Professional Documents
Culture Documents
Diriwayatkan oleh Ibnu 'Adiy dalam kitabnya juz II halaman 207, dan oleh Abu Nu'aim dalam kitab
Akhbaaru Ashbahaan Juz II halaman 106, oleh Al-Khatiib dalam kitab Taarikhul Baghdaadiy
Hadis ini diriwayatkan Ibn ‘Adiy (w356H), Abu Nu’aim (w430H), al-Khatib al-Baghdadi (w463H), Ibn
‘Abd al-Barr (w463H), Ibn Hibban (w254H) dll. Semua menerima hadis tersebut dari al-Hasan bin
‘Atiyah, dari Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman, dari Anas bin Malik, (dari Nabi SAW).
KUALITAS HADIS
1. Ibnu Hibban mengatakan yang meriwayatkan hadis tsb mengatakan hadis ini bathil la ashla
lahu (Batil, palsu, tidak ada dasarnya)
2. Al-Sakhawi mengulang kembali pernyataan Ibnu Hibban dalam kitabnya.
3. Sumber kepalsuan hadis adalah rawi Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman (dalam sumber lain
tertulis : Salman).
4. al-Uqaili, al-Bukhari, al-Nasai dan Abu Hatim sepakat bahwa Abu 'Atikah Tarif bin Sulaiman
tidak memiliki kredibitas sebagai rawi hadis.
5. al Sulaimani mengatakan Abu 'Atikah dikenal sebagai Pemalsu Hadis
6. Imam Ahmad tidak mengakui ini sebagai Hadis Nabi.
RIWAYAT-RIWAYAT LAIN
Hadis tersebut ditulis kembali oleh Ibn al-Jauzi dalam kitabnya al-Maudhua'at (Hadis-Hadis Palsu).
Kemudian al Suyuti dalam kitabnya al-La'ali al-Mashnu'ah fi al_Ahadits al-Maudhu'ah (sebuah kitab
ringkasan dari kitab Ibn al-Juazi ditambah komentar dan tambahan), mengatakan bahwa disamping
sanad di atas, hadis tersebut memiliki tiga sanad lain, sbb :
1. Riwayat Ibn Abd al-Barr dan al-Baihaqi dalam kitab Syu'ab al-Iman, dengan sanad : Ahmad
bin 'Abdullah – Maslamah bin al-Qasim – Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asqalani –
'Ubaidah bin Muhammad al-Firyabi – Sufyan bin 'Uyainah – al-Zuhri – Anas bin Malik – (Nabi
SAW).
2. Riwayat Ibn Karram dalam kitab al-Mizan (Mizan al-I'tidal fi Naqd al-Rijal) karya al-Dzahabi,
dengan sanad : Ibn Karram – Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari – al-Fadl bin Musa –
Muhammad bin 'Amir – Abu Salamah – Abu Hurairah – (Nabi SAW)
3. Riwayat Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitabnya al-Lisan (Lisan al-Mizan) dengan riwayat sendiri
yang berasal dari Ibrahim al-Nakha'i – Anas bin Malik. Ibrahim berkata : "Saya mendengar
Hadis itu dari Anas bin Malik.
Sanad ke-1, menurut Imam al-Dzahabi : "Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asqalani adalah
KADZDZAB (PENDUSTA)"
Sanad ke-2, Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari, adalah seorang PEMALSU HADIS.
Sanad ke-3, Ibn Hajar al-Asqalani yang meriwayatkan hadis tersebut mengatakan " Ibrahim al-
Nakha'i tidak pernah mendengar apa-apa dari Anas bin Malik". Karena itu al-Nakhai adalah seorang
PEMBOHONG.
1. Ketiga sanad yang disebutkan al-Suyuti tetap berstatus maudhu' atau Palsu.
2. Syeikh Muhammad Nashir al-Din al-Albani mengatakan bahwa catatan al- Suyuti itu Laisa bi
syai'in (tidak ada artinya)
3. Hadis yang dlaiif apabila diriwayatkan dengan sanad lain yang juga dlaiif, maka dapat
meningkat statusnya menjadi Hadis hasan li ghairih. Tetapi dengan catatan : kelemahannya
bukan karena rawinya seorang yang fasiq (berbuat kemaksiatan) atau ia seorang pendusta.
Sementara rawi hadis tersebut adalah orang pendusta bahkan pemalsu hadis.
4. Prof. Dr. Nur al-Din 'Itr berpendapat hadis tsb memang tidak dapat meningkat statusnya dari
dlaiif menjadi hasan lighairih. Beliau juga tidak memastikan hadis tersebut palsu. Beliau
hanya menetapkan hadis tersebut sangat lemah (DLAIIF SYADID). Sayangnya beliau tidak
menjelaskan apa yang dimaksud dengan dlaiif syadid itu, sebab hadis palsu adalah hadis yang
paling lemah.
