mendiami wilayah:Thailand Selatan,Malaysia Barat dan
Timur,Singapura,Brunei,Kalimantan Barat,Temiang (Aceh Timur),pesisir Timur Sumatera
Utara,Riau,Jambi danPesisir Palembang.
Menurut berita yang ditulis di dalam Kronik Dinasti Tang di Cina,sudah tertulis nama kerajaan
di Sumatera yang ditulis pada tahun 644 dan 645 Masehi.Seorang Pendeta Buddha Cina yang
bernama I-Tsing dalam perjalanannya ke India pernah bermukim di Sriwijaya (She Li Fo
She)untuk belajar bahasa Sansekerta selama 6 bulan.Menurut tulisannya,dari sini ia menuju Mo
Lo Yue dan tinggal selama 6 bulan pula sebelum berangkat ke Kedah dan ke India.Dalam
perjalanan pulang kembali ke Cina tahun 685 M ia singgah lagi di Mo Lo Yu yang ternyata
sudah menjadi bagian dari She Li Fo She.
Rupanya Kerajaan Melayu itu sudah di taklukkan ataupun menjadi satu dengan kerajaan
Sriwijaya (antara tahun 645-685 M) menurutnya ,perjalanan pelayaran dari Sriwijaya ke Melayu
ditempuh selama 15 hari dengan menggunakan kapal layar yang sederhana.Dimana letak pusat
kerajaan Melayu itu banyak sarjana Sejarah berbeda pendapat,tetapi kebanyakan menetapknnya
berada di hulu sungai Jambi(sungai Batanghari).Memang dalam eskavasi kepurbakalaan akhir-
akhir ini,banyak sekali ditemukan reruntuhan candi,patung-patung dan peninggalan
kepurbakalaan lainnya yang cukup tua usianya.Di dalam mitologi orang Melayu seperti tertera di
dalam “Sejarah Melayu”,turunnya Sang Sapurba bersama ke-2 saudaranya adalah ditempat yang
disebut “Bukit Seguntang Maha Meru” di hulu Palembang,namun di puncak bukit tersebut
terdapat makam kuno yang dipercayai makam Datok Tenggorok Berbulu,yang mengingatkan
kita akan salah satu nama Dewa Siwa yaitu Nelakantha (Si Leher Hitam).
Apabila kita mengikuti pendapat dari Prof.Dr.J.G.Casparis,maka kerajaan Melayu yang telah
ditaklukkan Sriwijaya itu sesuai dengan prasasti yang berisi kutukan di Karang Berahi.Menurut
De Casparis,sekitar akhir abad ke-11 sampai tahun 1400 M kerajaan Kelayu itu telah pulih
kembali.Bahkan untuk menangkis bahaya dari Sriwijaya Kerajaan Melayu itu bekerjasama
dengan Kerajaan Jawa Singosari sehingga Kerajaan Jawa itu mengirimkan balatentara yang
besar menghancurkan Sriwijaya yang disebut dengan Ekspedisi Pamalayu (1275 M),dan
dikirimkannya arca Amoghapasa Lokeswara (1286 M) di Padang Roco,pengiriman itu disambut
oleh rakyat Melayu secara gembira bahkan oleh Raja Srimat Tribhuwanaraja
Mauliwarmadewa.Di belakang Arca itu kemudian ditulis prasasti Raja Adityawarman (1347
M).Yang kemudian melanjutkan Kerajaan Damasraya (Melayu) itu.Baik Kerajaan Damasraya
(melayu) maupun kerajan Sriwijaya menggunakan bahasa dan aksara Melayu Kuno ,sebagai
contoh nya adalah Prasasti Boom Baru (Pinggiran Sungai Musi) yang berasal dari akhir abad ke-
7 M.
Kemudian Kerajaan Melayu yang berpusat di hulu sungai Jambi itu pindah ke wilayah
Minangkabau (suruaso),Raja Asityawarman tidak pernah menyebut kerajaannya itu sebagai
Kerajaaan Minangkabau,tetapi sebagai “Kanakamedinindra Suwarnabhumi” yaitu Penguasa
Negeri Emas,yang dulunya dikuasai Sriwijaya dan Melayu.Setelah masa pudarnya Sriwijaya dan
Melayu (Jambi dan kemudian di Pagarruyung) karena serangan dari Jawa,maka orang Jawa
menguasai kehidupan di Palembang dan Jambi seperti yang dilaporkan penulis Portugis Tome
Pires,dalam bukunya,Summa Oriental:”Jambi kini di bawah Patih Rodim,Raja Demak.Penduduk
Jambi sudah lebih mendekati penduduk Palembang yaitu lebih ke-Jawa-annya daripada ke-
Melayuan-nya”.
Tapi bagaimanapun Bahasa Melayu yang menjadi Lingua Franca di Nusantara sejak disebarkan
oleh Imperium Sriwijaya dan Melayu sejak abad ke-6 M itutermasuk adat-istiadat raja-rajanya
yang di bawa Parameswara ke Melaka ditahun 1400-an telah memperkuat jati diri
Melayu.Setidaknya sekarang ini orang Jambi dan Palembang masih disebut sebagai “Orang
Melayu”.
Mengenai asal usul nama “Melayu” itu Prof.Dr.R.C.Majumdar mengatakan bahwa ada satu di
India bernama Malaya dan Orang Yunani menyebut mereka Malloi dan ada lagi nama gunung
Malaya.Banyak lagi nama-nama tempat di Asia Tenggara dan Nusantara yang berasal dari
India.Bahkan pada suku Karo ada Marga Sembiring yang berasal dari India.
Setelah pusat Imperium Melayu berada di Melaka 1400 M dan Parameshwara di-Islamkan oleh
Syekh dari Pasai,maka sejak itu terbentuklah suatu wadah baru bagi orang Islam yang disebarkan
dari Melaka ke segenap penjuru di Nusantara.Penyebaran melalui rute dagang ini sambil diikuti
perkawinan dengan puteri raja setempat,bukan saja membentuk masyarakat Islam tetapi juga
membentuk “Budaya Melayu”,sehingga kita lihat pada masa kedatangan orang Barat kemari
telah terbentuk kerajaan-kerajaan maritime di sepanjang kuala-kuala sungai di pesisir timur
Sumatera dan Kalimantan serta di Thailand Selatan,bahkan sampai di Jayakarta dan Indonesia
Timur.Sejak itu terbentuklah definisi jatidiri Melayu yang baru yang tidak lagi terikat kepada
faktor genealogis (hubungan darah) tetapi dipersatukan oleh faktor cultural (budaya) yang
sama,yaitu kesamaan dalam beragama Islam,berbahasa Melayu dan beradat-istiadat
Melayu.Berikut pengertian orang Melayu menurut kesepakatan para ahli-ahli Barat:”Orang-
orang Melayu (Malaios) adalah orang Islam dengan bahasa Melayu,mempunyai kebiasaan
mempelajari bahasa mereka tetapi juga berusaha memperluas pengetahuan mereka dan juga
mempelajari bahasa Arab.Suka mengembara,suatu ras yang paling gelisah di dunia,suka
mendirikan kampung-kampung namun dengan mudah meninggalkannya.Mereka bersih dan
berketurunan baik,sangat gemar akan musik dan sangat berkasih sayang.”
Menurut J.M Gullick dalam Malay Society In The Late 19th Century,The Beginning Of
Change,terbitan Oxford University Press.Singapore 1989,hal 277.Pada orang Melayu ada
beberapa nilai (norma) yang menonjol yaitu:
a. Adanya konsep status,yaitu senang mengejar status yang lebih tinggi
b. Bertindak patut menurut adat dan pendapat orang banyak
c. Jika menerima malu dapat berbuat amok atau sindiran
d. Tidak suka berbicara keras-keras dengan tekanan terhadap setiap kata atau kalimat.
e. Cenderung bersifat konservatif
f. Berpijak pada yang esa
g. Sangat mementingkan penegakan hokum untuk keamanan,ketertiban dan kemakmuran
masyarakat.Hal ini banyak dituangkan dalam bentuk adat.
h. Mementingkan sekali budi dan bahasa yang menunjukkan sopan dan santun dan tingginya
peradaban Melayu.
i. Mengutamakan pendidikan dan ilmu.
j. Mementing budaya Melayu
k. Musyawarah dan mufakat merupakan sendi kehidupan sosial orang Melayu
l. Ramah tamah dan terbuka kepada tamu
m. Melawan hanya pada saat terdesak
Menurut pengakuan Vallentijn (1712 M) seorang peneliti Belanda,bahasa Melayu tidak hanya
dituturkan di seluruh Nusantara dan juga negeri-negeri Timur,sebagai suatu bahasa yang dikenal
dan dimengerti semua orang,ia juga diketahui dan digunakan di Persia,bahkan melampaui negeri
dan sampai ke Filipina.Penterjemah beliau bahkan telah mendengar Bahasa Melayu digunakan di
jalanan kota Kanton.
Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa orang Melayu itu adalah:
¬ Melayu adatnya
¬ Melayu bahasanya
¬ Islam agamanya
Pandangan ini di sempurnakan lagi oleh Ismail Hamid dari Dewan Bahsa dan Pustaka Malaysia
yang mengatakan bahwa Melayu itu adalah seseorang yang menganut agama Islam,lazimnya
berbahasa Melayu,mengikuti adat-istiadat Melayu.Pandangan ini melahirkan sebutan bahwa
orang bukan Islam lalu masuk Islam disebut “Masuk Melayu”.Sebaliknya orang Melayu yang
keluar dari agama Islam tidak lagi diakui sebagai orang Melayu,tetapi disebut ”Orang Lain” atau
“Budak Asing”.
Bab III
Zaman Kerajaan Melayu
ϖ Kerajaan Damasraya terletak di Bukit Seguntang Mahameru dan didirikan oleh Sang
Sapurba,sepeninggal Sang Sapurba yang pergi ke Bintan kerajaan ini di pindahkan ke hulu
sungai Jambi dan akhirnya berpusat di Pagarruyung.
ϖ Kerajaan Bintan Hindu yang dipimpin oleh Ratu Wan Sri Beni
ϖ Kerajaan Singapura Hindu yang didirikan oleh Sang Nila Utama di Tumasik.
Kerajaan Melayu Hindu berakhir ketika Penguasa Melaka yang bernama Parameswara memeluk
agama Islam pada tahun 1400 M dan bergelar Megat Iskandar Syah.
Meskipun Sultan Malaka yang pertama yaitu Iskandar Syah telah memeluk agama Islam,agama
Islam justru baru menyebar dengan pesat pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Syah yang
masuk Islam setelah melihat seorang Syekh dari maghribi melakukan shalat di pinggir pantai.
Pada umumnya banyak terdapat kerajaan-kerajaan Melayu di Semenanjung Malaysia seperti
Selangor,Sabah,Brunai dan Tempasok (Terengganu) namun yang menonjol hanyalah kerajaan
Melaka,Johor-Riau dan Lingga-Riau.
Sultan-Sultannya adalah:
1.Parameswara,bergelar Sultan Iskandar Syah (1400 M-1424 M)
2.Raja Kecil Besar atau Sri Maharaja,bergelar Sultan Muhammad Syah(1424 M-1444 M)
3. Sultan Muzaffar Syah (1444 M-1458 M)
4. Sultan Mansur Syah (1458 M-1477 M)
Pada tahun 1511 M Portugis datang dan menyerang Malaka akibat serangan ini Sultan beserta
perangkat Pemerintahan terpaksa mengungsi dan memindahkan pusat kerajaan dari Melaka ke
Johor sehingga Kesultananan ini lebih dikenal sebagai Kerajaan Johor-Riau.
Pada masa ini kekuasaan Belanda sudah kuat di kerajaan Lingga-Riau hal ini dapat dilihat
dengan penempatan seorang Residen di tanjungpinang yang di maksudkan untuk dapat
mengawasi tindak-tanduk Sultan. Sultan sebagai kepala negara berkedudukan di Tanjungpinang
sedangkan YDM sebagai jabatan yang turun-temurun dipegang bangsawan Bugis dan berfungsi
sebagai kepala Pemerintahan berkedudukan di Pulau Penyengat.
Sultan-Sultannya adalah:
1. Sultan Mahmud Syah III (1784 M-1812 M)
2. Sultan Abdurrahnan (1812 M-1824 M) Pada masa ini Inggris berebut kekuasaan atas Lingga-
Riau dengan Belanda.
