You are on page 1of 36

Mencermati Kasus Gayus dan Pajak

05 May 2010

• Harian Ekonomi Neraca


• Opini

Oleh GT Suroso,Dosen Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Malang

Kasus terbongkarnya mafia pajak Gayus cs sungguh merupakan potret buruk sisi perpajakan kita
yang katanya sudah dibenahi melalui reformasi birokrasi. Dikatakan potret buruk, karena kasus
ini mungkin sekadar puncak gunung es. Artinya, kebobrokan oknum birokrasi perpajakan kita
boleh jadi jauh lebih dalam dan lebih luas daripada sekadar kasus Gayus.

Temyata, potret buruk itu menunjukkan bahwa peningkatan gaji aparat birokrasi secara
signifikan tidak otomatis menghapuskan mental dan perilaku korup mereka. Karena itu,
pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Keuangan perlu dievaluasi secara
mendasar Skandal Gayus Tambunan bisa dijadikan pintu untuk mereformasi total Ditjen Pajak
terkait pendapatan dan pemanfaatan hasil pajak.

Kini saatnya Presiden bersinergi dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) agar secara
khusus melakukan pembuktian terbalik atas kekayaan pegawai dan pejabat pajak. Pembuktian
terbalik, perlu dilakukan khususnya terhadap pegawai dan pejabat pajak yang memiliki kekayaan
atau bergaya hidup melebihi pengusaha dan profesional yang menjadi wajib pajak. Pembuktian
terbalik perlu diterapkan, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa program remunerasi
pegawai pajak tidak mengubah mental dan perilaku korup.

Budaya transaksional di Ditjen Pajak

Praktik transaksional di kalangan aparat Ditjen Pajak boleh dikatakan sudah membudaya. Modus
praktik transaksional itu membuat wajib pajak hanya membayar 60 persen kewajiban mereka
kepada negara. Sisanya yang 40 persen masuk kantong oknum petugas pajak dan diskon bagi
wajib pajak. Bayangkan jika setoran wajib pajak dibayar tidak digerogoti praktik transaksional,
penerimaan negara dari pajak niscaya jauh lebih besar lagi. Terlebih lagi Ditjen Pajak bisa
mengeksplorasi potensi wajib hingga di atas 40 persen dari total penduduk dan wilayah.

Para mafia pajak biasanya mulai beroperasi di level pemeriksaan dan langsung oleh oknum yang
bersangkutan kepada si wajib pajak yang awam urusan perpajakan. Modusnya, membeberkan
temuan yang dahsyat sehingga membuat wajib pajak panik. Biasanya mereka lalu menawarkan
bantuan untuk menurunkan kewajiban pajak yang harus dibayarkan dan berfungsi sebagai
penelaah keberatan. Setelah surat ketetapan membayar pajak turun, wajib pajak akan didorong
untuk mengajukan keberatan. Pada saat itu, beberapa oknum akan bertindak sebagai penelaah
keberatan. Dialah yang mengeluarkan keputusan keberatan itu.
Berapa besar yang bersedia dibayarkan oleh wajib pajak, seringkali tergantung nego dengan
penelaah keberatan. Tergantung keberanian dan kesanggupan wajib pajak untuk membayar.
Kalau kasusnya bernilai milyaran, uang fee-nya pun besar. Maka tak heran pegawai seperti
Gayus punya uang 25 milyar.Ada juga nego yang terjadi sejak awal pemeriksaan, yakni sebelum
surat ketetapan pajak (SKP) keluar. Berapa jumlah yang harus dibayar wajib pajak sudah
ditentukan. Di situ terjadi tawarmenawar berapa imbalannya bila si oknum menurunkan
kewajiban pajaknya.

Sebagaimana hasil studi kualitatif terhadap pola-pola korupsi di sektor pajak yang dilakukan
Indonesia Corruption Watch tahun 2001, salah satu dari pola korupsi pajak adalah transaknf-
autogenik dalam bentuk negosiasi pajak. Pola ini menunjukkan bagaimana praktek korupsi di
pajak berjalan saling menguntungkan. Baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Wajib pajak
bisa mendapatkan pengurangan dari kewajiban yang seharusnya. Sementara petugas pajak
mendapatkan komisi atas pengurangan kewajiban tersebut

Dalam beberapa kasus, kadang kala negosiasi pajak dilakukan secara ekstortif. Dalam hal ini,
wajib pajak "diperas" oleh petugas pajak dengan memberikan tagihan yang amat besar. Lalu,
tagihan itu bisa diturunkan sesuai kesepakatan dengan imbalan uang kepada petugas. (Koran
tempo, 19 Januari 2007). Pola semacam ini yang digunakan Gayus. Pola ini pula yang
diungkapkan oleh Kwik Kian Gie maupun Faisal Basri. Menggunakan estimasi ekonomi, kedua
pengamat ekonomi itu memperkirakan negosiasi pajak merugikan negara hingga triliunan rupiah.
(Koran tempo, 19 Januari 2007)

Gayus Tambunan mengakui modus yang dilakukannya juga dilakukan oleh ratusan petugas
pajak lain. Hal itu terungkap dari pemeriksaan Gayus di Bareskrim Polri. "Ketika diperiksa,
Gayus bilang saya adalah salah satu dari ratusan petugas pajak yang melakukan modus yang
sama," kata anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, di Jakarta, Jumat (2/4). Informasi itu
diperoleh Bambang ketika bertemu dengan Kapolri lenderal Bambang Hendarso Danuri, Kamis
(1/4) (re-publika.co.id, 2/4/2010). Bahkan, Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo
menyatakan bahwa ada 15.000 aparat Direktorat lenderal Pajak (DJP) di seluruh Indonesia yang
rawan melakukan penyelewengan. Umumnya, mereka berada di bidang pemeriksaan, account
representative, juru sita, dan penelaah keberatan dan banding. "Di bidang pemeriksaan ada 4.500
orang, account representative 5.000, juru sita, penelaah, jadi semua bisa 15.000," ungkapnya
seusai jumpa pers di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, (30/3/2010) petang. (kompas.com,
30 Maret 20 JO)