5. Dalam disiplin ilmu hadis, hadis yang sangat perah kelemahannya, seperti HADIS MAUDHU,
HADIS MATRUK dan HADIS MUNKAR tidak dapat dijadikan sebagai dalil apapun, bahkan
walaupun untuk dalil amal-amal kebajikan (fadhail al-a'mal). Sebab salah satu syarat dapat
digunakannya hadis dlaiif untuk dalil-dalil fadhail al-a'mal adalah kedhaifannya tidak parah.
6. Meskipun Prof. Dr. Nur al-Din 'Itr berbeda pendapat dengan Syeikh Nashir al-Din al-Albani
dan ibn al-Jauzi dalam menilai hadis tersebut, namun dalam praktek mereka sepakat bahwa
hadis tersebut tidak dapat digunakan untuk dalil apa pun, baik untuk akidah, syariah maupun
akhlaq dan fadhail al-a'mal.
Rawi Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asqalani termasuk rawi yang kontroversial.
Dengan demikian tidak mengubah status hadis “Tuntutlah ilmu walau sampai negeri cina”
menjadi shahih.
Dalam ilmu al-Jarh wa Ta’dil (evaluasi negaaif dan positif atas rawi-rawi hadis) terdapat
kaidah apabila seorang rawi dinilai negatif (jarh) dan positif (ta’dil) oleh para ulama kritikus
hadis, maka yang diunggulkan adalah pendapat yang menilai negatif apabila penilaian itu
dijelaskan sebab-sebabnya.
Dengan demikian Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asqalani tetap sebagai rawi yang MAJRUH
(inkredibel)
Diriwayatkan dari jalan Anas, tetapi semua riwayat ini ada Illah yang sangat jelek. (Muhammad
Thahir, Kitab Tadzkiratul Maudluu'aat hal : 17)
1. Dengan mengambil sumber dari Jalal al-Din al-Suyuti, al-Jami’ al-Shaghir, Dar al-Fikr, Beiirut,
1401H/1981 M, II/131
2. Prof Ali menyebutkan bahwa hadis “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim” merupakan Hadis
shahih yang antara diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman, Imam
al_Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Shagir, dan al-Mu’jam al-Ausath, al-Khatib al-Baghdadi
dalam kitab Tarikh Baghdad dan lain-lain.
KOMENTAR PRIBADI
Khusus berkenaan dengan hadis kedua “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim” dalam bahasan ini,
sejauh yang bisa saya pahami (karena saya bukan ahli hadis).
1. Saya tidak mengerti mengapa kesimpulan Qosim Koho berbeda dengan Prof. Ali.
2. Saya HUSNUDHON kepada beliau-beliau, dan ber-asumsi masing-masing hanya memiliki
sumber yang berbeda.
3. Dengan menggunakan kaidah dalam ilmu al-Jarh wa Ta’dil apabila seorang rawi dinilai negatif
(jarh) dan positif (ta’dil) oleh para ulama kritikus hadis, maka yang diunggulkan adalah
pendapat yang menilai negatif apabila penilaian itu dijelaskan sebab-sebabnya, yang sudah
disebut Prof. Ali.
4. Maka insyaAllah, saya menganggap bahwa hadis “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim” itu
cacat secara sanad, tidak bisa digunakan sebagai dalil bahwa hadis tersebut adalah sabda Nabi
SAW.
5. Namun matan (isi) hadis tersebut dapat diterima sejauh ”Ilmu” yang dimaksud adalah “ilmu
agama” yaitu Al-Quran, dengan tetap tidak menyandarkan bahwa hadis ini berasal dari Nabi
SAW.
6. Kewajiban orang beriman dalam mempelajari ilmu agama justru menjadi tidak terbantahkan bila
menggunakan ayat Al-Quran.
7. Al-Quran adalah HUDAL LIL MUTTAQIIN. Sebagai petunjuk, bila tidak dipelajari maka fungsi
petunjuk menjadi tidak bermakna. Pada gilirannya, mereka yang tidak mau mempelajari isi Al-
Quran akan jatuh kepada mengingkari sebagian rukun iman, yaitu percaya kepada kitab-kitab-
Nya.
8. Masih banyak ayat2 lain yang bermakna belajar agama menjadi wajib. Kita disuruh
memperhatikan ayat-ayat Allah (Al-Quran) agar mendapat pelajaran (Shaad 38:29)
9. Karena itu saya sependapat dengan KH. Mukhtar Adam (3) yang saya ringkas dibawah ini.
Ayat ini menjadi dalil bagi para ulama, bahwa mempelajari Al-Quran itu fardhu ‘ain.