3. Sultan Abdurrahman II (1824 M-1832 M) Kekuasaan Sultan ini dimulai setelah Traktat
London yang membagi dua kekuasaan Lingga-Riau dengan wilayahnya yang ada di
semenanjung Malaya diberlakukan
4. Sultan Muhammad Syah (1832 M-1834 M)
5. Sultan Mahmud Muzafar Syah (1834 M-1857 M)
6. Sultan Badrul Alam Syah (1857 M-1883 M)
7. Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1883 M-1913 M) Sultan ini diam-diam sedang
merencanakan perlawanan melawan Belanda,namun rencana nya telah diketahui dan Beliau
diturunkan dari tahtanya.Melalui Surat Keputusan Pemerintah Belanda STBL 1913/19 maka
Kesultanan Melayu Lingga-Riau dihapuskan.Dengan ini berakhir sudah kekuasaan Kerajaan
Melayu di Indonesia.
Bab IV
Penutup
1.Kesimpulan
Dari uraian makalah kami yang berjudul “Periwayatan Sejarah Melayu” ini,dapatlah kita
menarik kesimpulan tentang apa,siapa dan bagaimana yang disebut sebagai orang Melayu
berikut perangkat-perangkat peradaban yang mewarnai sepak terjang Melayu sebagai salah satu
Bangsa di Nusantara.Secara umum yang dimaksud sebagai Orang Melayu itu adalah suatu suku
bangsa yang mendiami wilayah Semenanjung Melayu,Sumatera bagian Timur dan Kalimantan
Barat.Sedangkan secara spesifiknya,para ahli dan sejarawan telah bersepakat bahwa apa yang
dimaksud sebagai Orang Melayu itu adalah mereka yang Beragama Islam,beradat Melayu dan
berbahasa Melayu.Hal ini erat kaitannya dengan masuknya agama Islam di sela-sela kehidupan
Melayu.Agama Islam meresap dalam setiap perbuatan-perbuatan yang digariskan oleh hukum
adat Melayu.
Setelah Islam masuk,agama ini menjadi identitas Melayu.Kebiasaan terdahulu yang bertentangan
dengan nilai-nilai Islami ditinggalkan,diganti dengan yang sesuai dengan ketentuan hukum
Islam.Pengaruh Islam dalam bidang kebudayaan memberikan corak khusus dan menentukan
jalan perkembangan kebudayaan material dan rohaniah.Kebudayaan material tercermin dari
surau,musholla,mesjid,makam dan nisan-nisan,seni suara dan dan seni tari.
Dalam bidang bahasa dan kesusasteraan pengaruh Islam sangatlah kentara.Aksara Melayu yang
satu-satunya dikenal adalah aksara yang berasal dari bahasa Arab.Selain itu kehidupan kerajaan
di Melayu ternyata memilki pengaruh yang sangat vital dalam lalu lintas perdagangan Nusantara
sampai pada masa kedatangan bangsa-bangsa Barat yang mendesak dan memusnahkan kerajaan
Melayu tersebut.
2.Saran
Hendaknya keunggulan peradaban bangsa Melayu pada bidang Bahasa dan Kesusasteraan dapat
kita lestarikan dan kita kembangkan sebagai usaha mempertahankan khazanah budaya
Melayu.Bangsa Melayu terkenal dengan kerajan-kerajaannya yang gigih berjuang menentang
segala bentuk penjajahan yang ada termasuk dari Pihak Belanda,Inggris,Aceh dan
Jambi.Walaupun kerajaan-kerajaan Melayu tersebut hanya tinggal peninggalan saja ,tetapi kita
harus dapat mengamalkan segala teladan yang baik yang ditinggalkan mereka,karena semangat
mereka tetap hidup dalam diri kita.Lagipula bukan tidak mungkin apabila kejayaan Melayu
terulang kembali pada masa kini,namun dalam konsep keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Daftar Pustaka
Benarkah Islam hanya merupakan penampilan luar dan tidak membawa perubahan
mendasar bagi masyarakat Melayu-Indonesia? Snouck Hurgronje datang ke Indonesia pada 1889
di saat umat Islam Indonesia memasuki masa transisi. Akhir abad XIX mulai terjadi kebangkitan
agama di kalangan umat Islam. Ketakutan Pemerintah Hindia Belanda terhadap kebangkitan
Islam melatarbelakangi pengangkatan Snouck Hurgronje sebagai penasihat pemerintah untuk
urusan pribumi dan Islam. Proses Islamisasi di kepulauan Melayu-Indonesia, menurut pakar
sejarah Melayu, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, mengalami kemunduruan sejak datangnya
kolonialisme Barat. Sebagaimana orientalis lainnya, Snouck Hurgronje menilai umat Islam dari
praktek-praktek mereka pada saat kemunduran itu, sehingga memberikan pemahaman keliru
tentang Islam.
Di mana Islam?
Penggambaran kurang tepat tentang peradaban Islam dalam sejarah Indonesia juga bisa
dijumpai pada sejumlah penulis Kristen, seperti T.B. Simatupang dan Eka Darmaputera. Dalam
bukunya, Iman Kristen dan Pancasila (hlm. 11), ia menjelaskan, bahwa Indonesia tidak pernah
mengalami sebuah kerajaan Islam yang mencakup seluruh Indonesia, seperti di zaman Mogul di
India. Menurutnya, Kerajaan Sriwijaya yang Budha dan Majapahit yang Hindu, pernah
mempersatukan sebagian besar wilayah Nusantara. "Tetapi, tidak pernah ada jaman Islam dalam
arti kerajaan yang mencakup seluruh negeri," tulis TB Simatupang. Begitulah, lanjutnya, dalam
arti tertentu, yang menggantikan Majapahit adalah pemerintahan kolonial Belanda dan yang
menggantikan yang terakhir tersebut adalah pemerintahan Republik Indonesia.
Tokoh Kristen lain, Eka Darmaputera, dalam bukunya, Pancasila: Identitas dan
Modernitas (1997:41), juga membuat paparan yang kurang tepat tentang sejarah peradaban Islam
di Indonesia. Ia mengakui, dibandingkan dengan kebudayaan asli dan Hindu, Islam jauh lebih
berhasil menanamkan pengaruhnya pada seluruh lapisan masyarakat. Ia berhasil mencapai rakyat
biasa dan menjadi agama dari mayoritas penduduk Indonesia. Namun demikian, ia tidak
menciptakan suatu peradaban baru. Sebaliknya, dalam arti tertentu, ia harus menyesuaikan diri
dengan peradaban yang telah ada, tulis Eka Darmaputera. Bahkan, untuk mendukung asumsinya
tersebut, Eka menunjuk contoh Sunan Kalijaga, yang meskipun sempat memeluk agama Islam,
tetapi tetap menjadi Jawa, dan tidak menjadi Hindu atau Islam. Eka menulis, "Ia adalah seorang
Hindu, bangsawan Majapahit, tetapi toh bukan itu, sebab Majapahit adalah masa lampaunya. Ia
adalah seorang Islam, menjadi Islam di pusat peradaban Islam yang tengah menyingsing pada
waktu itu, Demak. Tetapi toh tidak seluruhnya, sebab akhirnya Demak pun ia tinggalkan, bahkan
ia memainkan peranan yang penting dalam kekalahannya. Ia pada akhirnya adalah seorang Jawa,
yang merangkul semua, tanpa pernah sepenuhnya menjadi salah satu. Di Mataram lah –sebuah
Kerajaan Jawa, yang tidak sepenuhnya Hindu maupun Islam— ia memainkan peranannya yang
terpenting di dalam mengislamkan Jawa." (hlm. 34).
Tentu saja, cerita Eka Darmaputera tentang Sunan Kalijaga tersebut sulit dilacak
kebenarannya. K.H. Saifuddin Zuhri, tokoh NU, dalam salah satu tulisannya tentang Wali Songo
memberikan gambaran tentang Sunan Kalijaga yang jauh berbeda dengan gambaran Eka
Darmaputera. Sunan Kalijaga adalah seorang yang sangat aktif berdakwah, yang seluruh
hidupnya di abdikan hanya untuk menyiarkan Islam. (Lihat, KH Saifuddin Zuhri, Sejarah
Kebangkitan dan Perkembangan Islam di Indonesia, 1981:310-329). Sebuah kisah populer di
Jawa –yang banyak dirujuk oleh para sejarawan dalam melihat sejarah Islam, Majapahit, dan
para wali adalah Serat Darmagandul.
Buku Darmagandul ini penuh dengan caci maki terhadap Islam dan Wali Songo. Di sisi
lain, pengarang Darmagandul (yang tetap misterius sampai sekarang) sejak awal memiliki itikad
untuk menampilkan agama Kristen (Nasrani) lebih memiliki keunggulan dibandingkan Islam.
Buku ini juga secara sistematis menanamkan kebencian orang Jawa terhadap Islam. Misalnya
ditulis: "Wong Djawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama kawruh,
....(Artinya: Orang Jawa ganti agama, besok banyak yang meninggalkan Islam, berganti
(menganut) agama kawruh ...). (Lihat, Anonim. Darmagandul. Cetakan IV. (Kediri: Penerbit
Tan Khoen Swie, 1955). Juga, ungkapan Darmagandul, "Kitab Arab djaman wektu niki, sampun
mboten kanggo, resah sija adil lan kukume, ingkang kangge mutusi prakawis, kitabe Djeng
Nabi, Isa Rahullahu." (Artinya: Kitab Arab jaman waktu ini, sudah tidak terpakai, hukumnya
meresahkan dan tidak adil, yang digunakan untuk memutusi perkara adalah kitab Kanjeng Nabi
Isa Rahullah). Cerita-cerita dalam Darmagandul yang menyudutkan Islam dan mengadu domba
antara Islam dengan Jawa ini memiliki banyak kesamaan cerita dengan Babad Kadhiri yang
diakui penulisnya ditulis atas permintaan pemerintah kolonial Belanda.
Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib Al-Attas menolak keras teori para sarjana Barat yang
menganggap kehadiran Islam di wilayah Melayu-Indonesia ini tidak meninggalkan sesuatu yang
berarti bagi peradaban di wilayah ini. Ia menulis, "Banyak sarjana yang telah memperkatakan
bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit
jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan
terkupas menonjolkan ke hinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya,
paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi
hanya merupakan angan-angan belaka." (Lihat, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam
Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1990:41).
Al-Attas juga menekankan kekeliruan hasil penelitian ilmiah Barat yang meletakkan serta
mengukuhkan kedaulatan kebudayaan dan peradaban Jawa sebagai titik tolak permulaan
kesejarahan Kepulauan Melayu-Indonesia. "Anggapan seperti inilah hingga dewasa ini masih
merajalela tanpa gugatan dalam pemikiran kesejarahan kita." (ibid, hlm. 40-41).
Risalah-risalah yang dihasilkan oleh para ulama Melayu-Indonesia ditulis dengan huruf
Arab meski tidak selalu berbahasa Arab. Bahasa bisa saja Jawa atau Melayu, tetapi hurufnya
Arab. Tulisan semacam itu disebut dengan tulisan Arab pegon. Menulis dengan huruf Arab telah
menjadi tradisi umat Islam di kepulauan Melayu-Indonesia jauh hari sebelum mereka mengenal
tulisan latin yang dibawa oleh kolonialis Barat.
Peristiwa penting lain yang secara langsung digerakkan oleh proses sejarah kebudayaan
Islam, menurut Al-Attas, adalah penyebaran bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, bukan
saja dalam kesusastraan epik dan roman, akan tetapi –lebih penting— dalam pembicaraan
falsafah. Bahasa Melayu mengalami suatu perubahan revolusioner; di samping pengayaan
sebagian besar perbendaharaan kata-katanya yang berasal dari kata-kata Arab dan Persia. Bahasa
itu menjadi media utama untuk membawakan Islam ke seluruh kepulauan sehingga pada abad
XVI, selambat-lambatnya, telah mencapai kedudukan sebagai bahasa religius dan kesusasteraan
menggantikan hegemoni bahasa Jawa. Kesusasteraan Melayu berkembang dalam periode Islam.
