You are on page 1of 6

Kedudukan dan peran agama dalam 

masy.plural

Oleh : Basnang Said

(Dekan Fak. Agama Islam Univ. Asy’ariyah Mandar/Sedang belajar pada Program
Doktor UIN Alauddin Makassar)

Pendahuluan

Agama yang dimaksud dalam tulisan ini adalah agama-agama prophetic atau samāwy yaitu
agama yang diyakini oleh penganutnya berasal dari Tuhan dan yang disampaikan kepada manusia
melalui perantaraan seorang nabi atau semacamnya. Dalam sejarah manusia, Tuhan telah menurunkan
berbagai agama, di antaranya tiga agama serumpun yang dibawah oleh keturunan Nabi Ibrahim a.s
(Abraham) –bapak Bani Israil dan Arab itu-, yaitu Yahudi, Nasrani (Katholik dan Protestan), dan Islam.
Ketiga agama tersebut masih eksis dan merupakan agama terbesar di dunia sekarang, sementara agama
propetik lainnya tidak di temukan lagi. Tetapi dua agama besar lainnya, Hindu dan Budha oleh para ahli
sejarah agama dimasukkan dalam agama propetik itu.

Keaneka ragaman agama dan juga etnis, menyebabkan susunan masyarakat dunia, termasuk
Indonesia, menjadi plural. Kondisi demikian, seringkali menimbulkan bentrokan antar umat beragama
dan antar etnis. Konflik “abadi” antara Israel dengan Arab ( umat Yahudi dengan Muslim dan Kristiani) di
Palestina, permusuhan yang tak habis-habisnya antara umat Katholik dan umat Protestan di Irlandia
Utara, bentrokan antara umat Hindu dan Muslim di India yang tak kunjung mereda, dan rangkaian
konflik bernuansa agama di Indonesia, memberi kesan seakan-akan agama merupakan salah satu faktor
dari konflik itu. Jika kondisi demikian dibiarkan, maka pada akhirnya agama akan mengalami stigmatisasi
dalam pergaulan masyarakat global. Agama tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang diperlukan dalam
kehidupan bermasyarakat. Masyarakat akan kembali menganggap bahwa agama itu tidak hanya sebagai
the opium for the people tetapi lebih dari itu sebagai homo homoni lupus bagi sesama umat beragama.

Sudah barang tentu pandangan negatif terhadap agama seperti itu tidak benar. Tetapi realitas
sosial seperti digambarkan di atas, menunjukkan adanya perbedaan antara doktrin agama dengan sikap
dan perilaku umatnya serta terdapat kekeliruan dalam memahami beberapa prinsip pokok agama.
Prinsip-prinsip pokok yang bertalian dengan kemanusiaan dan kehidupan bermasyarakat, pada
hakekatnya sama pada semua agama. Dengan demikian, perbedaan antara satu agama dengan agama
lainnya bukan merupakan faktor penghambat dalam kehidupan bermasyarakat.
Masyarakat Plural dalam Pandangan Agama

Pada era globalisasi seperti sekarang ini terdapat peluang untuk terbentuknya masyarakat
pluralistik terutama dari segi agama dan etnis. Meskipun migrasi penduduk secara besar-besaran telah
terhenti beberapa abad yang lalu, tetapi pada masa keterbukaan dan informasi serta komunikasi yang
maju seperti sekarang ini, memungkinkan terjadinya mobilisasi penduduk dari satu daerah ke daerah
yang lain dengan berbagai alasan. Setelah Perang Dunia II, sebahagian orang Asia dan Afrika berpindah
ke Amerika dan Eropa dan membentuk komunitas minoritas dengan etnis dan agama yang berbeda
dengan masyarakat setempat. Proses pembentukan masyarakat pluralistik seperti ini akan terus
berlangsung pada era globalisasi, mengingat batas-batas wilayah atau negara tidak mampu lagi
mencegah terjadinya perpindahan penduduk dan menyebabkab tumbuhnya masyarakat plural
diberbagai kawasan dunia ini. Bahkan masyarakat plural akan menjadi pertanda utama dari suatu
masyarakat yang telah maju.