Jauh sebelum kasus Gayus Tambunan ramai diperbicangkan orang setelah dibuka oleh Komjen
Pol Susno Duadji, di bawah tulisan bertajuk "Graft Spirals Out of Control at Tax Office" The
Jakarta Pos telah mengungkap kehidupan seorang pegawai biasa di Dirjen Pajak yang mampu
membeli BMW seri 5 dengan gaji bulanan hanya Rp 3 juta. Pegawai ini menjelaskan bahwa
uang hasil suap dan pemerasan dibagi 25% untuk kolektor, 15% untuk asis-tennya, kepala seksi
25% dan kepala kantor pajak 30%, yang nantinya kantor pajak akan mendistribusikannya untuk
pejabat -pejabat di dirjen pajak. Begitulah kondisi yang terjadi dalam dunia perpajakan di negen
ini. Berbagai survey yang dilakukan juga mempersepsikan Dirjen Pajak sebagai salah satu
lembaga terkorup.
Survey Indeks Persepsi Penyuapan (Bribery Perception Index) yang dirilis oleh Transparency
International Indonesia 2005 menempatkan Dirjen Pajak sebagai institusi yang paling banyak
menerima suap setelah Bea Cukai. Sebelumnya, pada survey barometer korupsi global 2004
yang dikeluarkan oleh Transparency International, pajak menempati peringkat ke-6 lembaga
terkorup di Indonesia. Tahun 2001, Partnership for Governance Reform juga melakukan survey
serupa. Survey Nasional mengenai korupsi itu menempatkan Dirjen Pajak di urutan ke 5 sebagai
institusi terkorup di Indonesia. [Koran Tempo, 15 April 2005)

Tidak hanya kecurangan dari segi penerimaannya temyata pengeluaran pajak inipun bukan untuk
kepentingan rakyat seperti yang diklaim selama ini. Ich-sanudin Noorsy (Pengamat Ekonomi dan
Mantan Anggota DPR) dalam wawancara dengan redaksi Al Waie mengatakan "Dia lebih
banyak digunakan untuk birokrasi dan bayar utang. Kembali kepada masyarakat kan bergerak
dalam belanja modal. Itu hanya 80-90 triliun. Kecil sekali. Padahal untuk bayar utang selalu
bergerak di atas 115 hingga 170 triliun. Pada saat yang sama kita membuka lapangan kerja bagi
asing lewat pinjaman program, dll." {hizbut-tahrir. or.id.WNov 2009)

Padahal APBN dalam Sistem Sekular sangat mengandalkan pajak dari rakyat dan Hutang,
terutama dari luar negeri jika tidak mencukupi. Hal ini bisa dilihat dari Pendapatan Negara dan
Hibah dalam APBN-P 2010 Indonesia sebesar Rp. 974,8 triliun (www.anggaran.dep-keu.go.id),
75 persennya adalah dari pajak yaitu sebesar Rp. 733,2 triliun. Sedangkan penerimaan negara
bukan pajak adalah sebesar Rp. 239,92 triliun (25 % dari total pendapatan Negara dan
Hibah).Reformasi aparatur pajak dan kepercayaan wajib pajak Para wajib pajak berharap agar
reformasi perpajakan terus dijalankan sehingga kepercayaan pengusaha terhadap aparatur pajak
tetap bagus dan kondusif. Kasus makelar kasus yang diduga dilakukan Gayus Tambunan
membuat kepercayaan para wajib pajak terhadap aparatur pajak ini menjadi terganggu.

Kepercayaan para wajib pajak harus segera dipulihkan. Apabila kepercayaan ini sampai runtuh,
bisa timbul kesan seolah-olah hasil penerimaan pajak tidak sepenuhnya dipakai untuk
kepentingan pembangunan bangsa. Aparatur pajak harus segera mengembalikan citra positif
mereka. Mereka, harus bisa membuat publik yakin bahwa dana yang terkumpul dari penerimaan
pajak tidak digerogoti oknum pegawai pajak serta benar-benar digunakan secara semestinya,
seperti untuk pembangunan infrastruktur dan pendidikan.Ekses selalu terjadi. Tapi, citra
(aparatur) pajak yang memang sejak dahulu tidak begitu baik harus diperbaiki betul. Ke depan,
tidak boleh lagi ada ekses seperti sekarang ini. Karena itu, oknupi pegawai yang korup dijatuhi
hukuman keras dan tegas, dan perlu diiringi dengan sanksi tegas

Sementara itu, beberapa anggota DPR bahkan mendesak agar sistem remunerasi di lingkungan
Kementerian Keuangan dicabut karena terbukti tidak efektif menghentikan praktik korup. Dalam
kaitan ini, pada awalnya penerapan sistem remunerasi di lingkungan Kementerian Keuangan ini
dimaksudkan sebagai pendekatan preventif agar praktik korupsi bisa dikikis.Namun ternyata,
meski gajidan tunjangan aparat birokrasi sudah dinaikkan secara signifikan, toh pungutan liar
(pungli) tetap saja berlangsung. Akhirnya banyak kalangan yang mengusulkan agar, sistem
remunerasi di lingkungan Kementerian Keuangan ini lebih baik dicabut saja.

Dana yang selama dialokasikan untuk itu lebih baik digunakan untuk perbaikan kesejahteraan
rakyat, jika sistem remunerasi di lingkungan Kementerian Keuangan ini diteruskan, maka
kecemburuan berbagai kementerian lain-yang selama ini diam-diam tumbuh bisa kian menjadi-
jadi. Tujuan program remunerasi menutup peluang korupsi terbukti tidak bisa terwujud.Yang
terbaik adalah, renumerasi perlu diiringi dengan sanksi tegas. Agar rasa keadilan masyarakat
tetap terjaga besarnya Take Home Pay harus setara dengan besar beban kerjanya dan besar
resikonya. Selain itu, renumerasi beserta ancaman sanksi juga harus diberikan kepada
departemen-departemen lain. Karena ancaman korupsi tidak hanya terjadi di Departemen
Keuangan saja, tetapi sudah merata di seluruh lapisan birokrasi.

Kesadaran dan hak-hak pembayar pajak Masyarakat sipil yang sadar pajak tak hanya sebatas
patuh membayar pajak, tetapi juga tak gentar menyuarakan hak-haknya sebagai pembayar pajak
dalam menentukan arah perjalanan bangsanya.Dari sisi pemerintah, sekarang sedang dikerjakan
termasuk memeriksa laporan kekayaan, membuat peta tingkah laku dan kerawanan dari para
aparat dan membangun kembali reputasi dan kredibilitas dari seluruh jajaran Ditjen Pajak. Dari
sisi para wajib pajakpun tidak hanya sebatas patuh. Saat ini saatnya hadir asosiasi pembayar
pajak [taxpayer association) sebagai wadah untuk memperkukuh perjuangan kolektif pembayar
pajak sehingga tidak gentar menghadapi gertakan atau ulah oknum seperti Gayus.

