You are on page 1of 6

Teks Prasasti Kedudukan Bukit:

(1)swasti sri sakawarsatita 605 ekadasi su (2) klapaksa wulan waisakha dapunta
hiyam nayik di (3) samwau manalap siddhayatra di saptami suklapaksa (4) wulan
jyestha dapunta hiyam marlapas dari minana (5) tamwan mamawa yam wala dualaksa
danan ko- (6) duaratus cara di samwau danan jalan sariwu (7) tluratus sapulu dua
wanakna datam di mata jap (8) sukhacitta di pancami suklapaksa wula [n]… (9) laghu
mudita datam marwuat wanua … (10) sriwijaya jaya siddhayatra subhiksa ...

Terjemahan:
Kemakmuran! Keberuntungan! Pada tahun Saka telah lewat 605, hari kesebelas paruh
terang bulan Waisakha, Sri Baginda naik kapal mengambil kesaktian. Hari ketujuh
paruh terang bulan Jyestha, raja membebaskan diri dari […]. ia memimpin bala
tentara yang terdiri dari dua puluh ribu [orang]; pengikut […] sejumlah dua ratus
orang menggunakan perahu, pengikut yang berjalan kaki sejumlah seribu tiga ratus
dua belas orang tiba di hadapan [raja?], bersama-sama, dengan sukacitanya. Hari
kelima paruh terang bulan […], ringan, gembira, datang dan membuat negeri […]
Sriwijaya, sakti, kaya […].
Isi teks Prasasti Kedudukan Bukit di atas menyebutkan perjalanan Dhapunta Hyang
bersama balatentaranya untuk mendirikan wanua atau suatu wilayah, sehingga
akhirnya Sriwijaya menang dan makmur.

prasasti talang tuo


Pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan
Śrīksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Śrī Jayanāśa. Inilah niat baginda:
Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-
macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, dan
pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan
bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan,
dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang
tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika
mereka lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan
makanan serta air minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih
(panennya). Semoga suburlah ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga
budak-budak milik mereka. Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa
karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan
bintang menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan
ketuaan selama menjalankan usaha mereka. Dan juga semoga semua hamba mereka
setia pada mereka dan berbakti, lagipula semoga teman-teman mereka tidak
mengkhianati mereka dan semoga istri mereka menjadi istri yang setia. Lebih-lebih
lagi, di mana pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang
yang mempergunakan kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah. Selain itu, semoga
mereka mempunyai seorang kawan sebagai penasihat baik; semoga dalam diri
mereka lahir pikiran Boddhi dan persahabatan (...) dari Tiga Ratna, dan semoga
mereka tidak terpisah dari Tiga Ratna itu. Dan juga semoga senantiasa (mereka
bersikap) murah hati, taat pada peraturan, dan sabar; semoga dalam diri mereka terbit
tenaga, kerajinan, pengetahuan akan semua kesenian berbagai jenis; semoga
semangat mereka terpusatkan, mereka memiliki pengetahuan, ingatan, kecerdasan.
Lagi pula semoga mereka teguh pendapatnya, bertubuh intan seperti para mahāsattwa
berkekuatan tiada bertara, berjaya, dan juga ingat akan kehidupan-kehidupan mereka
sebelumnya, berindra lengkap, berbentuk penuh, berbahagia, bersenyum, tenang,
bersuara yang menyenangkan, suara Brahmā. Semoga mereka dilahirkan sebagai laki-
laki, dan keberadaannya berkat mereka sendiri; semoga mereka menjadi wadah Batu
Ajaib, mempunyai kekuasaan atas kelahiran-kelahiran, kekuasaan atas karma,
kekuasaan atas noda, dan semoga akhirnya mereka mendapatkan Penerangan
sempurna lagi agung.

prasasti kota kapur


Seorang pembesar yang gagah berani, Kandra Kayet, di medan pertempuran. Ia
bergumul dengan Tandrun Luah dan berhasil membunuh Tandrun Luah. Tandrun
Luah mati terbunuh di medan pertempuran. Tetapi, bagaimana nasib Kayet yang
membunuh itu? Juga Kayet berhasi ditumpas. Ingatlah akan kemenangan itu!