Masyarakat majemuk dari segi etnis dan agama, sesungguhnya merupakan anugrah dan
kehendak Tuhan. Tuhan Yang Maha Kuasa telah menetapkan hukum-hukum-Nya, selain berupa doktrin
agama juga berupa ketentuan yang berlaku pada alam dan manusia yang lazim disebut hukum alam
(sunnatullah). Sebagaimana yang diajarkan oleh agama, nenek moyang manusia itu adalah serang laki-
laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), kemudian dari keduanya lahirlah manusia yang banyak
dalam berbagai etnis. Keberbedaanya sebagai pengaruh geografis di mana manusia lahir dan
dibesarkan. Keragaman etnis manusia merupakan kehendak Tuhan yang telah ditetapkan dengan
ketentuan-ketentuan alam yang bersifat biologis.

Keragaman agama, diyakini sebagai kehendak Tuhan untuk mengutus berbagai rasul dan nabi
yang bertugas menyampaikan agama kepada umatnya. Beberapa nama yang disebutkan dalam Alkitab
seperti Nuh, Abraham, Ismael, Ishak, Ya’kub, oleh Islam disebutkan sebagai rasul dan nabi Allah yang
membawa agamanya masing-masing untuk umatnya. Nabi dan rasul itu sangat banyak, walaupun di
dalam kitab suci Islam hanya disebutkan 25 orang. Namun demikian, masih banyak di antara mereka
yang tidak disebutkan. Kemungkinan diantara nabi/rasul yang tidak disebutkan itu, termasuk pembawa
agama Hindu dan Budha. Jadi keragaman agama yang pernah dan masih ada di dunia ini berasal dari dan
atas kemauan Tuhan.

Manusia lahir sebagai etnis tertentu, bukan atas pilihan atau kemauan sendiri. Kelahiran itu
sebagai suatu peristiwa biologis. Tetapi manusia mempunyai kebebasan untuk memilih salah satu dari
agama-agama itu menjadi anutannya. Pilihan itu suatu peristiwa kultural. Itulah sebabnya seseorang
yang lahir dalam suatu etnis tertentu tidak dipertanggung jawabkan kepada Tuhan, sedangkan
seseorang yang memilih untuk menjadi penganut suatu agama atau tidak beragama, akan
dipertanggung jawabkan kepada Tuhan. Oleh karena keragaman etnis dan agama merupakan kemauan
Tuhan, maka segala kegiatan dan usaha dengan maksud untuk menghilangkan suatu etnis atau untuk
meyingkirkan suatu agama dari suatu masyarakat, termasuk perbuatan dosa dan bertentangan dengan
hak asasi manusia.
Misi Agama

Meskipun berbilang banyaknya, namun agama-agama itu menjalankan misi yang sama, yaitu
keselamatan (salvation) bagi manusia. Segala bentuk ibadah atau kebaktian dan ketentuan berupa
perintah dan larangan yang terdapat pada semua agama sesungguhnya dimaksudkan untuk
keselamatan manusia. Dengan demikian keselamatan manusia merupakan sesuatu yang mendasar
dalam semua agama dan bersifat universal. Perlu ditegaskan bahwa meskipun semua agama itu sama
tetapi bentuk ibadah dan kebaktian dengan segala rangkaiannya, tentu berbeda antara satu agama
dengan agama lainnya. Akan halnya dengan perintah dan larangan terutama yang bertalian dengan
kemanusiaan lebih banyak terdapat persamaan antar agama. Dengan begitu perbedaan antar agama
terdapat pada kebaktian agama itu, sedangkan ajaran-ajaran kemanusiaan pada prinsipnya sama.
Sesungguhnya Tuhan menurunkan agama untuk kepentingan manusia, dalam hal ini adalah keselamatan
manusia.

