You are on page 1of 101

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 1

TIM KAJIAN RENCANA TINDAK UNTUK MEWUJUDKAN


REFORMASI BIROKRASI
(SK. Deputi Bidang Polhankam Bappenas No. 001/D-2/03/2004)

Tenaga Ahli:
1. Prof. Dr. Mustopadidjaja AR, MPIA
2. Prof. Dr. Miftah Toha, MPA

Pengarah Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan :


1. I Dewa Putu Rai, SIP, MM

Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan :


2. Dr. Ir. Bima Haria Wibisana, MSIS.
3. Drs. Bustang, MSi.
4. Agus Sudrajat, S.Sos, MA
5. Drs. Sandjaja Sarwohadi, MPM
6. Drs. Dadang Solihin, MA
7. Ir. Ikak G. MSP

Focus Group of Discussion :


1. Dr. Ir. Yahya R. Hidayat, MSc
2. Ir. Sumardiayanto, MA
3. Drs. Bogat W. MA
4. Kurniawan Ariandi, SIP, M.Com
5. Dra. Rd. Siliwanti, MPIA

Tim Teknis :
1. Firda Hidayati, S.Sos, MPA
2. Irfan, SH. MH.
3. Dia Firdaus, SE

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
kelancaran daan terlaksananya kajian ini dengan baik. Ucapan terima kasih
kami tujukan kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Mustopadidjaja, AR,
MPIA dan Bapak Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA, masing-masing sebagai
tenaga ahli yang telah banyak memberikan masukan substansi selama kajian
ini dilaksanankan. Demikian pula ucapan terima kasih kepada Bapak Prof.
Bintaro Tjokroamidjojo, MA; Prof. Dr. Maswadi rauf MA; dan Dr. J,
Kristiadi, masing-masing sebagai nara sumber dalam acara seminar
“Rencana Tindak Reformasi Birokrasi” dalam rangka mendapatkan
masukan yang lebih komprehensif untuk memperkaya kajian ini.

Birokrasi yang Handal dan mamapu bekerja dengan Baik,


merupakan harapan bagi seluruh bangsa Indonesia. harapan tersebut,
merupakan salah satu tuntunan gerakan reformasi birokrasi tahun 1998, agar
birokrasi menjadi tempat layanan masyarakat yang cepat, murah, tidak
diskriminatif dan transparan.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Direktorat Aparatur Negara


dalam tahun anggaran 2004 melakukan suatu kajian mengenai “Rencana
Tindak Reformasi Birokrasi” yang diharapkan menjadi salah satu landasan
berpikir terhadap upaya penyusunan dan pembenahan birokrasi kini dan di
masa mendatang.

Demikian, semoga kajian “Rencana Tindak Reformasi Birokrasi”


dapat menjadi salah satu bahan acuan dalam menyusun “Kebijakan
Nasional Reformasi Birokrasi” yang lebih komprehensif di masa
mendatang.

Wassalamu’ Alaikum Wr. Wb.

Jakarta, maret 2005

Direktur Aparatur Negara

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi iii


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1. Latar Belakang ……………………………………….. 1
2. Permasalahan Birokrasi ……………………………… 2
3. Tujuan Penulisan …………………………………….. 7
4. Ruang Lingkup Kegiatan …………………………….. 8
5. Metodologi ………………………………………….. 8
BAB II GAMBARAN UMUM BIROKRASI DI INDONESIA ………… 9
1. Faktor Internal ………………………………………. 9
2. Faktor Eksternal …………………………………….. 18
BAB III ISU STRATEGIS REFORMASI BIROKRASI ……………. … 33
1. Pemerintahan Yang Bersih .......................................... 34
2. Aktualisasi prinsip-prinsip Good Governance ............. 42
3. Kompetensi SDM Aparatur ......................................... 45
4. Pelayanan Publik ......................................................... 51
5. Desentralisasi Kewenangan ......................................... 61
BAB IV RENCANA TINDAK ................................................................... 68
1. Pemerintahan Yang Bersih .......................................... 69
2. Aktualisasi prinsip-prinsip Good Governance ............. 71
3. Kompetensi SDM Aparatur ......................................... 72
4. Pelayanan Publik ........................................................ 75
5. Desentralisasi Kewenangan ......................................... 77
MATRIK RENCANA TINDAK .................................................................. 79
BAB V PENUTUP .................................................................................... 93
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 95

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi iv


Pendahuluan

BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat merupakan tiga pilar utama dalam upaya
mewujudkan pelaksanaan kepemerintahan yang baik (good Governance). Birokrasi sebagai
organisasi formal memiliki kedudukan dan cara kerja yang terikat dengan peraturan,
memiliki kompetensi sesuai jabatan dan pekerjaan, memiliki semangat pelayanan public,
pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu, serta sumber daya organisasi
yang tidak bebas dari pengawasan eksternal. Oleh karena itu, birokrasi yang konsisten
seperti itu, dan dapat bekerja dengan baik dan bersih dalam mengemban perjuangan
mewujudkan keseluruhan cita-cita dan tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan harapan seluruh bangsa
Indonesia.

Dalam konteks pemahaman seperti ini, maka eksistensi birokrasi yang dapat
diandalkan memiliki implikasi pada peluang yang lebih besar dalam mengemban misi
perjuangan bangsa mencapai tujuan bernegara sesuai dengan amanat UUD 1945, yaitu
“memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan
keadilan sosial”. Pengertian ini dimaksudkan bahwa birokrasi harus dipahami dalam konteks
peran dan kemampuannya dalam menunjang tugas tugas pemerintahan, baik dalam
merespon berbagai permasalahan maupun dalam memberikan pelayanan terhadap
masyarakat dan warga dunia. Dengan demikian birokrasi yang mampu merespon dinamika
global secara positif, berpeluang akan mampu memfasilitasi kepercayaan dunia internasional
untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu tujuan investasi. Implikasinya investasi yang
tertuju pada negara Indonesia secara langsung akan memberikan efek dinamis yang baik
bagi perekonomian Indonesia.

Kondisi dan dinamika global ini sesungguhnya merupakan peluang sekaligus ancaman
bagi keberadaan birokrasi di satu sisi dan berimplikasi terhadap eksistensi Indonesia sebagai
sebuah bangsa di sisi lainnya. Artinya ketidakmampuan birokrasi merespon dinamika global
berimplikasi pada daya saing Indonesia di tingkat internasional. Daya saing yang rendah
berpotensi mengucilkan Indonesia dari dinamika dan persaingan dalam pergaulan dunia.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi


Pendahuluan

Selama hampir 60 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia, birokrasi telah berperan


besar dalam perjalanan hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya-upaya
pembaharuan dalam manajemen pemerintahan terus dilakukan untuk meningkatkan kinerja
birokrasi. Selama masa Orde Baru birokrasi di Indonesia juga memiliki andil besar dalam
proses pembangunan. Pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan seperti pelayanan publik,
regulasi, proteksi, dan distribusi pada dasarnya telah ditopang oleh birokrasi.

Namun demikian, pentingnya peran birokrasi di Indonesia ternyata tidak serta merta
menunjukkan suatu potret birokrasi yang baik. Persepsi masyarakat masih memperlihatkan
bahwa citra dan kinerja birokrasi masih harus lebih ditingkatkan. Masyarakat secara umum
enggan untuk berurusan dengan birokrasi. Birokrasi lebih banyak berkonotasi dengan citra
negatif seperti rendahnya kualitas pelayanan publik; berperilaku korup, kolutif, dan nepotis
(KKN); memiliki kecenderungan untuk memusatkan kewenangan; masih rendahnya
profesionalisme; dan tidak terdapatnya budaya dan etika yang baik.

Citra negatif dalam birokrasi tersebut, menurut Toha (2002), masih tertanam bahkan
setelah lima tahun reformasi 1998 bergulir. Perbaikan birokrasi yang dicanangkan
permerintah selama ini belum berjalan secara optimal. Berbagai upaya perbaikan memang
telah diupayakan, namun belum dapat menciptakan sistem birokrasi yang mantap dan
membawa konsekuensi terlaksananya agenda reformasi secara cepat dan tepat. Bahkan
banyak pihak menilai bahwa kondisi birokrasi pemerintah telah menjadi semakin
mengkuatirkan. Pada 3 tahun terakhir ini, perbaikan birokrasi belum juga menunjukkan
gejala perbaikan-perbaikan yang positif. Bahkan sebaliknya, kelembagaan birokrasi semakin
transparan dalam melakukan korupsi dan akuntabilitas publik menjadi pertanyaan besar.

2. PERMASALAHAN BIROKRASI

Berbagai permasalahan di lingkungan birokrasi dewasa ini berkaitan dengan citra dan
kinerja birokrasi yang belum dapat memenuhi keinginan masyarakat banyak. Beberapa
diantaranya akan diuraikan secara lebih rinci dalam analisis di bawah ini.

Tingginya Tingkat Penyalahgunaan Kewenangan dalam Bentuk KKN

Upaya pemberantasan KKN merupakan salah satu tuntutan penting pada awal
reformasi. Namun prevalensi KKN semakin meningkat dan menjadi permasalahan di
seluruh lini pemerintahan dari pusat hingga daerah. Tuntutan akan peningkatan

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 2


Pendahuluan

profesionalisme sumber daya manusia aparatur negara yang berdaya guna, produktif
dan bebas KKN serta sistem yang transparan, akuntabel dan partisipatif masih memerlukan
solusi tersendiri. Ini berkaitan dengan semakin buruknya citra dan kinerja birokrasi dan
rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. KKN telah
menjadi extraordinary state of affairs di Indonesia Laporan terakhir di penghujung tahun
2003 mengukuhkan Indonesia di urutan ke-6 negara terkorup didunia. Berdasarkan hasil
survei Transparency International (TI) dari 133 negara, Indonesia berada di urutan ke-122
dari 133 negara terkorup.

Rendahnya Kualitas Pelayanan Publik

Rendahnya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang diarahkan
kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan
pelayanan publik di era reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, namun dalam
perjalanan reformasi yang memasuki tahun ke enam, ternyata tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Berbagai tanggapan masyarakat justru cenderung menunjukkan bahwa
berbagai jenis pelayanan publik mengalami kemunduran yang utamanya ditandai dengan
banyaknya penyimpangan dalam layanan publik tersebut. Sistem dan prosedur pelayanan
yang berbelit-belit, dan sumber daya manusia yang lamban dalam memberikan pelayanan
juga merupakan aspek layanan publik yang banyak disoroti.

Belum Berjalannya Desentralisasi Kewenangan Secara Efektif

Indonesia saat ini dihadapkan oleh berbagai tantangan yang muncul sebagai akibat
dari perkembangan global, regional, nasional dan lokal pada hampir seluruh aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sisi manajemen pemerintahan, penerapan
desentralisasi dan otonomi daerah merupakan intrumen utama untuk mencapai suatu negara
yang mampu menghadapi tantangan-tatangan tersebut. Di samping itu, penerapan
desentralisasi kewenangan dan otonomi daerah juga merupakan prasyarat dalam rangka
mewujudkan demokrasi dan pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Namun dalam pelaksanaannya selama ini, dalam kebijakan otonomi dearah masih terdapat
beberapa kelemahan, seperti: (a) Otonomi daerah hanya dipahami sebagai kebijakan yang
bersifat institutional belaka; (b) Perhatian dalam otonomi daerah hanya pada masalah
pengalihan kewenangan dari Pusat ke Daerah, tetapi mengabaikan esensi dan tujuan
kebijakan tersebut; (3) Otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 3


Pendahuluan

dan prakarsa masyarakat di daerah sesuai tuntutan alam demokrasi; dan (4) Konsep dasarnya
yang mengandung prinsip-prinsip federalisme.

Seperti dijelaskan sebelumnya, aparatur negara memiliki peran yang sangat


menentukan mengenai berjalan tidaknya agenda reformasi. Mengingat reformasi bidang
lainnya tidak akan berjalan dengan baik tanpa terlebih dahulu melakukan reformasi di
lingkungan birokrasi pemerintah, tidak berlebihan kiranya kalau menempatkan reformasi
birokrasi pemerintah menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional 2005-2009.

Reformasi birokrasi memerlukan proses, tahapan waktu, kesinambungan dan


ketertiban sebagai kesatuan komponen yang saling terkait dan berinteraksi dengan tujuan
untuk mewujudkan tujuan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi bertujuan untuk
mewujudkan aparatur negara yang amanah dan mampu mendukung pembangunan nasional
serta menjawab kebutuhan dinamika bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, reformasi birokrasi ke depan
perlu diarahkan pada upaya-upaya untuk; (i) menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan
kewenangan dalam bentuk KKN dengan menerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang
baik (good governance); (ii) meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi negara;
dan (iii) meningkatkan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan dasar untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat

Untuk mewujudkan birokrasi sebagaimana disebutkan di atas tidaklah mudah. Hal ini
memerlukan suatu telaahan yang mendalam terhadap permasalahan dan penyebab yang
menjadi isu strategis reformasi birokrasi. Di samping itu, perlu upaya yang lebih
komprehensif untuk menemukenali dan menentukan alternatif kebijakan yang bagaimana
yang harus diambil. Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut ada beberapa isu strategis
dalam pembenahan birokrasi yaitu berkaitan dengan masalah-masalah: (a) Pemerintahan
yang bersih (clean government); (b) Aktualisasi prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik
(Good Governance); (c) Kompetensi Sumber daya manusia Aparatur; (d) Pelayanan publik
; (e) Desentralisasi kewenangan.

Pemerintahan yang tidak bersih yang dicirikan dengan penyalahgunaan kewenangan


dalam bentuk KKN, berimplikasi terhadap ekonomi, sosial, dan daya saing nasional.
Tingginya tingkat penyalahgunaan kewenganan ini diakibatkan oleh masih rendahnya

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 4


Pendahuluan

sistem pengawasan, rendahnya etika dan moral para birokrat, dan tidak adanya komitmen
para pemimpin bangsa untuk menciptakan birokrasi yang bersih.

Berbagai bentuk korupsi seperti suap, penggelapan, pemalsuan, pemerasan, pilih


kasih, penyalahgunaan wewenang/jabatan, nepotisme, komisi, sumbangan ilegal, dan lain

sebagainya telah menggerogoti kehidupan birokrasi dewasa ini. Tindakan-tindakan


tersebut memiliki daya rusak yang dahsyat yang telah merusak sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. Berbagai bentuk penyimpangan ini pada awalnya mungkin saja
dilakukan dengan terpaksa agar dapat bertahan hidup, namun hal tersebut kemudian menjadi
kebiasaan dan sekaligus merupakan penyakit yang tidak dapat “sangat sulit disembuhkan”
disembuhkan bahkan menjadi kronis. Hal ini akan menjadi ancaman yang pada saatnya
nanti akan menghancurkan bangsa dan negara ini.

Di sisi lain, gaung perubahan paradigma dengan mengedepankan profesionalisme dan


pelayanan masih belum bisa diterapkan secara optimal. Faktanya adalah bahwa esensi dari
prinsip-prinsip Good Governance belum dipahami sebagai bagian dari amanah yang harus
dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, sehingga dalam
pelaksanaannya seringkali hanya menjadi jargon. Indikasinya dapat dilihat dari belum
berimbangnya interaksi di antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha (swasta). Di sisi
lain pola patron-client masih menguat dan dapat dilihat pada setiap jajaran pemerintah yang
secara langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Belum teraktualisasikannya tata kepemerintahan yang baik juga dipengaruhi oleh


masih rendahnya kompetensi SDM aparatur. Rendahnya Kompetensi ditandai dengan masih
rendahnya komitmen dan integritas, rendahnya kemampuan atas tugas dan tanggung
jawabnya, dan lemahnya inisiatif dan inovatif. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh buruknya
sistem rekruitmen pegawai yang ditandai dengan tidak adanya perencanaan pegawai yang
matang yang berakibat pada tidak relevansinya antara kompetensi seseorang yang diseleksi
dengan jabatan yang dibutuhkan. Dengan demikian, kondisi birokrasi di masa depan masih
cukup memprihatinkan.

Kondisi yang memprihatinkan ini juga utamanya karena hampir 50 persen PNS belum
produktif, efisien, dan efektif sehingga harapan akan “terbangunnya kultur birokrasi
pemerintah” yang profesional dan akuntabel belum dapat tercapai. Hal ini juga akibat dari
masih rendahnya kualitas SDM Aparatur yang ditandai dengan masih tingginya (73 persen)
jumlah PNS yang berpendidikan SD, SLTP, SLTA, DI, DII, dan DIII. Masih tingginya

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 5


Pendahuluan

jumlah PNS yang berpendidikan non sarjana berimplikasi pada rendahnya kemampuan PNS
tersebut dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai abdi dan pelayanan masyarakat.

Dalam bidang pelayanan publik, dihadapkan pada permasalahan bagaimana kualitas


pelayanan publik yang cenderung berbelit-belit, lambat, mahal, tertutup, dan diskriminatif,
serta berbudaya bukan melayani melainkan dilayani. Di samping itu rendahnya partisipasi
masyarakat dalam menggerakkan fungsi-fungsi pelayanan, dan belum adanya standar tolok
ukur terhadap optimalisasi pelayanan publik oleh aparatur kepada masyarakat.

Gejala korupsi dengan berbagai bentuk seperti suap, penggelapan, pemalsuan,


pemerasan, pilih kasih, penyalahgunaan wewenang/jabatan, nepotisme, komisi, sumbangan
ilegal, internal trading telah menggerogoti kehidupan birokrasi dewasa ini. Walaupun
mungkin pada awalnya penyalahgunaan dilakukan dengan terpaksa untuk dapat bertahan
hidup, berbagai bentuk KKN tersebut memiliki daya rusak yang dahsyat yang dapat
mengganggu sendi kehidupan serta menghancurkan tatanan semua aspek berbangsa dan
bernegara saat ini.

Desentralisasi merupakan isu strategis lainnya yang menjadi perhatian dalam


reformasi birokrasi. Desentralisasi adalah sebuah bentuk pemindahan tanggung jawab,
wewenang dan sumber-sumber daya (dana, personil, dll) dari pemerintah pusat ke tingkat
pemerintahan di bawahnya. Dasar dari inisiatif ini adalah bahwa proses desentralisasi dapat
memindahkan proses pengambilan keputusan ke tingkat pemerintahan yang lebih dekat
dengan masyarakat. Karena merekalah yang akan merasakan langsung pengaruh program
pelayanan yang dirancang, dan kemudian dilaksanakan oleh pemerintah.

Prinsip dasar dari inisiatif diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah dan 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33 Tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, adalah untuk memindahkan
proses pengambilan keputusan ke tempat yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu kepada
mereka yang merasakan efek langsung dari program dan perencanaan serta pelaksanaan
pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah.

Namun demikian, pelimpahan kewenangan sebagai implikasi dari UU Nomor 22 dan


25 Tahun 1999, yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 ini,
belum sepenuhnya diserahkan ke daerah. Pusat cenderung masih menarik ulur beberapa

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 6


kewenangannya karena dianggap bahwa daerah belum mampu menangani sebagian
kewenangan seperti antara lain: kewenangan dalam pemberian perijinan, sistem perpajakan
dan perkreditan, dan hal-hal lain yang berkaitan dalam rangka mengatur rumah tangganya
masing-masing sehingga mengakibatkan belum efektif dan efisiensinya pelayanan publik di
daerah.

Sebagai salah satu isu strategis dalam reformasi birokrasi, berkaitan dengan
kompetensi SDM aparatur yang di dalamnya mencakup etika dan budaya kerja, masih
banyak pemimpin dan aparatur negara yang mengabaikan norma-norma, etika dan aturan
birokrasi yang baik. Indikasinya adalah masih tingginya penyalahgunaan kewenangan
sehingga menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam penyelenggaraan negara
dan pembangunan, sehingga harapan akan suatu kultur birokrasi pemerintah yang
profesional dan akuntabel belum dapat tercapai. Fenomena seperti ini menunjukkan keadaan
yang sangat memperihatinkan mengingat dewasa ini terdapat tantangan lokal, regional
maupun global yang sangat kompleks, yang ditandai dengan semakin tingginya persaingan
ekonomi antar negara.

Untuk itu, pemerintah harus berupaya secara sungguh-sungguh untuk merubah sisi-
sisi negatif dalam birokrasinya, sehingga ke depan mampu merespon dan beradaptasi
dengan tantangan global yang semakin rumit dan kompleks. Berbagai fenomena di atas,
hanya dapat diatasi dengan melakukan reformasi birokrasi secara tegas, jelas dan efektif.
Kesadaran ini berasumsi bahwa reformasi politik yang yang sedang berlangsung belum akan
memperoleh hasil yang optimal, manakala reformasi birokrasi belum dijalankan.
Sehubungan dengan hal tersebut sedikitnya terdapat tiga hal mendasar yang digunakan
sebagai pendekatan dalam rencana tindak reformasi birokrasi yang harus dilakukan, yakni:
(a) Kelembagaan; (b) Manajemen; dan (c) Sumber daya Manusia Aparatur.

3. TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penulisan Rencana Tindak Reformasi Birokrasi ini adalah untuk:

a. Memberikan gambaran akurat tentang permasalahan di lingkungan birokrasi


yang terkait dengan kelembagaan, manajemen dan sumber daya manusia
aparatur.
b. Memberikan alternatif rekomendasi kebijakan mengenai reformasi birokrasi.
c. Memberikan usulan rencana tindak reformasi birokrasi yang mungkin dilakukan
untuk jangka waktu 2005-2009.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 7


4. RUANG LINGKUP KEGIATAN

Ruang lingkup kegiatan ini meliputi:

a. Melakukan pengumpulan data, yang berkaitan berkaitan dengan permasalahan


birokrasi;
b. Melakukan analisis dan pendalaman terhadap reformasi birokrasi;
c. Melakukan seminar/presentasi terhadap hasil kajian reformasi birokrasi; dan
d. Menyusun rencana tindak.

5. METODOLOGI

Metodologi yang digunakan adalah Strategic Planning Framework yang meliputi:

a. Pengidentifikasian arah dan tujuan masa depan (Analisa VMGO).


b. Pengkajian lingkungan strategis yang berpengaruh terhadap birokrasi (Analisa
SWOT).
c. Pengidentifikasian isu-isu strategis yang krusial (Analisa CSF).
d. Penyusunan langkah-langkah implementasi kebijakan (Action Plan).

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 8


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

BAB II
GAMBARAN UMUM
BIROKRASI DI INDONESIA

Birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi bangsa-bangsa di Asia,
meskipun upaya-upaya untuk melakukan reformasi birokrasi dalam konteks yang lebih luas telah
berlangsung. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa di negara-negara Asia yang paling parah terpukul
oleh krisis finansial tahun 1997 itu lebih disebabkan oleh kecenderungan birokrasi yang buruk.

Hasil penelitian oleh lembaga think-tank Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
yang dilakukan pada tahun 2002, Indonesia termasuk negara yang terpuruk dalam birokrasinya, dan
sampai saat ini belum mengalami perubahan yang cukup signifikan. Laporan terakhir World
Economic Forum (WEF) tahun 2004 ini tentang Global Competitiveness Ranking (GCR)
menempatkan Indonesia berada di urutan ke 69 dari 104 negara yang diamati. Salah satu aspek
penilaian adalah birokrasi pemerintah (kelembagaan pemerintah) yang mengindikasikan sejauhmana
lembaga pemerintah memberikan kemampuan pelayanan yang baik berorientasi pada pelanggan,
minimnya korupsi, berorientasi pada kerangka hukum yang jelas.

Banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan kondisi keterpurukan birokrasi di
Indonesia yang kemudian dikelompokkan ke dalam dua bagian. Pertama, bahwa birokrasi sebagai
sebuah organisasi memiliki faktor-faktor internal yang dapat menjadi determinan dinamika kehidupan
Birokrasi. Kedua adalah faktor-faktor eksternal yang merupakan lingkungan strategis dimana
birokrasi terlaksana.

2.1. FAKTOR INTERNAL

Peran birokrasi memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat signifikan dalam
penyelenggaraan pemerintahan, dan tidak dapat digantikan fungsinya oleh lembaga-lembaga
negara lainnya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kondisi Indonesia yang masih
dihadapkan berbagai permasalahan ekonomi, sosial dan politik yang serba komplek dan rumit,
birokrasi masih tetap diyakini sebagai mesin utama untuk memutar roda kegiatan di berbagai
sektor pembangunan.

Dalam kaitan dengan hal tersebut, maka peranan birokrasi di dalam suatu masyarakat yang
senantiasa mengadakan perubahan-perubahan ke arah pembaharuan menjadi sangat vital. Namun
demikian, birokrasi akan menjadi alat pembaharu, jika mesin-mesin penggerak lainnya memiliki

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 9


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

kemauan dan kemampuan untuk melakukan prinsip-prinsip good governance dengan baik. Oleh
karena itu, masyarakat akan dapat memahami dan merasakan peran dan fungsi birokrasi yang
sesungguhnya pada saat mendapatkan pelayanan. Di samping itu, masyarakat yang memahami
dengan baik akan peran dan fungsi birokrasi akan menjadi kekuatan yang baik dalam melakukan
perubahan secara efisien, namun juga bisa terjadi sebaliknya menjadi kelemahan dan bahkan
penghambat dalam melakukan perubahan.

Di masa reformasi banyak yang optimis bahwa kinerja birokrasi di Indonesia akan semakin
membaik. Hal ini diperkuat oleh adanya perubahan mendasar dalam administrasi publik dalam arti
administrasi pemerintahan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun
1999 (telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah),
pemerintah hanya mengelola enam bidang saja, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter, fiskal dan agama, dan beberapa bidang lainnya. Konsekuensinya tentu
memberikan perubahan kelembagaan yang sangat berarti dalam konteks desentralisasi yang tentunya
membawa implikasi baru dalam manajemen publik dimana domain pemerintah berada di relasikan
dengan kondisi geografis dan demografis.

Sistem pemerintahan yang desentralisasi yang digulirkan sejak era reformasi merupakan angin
segar dalam pelaksanaan birokrasi, terutama di daerah. Daerah dengan kewenangan dan
tanggungjawab yang diembannya dapat merancang dan melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat
sesuai dengan kondisi geografis dan demografisnya. Hal ini juga mendorong bangkitnya prakarsa dan
kreaktivitas pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat dan swasta untuk menciptakan
kerjasama yang harmonis dalam rangka membangun pelayanan yang baik.

Namun di sisi lain, dalam pelaksanaan desentralisasi pemerintahan di era reformasi ini timbul
penafsiran yang beragam dan bahkan kebablasan, sehingga terkesan menciptakan penguasa-penguasa
dan raja-raja kecil di daerah. Artinya dalam pelaksanaannya ada kecenderungan sebagian pemerintah
daerah menafsirkan bahwa mereka memiliki kekuasaan yang sangat tinggi dalam mengurus rumah
tangganya tanpa memperhatikan hubungan koordinasi dengan pemerintah pusat.

Demikian pula tidak dapat dipungkiri, banyaknya posisi/jabatan di birokrasi di isi oleh orang-
orang yang tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan yang sesuai dengan pekerjaannya. Hal
tersebut, terjadi karena lebih mengutamakan pada pengangkatan pada posisi di dalam jabatan
struktural, yang lebih diutamakan karena ruang pangkat golongan, atau karena senioritas, bukan
karena kompetensinya.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 10


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

Kondisi ini masih tetap berlangsung pada era reformasi, baik di tingkat aparatur pemerintah
pusat maupun daerah. Akibatnya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sering menyimpang
atau terjadi penyalah gunaan kekuasaan yang pada akhirnya mendorong tumbuh suburnya praktek
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam mengisi suatu jabatan terntentu.

Birokrasi yang demikian, tentunya bukan menjadi harapan masyarakat, yang dibuktikan
dengan upaya-upaya serius dari pemerintah untuk melakukan memberantasan tergadap segala bentuk
KKN yang terus menerus dengan diupayakan melalui kegiatan penjegahan dan penindakan. Untuk
mengatasi hal tersebut, kemudian pemerintah telah membuat regulasi sebagai payung hukum dalam
upaya memberantas korupsi. Berbagai kebijakan pemerintah antara lain meliputi Tap MPR RI No.
XI/MPR/1999 dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana
Korupsi dan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1999 tentang Komisi Pemeriksaan Kekayaan Negara,
demikian pula dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Berbagai kebijakan tersebut, menunjukkan keseriusan dan tekat pemerintah secara
bersungguh-sungguh mewujudkan penyelenggaran pemerintah yang bersih.

Praktek-praktek KKN yang tumbuh subur sejak pemeritahan Orde Baru sampai dengan ”orde
reformasi” telah menimbulkan berbagai masalah dalam pengelolaan kepemerintahan yang baik.
Permasalahan tersebut , antara lain SDM aparatur yang kurang berkualitas dan birokrasi yang
semakin gemuk dan kurang efisien. Hal ini dapat kita jumpai diberbagai departemen yang memiliki
pegawai yang tidak berimbang antara jumlah pegawai dengan pekerjaan yang harus dikerjakan dan
tidak sesuainya antara jenis pekerjaan dengan kemampuan dan ketrampilan pegawai.

SDM aparatur saat ini seringkali dikonotasikan dengan SDM yang memiliki tingkat
profesionalitas yang relatif rendah. Kondisi semacam ini dapat dilihat pada beberapa indikator
berikut; kemampuan pelayanan yang tidak optimal, sebagian besar waktu tidak digunakan secara
produktif, dan belum optimalnya peran-peran dalam menemukan terobosan menjalankan tugas
sebagaimana diamanatkan. Perlu dicermati adalah dimensi profesionalitas yang terkait dengan
seberapa besar sosok aparatur mampu melaksanakan standar kinerja yang telah ditetapkan.