Abad XVI dan XVII menyaksikan berlimpahnya tulisan Melayu mengenai mistisisme filosofis
dan teologi rasional yang tidak tertandingi. Terjemahan Al-Quran yang pertama ke dalam bahasa
Melayu dengan tafsiran yang didasarkan atas tafsiran termasyhur dari Al-Baidhawi, dan
terjemahan-terjemahan, tafsiran-tafsiran dan karya-karya asli mengenai mistisisme filosofis dan
teologi rasional juga muncul selama periode ini yang menandai kebangkitan rasionalisme dan
intelektualisme yang tidak dimanifestasikan di mana pun sebelumnya di kepulauan. (hlm. 27)
Bahasa Melayu kemudian menjadi bahasa Islam dan berhasil menggerakkan ke arah
terbentuknya kesadaran nasional. Untuk menghilangkan pengaruh Islam, sampai-sampai
beberapa sekolah di Jawa yang didirikan oleh misionaris pada awal abad XX menghindari
penggunaan bahasa Melayu sejauh mungkin. Imam Yesuit Frans van Lith, pendiri sekolah
Muntilan berpendapat, ”Dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda)
adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak
memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah,
tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah
Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.” Penolakan terhadap
bahasa Melayu menjadi kebijakan tetap misi Yesuit di Jawa Tengah. Salah satu alasannya,
khawatir promosi bahasa Melayu akan menyiratkan dukungan terhadap agama Islam.
Pengaruh Islam yang sangat besar dalam sejarah Melayu-Indonesia merupakan fakta
keras (hard fact) yang tidak bisa dipungkiri. Pengaruh itulah yang selama berabad-abad dicoba
dihilangkan oleh kolonialis dan orientalis Belanda. Wajar, jika penjajah melakukan rekayasa
sejarah. Tentu, kemudian, tergantung umat Islam sendiri –apapun suku bangsanya– apakah mau
sadar atau tidak, bahwa mereka adalah MUSLIM!
PANTANG LARANG
Setiap daerah atau suku bangsa, sudah tentu mempunyai beragam adat istiadat yang
membedakan ia dengan suku-suku dan daerah yang lainnya.salah satu dari adat istiadat tersebut
adalah budaya pantang larang. Pantang larang yang berlaku dalam suatu daerah merupakan salah
satu dari berbagai macam kekayaan khazanah kebudayaan. Masing-masing masyarakat, sudah
pasti mempunyai suatu kearifan untuk menjaga dan melestarikan lingkungannya.
Tulisan sederhana ini dibuat dalam rangka memperkenalkan kepada masyarakat luas pada salah
satu budaya yang berlaku dalam masyarakat suku Melayu Sambas. Mungkin, seperti juga yang
terjadi di daerah-daerah lain, budaya pantang larang untuk saat sekarang sudah mulai
ditinggalkan oleh sebagian besar masyarakat. Kemajuan tekhnologi dan kebebasan berfikir,
mungkin salah satu yang menjadi factor penyebabnya.
Oleh karena itu, dalam rangka upaya untuk melestarikan budaya, yang dipandang banyak orang
sudah ketinggalan zaman ini, maka perlu kiranya dilakukan sebuah upaya untuk mewujudkan hal
tersebut. Salah satu upaya kecil dari sebuah cita-cita yang besar itu adalah dengan cara merekam
atau menuliskannya, sehingga masyarakat khususnya pemilik kebudayaan tersebut, dalam hal ini
orang Melayu Sambas, tak lantas benar-benar lupa, akan kekayaan budaya lokal yang dimiliki.
Selain itu, tulisan ini juga bertujuan ingin mengungkapkan, bagaimana peranan budaya pantang
larang tersebut dalam proses pendidikan etika, bahkan upaya pelestarian lingkungan dan
kebudayaan di sana. Apakah keduanya mempunyai hubungan satu sama lain. Ataukah hanya
sebagai mitos-mitos belaka, yang dahulu sangat diyakini.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba mendeskripisikan mengenai pantang larang yang berlaku
pada masyarakat Melayu Sambas. Data tersebut penulis kumpulkan di desa kelahiran penulis
yakni desa Maktangguk, kecamatan Tebas.
Desa Maktangguk terletak di wilayah kecamatan Tebas, kabupaten Sambas. Jarak dari ibu kota
Provinsi sekitar 315 KM, bisa ditempuh dengan menggunakan bis umum, atau sepeda motor,
dalam waktu sekitar 5 sampai 6 jam perjalanan.
Jarak desa Maktangguk dari ibu kota kecamatan sekitar 15 KM. biasanya ditempuh
menggunakan sepeda motor, angkutan umum (oplet), atau bisa juga dengan menggunakan motor
air. Namun, alternative terakhir, untuk saat sekarang sudah mulai kurang disukai, karena selain
tidak efektif, juga biaya yang dikeluarkan sedikit lebih mahal. Orang di sana lebih menyukai
penggunaan sepeda motor, karena faktor kepraktisan tadi.
Motor air hanya digunakan penduduk apabila mereka ingin mengangkut barang-barang dalam
jumlah yang banyak, yang tidak mungkin menggunakan sepeda motor. Misalnya membawa
barang elektronik, yang baru dibeli, dan lain-lain. Selain itu, jalur air ini juga biasanya digunakan
untuk membawa hasil perkebunan penduduk, seperti jeruk, kelapa, nanas, dan yang lainnya
untuk dibawa dan dijual ke pasar.
Mengenai kondisi jalan menuju desa Maktangguk itu sendiri, keadaannya sudah rusak sangat
parah. Padahal, jalan tersebut baru diaspal sekitar dua tahun yang lalu. Sekarang, yang tersisa
hanya tonjolan-tonjolan batu, yang sudah “ditinggalkan” aspalnya. Kerusakan parah pada jalan
utama ini, disebabkan oleh ketidakmampuan jalan dengan aspal yang ala kadarnya, menampung
beban berat mobil-mobil truk, yang mengangkut hasil perkebunan, pertanian, bahkan bahan
bangunan. Kerusakan tersebut makin diperparah dengan sering terjadinya banjir, sehingga air
bertakung di permukaan jalan, dalam waktu yang lama.
Penduduk di desa Maktangguk boleh dikatakan hampir 99 persen adalah masyarakat Melayu
Sambas, sisanya etnis Tionghoa dan Dayak. Sebelum kerusuhan yang terjadi beberapa tahun
silam, yang melibatkan etnis Madura, Melayu dan Dayak, dahulu juga terdapat etnis Madura,
sekitar 5 sampai 6 kepala keluarga. Mayoritas penduduk beragama Islam.
Mata pencaharian utama mereka adalah mengandalkan sawah dan kebun. Terutama kebun jeruk.
Kecamatan Tebas, memang terkenal dengan penghasil jeruk terbanyak, dibanding dengan
kecamatan-kecamatan lainnya di Kalimantan Barat. Akan tetapi, kebanyakan yang menggeluti
pekerjaan ini hanyalah berasal dari kalangan orang tua. Sedangkan pemuda dan pemudi di sana,
sebagian besar merantau ke Malaysia menjadi TKI (tenaga kerja Indonesia), pemudanya juga ada
yang bekerja di hutan, menebang kayu, dan ada juga sebagian kecil yang merantau ke Pontianak.
Factor rendahnya pendidikanlah yang menyebabkan pemuda dan pemudi di sana lebih memilih
untuk meninggalkan kampung halamannya. Karena mereka menganggap, untuk mendapatkan
pekerjaan di Malaysia, itu jauh lebih mudah dibandingkan untuk bekerja di negeri sendiri. Untuk
menjadi TKI, mereka sama sekali tidak membutuhkan ijazah, hanya berbekalkan kemauan, maka
dapatlah pekerjaan di Malaysia. Sedangkan untuk kerja di negeri sendiri, Pontianak, misalnya,
minimal mereka harus mengantongi ijazah SMA baru bisa dapat pekerjaan, dan itupun kurang
menjamin juga.
Kesadaran masayarakat di sana mengenai pentingnya pendidikan, memang masih bisa dikatakan
rendah. Dari data terakhir yang penulis kumpulkan, jumlah sarjana di sana sampai tahun 2008
ini, baru 3 orang, sekarang ketiganya menjadi tenaga pengajar di sekolah dasar di sana.
Sedangkan untuk tamatan SMU/sederajat berjumlah 30 orang (selama 15 tahun terakhir).
Sisanya tamatan SMP/sederajat dan yang paling banyak hanya tamatan sekolah dasar (SD).
Jumlah penduduk menurut data terakhir berjumlah 1500 jiwa.
Mengenai pantang larang yang berlaku di sana, sebagian masih ada yang mempercayainya
dengan sepenuh hati. Namun sebagian besar juga sudah mulai meninggalkannya. Penduduk yang
masih memakai pantang larang tersebut biasanya berasal dari kalangan orang-orang tua. Dan
seiring bergantinya generasi, orang-orang sudah mulai meninggalkannya, dan tidak lagi
meyakini hal tersebut sebagai sesuatu hal yang harus benar-benar dipegang.
Pantang larang yang penulis kumpulkan ini, mencakup dari berbagai tempat dan kondisi, seperti
di rumah, di hutan, di air, di sawah, pantangan untuk wanita hamil dan lain-lain. Berikut adalah
pantang larang yang sampai hari ini, masih bisa bertahan, dan masih dipegang:
6. Terkena penyapu
Terkena penyapu ini, maksudnya pada saat orang lain sedang menyapu, jika sapunya tersebut
mengenai kaki atau tubuh yang lainnya maka akan menyebabkan petaka dan sial. Misalnya jika
dia bekerja yang mengguanakan senjata tajam. Maka senjata tajam tersebut akan melukainya.
Atau jika dia berangkat ke laut, maka dia akan disambar buaya. Namun petaka dan kesialan
tersebut, bisa dicegah dengan cara sesegera mungkin meludahi penyapu tersebut.
7. Anak gadis tidak boleh duduk di depan pintu,
Seorang gadis, sangat dilarang duduk di depan pintu rumah. Hal ini di yakini bisa menyebabkan
nanti tunangannya balik (tidak jadi datang melamar).
11. Jika makan tebu, harus dimakan dari ujung dulu (dari bagian yang tidak manis),
Pantangan ini juga ditujukan kepada anak kecil. Menurut orang-orang tua, bagian yang tidak
manis tersebut, jika dimakan terlebih dahulu, maka anak tersebut nantinya bisa pandai berenang.
1. Tidak boleh mencuci kuali langsung di sungai, dan membuang abu dapur ke sungai,
Mencucui kuali, atau membuang abu dapur di sungai, terutama pada saat lorang tersebut
melakukan perjalanan dengan menggunakan sampan, maka akan menyebabkan hujan ribut, yang
bisa membahayakan nyawa orang yang bersangkutan tentunya. Jadi boleh dikatakan hal ini juga
bisa menyebabkan kematian.
Di sawah
2. Tidak boleh memanggang terasi, ikan, dan rotan pada malam hari,
Orang yang sedang berada di dalam hutan, sangat dilarang untuk membakar terasi, ikan, atau
barang-banrang yang berbau menyengat lainnya, selain itu juga tidak boleh membakar rotan,
karena perbuatan tersebut dapat mengundang hantu hutan, untuk menghampiri dan mengganggu
kita.
4. Berludah sembarangan,
seseorang yang sedang berada di hutan juga sangat dilarang untuk meludah di sembarang tempat,
karena air ludah tersebut bisa mengundang pacet dan lintah.
5. Jika ingin minum di air yang tergenang di hutan, harus menggunakan mulut langsung (seperti
binatang).
Jadi, seseorang tidak boleh menggunakan tangan atau alat Bantu seperti gelas dan lain-lain,
karena jika tidak, maka orang tersebut akan mengalami sakit perut atau sakit tulang.
7. Jika bertemu binatang buas, tidak boleh menyebutnya dengan namanya langsung.
Di hutan, jika kita menemukan binatang buas seperti ular, harimau, beruang atau binatang buas
yang lainnya, tidak boleh disebut namanya, akan tetapi harus disebut dengan bahasa kiasan lain,
contohnya kita sebut Nenek atau Datok, karena jika tidak, binatang tersebut akan bertambah
besar dan ganas.
8. Tidak boleh melangkahi atau berjalan di atas kayu yang saling bersilang (yang membentuk
huruf X).