Misi keselamatan itu menyangkut keselamatan pribadi dan keselamatan orang lain, keselamatan
di dunia dan keselamatan di akhirat. Semua agama meyakini adanya hari akhirat. Keselamatan orang
lain, baik yang seagama maupun orang yang tidak seagama dengan kita, bahkan dengan orang tidak
seagama sekalipun. Keselamatan pribadi sangat tergantung pada ibadah dan kepatuhan terhadap ajaran
kemanusiaan dari agama yang dianut. Keselamatan orang lain baik yang seagama atau pun tidak, selain
tergantung pada kebaktian/ibadah dan kepatuhan terhadap ajaran kemanusiaan agamanya, juga sangat
tergantung pada “kita.” Kita bertanggung jawab terhadap orang lain yang se agama, atas
keselamatannya di dunia dan atas keselamatannya di akhirat. Kita juga harus bertanggung jawab atas
keselematan orang lain yang tidak se agama dengan kita di dunia, sedangkan keselamatannya di akhirat
tidak dapat kita pertanggung jawabkan. Dengan begitu tidak ada suatu kewajiban untuk kita mengajak
orang lain masuk dalam agama kita, dan jika seseorang tidak menyelamatkan orang lain dengan
pengertian tidak melindungi atau ia menciderai jiwa, harta dan kehormatan orang lain, berarti ia telah
melecehkan agamanya sendiri dan tentu saja termasuk perbuatan dosa.

Doktrin, Institusi dan Umat

Doktrin, institusi dan umat termasuk elemen-elemen penting dari suatu agama. Doktrin agama
adalah ajaran-ajaran dasar yang diyakini kebenarannya oleh penganutnya, karena berasal dari Tuhan.
Doktrin keagamaan bersifat normatif dan pada umumnya meliputi kepercayaan, peribadatan dan
ajaran-ajaran kemanusiaan yang dapat disebutkan sebagai ajaran moral. Doktrin tentang kepercayaan,
ibadah dan moral berbeda antara satu agama dengan agama lain, tetapi banyak pula persamaan-
persamaannya. Untuk kepentingan aplikasi suatu doktrin perlu diadakan interpretasi oleh ahli agama
yang bersangkutan. Acap kali terjadi perbedaan hasil interpretasi itu. Perbedaan itulah yang
menyebabkan timbulnya berbagai pendapat tentang suatu ajaran agama dan akhirnya timbul berbagai
aliran dalam suatu agama sebagai polarisasi dari hasil interpretasi tersebut, dan berpotensi untuk
terjadinya konflik internal.
Institusi keagamaan termasuk salah satu dari lima institusi dasar yang harus terdapat dalam
suatu masyarakat. Ke lima institusi itu adalah rumah-tangga, pemerintahan, pendidikan, hukum, dan
agama. Institusi keagamaan diperlukan untuk melayani umat dalam melaksanakan kehidupan
keagamaannya serta memelihara kelangsungan dan pewarisan agama kepada umatnya. Karena itu
dalam masyarakat terdapat institusi peribadatan/kebaktian seperti masjid, gereja, pura, dan wihara.
Selain itu terdapat institusi keagamaan lainnya. Meskipun fungsinya sama, tetapi suatu instusi agama
berbeda secara nyata dari institusi agama lain.

Umat suatu agama, merupakan indikator eksistensinya agama itu dalam masyarakat. Dalam
masyarakat Indonesia terdapat umat Islam, umat Protestan, umat Katolik, umat Hindu, dan umat Budha.
Kehidupan keagamaan umat suatu agama sangat bervariasi baik dari segi pengetahuan agama maupun
pelaksanaan agama.