Berbagai karakteristik sebagai bentuk dari tanggapan masyarakat terhadap atribut SDM
organisasi pemerintah, diidentifikasi dengan ciri-ciri sebagai berikut:

(i) Masih rendahnya tingkat reliability, assurance, tangibility, emphaty, dan responsiveness dalam
bentuk pelayanan yang diselenggarakan oleh aparatur

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 11


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

(ii) Adanya perasaan tidak bangga bekerja pada organisasi bersangkutan (pemerintah), sehingga
berkecenderungan tidak atau belum memiliki daya ikat emosional yang terlalu tinggi dengan
organisasi

Demikian pula beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap kondisi rendahnya
kemampuan melaksanakan standar kinerja birokrasi sebagaimana diharapkan, adalah:

• Masih belum jelasnya standar kinerja yang dapat diukur untuk menentukan mutu output yang
dihasilkan aparatur. Hal tersebut terkait dengan asumsi bahwa seberapapun kualitas dari output
kegiatan yang dilaksanakan tidak akan memberikan perubahan terhadap penghargaan kepada
aparatur yang bersangkutan. Kondisi ini terkait dengan motivasi. Selanjutnya motivasi dalam
hal ini dapat dilihat dari dua hal yakni, kebutuhan terhadap sanksi baik reward maupun
punishment. Konsep sanksi yang tidak berjalan sebagaimana diharapkan adalah salah satu
faktor determinan kinerja yang tidak optimal dari aparatur SDM.

• Pengawasan sebagai bagian dari proses interaksi pembelajaran sekaligus memberikan wahana
dijalankannya sistem sanksi, penghargaan tidak atau belum berjalan sebagaimana diharapkan.
Konsep pengawasan yang dijalankan saat ini masih merupakan ritual administratif yang tidak
memilik banyak manfaat dalam pengembangan SDM Aparatur.

• Kecenderungan lemahnya kompetensi terkait dengan penggunaan teknologi informasi menuju


e-government merupakan salah satu satu tantangan dan kebutuhan. Dan kondisi ini terkait
dengan paradigma pragmatis dimana pendidikan dan pemberdayaan SDM masih dipandang
belum memberikan kontribusi pada peningkatan kinerja organisasi.

• Hubungan dan komunikasi yang kurang terbuka diantara aparatur. Hal ini masih terkait dengan
kondisi distrust (Fukuyama, 1999) yang ada sehingga memberikan fasilitasi komunikasi
diagonal, dan rendahnya gagasan untuk pengembangan karena hubungan masih dilihat dalam
konteks “siapa” yang berbicara dan bukan “apa” yang dibicarakannya.

• Masih besarnya pejabat publik yang diberikan amanah memangku jabatan tertentu
berkecenderungan untuk memperkaya diri sendiri (PERC, 2000). Indikasinya adalah
kecenderungan untuk memajukan usaha bisnisnya melalui pemanfaatan jabatan yang
dimilikinya

• Program pendidikan dan pelatihan di lingkungan birokrasi, yang terkadang dilaksanakan


sendiri oleh kelembagaan bersangkutan tidak kompetitif terkait dengan kebutuhan kompetensi
yang diharapkan dari pelatihan; di samping adanya penentuan pelatihan tanpa melalui metode

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 12


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

• analisis diskrepansi kompetensi kerja yang baik (Padmowihardjo, 2004). Implikasinya adalah
pelatihan dilaksanakan untuk formalitas saja.

Rendahnya kualitas SDM aparatur, tercermin dari kondisi: kesejahteraan pegawai, rekruitmen
dan pembinaan karir, budaya kerja, dan profesionalisme sumberdaya aparatur yang belum
sepenuhnya mampu memberikan pengaruh positif dalam proses perkembangan aparatur negara.

Kesejahteraan pegawai di republik ini diakui banyak pihak relatif masih belum layak. Sistem
gaji pegawai negeri saat ini tidak mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dan prestasi kerja.
Sistem penggajian belum secara tegas mempertimbangkan pegawai dengan tingkat pendidikan,
prestasi, produktivitas dan disiplin yang tinggi. Saat ini PNS pada tingkat struktural yang sama,
pegawai yang memiliki produktivitas tinggi, ranjin dengan PNS yang malas, tidak produktif,
dipastikan akan memiliki nilai gaji yang sama apabila mereka memiliki golongan, masa kerja dan
ruangan pangkat yang sama. Sistem penggajian yang demikian, dalam jangka waktu yang panjang
dapat menurunkan semangat, etos, dan disiplin kerja, terhadap pegawai yang produktif dan yang
rajing. Budaya dan pola pikir memanfaatkan setiap kesempatan melakukan tindakan yang tidak
'jujur', asal dilakukan dengan hati-hati, tidak terlalu besar dan mencolok, serta asal dapat
'dipertanggungjawabkan secara semu kepada badan pengawas sudah menjadi hal biasa terjadi dalam
urusan birokrasi saat ini. Alasan yang digunakan adalah tidak mungkin bagi pegawai negeri untuk
dapat memenuhi standar kehidupan yang layak sesuai dengan ”amanat Undang-Undang 43 Tahun
1999” tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian” dalam pasal 7 Ayat 1, 2, dan 3.

Belum lagi jika dicermati mengenai sistem rekrutmen dan sistem pembinaan karir selama ini
telah memberikan kontribusi terhadap rendahnya kompetensi dan motivasi pegawai negeri dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya. Beberapa fakta di dalam pemerintahan menunjukkan bahwa
rekrutmen pegawai dilakukan tidak secara terbuka misalnya melalui media massa atau media lainnya
yang memiliki akses luas kepada masyarakat. Tindakan KKN telah mendominasi mekanisme
penerimaan pegawai di hampir seluruh lembaga pemerintahan termasuk TNI dan Polri. Terdapat
bukti pula bahwa pegawai yang masuk melalui mekanisme KKN, tidak menunjukkan kinerja yang
diharapkan. Ketidaksesuaian kualifikasi yang dibutuhkan, rendahnya kapabilitas, motivasi, serta tidak
adanya kreativitas merupakan keluhan yang sering disampaikan masyarakat terhadap pegawai negeri.
Demikian pula, maraknya laporan dari berbagai daerah tentang suap untuk lolos seleksi CPNS telah
mendorong lemahnya kepecayaan masyarakat terhadap kinerja birokrasi.

Pembinaan karir yang diharapkan menjadi wadah penggodokan serta seleksi selanjutnya bagi
pegawai negeri juga tidak dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 13


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

kualitas kinerja pegawai negeri. Banyak pengalaman menunjukkan untuk ikut pendidikan dan latihan
kepemimpinan, para calon harus membayar sejumlah biaya tertentu hingga bisa mendapat promosi
untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Ini mencerminkan tidak diterapkannya sistem dan
mekanisme pembinaan karir pegawai negeri dengan sasaran dan arah yang jelas serta mekanisme
yang disepakati bersama.

Meningkatnya jenjang karir seharusnya berkorelasi positif dengan meningkatnya kualitas,


kapabilitas dan kompetensi pegawai, termasuk di bidang manajerial. Hal ini secara normatif telah
tertuang pada Pasa17, pasal 17a PP 13 tahun 2002 tentang Perubahan atas PP 100 tahun 2000 tentang
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural dan pasal 6, pasal 7 dan pasal 9 PP 12
tahun 2002 tentang perubahan atas PP 99 tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri
Sipil. Meskipun regulasi tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan
kualitas, kapabilitas dan motivasi pegawai dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pelayan
msyarakat.

Selain itu, mentalitas dan budaya kekuasaan masih merupakan karakter sebagian besar aparat
birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa kerajaan
ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Kultur seperti itu
telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat
(Bagir:2002). Perilaku-perilaku tersebut telah menyebabkan antara lain budaya kerja yang tidak
disiplin, tidak tepat waktu, menunda-nunda pekerjaan, tidak ada kerjasama dan koordinasi dengan
rekan kerja.Perilaku birokrasi yang demikian dapat ditemui pada saat pengurusan pembuatan surat
perizinan, yang tidak tepat waktu akibat penundaan suatu pekerjaan, di samping kurang adanya
kerjasama dengan diantara pegawai kerja untuk menyelesaikan surat perizinan sesuai waktunya.

Demikian pula keprihatinan yang ditujukan atas budaya kerja dan praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) di lingkungan birokrasi yang terus berlangsung tanpa ada gejala pengendalian
yang ketat. Selain itu gejala menunda pelayanan ketimbang melanjutkan pelayanan jika pimpinan
tidak hadir merupakan gejala tersendiri, betapa keadaan birokrasi dalam memberikan pelayanan
publik sangat rendah. Lebih lanjut gejala tersebut dapat dilihat pada Tabel I berikut ini.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 14


Tabel I
Inisiatif Pelayanan Birokrasi Saat Pimpinan Tidak Ada

Jenis Tindakan Sumatra Barat D.I. Aceh Sulawesi Selatan


(%) (%) (%)
Penundaan Pelayanan 37,3 43,1 49,7
Bantuan rekan kerja 15,3 27,4 10,7
Inisiatif sendiri 47,4 29,5 39,6
Total 100 100 100
N= 912 N= 287 N= 325 N=300
PSKK-UGM : 2002

Namun demikian, pemerintah sebenarnya telah dan terus mengupayakan peningkatkan kualitas
SDM aparat birokrasi. Berbagai pendidikan dan pelatihan (Diklat) baik diklat gelar , non gelar,
maupun diklat jangka pendek, jangka panjang di luar dan dalam negeri, terbuka kesempatan kepada
seluruh birokrat yang memiliki keinginan mengikuti pendidikan dan pelatihan. Kesempatan ini
sangat baik terutama bagi mereka yang tingkat pendidikannya SLTA ke bawah untuk melanjutkan
ke jenjang yang lebih tinggi minimal sarjana. Demikian juga aparat yang memiliki tingkat pendidikan
sarjana dan master diberi kesempatan yang sama untuk melanjutkan pendidikan program master dan
doktor.

Di sisi lain bahwa birokrasi masih tambun yang berimplikasi pada kurang efisien dan
efektifnya dalam melaksanakan tugasnya. Di samping itu, sumberdaya manusia aparatur dalam
menjalankan birokrasi masih banyak diisi oleh sumberdaya manusia aparatur yang kurang kompeten
pada bidangnya serta mental dan niat baik untuk mewujudkan birokrasi yang bermartabat masih
rendah. Kondisi yang demikian, masih membutuhkan penataan ulang kelembagaan agar menjadi
instrumen pemerintahan yang bersih, kredibel, efektif dan efisien dalam menjalankan fungsi dan
perannya sebagai pelayan masyarakat.

Kemudian di era reformasi, kelembagaan birokrasi cenderung masih tambun di samping


prilaku arogansi yang dimiliki aparat saat berhadapan dengan masyarakat sebagai pemegang
kedaulatan. Hal tersebut terkait dengan rendahnya kesadaran aparatur bahwa kekuasaan/ kedaulatan
berasal dari rakyat dengan birokrasi hanya sebagai pelaksana dari amanat saja.

Demikian juga di tingkat pemerintahan daerah. Sebagai konsekuensi Undang-Undang Nomor.


22 tahun 1999, kemudian di ubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah
menyebabkan adanya pemekaran, pelebaran dan pembentukan PEMDA baru yang pada gilirannya
memiliki pengaruh terhadap peningkatan jumlah anggaran pemerintah untuk membiayai operasional
lembaga-lembaga tersebut dan penambahan jumlah penjabat. Implikasinya adalah semakin

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 15


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

membengkaknya birokrasi. di mana era reformasi struktur jabatan ”khususnya jabatan struktural”
semakin banyak.

Sementara itu, yang membuat birokrasi sangat lemah kinerjanya adalah mekanismenya yang
sangat hirarkis. Ini terlihat dari budaya kerja bahwa setiap pekerjaan/urusan harus menunggu
petunjuk, perintah dan persetujuan dari atasan. Akibatnya kreativitas, inisiatif dan sikap kemandirian
para birokrat kurang berkembang.

Perubahan struktur politik di era reformasi juga mengakibatkan lemahnya dukungan politik
terhadap birokrasi. Perubahan struktur kepemimpinan ternyata tidak serta merta menjadikan kinerja
birokrasi menjadi baik dan bahkan cenderung sebaliknya. Sebagai contoh, aparat birokrasi yang sejak
semula tidak memiliki netralitas politik kemudian menjadi semacam penghambat dari dalam
terhadap kinerja birokrasi di bawah kepemimpinan yang baru.

Peran-peran dominan dan bersifat monopoli oleh pemerintah di bidang pelayanan publik,
ternyata belum banyak mengalami perubahan dalam kaitannya dengan peningkatan kemampuan yang
optimal dalam melakukan pelayanan. Hal ini dibuktikan dengan masih dirasakannya infleksibilitas
dan unresponsiveness dari organisasi pemerintah dalam menawarkan dan memberikan pelayanan
kepada pelanggan. Hal tersebut terkait dengan belum banyak kelembagaan pemerintah yang didesain
sedemikian rupa sehingga mampu merespon dinamika masyarakat informasi yang terus berkembang.
Artinya perspektif tata aturan suatu pemerintah yang kaku harus mulai dipikirkan dan
dipertimbangkan perubahan kearah bondaryless organizations.

Kecenderungan orientasi birokrasi hanya kepada Negara “kepada penguasa saja” dan
mengabaikan pengabdiannya kepada masyarakat telah memberikan andil ketidakseimbangan peran
ketiga aktor baik pemerintah sendiri, masyarakat, dan sektor swasta. Kondisi yang tidak berimbang
ini memfasilitasi munculnya pemerintah dengan perilaku kurang bisa bersaing, hal ini disebabkan
pemegang monopoli tertentu pada administrasi publik tidak memberikan peluang untuk merespon
terhadap kritik.

Demikian juga orientasi kepada pelanggan internal yang berlebihan, memberikan


kecenderungan yang kurang sehat dimana agak sulit masyarakat memberikan kritik. Gejala tersebut
dapat dilihat dengan adanya kecenderungan pertumbuhan organisasi dengan struktur yang semakin
gemuk, sebaliknya oprasionalisasi dari setiap unitnya dari organisasi tersebut semakin mengecil.

Di samping itu, tidak netralnya birokrasi PNS” selama ini merupakan salah satu akar
permasalahan birokrasi pemerintah Indonesia yang menghambat kinerja birokrasi dalam merespon

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 16


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

agenda dan tantangan pembangunan. Masih banyak pengangkatan jabatan eselon I berbagai
kementerian, departemen, dan BUMN yang harus disesuaikan dengan nafas politik menterinya. Hal
ini menyebabkan tak terhindarkannya proses kooptasi dan intervensi partai politik terhadap birokrasi.
Hal tersebut merupakan dampak dari semakin meresapnya sikap, perilaku, sistem dan opini warisan
pada era sebelumnya yang tidak bisa menghindari kepentingan kelompok atau golongan tertentu
dalam mempertahankan kekuasaan. Meskipun diakui bahwa 3.622.491 PNS masih banyak yang
memiliki niat kuat untuk mewakili kepentingan masyarakat pada umumnya. Namun faktor eksternal
khususnya partai politik senantiasa tarik menarik untuk merebut hati birokrasi sehingga ada juga PNS
yang terpengaruh untuk menjadi anggota dari partai-partai tertetu walaupun itu tidak diperbolehkan
menurut aturan main yang terlihat cukup jelas misalnya Pasa13 Undang-Undang nomor 43 tahun
1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, secara tegas sudah mengamanatkan netralitas birokrasi terhadap semua golongan dan
partai politik serta tidak diskriminatif, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena
itu untuk menjamin agar PNS tetap netral maka setiap PNS dilarang untuk menjadi anggota dan/atau
pengurus dari pada salah satu parai politik. Hal tersebut sesuai dalam Pasal 3 ayat 2 dan ayat 3.

Akibat tidak dipatuhinya masalah netralitas pegawai negeri yang terdapat dalam berbagai
ketentuan di atas membuat rakyat semakin jauh dari pelayanan birokrasi yang berkualitas. Rakyat
hanya menjadi objek untuk memenangkan pemilu dan mengantarkan elit pimpinannya menjadi
pimpinan negara dan pemerintah. Setelah memenangkan pemilu, partai politik tersebut melupakan
kepentingan rakyat dengan memperkaya diri sendiri. Hal itu menunjukkan sangat lemahnya
akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada publik. Dengan kata lain, sikap dan perilaku
demokratis masih jauh dari yang diharapkan.

Selain itu, masih belum tegasnya pengaturan soal boleh atau tidaknya seorang PNS non aktif,
saat menjadi pejabat negara, untuk kembali berstatus PNS setelah selesai statusnya sebagai pejabat
negara. Ini terkait dengan posisi PNS yang menduduki jabatan struktural yang diduduki setelah
menjadi mantan pejabat negara yang kembali berstatus PNS.

Dalam bidang pelayanan publik, upaya-upaya telah dilakukan dengan menetapkan standar
pelayanan publik, dengan harapan pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan dapat terwujud.
Namun upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan
sistem dan prosedur pelayanan yang kurang efektif, berbelit-belit, lamban, tidak merespon
kepentingan pelanggan, dan lain-lain adalah sederetan atribut negatif yang ditimpakan kepada
birokrasi. Indikasi tersebut merupakan cerminan bahwa kondisi birokrasi dewasa ini dalam

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 17


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

memberikan pelayanan kepada masyarakat masih belum sesuai dengan harapan dan keinginan
masyarakat.

Latar belakang pemahaman politik yang berbeda dan kepentingan sektoral yang berbeda pula
pada birokrat juga memberikan andil dalam merepresentasikan kecenderungan perilaku yang kurang
harmoni di antara kelembagaan pemerintah. Kemampuan berkoordinasi dan fokus pada kegiatan
untuk maju bersama sukar dilakukan. Aktivitas organisasi terjadi atas hubungan antar peranan.
Masing-masing individu yang ada dalam organisasi memiliki peranan, karena peranan akan melekat
pada individu-individu atau posisi-posisi yang ada dalam organisasi. Proses koordinasi bertujuan
mengurangi salah pengertian dan konflik antara orang-orang yang melakukan berbagai kegiatan,
sehingga dapat dipastikan bahwa semua anggota bergerak ke arah tujuan yang sama. Koordinasi
harus dilakukan antar anggota, sehingga di antara anggota dapat saling mengerti dan memahami
tentang tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan tugas guna mencapai tujuan. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam koordinasi antara lain adalah adanya kesatuan tindakan, adanya pemusatan
tindakan, dan adanya pedoman dalam pelaksanaan koordinasi.

Selain koordinasi, komunikasi juga merupakan bagian penting. Komunikasi menunjukkan


proses penyampaian pesan dari sumber kepada penerima. Oleh karena itu, komunikasi akan berhasil
dengan baik apabila pesan yang disampaikan dapat dimengerti oleh si penerima pesan dan sesuai apa
yang dimaksudkan oleh sumber. Besarnya kekuatan hubungan yang bersifat formal yang dicerminkan
dalam komunikasi antara staf yang di bawah dengan yang di atasnya yang masih didominasi oleh
perasaan “ewuh-pakewuh”. Kondisi ini juga dipengaruhi masih rendahnya penggunaan alat
komunikasi bermedia dalam komunikasi antara staf pada bagian bawah dengan atasnya (Sumardjo,
1999).

2.2. FAKTOR EKSTERNAL

Birokrasi sebagai organisasi pada prakteknya tidak berada dalam ruang hampa. Sebagai
organisasi birokrasi dipengaruhi lingkungan yang terdiri dari faktor-faktor atau komponen-komponen
yang secara langsung maupun tidak langsung menentukan kinerja birokrasi. Faktor-faktor tersebut
antara lain adalah lingkungan dalam pemerintahan dalam hal ini terkait dengan sistem politik yang
ada, dinamika masyarakat yang dilayaninya, maupun lingkungan global sebagai interaksi antar
negara. Beberapa faktor pada umumnya bukan merupakan faktor-faktor yang berdiri sendiri, akan
tetapi lebih sering faktor-faktor ini saling kait-mengait dalam mempengaruhi dinamika birokrasi.

Fakta bahwa birokrasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternalnya, dapat dilihat dari
perkembangan pelaksanaan birokrasi. Sebagai sebuah organisasi yang pada awalnya didesain untuk

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 18


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

mampu melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dengan aturan dan hirarki yang sangat ketat, saat
ini mulai mengalami beberapa modifikasi dari pemikiran awal. Saat ini justru pemerintahan yang
dianggap terlalu “birokratis” dianggap tidak efektif. Pergeseran dan pemikiran kembali birokrasi yang
saat ini berlangsung tidak terlepas dari berubahnya kondisi dinamis hubungan antara negara, adopsi
demokrasi, dan meningkatnya gelombang teknologi informatika.

Birokrasi di Indonesia, dapat dipahami dinamikanya dalam kontek keterkaitan dan saling
mempengaruhi faktor-faktor yang dapat dikategorikan sebagai lingkungan eksternal. Lingkungan
eksternal yang mempengaruhi birokrasi Indonesia dapat dilihat dalam dua aspek. Pertama adalah
lingkungan global dimana dinamikanya sangat ditentukan oleh interaksi antar negara, cara pandang,
serta gelombang IT yang semakin meningkat. Kedua adalah lingkungan yang merupakan kondisi
dinamika sistem politik dan pemerintahan Indonesia, interaksi masyarakat Indonesia sebagai bangsa,
dan dinamika interaksi antara peran-peran pemerintah masyarakat dan swasta. Namun pembagian
lingkungan eksternal birokrasi semacam ini tidak serta merta membagi lingkungan eksternal yang
berpengaruh terhadap birokrasi berdiri sendiri dan terlepas satu dengan yang lain, tetapi pemahaman
lingkungan eksternal ini tetap dalam pengertian saling ada ketarkaitan satu dengan yang lainnya.
Karena faktanya dimensi lingkungan global amat mempengaruhi dinamika pemerintahan termasuk
birokrasi suatu negara.

Dalam konteks pemikiran semacam itu, lingkungan eksternal memiliki beberapa potensi
terhadap birokrasi di Indonesia. Di satu sisi adalah terdapat peluang lingkungan eksternal mampu
memberikan fasilitasi dan stimulasi terhadap semakin meningkatnya kinerja birokrasi. Di sisi lainnya
lingkungan eksternal berpotensi menjadi ancaman bagi keberadaan birokrasi. Kondisi yang terakhir
ini amat mungkin terjadi apabila biokrasi di Indonesia tidak mampu merespon atau mengantisipasi
lingkungan eksternal secara tepat.

Lingkungan eksternal strategis yang dapat menjadi peluang memicu peningkatan kinerja
birokrasi adalah adanya gelombang demoktarisasi yang menjadi mainstream pandangan global.
Kondisi menguatnya demokratisasi dapat dilihat dari perkembangan dramatis ketika Uni Sovyet
sebagai salah satu blok kekuatan besar dunia runtuh dan berakhirnya perang dingin. Kondisi yang
demikian berimplikasi pada semakin besar daya terima global, khususnya dinegara-negara dunia
ketiga terhadap implementasi demokrasi dalam kehidupan bernegara. Salah satu indikator yang paling
dirasakan dari proses demokratisasi global tersebut, adalah meningkatnya tuntutan akan penerapan
prinsip-prinsip ”Good Governance”oleh masyarakat dunia terhadap pelaksanaan pemerintahan.

Demokrasi kemudian menjadi salah satu nilai justifikasi yang menentukan daya terima
masyarakat dunia terhadap suatu pemerintahan. Implikasinya setiap pemerintahan dituntut

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 19


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

kemampuannya untuk menerapkan prinsip-prinsip demokratisasi dalam melayani masyarakat


sekaligus warga dunia. Artinya setiap negara dituntut untuk meningkatkan kemampuannya dalam
melakukan pelayanan kepada pelanggannya baik internal maupun pelanggan eksternal dengan lebih
terbuka, transparan, akuntabel, dan berdimensi dalam kerangka hukum yang kuat.

Implikasi dari meluasnya pandangan dunia mengenai demokratisasi yang menjadi idiologi
global, tidak terkecuali Indonesia. Arus pandangan global tersebut juga telah berpengaruh besar yang
pada akhirnya mengubah seluruh tatatanan pemerintahan dengan terjadinya gerakan reformasi pada
tahun 1998. Gerakan reformasi tersebut, menuntut pengelolaan pemerintahan sesuai dengan prinsip-
prinsip Good Governance, yang antara lain transparansi, akuntabilitas, taat hukum, demokratisasi,
partisipasi, desentralisasi, dan keterbukaan.

Dewasa ini, tidak dapat disangkal akses masyarakat terhadap perolehan informasi, mengalami
kemajuan yang cukup berarti dan relatif lebih mudah bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum
era reformasi. Demikian halnya, di era sebelum reformasi, kegiatan yang bersifat publik, menjadi
monopoli pemerintah, namun pada di era reformasi kegiatan-kegiatan publik, sebagian telah
diberikan dan dikelola langsung kepada swasta.

Implikasi dari kondisi yang semakin terbukanya pengelolaan kepemerintahan berimplikasi


pada semakin mulai menguatnya peranserta masyarakat dalam pengelolaan pembangunan termasuk
dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan dan
pembangunan. Di sisi lain dengan semakin tingginya peranserta masyarakat berimplikasi pada
semakin menguatnya peran-peran sipil dalam pengelolaan pembangunan.

Dikaitkan dengan keseimbangan tiga pilar dari prinsip Good Governanve yang meliputi
keseimbangan peran pemerintah, masyarakat dan dunia usaha memberikan suatu kondisi yang baik,
bagi tumbuhnya rasa kebersamaan dalam penyelenggaraan negara. Keberlangsungan penerapan
pemerintahan yang baik, dengan sendirinya akan memberikan suatu kondisi yang dinamis di dalam
proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, serta evaluasi kerja, sehingga memberikan peluang
bagi terciptanya kinerja aparatur pemerintahan sesuai harapan dan tuntutan masyarakat.

Pemikiran tersebut di atas dengan asumsi bahwa kalau peran pemerintah yang kuat, akan
mendorong penerapan secara konsistensi terhadap seluruh peraturan perundang-undangan, kemudian
kalau asumsinya peran masyarakat yang menguat mendorong terfasilitasinya pengawasan terhadap
kinerja pemerintah. Demikian halnya kalau peran dunia usaha semakin kuat, akan mendorong
menguatnya ekonomi masyarakat. Oleh karena itu kalau ketiga pilar tersebut dilakukan penguatan

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 20


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

secara terintegrasi, maka akan melahirkan suatu pemerintahan yang kokoh, kuat, bersih dan
akuntabel.

Salah satu pemikiran yang mengatakan bahwa menguatnya peran masyarakat, merupakan
salah satu indikasi kehidupan demokrasi mulai bersemai dan tumbuh (Fukuyama, 2000). Hal
terkait dengan peran masyarakat yang merupakan penyeimbang daripada peran-peran yang
dilakukan oleh pemerintah dan dunia usaha.

Namun demikian kondisi ini amat dipengaruhi sejauhmana keseimbangan selain peran
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, juga dibutuhkan saling keterkaitan dari ketiganya. Kondisi
ini mengandung pengertian bahwa pemerintah sebagai pelaksana amanah kekuasaan yang diberikan
oleh rakyat, diharapkan mampu menjadi dinamisator, sehingga rakyat mempunyai kewenangan dalam
memberikan kontribusi dan mengawasi terhadap apa yang menjadi keputusan.

Dengan demikian peluang dan kesempatan ikut dalam pembuatan keputusan (involvement ot
the citizen in decision making) benar-benar dijamin sebagai suatu hak seluruh warga tanpa kecuali.
Selain itu kesadaran dan upaya memberikan peluang yang lebih besar terhadap peran-peran
masyarakat, di dalam era reformasi telah mulai kelihatan hasilnya. Kondisi ini dapat dilihat dari
peran-peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sudah menjadi bagian aktif dalam proses
pembangunan. Peran-peran pemberdayaan masyarakat yang dilakukan LSM telah mengantarkan
proses pembelajaran yang cukup bermanfaat bagi masyarakat. Dalam satu sisi masyarakat semakin
sadar akan haknya sebagai warga negara, di sisi lain pemerintah juga semakin menyadari akan arti
penting melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang pada hakekatnya
menyangkut kepentingan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pembangunan
berorientasi masyarakat memberikan ruang bagi masayarakat untuk menemukenali masalahnya
sendiri untuk kemudian dicarikan pemecahannya, dengan fasilitasi dari pemerintah. Jadi peran
fasilitasi untuk memberdayakan masyarakat memberikan suatu iklim yang kondusif, sehingga
birokrasi perlu terus berbenah diri dalam memperbaiki kenerjanya terkait dengan kemampuan
bagaimana melakukan birokrasi proses fasilitasi tersebut dapat dijalankan dan dioptimalkan.
Pemikiran ini menghantarkan pada kehidupan yang melaksanakan aktivitas edemocracy, panel warga,
focus group, referendum, dan bentuk lainnya sebagai bagian urgen bagi pemerintah untuk terus
meningkatkan kemampuannya, yang berarti mendekatkan hasil kinerja dengan harapan dan
kebutuhan yang menjadi khalayaknya.

Implikasi lain mulai menguatnya demokratisasi di Indonesia adalah semakin menguatnya


tuntutan untuk memperoleh pelayanan publik yang lebih baik dari birokrasi. Keadaan ini banyak
dilatarbelakngi oleh kesadaran terhadap hak-hak sebagai konsumen yang telah melakukan

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 21


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

kewajibannya dalam hal ini membayar pajak. Kesadaran terhadap hak diartikulasikan dalam bentuk
tuntutan perbaikan pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah, yang diharapkan terdapat
pelayanan publik yang “ faster, cheaper, better…”.