Tentang fardhu ‘ain., pertama, dalam AQ ada 16 kali fardhu ain yang tidak bisa diwakilkan. Kedua, fardhu
‘ain dalam mengajarkan AQ. Ketiga, fardhu ‘ain dalam menegakkan AQ. Maka satu diantara kewajiban
pokok kaum muslim, terutama generasi muda, adalah mempelajari ‘Ulumul-Qur’an yang tidak bisa
diwakilkan kepada orang lain.
Al-Quran sebagai al-Huda wajib kita pelajari karena tanpa memahami kepemimpinannya daripada AQ,
kita akan salah ilmunya, akan salah imannya.
Dalam surat al-Hajj [22:54] “dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Qur'an
itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan
sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.”
Kalau kita perhatikan susunan ayatnya digambarkan bahwa, ilmulah yang melahirkan iman, iman
melahirkan amal. Kalau ilmunya dari AQ, imannya ditempa AQ, dan amalnya disetir AQ. Kalau ilmunya
salah, maka amalnya pun juga pasti salah. Itu sebabnya kenapa AQ sebagai al-Huda lebih menunjukkan
tentang fardhu ‘ainnya mempelajari. Tidak bisa setengah-setengah saja. Tidak bisa diwakilkan.
KESIMPULAN SAYA
UTHLUBUL 'ILMA WALAU BISHSHIIN FAINNA THOLABAL ‘ILMI FARIIDHOTUN ‘ALA KULLI
MUSLIMIN
"Tuntutlah ilmu walau di negeri cina, karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”
“Hadis” ini selain populer digunakan untuk mengukuhkan kewajiban dalam mencari ilmu agama juga
populer digunakan untuk mengukuhkan bahwa ajaran islam mewajibkan mencari ilmu dunia. Kalau perlu
belajar kepada orang-orang cina.
Ada pertanyaan yang menggantung, mengapa hadis palsu ini memilih negeri cina? Apa ada kaitannya
dengan perilaku cina secara umum?
Merekalah yang sukses dalam ekonomi, perdagangan. Mengapa sukses, karena mereka fokus kepada
memenuhi hidup dengan kenikmatan duniawi dan tetap fokus pada budaya, tradisi dan falsafatnya. Ini
adalah gambaran umum ttg cina, menurut saya. Mencari ilmu ke negeri cina, padahal disana “tidak ada”
ilmu AQ. “Agama” cina berasal dari filsafat2 dan budaya tradisionil cina.
Kong Hu Cu atau Konfusius, terkadang sering hanya disebut Kongcu adalah seorang guru atau orang
bijak yang terkenal dan juga filsuf sosial Tiongkok. Filsafahnya mementingkan moralitas pribadi dan
pemerintahan, dan menjadi populer karena asasnya yang kuat pada sifat-sifat tradisonal Tionghoa. Oleh
para pemeluk agama Kong Hu Cu, ia diakui sebagai nabi. (5)
Kepercayaan tradisional cina sebenarnya bukanlah suatu agama tertentu seperti yang menjadi
kesalahpahaman dan salah kaprah mayoritas pemeluk agama lainnya. Kepercayaan di dalam bahasa
Mandarin disebut sebagai Xin4 Yang3, dan agama disebut sebagai Zong1 Jiau4. Ada orang yang
menyebut kepercayaan tradisional ini sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan1 Jiau4 = mandarin)
yaitu gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. Ada pula yang mengklaim kepercayaan
tradisional ini sebagai agama Khonghucu.
Kepercayaan tradisional adalah hal yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan merupakan bagian
dari budaya (sinkretisme budaya), malah mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi
dalam batas2 tertentu. Di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap
akan memegang teguh kepercayaan tradisional ini. (6)
Sumber :
1. Himpunan Hadis Lemah dan Palsu, Qosim Koho, PT. Bina Ilmu, 2003.
2. Hadis Hadis Bermasalah, Ali Mustafa Yaqub, Prof., KH., MA.,Pustaka Firdaus,Cet.3, 2005
3. Belajar Mudah 'Ulum Al-Quran, Sukardi KD (ed.), Penerbit Lentera, Cet.1, 2002.
4. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, TM Hasbi Ash Shiddieqy, PT. Pustaka Rizki Putra, 1999
5. http://id.wikipedia.org/wiki/Kong_Hu_Cu_%28filsuf%29
6. http://joomla.budaya-tionghoa.org/
Tag: hadis