You are on page 1of 7

PENGERTIAN SYIRKAH dan HUKUMNYA

Pengertian secara bahasa

Syirkah secara bahasa diambil dari bahasa arab yang berartimencampur. Dalam hal ini
mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Kata syirkah dalam bahasa arab berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yashruku (fi’il
mudhari’) syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar). Artinya menjadi sekutu atau
syarikat (kamus al Munawar). Menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan
dua bagian atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bagian dengan bagian
lainnya.

Pengertian secara fiqih

Adapun menurut makna syara’, syirkah adalah suatu akad/perjanjian antara dua pihak atau
lebih yang sepakat untuk melakukan kerja sama dengan tujuan memperoleh keuntungan.

Transaksi syirkah tersebut mengharuskan adanya ijab dan kabulsekaligus, sebagaimana


layaknya transaksi yang lain. Bentukijabnya adalah : “Aku mengadakah syirkah dengan Anda
dalam hal ini.” Kemudian yang lain menjawab : “Aku terima.” Akan tetapi, tidak harus selalu
menggunakan ungkapan di atas, yang penting maknanya sama. Artinya, di dalam
menyatakan ijab dan kabultersebut harus ada makna yang menunjukkan bahwa salah satu
di antara mereka mengajak kepada yang lain baik secara lisan maupun tulisan untuk
mengadakan kerjasama (syirkah) dalam suatu hal. Kemudian yang lain menerima syirkah
tersebut. Oleh karena itu, adanya kesepakatan untuk melakukan syirkah saja masih dinilai
belum cukup. Termasuk kesepakatan memberikan modal untuk syirkah saja juga masih dinilai
belum cukup. Tetapi harus mengandung makna berkerjasama (melakukan syirkah) dalam
suatu hal.

Sedangkan syarat sah dan tidaknya transaksi syirkah tersebut sangat bergantung kepada
sesuatu yang ditransaksikan, yaitu sesuatu yang bisa dikelola dan saling mengikat satu sama
lain. Sedangkah hukum syirkah itu sendiri mubah, sebab ketika Rasulullah SAW diutus oleh
Allah SWT menjadi Nabi, banyak orang telah mempraktikkan syirkah tersebut, lalu Rasulullah
SAW mendiamkan (mengakui) tindakkan mereka. Sehingga pengakuan beliau terhadap
tindakan banyak orang yang melakukan syirkah tersebut merupakan dalil syara’ tentang
kemubahannya.

Imam Bukhari meriwayatkan melalui Sulaeman bin Abi Muslim, dia berkata: “Aku bertanya
kepada Abu Manhal tentang pembelanjaan secara tunai,” dia berkata : “Aku dan rekan
kongsiku telah membeli sesuatu dengan cara tunai dan kredit.” Kemudian kami didatangi
oleh Abu Barra’ bin Azib, kami lalu bertanya kepadanya. Dia menjawab: “Aku dan rekan
kongsiku, Zaid bin Arqam telah mengadakan kerjasama usaha.” Kemudian kami bertannya
kepada Rasulullah SAW tentang tindakan kami ini. Beliau menjawab:

“Barang yang (diperoleh) dengan cara tunai silahkan kalian ambil. Sedangkan yang
(diperoleh) dengan cara hutang silahkan kalian bayar.”

Ini menunujukkan bahwa kaum muslimin telah melakukan syirkah dan Rasulullah SAW
menyetujui syirkah tersebut. Imam Abu Daud meriwayatkan dari Abi Khurairoh bahwa
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT berfirman: “Aku adalah pihak ketiga
(Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang
diantara mereka tidak berkhianat kepada syirkahnya. Apabila diantara mereka ada yang
berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi).”

Syirkah tersebut boleh dilakukan antara sesama muslim atau sesama kafir dzimmi, termasuk
antara orang Islam dengan orangkafir dzimi. Sehinga boleh saja, seorang muslim melakukan
syirkah tersebut dengan orang Nashrani, Majusi dan kafir dzimi yang lain. Imam Muslim
pernah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang mengatakan:

“Rasulullah SAW telah mempekerjakan penduduk Khaibar padahal mereka orang-orang


Yahudi dengan mendapat bagian dari hasil panen dan tanaman.’

“Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi, lalu beliau menggadaikan baju
besi beliau kepada orang Yahudi tersebut.” (HR. Imam Bukhari dengan sanad dari Aisyah)

Imam Tirmidzi juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan:

“Rasulullah SAW telah wafat, sedangkan baju besi beliau tergadaikan dengan dua puluh sha’
makanan, yang beliau ambil untuk menghidupi keluarga beliau.”

Imam Tirmidzi pernah meriwayatkan hadist dengan sanad dari Aisyah:

“Bahwa Rasulullah SAW telah mengutus kepada seorang Yahudi untuk meminta dua baju
(untuk diserahkan) kepada Maisarah.”

Dengan demikian hukum melakukan syirkah dengan orang Yahudi, Nashrani dan kafir
dzimi yang lain adalah mubah. Sebab melakukan mu’amalah dengan mereka diperbolehkan.
Hanya saja, orang kafir dzimi tersebut tidak boleh menjual khamer dan babi ketika mereka
sedang melakukan syirkah dengan orang Islam. Sedangkan laba dari penjualan khamer dan
babi yang mereka peroleh sebelum mereka mengadakan syirkah dengan orang Islam, itu
boleh mereka pergunakan untuk mengadakan syirkah.

Adapun syirkah tersebut bisa berbentuk syirkah hak milik (syirkatul amlak) atau syirkah
transaksi (syirkatul uqud). Syrikah hak milik (syirkatul amlak) adalah syirkah terhadap zat
barang, seperti syirkah dalam suatu zat barang yang diwarisi oleh dua orang, atau yang
menjadi pembelian mereka berdua, atau hibbah yang diberikan oleh seseorang untuk mereka
berdua, maupun yang lainnya. Sedangkan syirkah transaksi (syirkatul uqud) Ialah bahwa dua
orang atau lebih melakukan akad untuk bergabung dalam suatu kepentingan harta dan
hasilnya berupa keuntungan. Rukunnya adalah adanya ijab dan qabul. Hukumnya menurut
mazhab hanafi membolehkan semua jenis syirkah apabila syarat-syarat terpenuhi. Syirkah
transaksi (syirkatul uqud) terdiri dari syirkah Inan, Abdan, Mudharabah, Wujuh dan
Mufawadlah.

RUKUN SYIRKAH dan SYARATNYA

Rukun syirkah ada 3 perkara yaitu:


1. Akad (ijab-qabul) juga disebut sighah,
2. Dua pihak yang berakad (’aqidani), harus memiliki kecakapan melakukan pengelolaan
harta,
3. Objek aqad juga disebut ma’qud alaihi (surat perjanjian), separti modal atau pekerjaan.

Manakala syarat sah perkara yang boleh disyirkahkan adalah objek, objek tersebut boleh
dikelola bersama atau boleh diwakilkan.

Syarat-syarat syirkah menurut Hanafiyah adalah:


1. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun yang
lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu:
a) Yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima
sebagai perwakilan.
b) Yang berkenaan dengan keuntungan yaitu pembagian keuntungan yang jelas
dan diketahui oleh pihak-pihak yang bersyirkah.
2. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta) dalam hal ini terdapat dua perkara yang
harus dipenuhi yaitu:
a) Bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran
(nuqud).
b) Yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah dilakukan.
Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad adalah
merdeka, baligh dan pintar.

Syarat-syarat Syirkah menurut Idris Ahmad adalah:


1. Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat kepada
pihak yang akan mengendalikan harta itu.
2. Anggota serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah yang lain.
3. Mencampurkan harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing, baik berupa
mata uang maupun bentuk yang lain.