Aktifitas pelayanan yang berorientasi pelanggan dalam arti sebenarnya dengan demikian
menjadikan birokrasi tidak boleh lagi berorientasi hanya kepada pelanggan internal, yakni
pemerintah. Karena dalam pengertian pelanggan maka pelanggan sesungguhnya adalah pelanggan
eksternal dalam hal ini masyarakat luas. Kemampuan memberikan pelayanan yang lebih baik akan
dapat dilakukan apabila pemerintah mampu untuk menilai secara seksama, apakah sebenarnya
kebutuhan para pelanggannya.

Dalam konteks pelayanan ini, upaya memberikan pelayanan yang lebih baik oleh pemerintah
salah satunya dengan melakukan desentralisasi sebagaimana diamanatkan dalam UU No 32 dan No
33 tahun 2004. Dengan demikian desentralisasi merupakan salah satu jawaban untuk mendekatkan
dan mengefektifkan pelayanan kepada pelanggan. Asumsinya pemerintah daerah yang kemudian
memiliki kewenangan, memiliki pelanggan sendiri-sendiri dengan karakteristik yang berbeda-beda.
Desentralisasi yang memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah merupakan
peluang yang menguntungkan dilihat dari perspektif upaya mengoptimalkan dan upaya membuat
pelayanan lebih tepat sasaran dan berdaya guna. Prinsip dasar yang terkandung dari kedua UU
tersebut adalah keinginan untuk meningkatkan pelayanan yang lebih tepat, lebih baik, lebih responsif
dalam kepada masyarakat. Asumsinya adalah pemerintah daerah yang paling mengetahui masalah
dan kebutuhan masyarakatnya.

Dengan demikian, sesungguhnya birokrasi Indonesia saat ini, reformulasi kembali paradigma
pengelolan pelayanan. Reorientasi dimaksudkan bahwa tuntutan pelayanan secara menyeluruh tidak
lagi dilakukan secara terpusat, tetapi telah dapat dilaksanakan oleh pemerintah Daerah. Kemampuan
menangkap momentum ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi birokrasi di Indonesia.

Selain demokratisasi keadaan dunia saat ini berbeda jauh dengan dunia sebelumnya ketika era
teknologi informasi (TI) belum hadir, dunia saat ini seperti sebuah desa global dengan sekat-sekat
geografis dan kewilayahan semakin kabur sebagai akibat perkembangan TI yang begitu pesat.
Gelombang kecepatan teknologi informasi telah menghantarkan perubahan-perubahan yang sangat
cepat. Teknologi informasi juga telah merubah perkembangan global yang jauh berbeda dibanding
sebelum era informatika lahir. Kejadian apapun mengenai suatu pemerintahan di belahan bumi
manapun dapat disaksikan pada saat yang sama di belahan bumi lainnya. Era teknologi informasi
yang semakin cepat telah memberikan suatu implikasi bahwa informasi menjadi sesuatu yang sangat
penting. Gelombang atau fase menguatnya teknologi informasi telah memberikan ruang hidup

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 22


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

tersendiri bagi birokrasi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Teknologi informasi telah
menghantarkan kehidupan dunia yang semakin tidak ada batasnya. Suatu gagasan atau ide yang
berasal dari tempat lain akan sangat mudah diketahui, didialogkan, dan apabila bermanfaat pastilah
akan diadopsi. Budaya dari belahan dunia manapun mudah untuk diketahui.

Informasi yang cepat diterima akan menimbulkan pemaknaan atas informasi. Apabila suatu
informasi berkenaan dengan pemerintahan dan pelaksanaan birokrasi di suatu negara dinilai baik,
maka akan memunculkan efek image yang baik terhadap pemerintahan tersebut. Dan kondisi seperti
ini mendatangkan implikasi lebih luas berkenaan dengan persepsi terhadap bangsa, kualitas
pemerintahan, stabilitas politik, dan banyak aspek lainnya. Pada gilirannya informasi yang diterima
oleh warga dunia akan berimplikasi pada sejauh mana warga dunia merespon untuk menanamkan
investasi, sejauhmana rasa keamanan dapat tumbuh dan sejauhmana suatu pemerintahan dipercaya
oleh warga dunia.

Pada perkembangan selanjutnya tuntutan kinerja birokrasi kemudian diukur dengan indikator-
indikator yang sama dengan kinerja birokrasi di tempat lain. Dengan demikian TI telah
mengahantarkan semakin diterimanya produk massal berupa gagasan oleh penduduk dunia.
Tersedianya TI dalam mendukung metode dan mekanisme kerja: e-government, e-procurement, e-
business, e-audit atau tesedianya TI dalam mendukung kerangka hukum dan kebijakan: semisal
cyberlaw, telecourt. Terkait dengan kondisi seperti ini, maka birokrasi Indonesia memiliki peluang
untuk mampu mendongkrak kinerja pemerintah dengan memanfaatkan teknologi yang semakin
berkembang. Teknologi informasi mampu dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya menyerap informasi
dari pelanggan (masyarakat) secara cepat dan murah. Pengetahuan yang tepat terhadap harapan dan
kebutuhan pelanggan pada dasarnya diharapkan dapat memberikan implikasi kemauan meningkatkan
kompetensi, kemampuan untuk menggali potensi dan cara baru guna meningkatkan daya saing atau
melakukan aliansi strategis (innovator entrepreneual bureaucracy) seiring dengan tuntutan
perkembangan teknologi yang semakin cepat.

Selain gelombang demokratisasi dan era teknologi informasi, maka faktor global yang dapat
menjadi peluang dan tantangan bagi birokrasi di Indonesia adalah semakin terintegrasinya ekonomi
regional dan dunia yang mewujud dalam kelembagaan mengatur ekonomi bersama seperti AFTA,
APEC, WTO. Dalam kesepakatan dan teritegrasinya perekonomian dunia terkandung pesan singkat
baik bahwa kemampuan beradaptasi dan berkompetisi dalam memuaskan pelanggan (masyarakat)
dimanapun menjadi standar dan nilai yang amat vital. Artinya pemerintah di setiap negara dituntut
untuk memperbaiki kinerjanya sehingga mampu memberikan standar pelayanan yang berimplikasi
pada kemampuan bersaing dengan negara lain yang pada gilirannya merupakan upaya

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 23


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

mempertahankan eksistensi diri bangsa dan negara, dan upaya merealisasikan cita-cita bangsa yakni
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Kemampuan bersaing suatu negara dalam konteks ini dipengaruhi oleh seberapa cerdas suatu
pemerintah mampu mengelaborasi potensinya untuk meningkatkan kemampuannya dan seberapa
kompeten birokrasi mampu merespon dan melaksanakan fungsinya dikaitkan dengan tuntutan
kualitas yang semakin deras. Kemampuan birokrasi dalam merespon dan beradaptasi dengan
dinamika lingkungan seperti ini akan berpengaruh terhadap “daya jual” suatu negara sehingga negara
atau warga negara lainnya tertarik berinvestasi. Dan kondisi ini mampu memberikan dinamika yang
lebih besar dalam memutar roda perekonomian negara tersebut. Terintegrasi ekonomi dunia dapat
dikatakan berpotensi menjadi peluang bagi pemerintahan Indonesia untuk meningkatkan kualitas
pelayanan sehingga Indonesia melalui fasilitasi birokrasi menjadi salah satu negara yang
diperhitungkan sebagai tempat investasi yang dapat dipercaya. Karena ekonomi yang terintegrasi
menggunakan indikator-indikator yang sama dalam melihat dan menilai pemerintahan suatu negara.
Artinya standar minimal pelayanan oleh birokrasi di Indonesia harus mampu meyakinkan para
investor bahwa Indonesia layak ditempatkan sebagai tujuan investasi.

Apa yang telah diuraikan sebelumnya pada dasarnya adalah potensi-potensi positif implikasi-
implikasi perubahan dan dinamika global yang berpengaruh terhadap dinamika di Indonesia yang
dapat dijadikan dasar perlunya meningkatkan kinerja birokrasi. Peluang-peluang tersebut akan
memberikan fasilitasi dan stimulasi sehingga birokrasi memiliki momentum untuk meningkatkan
kinerjanya. Namun demikian perlu disadari bahwa lingkungan eksternal juga memiliki suatu kondisi
yang dapat mengancam eksistensi birokrasi di Indonesia. Eksistensi dalam pengertian ini adalah
bagaimana peran birokrasi tetap aktual, mampu merespon perkembangan dan dapat diterima oleh
pelanggannya.

Dalam kutipan panjang dari The Communist Manifesto, John Micklethwait dan Adrian
Wooldridge mengutip pandangan Marx dan Engels justru dalam konteks argumentasi tentang
keniscayaan globalisasi. Menurut mereka, nabi sosialisme tersebut sesungguhnya telah meramalkan
globalisasi ekonomi yang tak tercegahkan dan punya dampak luas sekali, yang tak sepenuhnya dapat
dihadapi oleh negara-negara yang tidak siap untuk itu. Mereka berpendapat, ada paradoks dari
globalisasi berupa kuatnya dan tak tertahankannya proses globalisasi di satu pihak, dan di pihak lain
adanya kerawanan (fragility). Menurut mereka, paradoks inilah yang menjadi tantangan terbesar
dalam abad baru ini (Syahrir, 2001).

Globalisasi telah menghilangkan batas geografis bangsa-bangsa di dunia. Gagasan-gagasan


dasar penyelenggaraan pemerintahan semakin hari menunjukkan kecenderungan mengerucut pada

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 24


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

gagasan upaya melayani pelanggan internasional sebaik mungkin. Dalam konteks inilah birokrasi
Indonesia berada. Birokrasi Indonesia bersaing dengan birokrasi negara lain. Ini terkait dengan
persoalan keunggulan-komparatif kita di mata para penanaman modal internasional. Beberapa
pengusaha/pemodal yang telah membatalkan untuk menanamkan modalnya di Indonesia, karena
alasan klasik yaitu biaya-sampingan yang relatif sangat tinggi untuk membuka usaha di Indonesia, di
samping itu juga berkaitan pengurusan izin yang bertele-tele di lingkungan birokrasi, serta tidak
adanya jaminan keamanan dalam mengelola usaha. Demikian pula, masih terbangunnya asumsi di
kalangan birokrasi yang dilayani bukannya melayani. Ini terkait dengan kecenderungan birokrasi
menjadi monopoli terhadap produk layanan.

Di era reformasi birokrasi harus mampu berkompetisi dengan perdagangan internasional.


Kalau birokrasi yang berbelit-belit, akan berimplikasi pada produk dagangan Indonesia di pasar
internasional lebih mahal dibanding barang serupa dari negara lain akibat biaya yang tidak tertuga
yang membengkak. Ekonomi biaya tinggi, yang antara lain diakibatkan oleh cara kerja birokrasi yang
tidak profesional, menjadikan daya-saing kita lemah. Akibatnya kegiatan produksi dan industri pada
umumnya menurun. Banyak tenaga kerja kemudian menganggur, atau terpaksa menyelundup ke
Malaysia dan menjual harga diri di Arab Saudi untuk mencari penghidupan (Wibawa, 1998).

Dengan memahami fenomena globalisasi akan memberikan kesadaran bahwa kinerja birokrasi
kita senantiasa dipantau oleh orang lain. Maka ketika birokrasi Indonesia belum menunjukkan kinerja
yang optimal berdasarkan lembaga-lembaga pemantau Internasional, maka yang terjadi adalah
investasi ke Indonesia tidak bergerak, karena investor berprinsip wait and see. Dengan demikian,
pemahaman globalisasi tidak sekedar kondisi keterkaitan antar negara, lebih jauh dari itu adalah
pencitraan yang tercipta dari kinerja Birokrasi Indonesia yang berdampak terhadap perekonomian
Indonesia, yang pada perkembangan selanjutnya berdampak pada kesejahteraan bangsa Indonesia.

Atas kondisi ini maka Niall Ferguson mencoba menjelaskan betapa birokrasi yang memungut
pajak, parlemen atau lembaga demokrasi, utang nasional dan Bank Sentral, terkait satu sama lain dan
bila lembaga-lembaga tersebut kurang berfungsi secara baik, maka akan diperoleh masalah yang
cukup serius dari sisi bagaimana suatu sistem demokrasi berlaku (Syahrir, 2001). Pernyataan atas
kondisi birokrasi yang kurang baik sebagaimana diungkapkan di atas, memberikan pengertian bahwa
Birokrasi akan berdampak kepada pencitraan Indonesia di luar dan memberikan kontribusi yang
kurang optimal dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan publik,
regulasi, proteksi maupun distribusi.

Bila kita lihat birokrasi dewasa ini, memang sulit untuk bersikap optimistis dalam membangun
kinerja yang lebih baik dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Sebagai illustrasi

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 25


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

bahwa birokrasi yang ada sekarang dapat efektif menjadi institusi tugas dan fungsi memungut pajak
dari masyarakat, bilamana birokrasi itu sendiri tidak memiliki kemampuan dan kejujuran sesuai yang
dibutuhkan dalam melaksanakan tugasnya. Demikian halnya bagaimana mungkin birokrasi sebagai
organisasi yang melaksanakan dan mengaktualisasikan fungsi-fungsi pemerintah seperti pelayanan
publik, regulasi, proteksi dan distribusi, kalau kemampuan untuk melaksanakan masih jauh dari
harapan masyarakat. Sehingga harapan dari keseluruhan fungsi-fungsi tersebut belum mampu
mencerminkan yang lebih baik sampai di era reformasi dewasa ini.

Birokrasi sebagai mesin dari pemerintah, pada dasarnya memproduksi barang baik dalam
bentuk benda maupun jasa untuk kepentingan seluruh warga tanpa kecuali. Namun birokrasi yang
memonopoli memproduksi barang untuk kebutuhan dan kepentingan publik, kecenderungan
mengalami kesulitan pada proses produk dan layanan sampai kepada masyarakat.

Apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus, maka pelayanan yang berpihak
pada golongan tertentu saja, ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya, kecemburuan
dan disitegritas dalam kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa,
perbedaan yang lebar antara yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi
yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara
keseluruhan.

Kecenderungan birokrasi ”yang berpihak” kepada salah satu segmen pelanggan, misalnya pada
golongan yang memiliki uang atau yang mampu membayar berpotensi untuk merusak citra birokrasi
secara institusional dan bisa berimplikasi luar terhadap keutuhan bangsa. Selain itu akan semakin
meruncingkan secara psikologis perbedaan orang kaya dan kalangan miskin (the have little). Di
samping harapan birokrasi sebagai institusi yang netral sesuai amanah UU Nomor 43 Tahun 1999,
relatif belum dilaksanakan secara utuh. Itu dapat dilihat bagaimana oknum tertentu yang senantisa
mendekatkan diri atau berafiliasi pada partai politik tertentu untuk mendapatkan suatu jabatan
tertentu. Di samping itu aparat birokrasi masih melakukan aktivitas ekonomi baik pada waktu jam
kerja maupun sesudah jam kerja, yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan
keluarganya.

Hal lain yang perlu dicermati dalam perilaku birokrasi kita adalah netralitas terhadap
pemimpin terpilih. Terdapat kecenderungan bahwa birokrasi umumnya cenderung melakukan afiliasi
politik terhadap pemerintah berkuasa. Gejala ini berdampak negatif terhadap suportifitas pelayanan
kepada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, salah satu pertimbangan penting yaitu perlunya
memperkuat netralitas birokrasi, adalah untuk menjaga kemampuan melayani pelanggan internal
maupun eksternal tanpa diskriminatif. Karena apabila tidak demikian maka sesungguhnya reformasi

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 26


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

politik yang sedang dijalankan akan menemui batu sandungan ketika birokrasi belum mampu
menempatkan dirinya dalam koridor netralitas. Pada saatnya lemahnya kemampuan untuk bersikap
netral akan menyebabkan terjadinya stagnasi Reformasi.

Pemerintah Indonesia dalam perkembangannya telah berusaha merespon dinamika lingkungan,


dengan memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah untuk menyelenggarakan pengelolaan
daerahnya. Implementasi UU No. 32 dan 33 tahun 2004 telah mengisyaratkan komitmen pemerintah
dalam menyikapi dinamika masyarakat. Namun dalam implementasinya otonomi daerah masih
memunculkan fenomena-fenomena yang sebenarnya tidak diharapkan. Fenomena yang dimaksud
adalah kurangnya keterkaitan kegiatan antar wilayah, munculnya daerah-daerah miskin baru karena
kompetisi yang tinggi antar wilayah, meningkatnya keinginan untuk meningkatkan pembanguna di
daerahnya sendiri tanpa memperdulikan daerah lain, potensi peningkatan disparitas antar-daerah
karena perbedaan sumberdaya yang dimiliki, dan kecenderungan konflik pengelolaan SDA antar
daerah dan antara daerah dengan pusat. Terdapat banyak alasan yang berusaha memberikan argumen
terhadap kondisi ini. Namun bila di kelompokkan maka alasan munculnya fenomena yang cenderung
dapat dikategorikan negatif tersebut adalah:

• Cukup lamanya berada dalam kondisi sistem pemerintahan yang sentralistik telah memberikan
nuansa yang kuat munculnya distrust antar daerah.

• Birokrasi yang merupakan organisasi yang memberikan pelayanan sejak lama telah dikenal
sebagai organisasi yang mengabdi kepada penguasa, sehingga orientasi pelayanan di daerah
pun masih memiliki nuansa yang kuat mengabdi kepada penguasa daerah

• Kerangka pemikiran otonomi belum dimaknai secara benar. Pemikiran yang menguat adalah
bahwa otonomi daerah adalah upaya untuk mengelola daerah dengan sumberdaya sendiri untuk
kesejahteraan masayarakatnya sendiri. Dalam konteks pengertian ini terdapat pemahaman yang
cenderung memaknai otonomi dengan bekerja secara sendirian. Semestinya otonomi adalah
upaya untuk memaksimalkan peran daerah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat untuk
menjadi lebih sejahtera dengan jalan memampukan masyarakat, menjalin sinergi, dan
mengkonstruksi aktivitas yang dapat memberikan kontribusi yang menguntungkan pada
daerah-daerah yang saling bersinergi.

Kondisi semacam ini merupakan fenomena yang harus dihadapi oleh birokrasi di Indonesia.
Dengan demikian tantangan terbesar birokrasi adalah bagaimana birokrasi mampu menjalankan
kinerja yang mampu mempererat daerah dalam bingkai NKRI.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 27


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

Pemahaman terpenting dari paparan kondisi birokrasi Indonesia adalah bahwa bergeraknya
roda reformasi politik, akan sulit mencapai hasil maksimal seandainya belum dibarengi dengan
reformasi birokrasi. Bila reformasi politik merupakan upaya meletakkan prinsip-prinsip demokrasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka reformasi birokrasi merupakan upaya untuk
mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi dalam konteks pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah yang
penting yaitu pelayanan publik, regulasi, distribusi dan proteksi.

Banyak masalah yang melingkupi birokrasi di Indonesia, baik secara internal maupun eksternal
di mana birokrasi berada. Kajian ini diarahkan untuk mengoptimalkan kekuatan–kekuatan birokrasi
dan meminimalkan atau bahkan meredusir kelemahan-kelemahan yang ada untuk menangkap peluang
dan mengantisipasi tantangan dan ancaman yang semakin hari semakin bertambah dan semakin
kompleks.

Apabila dicermati maka pada dasarnya terdapat beberapa hal penting yang sesungguhnya
merupakan kekuatan-kekuatan birokrasi di Indonesia. Dan apabila kekuatan ini dapat dimanfaatkan,
pastilah berpotensi menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan birokrasi sebagaimana diharapkan.
Kekuatan-kekuatan tersebut yaitu bahwa birokrasi ditinjau secara kelembagaan telah memiliki
perangkat yang memadai. Yang dimaksud perangkat disini adalah keberadaan organisasi yang jelas,
SDM yang cukup besar untuk mengawaki birokrasi disamping adanya kecenderungan peningkatan
keterampilan karena adanya sistem pelatihan yang berjalan cukup baik, dan sebenarnya juga terdapat
sistem manajemen yang mampu mengoperasionalkan sekaligus pola pengawasan fungsi-fungsi
pemerintah yang menghasilkan pelayanan kepada masyarakat. Selain adanya sistem pengawasan
internal yang relatif cukup baik, terdapat kondisi atau iklim kehidupan demokratis yang semakin
meningkat yang dapat ditunjukkan dengan semakin menguatnya peran pers sebagai salah satu
instrumen penting dalam kehidupan demokrasi. Ditambah lagi implmentasi otonomi daerah
merupakan harapan baru yang memberikan ruang gerak birokrasi untuk lebih mendekatkan pelayanan
kepada masayarakat dan lebih akurat mengenali kebutuhan masyarakat.

Di samping kondisi-kondisi yang bersifat positif tersebut, harus diakui terdapat beberapa
kelemahan yang masih melekat pada birokrasi Indonesia yang secara umum dapat disebutkan antara
lain masih belum kuatnya posisi birokrasi terkait dengan relasinya terhadap pemerintah berkuasa.
Dalam hal ini terdapat kecenderungan bahwa birokrasi masih belum mampu membuat orientasi yang
berimbang antara pelayanan terhadap pelanggan internal dengan pelanggan eksternal, berturut-turut
hal ini adalah pelanggan negara sendiri dan pelanggan masyarakat. Jadi masih terdapat
kecenderungan birokrasi mengabdi kepada kepentingan pemerintah berkuasa. Kondisi seperti inipun
terjadi di daerah.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 28


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

Dalam konteks lokal terdapat beberapa pemahaman umum bahwa implementasi otonomi
daerah ternyata masih dimaknakan secara tidak tepat, sehingga terjadi proses seakan-akan
“pengaplingan wilayah” sebagai implementasi pemahaman otonomi yang bersifat kewilayahan.
Kemandirian belum dimaknakan sebagai peluang sinergi dan membentuk networking antardaerah,
tetapi justru terdapat kecenderungan meningkatkan persaingan yang ujung-ujungnya kurang
bermanfaat kepada masyarakat. Terdapat beberapa kasus misalnya seperti bangunan fisik kantor
pemerintah yang demikian megah, sementara pihak lain masyarakat daerah bersangkutan belum
sejahtera.

Di samping kelemahan seperti ini terdapat kenyataan bahwa dalam implementasinya sistem
manajemen yang sudah tersedia dalam biokrasi belum berjalan sebagaimana diharapkan. Artinya
pengelolaannya masih belum berjalan on the right track. Kondisi-kondisi ini memunculkan
menyuburnya penyimpangan pelaksanaan, koordinasi yang belum berjalan antar lembaga, dan masih
lemahnya merit sistem aparatur di kalangan pelaksana birokrasi. Demikian pula, dapat kita lihat dari
kenyataan semakin diakuinya pandangan sinis, bahwa bila bekerja sebagai PNS, maka antara
seseorang yang berprestasi atau tidak berprestasi tidak terdapat perbedaan disebabkan reward-nya
sama saja.

Apabila kondisi ini terjadi terus menerus, maka bukan tidak mungkin reformasi politik yang
saat ini terus bergulir dan sedang berproses, tidak akan mencapai hasil maksimal, dan pada
perkembangan selanjutnya terjadi stagnasi reformasi. Kondisi semacam ini bukan tidak mungkin
mengingat proses reformasi politik yang berlangsung, tanpa secara simultan disertai dengan reformasi
birokrasi akan semakin membuat masyarakat tidak puas. Pada perkembangan selanjutnya masyarakat
akan apatis terhadap perkembangan reformasi yang sedang berjalan.

Pada faktanya terdapat tantangan dan ancaman yang besar bila birokrasi tidak segera dibenahi.
Rakyat yang semakin sadar dan tahu politik, kehidupan dunia pers yang semakin meningkat, sudah
pasti akan memunculkan tuntutan-tuntutan pelayanan yang semakin besar dan meningkat dari segi
kualitas maupun kuantitasnya. Fakta yang lain adalah semakin terintegrasinya dunia dalam
kelembagaan-kelembagaan ekonomi bersama, pandangan dunia yang semakin meningkat (menjadi
mainstream) terhadap perspektif kehidupan demokratis, yang memiliki konsekuensi hanya
pemerintah dan birokrasi yang credibel, akuntabel, transparan, dan terbuka, dan memiliki kerangka
hukum yang jelas yang akan eksis dan diminati warga dunia untuk memutar roda ekonomi melalui
investasi.

Pemahaman terhadap kekuatan dan kelemahan birokrasi dengan lingkungan strategis eksternal
yang dapat mengancam birokrasi sendiri dan keseluruhan pemerintahan yang melayani rakyat

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 29


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

Indonesia, memberikan pemaknaan lain bahwa masih terdapat peluang yang sangat berpotensi
mengangkat birokrasi untuk lebih berperan optimal sebagaimana diharapkan dan diamahkan. Dengan
kesadaran kekuatan dan kelemahan serta tantangan yang dihadapi, sebenarnya birokrasi memiliki
peluang meningkatkan kinerja justru dalam konteks semakin derasnya tuntutan perbaikan, semakin
meningkatnya partisipasi masyarakat dan kesadaran politik, serta standar yang jelas dari dunia
Internasional mengenai kinerja birokrasi yang baik.

Dari paparan diatas dapat dicermati bahwa secara keseluruhan terdapat faktor-faktor yang bisa
mendorong timbulnya pembaharuan aparatur negara/pemerintah terkait dengan birokrasi sebagai
sistem (Thoha, 2004) yaitu:

ƒ Adanya kebutuhan melakukan perubahan dan pembaharuan

ƒ Memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis nasional

ƒ Memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis global

ƒ Memahami perubahan yang terjadi dalam paradigma manajemen pemerintahan

Dengan demikian terdapat beberapa pemikiran terkait dengan pembenahan birokrasi yang
mempertimbangkan lingkungan strategis internal dan eksternal serta birokrasi, yakni:

Pertama, seiring dengan berjalannya reformasi politik, maka reformasi birokrasi dapat segera
diupayakan dengan menguatkan kembali kemampuan untuk berperilaku kredibel, akuntabel,
transparan, keterbukaan, dan kerangka hukum yang jelas sehingga menjadi ruh sekaligus jasad dari
birokrasi Indonesia. Artinya perlu diupayakan secara sungguh-sungguh agar kinerja birokrasi
berkompetensi menjadi pemerintahan yang baik dan bersih, yang mampu memberikan ruang sehingga
terjadi perimbangan peran antara pemerintah di satu sisi, dengan peran swasta dan masyarakat di sisi
lainnya.

Kedua, Selaras dengan semakin menguatnya tuntutan terhadap penerapan dan aktualisasi tata
kepemerintahan yang baik, maka harus diupayakan suatu upaya sungguh-sungguh dan terencana
dalam rangka menginternalisasikan prinsip-prinsip good governance (GG) sebagai nilai dalam
keseluruhan pelaksanaan birokrasi. Artinya harus terdapat suatu sistem yang menjamin agar GG tidak
hanya sekedar paradigma, akan tetapi merupakan nilai yang teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari,
utamanya tercermin dalam kerangka keseimbangan peran pemerintah, masyarakat, dan swasta.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 30


Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

Keadaan ini memerlukan daya dukung lingkungan (sistem dan kelembagaan) dan kemampuan
aparatur SDM.

Ketiga, Dorongan kebutuhan untuk perubahan dalam rangka merespon dinamika lingkungan
lokal dan global yang semakin kompleks dan penuh persaingan memerlukan dukungan kompetensi
dari SDM aparatur. Keberhasilan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah akan sangat ditentukan
seberapa kompeten SDM aparatur dalam memegang jabatannya (Jobs). Implikasinya diperlukan suatu
upaya untuk menjamin agar terjadi proses pembelajaran yang berkesinambungan dan peningkatan diri
terus-menerus dan upaya terencana untuk mengidentifikasi kesenjangan kinerja dan merespon dengan
solusi yang tepat dan efektif.

Keempat, kesadaran terhadap implementasi fungsi-fungsi penting pemerintah pada dasarnya


mengerucut pada pelayanan publik yang optimal. Artinya harus diupayakan dengan sungguh-sungguh
agar birokrasi memiliki kompetensi orientasi pelanggan internal dan eksternal yang jelas dan
berimbang. Sehingga tidak dikenal lagi birokrasi yang melayani dirinya sendiri atau hanya melayani
Pemerintah, birokrasi yang tidak memiliki ukuran dasar (bottom line) untuk dinilai kinerjanya, dan
tidak dikenal lagi birokrasi yang mewujud sebagai agen yang berpotensi memunculkan polarisasi
karena perbedaan pemberian pelayanan terhadap kelompok masyarakat berpunya (the have) dengan
kelompok masayarakat yang kurang beruntung (the have not atau the have little).

Kelima, Pelaksanaan desentralisasi yang pada ujungnya adalah memeratakan kesejahteraan dan
keadilan serta semakin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dengan upaya desentralisasi
melalui otonomi harus tetap menjaga kesatuan dalam bingkai NKRI yang mewujud pada otonomi
masyarakat dan bukan pada otonomi wilayah. Artinya harus diupayakan dengan sungguh-sungguh
pemerintah daerah yang mampu menjalin sinergi (networking) dengan pemerintah daerah lain, dan
juga pemerintah pusat untuk mengupayakan orientasi pelayanan yang tepat terhadap masyarakat.
Dengan demikian tidak dikenali lagi birokrasi pemerintah daerah yang menjalankan fungsi-fungsi
dengan hanya bersandar pada sentimen kedaerahan yang berujung pada egoisme daerah dan
menjebak birokrasi untuk hanya melayani kepentingan pemerintah daerah, tetapi melupakan substansi
dan esensi fungsi pemerintah yang melayani masayarakat.