Kamu sekalian dewata yang berkuasa dan sedang berkumpul menjaga Kerajaan
Sriwijaya! Dan kau, Tandrun Luah, dan para dewata yang disebut pada pembukaan
seluruh persumpahan ini! Jika pada saat manapun di seluruh wilayah kerajaan ini ada
orang yang berkhianat, bersekutu dengan pengkhianat, menegur pengkhianat atau
ditegur oleh pengkhianat, sepaham dengan pengkhianat, tidak mau tunduk dan tidak
mau berbakti, tidak setia kepadaku dan kepada mereka yang kuserahi kekuasaan datu,
orang yang berbuat demikian itu akan termakan sumpah. Kepada mereka, akan segera
dikirim tentara atas perintah Sriwijaya. Mereka sesanak keluarganya akan ditumpas!
Dan semuanya yang berbuat jahat, menipu orang, membuat sakit, membuat gila,
mlakukan tenung, menggunakan bisa, racun, tuba, serambat, pekasih, pelet dan yang
serupa itu, mudah-mudahan tidak berhasil. Dosa perbuatan yang jahat untuk merusak
batu ini hendaklah segera terbunuh oleh sumpah, segera dipukul. Mereka yang
membahayakan, yang mendurhaka, yang tidak setia kepadaku dan kepada yang
kuserahi kekuasan datu, mereka yang berbuat demikian itu, mudah-mudahan dibunuh
oleh sumpah ini. Tetapi kebalikannya, mereka yang berbakti kepadaku dan kepada
mereka yang kuserahi kekuasaan datu, hendaknya diberkati segala perbuatannya dan
sanak keluarganya, berbahagia, sehat, sepi bencana dan berlimpah rezeki segenap
penduduk dusunnya.

Prasasti Pagaruyung:
Sejumlah prasasti tampak berdiri tegak di Kabupaten Batusangkar, Sumatera Barat.
Batu itu masih tetap saja utuh, meski dipajang di ruang terbuka dengan dikelilingi
pagar besi. Huruf kunonya sebagian sudah memudar. Tapi masih bisa sebagai
penanda kebesaran Raja Adityawarman yang mendirikan Kerajaan Pagaruyung di
bumi Minangkabau.