MACAM-MACAM SYIRKAH
1) Syirkah Amlak
Ialah bahwa lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa akad. Adakalanya
bersifat ikhnari atau jabari.

2) Syirkah Uqud
Ialah bahwa dua orang atau lebih melakukan akad untuk bergabung dalam suatu kepentingan
harta dan hasilnya berupa keuntungan. Rukunnya adalah adanya ijab dan qabul. Hukumnya
menurut mazhab hanafi membolehkan semua jenis syirkah apabila syarat-syarat terpenuhi.

Macam-macam Syirkah Uqud adalah:

Syirkah Inan

Syirkah Inan adalah Kerjasama antara dua pihak atau lebih, setiap pihak menyumbangkan
modal dan menjalankan usaha atau bisnis.

Contoh:
Ibrahim dan Omar bekerjasama menjalankan perniagaan burger bersama-sama dan masing-
masing mengeluarkan modal 1 juta rupiah. Kerja sama ini diperbolehkan berdasarkan As-
Sunnah dan ijma’ sahabat. Disyaratkan bahwa modal yang dikongsi adalah berupa uang.
Modal dalam bentuk harta benda seperti kereta/gerobak harus diakadkan pada awal
transaksi. Kerja sama ini dibangunkan oleh konsep perwakilan (wakalah) dan kepercayaan
(amanah). Sebab masing-masing pihak memberi/berkongsi modal kepada rekan kerjanya
berarti telah memberikan kepercayaan dan mewakilkan usaha atau bisnisnya untuk dikelola.
Keuntungan usaha berdasarkan kesepakatan semua pihak yang bekerjasama, manakala
kerugian berdasarkan peratusan modal yang dikeluarkan. Abdurrazzak dalam kitab Al-Jami’
meriwayatkan dari Ali ra. yang mengatakan: “Kerugian bergantung kepada modal, sedangkan
keuntungan bergantung kepada apa yang mereka sepakati”

Syirkah Abdan

Syirkah Abdan adalah kerjasama dua orang atau lebih yang hanya melibatkan tenaga (badan)
mereka tanpa kerjasama modal.

Contoh:
Jalal adalah Ahli bangunan rumah dan Rafi adalah Ahli elektrik yang berkerjasama
menyiapkan projek mebangun sebuah rumah. Kerjasama ini tidak harus mengeluarkan uang
atau biaya. Keuntungan adalah berdasarkan persetujuan mereka.
Syirkah abdan hukumnya mubah berdasarkan dalil As-sunnah. Ibnu mas’ud pernah berkata
“Aku berkerjasama dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqqash mengenai harta
rampasan perang badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan sementara aku dan Ammar
tidak membawa apa pun” (HR Abu Dawud dan Atsram). Hadist ini diketahui Rasulullah saw
dan membenarkannya.

Syirkah Mudharabah

Syirkah Mudharabah adalah syirkah dua pihak atau lebih dengan ketentuan satu pihak
menjalankan kerja (amal) sedangkan pihak lain mengeluarkan modal (mal).
Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Iraq, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh.

Contoh:
Khairi sebagai pemodal memberikan modalnya sebanyak 500 ribu kepada Abu Abas yang
bertindak sebagai pengelola modal dalam pasar raya ikan.

Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudharabah.


Pertama, dua pihak (misalnya A dan B) sama-sama memberikan mengeluarkan modal
sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan menjalankan kerja saja.
Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus,
sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal tanpa konstribusi
kerja.

Kedua-dua bentuk syirkah ini masih tergolong dalam syirkah mudharabah.


Dalam syirkah mudharabah, hak melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola.
Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat
dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai
kesepakatan di antara pemodal dan pengelola, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh
pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil
tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya. Namun
demikian, pengelola turut menanggung kerugian jika kerugian itu terjadi kerana melanggar
syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.

Syirkah Wujuh

Disebut Syirkah Wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan atau keahlian (wujuh)
seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak (misalnya A
dan B) yang sama-sama melakukan kerja (amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang
mengeluarkan modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat.

Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku
ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya. Bentuk kedua syirkah wujuh adalah
syirkah antara dua pihak atau lebih yang bersyirkah dalam barang yang mereka beli secara
kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya tanpa sumbangan modal dari
masing-masing pihak.

Contoh:

Misalnya A dan B tokoh yang dipercayai pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan
cara membeli barang dari seorang pedagang C secara kredit. A dan B bersepakat masing-
masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan
keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan
nisbah barang dagangan yang dimiliki. Sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing
pengusaha wujuh usaha berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya
termasuk dalam syirkah ‘abdan.

Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam
syirkah wujuh adalah kepercayaan keuangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata
ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh
(katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur atau suka
memungkiri janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya sah syirkah wujuh yang dilakukan oleh
seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan
keuangan (tsiqah maliyah) yang tinggi misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan
keuangan.

Syirkah Mufawadhah

Syirkah Mufawadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan
semua jenis syirkah di atas (syirkah inan, ‘abdan, mudharabah dan wujuh).

Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap
jenis syirkah yang sah berdiri sendiri maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah
lainnya. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya; yaitu ditanggung oleh pemodal sesuai dengan
nisbah modal (jika berupa syirkah inan) atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah
mudharabah) atau ditanggung pengusaha usaha berdasarkan peratusan barang dagangan
yang dimiliki (jika berupa syirkah wujuh).

Contoh:

A adalah pemodal, menyumbang modal kepada B dan C, dua juru tera awam yang
sebelumnya sepakat bahwa masing-masing melakukan kerja. Kemudian B dan C juga sepakat
untuk menyumbang modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan
pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan yaitu
B dan C sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan konstribusi kerja sahaja.

Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga wujud
syirkah mudharabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola.
Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan suntikan modal di samping
melakukan kerja, berarti terwujud syirkah inan di antara B dan C. Ketika B dan C membeli
barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya berarti terwujud
syirkah wujuh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah yang ada yang disebut syirkah mufawadhah.

PANDANGAN MAZHAB FIQIH TENTANG SYIRKAH dan CARA MENGAKHIRNYA

Pandangan Mazhab Fiqih tentang Syirkah

a) Mazhab Hanafi berpandangan ada empat jenis syirkah yang syar’i yaitu syirkah inan,
abdan, mudharabah dan wujuh.
b) Mazhab Maliki hanya 3 jenis syirkah yang sah yaitu syirkah inan, abdan dan
mudharabah.

c) Mazhab Syaf’i, zahiriah dan Imamiah hanya 2 syirkah yang sah yaitu inan dan
mudharabah.

d) Mazhab Hanafi dan zaidiah berpandangan ada 5 jenis syirkah yang sah yaitu syirkah
inan, abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadhah.
Ada pun penjesalan Syeikh Taqiuddin AnNabhani dalam kitabnyaSistem Ekonomi
Alternatif Perspektif Islam berijtihad terdapat 5 jenis syirkah yang secara syar’i sependapat
dengan pandangan mazhab hanafi dan zaidiah.

Mengakhiri Syirkah

a) Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain.

b) Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk mengolah harta.

c) Salah satu pihak meninggal dunia.

d) Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.

PENUTUP

Dengan mempelajari dan mengetahui bentuk kerjasama usaha dalam Islam atau “syirkah”,
diharapkan seluruh umat Islam dapat menerapkan dan mengamalkannya dalam membangun
ekonomi umat Islam di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Pustaka

1. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul
Ummah.

2. Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta: Bank
Indonesia & Tazkia Institute.

3. Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut:
Darul Fikr.

4. Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-


Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.

5. —————. 1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. Darus Salam.


6. Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus:
Darul Fikr.

7. Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam
(Partnership and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani.
Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.

8. Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance: Religion, Risk and
Return. Denhag: Kluwer Law International.

9. Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57

10. An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah
Gusti.

11. Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam
Kaffah, Edisi Revisi, 2005.

You might also like