Jika bertemu dengan pohon kayu yang saling bersilang (membentuk huruf X), lebih baik
mengambil jalan lain, dari pada berjalan di atasnya, karena dipercaya, jika hal tersebut dilakukan
bisa membuat kita tersesat di dalam hutan tersebut, dan tidak akan bisa ditemukan oleh siapapun.
9. Tidak boleh menebang kayu yang rimbun,
Menebang kayu yang sangat rindang, yang di bawahnya tak ada kayu lain yang tumbuh, juga
dilarang, karena pohon tersebut dipercaya merupakan tempat tinggal makhluk halus, dan jika
ditebang maka makhluk halus tersebut akan marah dan mengganggu orang yang menebangnya.
11. Tidak boleh melangkahi senjata tajam yang akan digunakan untuk bekerja.
Pelanggaran dari pantangan ini akan menyebabkan orang yang menggunakan alat yang telah
dilangkahi tersebut cedera. Akan tatapi, hal tersebut bisa dicegah dengan meludahi senjata tajam
tersebut kemudian diangkat ke kepala.
Pantangan bagi wanita yang sedang hamil, serta suaminya, dan setelah ibunya melahirkan:
6. Seorang ayah juga tidak boleh memompa sepeda atau sepeda motor,
Selain memotong pisang tadi, sebelum seorang anak memasuki umur 40 hari, bapaknya juga
tidak boleh memompa sepeda atau sepeda motor, karena jika dilanggar, maka perut anaknya
akan kembung.
Pantangan-pantangan yang telah disebutkan di atas, sudah pasti belum semuanya terangkum.
Masih banyak pantangan-pantangan lainnya yang belum sempat terekam. Namun penulis rasa,
dari beberapa hal tersebut sedikit sudah bisa menggambarkan mengenai apa dan bagaimana
posisi budaya pantang larang bagi masyarakat Melayu Sambas. Hal itu dapat dilihat dari tempat
berlakunya, hampir semua mencakup tempat-tempat dan kondisi yang memang sangat dekat
dengan kehidupan orang Melayu, yakni sawah, sungai dan hutan.
Pantangan-pantangan tersebut, jika kita tinjau lebih dalam, (terlepas dari ancaman-ancaman
tersebut, tentunya) maka kita akan menemukan wujud dari kearifan lokal masyarakat setempat
pada zaman dahulu dalam upaya untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang sopan santun,
etika, dan upaya dalam memelihara lingkungan, serta penghargaan terhadap makhluk ghaib,
yang walupun tak terlihat, namun mereka ada, dan berdampingan dengan manusia. Belum lagi
jika kita tinjau dari segi kesehatan dan dihubungkan juga dengan ajaran agama.
Sebagai contoh, pantangan yang berhubungan dengan pelajaran etika, yakni larangan bagi anak
gadis, jangan duduk di depan pintu, atau larangan bernyanyi jika sedang masak. Jika kita lihat
hikmah dan pesan yang ingin disampaikan oleh orang tua melalui pantangan itu, memang sangat
bijaksana. Anak gadis, dan penulis rasa juga berlaku untuk semua orang, memang tidak pantas
duduk di depan pintu. Karena perbuatan tersebut menghalangi orang yang mau masuk, dan itu
sangat mengganggu. Begitu juga halnya dengan masak sambil bernyanyi, mungkin orang tua
zaman dahulu khawatir, nanti malah anak gadis tersebut keasyikan bernyanyi, sehingga
melupakan masakannya.
Contoh lain misalnya, jika makan tebu, harus dimulai dari bagian ujungnya (bagian yang tidak
manis) terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan, agar si anak bisa menghargai makanan, sebab jika
dia makan yang manis dahulu, bagian yang tidak manisnya, pasti ditinggalkan. Namun, pesan
terbesar yang ingin disampaikan melalui pantangan ini adalah, bagaimana kita menjalani hidup.
Seseorang, akan merasakan kebahagiaan yang paling manis, ketika ia telah mengecap
pengalaman yang tidak manis, bahkan yang pahit sekalipun dalam hidupnya.
Pantangan yang berhubungan dengan upaya dalam pemeliharaan lingkungan, misalnya seseorang
dilarang membuang abu dapur, atau mencuci kuali ke dalam sungai. Atau pantangan saat berada
di hutan, yakni seseorang tidak boleh mencemari air yang tergenang. Larangan tersebut sudah
sangat jelas, bahwa ada upaya pencegahan perbuatan yang dapat mencemari lingkungan di situ.
Pantang larang yang bisa kita lihat dari segi upaya menjaga kesehatan dan kebersihan. Misalnya,
tidur jangan sambil tengkurap, tidur jangan bertopangkan tangan, dan yang bagi wanita hamil
jangan tidur pada saat matahari sedang naik (waktu dhuha), mandi jangan menggunakan baju,
dan pantangan mencuci piring pada malam hari. Kesemua itu adalah wujud dari kebijaksanaan
orang tua dalam mengajarkan anak-anaknya untuk menjaga kesehatan dan kebersihan.
Yang terakhir, kita kaji dari sudut pandang agama. Salah satu contohnya adalah seorang anak
tidak boleh makan bersisa. Bukankah Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk tidak melakukan
perbuatan mubazir. Selain itu, pantangan tersebut juga mengajarkan pada anak-anak untuk
terbiasa menghargai makanan, berapapun jumlahnya. Dan perbuatan tersebut, selayaknya
memang harus dibiasakan sejak kecil, karena itu akan membentuk perilakunya sampai ia dewasa.
Di antara pantangan-pantangan di atas, memang, tidak dapat dipungkiri ada juga sebagian yang
sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah etika, kesehatan, ataupun agama.
Akan tetapi hal tersebut benar-benar mereka pegang. Mengenai masalah ini, tokoh masyarakat,
yang menjadi narasumber dari penelitian ini, sama sekali tidak mau membeberkan alas an
mengapa hal tersebut sangat mereka yakini. Beliau hanya menjelaskan bahwa dia juga diberitahu
oleh orang tuanya, dan orang tuanya dulu juga diberitahu oleh neneknya, dan begitu terus secara
turun-temurun.
Pantangan-pantangan yang dimaksud itu, misalnya di hutan tidak boleh membakar barang-
barang yang berbau menyengat, seperti terasi, ikan dan rotan. Seorang bapak yang mempunyai
anak bayi yang belum genap berumur 40 hari, tidak boleh membelah kayu, memotong batang
pisang, ataupun memompa sepeda atau sepeda motor. Tapi, pastinya orang tua zaman dahulu,
mempunyai alasan kuat mengapa perbuatan-perbuatan tersebut juga dilarang. Bisa jadi, kejadian
aneh (anaknya berbibir sumbing) atau musibah (pendarahan pada pusar anak, hingga anak
tersebut meninggal dunia) memang benar-benar terjadi bertepatan dengan “pelanggaran” yang
dilakukan ayahnya. Jadi, orang zaman dahulu, yang sama sekali belum mengetahui perihal cara
penanganan kasus tersebut, lalu menghubung-hubungkan kejadiannya. Padahal, bisa jadi,
musibah tersebut terjadi karena kesalahan penanganan pada sang bayi, yang lalu berakibat sangat
fatal, yakni kematian. Begitulah akhirnya, secara turun temurun, hal tersebutlah yang diyakini
sebagai penyebabnya.
Setiap pantang larang yang terdapat di dalam suatu masyarakat, biasanya mayoritas mengandung
suatu ancaman, baik itu berupa kegagalan panen, kesulitan, tidak dapat jodoh atau dapat jodoh
orang yang sudah tua, , didatangi hantu, sakit, atau bahkan ancaman kematian, baikitu bagi si
pelaku pelanggaran, maupun terhadap orang-oarang yang tersayang. Semua hal tersebut,
menurut penulis adalah suatu hal yang sangat menarik untuk dikaji. Mengapa kesemuanya itu,
harus menggunakan sebuah ancaman.
Berdasarkan diskusi yang penulis lakukan bersama orang-orang terdekat, bahwa adakalanya
sebuah ancaman itu pengaruhnya akan jauh lebih berhasil. Apalagi untuk masyarakat yang boleh
dikatakan masih sangat tradisional, mereka akan sangat mudah mempercayai apa yang dikatakan
oleh orangtuanya.
Orangtua, bagi masyarakat pedesaan, adalah seseorang yang tidak boleh dibantah. Semua yang ia
katakana adalah kebenaran. Pemikiran yang seperti inilah yang membuat orang zaman dahulu
sangat memegang teguh apa yang orangtua mereka sampaikan. Mereka menganggap bahwa,
orang tua adalah orang yang sangat berpengalaman dan mempunyai pengetahuan yang banyak.
Membantah perkataan mereka, berarti membuka jalan yang menuju kesengsaraan.
(Sumber: http://marisasyakirin.blogspot.com/2009/01/pantang-larang-dalam-budaya-
sambas.html)
PERISTIWA SAMBAS
1. Latar belakang.
c. Selain itu terjadi pula kasus perkelahian antara kenek angkot warga
suku Melayu dengan penumpang angkot warga suku Madura yang tidak
mau membayar ongkos.
g. Peristiwa ini adalah kejadian yang kesepuluh sejak tahun 1977 dan
juga pernah terjadi terhadap etnis yang lain.
2. Kronologi peristiwa.
a. Pada tanggal 17 Januari 1999 pukul 01.30 WIB telah ditangkap dan
dianiaya pelaku pencurian ayam warga suku Madura oleh warga suku
Melayu.
b. Pada tanggal 19 Januari 1999 sekitar 200 orang suku madura dari
suatu desa menyerang warga suku Melayu desa lainnya.
3. Proses Hukum.
b. Barang bukti disita 607 pucuk senjata api rakitan, 2.336 senjata tajam,
76 bom molotov, 86 ketapel, 969 anak panah, 8 botol dan 8 toples obat
mesiu, 443 butir peluru timah, 79 peluru pipa besi, 349 butir peluru
setandard ABRI dan 441 butir peluru gotri.
4. Kesimpulan.
“Takkan hilang Melayu ditelan jaman,”demikian yang diungkapkan Hang Tuah Laksamana
Melayu yang legendaris. Memang sampai sekarang yang namanya suku bangsa Melayu masih
tetap ada yang tersebar di Bumi Nusantara, begitu juga di bumi Serambi Mekah Sambas. Secara
fisik (keturunan) Melayu memang masih ada, namun secara eksistensi jati diri dan kebudayaan
patut kita pertanyakan, begitu juga nilai-nilai keislaman yang selama ini melekat pada suku
Melayu sehingga ada idiom yang menyatakan “Melayu identik dengan Islam”. Masyarakat
Melayu sangat berpegang teguh dengan adat istiadat dan ajaran agama Islam. Dua aspek inilah
yang menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Melayu.
Dalam pengertian umum “Melayu” adalah seseorang yang berbicara serta berbudaya
Melayu dan beragama Islam (One who speaks Malay habitually, practices Malay culture, and it
a muslim) demikian yang diungkapkan Leonard Andaya yang dikutip Pabali Musa. Dari
pengertian ini ada tiga hal yang menjadi ciri dari seseorang yang dapat dikatakan Melayu.
Pertama, berbicara dengan bahasa Melayu. Kedua, hidup dengan budaya Melayu. Ketiga,
beragama Islam. Selain ketiga aspek ini menurut hemat penulis seseorang dapat dikatakan
Melayu, ia mestilah terlahir dari keturunan Melayu.
Orang Melayu dikenal sebagai etnik yang berketurunan baik (Duarte Bardosa), sangat
sopan di seluruh Asia (Valentijn) dan jarang terlibat soal kriminal karena menjunjung tinggi
hukum. Orang Melayu dikenal sangat menghormati tamunya, pemaaf, sabar, lemah lembut, dan
lebih suka mnghindari konflik, bahkan untuk memberi nasihat, menyindir atau marah saja
menggunakan pantun. Orang Melayu juga dikenal sangat menyukai seni, baik tari dan nyayian.
Dalam seni dan sastra Melayu kita mengenal ada gurindam 12, serampang 12, pantun dan japin.
Masyarakat Melayu juga dikenal sebagai bangsa yang “welcome” terhadap pendatang, begitu
juga Melayu Sambas, sehingga ada pepatah yang menyatakan Kecil telapak tangan nyiru kami
tadahkan. Sebab itulah di Sambas ada Kampung Bugis dan Kampung Jawa misalnya.