Dalam masyarakat plural, perbedaan dalam hal doktrin keagamaan, peranan institusi
keagamaan, dan pengetahuan serta pemahaman agama berpotensi untuk menimbulkan konflik baik
internal maupun eksternal, konflik horizontal maupun vertikal. Perbedaan doktrin yang tidak dapat
dihindari itu tidak akan berkembang menjadi konflik apabila umat beragama yang berada dalam suatu
masyarakat berjiwa toleran dengan membolehkan, membiarkan dan menghargai doktrin dan ajaran
agama yang berlainan dengan agamanya atau pahamnya sendiri. Perlu dikembangkan sikap agree in
disagreement. Sikap setuju untuk suatu doktrin agama dianut dan dilaksanakan oleh umatnya meskipun
ia sendiri tidak setuju dengan doktrin dan ajaran agama itu. Peranan institusi yang mungkin berpotensi
untuk menimbulkan konflik hendaknya dapat didialogkan untuk mencari jalan keluar. Untuk itu
diperlukan komunikasi antara tokoh dan pemimpin umat beragama secara intensif dan terus menerus
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. Seringkali sikap dan perilaku umat beragama yang
tidak benar dapat menimbulkan konflik. Sikap dan perilaku demikian mungkin disebabkan oleh ketidak
pahaman terhadap ajaran agamnya sendiri.

Beragama secara formal dan fungsional

Pada setiap agama terdapat dua aspek yang berbeda tetapi berkaitan yaitu aspek formal dan
aspek fungsional. Aspek formal terdiri atas sejumlah ajaran, tata upara peribadatan dan simbol-simbol
yang membentuk agama itu sendiri dan dapat dibedakan dengan agama lain. Realitas suatu agama
dilihat dari aspek formalnya.

Sementara itu aspek fungsional dari agama adalah kegunaan atau pengaruh aspek formal
terhadap kehidupan sosial umat. Secara umum dapat disimpulkan bahwa aspek fungsional agama
adalah kedamaian dan ketentraman dalam diri seseorang dan umat manusia. Jadi pengaruh dari
penghayatan, pengamalan dan penggunaan agama (ajaran/doktrin dan interpretasi, ibadah dan simbol-
simbol) terhadap terwujudnya misi agama, keselamatan dan terciptanya perdamaian dan ketentraman
bagi kehidupan pribadi dan masyarakat. Selain itu tiap bahagian dari aspek formal mempunyai kegunaan
atau pengaruh khusus terhadap sikap dan perilaku orang yang melaksanakannya.
Jadi hubungan antara kedua aspek agama itu sangat erat. Beragama secara total dan utuh
apabila aspek formal diwujudkan sehingga menimbulkan aspek fungsionalnya. Jika tidak, keberagaman
itu tidak sempurna. Seseorang yang rajin membaca kitab suci, tekun mengikuti dan melaksanakan
ibadah dan selalu menggunakan simbol-simbol agamanya tetapi tidak membawa keselamatan bagi
dirinya dan masyarakat, berarti ia hanya beragama secara formal. Tetapi jika seseorang merasa aman
dan damai pada dirinya dan menciptakan kedamaian pada masyarakatnya karena pengaruh dari
pelaksanaan agamanya, maka sesungguhnya ia telah beragama secara fungsional. Dengan begitu
beragama secara formal belum menjamin keselamatan di dunia dan terutama di hari kemudian. Selain
itu beragama secara formal mungkin bisa menyebabkan agama dirasakan sebagai suatu beban dalam
hidup karena tidak dinikmati kegunaan agama yang dianutnya. Bahkan fanatisme terhadap aspek formal
agama dapat menjerumuskan seseorang untuk melakukan sesuatu yang merusak ketentraman
masyarakat jika simbol-simbol agamanya dirusak. Jika demikian halnya agama bukan saja tidak
bermanfaat, tetapi agama itu berbahaya bagi masyarakat. Kalau begitu suatu saat nanti agama itu
ditinggalkan oleh masyarakat.

