Professional Documents
Culture Documents
Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan suatu tujuan atau agreement. Bentuk
perjanjian internasional yang dilakuka antarbangsa maupun antarorganisasi internasional
ini tidak harus berbentuk tertulis. Dalam perjanjian internasional ini ada hukum yang
mengatur perjanjian tersebut. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan
obyek. Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum
internasional, terutama negara dan organisasi internasional. Sedangkan yang dimaksud
dengan obyek hukum internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut
kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan
budaya.
1. Berdasarkan Isinya
Contoh :
Contoh :
• Status kewarganegaraan Indonesia-RRC, ekstradisi.
• Laut teritorial, batas alam daratan.
• Masalah karantina, penanggulangan wabah penyakit AIDS.
3. Berdasarkan Subjeknya
Contoh :
• Perjanjian bilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh dua pihak. Bersifat
khusus (treaty contact) karena hanya mengatur hal-hal yang menyangkut
kepentingan kedua negara saja. Perjanjian ini bersifat tertutup, yaitu menutup
kemungkinan bagi pihak lain untuk turut dalam perjanjian tersebut.
• Perjanjian Multilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak, tidak
hanya mengatur kepentingan pihak yang terlibat dalam perjanjian, tetapi juga
mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan bersifat terbuka yaitu
memberi kesempatan bagi negara lain untuk turut serta dalam perjanjian tersebut,
sehingga perjanjian ini sering disebut law making treaties.
Contoh :
5. Berdasarkan Fungsinya
• Law Making Treaties / perjanjian yang membentuk hukum, adalah suatu
perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi
masyarakat internasional secara keseluruhan (bersifat multilateral).
• Treaty contract / perjanjian yang bersifat khusus, adalah perjanjian yang
menimbulkan hak dan kewajiban, yang hanya mengikat bagi negara-negara yang
mengadakan perjanjian saja (perjanjian bilateral).
Contoh :
1. Traktat (treaty), adalah perjanjian yang paling formal yang merupakan persetujuan dari
dua negara atau lebih. Perjanjian ini menitikberatkan pada bidang politik dan bidang
ekonomi.
2. Konvensi (convention), adalah persetujuan formal yang bersifat multilateral, dan tidak
berkaitan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy).
3. Deklarasi (declaration),adalah perjanjian internasional yang berbentuk traktat, dan
dokumen tidak resmi.
4. Convenant, adalah anggaran dasar Liga Bangsa-Bangsa (LBB).
5. Charter, adalah suatu istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk
pendirian badan yang melakukan fungsi administratif.
6. Pakta (pact), adalah suatu istilah yang menunjukkan suatu persetujuan yang lebih
khusus (Pakta Warsawa).
7. Protokol (protocol), adalah suatu dokumen pelengkap instrumen perjanjian
internasional, yang mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausul-
klausul tertentu.
8. Persetujuan (Agreement), adalah perjanjian yang bersifat teknis dan administratif. Sifat
agreement tidak seresmi traktat atau konvensi, sehingga diratifikasi.
9. Perikatan (arrangement) adalah suatu istilah yang dipakai untuk masalah transaksi-
transaksi yang bersifat sementara. Sifat perikatan tidak seresmi traktat dan konvensi.
10. Modus vivendi, adalah sebuah dokumen yang digunakan untuk mencatat persetujuan
internasional yang bersifat sementara, sampai berhasil diwujudkan perjumpaan yang
lebih permanen, terinci, dan sistematis serta tidak memerlukan ratifikasi.
11. Proses verbal, adalah suatu catatan-catatan atau ringkasan-ringkasan atau kesimpulan-
kesimpulan konferensi diplomatik atau catatan-catatan pemufakatan yang tidak
diratifikasi.
12. Ketentuan penutup (final Act), adalah suatu ringkasan hasil konvensi yang
menyebutkan negara peserta, nama utusan yang turut diundang, serta masalah yang
disetujui konvensi.
13. Ketentuan umum (general act), adalah traktat yang bisa bersifat resmi maupun tidak
resmi.
1. Perundingan (Negotiation)
Tahapan ini merupakan suatu penjajakan atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-
masing pihak yang berkepentingan. Dalam perundingan internasional ini negara dapat
diwakili oleh pejabat negara dengan membawa surat kuasa penuh (full
powers/credentials), kecuali apabila dari semula peserta perundingan sudah menentukan
bahwa full power tidak diperlukan. Pejabat negara yang dapat mewakili negaranya dalam
suatu perundingan tanpa membawa full power adalah kepala negara, kepala pemerintahan
(perdana menteri), menteri luar negeri, dan duta besar. Keempat pejabat tersebut
dianggap sudah sah mewakili negaranya karena jabatan yang disandangnya.