Kehilangan ataupun melemahnya jati diri dan budaya sebagai seorang Melayu dapat dilihat
dari fenomena generasi muda di Kabupaten Sambas yang lebih mengenal tari-tari modern dari
tari-tari daerah, lagu-lagu pop dan dangdut daripada lagu daerah, tidak bisa berpantun dan tulis
baca Arab Melayu, belum lagi dalam pengamalan norma-norma ajaran agama Islam dalam
kehidupan sehari-hari sebagai agama yang dianut oleh suku Melayu. Karena kentalnya nuansa
agama Islam dalam kehidupan masyarakat Sambas inilah sehingga Sambas dikenal sebagai
Serambi Mekah atau Serambi Madinah Kalimantan Barat. Sambas juga pernah dikenal sebagai
“gudangnya” ulama, kita mengenal misalnya Ahmad Khatib Sambas pendiri tarekat Qadariah-
Naqsabandiah dan Muhammad Basiuni Imran.
Walaupun tidak semua yang menjadi ciri utama dari seorang Melayu hilang dari generasi
muda Melayu Sambas, tetapi fenomena yang terjadi di kalangan generasi muda Melayu Sambas
patut untuk kita cermati dan dicarikan jalan keluarnya agar generasi muda Melayu Sambas
berlaku sebagai orang Melayu bukan hanya berketurunan Melayu. Tentu saja semua pihak mesti
terlibat dalam hal ini, tetapi jangan sampai kita terjebak pada eksklusifisme dan ini tentu saja
bukan ciri dari seorang Melayu.
Merevitalisasi identitas Melayu Sambas mestilah dimulai dari dua hal yang paling dasar
yang menjadi pilar utama masyarakat Melayu yakni agama Islam dan adat istiadat. Islam adalah
agama yang universal dan paripurna dalam ajarannya. Islam mengatur akidah, akhlak, sosial,
ekonomi, politik, militer, hukum, seni dan budaya. Apa yang menjadi ciri-ciri Melayu seperti
yang diungkapkan diatas terdapat dalam ajaran agama Islam, bahkan Islam dapat memberikan
lebih daripada itu semua jika apa yang terdapat dalam al Quran dan Sunah benar-benar
diamalkan. Penanaman ajaran Islam dalam kehidupan mestilah dilakukan sejak dini, yang
dimulai dari keluarga sebagai fondasi awal. Tentu saja dalam hal ini keluarga yang bahagia
(Sakinah. Mawaddah dan rahmah) sangat diperlukan. Dari Keluarga bahagia yang mengamalkan
ajaran Islamlah yang akan melahirkan anak-anak yang tahu akan ajaran agamanya. Selain
keluarga perlu juga digalakkan pendidikan agama non formal seperti di sekolah sebagai jam
tambahan. Dalam hal ini peran Taman Pendidikan al Quran (TPQ), yayasan-yayasan Islam,
Organisasi-organisasi Islam dan Masjid begitu strategis. Lembaga-lembaga ini dapat berperan
dengan memberikan kursus-kursus keagamaan kepada anak-anak, remaja, pemuda dan bahkan
keluarga. Supaya program ini tepat guna dan sasaran, serta tidak terjadinya tumpang tindih
program perlulah kiranya antar lembaga-lembaga ini selalu melakukan koordinasi. Ibarat kita
hendak membangun sebuah bagunan yang indah dan megah maka fondasi awalnya amat penting
agar dapat menopang bentuk bangunan diatasnya sehingga bangunan itu kokoh dan tidak roboh
menghadapi perubahan cuaca atau iklim.
Setelah fondasi awal sudah kita tanamkan dengan kokoh dan sempurna, hal kedua yang
perlu untuk diperhatikan dan ditumbuh kembangkan adalah adat istiadat bangsa Melayu. Bukan
hanya dalam bentuk fisiknya tetapi juga nilai filosofis yang terkandung didalamnya. Disini peran
pemerintah daerah Sambas sangat diperlukan untuk menggali dan mendidik masyarakatnya.
Peran ini dapat dilaksanakan melalui Dinas Komunikasi, Budaya dan Pariwisata dan Dinas
Pendidikan serta elemen lain sebagai penunjang. Pemerintah Daerah mestilah membuat program
berkesinambungan yang dapat bekerjasama dengan Majelis Adat dan Budaya Melayu (MABM)
dan Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM) atau lembaga ataupun pribadi yang
mempunyai perhatian besar terhadap adat istiadat Melayu.
Jika kedua aspek ini telah terbangun dengan baik, bukanlah suatu khalayan jika Sambas
ingin menjadi Serambi Mekah ke 2 di Indonesia setelah Aceh, begitu juga dengan program
Terpikat-Terigasnya Bupati. Paling tidak akan lahir pribadi-pribadi Melayu yang benar-benar
Melayu, sehingga Melayu tidak akan pernah hilang seperti yang ucapkan Laksamana Melayu
Hang Tuah. Bukan seperti “Perempuan Melayu Terakhir” demikian judul film negeri jiran
Malaysia yang bercerita tentang seorang pemuda yang mencari pemudi yang tahu budaya dan
adat istidat Melayu bukan sekedar berketurunan Melayu. Bahkan bisa saja setragis nasib suku
Indian Mohikan di Amerika Serikat yang hampir punah seperti diceritakan dalam film The Last
Of Mohican.
Pontianak, AP Post.
Masyarakat Kabupaten Sambas baik Melayu maupun Dayak menyambut baik ajakan
dan imbauan untuk menahan dan tidak melakukan tindakan kekerasan agar konflik
antarwarga di Kabupaten Sambas cepat berakhir. Selama ini, tindakan kekerasan
terjadi lebih disebabkan adanya provokasi dan intimidasi dari oknum-oknum
Madura, baik yang masih berada di Kabupaten Sambas maupun yang sudah berada
di lokasi pengungsian.
Demikian Ketua Tim Tokoh Masyarakat Melayu Sambas di Pontianak Drs H Muchalli
Taufik dalam press realise yang dikirimkan kepada AP Post tadi malam.
Sebelumnya, Tim ini telah melakukan kunjungan, tatap muka dan dialog dengan
masyarakat di Kabupaten Sambas selama tiga hari, 8-10 April 1999.
Dalam kunjungan itu, Tim secara intensif melakukan tatap muka dan dialog
dengan masyarakat kecamatan di Kabupaten Sambas. Mereka menyadari bahwa bila
konflik ini terus berlanjut, maka pemilu tidak dapat dilaksanakan tepat pada
waktunya dan realisasi pemekaran wilayah Kabupaten Sambas akan terhambat.
Oleh sebab itu, mereka meminta kepada tim yang turun dari Pontianak untuk
membantu sesegera mungkin menyelesaikan konflik ini.
Tidak lanjut dari berbagai pertemuan, pihak Keraton Sambas dipimpin Raden
Winata, telah melakukan pertemuan dengan para tokoh masyarakat Sambas dari 11
kecamatan di Keraton Sambas, pada 11 April 1999.
Dalam pertemuan tersebut dihasilkan keputusan, pertama Masyarakat Melayu
sepakat menjunjung tinggi hukum, kedua meminta ketegasan pemerintah untuk
mengadili oknum PPRM/PHH yang melakukan penembakan, ketiga, melakukan
evakuasi secara damai yang dikawal oleh pemuda-pemuda Melayu dan petugas
Kodim/Polisi setempat, keempat Sepakat melakukan gencatan senjata, kelima,
sepakat memperlancar proses pemekaran wilayah Kabupaten Sambas, dan keenam
sepakat menyukseskan Pemilu 1999.
Provokasi
Oleh sebab itu, kata Muchalli, untuk sementara waktu orang Madura yang berada
dilokasi pengungsian di Kecamatan Sambas agar segera diungsikan ke luar
Kabupaten Sambas terlebih dahulu. Mereka juga meminta pasukan PPRM dan PHH
dan pasukan dari Batalyon 612 Limbong Medang segera ditarik dari Kabupaten
Sambas. Sebab kehadiran pasukan itu hanya akan memicu konflik baru antar
masyarakat dan aparat keamanan. Dan dengan demikian akan memperburuk keadaan
yang sekarang berangsur-angsur mulai pulih dan tenang.
Namun demikian, kata Muchalli, masyarakat juga meminta agar aparat keamaman
dapat menahan diri agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat
menimbulkan citra negatif di tengah masyarakat. Misalnya memberi peluang,
apalagi mengawal oknum Madura untuk kembali ke lokasi-lokasi konflik. Sebab,
hal itu dianggap sebagai sikap arogansi dan dapat memicu kemarahan massa.
Di samping itu, mereka juga meminta sejumlah anggota masyarakat Melayu yang
masih ditahan oleh pihak kemanan baik yang kini ditempatkan di tahanan Polres
Singkawang maupun Polda Kalbar segera dikeluarkan/diproses secara hukum.
Pelucutan atau sweeping senjata tajam yang dilakukan hendaknya tidak hanya
dilakukan kepada warga masyarakat Melayu, melainkan juga kepada masyarakat
Madura agar dapat menimbulkan rasa aman.(tim)
Orang Melayu dan Diasporanya di Seluruh Indonesia (Diluar Sumatera Dec 19, '06 6:19
PM
dan Sekitarnya)
for everyone
Menurut konteks Malaysia, yang disebut orang Melayu adalah orang-orang yang menganut
agama Islam, menerapkan adat-istiadat Melayu, berbahasa Melayu dan berpola pikir Melayu.
Konsep ini juga mencakup orang-orang keturunan Jawa, Mandailing, Rawa (Rao), Aceh, Bugis,
Banjar, Bawean (Boyan), Minangkabau dan tentunya penduduk Melayu asli Semenanjung
sendiri. Namun jika memasukkan orang Asli dan Dayak, maka istilahnya menjadi Bumiputera.
Sedangkan dalam konteks Indonesia, orang Melayu merupakan salah satu dari sekian ratus
suku bangsa yang ada di Indonesia. Orang Melayu ini berbahasa Melayu, beragama umumnya
Islam dan beradat istiadat Melayu dengan pusat pemukiman tradisionalnya di Sumatera,
khususnya di Riau dan Kepulauan Riau. selain di Jambi, pesisir timur Sumatera Utara, Aceh
Tamiang, Kota Bengkulu dan sekitarnya hingga Sumatera Selatan dan Bangka Belitung.
Jika ditarik garis besarnya, semua ras di Asia Tenggara (kecuali jazirah Indocina) dianggap
sebagai ras Melayu, yang terbentang dari Madagaskar di lepas pantai Afrika hingga Hawaii dan
Tahiti di Pasifik. Yang ingin ditekankan disini adalah diaspora suku Melayu di Indonesia belaka,
karena kalau semuanya dibahas akan terlalu lama dan panjang.
Diperkirakan orang Melayu berasal dari Sumatera, tepatnya di bekas kerajaan Malayu yang
sekarang masuk propinsi Jambi. Sedangkan orang Melayu (suku lho) sendiri sudah bermigrasi
ke berbagai wilayah di Indonesia sejak abad ke-9 dan 10 Masehi. Coba sedikit-sedikit diulas
secara apa adanya tentang kemana saja orang (suku) Melayu ini menuju pasca bermigrasi dari
pulau induknya, Sumatera, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung dalam lingkup Indonesia.
Kalimantan
Sekitar 1000 tahun silam, orang-orang Melayu dari Sumatera bermigrasi ke kawasan tenggara
Kalimantan, dan membangun pemukimannya di sepanjang tepi Sungai Barito, berbaur dan
campur dengan suku-suku proto Melayu, yakni orang Dayak Ngaju, Maanyan, Lawangan dan
Bukit, serta Jawa yang melahirkan kelompok baru yang disebut Orang Banjar. Terbagi menjadi
Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu dan Banjar Kuala.
Sedangkan di Kalimantan Timur, orang Melayu membentuk suku Kutai dan komunitas-
komunitas Melayu di Berau dan Bulungan diutara. Orang Banjar di Kalimantan Timur sering
disebut Melayu, dan mereka datang ke Kalimantan Timur sejak abad ke-15.