Kelima pemikiran di atas pada dasarnya adalah upaya-upaya yang perlu dipikirkan dalam
membenahi birokrasi, terkait dengan interaksi ligkungan strategis internal birokrasi dan lingkungan
eksternal birokrasi Indonesia yang harus dihadapi. Konsekuensinya pemikiran-pemikiran ini perlu
dipertajam sehingga dapat memberikan arah yang jelas bagaimana upaya membenahi birokrasi yang
lebih sistemis, terstruktur, dan menukik pada akar masalah birokrasi. Diharapkan pendalaman

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 31


terhadap pemikiran ini menghantarkan pada penjabaran yang lebih jelas terhadap faktor-faktor atau
determinan-determinan yang melingkupi masalah birokrasi.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 32


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

BAB III
ISU STRATEGIS REFORMASI BIROKRASI

Pemahaman terhadap kata “birokrasi” dalam masyarakat umumnya mengarah kepada suatu
pemaknaan dengan konotasi yang negatif. Walaupun pengertian awal dari birokrasi sebenarnya
adalah merujuk pada proses dan ketatalaksanaan untuk mengatur urusan-urusan publik dengan segala
maksud untuk memudahkan, memperlancar proses (birokrasi weberian), namun pada saat ini konotasi
birokrasi memiliki stigma yang tidak baik. Kata birokrasi sering diasosiasikan dengan perilaku
pemerintah yang merujuk pada inefisiensi, kelambanan, berbelit-belit, dan nada miring lainnya. Bila
ditelaah lebih jauh pemaknaan dengan diskripsi dari sekumpulan karakter tidak baik yang
menunjukkan betapa frustrasinya masyarakat ketika berhubungan dengan organisasi publik yang
terlalu “birokratis”. Kondisi seperti ini kemudian memunculkan kerancuan hubungan antara
pemerintah dengan rakyat yang dilayaninya.

Dalam pemerintah dengan rakyat dalam kehidupan berbangsa, maka semua level yang
dianggap pemerintah (government) pada hakikatnya memperoleh mandat dari rakyat sebagai
pemegang kedaulatan. Artinya pemerintah dalam hal ini memperoleh sebagian kekuasaan dari rakyat
untuk melaksanakan proses fasilitasi atas kebutuhan rakyat yang bervariasi, beragam keinginan, dan
beragam status sosial budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Birokrasi yang tidak berjalan sebagaimana diharapkan dapat dilihat dari dampak yang
ditimbulkan dari input, proses, dan output dari pelaksanaan konsep administrasi publik. Dalam
konteks ini maka pemahaman terhadap birokrasi yang belum optimal menjalankan fungsinya dapat
dipahami pada aspek kelembagaan, manajemen, dan sumberdaya manusia aparatur yang mengawaki
birokrasi. Selanjutnya sebagaimana telah dijabarkan dalam uraian sebelumnya maka pemahaman
terhadap birokrasi dalam kerangka untuk membenahi birokrasi harus dilihat secara seksama pada
faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan birokrasi sebagai organisasi, dan faktor-faktor
peluang dan ancaman di mana birokrasi tersebut berada.

Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya kalau menempatkan birokrasi pemerintah menjadi
salah satu prioritas pembangunan nasional 2005-2009, karena keberhasilan pembangunan lainnya
sangat tergantung pada kinerja birokrasi. Dengan demikian reformasi bidang lainnya tidak akan
berjalan dengan baik tanpa terlebih dahulu ada mereformasi birokrasi pemerintah. Untuk itu, sudah
sepatutnyalah pemerintahan terlebih dahulu melakukan reformasi di lingkungan birokrasi pemerintah
agar birokrasi mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih efisien dan efektif. Tujuan dari

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 33


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

mereformasi birokrasi ini adalah untuk menciptakan suatu kepemerintahan yang baik dengan
didukung oleh aparatur pemerintahan yang handal, profesional, inovatif, efektif dan kreatif.

Sejak reformasi bergulir, masyarakat mengharapkan untuk dapat memiliki birokrasi yang
mampu melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan dan pembangunan yang sebaik-baiknya dan
mampu bersaing di era globalisasi. Dengan demikian, birokrasi diharapkan dapat memberikan
pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, dan secara berkesinambungan akan dapat mencapai
tujuan dan sasaran pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.

Namun, untuk mewujudkan birokrasi seperti di atas tidaklah mudah, hal ini memerlukan
telaahan mendalam terhadap permasalahan dan penyebab yang menjadi isu Strategis Reformasi
Birokrasi; di samping perlu menemukenali permasalahan utamanya, dan menentukan alternatif
kebijakan bagaimana yang harus diambil.

Dalam konteks ini maka kajian difokuskan pada isu strategis mengupayakan (a) pemerintahan
yang lebih bersih, (b) aktualisasi tata kepemerintahan yang lebih baik (good governance), (c)
kompetensi SDM aparatur yang semakin meningkat, (d) pelayanan publik yang lebih optimal dan
berorientasi pada pelanggan, dan (e) pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah berjalan sesuai
dengan tujuannya yaitu memberdayakan potensi daerahnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah yang bersih (Clean government)

Perkembangan dan upaya memperbaharui pemerintah telah banyak dilakukan, sehingga


muncul konsep-konsep yang berupaya untuk memperbaki konsep-konsep organisasi birokratis yang
pernah digagas oleh Max Weber. Tantangan perubahan jaman, dengan perkembangan teknologi
informasi berdampak kepada pola komunikasi yang jauh dari gambaran sebelumnya, yang
menjadikan dunia seakan tanpa batas (borderless). Pelanggan-pelanggan eksternal suatu organisasi
(pemerintah) tidak lagi dipengaruhi oleh batas kewilayahan geografis, akan tetapi lebih banyak
kepada kesamaan visi dan misi dan sejauh mana pemerintah mampu memenuhi kebutuhan dan
harapan pelanggan. Perubahan dan perjalanan suatu negara pada saat ini sudah banyak dipengaruhi
oleh sejauhmana kemampuan merespon cara pandang dunia, misalnya sejauhmana tingkat
implementasi demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, akan banyak
dipengaruhi oleh aktivitas warga dunia yang memiliki kesamaan pandang. Dengan demikian pada
akhirnya kemampuan suatu pemerintah merespon dinamika lingkungannya amat mempengaruhi
eksistensi dan daya survive pemerintah bersangkutan .

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 34


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

Tidak dapat dipungkiri bahwa birokrasi Indonesia masih berkutat dengan keadaan yang tidak
menyenangkan. Bentuk-bentuk penyimpangan kerap kali menjadi indikator bahwa pemerintahan
belum sepenuhnya bersih (merujuk pada pemahaman tata kepemerintahan yang baik dan bersih).
Salah satu bentuk penyimpangan (yang sudah mengakar?) adalah korupsi, kolusi dan nepotisme atau
sering disebut dengan KKN. Laporan terkahir di penghujung tahun 2003 mengukuhkan Indonesia di
urutan ke-6 sebagai negara terkorup didunia. Berdasarkan hasil survei Transparency International
(TI) dari 133 negara, Indonesia berada di urutan ke-122 dari 133 negara terkorup.

Peringkat Indonesia yang sangat parah disebabkan karena korupsi telah menjamur hampir di
semua lapisan masyarakat. Artinya aktivitas korupsi dilakukan oleh pemerintah, swasta,maupun
masyarakat luas, mulai dari level aparatur tertinggi sampai level terendah, kelompok terpelajar
maupun berpendidikan rendah. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) tahun 2003, mencapai 1,9
dari rentang angka 0 – 10, sebagaimana ditunjukkan tabel berikut.

Tabel 2. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 1998 – 2003

TAHUN IPK URUTAN

1998 2,0 80 dari 85 negara

1999 1,7 96 dari 98 negara

2000 1,7 85 dari 90 negara

2001 1,9 88 dari 91 negara

2002 1,9 96 dari 122 negara

2003 1,9 122 dari 133 negara


Sumber: Transparacy International (TI) Indonesia (2003)

Tingginya angka korupsi memang sangat memprihatinkan dan merupakan informasi bagi
bangsa lain akan betapa korupnya bangsa ini. Memang tidaklah mudah memberantas atau paling tidak
mengurangi kejahatan korupsi. Apalagi kalau korupsi telah mendarah daging atau telah berurat
berakar (entrenched corruption) dalam kehidupan masyarakat sebuah bangsa, yang merembes,
terorganisir, dan mengalir melalui ruas-ruas monopoli (Johnston dan Alan Doig, 1999). Tak pelak,
perlahan namun pasti akan mengubur sebuah bangsa menuju jurang kemiskinan yang paling dalam
dan menjadi bangsa yang tidak bermartabat atau bangsa dan negara yang berdaya saing rendah (Nur
Cholis majid, 2003). Dengan pemahaman ini maka sebenarnya terdapat fakta bahwa kinerja birokrasi
pemerintahan dinilai sangat buruk.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 35


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

Dinamika korupsi merupakan gabungan Monopoly power dan Discretion dikurangi dengan
accountability, formulanya dapat di tuliskan C = M + D – A ( Corrupution = Monopoly power +
Discretion – Accountability), (Klitgard, 1996). Korupsi terjadi bila terjadi monopoli atas barang atau
jasa tertentu, dan memiliki kebijakan untuk menerima atau menolak, serta diikuti akuntabilitas yang
samar-samar atau bahkan tidak ada. Dari konsep ini maka rendahnya akuntabilatas akan mendorong
peluang terjadinya maladministrasi dalam hal ini korupsi. Terlihat juga bahwa kelembagaan yang
memiliki peran atas monopoli jasa atau pelayanan tertentu akan mendorong terjadinya
maladministrasi bila tidak diawasi dengan baik secara berkala. Lebih jauh konsep Klitgard ini
memberikan gambaran, bahwa ketidakseimbangan peran dan konstelasi dari ketiga komponen yakni
pemerintahan, masyarakat dan dunia usaha (swasta) akan memfasilitasi dominasi peran oleh pelaku
tertentu.

Selain aspek akuntabilitas beberapa ahli mensinyalir bahwa kekuatan kepemimpinan memiliki
faktor penting dalam konteks tumbuh atau malah meredupnya korupsi dalam kelembagaan tertentu.
Dalam aspek organisasi umumnya disebabkan oleh keteladanan kepemimpinan yang lemah, kultur
organisasi kurang benar, akuntabilitas kurang memadai, kelemahan manajemen, manajemen
cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.

Sementara itu, korupsi yang terus hidup dan relatif stabil ini banyak disebabkan dan
dipengaruhi oleh lemahnya kompetisi politik, lambatnya pertumbuhan ekonomi serta belum
terciptanya masyarakat madani (civil society). Pada sisi lain, sebenarnya dalam masyarakat madani
terdapat praktek-praktek penghargaan terhadap keberagaman, fasilitasi perbedaan yang akan
memperkuat sistem demokratis dan lahirnya pemerintahan yang demokratis, (Johnston dan Alan doig,
1999). Pemerintahan yang demokratis menjalankan tata kepemerintahan yang terbuka terhadap kritik
dan kontrol dari rakyatnya. Moral disagreement dijunjung tinggi tanpa ada rasa dendam dan
dilaksanakan secara terbuka (Thoha, 2003).

Pada faktanya suatu pemerintahan yang kurang representatif dan legitimate karena sulitnya
pemilihan dan keterpilihan tidak berdasar sistem demokratis yang benar. Konsekuensinya adalah
sulitnya mencapai akuntabilitas administasi dan pemerintah yang peka terhadap tuntutan masyarakat
sehingga memunculkan ketidakbebasan aliran informasi, pembagian kekuasaan yang tidak jelas,
ketidakefektifan auditing internal maupun eksternal, tingginya praktek KKN, rendahnya kompeten
SDM aparatur, dan kebijakan yang tidak realistis.

Perlu disadari bahwa salah satu sebab munculnya maladministrasi adalah masih dianggap
panjangnya rantai birokrasi dalam pelaksanaan fungsi pemerintah terutama pelayanan publik. Untuk
menyiasati kondisi ini maka korupsi dalam bentuk suap-menyuap menjadi rumus umum untuk

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 36


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

memperpendek jalur birokrasi. Persoalannya walaupun terdapat kondisi pemotongan “alur” birokrasi
karena ada pelicin sesungguhnya kondisi ini tetap bagian yang merugikan karena mamiliki andil pada
high cost yang harus ditanggung oleh masyarakat. Dengan demikian, korupsi jelas-jelas telah
merusak sebuah kehidupan ekonomi masyarakat.

Walaupun faktanya pada batas tertentu korupsi dapat memperpendek jalur birokrasi yang rumit
dan panjang, tapi dapat dipastikan bahwa biaya barang yang diproduksi dan pelayanan menjadi lebih
mahal, meningkatkan investasi yang tidak produktif, berkontribusi terhadap menurunnya standart
kualitas pada proses pembangunan baik fisik maupun non fisik yang mengakibatkan meningkatnya
peluang berhutang (indebtedness) dan pemiskinan (inpoverishment) (Stapenhurst dan Shahrzad,
1999).

Selanjutnya penggunaan uang sebagai ukuran dalam transaksi publik (baca: pelayanan publik)
akan memperdalam jurang dan fragmentasi sosial antara si kaya dan si miskin, karena sulitnya akses
yang rendah bagi si miskin karena tidak memperoleh pelayanan layak karena tidak memiliki “alat
transaksi” (baca: uang suap). Implikasi dari kondisi ini adalah munculnya rasa ketidakpuasan,
apatisme masyarakat, pemerintah yang tidak peka, serta tumpul dalam penyelesaian pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Padahal pelaksanaan administrasi publik senantiasa diselenggarakan dalam
koridor orientasi untuk memenuhi kebuhan pelanggan. Dengan demikian sejauhmana keberhasilan
proses dan prosedur penyelenggaraan fungsi pemerintah pada hakikatnya terukur dari sejauhmana
kebutuhan dan harapan dari pelangganya terpenuhi. Dalam konteks ini adalah pelanggan eksternal
yakni masyarakat (civil society).

Suatu tatanan di mana kentalnya semangat nepotisme seringkali memberikan kondisi di mana
praktek menafikan (baca: ketidakpercayaan) terhadap keberadaan individu lain yang secara sosial
budaya berbeda dari individu lainnya. Sejalan dengan hal itu, di dalam masyarakat itu sendiri telah
terjadi kekentalan semangat etnisisme dan melemahnya kepercayaan (trust) di antara anggota
masyarakat itu sendiri (Fukuyama, 2000). Dalam batas-batas tertentu apabila modal sosial (social
capital) kian melemah, sebuah bangsa berada pada titik nadir kebangkrutan. Banyak kasus dimana
korupsi yang menggurita menyebabkan chaos, sebuah pintu emergency akibat ketidakpuasan dan
mengakibatkan bergantinya regime melalui proses kekerasan.

Dalam perspektif lain, GONE theory yang dikemukakan oleh Jack Bologne menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan meliputi Greeds (Keserakahan),
Opportunities (Kesempatan), Needs (Kebutuhan), dan Exposures (pengungkapan). Faktor-faktor
Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) kecurangan, sedangkan Opportunities

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 37


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

dan berhubungan dengan korban perbuatan kecurangan (Victim). Berdasarkan teori ini maka korupsi
dapat terjadi apabila terdapat keadaan G-O-N-E yang kondusif untuk korupsi.

Pendekatan kedua, dilihat dari faktor Internal dan eksternal, yang umum dikenal dalam bidang
kepolisian dengan formula N + K = C, (Niat + Kesempatan = Criminal). Pendekatan ini menjelaskan
bahwa suatu perbuatan kriminal (termasuk korupsi) yang dilakukan oleh pelaku dapat terjadi karena
adanya niat dari diri pelaku dan karena adanya kesempatan untuk melakukannya.

Konteks SDM dalam pendekatan kedua teori diatas terkait dengan keberadaan SDM aparatur
yang sudah ada dalam kelembagaan pemerintahan. Artinya dengan memahami bahwa KKN terus
merajalela, maka harus diupayakan suatu sistem pengobatan yang layak dan yang tepat bagi SDM
aparatur pemerintahan. Konsep Carrot and stick dalam upaya menanggulangi KKN merupakan upaya
rasional dengan meningkatkan kecukupan pada satu sisi, dan menegaskan sanksi berupa hukuman
apabila pelanggaran terjadi. Pemikiran ini relevan dengan konsep pemenuhan kebutuhan manusia di
satu sisi, kejelasan baku kinerja dengan implementasi sanksi dan penghargaan pada sisi yang lain
untuk meningkatkan kompetensi seseorang (Gie, 2003).

Pada tataran pencegahan memang sangat dibutuhkan SDM yang benar-benar memiliki suatu
kompetensi layak yang dibutuhkan pada bidang tertentu, sehingga mampu melaksanakan tugas yang
dibebankan kepadanya. Syarat kompetensi diharapkan memberikan saringan bagi individu yang layak
untuk menempati posisi yang sesuai.

Dengan melihat faktor-faktor determinan dalam upaya membersihkan KKN sebagai wujud
clean governance, maka Kepemimpinan menjadi satu faktor yang amat penting dan urgen. Hal ini
dilatarbelakangi asumsi, kepemimpinan yang kuat (dalam arti tegas), bersih, dan visioner mampu
menerapkan prinsip-prinsip pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, meningkatkan otonomi
manajerial, transparansi, akuntabilitas publik, dan menciptakan pengelolaan manajerial yang bersih
dan bebas dari KKN.

Pemberantasan KKN memang pelik dan rumit untuk dilaksanakan bila tidak ada kemauan kuat
dari semua pihak atau stakeholders yang terkait. Kerumitan ini tercermin bahwa “pemberantasan
korupsi tersebut diibaratkan lingkaran setan. Ada yang mengetahui telah terjadi kebocoran keuangan
negara tetapi tidak rela melaporkannya kepada penegak hukum. Ada yang tahu tetapi berlagak tidak
tahu atau tidak mau tahu. Ada juga yang tahu tetapi tidak mampu. Ada yang mampu tetapi tidak
boleh. Ada yang boleh tetapi tidak berani. Ada yang berani tetapi tidak punya kuasa. Ada yang punya
kuasa tetapi tidak mau. Sebaliknya ada pula yang punya kuasa, punya kemauan dan keberanian tetapi
tidak tahu” (Ismail Saleh, SH 1988).

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 38


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

Pada dasarnya Indonesia telah berupaya untuk melakukan komitmen dan implementasi
pelaksanaan bebas dan bersih dari Korupsi, kolusi, dan Nepotisme tersebut. Dan perangkat hukum
dan perundang-undangan dalam rangka bersih dan bebas KKN sebagai mana tersebut dalam tabel 3 di
bawah ini, antara lain:

Tabel 3. Perangkat Hukum dan Perundangan Dalam Rangka Bersih dan Bebas KKN

1. UU Nomor 24 Prp Tahun 1968 tentang pengusutan dan pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi
2. UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari KKN
4. Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rrekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan KKN
5. UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
KKN
6. PP Nomor 65 tahun 1999 tentang Tata cara Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara
7. PP Nomor 66 tahun 1999 tentang Persyaratan dan Tatacara Pengangkatan serta
Pemberhentian anggota Komisi Pemeriksa
8. PP Nomor 67 tahun 1999 tentang Tata cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang
9. PP Nomor 68 tahun 1999 tentang Tata cara Pelaksanaan Peranserta Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Negara
10. PP Nomor 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
11. Kepres Nomor 127 tahun 1999 tetang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara
12. UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
13. UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
14. UU Nomor 30 tahun 2002 tetang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Aturan dan perundangan dalam konteks ini digunakan untuk memfasilitasi proses-proses
pengurangan terhadap bentuk-bentuk penyimpangan. Diharapkan dalam aturan-aturan yang ada

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 39


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

terdapat proses-proses pembinaan sehingga berimplikasi munculnya pencegahan. Selanjutnya aturan-


aturan yang jelas sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan penelitian dan
penyelidikan terhadap adanya dugaan penyimpangan. Kejelasan aturan diharapkan dapat
memfasilitasi pelaksanaan sanksi yang tegas bagi pihak-pihak yang melakukan penyimpangan.

Sebagaimana telah disampaikan di depan bahwa instrumen aturan dan perundangan yang
berupaya untuk memonitor sehingga memperlemah bahkan mengeliminasi bibit-bibit KKN
sebenarnya sudah dilakukan. Persoalannya efektifitas instrumen dan perangkat hukum, belum
memiliki kemampuan yang optimal dalam menanggulangi praktek-praktek KKN. Terdapat nuansa
ketidakseimbangan yang kental dalam kondisi ini di mana pemerintah sebagai suatu komponen masih
dirasakan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan komponen swasta, dan masayarakat. Ketidak-
seimbangan antar komponen sebagai ciri tata kepemerintahan yang baik akan memperlemah daya
kontrol antar komponen yang satu dengan yang lain.

Dengan demikian perimbangan kekuasaan antar ketiga komponen akan memfasilitasi


terjadinya check and balance. Bila kondisi ini dapat tercipta maka sesungguhnya mekanisme check
and balance akan berjalan baik pada tataran internal pemegang kekuasaan dalam menyelenggarakan
pemerintahan dan pelayanan publik, antara pemerintah dan masyarakat, serta antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.

Namun demikian perlu disadari bahwa kondisi ideal sebagaimana yang diharapkan harus terus
diperjuangkan. Seringkali pelaksanaan maladministrasi sebagai bentuk manifestasi bad governance
belum disadari secara utuh. Kondisi ini, umumnya disebabkan oleh beberapa sebab antara lain: nilai
yang kondusif bagi KKN, masyarakat kurang menyadari terhadap kerugian berakibat pada
masyarakat sendiri, masyarakat kurang menyadari akan keterlibatan dalam KKN, masyarakat kurang
menyadari terhadap aktivitas pencegahan dan pemberantasan KKN butuh dukungan masyarakat,
penyalah artian pengertian-pengertian dalam budaya bangsa yang tidak tepat.

Memahami kompleksnya faktor-faktor determinan yang mempengaruhi tegaknya good


governance dan clean government, tidak bisa tidak maka peran masyarakat dalam pengawasan sangat
dibutuhkan. Pada tahap awal upaya-upaya untuk memberikan dukungan terhadap individu-individu
bersih dan konsisten yang berjumlah sedikit dalam organisasi harus mulai dilakukan. Di sisi lain
maka upaya mendorong proses akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan penguatan kerangka
hukum menjadi bagian yang tidak terelakkan. Pada akhirnya modal kesaling kepercayaan akan
memberikan penguatan untuk melaksanakan kontrol secara bersama, sehingga keseimbangan peran
antara pemerintah, masyarakat, dan swasta dapat diwujudkan.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 40


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

Sejauh ini padanan good governance dan clean government sudah sering kita dengar.
Keduanya memiliki makna tata kepemerintahan yang baik dan pemerintah yang bersih merujuk pada
suatu sistem penyelenggraan pemerintahan yang komit terhadap nilai dan prinsip kepastian hukum,
partisipasi, tranparansi, sensitivitas, professionalitas, efisiensi, efektivitas, desentralisasi, dan daya
saing. Keberhasilan mewujudkan keduanya, hanya dapat dicapai melalui keterlibatan pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha yang memiliki kompetensi, komitmen dan konsistensi serta memiliki
peran yang seimbang (check and balaces) dengan memelihara nilai-nilai kemanusiaan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu, penerapan good governance (GG)
tidak dapat dilepaskan dari peran-peran baik pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha (swasta).
Perimbangan antar ketiganya tersebut akan memberikan suatu kondisi keseimbangan yang
menghidupkan proses demokrasi di Indonesia.

Bila ditarik pada pengertian bahwa kepemerintahan didefinisikan sebagai penggunaan


kewenangan secara politis yang dipraktekkan dalam rangka mengontrol dan mengelola sumberdaya
sebesar-besar untuk kepentingan masyarakat atau warganya melalui proses pembangunan ekonomi
maupun sosial, maka pemerintah memiliki kewenangan untuk pengaturan struktur dan kelembagaan,
proses pembuatan keputusan, perumusan kebijakan, kapasitas implementasi, pengaliran informasi,
aktivitas kepemimpinan, serta upaya-upaya penertiban kehidupan berbangsa dan bernegara (Alan
Doig, 1999).

Clean governance (CG) terkait erat dengan akuntabilitas administrasi publik dalam
menjalankan tugas, fungsi dan tanggungjawabnya. Apakah dalam menjalankan tugas, fungsi, dan
wewenang yang diberikan kepadanya, mereka tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari etika
administrasi publik. Dengan demikian etika administrasi publik akan memberikan suatu peran
standarisasi baik dan buruk.

Untuk menemukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa sangat tergantung kepada hal-hal
berikut ini (Thoha, 2004):

• Pelaku-pelaku dari pemerintahan, dalam hal ini sangat ditentukan oleh kualitas
sumberdaya aparaturnya

• Kelembagaan yang dipergunakakan oleh pelaku-pelaku pemerintahan untuk


mengaktualisasaikan kinerjanya

• Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan seberapa jauh sistem pemerintahan itu harus
diberlakukan

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 41


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

• Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berkahlak (visionary), demokratis dan


responsif.

Aktualisasi Prinsip-Prinsip Good Governance

Laporan terbaru dari Forum Ekonomi Dunia (WEF, 2004) tentang global competitiveness
ranking (GCR) menempatkan Indonesia berada di urutan ke 69 dari 104 negara yang diamati.
Peringkat ini lebih baik dari tahun sebelumnya, yang mana Indonesia pada tahun 2003 menempati
urutan ke 72. Walaupun urutan ini membaik akan tetapi secara umum posisi yang membaik ini
terutama hanya unggul atas negara yang tercabik-cabik perang seperti Srilanka (73), dan filiphina
(76), serta Bangladesh (102) atau negara-negara Afrika yang berada di urutan terbawah. Penyusunan
GCR didasarkan pada tiga pilar yakni lingkungan ekonomi makro, keberadaan lembaga pemerintah,
dan kemajuan teknologi. Tiga faktor ini kemudian dinilai untuk menjelaskan seberapa jauh kemajuan
sebuah negara dibandingkan dengan negara lain. Dalam konteks ini akan berpengaruh terhadap
kemampuannya bersaing dengan negara lainnya.

Kondisi ranking Indonesia berdasar GCR dari WEF tahun 2004 ini menunjukkan seberapa jauh
sebenarnya peran-peran pemerintah, masyarakat dan swasta mampu bersinergi untuk mendinamisir
keseimbangan peran. Artinya peran-peran yang seimbang baik yang dimainkan oleh pemerintah,
masyarakat, dan swasta akan memberikan dukungan terhadap kondisi perbaikan Indonesia.

Penerapan good governance (GG) atau tata kepemerintahan yang baik, tidak dapat dilepaskan
dari peran-peran pemerintah, peran masyarakat sipil, dan peran swasta. Perimbangan antar ketiga
peran tersebut akan memberikan suatu kondisi keseimbangan yang menghidupkan proses demokrasi
di Indonesia. Nampak jelas kebutuhan bagi dilaksanakannya deregulasi dan debirokratisasi untuk
memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya peran-peran yang optimal dari ketiga domain tersebut.
Dengan demikian maka penerapan GG tidak dapat dilepaskan dari SDM dari ketiga domain baik
pemerintah, masyarakat, maupun swasta. Ini berarti seberapa jauh kepahaman, kesadaran, kemauan,
dan kemampuan para pelaksana akan memberikan pengaruh terhadap penerapan GG.

Bila dilihat dari SDM aparatur pemerintah (pelaksana birokrasi) terdapat kelemahan yang
cukup mencolok yakni adanya budaya aparatur yang belum mendukung terhadap upaya menerapkan
dan mengaktualisasikan GG. Salah satu budaya yang juga merupakan bagian dari pewarisan
pemerintah kolonial adalah adanya budaya birokrat yang ingin dilayani. Dalam konteks ini maka para
aparatur birokrasi yang seharusnya melayani justru memiliki paradigma minta dilayani. Sehingga
dalam kondisi ini terdapat pihak yang superior yakni birokrat, dan masyarakat yang inferior. Kondisi
ini lazim disebut sebagai pola patron-client.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 42


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

Pola patron-client ini telah mengakar dan menggejala hampir di keseluruhan level
pemerintahan baik di tingkat pemerintah pusat, maupun di tingkat pemerintah daerah. Kondisi ini
banyak dilatarbelakangi oleh pewarisan dan proses pembelajaran yang efektif utamanya ketika masa
sentralisasi di jaman orde baru demikian kuat. Proses pembelajaran dari para pemimpin birokrasi di
level yang lebih tinggi memperoleh peneguhan ketika kondisi hirarkis organisasi pemerintah
demikian kuat, sehingga yang terjadi adalah internalisasi nilai bahwa para pelaksana sistem birokrasi
adalah orang yang berhak dilayani oleh masyarakat yang meminta pelayanan kepadanya.

Di samping itu, kondisi politik di Indonesia yang mulai berubah sejak digaungkannya
reformasi politik dan munculnya orde reformasi, nyatanya belum sepenuhnya memberikan pengaruh
signifikan dalam proses pergeseran/perubahan paradigma pemerintah sebagai pelayan dan sekaligus
fasilitator. Gaung perubahan paradigma “sikap melayani” pada aparatur pemerintah, belum
terinternalisasi secara substansial, dan menunjukkan gejala belum berubahnya paradigma tersebut
terutama bila dilihat secara aktual dan faktual pelayanan publik. Indikasinya adalah masih begitu
banyaknya keluhan masyarakat yang mempersoalkan demikian sulitnya berurusan dengan birokrasi,
dan terdapat kecenderungan birokrasi berpihak kepada golongan masyarakat kaya.