Pembinaan umat harus dilakukan dalam suatu proses yang dimulai dengan pemberian
pengetahuan agama dilanjutkan dengan pelaksanaan agama dan terciptanya fungsi agama. Beragama
secara formal sangat penting untuk menampakkan eksistensi agama itu dalam masyarakat dan untuk
mewujudkan fungsi agama. Untuk mewujudkan fungsi agama itu diperlukan beragama secara
fungsional. Dalam masyarakat plural, patut didingat bahwa agama berbeda secara formal, tetapi bersatu
secara fungsional yaitu untuk kedamaian dan ketentraman diri sendiri dan masyarakat. Adalah tugas
yang berat tetapi suci bagi pemimpin umat beragama untuk membina umatnya agar beragama secara
fungsional.

Politisasi Agama
Sesungguhnya ada hubungan antara agama dan politik. Sebab politik dalam pengertian distribusi
dan pelaksanaan kekuasaan itu tentunya bertujuan untuk mewujudkan ketentraman dan keamanan
dalam masyarakat sejalan dengan misi dan fungsi agama. Untuk itu diperlukan suatu sistem politik untuk
penataan distribusi maupun pelaksanaan kekuasaan itu. Akan tetapi sistem politik belum menjamin
terjadinya ketentraman dan keamanan dalam masyarakat jika sistem itu tidak disertai dengan etika
politik. Pada masalah etika politik inilah agama memainkan peran yang sangat penting. Semua agama
sarat dengan muatan moral, bagi individu, maupun sosial. Dan sekali lagi ditegaskan bahwa ada
persamaan ajaran moral di antara agama-agama itu. Kekacauan yang terjadi dalam masyarakat karena
baik politisi maupun masyarakat menanggalkan moralitas agama dari politik. Sehingga ada kesan
seakan-akan politik adalah permainan kotor, penuh dengan kebohongan, kemunafikan, kecurangan dan
segala macam sikap serta perilaku moral yang jelek.

Dalam masyarakat plural, agama seringkali dijadikan sebagai alat politik (politisasi agama). Hal
demikian disebabkan oleh karena setiap agama mempunyai umat yang jelas. Sedangkan untuk berkuasa,
politisi menghendaki dukungan massa yang terdiri atas umat berbagai agama. Dilain pihak, masyarakat
sering juga menggunakan agama untuk kepentingan kegiatan politik. Agama dijadikan sebagai alat
mobilisasi umat untuk melawan pemerintah. Sebaliknya dari pemerintah pun menggunakan agama
sebagai motivasi untuk menggerakkan masyarakat. Jadi politisi, pemimpin masyarakat, dan pemerintah
menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka, dan bukan sebaliknya politik dijadikan
sebagai alat untuk menerapkan moral agama. Dalam masyarakat plural, politisasi agama berpotensi
untuk menimbulkan konflik.

Penutup

Dalam era globalisasi, masyarakat akan berkembang menjadi semakin majemuk sejalan dengan
timbulnya berbagai segmen dalam masyarakat. Sesuai dengan kehendak Tuihan, dalam masyarakat
plural, agama-agama itu tetap eksis. Oleh karena itu berbagai usaha untuk melenyapkan suatu agama
bukan saja perbuatan yang sia-sia, tetapi lebih dari itu termasuk perbuatan dosa.

Baik kondisi masyarakat plural dan kondisi setiap agama itu sendiri merupakan potensi
timbulnya berbagai konflik dalam masyarakat. Sesungguhnya jika fungsi agama berupa integrasi sosial,
kedamaian dan ketentraman dapat terwujud, maka konflik sosial dapat dicegah. Selain fungsionalisasi
agama dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, kesamaan misi agama yaitu keselematan dapat
menjadi perekat dalam kehidupan sosial. Agaknya konflik dalam masyarakat plural selama ini
ditimbulkan oleh kekeliruan dalam memahami keberadaan agama lain. Oleh karena itu perlu dikaji ulang
pandangan, sikap, dan perilaku dari umat suatu agama terhadap umat agama lain. Semoga.

You might also like