You are on page 1of 4

Catatan Dua Produksi Teater Berbahasa Bali Himasaba 2011

CINTA, KASTA, RASA


Oleh I Wayan Artika

Mata kuliah drama pada jurusan-jurusan pendidikan bahasa di Fakultas Bahasa dan Seni,

sangat penting karena memiliki dimensi ganda: belajar teori drama dan pertunjukan secara

langsung dan menggunakan keterampilan bermain peran untuk keperluan mengajar bagi

mahasiswa calon guru. Karena itulah, di Jurusan Pendidikan D3 Bahasa Bali Undiksha

Singaraja, mata kuliah drama mendapat porsi waktu yang sangat memadai. Pada akhir semester,

mahasiswa wajib mempegelarkan satu produksi drama berbahasa Bali.

Teater modern di Bali, yang menggunakan bahasa Bali sangat jarang. Tidak ada sutradara

yang tertarik menggarap naskah berbahasa Bali. Tidak demikian halnya dengan tradisi teater

modern di Solo atau Yogyakarta: bahasa Jawa digunakan dalam penulisan dan pertunjukan

teater. Hal ini dilakukan, misalnya oleh Teater Gandrik. Sastra Bali modern di Bali minus naskah

drama. Puisi, cerpen, dan novel berbahasa Bali banyak dijumpai tetapi naskah drama atau teater

berbahasa Bali sangat sulit ditemukan.

Di tengah keadaan tersebut, dua produksi Hmasaba (Himpunan Mahasiswa Bahasa Bali)

semester V (A,B), patut dicatat dan tahun 2011 ini adalah produksi ketiga, yang dipentaskan

tanggal 12 dan 14 Januari 2011 (masing-masing di Sasana Budaya Singaraja dan di Gedung

Auditorium Undiksha). Setiap tahun, Jurusan Pendidikan Bahasa Bali D3, mengetengahkan dua

produksi. Dengan demikian, kegiatan apresiasi teater modern berbahasa daerah (Bali) tumbuh

kembali dari kampus ini, di Bali Utara.

Teater modern berbahasa Bali, yang dibayangi oleh kejayaan teater tradisional Bali, dari

teater Brutuk hingga drama gong, tampaknya sering tergenlincir ke dalam pola pertunjukan
Page4

drama gong. Hal itu tampak pada dua produkasi sebelumnya (Jayaprana dan Sampik serta
adaptasi cerita rakyat Nusantara asal Kalimantan). Produksi kali ini memang menghindari dan

menolak pola-pola pertunjukan teater tradisional (dalam hal ini drama gong atau arja).

Keberanian sutradara dan interpretasi cerita (sumber penulisan naskah) adalah sangat penting.

Produksi kali ini menggunakan sastra klasik modern Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar

karya terpenting Nyoman Rasta Sindu, melalui terjemahan karya itu ke dalam bahasa Bali

Kalaning Kulkul Banjare Masuara (Nyoman Manda).

Walaupun pertunjukan ini adalah tugas suatu mata kuliah, namun pendekatan pengajaran

mata kuliah ini adalah usaha membebaskan mata kuliah ini dan mahasiswa dari belenggu sempit

ruang perkuliahan dan kurikulum. Mata kuliah ini diajarkan dengan metode workshop sehingga

semua mahasiswa mengalami langsung bagaian-bagian keterampilan dalam pertunjukan drama.

Mahasiswa hanya memiliki teks-teks yang dipili dan hal itu bukan teori drama yang diimpor dari

tradisi Barat tetapi cerita-cerita kekayaan orang Bali yang telah ada sejak zaman dahulu.

Mahasiswa harus mengalami perkuliahan ini. Drama bukan hanya pertunjukan tetapi tata cara

hidup. Di dalam mata kuliah ini mahasiswa dilatih mengatasi hambatan-hambatan diri yang

permanen dan sangat merugikan yang bersangkutan: rasa malu, tidak percaya diri, tertutup, tidak

peka rasa, malas, tidak berdisiplin, tidak mampu bekerja sama. Inilah aspek praktis mata kuliah

drama, jika dilakukan dengan model belajar di sanggar kerja seni atau di studio. Mahasiswa tidak

memperoleh informasi yang sama tentang drama dan tentang pengalamannya. Mahasiswa

memiliki cara unik mengalami hidup. Inilah yang menjadikan tingkat pencapaian pengetahuan

belajar mahasiswa berbeda-beda.