Harus disadari bahwa lemahnya penerapan dan aktualisasi prinsip-prinsip GG banyak


dipengaruhi oleh keadaan, yang mana pada dasarnya SDM birokrasi belum sepenuhnya memahami
apa sebenarnya GG. Pemahaman bahwa GG adalah merupakan suatu syarat mutlak untuk
memperbaiki kinerja pemerintah memang sudah dipahami. Namun GG dalam konteks proses dan
bagaimana mengaktualisasikannya masih banyak yang belum memahami secara utuh. Salah satu
indikasinya antara lain adalah aspek transparansi yang merupakan salah satu dari prinsip GG yang
telah diterapkan yaitu antara lain dengan membuka dan memfasilitasi keluhan masyarakat,
memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat, akan tetapi dalam prakteknya bagaimana
mengolah informasi dan digunakan untuk sebesar-besar menjadi pertimbangan yang berorientasi
pelanggan masih belum diimplementasikan. Jadi dalam hal ini aspek transparansi hanya dipahami
dalam konteks keterbukaan saja, sedangkan aspek transparansi sebagai proses komunikasi dan
memperoleh feedback belum dipahami secara tepat. Sehingga dengan demikian komunikasi
konvergen yang diharapkan terjadi karena adanya aspek transparansi belum optimal terwujud.

Kondisi di atas mencerminkan masih lemahnya SDM aparatur dalam mengaktualisasikan GG.
Namun demikian perlu dipahami pengembangan SDM harus dilakukan secara simultan dan
merupakan sinergi dengan pengembangan organisasi. Pengembangan organisasi dalam hal ini
diarahkan pada organisasi yang memberikan ruang untuk belajar. Dengan demikian organisasi dan
peningkatan individu dalam proses pembelajaran harus mencerminkan:

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 43


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

(i) Sebuah kemampuan organisasi untuk menerima dan mengadaptasi sebagai sebuah sistem
pembelajaran. Dalam konteks ini maka organisasi memfasilitasi pemahaman terhadap aturan
baru, iklim baru, dll

(ii) Sebuah kapasitas untuk mempelajari keahlian interpersonal yang baru, semacam komunikasi,
mendorong komunikasi yang terbuka, dan penggunaan informasi secara tepat

(iii) Memunculkan sebuah iklim kelembagaan yang efektif

(iv) Memantapkan lingkungan yang memfasilitasi dan memberdayakan individu untuk mampu
bertanggung jawab, produktif dan kreatif.

Dalam pengembangan SDM terkait dengan penerapan dan aktualisasi GG, maka dapat
dilakukan pada pemberdayaan individu dan pemberdayaan kelompok. Pemberdayaan individu
meliputi proses peningkatan kompetensi. Dalam hal ini perlu bertitik tolak dari konsep perbedaan
atau kesenjangan performansi (Performance discrepancies) dimaknai sebagai selisih atau perbedaan
antara apa dan bagaimana seharusnya seseorang dalam melaksanakan jabatannya (What should be)
dengan apa dan bagaimana yang dilakukan seseorang dalam melaksanakan jabatannya (What is).

Dengan demikian suatu kebutuhan atas peningkatan pemberdayaan terkait dengan aktualisasi
GG pada dasarnya bersumber dari perbedaan atau kesenjangan antara what should be dengan What is
dalam melakasanakan pekerjaannya sesuai posisi. Perbedaan ini pada dasarnya dapat dibedakan
menjadi:

(i) lemah atau kurang baiknya seseorang dalam melaksanakan jabatan yang disandangnya saat ini

(ii) Adanya suatu tambahan tugas spesifik dalam jabatan yang sama, sehingga merupakan
pengetahuan, sikap, dan mungkin keterampilan yang baru

(iii) Adanya perubahan jabatan yang berbeda (sama sekali) dengan jabatan yang aada atau
dipegang seseorang dengan sebelumnya

Dengan demikian maka upaya mengaktualisasikan GG harus benar-benar dilakukan dengan


mengedepankan apa sebenarnya kebutuhan pemeberdayaan SDM aparatur. Pemberdayaan kemudian
dapat diarahkan pada kognitif, afeksi, dan psikomotor dengan materi GG ditambah dengan
memberian iklim yang kondusif sehingga SDM aparatur memiliki keinginan dan kemampuan untuk
belajar. Selanjutnya terdapat kesadaran untuk mengimplementasikan dalam tugas kesehariannya.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 44


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

Selain kelemahan-kelemahan yang disebabkan oleh faktor SDM, maka sesungguhnya faktor
teknologi dan sistem informasi juga memberikan pengaruh bagi belum optimalnya aktualisasi GG.
Hasil GCR WEF tahun 2004 yang menempatkan Indonesia masih belum banyak fasilitasi teknologi
dan sistem informasi yang mendukung daya saingnya. Kondisi TI di Indonesia yang masih belum
optimal lebih banyak dipengaruhi oleh rendahnya atau masih terdapat kesenjangan SDM pemerintah
dalam mengaplikasikan TI dalam pelayanan-pelayanan publik.

Selain itu belum adanya upaya yang terencana untuk mengantisipasi era TI sebagai bentuk
kemampuan pemerintah untuk melayani masyarakatnya. Kesadaran terhadap TI masih dikonotasikan
dengan biaya mahal dan sulit menjalankan atau mengoperasikannya. Dalam masa-masa dimana
informasi menjadi sangat penting dan sangat berpengaruh, lemahnya penerapan dan penguasaan TI
oleh pemerintah tentu bukan kondisi yang menggembirakan. Apabila kondisi ini berlanjut bukan
tidak mungkin Indonesia tidak mampu bersaing dengan negara lain, atau bahkan tergilas oleh negara
lain yang lebih maju TI-nya karena lebih banyak menguasai informasi.

Dengan kesadaran bahwa aktualisasi GG belum optimal, maka penting kiranya


mengedepankan proses peningkatan kemampuan SDM dan daya dukung lingkungan organisasi
(kelembagaan) dan TI. Dalam konteks ini maka peningkatan kemampan SDM aparatur harus
merupakan upaya sungguh-sungguh dan terencana dalam memberikan kesadaran, lalu menjadi
tertarik, kemudian terjadi proses evaluasi, selanjutnya dengan sadar mencoba, dan pada akhirnya
terdapat kesadaran yang jernih bahwa GG memang diperlukan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.
Kesadaran pribadi diharapkan pada fase lanjut menjadi kesadaran kolektif dari birokrasi secara
keseluruhan dalam mengaktualisasikan GG.

Implementasi GG pada dasarnya memerlukan suatu kerjasama selain kebutuhan sama-sama


kerja antar semua lembaga. Dalam konteks ini maka upaya koordinasi yang kuat menjadi suatu
kebutuhan yang tidak dapat ditawar. Implikasinya maka diperlukan suatu komunikasi yang efektif
antar lembaga sehingga terjadi saling pengertian yang baik atau mutual understanding dalam
pelaksanaan GG. Perwujudan mutual understanding yang dibangun oleh komunikasi yang efektif
sesungguhnya menjadi awal bagi perwujudan sinergi dan jaringan kelembagaan yang saling
memberdayakan (enabling networking).

Kompetensi SDM Aparatur

Salah satu upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat
adalah dengan diterbitkannya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini
merupakan konsekuesi dari penerapan pemerintahan desentralistik yang salah satu tujuannya adalah

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 45


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

adanya pembagian dan distribusi kewenangan antara pusat dan daerah agar terwujud pelayanan
secara efektif, akuntabel, terjangkau dan transparan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan
aparat birokrasi yang memiliki kompetensi terhadap jabatan/posisi atau pekerjaannya.

Banyak pihak mengakui bahwa proses rekruitmen yang dijalankan masih belum menunjukkan
pengaruh kinerja aparat yang bersangkutan. Artinya seleksi terhadap calon aparatur untuk menempati
suatu jabatan tertentu belum secara optimal didasarkan pada analisis kebutuhan dan jabatan yang
tepat. Implikasinya banyak aparatur yang memiliki latar belakang pendidikan (kompetensi) tertentu
akan tetapi tidak berada pada posisi yang relevan dengan kompetensinya. Tidak dapat dipungkiri,
bahwa saat ini banyak posisi/jabatan di birokrasi diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki
kompentesi yang sesuai dengan pekerjaannya.

Kompentesi yang harus dimiliki oleh seorang aparat birokrasi sekarang dan yang akan datang
agar dapat memberikan pelayanan secara profesional paling tidak harus memiliki kompetensi dengan
karakter sebagai berikut:

ƒ Memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta wawasan yang luas terhadap pekerjaannya. Kita
harus mengakui bahwa sikap dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
di dalam lingkungan hidupnya, termasuk lingkungan yang dapat memperluas wawasan
pengetahuan dan ketrampilannya, yang dapat meningkatkan kemampuan diri dalam
beradaptasi dengan lingkungan kerja barunya. Sehubungan dengan pelaksanaan pelayanan
yang baik, minimal yang harus ada pada diri seseorang, yang berkaitan dengan pengetahuan
dan ketrampilannya adalah: memiliki ketrampilan yang sesuai dengan bidang tugasnya,
memiliki pengetahuan yang sesuai dengan bidang tugasnya, memiliki daya kreativitas yang
baik, memahami cara-cara berkomunikasi yang baik, memahami pengetahuan dasar hubungan
interpersonal dan psikologi sosial, memahami cara memposisikan diri dalam berbagai situasi
sehingga muda beradaptasi, dan mampu mengendalikan emosi.

ƒ Dalam melakukan pelayanan yang baik, seorang pelayan harus memiliki kemampuan
berkomunikasi dengan baik terhadap yang dilayaninya. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan komunikasi dengan orang lain, yaitu: (1) komunikator dan
komunikan harus sama-sama berpola pikir positif yang didasarkan pada pola pikir yang sehat
dan logis, (2) komunikator dan komunikan harus mampu menempatkan diri pada kondisi yang
tepat pada saat melakukan komunikasi atau komunikator harus mampu menempatkan
komunikan pada posisi yang bebas dan manusiawi, (3) komunikator harus mampu
menampilkan sikap yang santun dan memberikan kesempatan terhadap komunikan untuk

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 46


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

ƒ memahami isi pesan sampai dengan memberikan umpan balik, dan (4) kemampuan memilih
dan menggunakan bahasan yang sederhana dan gampang dimengerti oleh komunikan.

ƒ Kemampuan untuk menjalin hubungan interpersonal juga merupakan hal penting dalam
mewujudkan pelayanan yang baik. Hubungan interpersonal (personal relationship) dapat
diartikan sebagai hubungan dengan orang lain yang ada disekeliling kita dengan cara-cara
yang baik. Kaitannya dengan kegiatan pelayanan, hubungan interpersonal dapat diartikan
sebagai hubungan baik dengan pelanggan internal dan eksternal. Pemberian pelayanan yang
baik terhadap pelanggan (masyarakat) akan lebih mudah bila antara pelayan dan yang dilayani
mempu membina hubungan yang baik, artinya setiap masyarakat yang membutuhkan
pelayanan harus diperlakukan sama. Hal ini sangat penting karena selama ini, masyarakat
sering mengeluhkan terhadap perbedaan pelayan yang dilakukan oleh oknum aparatur.
Misalnya perlakuan pelayanan terhadap orang kaya dan orang miskin, fakta menunjukan
bahwa orang miskin selalu di nomor duakan.

ƒ Memiliki pengetahuan dasar psikologi sosial. Hal ini dimaksudkan agar seorang pelayan
memiliki pengetahuan tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku, dasar
pengetahuan pembentukan sikap dan perubahan, serta pengetahuan tentang individu dan
kelompok. Dengan mengetahui perilaku dan sikap individu dan kelompok masyarakat
diharapkan seorang pelayan akan dapat memberikan respon yang tepat. Perlu diingat bahwa
banyak keragaman perilaku manusia, ada yang langsung terbuka untuk menerima, ada yang
perlu waktu untuk mempertimbangkan dan ada pula yang langsung menolak. Selain itu,
kekecawaan dan bahkan penolakan terhadap layanan yang diterima oleh pelanggan/komsumen
juga sangat erat kaitannya dengan sikap seseorang. Seseorang terdorong untuk menerima
apabila dia senang, merasa dihormati dan dihargai dan akan kecewa dan menolak apabila
terjadi sebaliknya.

ƒ Memiliki kecerdasan emosional yang stabil. Kecerdasan emosional adalah kemampuan


seseorang untuk mengorganisasi dan mengendalikan emosinya secara efektif, baik dalam
keadaan senang maupun susah. Pengorganisasi dan pengendalian emosional dalam hidup
bermasyarakat sangat penting. Kadang orang tidak sadar bahwa kekecewaan atau
permasalahan di rumah terbawah di tempat kerjannya dan sebaliknya kekecewaan dan
permasalahan di tempat kerjanya terbawah sampai ke rumah. Orang semacam ini hampir dapat
dipastikan akan akan memberikan pelayanan terhadap pelanggan/ komsumennya kurang baik.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 47


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

Kondisi di atas merupakan kondisi ideal yang diharapkan ada dan menjadi melekat pada aparat
yang memiliki jabatan (Jobs) tertentu. Kalaupun tidak maka standar minimal kompetensi adalah pada
orientasi tugas dari pekerjaan yang diembannya, jadi dalam hal ini pada standar komptensi kerja.

Namun demikian harus disadari faktanya kondisi SDM aparatur birokrasi masih belum optimal
sebagaimana diharapkan. Rendahnya inisiatif, kurangnya wawasan, minimnya penguasaan teknologi
informasi merupakan karakter umum SDM aparatur birokrasi. Lebih jauh sebenarnya bila dicermati
maka permasalahan masih rendahnya kompetensi SDM aparatur birokrasi dapat dilihat dari beberapa
aspek:

(i) Masih terdapat stigma di masyarakat bahwa persyaratan kompetensi tertentu untuk menduduki
suatu jabatan (Jobs) di birokrasi tidaklah diperlukan secara ketat, karena diakui uang atau suap
yang besar lebih banyak merupakan faktor penentu bagi seseorang untuk berkarir atau bekerja
dalam lingkungan birokrasi.

(ii) Belum jelasnya penetapan kinerja secara detail dengan standar kompetensi kerja yang jelas
sehingga memberikan peluang bagi seseorang yang sebenarnya belum memiliki kompetensi
yang relevan dapat masuk pada posisi atau jabatan tertentu

(iii) Disinyalir oleh banyak pihak bahwa kebutuhan atas penerimaan pegawai belum didasarkan
pada kebutuhan nyata yang dihubungkan dengan tugas pokok suatu organisasi, sehingga
cenderunga rekruitmen pegawai semata-mata hanya menambah besar kuantitas aparat tetapi
belum berkorelasi dengan kualitas

(iv) Lemahnya pengawasan dalam rekruitmen pegawai semakin memperburuk kondisi kompetensi
calon pegawai yang diterima dan menyuburkan praktek-praktek KKN.

Rendahnya kompetensi seperti di paparkan diatas harus dipahami dalam kerangka


kompleksitas dan keterkaitan antara individu, lingkungan kerja, dan fasilitasi kebijakan dan
pengawasan yang mempengaruhi kinerja. Dengan memahami ini maka orientasi peningkatan
kompetensi untuk menunjang pencapaian kinerja harus didasarkan pada empat dinamika sistem yang
akan diberi perlakuan sehingga terjadi perubahan kompetensi. Dinamika sistem yang dimaksudkan
adalah:

(1) Sistem Kepribadian individu. Setiap orang memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan
tertentu yang akan menentukan bagaimana individu tersebut bertindak. Respon seseorang

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 48


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

(2) terhadap suatu stimuli permasalahan akan berbeda, disebabkan perbedaan unsur-unsur perilaku
tersebut.

(3) Sistem kelompok. Setiap bagian dalam kelompok akan berinteraksi secara khas. Pemimpin
dengan anggota, struktur kelompok dll, membentuk dinamika sistem tertentu

(4) Sistem organisasi. Sama seperti kelompok, maka organisasi terdiri dari beberapa bagian yang
saling berinteraksi secara internal, maupun interaksi eksternal organisasi dengan
lingkungannya.

(5) Sistem masyarakat (komunitas). Interaksi yang terbentuk dalam komunitas lebih kepada
antar bagian meliputi individu, sub kelompok, pertetanggaan yang umumnya bisa memiliki
heterogenitas dari berbagai aspek seperti kesenangan, kecenderungan, dll.

Dengan demikian dalam peningkatan kompetensi SDM aparatur tetap dalam kerangka bahwa
setiap individu memiliki potensi, individu berhubungan dengan kelompok, maupun organisasi serta
lingkungannya. Sehingga dalam pengembangannya asumsi-asumsi berikut ini harus diperhatikan:

a. Secara Individu:

ƒ Setiap orang ingin berkembang dan matang

ƒ Pekerja pada dasarnya memiliki daya yang terkadang belum tergunakan dalam bekerja

ƒ Banyak pekerja yang berharap peluang untuk berkontribusi

b. Secara Kelompok

ƒ Kelompok-kelompok dan team adalah entitas kritis dalam keberhasiolan organisasi

ƒ Kelompok-kelompok memiliki pengaruyh yang kuat pada perilaku individu

ƒ Peran-peran kompleks dimainkan dalam kelompok membutuhkan pengembangan keahlian

c. Aspek Organisasi

ƒ Pengawasan yang eksesif, kebijakan, dan peraturan diperlukan untuk memfasilitasi proses
pembelajaran

ƒ Konflik dapat difungsionalkan jika dapat disalurkan

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 49


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

ƒ Tujuan individu dan organisasi dapat disesuaikan

Secara umum peran SDM aparatur birokrasi adalah pelayanan terhadap publik. Dalam banyak
hal terdapat kesulitan dan kerumitan tersendiri untuk mengukur mutu pelayanan sebagai sebuah jasa
pengantaran produk dan/ atau jasa pelayanan yang berdiri sendiri dibandingkan dengan suatu
produksi produk tertentu. Kondisi ini disebabkan (Zeithaml, dkk: 1990):

ƒ Pelayanan bersifat tidak teraba (intangible), lebih didasarkan pada ukuran performansi dan
pengalaman

ƒ Pelayanan dengan melibatkan banyak orang (pihak) tentu bersifat sangat heterogen, berdampak
pada kemungkinan perbedaan tingkat pelayanan antar orang/pihak

ƒ Pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan produksi dan konsumsi, sehingga proses ini
mencakup bagian panjang sampai sebuah produk diterima oleh pelanggan

Selanjutnya memperhatikan karakteristik pelayanan, maka perlu diperhatikan mutu pelayanan:

1) Definisi mutu pelayanan menurut pelanggan adalah kesenjanagan antara harapan pelanggan
dan persepsinya.

2) Faktor-faktor yang mempengaruhi harapan para pelanggan:

ƒ komunikasi dari mulut ke mulut atas suatau mutu pelayanan

ƒ kebutuhan-kebutuhan personal pelanggan

ƒ pengalaman-pengalaman masa yang lalu terkait dengan suatu mutu pelayanan

ƒ komunikasi eksternal (komunikasi yang dilakukan oleh penyedia jasa atas jasanya)

3) Dimensi-dimensi mutu pelayanan, yaitu: penampakan (tangibles), kepercayaan (reliability),


Ketanggapan (responsiveness), Kompetensi (competence), Kesopanan (courtesy), kredibilitas
(credibility), Keamanan (security), kemudahan mengakses (acces), komunikasi
(communication), dan pemahaman (understanding) pelanggan.

Dalam pengembangan SDM terkait dengan kompetensi atas jabatannya dan kemampuan
merespon dinamika lingkungan yang semakin kompleks, maka upaya –upaya terencana harus bertitik
tolak dari konsep perbedaan atau kesenjangan performansi (Performance discrepancies) dimaknai
sebagai selisih atau perbedaan antara apa dan bagaimana seharusnya seseorang dalam melaksanakan
jabatannya (What should be) dengan dan apa dan bagaimana yang dilakukan seseorang dalam
melaksanakan jabatannya (What is). Sehubungan dengan hal ini maka penetapan suatu kinerja

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 50


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

kemudian dilanjtkan dengan penetapan suatu standar kompetensi kerja mutlak perlu dilaksanakan.
Dengan penetapan Standar ini maka analisis jabatan dan identifikasi kesenjangan atau diskrepansi
kompetensi kerja dapat dilakukan. Implikasinya solusi yang lebih efektif dapat dilakukan.

Pelayanan Publik

Salah satu aspek selain pemerintahan yang belum bersih, belum teraktualisasinya tata
kepemrintahan yang baik, yang sangat mempengaruhi kinerja birokrasi, maka pelayanan publik yang
tidak baik juga dinilai sebagai salah satu indikator buruknya birokrasi di Indonesia. Pelayanan publik
seringkali menjadi ukuran paling mudah dipahami sejauhmana kinerja pemerintah dalam
melaksanakan fungsi-fungsinya. Pelayanan publik adalah salah satu fungsi penting pemerintah selain
regulasi, proteksi, dan distribusi. Pelayanan publik merupakan proses sekaligus output yang
menunjukkan bagaimana fungsi pemerintah dijalankan. Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan
publik dapat dilihat dari keengganan masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau
dengan kata lain adanya kesan keinginan sejauh mungkin untuk menghindari dan bersentuhan dengan
birokrasi pemerintah apabila menghadapi urusan. Fenomena “high cost” ketika berhubungan dengan
birokrasi pemerintah menjadi suatu keniscayaan yang terpaksa diterima. Kondisi-kondisi seperti ini
sebagian besar ditemui pada keseluruhan level organisasi publik yang memberikan pelayanan.
Kondisi ini menandakan keidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam menyelenggarakan
pelayanan terhadap publik dinilai masih jauh dari optimal.

Pemahaman terhadap fakta lemahnya birokrasi dilihat dari sejauhmana kemampuan


mengaktualisasikan fungsi-fungsi pemerintah, yang berujung pada sejauhmana pelayanan publik
dapat dijalankan. Artinya sejauhmana pemerintah mampu dan dapat berprilaku transparan, akuntabel,
demokratis akan berdampak pada sejauhmana pelayanan publik yang akan dan sudah dilakukan.

Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah melalui UU No. 22 Tahun
1999 sesungguhnya dapat dilihat sebagai upaya pemerintah untuk lebih meningkatkan pelayanan.
Serangkaian pokok aturan dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah
dinyatakan dalam beberapa pasal UU 22 Tahun 1999. dalam Pasal 7 UU 22 Tahun 1999 menyatakan
bahwa peranan Pemerintah Daerah dalam pelayanan publik mencakup seluruh bidang pemerintahan
kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain. Selanjutnya dalam Pasal 11 UU 22 tahun 1999 menyatakan bahwa bidang
pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kebupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan
umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Masih terkait dengan
pasal-pasal tersebut, dalam pasal 9 UU 22 Tahun 1999 mengemukakan bahwa kewenangan provinsi

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 51


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas
kabupaten dan kota serta kewenangan bidang tertentu lainnya.

Selanjutnya, dalam konteks desentralisasi, pelayanan publik seharusnya menjadi lebih


responsif terhadap kepentingan publik, di mana paradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan
yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang
berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government) dengan ciri-ciri: (a) lebih
memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi
berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat, (b) lebih
memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki
yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama, (c) menerapkan sistem
kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh
pelayanan yang berkualitas, (d) terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang
berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan, (e) lebih mengutamakan
apa yang diinginkan oleh masyarakat, (f) pada hal tertentu pemerintah juga berperan untuk
memperoleh pendapat dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan, (g) lebih mengutamakan
antisipasi terhadap permasalahan pelayanan, (h) lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan
pelayanan, dan (i) menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan. Namun dilain pihak,
pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain: (1) memiliki dasar hukum yang jelas
dalam penyelenggaraannya, (2) memiliki wide stakeholders, (3) memiliki tujuan sosial, (4) dituntut
untuk akuntabel kepada publik, (5) memiliki complex and debated performance indicators, serta (6)
seringkali menjadi sasaran isu politik (Mohamad, 2003).

Upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu
indikator yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik. Pelayanan publik
yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat masih
belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya. Pengelola pelayanan publik cenderung
lebih bersifat direktif yang hanya memperhatikan/mengutamakan kepentingan pimpinan/
organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki kemampuan apapun untuk
berkreasi, suka tidak suak, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelolanya. Seharusnya,
pelayanan public sikelola dengan paradigma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri
kepada kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi pelayan
yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.

Secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan
setelah diberlakukannya otonomi daerah. Namun, hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 52


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

menyimpulkan bahwa dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan dan
besar kecilnya rente birokrasi masih jauh dari yang diharapkan.

Beberapa kajian juga membuktikan bahwa kualitas dan mutu pelayanan publik masih rendah.
Hal ini seperti terlihat dari beberapa sumber, antara lain (1) World Investment Report 2003 Indeks
Foreigan Direct Investment periode 1999 – 2001; dari 140 negara, Indonesia urutan ke-138. (2)
Human Development Report 2002, UNDP, dari 173 negara, Indonesia berada urutan ke-110 di bawah
Fhilipina, Cina dan Vietnam; (3) Country Risk (Marvin Zonish & Assciate) dari 185 negara,
Indonesia urutan ke – 150 di bawah kita Afganistan, Burundi dan Somalia; (4) Kepala Perwakilan
Bank Dunia (Andrew Steer) 8 Juni 2004: (a) Tingkat penggunaan listrik, Indonesia pada urutan
terakhir dari 12 negara Asia; (b) Pelanggan telepon selular kita urutan ke-9 (12 negara); (c) Akses
sanitasi urutan ke-7; (d) Akses jalan urutan ke-8; (e) Air bersih urutan ke-7 (air bersih menjangkau
16% total populasi); dan (5) World Development Report 2004, akses rakyat terhadap pelayanan
publik masih rendah (pendidikan, kesehatan, air bersih).

Dengan melihat hasil-hasil kajian dari berbagai lembaga tersebut di atas, dapat disimpulkan
betapa rendahnya kualitas pelayanan di Indonesia, padahal, tuntutan kualitas dan kuantitas jasa
layanan publik oleh pengguna (user) semakin meningkat, di pihak operator pelayanan publik
menghadapi kendala dalam menyajikan jasa layanan publik. Pengguna telah membayar jasa layanan
publik. Di pihak lain kualitas dan kuantitas yang diinginkan belum terpenuhi. Transparansi
Akuntabilitas dalam pelayanan publik diperlukan untuk mengatasi kesenjangan pihak-pihak yang
terkait dalam pelayanan publik; untuk itu, dituntut pula regulator yang mampu mengalokasikan
sumber daya yang ada sehingga terjadi keseimbangan pihak-pihak yang terkait dalam layanan publik.
Di luar pengguna jasa pelayanan publik (non user) perlu diperhatikan kepentingannya, khususnya
tuntutan lingkungan stratejik.

Berkaitan dengan hal-hal tersebut, hingga saat ini pelayanan publik masih memiliki berbagai
kelemahan antara lain (Mohamad, 2003):

• Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai
pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab
instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali
lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.

• Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat,


lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 53


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

• Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan
masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.

• Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang
berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara
satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.

• Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan


melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan
yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf
pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak
kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka
menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya,
berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.

• Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan


kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat.
Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke
waktu.

• Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan)


seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan

Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang
tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki
yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan
untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih
sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak
efisien (Mohamad, 2003).

Berbagai pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut masih menimbulkan
persoalan. Kelemahan mendasar antara lain: pertama, adalah kelemahan yang berasal dari sulitnya
menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.
Kedua, pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun kinerjanya,
pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. Ketiga, berbeda dengan mekanisme pasar
yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 54


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

pemerintah menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit
mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat
yang seharusnya dilayaninya.

Sementara itu, karakteristik pelayanan pemerintah sebagian besar adalah bersifat monopoli
sehingga tidak memiliki pesaing di pasaran. Hal ini menjadikan lemahnya perhatian pengelola
pelayanan publik akan penyediaan pelayanan yang berkualitas. Lebih buruk lagi kondisi ini
menjadikan sebagian pengelola pelayanan memanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi, dan
cenderung mempersulit prosedur pelayanannya. Akibat permasalahan tersebut, citra buruk pada
pengelolaan pelayanan publik masih melekat sampai saat ini sehingga tidak ada kepercayaan
masyarakat pada pengelola pelayanan. Kenyataan ini merupakan tantangan yang harus segera diatasi
terlebih pada era persaingan bebas pada saat ini. Profesionalitas dalam pengelolaan pelayanan publik
dan pengembalian kepercayaan masyarakat kepada pemerintah harus diwujudkan.

Sikap tidak profesional ini selain dikarenakan salah satu karakteristik dari pelayanan publik
yang tidak memiliki persaingan ini, sesungguhnya juga disebabkan beberapa faktor di bawah ini
(Parasuraman dkk;1990):

1. Role conflict
Permasalahan ini muncul ini dikarenakan pegawai menghadapi persoalan antara
mengutamakan kepuasan kepada pelanggan internal (pimpinan organisasi) ataukah mengutamakan
kepuasan pelanggan eksternalnya (masyarakat) dari setiap pekerjaan yang mereka lakukan. Selai itu
beban pekerjaan yang terlalu besar juga dapat menimbulkan memunculkan permasalahan ini.

2. Role ambiguity
Role ambiguity terjadi dikarenakan ketidaktahuan pegawai akan apa yang menjadi harapan
pimpinan akan pelayanan yang disediakan dan bagaimana cara memenuhi harapan tersebut. Hal ini
terjadi dikarenakan mereka tidak memiliki ketrampilan yang cukup serta tidak mendapatkan pelatihan
yang berkaitan dengan permasalahan yang mereka hadapi.

3. Poor employee job fit


Dalam suatu organisasi pemerintah seringkali dijumpai ketidak sesuaian antara kemampuan
yang dimiliki pegawai dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Hal tersebut berakibat mereka tidak
dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya.