Perundingan dalam rangka perjanjian internasional yang hanya melibatkan dua pihak
(bilateral) disebut pembicaraan (talk), perundingan yang dilakukan dalam rangka
perjanjian multilateral disebut konferensi diplomati (diplomatik conference). Selain
secara resmi terdapat juga perundingan yang tidak resmi, perundingan ini disebut corridor
talk.
Hukum internasional dalam tahap perundingan atau negosiasi, memberi peluang kepada
seseorang tanpa full powers untuk dapat mewakili negaranya dalam suatu perundingan
internasional. Seseorang tanpa full powers yang ikut dalam perundingan internasional ini
akan dianggap sah, apabila tindakan orang tersebut disahkan oleh pihak yang berwenang
pada negara yang bersangkutan. Pihak yang berwenang tersebut adalah kepala negara
dan/atau kepala pemerintahan (presiden, raja/perdana menteri). Apabila tidak ada
pengesahan, maka tindakan orang tersebut tidak sah dan dianggap tidak pernah ada.
Tahap penandatanganan merupakan proses lebih lanjut dari tahap perundingan. Tahap ini
diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah
(authentication of the text). Penerimaan naskah (adoption of the text) yaitu tindakan
perwakilan negara dalam perundingan internasional untuk menerima isi dari perjanjian
nasional. Dalam perjanjian bilateral, kedua perwakilan negara harus menyetujui
penerimaan naskah perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian multilateral, bila diatur secara
khusus dalam isi perjanjian, maka berlaku ketentuan menurut konferensi Vienna tahun
1968 mengenai hukum internasional. Penerimaan naskah ini dapat dilakukan apabila
disetujui sekurang-kurangnya dua pertiga peserta konferensi.
Pengesahan bunyi naskah (authentication of the text) dilakukan oleh para perwakilan
negara yang turut serta dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian bilateral maupun
multilateral pengesahan naskah dapat dilakukan para perwakilan negara dengan cara
melakukan penandatanganan ad referendum (sementara) atau dengan pembubuhan paraf
(initial). Pengesahan bunyi naskah adalah tindakan formal untuk menerima bunyi naskah
perjanjian.
Penandatanganan dilakukan oleh menteri luar negeri (menlu) atau kepala pemerintahan.
Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, suatu negara berarti sudah menyetujui
untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatanganan,
persetujuan untuk mengikat diri pada suatu perjanjian dapat dilakukan melalui ratifikasi,
pernyataan turut serta (acesion) atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.
• Sistem ratifikasi oleh badan eksekutif, yaitu bahwa suatu perjanjian internasional
baru mengikat apabila telah diratifikasi oleh kepala negara atau kepala
pemerintahan. Misalnya saja pada pemerintahan otoriter seperti NAZI.
• Sistem ratifikasi oleh badan legislatif, yaitu bahwa suatu perjanjian baru mengikat
apabila telah diratifikasi oleh badan legislatif. Misalnya adalah Honduras, Turki,
dan Elsalvador.
• Sistem ratifikasi campuran (badan eksekutif dan legislatif), yaitu bahwa suatu
perjanjian internasional baru mengikat apabila badan eksekutif dan legislatif
sama-sama menentukan proses ratifikasi. Misalnya Amerika Serikat, Perancis,
dan Indonesia.
Indonesia menganut sistem ratifikasi campuran, yaitu ada peran lembaga eksekutif dan
legislatif dalam meratifikasi perjanjian internasional. Dalam UU RI No. 24 Tahun 2000
tentang perjanjian internasional, ratifikasi atau pengesahan perjanjian internasional
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Di Indonesia ratifikasi
dengan undang-undang harus terdapat persetujuan Presiden dan DPR secara bersama-
sama terhadap perjanjian internasional. Ratifikasi dengan keputusan Presiden hanya
mengisyaratkan adanya persetujuan Presiden terhadap perjanjian tersebut. Dasar hukum
sistem ratifikasi di Indonesia, terdapat dalam undang-undang Dasar 1945 yaitu pasal 11
ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Source: http://renggap.co.cc/perjanjian-internasional/