Sekitar abad ke-16 dan 17, orang Melayu dari Sumatera, Kepulauan Riau dan Semenanjung
bermigrasi ke pesisir barat Kalimantan, dan mendirikan berbagai kerajaan baik di Pontianak,
Sambas, Landak hingga Ketapang. Mereka juga turut menyebarkan agama Islam dikalangan
orang Dayak, dan ‘memelayukan’ mereka yang kemudian masuk Islam. Mereka kemudian
terbagi menjadi Melayu Pontianak, Melayu Sambas, Melayu Landak dan Melayu Ketapang,
serta kelompok Senganan di Sanggau.
Jawa
Orang Melayu yang dikenal sebagai pedagang banyak bermukim dikawasan Batavia, hingga
dibuatkan perkampungan khusus Melayu yang kini ada di Kampung Melayu, Jakarta Timur
serta Kampung Melayu di Tangerang, Banten. Sejak abad ke-16 dan 17 suku Melayu tinggal,
diperkirakan mereka berasal dari Kalimantan bukan dari Sumatera jika ditilik dari pola
bicaranya.
Pada perkembangannya, orang Melayu berbaur dengan berbagai suku yang didatangkan
Belanda dari berbagai penjuru tanah air hingga melahirkan kelompok baru yang disebut Orang
Betawi, yang budaya dasarnya adalah Melayu namun tercampur dengan budaya Sunda, Jawa,
Cina, Belanda, Arab dan Portugis. Bahasa Melayu menggantikan bahasa Portugis sebagai
lingua franca di bumi Batavia (Jakarta) sejak abad ke-18.
Orang Betawi yang bentukan Melayu ini kemudian menyebar dari kawasan Tangerang di
Banten hingga Karawang, dan dari Jakarta Utara hingga Bojonggede, Jawa Barat. Betawi
sendiri kemudian terbagi menjadi dua kelompok besar, yakni Betawi Kota dan Betawi Udik,
didasarkan lagu dan logat bicaranya. Namun orang Betawi sendiri banyak yang tersisih dari
wilayah tradisionalnya untuk kemudian berpindah ke daerah luar Jakarta. Pusat budaya orang
Betawi yang dijadikan cagar budaya antara lain kawasan Condet dan Babakan Setu.
Bali
Orang Melayu diperkirakan telah hadir di Pulau Dewata sejak abad ke-18. Ini terkait dengan
penyebaran agama Islam dikawasan ini, terutama diwilayah Jembrana (Bali Barat). Orang-
orang Melayu yang berasal dari Pahang, Trengganu dan Pontianak ini kemudian dimukimkan
oleh raja setempat di kawasan bernama Loloan. Kampung ini kemudian terbagi menjadi dua,
yakni Loloan Barat dan Loloan Timur yang masuk dalam wilayah Kota Negara, Kabupaten
Jembrana.
Orang Melayu Loloan ini tinggal berbaur dengan pendatang asal Bugis dan Makassar yang ikut
menjadi penduduk kampung tersebut dan menjadi kampung yang nuansa keislamannya sangat
kuat ditengah dominasi agama Hindu dikawasan itu.
Lain Wilayah
Orang Melayu telah berdiaspora ke berbagai penjuru Indonesia, kendatipun kini mereka
menghilang, melebur sepenuhnya dalam masyarakat yang mereka tinggali. Kampung-kampung
Melayu di Jakarta, Tangerang, Banyuwangi, Semarang, hingga Matarampun kini hanya tinggal
nama belaka.
Namun dengan perdagangan yang berkembang dari masa ke masa inilah akhirnya orang
Melayu dan bahasanya menyebar disetiap wilayah Indonesia dan menancapkan bahasanya
yang menjadi bahasa pengantar antar kelompok serta kesukuan, hingga terlahir bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengembangan dari Melayu.
Seiring dengan perkembangan jaman, orang bersuku Melayu dari berbagai wilayah Sumatera
dan Kalimantan juga turut berpindah-pindah ke berbagai penjuru Indonesia, yang didorong
antara lain faktor mata pencaharian dan pendidikan terutama di pulau Jawa.
Memang ada perbedaan konsep tentang Melayu antara Indonesia dan Malaysia, namun
perbedaan itu bukanlah penghalang untuk menjembatani persaudaraan bangsa serumpun ini.
Amin...
Bambang Priantono
Abstraksi
Perdamaian dikembangkan dan diperjuangkan secara terus-menerus dengan tidak ada batasan
waktu kapan terjadi perdamaian yang dicita-citakan. Tidak ada pola dan kecendrungan
keberhasilan disuatu tempat akan berhasil dengan gemilang ditempat yang lain. Masyarakat
Melayu, dalam beberapa hal tulisan ini secara empiris dibahas lebih banyak tentang masyarakat
Melayu Sambas diungkap sebagai masyarakat egaliter dengan kondisi sosial, budaya dan politik
yang khas dan menyimpan potensi perdamaian dalam proses panjang perdamaian transformatif.
Potensi-potensi perdamaian yang selama ini gagal digali dari budaya, terutama yang diasumsikan
menjadi penyebab konflik dan ketidakmaian lebih diungkap dari potensi sosial, komunikasi
sosial dan komunikasi kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat, bahkan dimulai dari
individu. Ini dilakukan menjadi pekerjaan kumulatif panjang termasuk tidak terlepas dari kondisi
politik yang mulai berubah membaik dengan hasil-hasil Pilkada terbaru. Sebuah harapan baru
untuk perdamaian.
Pada suatu pertemuan pegiat LSM (dimana pegiat itu sendiri lebih senang menyebutnya NGO) di
Pontianak diajukan sebuah pertanyaan mengenai apa arti damai sesuai dengan pandangan
masing-masing. Peserta menimbulkan tanggapan beragam dan bisa disebut dengan berwarna.
Ada yang menarik, karena ada yang menjawab bahwa damai itu hal yang biasa. Biasa dimana
semuanya berjalan dengan apa adanya tanpa ada gangguan fisik atau perasaan. Segala sesuatu
berjalan apa adanya pada kondisi dan situasinya masing-masing. Pada akhirnya sebagian besar
peserta berkesimpulan sementara bahwa damai diartikan secara sangat teknis dimana situasi atau
kondisi tanpa konflik, perang atau berbagai bentuk kekerasan fisik lainnya.
Harris dan Morrison (2004) mengajukan istilah damai yang negatif dan damai yang positif.
Damai dalam pengertian negatif hanya terbatas pada semata-mata penghentian kekerasan. Damai
secara positif memuat pengertian standar keadilan, kehidupan yang lebih seimbang, adanya
partisipasi dari rakyat terhadap negaranya. Perdamaian dalam makna ini memuat juga pola
kerjasama untuk resolusi konflik, penghargaan terhadap keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar,
penghargaan terhadap hak azasi manusia, serta menghargai kemanusiaan tanpa prasangka dan
diskriminasi.
Sekarang mari kita lihat Kalimantan Barat. Tanah rentan yang tertimpa bencana konflik etnis
berkali-kali sejak jaman pra-kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan, yang dikelompokkan
beberapa kali oleh para ahli tentang konflik kekerasan ini. Begitu juga dengan analisa tentang
penyebabnya juga beragam, dari kultur, sosial dan budaya serta politik. Beberapa formula dan
rumusan sudah dicari, beberapa mantra telah terucapkan dan beberapa pertemuan tokoh telah
dilakukan. Dan hasilnya kita lihat sekarang. Sebagian melihat ini masih api dalam sekam yang
bisa menyala sewaktu-waktu, dan yang paling mengejutkan tentunya pemicunya bisa apa saja,
dari malam dangdut, rebutan pacar, ambil rumput, sampai pada alasan-alasan yang tidak masuk
akal.
Merupakan catatan yang penting, pada semua konflik kekerasan antar etnis, sampai sekarang
belum satupun upaya rekonsiliasi yang difasilitasi resmi dilakukan oleh pemerintah. Berbeda
dengan konflik di Maluku yang mendapat perhatian serius dan langsung ditangani pemerintah
langsung melalui wakil presiden dengan melahirkan Baku Bae, yang tidak lepas dari peran para
aktivis perdamaian. Beberapa upaya mencapai belum mencapai hasil yang maksimal, tapi
beberapa dialog (atau pertemuan, atau rembuk atau kesepakatan perdamaian atau muncul dengan
beragam istilah yang disepakati) yang telah dilakukan jelas menunjukkan keinginan pihak-pihak
yang bertikai untuk segera mengakhiri kekerasan dan mengakhiri pertikaian dan permusuhan
dengan cara damai. Semua pihak lelah dengan kekerasan dan bermaksud menyelesaikan semua
pertikaian dan perselisihan dengan cara yang damai.
Salah satu dialog yang dihadiri beberapa peserta yang mewakili kelompok etnis dan orang yang
dianggap berpengaruh pada tahun 1999 di Hotel Surya (dulu namanya Hotel Khatulistiwa 3),
jelas menggambarkan suasana yang tegang pada awalnya, semua bersikukuh pada kebenaran
masing-masing, pada posisi masing yang menganalisa dan beranggapan darimana konflik ini
berasal dan menjalar cepat. Acara pertemuan yang dipandu oleh seorang moderator tersebut pada
mulanya tegang, panas dengan alur yang berputar-putar dan sulit mencapai kesamaan sudut
pandang, apalagi mencapai kesepakatan. Tapi pada akhirnya para peserta memng sepakat untuk
menyelesaikan pertikaian dan perselisihan tanpa kekerasan.
Waktu mau memulai tulisan ini, terus terang sulit untuk melihat potensi damai yang
dimaksudkan atau mulai dari mana. Apalagi dengan definisi dengan memenuhi syarat-syarat
damai secara positif yang dikemukakan oleh para ilmuwan sosial tersebut diatas. Kondisi
sekarang, ada yang menyebutkan, adalah kondisi tenggang dimana kekerasan akan bisa muncul
kapan saja atau berulang pada waktu tertentu.
Saya justru percaya sebaliknya, mungkin saja ini bukan masa tenggang sama sekali, karena tetap
ada peluang untuk konflik kekerasan tidak akan muncul lagi. Anggapan yang menyiratkan
konflik terjadi berulang dalam kurun waktu tertentu adalah tidak mutlak, karena waktu itu adalah
lurus, tidak mundur dan berulang. Itu hanyalah keterbatasan manusia mencari batasan waktu,
maka tercipta jam, hari, minggu, tahun, dan dekade. Waktu hanyalah siang berganti malam dan
seterusnya berganti siang, berjalan terus, tidak mundur dan berulang.
Kembali melihat kondisi masyarakat Kalbar dan kondisi perdamaian yang positif seperti
diutarakan diatas. Kita masih jauh dari standar keadilan, kehidupan yang lebih seimbang, adanya
partisipasi dari rakyat terhadap negaranya bahkan untuk pemenuham kebutuhan dasar, untuk
makan secara layak. Namun demikian, mencari potensi perdamain justru pertanyaan yang mudah
dirumuskan dan sulit dicari tanggapan atau jawabannya. Apalagi dalam konflik etnis, misalnya
antara Madura-Melayu yang secara prinsip sesama pemeluk Islam. Dalam konteks ini, ada yang
menganggap bahkan agama tidak bisa mencari solusinya terbukti sesama muslim masih bisa
saling memusuhi. Berarti kita harus berangkat dari permulaan yang lain, dari potensi yang lain.
Keniscayaan memandang titik awal perdamaian ini adalah suatu keniscayaan yang tetap harus
kita cari.
Menarik berangkat dari kata ”biasa” diatas dan mungkin kita bisa berangkat dari potensi ini,
karena perdamaian adalah hal yang alamiah. Kondisi seperti ini bisa dikatakan kondisi yang
damai, selama hal tersebut akan menjadi tetap, menjadi tetapan. Perdamaian adalah sesuatu yang
harus tersu menerus diperjuangkan.
Berangkat dari para pemikir transformasi konflik (Miall, 2001) yang berargumen bahwa konflik
kontemporer memerlukan lebih dari memposisikan kembali identifikasi win-win (dimana pihak-
pihak yang berkonflik sama-sama menang, sama-sama tidak dirugikan dalam konflik tersebut),
tapi lebih kepada mengubah (atau mentransformasi) hubungan, minat, wacana, dan jika perlu
mengubah konstitusi yang melanggengkan konflik. Bearti perdamaian diciptakan dari
mentransformasi potensi yang ada untuyk berkontribusi pada usaha perdamaian.