4. Poor technology job-fit

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 55


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

Kinerja pegawai sangat dipengaruhi oleh peralatan maupun tehnologi yang mereka pergunakan
dalam memberikan pelayanan. Terlalu minim peralatan serta tehnologi yang dipergunakan akan
berakibat pelayanan yang diberikan tidak dapat sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi ini yang
juga memberikan kesan pada masyarakat bahwa pelayanan yang disediakan pemerintah cenderung
lamban dan terkadang dijumpai banyak kesalahan.

5. Inappropriate supervisory control system


Tidak adanya sistem evaluasi dan penghargaan dalam instansi pemerintah. Kecenderungannya
organisasi melihat kinerja pegawai melalui hasil kerja mereka, dimana output control system sering
kali tidak sesuai dengan tujuan dari pelayanan melainkan didasarkan pada tujuan lain dari organisasi.

6. Lack of perceived control


Permasalahan ini muncul diakibatkan ketidakmampu-an pegawai dalam menyelesaikan
permasalahan yang muncul dalam proses pemberian pelayanan yang disebabkan wewenang yang
tidak mereka miliki sehingga mereka juga tidak terlatih untuk mengatasi permasalahan yang muncul
dengan lebih baik.

7. Lack of team work


Tidak adanya kerjasama antara pegawai dan pimpinan organisasi dalam memberikan
pelayanan akan berakibat buruk terhadap kinerja yang dihasilkan. Permasalahan juga bisa diakibatkan
kurang adanya dukungan pegawai lain (back office) terdapat customer contact personel.

Pada faktanya terdapat kecenderungan sistem dan prosedur pelayanan yang dilakukan aparatur
negara masih berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, tidak akomodatif dan kurang
konsisten, sehingga tidak menjamin adanya kepastian hukum. Dengan kondisi demikian, Sitorus
menyatakan bahwa seluruh jajaran aparatur pemerintah perlu memiliki komitmen kuat untuk
membenahi seluruh aspek pelayanan publik, baik melalui perubahan sikap dan perilaku maupun
melalui penataan sistem pelayanan yang lebih efektif dan efisien. Dengan begitu, katanya, aparatur
pemerintah dapat benar-benar memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat, "yang pada
gilirannya akan mendorong munculnya kreativitas di segala bidang." Salah satu yang perlu dilakukan
aparat, tambah Sitorus, adalah memberikan perhatian yang lebih besar kepada masyarakat yang tidak
puas terhadap kualitas layanan yang diberikan aparatur pemerintah. Selain itu pengelolaan pegawai
yang tepat atau sesuai dengan kompetensi yang diniliki juga menjadi keharusan bagi organisasi
penyedia pelayanan publik. Bahkan citra buruk yang masih melekat pada sebagian besar pelayanan
publik di Indonesia salah satunya dikarenakan masih kurang profesionalnya petugas pada organisasi
pelayanan. Kenyataan ini menyadarkan kita semua akan perlunya memberikan perhatian yang khusus
pada para pegawai khususnya yang bertugas langsung dalam penyediaan pelayanan publik.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 56


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

Lemahnya kontrol publik memiliki dampak yang sangat luas terutama pada usaha reformasi
birokrasi pemerintahan. Korupsi berkembang subur di birokrasi, terutama yang menjadi ujung
tombak pelayanan mendasar kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, air minum, dan listrik.
Dengan pelayanan yang buruk, publik harus membayar mahal. Kekuasaan politik tidak memiliki
prioritas untuk membuat perubahan di birokrasi dan memperbaiki pelayanan kebutuhan dasar yang
menjadi hak rakyat. Birokrasi justru menjadi mesin keuangan politik bagi kekuatan oligharki yang
berkuasa.

Hukum yang seharusnya memberikan jaminan terwujudnya keadilan dan penegakan aturan
juga tak luput dari ganasnya korupsi. Mafia peradilan kian merajalela dan lembaga peradilan tak ubah
laksana lembaga lelang perkara yang membuat buncit perut aparat penegak hukum busuk. Rasa
keadilan digadaikan oleh praktek suap menyuap. Intervensi politik terhadap proses hukum
menyebabkan lembaga peradilan hanya menjadi komoditas politik kekuasaan. Tidak ada kasus
korupsi yang benar-benar divonis setimpal dengan perbuatannya. Dengan kekuasaan uang dan
perlindungan politik, koruptor dapat menghirup udara bebas tanpa perlu takut dijerat hukum.

Permasalahan pengawasan publik selama ini menjadi agenda penting, namun sering diabaikan
oleh para pengambil kebijakan. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan pelayanan publik juga
merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari persoalan tersebut. Memberikan cara, strategi, dan
penyadaran tentang pengawasan terhadap pelayanan publik sangat relevan. Pelayanan publik masih
sarat dengan korupsi.

Berpijak dari kondisi-kondisi ini maka perhatian yang serius harus dilakukan pemerintah
dalam rangka melaksanakan fungsi pelayanan publik. Sejauh ini upaya-upaya nyata telah dilakukan
pemerintah melalui berbagai instrumen kebijakan.

Dalam rangka efektivitas pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah yang kemudian diubah dengan UU Nomor 32 Tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah
Indonesia telah mengeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah dengan Nomor 8 Tahun 2003 tentang
Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang isinya mengatur lebih lanjut mengenai kriteria, susunan
dan struktur organisasi perangkat daerah. Dengan diterbitkannya PP No. 8 tahun 2003, dinas-dinas
atau organisasi yang disusun oleh pemerintah daerah diharapkan lebih dapat memberikan pelayanan
publik yang memuaskan bagi penggunanya. Karena intinya adalah dengan diberikannya otonomi
daerah dan terbitnya PP yang mengatur perangkat organisasi daerah bertujuan untuk
mensejahterakan masyarakat dan menyediakan pelayanan publik.

Dalam rangka mendukung upaya peningkatan kualitas pelayanan publik tersebut, Kementerian
PAN mewajibkan bagi instansi pelayanan masyarakat untuk mempublikasikan jenis pelayanan

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 57


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

tertentu yang diberikan, jangka waktu dan biaya yang dibutuhkan kepada masyarakat. Hal ini
dilakukan melalui surat Keputusan MENPAN Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman
Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, dan melalu
surat Keputusan MENPAN Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petujunk Teknis Transparansi
dan Akuntabilitas Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Berkaitan dengan kedua Keputusan Menpan
terseut telah dilakaukan sosialisasi pada berbagai instansi baik di pusat maupun di daerah.

Kemudian, Lembaga Administrasi Negara juga telah menerbitkan sebuah Buku Penyusunan
Standar Pelayanan Publik. Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk dapat dijadikan referensi bagi
penyelenggara pelayanan publik, baik secara personal maupun secara institusional dalam penyusunan
stadar pelayanan publik. Di samping itu, masyarakat pengguna pelayanan dapat juga
memanfaatkannya sebagai acuan tentang bagaimana bersama-sama pihal penyelenggara menciptakan
suatu pelayanan publik yang berkualitas. Buku tersebut juga dapat dimanfaatkan bagi para akademisi
di perguruan tinggi, baik mahasiswa maupun civitas akademia lainnya, dalam mempelajari dan
menyusun berbagai estándar pelayanan. Lebih jauh lagi buku tersebut diharapkan pula dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat umum dalam rangka upaya pemerintah meningkatkan pelayanan
publik.

Di samping hal-hal tersebut, berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah antara lain
ditunjukan dengan terbitnya berbagai kebijakan seperti: Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman
Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha, yang kemudian dilanjutkan dengan
Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993 tentang Pedoman
Tatalaksana Pelayanan Umum. Pada tahun 1995 pemerintah kembali menerbitkan Inpres No. 1 Tahun
1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.
Selanjutnya, upaya penekanan terhadap upaya peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat
lebih ditekankan lagi melalui Surat Edaran Menko Wasbangpan No. 56/Wasbangpan/6/98 tentang
Langkah-langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat. Instruksi Mendagri No. 20/1996; Surat
Edaran Menkowasbangpan No. 56/MK. Wasbangpan/6/98; Surat Menkowasbangpan No. 145/MK.
Waspan/3 /1999; hingga Surat Edaran Mendagri No. 503/125/PUOD/1999, yang kesemuanya itu
bermuara pada peningkatan kualitas pelayanan.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) telah merevisi Kep Men PAN No.
81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum melalui Kep Men PAN No.
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagai upaya
lebih lanjut terhadap perbaikan pelayanan publik. Di dalam Kep Men PAN tersebut memuat asas-
asas pelayanan publik seperti transparansi; akuntabilitas; kondisional; partisipatif; kesamaan hak serta

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 58


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

keseimbangan hak dan kewajiban. Sedangkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pelayanan publik


seperti yang termuat dalam kebijakan tersebut adalah kesederhanaan; kejelasan; kepastian waktu;
akurasi; keamanan; tanggung jawab; kelengkapan sarana dan prasarana; kemudahan akses;
kedisiplinan, kesopanan dan keramahan; dan kenyamanan.

Upaya peningkatan kualitas pelayanan melalui berbagai kebijakan di bidang pelayanan sampai
saat ini masih terus dilaksanakan oleh pemerintah dengan di canangkannya Bulan Peningkatan
Pelayanan Publik yang dimulai pada tanggal 2 September sampai dengan Nopember 2003. Bahkan
pada Tahun 2004 akan dicanangkan sebagai tahun Pelayanan Publik. Namun, peraturan perundang-
undangan yang ada tampaknya belum mampu membawa perubahan yang signifikan padahal tuntutan
masyarakat terhadap pelayanan yang lebih baik tersebut semakin tinggi. Keinginan pemerintah akan
penyediaan pelayanan yang bekualitas bagi masyarakat nampaknya masih belum terwujud meskipun
berbagi upaya telah dilakukan.

Hal substansial yang harus dipahami dalam konteks Reformasi pelayanan publik adalah bahwa
upaya-upaya nyata ini haruslah dimulai dari aspek yang paling mendasar, yaitu: reformasi pola pikir
(paradigma) penyelenggaraan pelayanan publik. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah
penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah
sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai
pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik
selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi
peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik.

Dalam era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu
menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan
keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani,
bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit",
"sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang"
(Mustopadidjaja, 2003).

Pemberian pelayanan yang berkualitas merupakan cerminan dari praktek professional yang
menjadi senjata ampuh dalam bersaing meraih dan mempertahankan pasar. Pelayanan yang
berkualitas akan melibatkan seluruh komponen organisasi secara terintegrasi melaksanakan tanggung
jawab dan peranannya dalam memberikan pelayanan. Kualitas pelayanan mencakup tata cara,
perilaku dan juga penguasaan pengetahuan tentang produk dari penyelenggara layanan, sehingga
penyampaian informasi dan pemberian fasilitas/jasa palayanan kepada pelanggan dapat secara

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 59


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

optimal memenuhi kebutuhan yang diharapkan pelanggan, sehingga pelanggan akan merasa puas dan
perusahaan akan mendapatkan manfaatnya.

Untuk itu, upaya perbaikan kualitas pelayanan perlu mendapatkan perhatian yang serius dari
pemerintah. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara dan strategi pelayanan publik pada
setiap unit organisasi pelayanan. Cara dan strategi pelayanan tersebut mengarah pada pelaksanan
secara lebih operasional dan implementatif sebagai suatu solusi perbaikan kualitas pelayanan publik.
Di samping cara ini juga merupakan upaya untuk mempertemukan harapan masyarakat dan harapan
penyedia pelayanan dalam mempertanggung jawabkan akuntabilitasnya kepada masyarakat selaku
pemberi mandat.

Agar pelayanan publik ini dapat dilakukan dengan baik, pelayanan publik akan dapat
memberikan kinerja yang lebih baik jika dikelola oleh masyarakat itu sendiri atau dengan cara
privatisasi (Ricardi S. Adnan, 2003). Privatisasi telah dianggap obat mujarab yang bersifat generik.
Manjur untuk menyembuhkan segala penyakit. Studi-studi Bank Dunia acap kali mampu
menunjukkan pokok perkara dengan amat jelas. Tetapi dari pengalaman selama ini, solusi yang
ditawarkan cenderung menyederhanakan masalah. Jika diekstrapolasi dengan rentetan kebijakan yang
telah direkomendasikan, mungkin saja Bank Dunia akan merekomendasi untuk memprivatisasi
birokrasi di Indonesia. Logikanya sederhana karena birokrasi gagal menyediakan layanan publik,
maka serahkan saja pada swasta untuk mengelola layanan publik. Hal ini ternyata telah dilakukan
oleh pemerintah Indonesia dengan jalan menswastakan beberapa perusahaan milik negara yang pada
masa lalu merupakan tugas dan kewenangan pemerintah semata.

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat sangat membutuhkan pelayanan
publik baik karena peraturan ataupun karena kebutuhan, tetapi masyarakat itu sendiri belum
sepenuhnya mampu melakukan dan memenuhi kebutuhannya. Untuk itu, kebutuhan dan keberadaan
organisasi pemerintahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat masih sangat penting bagi
masyarakat, terutama dalam menjamin kepentingan masyarakat dengan menyediakan pelayanan
publik yang tidak disediakan oleh organisasi swasta dengan baik, profesional, akuntabel dan
transparan. Untuk itu organisasi pemerintah diperlukan untuk menjamin kepentingan publik dan
mempertangung-jawabkannya.

Berikut adalah asumsi-asumsi penting yang harus dipenuhi. Pertama, investasi dan
perdagangan sebagai realisasi dari pemulihan ekonomi tidak akan pernah tercapai jika tidak ada
dukungan birokrasi yang menyediakan layanan publik yang memadai. Kedua, pelayanan publik tidak
bisa serta-merta diserahkan kepada swasta. Karena ternyata persoalannya bukan pada aktor ekonomi,
entah birokrasi pemerintah atau swasta, tetapi pada tata cara pengelolaan baik pada tataran

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 60


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Untuk itu, birokrasi harus segera direformasi agar
kualitas pelayanan publik dapat ditingkatkan. Salah satu langkah strategis dalam upaya meningkatkan
pelayanan publik adalah melalui kebijakan pemberian otonomi.

Desentralisasi Kewenangan

Terwujudnya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana yang diamanatkan
oleh para founding father dalam Pembukaan UUD 1945 hanya dapat diraih apabila pemerintah
Indonesia benar-benar dapat menyelenggarakan pemerintahan negara ini secara arief, adil dan
bijaksana yang utamanya menerapkan demokrasi di segala aspek kehidupan masyarakat. Namun,
kenyataan yang terjadi di Indonesia adalah bahwa kondisi demokrasi bila dikaitkan dengan realita
dalam kehidupan bangsa ini, masih banyak ketimpangan dan kesenjangan sosial. Untuk itu,
demokrasi akan sulit terwujud apabila masih terdapat ketimpangan dan kesenjangan sosial masih
sangat tinggi.

Sehubungan dengan hal tersebut dan untuk mencapai suatu negara yang demokratis diperlukan
berbagai syarat. Syarat utama terwujudnya pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat
adalah dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi merupakan amanat
konstitusi yang harus dilaksanakan; untuk itu, diperlukan suatu pembagian kewenangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah agar penyelenggaraan pemerintah menjadi lebih efisien
dan efektif.

Penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif, dan pembangunan yang terarah pada
perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat di seluruh wilayah tanah air mensyaratkan
berkembangnya otonomi. Otonomi Daerah (OTODA) mengimperasikan hak, kewajiban, dan
tanggung jawab ataupun kewenangan daerah untuk mengurus “rumah tangga (pemerintahan dan
pembangunan)” daerah dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan otonomi; yaitu utamanya (1)
meningkatkan kapabilitas dan kesejahteraaan rakyat daerah, (2) meningkatkan prakarsa, kreativitas,
dan peranserta masyarakat, dan (3) menjaga keserasian hubungan antar daerah dan antara Pusat
dan Daerah (Mustopadidjaja, 2002).

Kebijakan otonomi daerah, sebenarnya telah diletakkan dasar-dasarnya jauh sebelum


terjadinya gelombang reformasi yang terjadi pada pertengahan 1998 lalu, yaitu dalam UUD 1945.
Dan sesungguhnya penyelenggaraan otonomi daerah tersebut menekankan pentingnya prinsip-prinsip
demokrasi, peningkatan peranserta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 61


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Namun,
perumusan kebijakan otonomi daerah pada saat itu masih bersifat setengah-setengah dan dilakukan
tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gemlobang
tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan
daerah yang dirasakan tidak adil, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat
pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan
di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal.

Sehubungan dengan hal itu, pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat penting, karena
tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi,
politik dan kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang
luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah
itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat,
pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah.

Kemudian dalam rangka menjawab tuntutan masyarakat akan pentingnya otonomi daerah di
negara kita, kebijakan nasional mengenai otonomi daerah dan pemerintahan daerah ini, telah
dituangkan dalam bentuk UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dilengkapi oleh
UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan
ditetapkannya kedua UU ini, maka UU yang mengatur materi yang sama yang ada sebelumnya dan
dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan, dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-
Undang yang dinyatakan tidak berlaku lagi itu adalah UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 No. 38 dan Tambahan Lembaran Negara
Tahun 1974 No.3037), UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (LN Tahun 1979 No. 56
dan TLN Tahun 1979 No.3153), dan UU No.32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara
Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (LN Tahun 1956
No.77 dan TLN Tahun 1956 No.1442).

Kemudian untuk memperkuat kebijakan otonomi daerah itu, dalam Sidang Tahunan MPR
tahun 2000 telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan
Dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi
daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan dari
daerah-daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu
menunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi
daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 18 UUD 1945. Dalam rangka itu,

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 62


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

selanjutnya berbagai Peraturan Pemerintah (PP) lainnya yang mendukung pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tersebut diterbitkan, seperti PP No. 25, 84, 104, 105, 106 dan
107 yang mengamanatkan bahwa sebagian besar kewenangan pemerintah pusat telah diserahkan
kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota.

Dalam keseluruhan perangkat perundang-undangan yang mengatur kebijkan otonomi daerah


itu, dapat ditemukan beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan paradigma pemikiran dalam
menelaah mengenai berbagai kemungkinan yang akan terjadi di daerah, terutama dalam hubungannya
dengan kegiatan investasi dan upaya mendorong tumbuhnya roda kegiatan ekonomi dalam
masyarakat di daerah-daerah.

Dalam hal ini, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-
kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi
itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana
mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di
seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke
tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus
dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.

Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting terutama untuk
menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam
sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan
struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar
perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin
meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional,
maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-
cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri.

Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya
menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan
atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah
sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur
masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan
berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan
kemandirian daerah sendiri.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 63


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

Namun demikian, otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang
bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ
pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan
pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah, tetapi esensi kebijakan otonomi daerah itu
sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan
nasional bangsa kita dewasa ini.

Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen


pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi
kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal,
maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan
birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan
sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas
hukum.

Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan
agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut
pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Inilah yang perlu diperhatikan sebagai
esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah
berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang
keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini. Namun demikian, kebijakan
otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di
daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti
yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, tetap muncul dalam hubungan antara
pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya. Bahkan ada kehawatiran bahwa sistem otonomi
pemerintahan daerah saat ini justru dapat menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh
Indonesia.

Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat
tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu singkat belum
tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya. Namun demikian, keberadaan UU Nomor 22 dan 25
tahun 1999, pada prinsipnya pemerintah telah berupaya memperbaharui dirinya dengan
menyeimbangkan peran-peran yang dapat dimainkan antara pusat dan daerah otonom kabupaten/kota
di Indonesia. Desentralisasi menjadi progres report penting dalam perkembangan tata pemerintahan
di Indonesia. Namun demikian sebagaimana banyak di sinyalir oleh para ahli, ternyata upaya-upaya
yang telah dilaksanakan belum memberikan suatu result yang menggembirakan dilihat dari

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 64


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

implementasi birokrasi di Indonesia. Indikator-indikator sebagaimana disebutkan di atas seperti


kelambanan, malpraktek pelayanan publik, ketidakseimbangan peran masih banyak di keluhkan oleh
masyarakat.

Sesungguhnya dengan diimplementasikannya UU No 22 dan No 25 1999 itu, pemerintah telah


menunjukan komitmennya dalam upaya meningkatkan pelayanan terhadap masayarakat. Dalam UU
tersebut kewenangan-kewenangan itu terbaca jelas di dalam beberapa pasal dalam UU No 22/1999.
Seperti yang tertuang dalam Pasal 11 Ayat (2): "Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan
hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja." Dengan pasal itu, kita melihat luasnya kewenangan
yang didapat oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah sudah dapat menjadi garis depan yang
melayani masyarakat dan dapat mengurusi hal-hal yang selama ini secara tidak langsung dimiliki oleh
pemerintah pusat.

Dengan demikian, dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah mau tidak mau harus
mampu melaksanakan berbagai kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat,
seiring dengan pelayanan yang harus disediakan. Konseksuensinya, pemerintah daerah dituntut untuk
lebih mampu memberikan pelayanan yang lebih berkualitas, dalam arti lebih berorientasi kepada
aspirasi masyarakat, lebih efisien, efektif, manusiawi dan bertanggung jawab. Dengan kata lain
pelaksanaan otonomi daerah adalah juga upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan (Mohamad,
2003).

Dalam rangka mengisi pelaksanaan Undang-undang tersebut, pemerintah daerah diharapkan


lebih mengutamakan penyampaian pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik dan
memperhatikan upaya peningkatan kinerja pelayanan yang diberikan kepada masyarakatnya.
Pelaksanaan otonomi daerah mempunyai banyak alasan untuk diselenggarakan. Artinya, terdapat
pendelegasian wewenang yang cukup besar dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,
terutama pemerintah kabupaten dan kota. Dari sini diharapkan aparat birokrasi daerah dapat
mendeteksi langsung persoalan-persoalan di masyarakat dan dapat melayani langsung kebutuhan
masyarakat tanpa harus menunggu rantai birokrasi yang panjang dari Jakarta. Pemerintah diberikan
kewenangan yang luas untuk langsung melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat.

Hal ini selaras dengan tujuan desentralisasi bahwa kualitas pelayanan publik harus benar-benar
menjunjung nilai-nilai demokrasi dan kemandirian yang berakar pada masyarakat setempat. Oleh
karenanya pemerintah daerah diharapkan dapat memahami dan memberikan perhatian pada bidang
pelayanan apa saja yang mendapat prioritas, bagaimana cara menentukan prioritas, bagaimana cara

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 65


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

melaksanakan pelayanan tersebut secara efisien dan efektif sesuai dengan sumber daya yang ada di
daerah serta bagaimana mengukur kinerja pelayanan publik yang telah diberikan.

Pelayanan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan para pelanggan, dan sasaran dari manajemen
pelayanan adalah kepuasan. Meskipun sasaran itu sederhana, namun pencapaiannya memerlukan
sesungguhan dan syarat-syarat yang seringkali tidak mudak untuk dilakukan. Oleh karena itu, setiap
organisasi penyedia jasa pelayanan haruslah memperhatikan kualitas pelayanannya. Hanya dengan
pemberian pelayanan yang berkualitaslah, kepuasan pelanggan dapat diwujudkan.

Di samping itu, masalah lain yang timbul dalam rangka pelaksanaan UU mengenai Otonomi
daerah ini, beranjak dari rumusan pengertian otonomi tersebut bahwa otonomi daerah secara ringkas
adalah daerah yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri, atau daerah yang memiliki
pemerintahan sendiri yang berdaulat atau independen. Dalam konteks Indonesia pengertian
independen atau bebas atau berdaulat inilah barangkali yang tidak diinginkan, karena akan
berkonotasi adanya negara didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak sesuai
dengan Undang Undang Dasar 1945. Otonomi dicurigai memiliki 'cacat alami' yang senantiasa
mengancam kesatuan (Bagir Manan dalam Mustopadidjaja, 2002). Hal itu terjadi karena kurangnya
pemahaman yang tepat, atau karena pengalaman masa lalu yang diwarnai berbagai peristiwa
pemberontakan yang mengarah kepada disintegrasi nasional.

Untuk itu, harus dipahami bersama bahwa otonomi daerah di Indonesia pada dasarnya bersifat
administratif, yaitu kebebasan untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan sendiri yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia
(SANKRI). Dengan demikian dalam konteks Indonesia, pengertian Otonomi Daerah menunjukkan
hubungan keterikatan antara daerah yang memiliki hak untuk menyelenggarakan pemerintahan
sendiri dengan kesatuan yang lebih besar yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan
berarti daerah otonom yang merdeka dan berdiri sendiri bebas dari ikatan dengan NKRI
(Mustopadidjaja, 2002).

Penerapan demokrasi di Indonesia selama kurun waktu lima tahun belakang, dapat dikatakan
bahwa proses demokratisasi hasil Pemilu 1999, telah berjalan pada jalur dan arah yang benar. Hal ini
ditandai dengan sikap antusias masyarakat dalam berpolitik yang cukup tinggi. Di samping berbagai
kemajuan politik lainnya yang ditandai dengan keberadaan institusi-institusi baru demokrasi yang
pelaksanaan perannya memberikan optimisme terhadap penguaan proses demokrasi, yaitu pertama,
keberadaan Mahkamah Konstitusi yang walapun sempat diragukan kapasitas dan kredibilitasnya,
ternyata mampu mengeluarkan keputusan yang menjadi hak-hak azasi warganegara di depan hukum
dan konstitusi. Kedua, penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh lembaga

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 66


Isu Strategis Reformasi Birokrasi

independen Komisi Pemilihan Umum (KPU), dengan pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator,
merupakan suatu perkembangan positif yang perlu dipeliraha dalam menjada kebebasan dan keadilan
proses pemilu yang demokratis.

Ketika fungsi-fungsi penting pemerintah seperti pelayanan publik, regulasi, proteksi, dan
distribusi tidak berjalan optimal, maka kondisi ini dapat dilihat dari beberapa perspektif. Pertama,
nilai, misi, tujuan yang ditetapkan, kapasitas, dan kewenangan yang ada belum secara optimal dapat
dijalankan sebagaimana diharapkan. Jadi dalam hal ini amat terkait dengan kompetensi pemerintah
dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi yang diembannya. Perspektif kedua, pemerintah memiliki
kecenderungan inkonsistensi dalam pelaksanaan wewenang dan kekuasaan sebagaimana
diamanahkan. Artinya ketidakoptimalan peran yang ditunjukkan dengan perwujudan birokrasi
pemerintah lebih disebabkan karena kecenderungan menyalahi atau menyelewengkan amanah
kekuasaan yang telah diberikan oleh rakyat.

Baik perspektif pertama dan kedua bermuara pada pandangan tidak optimalnya fungsi-fungsi
pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang telah diamanahkan. Pada perkembangan selanjutnya
hal ini menyebabkan adanya kondisi ketidakseimbangan peran yang dimainkan oleh pemerintah,
rakyat, dan sektor bisnis. Ketidakseimbangan yang ada saat ini menunjukkan secara psikologis
pamaknaan peran pemerintah lebih besar dibanding masyarakat dan sektor bisnis. Peran yang tidak
seimbang menyebabkan kondisi-kondisi frustasi dan apatisme dari kalangan masyarakat.
Implikasinya akan sangat sulit kemudian mengharapkan mampu menggerakkan masyarakat untuk
berperan lebih jauh dalam pembangunan, sedangkan masyarakat sudah sampai pada tahapan apatisme
terhadap pemerintah. Lebih jauh ketidakseimbangan peran yang terjadi terus menerus, akan
menimbulkan ketidakpuasan yang dapat memicu kekacauan karena benturan “kepentingan”
pemerintah dan masyarakat tidak dapat dipertemukan. Dan kondisi terakhir ini sudah banyak
contohnya di negara lain, dan bahkan kita sendiri, bangsa Indonesia telah mengalami masa-masa sulit
terjadinya kekacauan akibat benturan-benturan ini di tahun 1997.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 67


Rencana Tindak

BAB IV
RENCANA TINDAK

Melalui pelaksanaan fungsi-fungsi kepemerintahan, birokrasi memiliki arti dan peran penting
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pentingnya birokrasi terletak pada
pengaruhnya terhadap efektifitas pelaksanaan tugas pemerintahan dalam perjuangan mewujudkan
cita-cita dan tujuan bangsa bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Hal
tersebut dilakukannya melalui pelaksanaan pengelolaan kebijakan dan pelayanan masyarakat secara
professional dan senantiasa terarah pada meningkanya kesejahteraan, kemandirian, daya saing,
kemajuan perekonomian seluruh rakyat, serta terpeliharanya kedaulatan dan keutuhan wilayah
negara bangsa.

Dalam hubungan itu, konsep dan prakarsa reformasi birokrasi tidak terlepas dari pertimbangan
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi, dinamika, dan kinerja birokrasi, meliputi baik
faktor-faktor internal birokrasi maupun faktor-faktor lingkungan strategis, termasuk pemahaman
mengenai posisi dan peran birokrasi dalam sistem administrasi negara kita. Keseluruhan faktor
tersebut perlu dipertimbangkan dalam menentukan “format birokrasi” yang dikehendaki dan
berkemampuan merespon tantangan lingkungan strategis yang semakin kompleks dan meningkat.

Dengan menggunakan pendekatan manajemen strategis, rencana reformasi birokrasi bertolak


dari berbagai fenomena yang dinilai menjadi kelemahan birokrasi yang telah diuraikan pada bab-bab
sebelumnya untuk selanjutnya dicarikan solusinya. Solusi tersebut terarah pada pengurangan
kelemahan sehingga terwujud birokrasi yang mampu menangkap peluang-peluang dan merespon
tantangan yang merupakan tuntutan masyarakat dan dinamika global.