Tapi, Haruskan Pajak sebagai panglima ? Melihat APBN 2010, pendapatan negara masih
didominasi oleh pajak yakni sebesar 70%. Baru selanjutnya diisi dari penerimaan negara bukan
pajak. Dan kita semua tahu bahwa sasaran pajak adalah rakyat Dan digunakan untuk kepentingan
rakyat Tapi apakah memang hal ini sudah benar dan tidak memerlukan kritikan? Apakah pajak
memang menjadi sebuah kenis-cayaan/kewajiban dalam suatu negara? Temyata tidak.Negara
memang harus berjalan, tetapi tidak harus bertumpu sedemikian besar dari pajak. Tanpa maksud
ingin berdebat tentang sistem pemerintahan, dahulu kala sistem khilafah justru lebih dahulu
mengandalkan pengelolaan sumber daya alam yang tidak membebani masyarakat yang ternyata
menghasilkan potensi pendapatan negara yang sangat besar dan mencukupi pembiayaan rm-gara.

Bila kita merunut potensi pendapatan dari kekayaan alam Indonesia ternyata teramat mencukupi
untuk membiayai belanja negara, tetapi temyata diserahkan kepada asing. Di sektor tambang
seperti emas, misalnya, penerimaan Pemerintah dari pembayaran pajak PT Freeport yang
menguasai tambang emas di Bumi Papua pada tahun 2009 hanya Rp 13 triliun, plus royalti hanya
USS 128 juta dan dividen sebesar USS 213 juta Padahal PT .Freeport Indonesia (PTFI) sendiri
meraup laba bersih pada 2009 sebesar USS 2,33 miliar atau setara dengan Rp 22,1 triliun
(Inilah.com, 2/12/2009). Itu pun yang dilaporkan secara resmi.

Sebab, pada dasarnya kita tidak tahu berapa persis hasil dari emas Papua itu.Di sektor migas,
penerimaan negara juga kecil. Tahun 2010 ini penerimaan migas hanya ditargetkan sekitar Rp
120,5 triliun. Itu tentu hanya sebagian kecilnya. Yang mendapatkan porsi terbesar adalah pihak
asing. Pasalnya, menurut Hendri Saparani, PhD, 90% kekayaan migas negeri ini memang sudah
berada dalam cengkeraman pihak asing. Tentu, itu belum termasuk hasil-hasil dari kekayaan
barang tambang yang lain (barubara, perak, tembaga, nikel, besi, dll) yang juga melimpah-ruah.

Sayang, dalam tahun 2010 ini, misalnya. Pemerintah hanya menargetkan penerimaan sebesar Rp
8,2 triliun dari pertambangan umum. Lagi-lagi, porsi terbesar pastinya dinikmati oleh
perusahaan-perusahaan asing yang juga banyak menguasai pertambangan di negeri ini. Belum
lagi jika negara memperhitungkan hasil laut, hasil hutan dan sebagainya yang selama ini belum
tergarap secara optimal.Karena itu, negeri ini sesungguhnya tidak memerlukan pajak untuk
membiayai dirinya. Sebab, dari hasil-hasil SDA saja (jika sepenuhnya dimiliki/dikuasai negara),
kas negara akan lebih dari cukup untuk mensejahterakan rakyatnya. Sedangkan pajak, apabila
diperlukan, bukanlah menjadi sumber pendapatan utama.

Seharusnya pemerintah bertindak mencontoh entrepreneur. Seorang entrepreneur dengan modal


yang didapatnya dari pihak lain berusaha mengembangkan modal tersebut dan secepat-cepatnya
mandiri. Tidak selalu tergantung dengan asupan modal.Demikian pula pemerintah. Dengan
adanya Sumber Daya Alam yang demikian melimpah, ditambah dengan pajak yang telah
bertahun-tahun dibayarkan oleh rakyat seharusnya berfikir untuk mandiri. Pemerintah mampu
untuk mengelola aset negara dan dana yang demikian besar untuk surplus dalam memenuhi
kebutuhan dirinya, menggaji pegawai-pegawainya, membayar hutang-hutang, dsb. Kalau toh ada
pajak, itu hanyalah sumbangsih masyarakat untuk sinergisitas pembangunan.

Entitas terkaitAkhirnya | Apabila | Apakah | Aparatur | Bambang | Bareskrim | Bayangkan |