Masyarakat dalam pihak yang berkonflik dan terpengaruh oleh konflik semuanya memiliki peran
komplementer, saling melengkapi dan mempunyai pengaruh dan memainkan peran dalam proses
panjang membangun perdamaian. Lebih lanjut ini mengharuskan pendekatan yang komprehensif
menekankan pada dukungan kelompok dalam masyarakat yang berkonflik ketimbang
mengandalkan mediasi dari pihak luar. Dengan demikian konflik diubah secara bertahap, melalui
serangkaian perubahan kecil dan besar sebagaimana juga dengan langkah-langkah yang
dilakukan oleh [pelaku yang beragam yang mungkin memainkan peran yang penting.
Lalu dimana peluang kita untuk melihat potensi damai ini? Sebaliknya justru, kondisi seperti ini
yang dianggap ’biasa’ bisa menggunakan semua media yang ada termasuk selalu melakukan
mediasi perdamaian menggunakan media yang yang ada. Secara bersamaan, usaha-usaha
resolusi konflik harus selalu diimbangi dengan upaya-upaya mengoptimalkan alat-alat
perdamamaian. Mulai dengan, misalnya, ’radio perdamaian’, ’koran perdamaian, ’ kelompok
perdamaian’ dan diseminasi informasi potensi damai sebanyak mungkin.
Dalam masa tenggang ini peluang kita untuk menciptakan perdamaian cukup besar dan banyak
potensi yang bisa digali. Atau dari sudut pandang transformasi konflik, konflik ini merupakan
peluang besar untuk perdamaian. Semua hal yang terdapat sekarang setelah terjadi konflik bisa
ditransformasi atau dirubah untuk menjadi alat perdamaian. Energi-energi yang ada bisa diubah
menjadi alat-alat perdamaian.
Tulisan ini diungkap dari pengalaman empiris, berdasarkan referensi tentang sosial budaya
masyarakat Melayu dan dan beberapa hasil wawancara yang memuat gagasan-gagasan
perdamaian, baik kecil maupun besar yang diletakkan secara seimbang sebagai pecahan kecil
dalam rangkaian gambar yang sangat besar. Bagian dari wawancara ini sebagian besar dilakukan
dengan beberapa individu-individu dari kelompok masyarakat Melayu Sambas.
Pluralitas etnik tersebut dalam kenyataannya jauh lebih kaya daripada data Sensus Penduduk.
Selalu ada yang tidak bisa diungkap atau keterbatasan sensus seperti demikian. Dalam etnik
Melayu setidaknya terdapat subetnik Melayu Sambas, Mempawah, Landak, Sanggau, Sintang,
Kapuas Hulu, dan Ketapang yang masing-masing daripadanya memiliki bahasa dan budaya yang
unik, dengan dimensi beragam termasuk sastra dan perilaku komunikasi sosial.
Berbicara tentang masyarakat Melayu kemudian merujuk kepada banyak hal: bahasa, sastra,
kesenian, adat-istiadat, tempat, orang, kaum, etnis, bahkan ras. Identitas kebudayaan dan etnis
wujud sebagai kesadaran akan diri (identitas pribadi), kesadaran akan kelompok etnik (identitas
etnik), atau kesadaran sebagai pewaris budaya tertentu (identitas budaya) bersifat dinamis.
Secara kontemporer, setelah kedatangan Islam, sistem kebudayaan itu diwarnai oleh ruh Islam
sehingga sebagian orang mengidentikkan Melayu dengan Islam. Merujuk pada identitas Melayu
dengan Islam bersifat objektif dan subjektif. Objektif karena raja beragama Islam sehinggga
keturunannya pun Islam; subjektif, karena siapa pun yang memeluk Islam disebut Melayu. Bila
dilihat dari pilar bahasa (dan kebudayaan), dapat juga dikatakan bahwa muslim dan non-muslim
dapat disebut Melayu sejauh mereka hidup dalam cara hidup Melayu, berbicara dan menulis
dalam bahasa Melayu dan menjalankan adat-istiadat Melayu (Chairil Effendi, 2001).
Mata pencarian masyarakat Melayu di pedalaman dan di pesisir Kalimantan Barat umumnya
memiliki karakteristik yang sama, yaitu memanfaatkan hasil laut, menangkap ikan dan hasil laut
lainnya. Mata pencarian masyarakat yang lebih agak jauh dari laut, seperti di Sungai Itik dan
pendatang dari Sambas, misalnya, secara tradisional adalah berburu di lokasi hutan disepanjang
daerah pesisir dan menggantungkan hidup dengan sumber alam di laut dan sungai dengan
menangkap ikan dan sumber alam lainnya yang ada. Alat yang digunakan untuk berburu yang
digunakan seperti senapan. lantak, tombak, belati atau parang, jaring, jerat, sumpit, perangkap,
jerat dan getah.
Berburu dilakukan untuk menangkap hasil buruan kancil atau pelanduk, kijang dan rusa, dan
juga burung seperti peregam, tekukur, imbok, punai, bangau. Mata pencarian lain adalah bertani
dengan bentuk bertani di ladang, humé belukar tua dan ‘serandang’. Bentuk mata pencarian lain
adalah termasuk ‘meramu’, yaitu mengambil tumbuh-tumbuhan di hutan seperti bahan untuk
makanan, bahan-bahan untuk mambangun rumah yang disebut ‘ramuan’. Termasuk meramu
getah jelutung, damar, aren atau air legen untuk dijadikan gula kerek atau gulau aren (enau).
Masyarakat yang tinggal didekat perairan, sungai dan laut sangat menggantungkan hidupnya
dengan sungai dan laut dengan menangkap ikan dan sumber alam lainnya. Penangkapan ikan di
laut menggunakan alat-alat tradisional seperti sero, rawai, pukat hanyut, trawl, belat, pancing,
jaring, kail, kelong dan jermal. Penangkapan ikan yang dilakukan di darat adalah nimba,
ngammal, nanggok, jala, pukat, bubu, tajur, kail, ilar, lukah, rawai dan serampang. Secara
kategoris, namun, masyarakat ini tidak bisa dibedakan apakah sebagai nelayan dan petani dengan
melihat mata pencarian mereka tersebut. Diwaktu musim melaut bagus, yaitu dimana ombak
tidak besar dan cuaca baik, mereka akan bekerja di laut; menangkap ikan dan melakukan
budidaya sumber alam laut. Sebaliknya, dalam waktu tertentu justru mengerjakan humé atau
ladang dan meramu jika laut tidak bersahabat.
Dikutip dari Chairil Effendi (2003), berdasarkan pembacaan terhadap sejumlah teks, identitas
masyarakat Sambas memperlihatkan sosoknya yang multidimensional. Secara umum identitas
budaya masyarakat Sambas digambarkan sebagai pemeluk Islam, tetapi sekaligus masih
memelihara nilai-nilai Hindu dan lokal. Berdasarkan Teks Raja Alam, dengan volume teksnya
besar dan jangkauan struktur teksnya luas, dan dianggap sakral oleh masyarakat pendukungnya
hingga sekarang, dengan jelas memperlihatkan hal itu. Teks ini mengisahkan “perjalanan” tokoh-
tokoh keturunan Mambang Kuning di kayangan dalam mendirikan kerajaan-kerajaan di bumi.
Dalam “perjalanan” itu dikisahkan bahwa anak pertama Mambang Kuning belum memeluk
Islam. Hal serupa masih terlihat pada tokoh Raja Alam, Raja Saih, dan Awang Kamarudin. Nilai-
nilai Islam baru terlihat dalam episode ke-6 yang mengisahkan tokoh Awang Kebarin atau Raden
Beruk. Dalam banyak hal, tokoh ini menentang nilai-nilai yang diyakini oleh orang tuanya.
Perkawinannya dilakukan dilakukan di depan kadi, ulama, dan para pandita. Dia menetang
perilaku ayahnya yang kerap menindas orang miskin. Namun, di bagian akhir teks, yakni episode
yang mengisahkan keturunan terakhir Mambang Kuning, dikisahkan betapa kuatnya kepercayaan
Awang Kesukma kepada mahluk-mahluk halus; bahkan istrinya pun berasal dari sebuah patung
kayu pelaik yang dihidupkan oleh seorang pertapa.
Sastra lisan ini juga diungkap (Chiril Effendi, 2003) pada masyarakat Melayu Sekadau dan
Ketapang. Misalnya budaya sastra lisan kesah adalah cerita tentang asal-usul kejadian dan
keberadaan manusia di dunia; cerita adalah cerita tentang petualangan dan kesaktian tokoh
pahlawan yang dipercaya sebagai tokoh historis; dan, ngkaya adalah cerita yang dianggap
sebagai rekaan atau imajinasi tukang cerita. Penuturan teks dianggap merupakan sarana
pewarisan nilai-nilai luhur yang dipelihara oleh nenek moyang mereka selama berabad-abad;
sistem nilai yang menjadikan mereka mampu menghadapi deraan zaman yang selalu berubah.
Seorang pemuda Melayu yang berkecimpung dalam masalah revitalisasi kebudayaan budaya
Melayu Sambas yang mendorong kebudayaan sebagai alat dan proses transformasi menyatakan.
“Melayu punya Budaya yang besar, budaya gotong royong, sebagai pekerja keras, cinta kasih
bukan budaya kekerasan,ini yang hrus di hidupakan lagi. Sejarah sambas yang sangat luar biasa
hebatnya dalam membangun budaya,yang di awali dengan pendidikan, pada saat lalu bagaimana
sekolah–sekolah yang berbasis agama (pesantren)sangat banyak,di pesantren anak-anak yang
dididik agama di ajarkan cinta kasih saling menolong dan gotong royong dan kita tahu di
pesantren itu semua etnis ada, mereka saling berbaur bergaul tanpa membedakan asal dari mana
dan etnis apa.”
Masyarakat Melayu yang dipandang sangat egaliter. Ketokohan dan penokohan orang tertentu
dalam simpul massa sebagai representasi juga hanya berlaku untuk kelompok yang sangat kecil.
Bayangkan berapa banyak pemuka atau tokoh yang harus diajak bicara jika untuk mengambil
keputusan besar seperti rekonsiliasi dan perdamaian di masyarakat Melayu Sambas, misalnya.
Ini yang disebut Hanifan (dalam Rusydi, 2003) sebagai modal sosial. Hanifan mengatakan modal
sosial merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Modal sosial
termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama
yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial.
Sudah banyak pertemuan yang dilakukan dalam masyarakat Melayu, antar masyarakat Melayu
dengan kelompok etnis lainnya dalam menyikapi dan menciptakan perdamaian dalam
masyarakat. Di sebuah pertemuan yang disebut rembuk kampung, dilakukan di Singkawang,
peserta terdiri dari kelompok etnis Melayu, Dayak, Tionghoa dan beberapa masyarakat Jawa
mengungkap kesan bahwa mereka mau terlibat dalm upaya-upaya perdamaian atau
peneyelesaian perselisihan atau konflik dengan cara damai. Dari pertemuan tersebut digali dan
dikongsikan pendapat dan mengungkap akar masalah konflik, menepis stigmatisasi (pelabelan
suatu kelompok masyarakat dengan cap tertentu yang negatif) dan melihat peluang perdamaian.
Pada akhir pertemuan dilihat bagaimana kemungkinan untuk bekerjasama menyelesaikan
masalah tanpa melihat perbedaan dan mencari persamaan mendasar dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi. Setidaknya ini sebagai permulaan yang baik, selain bahwa
menyiratkan upaya perdamaian ini akan melibatkan banyak sekali orang melayu dalam waktu
yang lama.
Kondisi perekonomian yang terpuruk sejak krisis ekonomi global yang menyebabkan Indonesia
terpuruk secara global berdampak buruk bagi perekonomian di Sambas. Misalnya sejak jeruk
sudah tidak bisa menyangga lagi perekonomian di Tebas, kelompok muda usia produktif banyak
yang menganggur, menimbulkan stress sosial yang mendorong orang melakukan kekerasan
dipicu dengan penyebab apapun. Banyak yang ’melarikan’ diri ke Malaysia untuk bekerja
sekedar mencari sesuap nasi.
Dari hasil pembicaraan warung kopi sampai survey ilmiah yang dilakukan menunjukkan bahwa
juga pertemuan, dialog atau rembuk yang dilakukan harus sangat memperhitungkan kelompok
muda dibawah umur 30 tahun ke bawah, terutama dilakukan pada masyarakat Melayu Sambas.