Cerita-cerita yang digarap dalam pelatihan selama perkuliahan tidak dilihat sebagai cerita

yang terisolasi di masa lalu. Cerita itu dipahami dalam relasi dengan konteks realitas saat ini.
Page4

Cerita dipahami dalam dinamika historis. Demikian pula halnya dengan karya Nyoman Rasta
Sindu (Ketika Kentongan Dipukul Di Bale Bajar). Cerpen ini sama sekali bukan cerpen tetapi

risalah cinta dan kasta. Melalui cerpen ini mahasiswa menemukan kembali kasta dalam realitas

Bali saat ini; apakah benar kasta (dalam pengertian ortodoks atau fundamentalis adat Bali) telah

hilang?; apakah benar orang Bali telah mengganti kata “kasta” dengan kata “warna”? Mahasiswa

sampai kepada suatu pandangan bahwa kasta tetap ada di Bali dan dalam pengertian yang sangat

diskriminatif. Cerpen ini mengantarkan mahasiswa bahasa Bali masuk ke dalam feodalitas orang

Bali. Cerpen ini ternyata telah menjelaskan satu pertentangan dalam hidup manusia: cinta di satu

pihak dan kasta di pihak lain (kasta semacam lembaga ras yang sangat ekslusif).

Mata kuliah drama yang diajarkan dengan cara membebaskan mahasiswa dari batas

ruang kelas dan batas-batas teoretis kurikulum, memberi mahasiswa pengalaman bahwa kelas

atau kampus seharusnya adalah satu titik singgah kita di tengah kehidupan. Kampus atau ruang

kuliah bukanlah dunia artifisial atau dunia para dosen mendirikan dongeng-dongeng tetapi

adalah hidup yang otentik. Setiap topik atau cerita harus menerobos dinding-dinding ruang

kuliah, melewati kotak-kotak disiplin ilmu dan meretas jauh waktu secara diakronik maupun

sinkronik; bermigrasi dari satu geografi ke geografi yang lain.

Namun ada hambatan besar: mahasiswa memiliki sedikit sekali wawasan budaya, seni,

dan sastra Bali. Mereka memang harus dimaklumi ketika tidak tahu bunyi sumpah Drupadi atau

ketika mereka bengong karena gagal menjawab pertanyaan ini: “Siapakah saudara tertua

Pandawa?”. Mahasiswa bahasa Bali, melihat bahasa Bali sebagai disiplin yang otonom dan dari

pandangan aliran linguistic struktural. Mereka tidak melihat bahasa Bali secara holistik dalam

kancah Hindu dan kepercayaan lokal Bali, adat, budaya, seni, dan sastra. Inilah hambatan

pengajaran drama yag menekankan pada pengalman menghidupkan rasa. Karena itu pada
Page4
awalnya, perkuliahn drama ini terasa sangat kering sebab mahasiswa tidak pernah sampai kepada

rasa Bali. Karena mahasiswa yang kini datang dari dekade 1980-an tidak lagi memiliki rasa Bali.

Pertunjukkan dua drama kali ini setidaknya telah mengingatkan kembali mahasiswa

kepada bahasa Bali di tengah suatu konteks Bali sebagai geografi, sebagai tanah rebutan para

investor asing, sebagai tanah pertahanan Hindu dari gempuran agama lain, sebagai pulau tempat

pertarungan dan negosiasi nilai-nilai lokal dan nilai-nilai baru. Pertunjukkan ini diharapkan

sebagai jalan rasa bagi mahasiswa untuk kembali memasuki Bali secara holistik. Setidaknya,

melalui cerpen Nyoman Rasta Sindu, mahasiswa mengecap rasa cinta dan kasta, rasa yag diracik

oleh para juru masak di dalam tradisi kuliner masa silam orang Bali.

Page4

You might also like