Bea | Begitulah | Berapa | Biasanya | BMW | Budaya | Control | Dana | Dialah | Dikatakan |
Direktorat | Ditjen | DPR | Ekses | Faisal | Gayus | Hendri | Hibah | Indonesia | Informasi |
Kapolri | Kasus | Kepercayaan | Kesadaran | Koran | KPK | Masyarakat | Menggunakan |
Modus | Noorsy | Nov | Padahal | Pajak | Papua | Partnership | Pegawai | Pembuktian |
Pemerintah | Pola | Praktik | Presiden | Reformasi | SDA | Sebagaimana | Seharusnya |
Sisanya | Tax | Temyata | Tergantung | Terlebih | Transparency | Tujuan | USS | Wajib | Al
Waie | Bambang Hendarso | Bribery Perception | Bumi Papua | Departemen Keuangan |
Dirjen Pajak | Ditjen Pajak | Freeport Indonesia | Gayus Tambunan | Gedung Kementerian
| Governance Reform | Haruskan Pajak | Kementerian Keuangan | Komisi III | Komisi
Pemberantasan | Mantan Anggota | Melihat APBN | Oleh GT | Padahal APBN | Padahal
PT | Pendapatan Negara | Pengamat Ekonomi | PT Freeport | Sistem Sekular | Survey
Nasional | Graft Spirals Out | Indonesia Corruption Watch | Komjen Pol Susno | Kwik
Kian Gie | Mencermati Kasus Gayus | Skandal Gayus Tambunan | Sumber Daya Alam |
Take Home Pay | The Jakarta Pos | Transparency International Indonesia | Survey Indeks
Persepsi Penyuapan | Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo | Dosen Widyaiswara
Balai Diklat Keuangan Malang | Ringkasan Artikel Ini
Mencermati Kasus Gayus dan Pajak. Karena itu, pelaksanaan reformasi birokrasi di
lingkungan Kementerian Keuangan perlu dievaluasi secara mendasar Skandal Gayus
Tambunan bisa dijadikan pintu untuk mereformasi total Ditjen Pajak terkait pendapatan
dan pemanfaatan hasil pajak. Pembuktian terbalik, perlu dilakukan khususnya terhadap
pegawai dan pejabat pajak yang memiliki kekayaan atau bergaya hidup melebihi
pengusaha dan profesional yang menjadi wajib pajak. Sisanya yang 40 persen masuk
kantong oknum petugas pajak dan diskon bagi wajib pajak. Para mafia pajak biasanya
mulai beroperasi di level pemeriksaan dan langsung oleh oknum yang bersangkutan
kepada si wajib pajak yang awam urusan perpajakan. Sebagaimana hasil studi kualitatif
terhadap pola-pola korupsi di sektor pajak yang dilakukan Indonesia Corruption Watch
tahun 2001, salah satu dari pola korupsi pajak adalah transaknf-autogenik dalam bentuk
negosiasi pajak. Dalam hal ini, wajib pajak "diperas" oleh petugas pajak dengan
memberikan tagihan yang amat besar. Bahkan, Direktur Jenderal Pajak Mochamad
Tjiptardjo menyatakan bahwa ada 15.000 aparat Direktorat lenderal Pajak (DJP) di
seluruh Indonesia yang rawan melakukan penyelewengan. Pegawai ini menjelaskan bahwa
uang hasil suap dan pemerasan dibagi 25% untuk kolektor, 15% untuk asis-tennya, kepala
seksi 25% dan kepala kantor pajak 30%, yang nantinya kantor pajak akan
mendistribusikannya untuk pejabat -pejabat di dirjen pajak. 239,92 triliun (25 % dari
total pendapatan Negara dan Hibah).Reformasi aparatur pajak dan kepercayaan wajib
pajak Para wajib pajak berharap agar reformasi perpajakan terus dijalankan sehingga
kepercayaan pengusaha terhadap aparatur pajak tetap bagus dan kondusif. Kasus
makelar kasus yang diduga dilakukan Gayus Tambunan membuat kepercayaan para
wajib pajak terhadap aparatur pajak ini menjadi terganggu. Mereka, harus bisa membuat
publik yakin bahwa dana yang terkumpul dari penerimaan pajak tidak digerogoti oknum
pegawai pajak serta benar-benar digunakan secara semestinya, seperti untuk
pembangunan infrastruktur dan pendidikan.Ekses selalu terjadi. Kesadaran dan hak-hak
pembayar pajak Masyarakat sipil yang sadar pajak tak hanya sebatas patuh membayar
pajak, tetapi juga tak gentar menyuarakan hak-haknya sebagai pembayar pajak dalam
menentukan arah perjalanan bangsanya.Dari sisi pemerintah, sekarang sedang dikerjakan
termasuk memeriksa laporan kekayaan, membuat peta tingkah laku dan kerawanan dari
para aparat dan membangun kembali reputasi dan kredibilitas dari seluruh jajaran Ditjen
Pajak. Di sektor tambang seperti emas, misalnya, penerimaan Pemerintah dari
pembayaran pajak PT Freeport yang menguasai tambang emas di Bumi Papua pada tahun
2009 hanya Rp 13 triliun, plus royalti hanya USS 128 juta dan dividen sebesar USS 213
juta Padahal PT .Freeport Indonesia (PTFI) sendiri meraup laba bersih pada 2009 sebesar
USS 2,33 miliar atau setara dengan Rp 22,1 triliun (Inilah.com, 2/12/2009).

Jumlah kata di Artikel : 2042


Jumlah kata di Summary : 419
Ratio : 0,205

*Ringkasan berita ini dibuat otomatis dengan bantuan mesin. Saran atau masukan dibutuhkan
untuk keperluan pengembangan perangkat ini dan dapat dialamatkan ke tech at mediatrac net.

POTENSI KEBOCORAN PAJAK


02 Jul 2010

• Business News
• Hukum

Jakarta, 1 Juli 2010 (BusinessNews)

Kejadian beberapa bulan belakangan ini membuat kita semakin yakin bahwa negara kita ini
memang sorga bagi koruptor dan orang-orang yang melakukan penyelewengan. Itu sebabnya
tingkat kemiskinan kita bukannya berkurang tetapi justru bertambah. Pengelolaan pemerintahan,
birokrasi, ekonomi kita sebaik apapun tidak akan bisa berhasil jika tidak bisa menghentikan
korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Kendatipun kita mempunyai TAP MPR, KPK, BPK, BPKP, DPR, Irjen, Bawasda Ombudsman,
Satuan Tugas Mafia Hukum dan sebagainya tanpa komitmen Presiden selaku yang membawahi
aparat pelaku korupsi dan penyalahgunaan wewenang itu maka jangan diharapkan korupsi dan
kecurangan ini akan berakhir. Menghadapi masalah besar tidak akan bisa dihadapi dengan gaya
normal. Mungkin harus dengan gaya "Gila" atau abnormal. Presiden kita saat ini bukan type
orang yang cocok untuk melakukan tugas berat ini.

Bahkan kita melihat Presiden justru tenang-tenang saja di tengah terbongkarnya berbagai kasus
korupsi yang dilakukan aparatnya. Bahkan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang
merupakan atasan Gayus Tambunan dan penanggungjawab pemasukan sumber dana negara dana
pajak dan bea cukai masih terus dipuji-puji sebagai putra terbaik padahal sumber kekayaan
negara dibiarkan bocor sedemikian besar yang berdampak pada kinerja pembangunan
nasional.Mari kita lihat beberapa kasus yang melanda administrasi dan manajemen penerimaan
negeri belakangan ini. Kasus-kasus ini baru kasus yang terbongkar dan dalam kenyataannya pasti
masih jauh lebih banyak yang tidak terbongkar.

Sewaktu KPK melakukan inspeksi mendadak di Bea Cukai Tanjung Priok tahun lalu ditemukan
uang yang demikian banyak di meja-meja petugas. Namun setelah itu tidak pernah lagi kita
mendengar upaya untuk melakukan inspeksi mendadak artinya pasti korupsi dan penyalahgunaan
wewenang di Bea Cukai akan terus berlangsung dalam intensitas yang lebih tinggi. Menurut
seorang Hakim Anggota Pengadilan Pajak Hary Djatmiko sengketa Bea Cukai 99%
dimenangkan oleh wajib pajak. Suatu angka yang mengundang kecurigaan. Kita menilai hal ini
sama seperti kasus yang dilakukan Gayus Tambunan dan kawan-kawan di Ditjen pajak yang
tingkat kemenangan wajib pajak 60%.