Terdapat lima isu strategis terkait dengan reformasi birokrasi yang perlu ditindaklanjuti secara
cermat dalam rencana tindak, yaitu pemerintahan yang bersih, aktualisasi prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik, kompetensi SDM aparatur, pelayanan publik, dan desentralisasi
kewenangan. Rencana tindak dalam konteks ini adalah rencana yang ingin diimplementasikan
sehingga birokrasi didorong ke arah birokrasi yang lebih baik yang mampu merespon dinamika
lingkungan strategis. Rencana tindak ini diharapkan akan dapat secara bertahap memperbaiki sosok
dan kinerja birokrasi.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 68


Rencana Tindak

1. Pemerintahan yang Bersih

Berbagai upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (Clean Government) telah
banyak dilakukan oleh pemerintahan Indonesia. Hal tersebut antara lain terlihat dengan
diterbitkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang terarah pada terciptanya pemerintahan
yang bersih dan berwibawa. Sejalan dengan hal itu, pemerintah juga berupaya untuk terus
meningkatkan peran masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan, antara lain dengan
menyediakan sarana dan prasarana yang dapat dijadikan tempat bagi perbaikan kinerja melalui
penyediaan kotak-kotak pengaduan.

Namun, pemerintahan yang bersih pada kenyataannya sangat sulit diwujudkan mengingat
masih banyaknya kelemahan-kelemahan yang bertalian dengan birokrasi, seperti antara lain
lemahnya penegakan hukum, ketidakjelasan dan ketidaklengkapan peraturan, standar pengelolaan
kebijakan dan pelayanan publik yang belum jelas dan tidak transparan, adanya duplikasi aturan dan
kewenangan lembaga-lembaga pengawasan internal, lemahnya tindak lanjut hasil-hasil pengawasan
termasuk partisipasi masyarakat dalam pengawasan, serta masih adanya sikap kurang menghargai
profesionalisme. Lebih lanjut Tabel 4. Matriks Rencana Tindak Dengan Issu Strategic Clean
Government, yang memuat identifikasi kelemahan-kelemahan dalam mengupayakan terciptanya
pemerintahan yang bersih dan upaya-upaya untuk mengatasinya.

Bertolak dari identifikasi kelemahan-klemahan dalam mewujudkan clean government tersebut,


rencana tindak berisikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan
kelemahan-kelemahan tersebut adalah sbb:

Pertama, untuk mengatasi kelemahan law enforcement, secara kelembagaan dibentuk komisi-
komisi yang bertugas melakukan pemantauan, pengawasan dan evaluasi kinerja lembaga-lembaga
penegak hukum yang dilakukan secara bertahap, konsisten dan berkelanjutan; serta didukung oleh
sistem yang mantap dan dapat menemukenali akar permasalahannya. Langkah ini sangat penting
artinya dalam mewujudkan tujuan yang diharapkan secara mantap. Belum optimalnya pelaksanaan
pemantauan, pengawasan dan evaluasi kinerja di masa lalu antara lain disebabkan belum
dikalukannya “pemantauan, pengawasan dan evaluasi kinerja secara terkoordinasi, sistemik, terus
menerus, dan menyentuh akar permasalahnya. Dalam penegakan hukum, kompentesi dan integritas
aparatur belum secara optimal mendukung, demikian pula sistem kerja internal lembaga. Oleh karena
itu, dalam upaya penegakan hukum perlu adanya usaha perbaikan terhadap sistem kerja internal dan
hubungan tata kerja antara lembaga penegak hukum dan lembaga pengawasan. Selain itu, upaya ini
dapat berhasil jika dikuti oleh peningkatan pengetahuan, ketrampilan, serta perilaku dan sikap aparat

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 69


Rencana Tindak

penegak hukum yang mumpuni, untuk dapat merespon berbagai permasalahan yang dihapi secara
tepat dan efektif.

Kedua, ketidakjelasan dan ketidaklengkapan peraturan merupakan celah hukum yang dapat
dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu. Kaitannya dengan hal ini maka perlu adanya tindakan
yang nyata dalam melakukan review terhadap peraturan yang memungkinkan adanya celah hukum
yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan KKN dan memperbaiki substasi
peraturan perundang-undangan tersebut, terutama yang memungkinkan terjadinya multi interprestasi
(ambiguitas). Selanjutnya perbaikan atas peraturan yang ada memerlukan suatu dukungan sistem
pelaksanaan sosialisasi dan diseminasi, sehingga peraturan yang ada dapat terdistribusi dan
terlembagakan.

Ketiga, untuk menghindari adanya duplikasi aturan dan kewenangan lembaga-lembaga


pengawasan internal perlu adanya tindakan perbaikan aparatur pengawasan internal; meliputi :
hubungan kelembagaan, sistem dan proses kerja internal, aplikasi standar akuntasi pemerintahan
yang sesuai dengan standar internasional, pengem-bangan e-audit, sertifikasi pendidikan dan
pelatihan di bidang pengawasan dan pemeriksaan; serta peningkatan disiplin, kompetensi dan
kesejahtraan para penegak hukum.

Keempat, standar pengelolaan pelayanan publik belum jelas dan pelaksana-annya tidak
trasparan. Dalam hubungan itu, adanya standar opersional pelayanan (SOP) sangat penting untuk
memperbaiki citra dan mengukur kinerja lembaga pelayanan. Untuk itu diperlukan tindakan konkrit
yang mempertegas institusi yang bertanggungjawab untuk (a) menyusun norma, standar, dan
prosedur pengelolaan pelayanan publik, (b) memperkuat fungsi dan kewenangan unit yang
mengelola informasi, mereview, menganalisa, merumuskan dan menetapkan indikator kinerja, (c)
mensosialisasikan SOP pengelolaan pelayanan dan indikator kinerja pada lembaga-lembaga terkait;
dan (d) melakukan pemantauan dan penilaian atas capaian kinerja (lembaga independen). Semua itu
dapat dilakukan dengan baik jika diikuti upaya peningkatan kompetensi SDM dan penerapan reward
and punishment yang konsisten dan berkelanjutan.

Kelima, lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan tugas pemerintahan.


Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap sistem
pengawasan dan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, sehingga perlu adanya upaya pemberdayaan
masyarakat terutama dengan meng-hidupkan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang memiliki fungsi
pengawasan, memperkuat pemahaman dan menumbuhkan rasa tanggungjawab masyarakat dalam
penyenggaraan pemerintahan disertai penyediaan fasilitas yang menunjang proses pembelajaran
mengenai civic education.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 70


Rencana Tindak

Keenam, profesionalitas belum dihargai secara layak, kesenjangannya jika dibandingkan


dengan sektor swasta masih jauh. Oleh karena itu pemerintah perlu mengadakan regulasi standar
kinerja profesional individu dan institusi, memperkuat kelembagaan kepegawaian dalam pembinaan
profesionalitas, melakukan review sistem dan proses pengelolaan kebijakan remunerasi, menyusun
dan menerapkan sistem remunerasi yang sesuai dengan standar hidup yang layak serta penegakan
reward and punishment.

2. Aktualisasi Prinsip-Prinsip Good Governance

Isu strategis kedua yang memerlukan penanganan adalah bagaimana mengaktualisasikan tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance). Mengak-tualisasikan nilai-nilai dan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam good governance (GG) masih belum terwujud secara nyata dalam
pengelolaan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan secara berkeseimbangan.

GG dipahami juga mengandung makna adanya keseimbangan peran antara pemerintah,


masyarakat dan dunia usaha (swasta) dalam penyelenggaraan negara. Keseimbangan peran akan
memungkinkan terjadinya kesetaraan, tidak ada dominasi antara satu atas lainnya. Dengan demikian
tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi perannya, karena semua pihak memahami bahwa masing-
masing mempunyai posisi dan peran yang vital dalam upaya mencapai cita-cita dan tujuan bersama.

Dorongan ke arah terwujudnya GG sudah banyak dilakukan oleh pemerintah. Namun ibarat
sebuah kampanye, banyak diretorikakan akan tetapi banyak pula pihak mengakui nilai-nilai GG
belum benar-benar teraktualisasikan. Sehingga GG kemudian menjadi fenomena yang dikenal tapi
belum dibumikan; nilai dan prinsip yang terkandung di dalamnya belum diterapkan secara efektip.
Beberapa kendala yang diakui sebagai kelemahan dalam mengaktualisasikan GG antara lain adalah
lemahnya pemahaman dan kemampuan menerapkan prinsip-prinsip GG, lemahnya komitmen 3 pilar
GG (masih sebatas retorika), dan dalam upaya melaksanakan GG belum didukung sistem informasi
yang memadai. Tabel 5, Matriks Rencana Tindak dengan Isu strategik Aktualisasi Good Governance
menunjukkan identifikasi terhadap kelemahan-kelemahan dalam mengaktualisasikan tata
kepemerintahan yang baik dan upaya-upaya untuk mengatasinya.

Solusi atas berbagai kelemahan tersebut harus dilakukan secara simultan. Rencana tindak ke
depan untuk mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahan dalam mewujudkan GG
selanjutnya, antara lain adalah sbb.

Pertama, untuk mengatasi lemahnya pemahaman dan kemampuan menerapkan prinsisp-


prinsip GG perlu upaya menginternalisasikan nilai dan prinsip-prinsip GG dalam manajemen setiap

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 71


Rencana Tindak

lembaga, diawali dengan pembakuan konsep (termasuk indikator operasional GG), modul dan proses
pembelajaran, mekanisme penerapannya pada setiap lembaga, dan pelaksanaan penilaian dan
pengendalian terhadap pelaksanaan GG.

Kedua, lemahnya komitmen ketiga pilar GG (pemerintah, swasta, dan masyarakat) sangat
mempengaruhi kualitas implementasi dan aktualisasi prinsip-prinsip GG dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Untuk mengatasai permasa-lahan ini, tindakan yang perlu dilakukan adalah
memberdayakan lembaga yang mengaplikasikan prinsip-prinsip GG, mengembangkan aplikasi
prinsip-prinsip GG dalam manejeman pemerintahan di pusat dan daerah disertai kegiatan sosialisasi
dan diseminasi prinsip-prinsip GG kepada seluruh stakeholders. Dalam hubungan ini, upaya
membangun konsensus dalam dan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sebagai pilar GG
menjadi amat urgen.

Ketiga, belum adanya dukungan sistem informasi yang memadai dalam mengaplikasikan
prinsip-prinsip GG. Sistem informasi dalam era globalisasi dan keterbukaan saat ini sangatlah
penting bagi penyelengaraan pemerintahan untuk dikenali, dimengerti, dipahami dan dimilki
kemahiran dalam pemanfaatannya. Berkaitan dengan hal ini maka pemerintah perlu melakukan
terobosan untuk membangun sistem informasi pada setiap lembaga secara terintergrasi, membangun
pola kemitraan dengan pihak swasta dibidang informasi, menyusun SOP pada setiap lembaga dalam
pemanfaatan Sistem Informasi (SI) untuk mendukung penerapan prinsip-prinsip GG. Dalam konteks
ini pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya informasi dapat dilakukan melalui out sourching
dengan memanfaatkan kerjasama dengan pihak swasta yang kompeten. Upaya-upaya ini amat
membutuhkan fasilitasi bagi peningkatan kompetensi aparatur khususnya di bidang TI, sekaligus
disertai perubahan sistem insentif dalam pengembangan TI.

3. Kompetensi SDM Aparatur

Sumber daya manusia aparatur merupakan sumber daya birokrasi yang sangat penting.
Kelembagaan birokrasi yang baik hanya bisa berjalan baik kalau diisi dan dijalankan oleh sumber
daya manusia yang memiliki komitmen dan kompetensi yang memadai dalam mengemban tugas
jabatan dan pekerjaan kepemerintahannya, disertai perilaku dan sikap yang konsisten dengan misi
keberadaannya dalam “memberikan pelayanan kepada masyarakat”. Oleh karena itu, di masa datang
para birokrat diharapkan memiliki kompetensi bukan saja berupa pengetahuan dan keterampilan serta
wawasan yang luas terhadap pekerjaannya, tetapi juga berupa pengetahuan dasar psikologi sosial,
kecerdasan emosional yang stabil, serta kemampuan berkomunikasi dengan baik dan dalam menjalin
hubungan interpersonal.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 72


Rencana Tindak

Pada kenyataannya, dalam menjalankan tugasnya, banyak pihak mengeluhkan bahwa pejabat
terkait kurang mampu menjalankan tugasnya. Sumber penyebab kondisi ini antara lain berupa standar
kualifikasi dan mekanisme rekruitmen pegawai belum mantap, pembinaan karir yang tidak jelas,
ketidaksesuaian antara kemampuan/ ketrampilan SDM dengan tugas yang diemban, disiplin yang
rendah, uraian tugas dan kewenangan yang belum jelas, sistem reward and punishment yang belum
mantap konsep dan pelaksanaannya, penegakan hukum yang lemah dan infrastruktur pendukung yang
belum memadai. Semua ini menggambarkan menejemen SDM yang belum mantap mulai dari
rekruitmen sampai dengan pesiun. Selain itu beberapa penyebab lainnya antara lain adalah belum
adanya standar baku kinerja yang jelas, lemahnya sistem pengawasan dan penilaian, dan masih
kentalnya praktek KKN dalam penerimaan dan pembinaan pegawai maupun dalam pengangkatan
untuk menduduki jabatan tertentu. Kondisi ini masih tetap berlangsung pada era reformasi saat ini,
baik di tingkat pusat maupun daerah. Selanjutnya dalam Tabel 6 Matriks Rencana Tindak dengan
Strategik Kompetensi SDM, yang menunjukkan identifikasi terhadap kelemahan-kelemahan dalam
meningkatkan kompetensi SDM aparatur dan upaya-upaya untuk mengatasinya.

Kondisi tersebut perlu penanganan yang tepat dan berdasarkan rencana tindak yang jelas,
berisikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan kelemahan-
kelemahan pokok yang dihadapi, antara lain sbb:

Pertama, sistem rekruitmen dan pembinaan karir yang tidak jelas akan membuka kran praktek
KKN dalam penerimaan pegawai, mengakibatkan pegawai yang diterima tidak cukup memenuhi
persyaratan kompetensi yang diharapkan, dan menimbulkan kerancuan dalam pembinaan selanjutnya.
Oleh karena itu ke depan agar kita memperoleh SDM aparatur yang memiliki integritas dan
kompetensi yang diharapkan, harus menetapkan standar kualifikasi dan mekanisme penerimaan dan
pembinaan pegawai yang komprehensif, jelas dan mantap, melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaannya secara rasional, sistemik dan lugas.

Kedua, ketidak sesuaian antara kemampuan/ketrampilan SDM dengan tugas yang diemban
sangat mempengaruhi kualitas kinerja aparatur dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk mengatasi permasalahan ini maka pemerintah perlu meninjau kembali persyaratan setiap
pekerjaan dan jabatan negeri, menetapkan standar kompetensi pekerjaan dan jabatan pegawai negeri,
menetapkan standar pendidikan dan pelatihan aparatur untuk setiap jenis pekerjaan dan jenjang
jabatan, membuat persyaratan dan mekanisme pengangkatan dalam jabatan secara transparan dan
akuntabel, menyusun sistem relokasi pegawai ke instansi dan tempat lain secara jelas dan dilakukan
secara kosisten.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 73


Rencana Tindak

Ketiga, disiplin SDM aparatur yang masih rendah merupakan cerminan masih buruknya
birokrasi pemerintahan. Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan adanya perubahan perilaku
yang mendasar, melalui revitalisasi pembinaan kepegawaian dan proses pembelajaran yang
membangun komitmen dan kompetensi yang kuat dalam mengemban tugas sebagai Pegawai
Republik, disertai pengembangan sistem rewards and punishment yang tepat dan efektip agar
terbangun semangat, kemampuan, dan kemauan untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya
secara sebaik-baiknya.

Keempat, menajemen SDM yang belum mantap mulai dari rekruitmen sampai dengan pesiun
merupakan salah satu indikator bahwa kualitas dan kompetensi aparatur masih rendah. Hal ini
disebabkan oleh belum adanya perencanaan yang mantap dalam mengelolah pegawai secara rasional
dan layak, pola seleksi yang belum kompetitif, terbuka dan memenuhi prinsip kesadilan dan belum
adanya konsistensi terhadap perencanaan dan sistem penghargaan dan sangsi terhadap para aparatur
yang berprestasi dan yang melakukan penyewengawan dan pelanggaran terhadap aturan
kepegawaian.

Kelima, uraian tugas dan kewenangan yang tidak jelas akan menimbulkan ketidakpastian di
kalangan aparatur dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlu upaya penetapan batas kewenangan antar jenjang jabatan
dan antar jabatan tertentu, menyusun jod description dan kewenangan setiap jabatan secara jelas,
melakukan pembimbingan teknis dan manajerial secara bertahap dan berkelanjutan.

Keenam, penerapan sistem reward and punishment yang tidak jelas akan menyebabkan
rendahnya kualitas kinerja aparatur dan menggambarkan rendahnya kompetensi SDM. Untuk
mendorong penerapan sistem reward and punishment perlu upaya peninjauan kembali peraturan
perundang-undangan yang mengatur sistem sistem reward and punishment, menata kembali sistem
diklat, menyusun atau menyumpurnakan sistem reward and punishment, menyusun kriteria
mengenai sistem merit and sistem karir, menetapkan standar akreditasi sistem Diklat jabatan dan
diikuti kegiatan sosialisasi peraturan dan perundang-undangan melalui berbagai Diklat dan seminar.

Ketujuh, penegakan dan pelaksanaan hukum dan perundang-undangan yang masih lemah akan
mempengaruhi kewibawaan dan ketaatan aparat terhadap hukum dan perundang-undangan yang
menjadi aturan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjwabnya. Oleh karena itu perlu adanya upaya
pemrosesan sacara hukum terhadap penyalagunaan kewenangan, penyusunan kembali tentang etika
birokrasi dan budaya kerja secara jelas, menciptakan suatu mekanisme yang efektif dalam
mengaplikasikan hukum dan perundang-undangan, dan menciptakan SDM yang memiliki komitmen
terhadap tujuan bernegara dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur pancasila dan UUD 1945.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 74


Rencana Tindak

Kedelapan, lemahnya infrastruktur pendukung pelaksanaan birokrasi juga akan berpengaruhi


terhadap kelancaran dan kualitas kinerja aparatur. Sehingga kedepan perlu penyediaan sarana dan
prasarana pendukung, menyusun SOP dalam rangka pemanfaatan infrastruktur pendukung dan
meningkatkan kualitas dan ketrampilan SDM aparatur.

4. Pelayanan Publik

Pelayanan publik dapat dipandang sebagai proses sekaligus kinerja yang menunjukkan
bagaimana fungsi pemerintahan dijalankan birokrasi. Proses, karena pelayanan publik merupakan
aktivitas dengan berbagai input sarana, prasarana, SDM, dan mekanisme kemudian berinteraksi
secara internal dan eksternal membentuk proses. Proses tersebut selanjutnya menghasilkan kinerja
(berupa output, outcome, dan impact) pelayanan publik. Dalam hubungan ini, kualitas proses sangat
berpengaruh terhadap kinerja tersebut.

Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari keengganan masyarakat
berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan untuk sejauh mungkin
menghindari birokrasi pemerintah. Fenomena “high cost”, kurang responsif, kurang informatif,
kurang accessible, kurang koordinasi, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat,
inefisiensi dan birokratis, merupakan kondisi pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat
selama ini. Fenomena pelayanan publik tersebut disebabkan antara lain oleh masih banyaknya fungsi
dan peran kelembagaan yang tumpang tindih, pemerintahan yang dirasakan masih sentralistik,
kurangnya infrastruktur e-Government, masih menguatnya budaya dilayani bukan melayani,
transparansi biaya dan prosedur pelayanan yang belum jelas; serta sistem insentif, penghargaan dan
sanksi belum memadai. Tabel 7 Matriks Rencana Tindak dengan Isu Strategik Pelayanan Publik,
yang menunjukkan identifikasi terhadap kelemahan-kelemahan dalam meningkatkan pelayanan
publik dan upaya-upaya untuk mengatasinya.

Kelemahan-kelemahan yang melekat pada pelayanan publik meliputi aspek kelembagaan,


ketatalaksanaan, dan SDM. Rencana tindak ke depan berisikan upaya-upaya yang dapat dilakukan
untuk mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahan tersebut.

Pertama, untuk mengatasi tumpang tindihnya fungsi dan peran kelembagaan perlu dilakukan
reformulasi kelembagaan yang ada dengan pembenahan struktur penjabaran stugas dan fungsi yang
jelas dan tidak tumpang tindih, peninjauan kembali peraturan perundang-undangan mengenai
memberikan pelayanan publik yang tumpang tindih, menata kembali sistem dan prosedur pelayanan
publik, dan menempatkan orang yang tepat pada jabatan/pekerjaan yang tepat, meningkatkann
komitmen dan kompetensi pelayanan.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 75


Rencana Tindak

Kedua, untuk mencegah berulangnya pemerintahan yang sentralistik perlu dilakukan di


samping penataan struktur organisasi pemerintah pusat dan daerah, juga sistem hubungan yang
menunjukan kesetaraan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah dan antar pemerintah
daerah dalam mengelola tugas pelayanan, mempercepat sosialisasi dan internalisasi budaya otonomi
dalam rangka implementasi UU OTDA yang baru secara tuntas, dan meningkatkan kualitas dan
kuantitas SDM yang lebih merata dalam pelayanan.

Ketiga, lemahnya aplikasi e-Government diatasi dengan membangun tata kelola pelayanan
berbasis e-Government, mempercepat penyusunan peraturan perudang-undangan yang bertalian dgn
e-Government, dan menyiapkan SDM yang memiliki kompetensi e-Government.

Keempat, masih menguatnya sikap dan perilaku dilayani bukan melayani merupakan penyakit
birokrasi yang akut. Hal ini dapat dirubah dengan melakukan dan membangun pola pikir aparatur
yang berorientasi pada pelayanan, membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat dalam
penyelenmggaraan pelayanan publik, mengurangi peran lembaga pemerintah untuk hal-hal yang
sudah dapat dilakukan masyarakat, membangun organisasi pemerintah berdasarkan pada
kepercayaan, dan mengembangkan sistem yang berorientasi pada kepuasan pelanggan.

Kelima, standar pelayanan yang meliputi tingkat biaya, prosedur pelayanan, dan jangka waktu
pelayanan yang belum jelas. Hal ini perlu ditangani dengan jalan mendorong terciptanya lembaga
pelayanan publik yang standar dan terukur, dengan membangun sistem standarisasi pelayanan
publik mulai dari input, proses dan output dalam pelayanan, kemudian dituangkan dalam SOP yang
transparan sebagai pedoman bagi setiap lembaga pelayanan, dalam upaya mendorong dan prosedur
yang lebih baik dalam pelayanan, dan meningkatkan kepedulian aparatur dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat.

Keenam, sistem insentif yang lemah perlu diperbaiki dengan lebih menekankan keseimbangan
“kualifikasi, kinerja, dan penghargaan”, merubah peraturan perun-dang-undangan tentang sistem
remunerasi yang menjamin terpemenuhinya standar hidup layak dan kesejahtraan PNS, serta
berorientasi pada “kelayakan kualifikasi dan kinerja pegawai dengan penghasilan yang diterima”.

Ketujuh, penghargaan dan sanksi belum memadai. Hal ini perlu diperbaiki dengan
membangun sistem penilaian kinerja dan pengawasan yang berorientasi pada pemberian
penghargaan dan sanksi pada individu pada setiap institusi pemerintah, dan didukung dengan
peraturan dan ketentuan perundang-undangan tentang pemberian penghargaan dan sanksi yang tepat.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 76


Rencana Tindak

5. Desentralisasi Kewenangan

Sistem pemerintahan desentralistik bertujuan untuk menciptaan pemerintahan yang efektif,


responsif, dan partisipatif, di mana urusan-urusan pemerintahan dibagi dan didistribusikan kepada
daerah. Output yang ingin dicapai dengan strategi ini adalah agar masyarakat lokal dapat terlayani
dengan baik oleh pemerintah daerah. Jadi, secara ideal normatif sesungguhnya konsep desentralisasi
(otonomi daerah) pada dasarnya merupakan upaya pencerahan untuk memberdayakan pemerintah
daerah beserta masyarakatnya.

Namun, kenyataan menunjukkan bahwa implementasi densentralisasi kewenangan seperti


yang tertuan pada UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keungan Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
Pemerintahan Daerah lainnya, ternyata hanya mampu memberikan harapan secara konseptual
normatif, tetapi tidak pada tataran implementatif. Konsep yang demikian bagus, dalam aplikasinya
belum secara optimal terlaksana secara baik. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
rendahnya kapasitas aparatur daerah, lambannya penyesuaian kelembagaan pusat (resistensi), belum
tuntasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dan antar daerah, masih belum
optimal aspek keserasian dan keterpaduan regulasi/kebijakan antara pusat dan daerah, serta kebijakan
pusat (sektor) yang tidak sejalan dengan kebijakan desentralisasi, dan belum secara optimal dipahami
pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah yang didasarkan pada Sistem Administrasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI) sebagai guiding principle. Tabel 8 Matriks Rencana Tindak
dengan Issu stategik Desentralisasi Kewenangan, yang menunjukkan identifikasi terhadap
kelemahan-kelemahan dalam implementasi desentralisasi dan upaya-upaya untuk mengatasinya.

Upaya menangani kelemahan ini harus didasarkan pada kenyataan bahwa desentralisasi
merupakan kebijakan yang lebih menjanjikan keadilan, demokrasi, kemajuan kemanusiaan dan
kesejahteraan; sudah ada, konstitusional, dan harus dilaksanakan secara konsisten. Rencana tindak ke
depan berisikan berbagai upaya yang dapat dilakukan selanjutnya untuk mengurangi atau
menghilangkan kelemahan-kelemahan yang dihadapi.

Pertama, rendahnya kapasitas aparatur daerah dapat diatasi dengan memperkuat lembaga yang
ada sesuai dengan peraturan tentang hak dan kewajiban daerah dalam mengelola pemerintahan dan
pembangunan daerah, meningkatkan kompetensi SDM melalui outsourcing bagi supporting office,
perbaikan sistem remunerasi, perbaikan sistem rekrutmen dan sistem karier, serta peningkatan
pendidikan dan pelatihan.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 77


Rencana Tindak

Kedua, lambannya penyesuaian kelembagaan pusat (resistensi) dapat dilakukan dengan


restrukturisasi kelembagaan di pusat, relokasi SDM pusat yang berlebih ke daerah yang memerlukan,
termasuk pensiun dini, mutasi, dan rotasi.

Ketiga, belum tuntasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah, dan
antar daerah harus ditangani secara serius dimasa yang akan datang dengan meningkatkan kapasitas
daerah, optimasi pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan memantapkan
koordinasi Pusat–Daerah.

Keempat, tiadanya keserasian dan keterpaduan regulasi/kebijakan antar pusat dan daerah
(perda bermasalah); serta kebijakan pusat (sektor) yang tidak sejalan dengan kebijakan desentralisasi.
Hal ini perlu diatasi dengan peningkatan koordinasi Pusat–Daerah, mereview berbagai peraturan
terkait di tingkat pusat, menyusun program legislasi daerah, penetapan SOP penyusunan regulasi
daerah dan pusat, dan peningkatan kemampuan SDM dalam policy making dan legal drafting.

Kelima, perlu didasarkan pada SANKRI sebagai guiding principle dalam pengelolaan p
emerintahan pusat dan daerah, oleh karena itu perlu adanya peningkatan pengetahuan dan
pemahaman tentang SANKRI sebagai landasan untuk membangun komitmen dan kompetensi dasar
dalam bernegara. Dalam konteks ini kesadaran untuk mensejahterakan masyarakat lokal harus
dimaknai dalam konteks meningkatkan ketahanan nasional dalam bingkai NKRI serta peningkatan
jaringan yang saling memberdayakan (enabling networking).