PRASASTI Pagaruyung juga menjadi petunjuk jejak Majapahit di negeri


Minangkabau pada abad 13-14 Masehi. Saat Istana Baso terbakar beberapa bulan
lalu, jejak kerajaan Pagaruyung yang masih tersisa adalah dengan prasasti yang
dibuat oleh Raja Adityawarman itu. Peranan prasasti ini cukup besar untuk
mengungkap perjalanan masyarakat Minangkabau.
Wajar saja jika para pemandu wisata di sana tak bisa melepaskan batu prasasti
Pagaruyung sebagai bagian dari tujuan melancong wisatawan yang dibawanya.
Karena dari batu itu, awal dari cerita perjalanan sejarah di beberapa tempat di
Sumatera Barat.
�Jejeran� prasasti Pagaruyung di Kabupaten Batusangkar ini memang terkesan
alami. Prasasti itu hanya dipagari besi dan tampak tanpa pengawalan khusus.
�Semestinya prasasti ini perlu dirawat dan dijaga dengan baik. Karena merupakan
salah satu jejak perjalanan masyarakat Minang,� ujar M Afnan Hadikusumo,
anggota DPRD DIY yang menyempatkan diri bersama rombongan melihat prasasti di
Batusangkar.
Kebiasaan Adityawarman membuat prasasti semasa memerintah menjadi raja
Pagaruyung, sangat membantu generasi kini untuk mengetahui perjalanan masyarakat
Minangkabau. Di salah satu perjalanan itu, adalah masuknya tradisi warna
pemerintahan Majapahit.
Dalam papan kaca yang dipajang, tertulis bahwa prasasti Pagaruyung I misalnya,
ditulis pada batu pasir kwarsa coklat kekuningan (batuan sedimen) berbentuk persegi
empat dengan tinggi 2,06 meter, lebar 1,33 meter dan tebal 38 cm. Dalam prasasti itu
menyebutkan kebesaran Adityawarman yang merupakan keluarga Dharmaraja.
20 Prasasti Dalam catatan sejarah, Adityawarman sebagai raja Pagaruyung
merupakan seorang raja yang paling banyak meninggalkan prasasti. Hampir dua
puluh buah prasasti yang ditinggalkannya. Diantaranya yang telah dibaca seperti
Prasasti Arca Amogapasa, Kuburajo, Saruaso I dan II, Pagaruyung, Kapalo Bukit
Gambak I dan II, Banda Bapahek, dan masih banyak lagi yang belum dapat dibaca.
Di antara prasasti yang telah dapat dibaca itu, menyatakan kebesaran dan kemegahan
kerajaan Pagaruyung. Barangkali diantara raja-raja yang pernah ada di Indonesia
tidak ada seorang pun yang pernah meninggalkan prasasti sebanyak yang telah
ditinggalkan oleh Adityawarman.
Sayangnya, di Minangkabau kebiasaan seperti itu hanya dilakukan oleh
Adityawarman seorang raja. Sebelum dan sesudahnya Adityawarman tidak ada yang
membiasakan sehingga sampai sekarang kebanyakan data sejarah Minangkabau agak
gelap.
Apalagi Istana Baso yang sebetulnya merupakan pengganti, juga terbakar. Saat ini
istana tersebut sedang dibangun kembali dengan bantuan dana dari berbagai pihak.
Istana ini sebetulnya sudah dua kali dibangun, setelah dua kali terbakar. Namun
pembangunan istana ini, tak lepas dalam upaya melestarikan budaya Minangkabau.
Periode Panjang Meski menjadi perhatian utama sejarah, namun Adityawarman
bukan raja di Minangkabau. Melainkan adalah raja di kerajaan Pagaruyung yang
merupakan salah satu periode dari sejarah Minangkabau yang sangat panjang.
Adityawarman merupakan putra campuran antara Minangkabau dengan Majapahit.
Dalam ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275, mereka kembali ke
Jawa dengan membawa Dara Jingga dan Dara Petak. Sesampai di Jawa kerajaan
Singasari telah diganti oleh kerajaan Majapahit. Maka Dara Petak diambil sebagai
selir oleh Raden Wijaya yang menjadi raja pertama kerajaan Majapahit.
Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang pada waktunya akan menjadi raja di
Majapahit. Puteranya tersebut bernama Jayanegara. Dara Jingga kawin dengan salah
seorang pembesar kerajaan Majapahit dan melahirkan seorang putra yang nama
kecilnya Aji Mantrolot. Aji Mantrolot ini yang kemudian dikenal sebagai
Adityawarman.
Sesudah Adityawarman meninggal kerajaan Pagaruyung yang tidak lagi mempunyai
raja yang merupakan keturunan darah langsung dari Adityawarman. Sedangkan
Ananggawarman yang dikatakan dalam salah satu prasasti Adityawarman sebagai
anaknya, tidak pernah memerintah.
Karena kekuasaan Adityawarman langsung digantikan oleh Yang Dipertuan Sultan
Bakilap Alam.
Ditinjau dari sebutan raja itu saja, kelihatannya sesudah Adityawarman, raja yang
menggantikannya sudah menganut agama Islam. Disamping itu, kekuasaan di
Minangkabau, pengaruh adat jauh lebih besar.
Dengan kebiasaan musyawarah, maka peran masyarakat lebih menonjol
dibandingkan kerajaan. Sistem sentralistik kerajaan, seperti kebiasaan di Majapahit
tidak berlaku.
Dari berbagai situs yang dikunjungi, menunjukkanmenonjolkan peran musyawarah
rakyat. Di dekat situs Batu Batikam, dapat sejumlah batu yang disusun melingkar
dengan sandaran di belakang tiap batu. Itulah �medan nan bapaneh�. Fungsinya
sebagai tempat bermusyawarah pada masa lampau.
Kala itu, setiap permasalahan kampung diselesaikan tokoh masyarakat di ruang
terbuka dalam posisi duduk melingkar. Di belakang ruang bermusyawarah itu, warga
kampung mendengarkan diskusi para tokoh.
Perjalanan menuju benda cagar budaya berikutnya menunjukkan, kaum Minangkabau
merupakan komunitas yang menyukai kebersamaan dan menganut budaya
musyawarah untuk mufakat. Pada masa lalu, masyarakat Minangkabau menggelar
pertemuan adat di Balai Adat Balairungsari Nagari Tabek di Kecamatan Pariangan,
masih di Kabupaten Tanah Datar.

You might also like