Hal yang sama terjadi di pos penerimaan pajak. Penerimaan pajak banyak sekali raib melalui
beberapa cara dan teknik. Sebagaimana diketahui dalam pola self assesment ini kita
mempercayai sepenuhnya informasi yang diberikan wajib pajak. Petugas pajak hanya melakukan
pemeriksaan jika petugas menilai ada kecurigaan. Kecurigaan inilah yang bisa dinegosiasikan.
Sehingga kemungkinan wajib pajak melakukan pelaporan SPT yang tidak benar yang sebenarnya
tinggi. Ini salah satu mengapa Anwar Nasution, mantan ketua BPK dulu ngotot untuk memeriksa
Ditjen Pajak dan menteri Keuangan dan Ditjen Pajak ngotot juga untuk menolaknya, dan
pertarungan ini dimenangkan oleh kementerian keuangan dan ditjen Pajak serta Wajib Pajak
tentunya. Ini berarti praktik pengisian SPT yang tidak benar masih mungkin sekali masih terus
berlangsung atas nama self assesment

Dalam salah satu seminar yang berjudul Membedah Problematika Kebijakan dan Mafia
Perpajakandi Indonesia yang diselenggarakan LIRA di Jakarta, Selasa (29/6) terungkap bahwa
akibat permainan harga yang dilakukan perusahaan melalui Transfer Pricing atau wajib pajak
negara dirugikan Rpl.300 triliun. Suatu angka yang fantastis karena angka ini melebihi jumlah
penerimaan negara seluruhnya.Permasalahan transfer pricing adalah menyangkut penetapan
harga yang dilakukan perusahaan untuk mencatat transaksi yang dilakukannya dalam satu grup
atau dalam lingkungan perusahaan yang satu grup dan yang memiliki hubungan istimewa. Dalam
situasi ini maka harga tidak ditentukan oleh mekanisme pasar tetapi ditentukan oleh kebijakan
manajemen. Di sinilah kemungkinan kerugian itu terjadi.
Sebagaimana dimaklumi pada umumnya perusahaan akan berupaya untuk meningkatkan labanya
melalui beberapa cara baik yang sah maupun secara ilegal. Biasanya praktik untuk bisa
mengurangi pajak sepanjang hal itu memungkinkan dan tidak berisiko maka sangat lumrah jika
perusahaan yang memang tujuannya mencari laba akan melakukannya. Karena pengurangan
biaya pajak akan dapat mengurangi biaya sekaligus akan meningkatkan kinerja atau profitabilitas
perusahaan yang sangat diminati manajemen, pemegang saham, pasar dan investor.

Sebagai contoh Iwan Piliang dari LIRA Tax Watch memberikan contoh bahwa harga pasar batu
bara internasional adalah USD60, tetapi ada perusahaan yang seolah menjualnya ke perusahaan
afiliasinya hanya dengan USD25,- Dalam situasi ini negara sudah dirugikan sebesar USD35 per
metric ton. Kejadian ini juga terjadi pada komoditas lainnya seperti kelapa sawit, minyak, karet
dan berbagai komoditas tambang yang diekspor terutama dilakukan perusahaan asing. Sungguh
luar biasa kerugian yang dialami pemerintah dan pemerintah khususnya Ditjen Pajak tidak
melakukan antisipasi yang serius untuk menutupi kebocoran ini.

Potensi kerugian yang sudah terbukti dan benar-benar terjadi seperti modus operandi yang
dilakukan Gayus Tambunan dkk melalui permainan hasil pemeriksaan pajak dan pengadilan
pajak. Di luar itu penyelewengan pajak juga terjadi seperti modus operandi dalam kasus di
kantor Pajak Surabaya. Kasus ini lebih berani lagi yaitu melalui pembuatan faktur pajak fiktif
sehingga penerimaan pajak yang seharusnya masuk ke Kas Negara/Daerah masuk ke kantong
para koruptor pajak dari birokrat pajak itu.

Banyak sekali peluang para koruptor ini untuk menikmati kekayaan atas wewenang yang mereka
miliki yang diamanahkan rakyat ini.Yang bertanggung jawab untuk mengatasi Kebocoran pajak
tentulah Presiden dan aparatnya. Sejauh ini kita tidak memiliki keyakinan yang kuat bahwa
penerimaan Pajak seharusnya bisa masuk seluruhnya ke kas negara karena oknum penindak dan
pengawas juga ikut sebagai pemain peni lap kekayaan negara.

Jadi wajar rakyat miskin jangan terlalu berharap untuk menikmati hak-hak dasarnya kalau
birokrasi dan manajemen pemerintahan kita masih dilanjutkan seperti gaya sekarang ini. Upaya
pembangunan untuk semua terpaksa memiliki kemampuan terbatas karena dana yang seharusnya
masuk ke kas negara justru mengalir ke kantong pejabat pelaksana dan lainnya sehingga mereka
bisa menjadi orang kaya raya ditengah kemiskinan rakyatnya. Untuk sementara mengadu saja
kepada Tuhan. (SH)
yus Tambunan Si Markus Golongan IIIA yang Kaya Raya,
Akhirnya Tertangkap di Singapura

Nama Gayus Tambunan mendadak populer saat mantan Kabareskrim Komjenpol Susno
Duaji membeberkan kepada publik dugaan terjadinya praktik mafia di kepolisian dalam
penanganan perkara Gayus. Dalam rekening Gayus tercatat uang sebesar Rp 25 miliar,
uang tersebut diduga hasil suap dari perusahaan yang diawasinya

Dirtjen Pajak tidak Merasa Kecolongan oleh Ulah Gayus


Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementrian Keuangan mengaku tidak kecolongan
karena pihak kepolisian terlebih dahulu mencium tindakan makelar kasus pajak
Gayus HP Tambunan. “Selama ini kami telah melakukan pengawasan untuk
pegawai pajak. Kalau memang ada yang mengetahui dia berbuat salah, ya kami
fasilitasi,” kata Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo, Sabtu (27/3).

Menurutnya, sejak Gayus diproses oleh kepolisian pada 2009, Ditjen Pajak selalu bekerja sama
dengan pihak kepolisian. Sejak proses penyidikan, Gayus dinyatakan sebagai pegawai pajak non
aktif. “Makanya, kami selalu meminta kejelasan status Gayus. Kalau sudah jadi tersangka, akan
segera kita non aktifkan,” ujarnya. Menurutnya, internal Ditjen Pajak tidak mungkin mengawasi
seluruh pekerjaan karyawan Ditjen Pajak yang berjumlah 32.000 orang. “Kami sudah
menyerahkan audit kepada BPK dan BPKP setiap tahunnya,” kata Tjiptardjo.

Menurut sumber Media Indonesia, modus kasus Gayus bermacam-macam. Dalam posisinya
sebagai pegawai Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan
2007 Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Dalam hal ini,
seharusnya Gayus mewakili Ditjen Pajak memenangkan Ditjen Pajak dalam Pengadilan Pajak.
Menurut sumber tersebut, Gayus memainkan selisih pemenangan banding. “Misalnya saja
seharusnya bayar pajak Rp3 miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak
itu Gayus memenangkan banding wajib pajak

Gayus Tambunan Kaya Mendadak, Hobi Belanja Properti


GAYUS Halomoan Tambunan memang misterius. Sebagai pegawai negeri sipil
(PNS), golongannya adalah IIIa. Tapi, dia mendadak punya duit Rp 25 miliar di
rekeningnya. Selain duit bejibun itu, Gayus doyan belanja properti.