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 78


Tabel 4
Matriks Rencana Tindak dengan Issu Stratejik Clean Government
RENCANA TINDAK
ISU ISU INDIKATOR KINERJA Instansi
Strategik Pendukung Kelembagaan Ketatalaksanaan SDM (Jangka Menengah) Penanggungjawab

Pemerintahan Law Enforcement • Membentuk • Memperbaiki • Meningkatkan • Banyaknya hasil Departemen Kehakiman
yang bersih yang lemah komisi yang sistem kerja kapasitas pemantauan yang dan HAM (Koordinator);
(Clean memantau internal (pengetahuan, akurat terhadap kinerja Kepolisian; Kejaksaan,
Government) kinerja lembaga- sikap, lembaga penegak Mahkamah Agung; KPK,
lembaga lembaga keterampilan) hukum BPK; BPKP
penegak penegak hukum aparat penegak • Banyaknya hasil
hukum • Memperbaiki hukum dalam pemantauan yang
hubungan tata merespon direspon dan
kerja antar kuantitas dan ditindaklanjuti
lembaga kualitas • Banyaknya kasus KKN
penegak hukum kriminalitas yang diselesaikan
dan (white colar dengan tuntas
pengawasan crime) • Tingkat efektifitas
penyelesaian suatu
perkara/ kasus KKN
Ketidakjelasan dan • Melakukan • Disiminasi dan • Banyaknya kasus KKN Departemen Kehakiman
ketidaklengakapan review Sosialisasi yang diselesaikan dan HAM (Koordinator);
peraturan terhadap dengan tuntas Kepolisian; Kejaksaan,
(pemanfaatan peraturan • Tingkat efektifitas Mahkamah Agung; KPK,
celah hukum) seluruh penyelesaian suatu BPK; BPKP
peraturan perkara/ kasus KKN
terkait dengan
KKN
• Memperbaiki
substansi
peraturan-
peraturan yang
memungkinkan
terjadinya multi
interpretasi/
ambiguitas
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 79
Adanya duplikasi • Melakukan • Memperbaiki • Mengadakan • Kejelasan pembagian Departemen Kehakiman
aturan dan review sistem kerja sertifikasi sistem, tugas, fungsi dan dan HAM (Koordinator);
kewenangan kewenangan internal proses dan produk kewenangan lembaga- Kepolisian; Kejaksaan,
lembaga-lembaga dan fungsi lembaga- pendidikan dan lembaga pengawasan Mahkamah Agung; KPK,
pengawasan masing- lembaga pelatihan di internal BPK; BPKP
internal (BPKP, masing pengawasan bidang • Terbangunnya sistem
Itjen, Depdagri, Lembaga • Memantapkan pengawasan dan yang berstandar
Bawasda) pengawasan standar auditing internasional
Tidakefektifnya internal akuntansi • Diterapkannya e-audit
pelaksanaan) • Memperbaiki pemerintah secara selektif
struktur sesuai dengan • Meningkatnya kualitas
fungsi standar SDM aparatur
lembaga- internasional pengawasan dan
lembaga • Mengembangk kinerja pengawasan
pengawasan an e-audit baik kualitatif maupun
internal kuantitatif

Tidakefektifnya • Melakukan • Memperbaiki • Mengadakan • Kejelasan pembagian Departemen Kehakiman


pelaksanaan fungsi review hubungan tata sertifikasi sistem, tugas, fungsi dan dan HAM (Koordinator);
lembaga-lembaga kewenangan kerja antar proses dan produk kewenangan lembaga- Kepolisian; Kejaksaan,
penegak hukum dan fungsi lembaga pendidikan dan lembaga penegak Mahkamah Agung; KPK,
(Adanya lembaga- penegak hukum pelatihan di hukum BPK; BPKP
ketidakjelasan, lembaga • Memperbaiki bidang penegakan • Meningkatnya kualitas
dan duplikasi penegak substansi hukum SDM aparatur penegak
kewenangan, hukum peraturan- • Meningkatkan hukum
lemahnya • Memperbaiki peraturan yang disiplin, • Meningkatnya kinerja
pembinaan struktur multi kompetensi dan aparatur penegak
profesionalisme) fungsi interpretasi/ kesejahteraan hukum khususnya
lembaga- ambiguitas aparatur penegak dalam penyelesaian
lembaga • Pengendalian hukum perkara/kasus KKN
penegak mutu proses dan penerapan hukum
hukum penegakan tindak pidana korupsi
hukum secara efektif
Standar • Mempertega • Mereview • Diseminasi dan • Tersedianya SOP yang Menpan (Koordinator);
pengelolaan s institusi terhadap SOP Sosialisasi SOP jelas, mudah dipahami seluruh lembaga
kebijakan dan yang lembaga- dan indikator dan dilaksanakan penyelenggara negara dan
pelayanan publik bertanggungj lembaga kinerja lembaga • Terciptanya keserasian pemerintahan

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 80


yang belum jelas awab untuk penyelenggara • Peningkatan dan keterpaduan
dan tidak menyusun negara dan kompetensi SDM kebijakan publik
transparan (SOP norma, pemerintahan • Penerapan reward • Tersedianya indikator
dan berorientasi standar, dan • Memperbaiki and punishment kinerja (input, proses,
pada pencapaian prosedur dan output, outcome) yang
tujuan bernegara dalam merumuskan jelas dan terukur
dan kepentingan pengelolaan kembali SOP. • Terbitnya laporan
publik) kebijakan • Menetapkan akuntabilitas kinerja
publik indikator yang dapat diakses
• Memperkuat kinerja (input, oleh publik
fungsi dan proses, output, • Meningkatnya
kewenangan outcome) kompetensi SDM
unit yang masing-masing • Tersedianya informasi
mengelola lembaga. kebijakan publik yang
informasi • Memperkuat terpercaya, mutakhir,
sistem dan serta mudah dijangkau
manajeman
informasi pada
setiap lembaga
informasi yang
ada
• Menetapkan
aturan
mengenai
klasifikasi
informasi yang
wajib, dapat
atau tidak dapat
disampaikan
kepada publik

Lemahnya • Memberdaya • Menetapkan • Memperkuat • Meningkatnya seluruh lembaga


partisipasi kan pedoman untuk pemahaman dan partisipasi dalam penyelenggara negara dan
masyarakat dalam lembaga- mengakomodas tanggungjawab pengawasan pemerintahan
pengawasan lembaga ikan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan
penyelenggaraan kemasyaraka masyarakat proses pemerintahan
pemerintahan tan (sipil) penyelenggaraan (masukan yang
yang pemerintahan berkualitas dari

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 81


memiliki (civic education) masyarakat untuk
fungsi • Memfasilitasi penyusunan, perbaikan
pengawasan learning process implementasi, dan
mengenai civic evaluasi kinerja)
education

Profesionalitas • Regulasi • Melakukan • Menegakkan • Meningkatnya kinerja Menpan dan BKN


tidak dihargai standar review sistem reward and lembaga dan SDM (Koordinator)
secara layak kinerja dan proses punishment aparatur
(misalnya profesional pengelolaan • Remunerasi yang
remunerasi belum individu dan kebijakan mengakomodasi
sesuai standar institusi remunerasi standar kelayakan
sektor swasta • Memperkuat • Menyusun dan (Y=C+S).
dengan tingkat kelembagaan menerapkan
produktivitas) kepegawaian sistem
dalam remunerasi
pembinaan sesuai dengan
profesionalit standar
as kelayakan
(kinerja, biaya
hidup dan
saving).

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 82


Tabel. 5
Matriks Rencana Tindak dengan Isu Stratejik Aktualisasi Good Governance (GG)

RENCANA TINDAK
ISU ISU INDIKATOR KINERJA Instansi
Strategik Pendukung Kelembagaan Ketatalaksanaan SDM (Jangka Menengah) Penanggungjawab

Aktualisasi Lemahnya • Menginternal • Menyusun • Sosialisasi dan • Terinternalisasikannya Menpan (Koordinator)


prinsip-prinsip pemahaman dan isasi kan konsep, diseminasi GG nilai-nilai GG dalam
GG kemampuan nilai-nilai mekanisme, dan • Meningkatkan proses kebijakan pada
mengaktualisasika GG dalam indikator learning process setiap lembaga
n prinsip-prinsip proses operasional GG • Tersedianya konsep,
GG kebijakan • Melakukan mekanisme, dan
pada setiap kendali mutu indikator operasional
lembaga terhadap GG
pelaksanaan GG • Diterapkannya kendali
mutu terhadap
pelaksanaan GG
• Meningkatnya
pemahaman,
komitmen, dan
kompetensi SDM
dalam menerapkan GG
Lemahnya • Memberdaya • Mengembang • Sosialisasi dan • Meningkatnya
komitmen 3 pilar kan lembaga kan aplikasi diseminasi prinsip kapasitas lembaga
GG (masih sebatas untuk prinsip-prinsip GG kepada dalam mewujudkan
retorika) mengaplikasi GG dalam seluruh prinsip GG
kan prinsip- manajemen stakeholdernya • Teraplikasikannya
prinsip GG pemerintahan • Membangun prinsip GG dalam
di pusat dan konsensus dalam manajemen
daerah dan antar tiga pemerintahan di pusat
pilar GG dan daerah
• Tersosialisasikannya
prinsip GG kepada
seluruh stakeholder
• Terbangunnya
konsensus dalam dan
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 83
antar tiga pilar GG
Belum didukung • Membangun • Menyusun • Meningkatan • Terbangunnya sistem Menegkominfo
Sistem Informasi sistem SOP pada kapasitas SDM informasi (banyaknya (Koordinator)
yang memadai; informasi setiap lembaga aparatur di bidang lembaga yang telah
pada setiap dalam rangka sistem informasi membangun dan
lembaga pemanfaatan SI • Memanfaatkan menerapkan sistem
yang untuk sumber daya luar informasi)
terintegrasi mendukung (outsourcing) • Tersusunnya SOP
• Membangun penerapan untuk mengelola dalam rangka
kemitraan prinsip GG dan pemanfaatan sistem
dengan pihak • Mengadakan mengembangkan informasi untuk
swasta di sistem insentif SI mendukung penerapan
bidang untuk prinsip GG
sistem pengembangan • Meningkatnya
informasi sistem kapasitas dan kualitas
informasi SDM aparatur di
bidang sistem
informasi

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 84


Tabel 6.
Matriks Rencana Tindak dengan Issu Stratejik Kompetensi SDM

RENCANA TINDAK
ISU ISU INDIKATOR KINERJA Instansi
Strategik Pendukung Kelembagaan Ketatalaksanaan SDM (Jangka Menengah) Penanggungjawab

Kompentesi Quality at Entry • Penetapan • Merevie Perekrutan SDM • Tingkat Pendidikan MENPAN, BKN, OTO-
SDM Aparatur syarat dan w dan yang kompetensinya • Nilai TPA BAPPENAS,
standar menyusu sesuai dengan • Nilai TOEFL DEPDAGRI, BADIKLAT
perekrutan n SOP kebutuhan • Nilai ujian masuk DAERAH
pegawai Rekruitm
en
pegawai
baru
• Pengawa
san
terhadap
pelaksan
aan SOP
rekruitm
en

Ketidaksesuain • Penetapan • Penyusunan • Relokasi pegawai Terpenuhinya SDM yang MENPAN, BKN,
antara standar SOP relokasi ke tempat lain; sesuai antara beban kerja DEPDAGRI, BADIKLAT
kemampuan/ kompetensi pegawai • Diklat; dan kemampuan yang DAERAH
ketrampilan SDM jabatan • Penyusunan • Merekrut pegawai dimiliki
dengan tugas yang • Penetapan SOP Diklat baru.
diembannya; standar
Diklat untuk
setiap
jabatan
MENPAN,

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 85


Kedisiplinan; • Memaksimal • Pengawasan Jumlah pelanggaran KEJAKSAAN, POLRI,
kan fungsi dan bimbingan; peraturan BPKP, BPK, BKN, ITJEN
inspektorat, • Pembinaan DEPDAGRI
dan Bawasda Moral

Manajemen SDM • Perencanaan • Tersedianya MENPAN, LAN, BKN,


(yang belum pegawai yang dokumen review BAPPENAS, DEPKEU,
mantap) (dari rasional dan SDM; DEPDAGRI
proses rekruitmen layak; • Tersedianya
s.d. pension); • Pola seleksi dokumen
yang perencanaan SDM
kompetitif, yang bersifat nasional
terbuka dan dan lokal
adil; • Tersusunnya rencana
• Konsistensi kebutuhan pegawai;
terhadap • Tertatanya pola
penerapan seleksi yang lebih
sistem baik;
penghargaan • Terlaksananya
dan sanksi penerapan sistem
penghargaan dan
sanksi


Uraian tugas dan • Penetapan Penyusunan job Bimbingan teknis dan Tersusunnya uraian tugas MENPAN, BKN, LAN,
kewenangan yang batas description (uraian manajerial yang lebih baik untuk DEPDAGRI
tidak jelas kewenangan tugas) dan setiap jabatan.
antar jenjang kewenangannya
jabatan dan secara jelas
antara
jabatan
tertentu

• Meninjau • Perbaikan Sosialisasi peraturan • Tersusunnya MENPAN, BKN, LAN,


Sistem kembali sistem perundang- mekanisme sistem KEJAKSANAAN
penghargaan dan peraturan penghargaan; udanganan melalui penghargaan; AGUNG, DEPDAGRI
sanksi yang tidak perundang- • Penyusunan/ berbagai diklat dan • Tersusunnya
jelas (a) Merit and undangan penyempurnaan seminar mekanisme sistem
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 86
carier system; (b) yang sistem sanksi; sanksi;
Diklat. mengatur • Penyusunan • Tersusunnya peraturan
sistem kriteria perundangan-undangan
penghargaan, mengenai yang mengatur sistem
sanksi, merit sistem merit merit dan sistem karir
dan karier. and sistem karir berdasarkan prestasi.
• Menata • Penetapan • Meningkatnya kualitas
kembali standar SDM aparatur negara.
sistem diklat akreditasi
jabatan sistem diklat
jabatan


Law enforcement • Pemrosesan Menciptakan suatu Menciptakan SDM • Meningkatnya jumlah KEJAKSANAAN,
secara mekanisme yang yang memiliki pelanggaran hukum POLRI, MENPAN, BKN,
hukum efektif dalam komitmen terhadap yang diproses secara LAN, DEPDAGRI
terhadap mengaplikasikan tujuan bernegara dgn hukum;
penyalahgun peraturan menjunjung tinggi • Tersusunnya kode etik
aan perundangan nilai-nilai luhur birokrasi.
kewenangan; Pancasila dan UUD
• Penyusunan 1945
etika
birokrasi dan
budaya
kerja;


Infrastruktur • Penyediaan Menyusun SOP Peningkatan kualitas Tersedianya infrastruktur MENPAN, BKN,
pendukung yang sarana dan dalam rangka dan ketrampilan yang mendukung BAPPENAS, DEPKEU
masih lemah prasarana pemanfaatan SDM penyelenggaaan negara
pendukung; infrastruktur dan pembangunan
pendukung

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 87


Tabel 7.

Matriks Rencana Tindak dengan Issu Stratejik Pelayanan Publik


RENCANA TINDAK
ISU ISU INDIKATOR KINERJA Instansi
Strategik Pendukung Kelembagaan Ketatalaksanaan SDM (Jangka Menengah) Penanggungjawab

Pelayanan Masih • Reformulasi • Menata • Menempatkan • Berkurangnya peraturan • Sekneg


Publik banyak tumpang tugas & kembali sistem orang yang tepat perundang-undangan • Mendagri
tindihnya fungsi fungsi serta dan prosedur pada jabatan yang yang tumpang tindih • Menpan
dan peran struktur pelayanan tepat. terhadap fungsi dan • Depart. lain
Kelembagaan kelembagaan publik yang peran kelembagaan. • Pemda
yang ada diberikan oleh • Tersusunnya sistem
(meninjau instansi pelayanan yang efektif
kembali pemerintah . yang didukung oleh
peraturan SDM aparatur yang
Perundangan profesional
yang
tumpang
tindih dalam
memberikan
pelayanan
publik)
Pemerint • Menata • Mempercepat • Meningkatkan • Implementasi sistem • Mendagri
ahan yang kembali sosialisasi dan kualitas dan pemerintahan yang • Menpan
sentralistik struktur implementasi kuantitas SDM desentralistik. • Pemda
organisasi UU OTDA yang lebih merata • Kualitas dan kuantitas
pemerintah yang baru dalam pelayanan SDM yang lebih merata
pusat dan secara tuntas dalam pelayanan
daerah.
• Membangun
hubungan
kesetaraan
antara
pemerintah
pusat dan
daerah dan
antar
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 88
pemerintah
daerah
Kurangn • Membangun • Mempercepat • Menyiapkan • Semua lembaga • Menegkominfo
ya infrastruktur infrastruktur penyusunan SDM yang pemerintahan telah • Menpan
e-Government kelembagaan peraturan berkompentensi memiliki web site. • Depart.lain
berbasis e- perudang- dan berbudaya • Terpenuhinya infras- • Pemda
Government undangan yang e-Government truktur kelembagaan
berorientasi e- berbasis e-
Government Government.
• Implementasi undang-
undang yang
berorientasi e-
Government
• Tersedianya SDM yang
berkompen-tensi dan
berbudaya e-
Government
Budaya dilayani • Membangun • Menciptakan • Membangun pola • Berkurangnya keluhan • Mendagri
bukan melayani kemitraan sistem yang pikir aparatur masyarakat berkaitan • Menpan
antara berorientasi yang pro aktif dengan pelayanan • Pemda
pemerintah pada kepuasan dalam pelayanan pemerintah
dan pelanggan
organisasi
masyarakat
dalam
rangka
pelayanan
publik.
• Mengurangi
peran
lembaga
pemerintah
yang
berorintasi
serba negara.
• Membangun
organisasi
pemerintah
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 89
berdasarkan
pada
kepercayaan

Standar pelayanan • Mendorong • Membangun • Meningkatkan Adanya pelayanan yang • Mendagri


yang meliputi terciptanya sistem kepedulian cepat, tepat dan biaya • Menpan
transparansi biaya lembaga standarisasi aparatur dalam yang terjangkau serta • Pemda
dan prosedur pelayanan mulai dari memberikan transparan
pelayanan yang publik yang input, proses pelayanan kepada
belum jelas standar dan dan output masyarakat
terukur dalam
pelayanan
publik
• Pembuatan
SOP dalam
upaya
mendorong
transparansi,
dan prosedur
yang lebih baik
dalam
pelayanan.

Sistem insentif • Membangun • Tersusunnya • Meningkatkan • Peraturan Perundang- • Mendagri


yang lemah lembaga peraturan kesejahtraan PNS undangan tentang • Menpan
berbasis perundang- dan meningkatkan sistem remunerasi yang • Menkeu
kinerja undangan gaji yang layak memenuhi standar • Pemda
tentang sistem hidup layak.
remunerasi • Terpenuhinya
yang kebutuhan PNS yang
memenuhi layak, dari remunerasi
standar hidup yang diterima.
layak

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 90


Tabel 8.

Matriks Rencana Tindak dengan Issu Stratejik Desentralisasi Kewenangan.

RENCANA TINDAK
ISU INDIKATOR KINERJA Instansi
ISU
Pendukung Kelembagaan Ketatalaksanaan SDM (Jangka Menengah) Penanggungjawab
Strategik
Desentralisasi Rendahnya • Outsourcing Meningkatkan Meningkatnya kompetensi Depdagri dan Seluruh
kewenangan kapasitas aparatur bagi kompetensi SDM SDM Badan Diklat Prop,
daerah supporting melalui: Kab/Kota
office • perbaikan sistem
• perbaikan rekrutmen dan
sistem sistem karier
remunerasi • pelatihan dan
• Memperkuat pendidikan,
lembaga yang • profesionalitas
ada
• Implementasi
peraturan
tentang hak
dan
kewajiban
daerah dalam
mengelola
aparatur
daerah

Lambannya Restrukturisasi Penyusunan sistem • Penataan SDM • Adanya Peraturan Menpan, dan seluruh
penyesuaian kelembagaan di dan standar pusat yang Presiden tentang Sekretariat Daerah
kelembagaan pusat pusat pelatihan berlebih ke daerah kelembagaan di pusat
(resistensi); yang memerlukan • Boundary less
termasuk organization
pensiunan dini, • Tidak terlalu hierarkis
mutasi, pelatihan, • Pengambilan
dan pembekalan keputusan yang lebih
cepat dan sederhana
Belum tuntasnya • Meningkatka • Meningkatnya porsi Depkeu, MenpanN,
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 91
pembagian n kapasitas dana perimbangan Depdagri, dan Bappenas
kewenangan antara fiskal daerah dalam APBN serta Dep/Lembaga
pemerintah pusat • Optimasi • Menurunnya
dengan daerah, dan pembagian kesenjangan
antar daerah; kewenangan pembangunan antar
antara daerah
pemerintah • Efektifnya
pusat dan pemerintahan di pusat
daerah dan daerah
• Koordinasi • Berkurangnya struktur
Pusat – kelembagaan pusat
Daerah yang kewenangannya
sudah diserahkan ke
daerah
• Berkurangnya
kewenangan yang
tumpang tindih
Tiadanya Peningkatan • Me-review Peningkatan • Tersusunnya program Depdagri,Bappenas,
keserasian dan koordinasi Pusat berbagai kemampuan SDM legislasi daerah Pemda
keterpaduan -Daerah peraturan terkait dalam legal planning (Prolegda) Adanya
regulasi/ kebijakan di tingkat pusat dan legal drafting SOP (dapat berbentuk
antar pusat dan • Menyusun PP, Perda, Keppres)
daerah (perda program • Kualitas SDM
bermasalah); serta legislasi daerah perencana kebijakan
kebijakan pusat • Penetapan SOP meningkat
(sektor) yang tidak penyusunan • Berkurangnya konflik
sejalan dengan regulasi daerah antar peraturan
kebijakan dan pusat perundang-undangan
desentralisasi

Perlu didasarkan SANKRI Terciptanya keserasian LAN, Depkeh, Depdagri


pada SANKRI sebagai landasan dan keterpaduan dalam
sebagai guiding untuk perumusan kebijakan
principle dalam membangun publik
pengelolaan komitmen dalam
pemerintahan pusat bernegara
dan daerah

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 92


Penutup

BAB V

PENUTUP

Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan upaya perubahan yang dilakukan secara sadar,
untuk memposisikan diri (birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika
lingkungan yang dinamis. Upaya tersebut, dikakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi secara
tepat dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sebagaimana diamanatkan konstitusi. Kesadaran
diri untuk melakukan upaya perubahan ke arah yang lebih baik, merupakan cerminan dari sebuah
kebutuhan. Kebutuhan tersebut, bertitik tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih
jauh dari harapan. Realitas ini, sesungguhnya juga menunjukkan kesadaran bahwa terdapat
kesenjangan antara apa sebenarnya diharapkan dengan fakta aktual mengenai peran birokrasi dewasa
ini.

Berbagai predikat negatif ditujukan terhadap birokrasi pemerintah dalam melaksanakan tugas-
tugas pemerintahan dan pembangunan dewasa ini. Predikat negatif ini, terkait dengan penyakit
birokrasi “korupsi kolusi dan nepotisme” (KKN), dan rendahnya kinerjanya yang dapat diukur
dengan lambatnya dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Kondisi demikian, berakibat
pada tingkat kredibilitas birokrasi yang makin merosok, dan bahkan timbul ketidakpercayaan dan
skeptis dari masyarakat terhadap kinerja birokrasi.

Di samping itu, berbagai publikasi hasil kajian ilmiah yang dilakukan oleh beberapa lembaga
independen internasional, senantiasa menempatkan Indonesia pada urutan terbawah dalam pelayanan
publik. Indikasi tersebut merupakan salah satu indikator negatif akan rendahnya kinerja birokrasi
pemerintah dewasa ini.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kajian rencana tindak reformasi birokrasi ini,
merupakan salah satu upaya untuk merespon kondisi birokrasi saat ini dan tuntutan perbaikan
knerjanya. Respon ini pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi tiga hal besar yakni: Pertama;
upaya mengkaji faktor-faktor yang turut mempengaruhi masih rendahnya kinerja birokrasi; kedua
adalah memformulasikan ikhtiar-ikhtiar “rencana tindak” yang dapat dilakukan untuk merubah
kondisi birokrasi saat ini menuju birokrasi yang professional, efisien dan efektif serta andal dalam
melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan; dan ketiga dapat menjadi salah satu
landasan gerak dalam penyusunan kebijakan nasional mengenai “Rencana Aksi” percepatan
pelaksanaan reformasi birokrasi.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 93


Penutup

Ikhtiar-ikhtiar tersebut didasarkan pada 5 (lima) hal yang dianggap strategis dalam konteks
reformasi birokrasi saat ini, yaitu:

ƒ Peningkatan komitmen bersama dalam mendorong peningkatan kinerja birokrasi dalam upaya
mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih, dengan tetap menjaga perimbangan peran
antara pemerintah, swasta dan masyarakat.

ƒ Peningkatan upaya penguatan aktualisasi dan implementasi good governance pada seluruh
pemerintahan di pusat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan dan
pembangunan.

ƒ Peningkatan kinerja dengan terus-menerus meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan SDM


aparatur dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan.

ƒ Peningkatan sinergi (networking) antar pemerintah pusat, antara pemerintah pusat dan daerah dan
antar pemerintah daerah sendiri dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan.

ƒ Peningkatan kapasitas birokrasi dalam merespon aspirasi yang berkembang di masyarakat dan
tuntutan terhadap perbaikan pelayanan publik.

Reformasi birokrasi bukanlah pekerjaan yang mudah dan dapat dilaksanakan dalam waktu
singkat. Reformasi birokrasi akan berhasil bila terdapat komitmen aparatur yang kuat dan diikuti
dengan tindakan nyata untuk merubah perilaku dan budaya birokrasi. Oleh karena itu, perlunya
mengutamakan peningkatan kesadaran dan tanggung jawab profesional seluruh aparat birokrasi,
melalui peningkatan kompetensi dan kesejahteraan PNS. Di samping itu, penataan kelembagaan dan
manajemen, serta sistem dan pelaksanaan pengawasan aparatur negara secara bersamaan juga musti
diperbaiki.

Untuk melaksanakan komitmen tersebut juga tidak terlepas dengan dukungan, kerjasama dan
pengawasan dari masyarakat sebagai salah satu pilar dari penerapan good governance. Karena tanpa
dukungan dari masyarakat, mustahil untuk melaksanakan reformasi birokrasi.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 94


Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Anwar Suprijadi: Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur Dalam Pelayanan Publik,


Disampaikan pada Peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XIII Kls.A dan B, Tanggal 19 Juli
2004. di Jakarta.

BPKP: Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional. Badan Pengawasan Keuangan dan


Pembangunan, 1999. Jakarta

BAPPENAS: Kajian Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 2025 Sub Bidang


Penyelenggaraan Negara. 2003. Jakarta:

Dwidjowijoto R.N; Komunikasi Pemerintahan: Sebuah Agenda bagi Pemimpin Pemerintahan


Indonesia. Elex Media Komputindo. 2004. Jakarta.

Dan Nimmo: Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media. Remaja Rosdakarya. 2000.
Bandung:

Fukuyama F: The Great Disruption Human Nature and The Reconstitution of Social Order. Simon &
Schuster. 2000. New york.

Inu Kencana Syafiie: Birokrasi Pemerintahan Indonesia; Mandar Maju, 2004. Jakarta.

Ismail Mohamad, Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi , Disampaikan dalam acara Seminar
“Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi” yang diselenggarakan oleh Bappenas, pada
tanggal 18 Desember 2003, di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat.

Johnston M, Alan Doig: Different Views on Good Government and Sustainable Anticorruption
Strategies dalam Stapenhurst S, Shahr J.K. 1999. Curbing Corruption: Toward a Model for
Building National Integrity. The World Bank. 1999. Washington DC.

Kwik Kian Gie : Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran,


Kesejahteraan dan Keadilan, 2000. Jakarta.

Kansil C.S.T., Arifin F.X.S., Kansil C.S.T. Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Perca.
2003. Jakarta.

Lippit R., Watson J, Westley B. 1958. The Planned Change. Harcourt, Brace &World. 1958. New
York.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 95


Daftar Pustaka

LAN: Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI): Buku I Prinsip Prinsip
Penyelenggaraan Negara.: Lembaga Administrasi Negara. 2003. Jakarta.

LAN: Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI): Buku II Dalam
Perspektif Perkembangan Sejarah Jilid 1 Dari Prakemerdekaan hingga 1965. Lembaga
Administrasi Negara, 2003. Jakarta.

LAN: Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI): Buku II Dalam
Perspektif Perkembangan Sejarah Jilid 2 Dari 1966 hingga 2004. Lembaga Administrasi
Negara, 2003. Jakarta.

Mifthah Thoha:Birokrasi Politik di Indonesia, Rajawali Press. 2004. Jakarta.

Muksin: Upaya Meretas Jalan Hidup Berbangsa tanpa Korupsi: Kajian Pembangunan Masyarakat
(Community Development). Tidak dipublikasikan 2004. Bogor.

Mustopadidjaja, Sistem Perencanaan, Keserasian Kebijakan Dan Dinamika Pelaksanaan Otonomi


Daerah, Disampaikan pada Lokakarya “Dinamika PerencanaanPembangunan danKeuangan
Daerah”Kerjasama Bappeprov. Jawa Timur dengan Pusdiklat SPIMNAS Bidang
TMKP,Lembaga Administrasi Negara, 1 Agustus 2002. Surabaya.

_____________, Kompetensi Aparatur Dalam Memikul Tanggung Jawab Otonomi Daerah Dalam
Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ceramah Perdana Pada Program
Magister Manajemen Pembangunan Daerah, Kerjasama STIA-LAN, Pemerintah Prov. Kaltim,
dan Universitas Mulawarman, 15 Januari, 2002. Samarinda.

____________, Sistem Dan Dinamika Kebijakan Publik Dalam Perspektif Otonomi Daerah Dan
Peningkatan Daya Saing, 2002. Bandung.

Osborne D, Plastrik P. Memangkas Birokrasi Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha:


Terjemahan. PPM. 2000 Jakarta.

Padmowiharjo P: Manajemen Pelatihan. Tidak dipublikasikan 2004, Jakarta.

Pope J: Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Yayasan Obor Indonesia.
2003. Jakarta.

Widodo J. Good Governance Telaah dari Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era
Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia. 2001. Jakarta.

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 96


Daftar Pustaka

Shelton K (Editor). In Search of Quality: Terjemahan. Gramedia. 1997. Jakarta.


Sitorus: Kementerian PAN Canangkan Bulan Pelayanan Publik, 2003. Jakarta.

Smither R.D., Houston J.M., McIntire S.D: Organization Development Strategies for Changing
Environment. Harper and Collins Publisher. 1996. New York

Syahrir. Tantangan Indonesia Ke Depan: Dari Korban Menjadi Pelaku. http://www.


Cyberkompas.com [11 Agustus 2004], 2001. Jakarta.

Stapenhurst S, Shahrzad S: Introduction An Overview of The Cost s of Cooruption and Strategies to


deal With it dalam Stapenhurst S, Shahr J.K. 1999. Curbing Corruption: Toward a Model for
Building National Integrity. The World Bank.1999. Washington DC.

Zeithaml V.A: Delivering Quality Service Balancing Customer Perception and Experience. The Free
Press. 1990. New York:

Rencana Tindak Reformasi Birokrasi 97

You might also like