Kelompok umur ini adalah kelompok yang terlibat langsung dalam konflik kekerasan dan
merupakan kelompok yang kuat menolak upaya-upaya perdamaian apalagi pemulangan
kelompok masyarakat Madura ke Sambas. Untuk memulai perdamaian dan upaya-upaya lainnya
harus dimulai dari kelompok umur ini, yang kemudian mampu bergerak, menggelembung untuk
menggerakkan perdamaian secara lebih luas dan terorganisir.
Bentuk upaya ini tentunya tidak dilakukan hanya sekali dua kali, bahkan mungkin perlu hitungan
ratusan dengan memperhitungkan besarnya kelompok masyarakat Melayu, dan
memperhitungkan banyaknya wilayah yang harus dilakukan upaya pertemuan, rembuk dan rapat,
atau bentuk pertemuan lainnya kalau memperbincangkan masalah konflik, resolusi dan
menciptakan perdamaian.
Berangkat dari penglibatan, pertemuan harus berangkat dari kampung. Sebuah kegiatan yang
dilakukan yang disebut ‘rembuk kampung’ misalnya dilakukan di daerah ‘penyangga’
Singkawang mensyaratkan penglibatan masyarakat yang egaliter ini dari bawah. Sebuah rembuk
di kampung selanjutnya bisa dilakukan secara bergerilya dari satu kampung ke kampung lain,
melelahkan memang, tapi sangat layak dicoba dan menglibatkan peran pemerintah, organisasi
rakyat dan organisasi sipil secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Nanti akan kita lihat
sejauh mana kondisi politik, niat baik politik negara mensikapi masalah ini.
Melakukan pertemuan ini seperti menebak teka-teki besar dimana setiap upaya mewakili satu
potongan kecil yang dengan teliti dan hati-hati diletakkan sebagai bagian dari sebuah teka-teki
yang besar. Karena tidak ada formula atau rumusan yang manjur untuk membngun perdamaian.
Cara yang satu tidak mungkin sama bisa dilakukan ditempat yang lain. Yang harus dilakukan
adalah berupaya membangun perdamaan tersebut, menggali potensi dan mencoba
melakukannya.
Apalagi dengan mengentalnya identitas Melayu dengan bermunculan organisasi adat, pemuda
dan budaya melayu. Setiap upaya ini berkontribusi sangat besar dalam menciptakan potensi
damai dengan melakukan upaya perdamaian dengan melibatkan organisasi tersebut. Organisasi
seperti Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu
(PFKPM), termasuk lembaga kesultanan dari seluruh Kalimantan Barat, harus dipandang secara
positif dan merupakan modal sosial potensi perdamaian yang besar dalam upaya menciptakan
perdamaian, melalui dialog, pertemuan, rapat-rapat dan tindakan bersama. Tentunya jangan
dilupakan organisasi basis dan organisasi rakyat (yang mungkin bahkan tidak pernah kita dengar
dan ketahui hanya karena tidak masuk koran dan televisi) yang menyebar di kampung, di kota
dan pesisir yang harus secara progressif difasilitasi. Penglibatan menjadi kata kunci dalam hal
ini, menepikan titik potong bahwa organisasi ini juga mungkin dibentuk dengan motif-motif
politik, yang memperkuat politik identitas dan perebutan kekuasaan. Secara de facto
(kenyataannya) organisasi ini menyimpan potensi transformasi rekonsiliasi yang sangat besar,
pengubah konflik menjadi perdamaian dan menjaganya.
Situasi sekarang sudah berubah, karena perjalanan waktu tentunya. Secara klasik banyak yang
mengungkapkan bahwa waktu menyembuhkan semua luka. Beberapa kelompok Melayu
menganggap ini sebagai pertanda perubahan situasi yang membaik dan senang mengakui bahwa
perubahan ini ada dan sedang berlangsung. Dari sebuah pertemuan tentang peringatan dini
konflik, seseorang yang merasa dari kelompok Melayu mengungkapkan, “Kalau kami sudah
biasa melihat orang Madura melakukan transaksi jual beli, melakukan urusan tanah di Sambas.”
Beberapa orang juga mengungkapakan kemungkinan yang sama dalam mengembangkan
perdamaian, misalnya seorang ketua organisasi majelis ulama di Sambas mengungap ”Dalam
membangun perdamaian dan pencegahan konflik di Sambas adalah adat istiadat yang harus di
hidupkan, contoh adat pernikahan (walimah) tamu undangan tidak hanya yang berada di sekitar
kampung bahkan antar kampong, Acara adat walimah bisa di jadikan media untuk
menyampaikan pesan-pesan kerukunan hidup antar umat dan masyarakat, karena pada acara
tersebut tokoh-tokoh masyarakat di beri kesempatan untuk menyampaikan pesan tentang
kerukunan antar keluarga dan masyarakat,jika kerukunan terwujud maka akan terwujud
perdamian. Beberapa orang mengungkapkan“. Saye terkadang kumpul dengan kawan-kawan
bertanya dengan mereka sudah berapa anak, apakah ada anak yang usia 20 tahun, kalau ada
mungkin anak mereka kuliah di luar, Saya mencoba memberikan pemikiran, cobe lihat anak kita
bisa sekolah keluar Sambas dengan aman ngape kite tak tak bise.
Lebih lanjut beliau mengungkapkan “Cerita konflik di kab sambas saat ini sudah
berkurang,karena pada saat Bupati turun kelapangan akan meyampaikan pesan bagaimana akan
membangun kehidupan yang damai dan mewukudkan pembagunan kalau kita saling meyerang
atau selalu rebut.”
Harus diakui ini kondisi yang berbeda di Sambas dan perlu perhatian khusus termasuk melihat
kondisi damai disyaratkan tidak hanya bertumpu pada keberhasilan pemulangan pengungsi ke
lokasi di Sambas, tapi juga dilihat bahwa dengan hidup terpisah juga harus dilihat pemenuhan
hak dan keadilan kedua belah pihak. Mediasi yang adil dan menjamin pemenuhan hak secara
damai merupakan kuncinya. Setelah dibangun pemenuhan hak dan memenuhi keadilan dua belah
pihak maka akan menjadi modal sosial untuk berinteraksi ke tahap berikutnya. Ini yang disebut
kondisi sosial dimana orang beinteraksi tanpa curiga dan memperoleh kepercayaan adalah kunci
modal sosial yang kuat. Bagaimanapun juga ini potensi damai.
Beberapa hal patut menjadi catatan dari mengapa kondisi ini bisa terjadi. Tentunya secara
optimis ini bisa berlanjut kepada bentuk damai yang lainnya.
Untuk membangun modal sosial ini perlu dilakukan cara mendasar dalam komunikasi untuk
saling bertemu dan mengemukakan pendapat. Disebutkan oleh dalam pembicaraan (wawancara)
salah yang aktif dalam organisasi kepemudaan mengatakan perlu dibangun silaturrahim (jalinan
persaudaraan). ”Atau bise dicoba buat acara silaturahmi untuk bersilaturahim seminggu berikut,
ye silaturahim lagi agar timpul kedekatan lagi antara masyarakat yang dulu hidup rukun damai.”
Penulis memandang sebagai masyarakat yang egaliter, perlu dilakukan tindakan afirmatif yang
disepakati oleh kelompok yang menggelinding dan membesar untuk membentuk komitmen,
kesepakatan dan tindakan bersama.
“Rekonsiliasi dan perdamaian di Sambas antara etnis Melayu dan Madura itu dapat dilakukan
dengan model berjaringan, dimana proses ini tidak hanya sebatas mengumpulkan orang, tapi juga
melakukan jaringan antar individu dan individu ini juga harus mencari kawan yang lain supaya
banyak yang teriak perdamaian dan menjadi buah bibir.”
Proses berjaringan ini seperti terungkap dalam diskusi adalah tidak hanya sebatas
mengumpulkan orang-orang tapi juga melakukan jaringan antar individu dan individu ini juga
harus mencari kawan yang lain seperti multi level marketing. Dikatakannya bahwa proses ilmiah
terlalu lama, perlu di lakukan intervensi atau tekanan dari orang-orang yang sepaham. Begitu
juga anak-anak mahasiawa yang kuliah di Pontianak, misalnya, coba buat
diskusi,pertemuan,komunikasi,karena hal itu jarang di lakukan,mungkin mereka-mereka sama-
sama tak takut mau mulai sehingga saling menunggu,hal ini di lakukan untuk merubah
pandangan bahwa Sambas sudah aman dan damai.
Politik Perdamaian
Untuk mencari sumber-sumber atau kekuatan-kekuatan perdamaian dengan mengutamakan
kearifan masyarakat dalam menjaga dan memelihara perdamaian, resolusi konflik, baik sebagai
upaya pencegahan konflik maupun penyelesaian konflik yang tengah berlangsung adalah dengan
menciptakan peluang dan mendorong upaya. Pemerintah secara struktur memegang peran yang
sangat penting untuk memfasilitasi perdamaian, mendiseminasi atau bahasa sosialisasi dengan
melibatkan peran luas masyarakat secara langsung. Keseimbangan sistem politik dan ekonomi,
termasuk mengukur politik identitas etnis tanpa disertai kekerasan akan menjadi peluang dan
model sistem perdamaian yang akan dibangun.
Desentralisasi mulai dari kampung bertujuan dalam kerangka otonomi daerah adalah untuk
meningkatkan kualitas keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan dengan meningkatkan keterlibatan
serta partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan maupun implementasinya
sehingga terwujud pemerintahan lokal yang bersih, efisien, transparan, responsif, dan akuntabel.
Dalam prosesnya diberikan pendidikan politik kepada masyarakat akan kepentingan keterlibatan
mereka dalam proses pemerintahan dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih
para pemimpin mereka secara demokratis. Terakhir, untuk membangun kesalingpercayaan antar
masyarakat di satu pihak, dan antara masyarakat dan pemerintah di pihak lain.
Para bupati sekarang sudah dipilih langsung oleh rakyat, memiliki legitimasi lebih kuat dan
mempunyai peluang membangun perdamaian yang lebih luas dalam struktur kekuasaan.
Partisipasi rakyat dalam pemerintahan demokrasi yang dianut mengakomodir kepentingan
masyarakat yang paling bawah diwali dengan pemerintah memperhatikan pembiayaan di
kampung atau di desa. Sedikit, tapi ini permulaan.
Masyarakat Melayu sendiri mengungkapkan bahwa yang terpenting adanya kemauan politik dari
kepala daerah. Dikatakan bahwa banyak moment yang bisa di manfaatkan oleh pak Bupati untuk
menyampaikan kepada masyarakat bahwa hidup damai dengan semua etnis.”Mun (kalau)
dilakukan paling tidak sudah mulai ada perubahan berfikir walau sedikit di masyarakat, kan tidak
mungkin pada saat bupati omong gayye (begitu) lalu di serang masyarakat disiyye (disitu),
bupati adalah bupati yang di pilih langsung.”
Catatan Kecil
Potensi damai adalah potensi yang dihimpun dari kekuatan kecil menjadi kekuaatan besar, dari
kekuatan individu menjadi kekuatan kolektif. Orang Melayu berpribahasa, ”sikit-sikit, lama-lama
jadi bukit”, tidak ada yang basi dan usang dengan peribahasa ini.
Menghimpun potensi damai yang ada, adalah untuk menciptakan momentum perdamaian dan
kembali menghimpun momentum itu, merangkainya menjadi bangunan teguh dan kokoh.
Membangun kebijakan politik yang mengakomodir pendidikan perdamaian, usaha perdamaian
lainnya tetap juga harus dimulai dari kampung ke kampung. Beberapa rembuk kampung bisa
dihimpun. Sejauh ini rembuk kampung yang melibatkan paertisipasi orang kampung secara luas
dari mulai isu korupsi, Anggaran Dana Desa (ADD), perempuan dan membangun gerakan Credit
Union di masyarakat Melayu dapat menjadi sebarang pintu untuk menuju perdamaian. Kalau
sudah tidak ada lagi yang berbuat memang harus orang Melayu sendiri yang bangkit dari
keterpurukannya. Sebagai pembangkit semangat mungkin perlu diingat untuk mengangkat harkat
dan martabat puak Melayu.
Sejarah