Para tetangganya di kampung asal Gayus di RT 11 RW 8, Jalan Warakas I Gang 23, Kelurahan
Papanggo, Kecamatan Priok, Jakarta Utara, menuturkan, kehidupan Gayus mengalami titik balik
setelah lulus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pada 2000 dan masuk Direktorat
Jenderal Pajak. Gayus tak langsung bekerja di bagian penelaah keberatan pada seksi banding dan
gugatan wilayah Jakarta II seperti sekarang. Begitu lulus sekolah pencetak akuntan itu, Gayus
sempat melanglang buana. Dia ditugaskan di sejumlah kantor pajak di luar Jawa hingga akhirnya
kembali lagi ke Pulau Jawa.

Ketua Rukun Tetangga 11 RW 8 Kelurahan Papanggo Amir Suhadi mengatakan, pada 2003
Gayus menikah. Sejak saat itu, Gayus tak pernah kelihatan di rumah orang tuanya di daerah
Papanggo, Priok, Jakarta Pusat. Gayus kemudian tinggal bersama mertuanya di kawasan Kelapa
Gading. Tapi, itu hanya bertahan sementara. Tak lama kemudian, dia sudah mampu hidup
mandiri. Dia membeli rumah di kawasan elite di daerah Jakarta Utara itu. ”Kata anak-anak,
rumah Gayus gede. Ada kolam renangnya,” bisik salah seorang penjaga kios di gang dekat
rumah Gayus.

Kekayaan Gayus setelah jadi pegawai pajak bukan hanya itu. Salah seorang warga menuturkan,
dia sempat membeli sebuah apartemen mewah di daerah Cempaka Mas, Jalan Letjen Suprapto,
Jakarta Pusat. Apartemen itu kini ditinggali dua adik Gayus, yakni Wiwit dan Detri. Padahal,
apartemen mewah di Jakarta paling tidak dibanderol Rp 600 juta. Amir menceritakan, dia
pertama bertemu Gayus pada 2004 saat pemilu. Saat itu, Amir yang menjadi PPS (petugas
pemungutan suara) meladeni Gayus yang masih mencoblos di kampung aslinya. Setelah empat
tahun bekerja di Ditjen Pajak, Gayus pulang kampung membawa mobil. ”Kalau nggak Kijang
Innova, ya Avanza. Pokoknya, antara dua itulah,” kata Amir yang mengaku mengenal Gayus
sejak ingusan.

Gayus adalah anak kedua di antara lima bersaudara. Sebelum pensiun, ayahnya, Amir
Syarifuddin Tambunan, adalah pekerja di sebuah perusahaan swasta di Pelabuhan Tanjung Priok.
Jika dibandingkan dengan warga lainnya, kehidupan mereka sangat sejahtera. Amir Syarifuddin
memiliki lima anak. Semuanya lelaki, kecuali yang bungsu.

Semua anak Amir Syarifuddin menempuh pendidikan tinggi. Tak terkecuali Gayus. Setelah lulus
SMA, Gayus masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan lulus pada 2000. ”Saat
kuliah di STAN, Gayus sudah jarang pulang. Mungkin, dia ngekos,” kata Amir Suhadi. Rumah
Gayus di Papanggo kini sudah tidak ditempati. Sejak dia lulus, rumah itu awalnya didiami Amir
Syarifuddin seorang diri. Ibu Gayus sudah meninggal sejak 1980-an. Namun, pada 2008, Amir
Syarifuddin menikah lagi dan tinggal bersama istri keduanya di Depok, Jawa Barat. ”Pak Amir
hanya ke sini paling dua atau tiga bulan sekali. Beberapa waktu lalu ke sini untuk melihat PBB
(Pajak Bumi dan Bangunan) rumahnya,” kata Amir Suhadi. Tersangka kasus penggelapan pajak,
Gayus Tambunan, diperkirakan mendapatkan gaji bulanan sebesar Rp12,1 juta.
Menurut catatan tidak resmi Inspektur Jenderal Kementrian Keuangan Hekinus Manao,
perkiraan gaji seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dirjen Pajak setingkat Gayus Halomoan P.
Tambunan (GT) mencapai Rp12,1 juta per bulan. “Gaji dan berbagai tunjangan Rp2,4 juta,
renumerasi sekitar Rp8,2 juta, imbalan prestasi kerja rata-rata Rp1,5 juta,” ungkapnya melalui
pesan singkatnya kepada media, Kamis (25/3). Seperti diketahui, salah satu tokoh dalam kasus
makelar pajak di Mabes Polri yang berumur 30 tahun merupakan pegawai Ditjen Pajak golongan
III-A. Lulusan dari salah satu sekolah tinggi milik Depkeu ini, menjadi top sejak mencuatnya
kasus penggelapan pajak senilai Rp25 miliar. Ia dituding terlibat dalam kasus yang masih ada
kaitannya dengan makelar kasus di tubuh Polri.

Rumah Mewah Gayus Tambunan

Rumah mewah berlantai dua tersebut terletak di kompleks real estate Gading Park
View, blok ZE 6 No 1, Kelapa Gading, Jakarta Utara.Fotografer – Muhammad
Taufiqqurahman
Gayus lahir dan besar di kawasan Warakas Kelurahan Papanggo Kecamatan
Tanjung Priok Jakarta Utara. Dia tingal bersama kedua orangtuanya di Warakas I
Gang 23 No.4 RT 11 RW 08. Ayahnya Amir Syarifuddin seorang mantan pelaut.
Lulus dari Sekolah Tinggi Akutansi Nasional (STAN), Gayus langsung bekerja di
Ditjen Pajak. Pegawai golongan III A Ditjen Pajak ini kini tinggal di perumahan Park
View Taman Puspa III blok ZE 6 No 1 Kelapa Gading. Dia tinggal dengan istrinya di
rumah dengan cat bernuansa pink bertingkat dua. Rumah bergaya arsitektur
minimalis tersebut tampak sepi, Rabu (24/3) sore. Pengamanan dari pihak
perumahan cukup ketat ketika Media Indonesia memasuki komplek tersebut. Di
depan rumah tersebut terparkir sebuah mobil Ford Everest hitam bernomor B 96
MG. Di bagian belakang rumah terdapat taman, kolam ikan, dan gazebo kecil.

Milana Anggraeni, Istri Gayus Tambunan

Wajah Ferrial Sofyan setengah terkejut. Kepada wartawan, Jumat (26/3) dia
mengaku baru tahu. Bahwa, Milana, staf yang merangkap sebagai asisten Ketua DPRD
DKI adalah istri Gayus Tambunan. Bagi Ferrial Sofyan, Ketua DPRD DKI Jakarta itu, tak ada
yang aneh dengan Milana. Sebagai staf di DPRD DKI Jakarta, wanita itu tergolong sebagai
pekerja yang baik dan rajin. Nama Gayus Tambunan yang tiba-tiba ngetop karena disebut
sebagai pengemplang dana pajak senilai Rp 25 Miliar, tiba-tiba mengungkap siapa Milana
Anggraeni. Milana Anggraeni diketahui telah memiliki tiga anak dari Gayus Tambunan. Selama
ini dia bekerja sebagai PNS di DPRD DKI, yang juga merangkap asisten Ketua DPRD DKI
Jakarta Ferrial Sofyan. Kegiatan sehari-hari Milana adalah menyiapkan bahan sidang para
anggota dewan jika rapat diagendakan. “Saya baru mengetahui kemarin, dia merupakan staf saya
dan pekerja yang baik,” kata Ferrial.

Milana Anggraeni, dinikahi Gayus sejak tahun 2002. Kehidupan Milana sendiri, di mata teman-
temannya di DPRD DKI tak ada yang aneh. Dia sosok yang biasa-biasa saja, tanpa terlihat
bahwa dia adalah orang yang kaya. Yang menarik, sudah lima hari ini Milana izin dari
kantornya. Tepatnya dia izin sakit selama 5 hari, terhitung sejak 25- 30 Maret dari kantor DPRD
DKI Jakarta. Kabarnya, Milana mengalami depresi. “Dia memang sakit dan shok akibat kasus
suaminya,” kata seorang sumber yang enggan disebutkan namanya.

Nah, menariknya lagi, diduga Milana Anggraeni, istri Gayus Tambunan, PNS Dirjen Pajak
Golongan IIIA yang menjadi makelar kasus pajak Rp25 miliar, kini juga berada di negeri
Singapura. Milana Anggraeni diduga menyusul suaminya ke Singapura. “Mungkin dia ke
Singapura menyusul suaminya,” kata sumber di DPRD DKI. Milana sendiri sejak terungkap
sebagai istri Gayus, terus menjadi kejaran wartawan. Diduga dia ikut menerima aliran dana dari
rekening Gayus Tambunan sebesar Rp 3,6 miliar. Dari informasi yang ada, diketahui ada transfer
dana ke rekening Milana dalam lima kali transfer, antara 4 Desember 2009 hingga 11 Januari
2010.

Kronologi Kasus Gayus Tambunan

Pegawai negeri sipil dari Ditjen Pajak Gayus Halomoan P Tambunan diputus bebas oleh
PN Tangerang terkait kasus penggelapan dana sebesar Rp 25 miliar. Namun pihak
kejaksaan tetap akan mengajukan kasasi terkait putusan tersebut.

Berikut kronologi kasus terdakwa Gayus: Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)
terdakwa Gayus Halomoan P Tambunan dikirim ke Kejaksaan Agung (Kejagung) oleh tim
penyidik Mabes Polri. Kemudian pihak Kejagung menunjuk 4 jaksa untuk mengikuti
perkembangan penyidikan tersebut. Mereka adalah Cirus Sinaga, Fadil Regan, Eka Kurnia dan
Ika Syafitri. Berkas perkara tersebut dikirim pada 7 Oktober 2009.

Di dalam SPDP, tersangka Gayus diduga melakukan money laundring, tindak pidana korupsi dan
penggelapan. Analisa yang dibangun oleh Jaksa Peneliti melihat pada status Gayus yang
merupakan seorang PNS pada Direktorat Keberatan dan Banding Dirjen Pajak kecil
kemungkinan memiliki dana atau uang sejumlah Rp 25 Miliar pada Bank Panin, Jakarta. Setelah
Jaksa Peneliti menelusuri alat bukti perkara yang terdiri dari saksi-saksi, keterangan tersangka
dari dokumen-dokumen dan barang bukti, ternyata berkas tersebut belum lengkap

Pada 2002, Gayus Tambunan mengaku pernah satu pesawat dengan pengusaha properti Andi
Kosasih. Mereka lalu berkawan baik, karena sama-sama besar di Jakarta Utara. Setelah
perkenalan singkat itu mereka saling bercerita tentang profesi masing-masing. Andi
memperkenalkan dirinya sebagai pengusaha bidang properti khusus pembangunan rumah kantor
(ruko) berdomisili di Batam dan Jakarta.

Begitupula dengan Gayus yang seorang PNS Direktorat Keberatan dan Banding Dirjen Pajak.
Maka kemudian terjadilah hubungan kerjasama bisnis diantara keduanya atas dasar saling
percaya. Gayus diberi kepercayaan oleh Andi untuk mencari tanah yang hendak digunakan untuk
membangun ruko seluas 2 hektar. Kemudian, akhirnya mereka membuat perjanjian bisnis secara
tertulis pada 25 Mei 2009. Inti dari akta perjanjian tersebut salah satunya disebutkan biaya yang
dibutuhkan untuk membeli tanah guna membangun ruko seluar 2 hektar adalah sejumlah US$ 6
juta. Atas kebutuhan dana sebesar US$ 6 juta untuk pembelian tanah seluas 2 hektar tersebut,
maka Andi Kosasih menyerahkan uang dalam mata uang dollar secara tunai secara 6 tahap. Pada
tahap pertama, 1 Juni 2008, Andi menyerahkan uang tunai sejumlah US$ 900 ribu. Tahap kedua,
15 September 2008, sejumlah US$ 650 ribu. Ketiga, 27 Oktober 2008, sejumlah US$ 260 ribu.

Selanjutnya pada tahap keempat, 10 November 2008, Andi menyerahkan lagi uang tunai
sejumlah US$ 200 ribu. Kelima, 10 Desember 2008, sejumlah US$ 500 ribu. Keenam, 16
Februari 2009, sejumlah US$ 300 ribu. Sehingga total dari keenam setoran tunai Andi kepada
Gayus seluruhnya adalah sejumlah US$ 2.810.000. Sejumlah uang tersebut diserahkan Andi
kepada Gayus di rumah orang tua istri Gayus, dengan disertai bukti kwitansi yang lengkap.
Perjanjian bisnis tersebut, diakui Gayus dalam keterangannya telah ditandatangani oleh kedua
belah pihak dan didaftarkan di notaris. Perjanjian ini berakhir pada 21 Januari 2010 lalu

Setelah menerima sejumlah uang tunai dari Andi Kosasih, karena takut uang-uang tersebut
hilang, Gayus memasukkannya ke dalam rekening pribadinya di Bank Panin. Setelah jaksa
memeriksa beberapa barang bukti seperti adanya perjanjian tertulis dan bukti kwitansi, maka
jaksa menilai tidak ada tanda-tanda tindak pidana korupsi, money laundring, maupun
penggelapan uang. Namun, dalam berkas perkara, ada lagi uang yang masuk ke rekening Gayus
dari bank yang berbeda. Jaksa melihat ada uang sejumlah Rp 370 juta yang disetor dalam 2
tahap, yakni tahap pertama pada 21 September 2007 sejumlah Rp 170 Juta dan 15 Agustus 2008
sejumlah Rp 200 Juta. Uang ratusan juta ini masuk ke rekening Bank Central Asia (BCA) milik
Gayus. Uang tersebut menurut Gayus dimaksudkan untuk mengurus pajak PT Megah Jaya Citra
Garmindo. Namun, saat ditelusuri oleh Jaksa Peneliti, dalam berkas perkara tertulis bahwa PT
Megah Jaya Citra Garmindo telah bubar atau tidak ada lagi.

PT Megah Jaya Citra Garmindo merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang garmen.
Perusahaan milik Mr. Soon asal Korea ini berlokasi di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Mr. Soon
sendiri hingga kini tidak diketahui keberadaannya. Dengan kenihilan perusahaan tersebut, JPU
mempertanyakan mengapa tetap ada uang yang masuk ke dalam rekening Gayus dalam jumlah
ratusan juta guna mengurus masalah perpajakan. Kecurigaan JPU semakin meruncing, karena
pengurusan pajak ternyata tidak dilakukan oleh Gayus sebagai pegawai pajak. Maka Jaksa
Peneliti kemudian menyita barang bukti uang sejumlah Rp 370 juta yang ada di rekening BCA
milik Gayus. Kasus ini dinilai Jaksa Peneliti murni kasus penggelapan, bukan money laundring,
bukan tindak pidana korupsi, apalagi suap. Maka setelah dilengkapi berkas perkara Gayus
Tambunan dinyatakan lengkap oleh kejaksaan.

Gayus Tambunan Diperiksa Kitsda Ditjen Pajak


PNS Ditjen Pajak yang disebut-sebut terlibat penggelapan Rp 25 miliar,
Gayus Tambunan, diperiksa Direktorat Kepatuhan Internal Transformasi Sumber Daya Aparatur
(Kitsda) Pajak. Pemeriksaan terkait penetapan status Gayus sebagai PNS yang terkena kasus.
“Ya diperiksa hari ini tanggal 22 Maret sama provostnya Pajak pukul 10.00 WIB,” kata Dirjen
Pajak Tjiptardjo kepada detikcom, Senin (22/3/2010). Tjiptardjo mengatakan, dirinya baru
mengetahui kasus Gayus setelah jumpa pers Komjen Pol Susno Duadji. Setahu Tjiptardo, kasus
Gayus ini sudah diperiksa polisi sejak akhir 2008. Gayus juga sudah divonis oleh PN Tangerang.
“Makanya sejak ada ribut-ribut di media itu, saya sudah perintahkan untuk menyelesaikan
administrasinya. Pemeriksaan terhadap dia,” jelasnya.

Menurut Tjiptardjo, Gayus masih aktif bekerja sebagai PNS kantor pusat Ditjen Pajak di bagian
penelaah keberatan. Gayus merupakan PNS golongan IIIA. Nama Gayus mencuat setelah Susno
Duadji menyebutkan ada kasus markus pajak yang ditangani tidak sesuai aturan alias rekayasa.
Susno menyebut dari Rp 25 miliar yang dimiliki Gayus, hanya Rp 395 juta yang dijadikan
pidana dan disita negara. Sisanya Rp 24,6 miliar tidak jelas. Gayus kemudian dikenakan 3 pasal
yakni pasal penggelapan, pencucian uang, dan korupsi. Namun di persidangan dia hanya dituntut
jaksa dengan pasal penggelapan. Hakim pun memutuskan Gayus divonis 6 bulan penjara dan
masa percobaan setahun.

Dari vonis tersebut, Kejaksaan Agung berkilah, kalau tuntutan terhadap Gayus hanya
penggelapan karena Gayus dinilai sudah mengembalikan uang milik Roberto Antonius dan PT
Megah Citra Jaya Garmindo sebesar Rp 370 juta sebelum tuntutan dibacakan.Senada dengan
Kejaksaan Agung, Mabes Polri juga membantah adanya markus dalam penanganan kasus pajak
Rp 25 milliar tersebut.Mabes Polri menilai, kasus kepemilikan rekening Rp 25 milliar milik
oknum pegawai pajak Gayus Tambunan telah sesuai prosedur. Tidak ada pencairan dana sebesar
Rp 24 milliar untuk dibagi-bagikan kepada penyidik. Namun saat dihubungi detikcom, Gayus
membantah semua tudingan tersebut. Gayus menegaskan kalau uang tersebut ditarik untuk
pelaksanaan proyek milik teman bisnisnya, Andi Kosasih. Uang itu untuk membuat ruko
proyeknya di Jakarta Utara.Gayus mengaku kalau dirinya masih aktif di kantor pajak pusat.
Gayus juga mendapat dukungan dari teman-temannya sehingga kasus yang menyeret dirinya ini
tidak mengganggu aktivitasnya sebagai PNS Pajak.

Pihak Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KISDA)
Direktorat Jenderal Pajak tengah memeriksa sejumlah atasan Gayus Tambunan. Selain itu
mereka juga menelusuri rekening wajib pajak yang masuk ke rekening Gayus. “Sekarang kita
kan masuk menelusuri kasus per wajib pajaknya. Ditelusuri satu per satu,” ujar Direktur KISDA,
Bambang Basuki, saat dihubungi wartawan, Selasa (30/3/2010).
Menurut Bambang, pihaknya memerlukan semua informasi terkait uang yang mengalir ke
rekening Gayus agar bisa memproses dengan cepat pejabat yang diduga terkait. Bahkan untuk
proses pemeriksaan mereka menggandeng pihak Kementrian Keuangan. “Mulai hari ini kita
sedang kerjasama dengan Inspektorat Jenderal Kementrain Keuangan. Inspektur PKMS
Investigasi,” jelas Bambang.

Selain belum berhasil megungkap aliran dana ke rekening Gayus, KISDA juga belum bisa
mengetahui apakah ada aliran dana selain Rp 25 miliar yang mengalir ke pajabat pajak.
“Sementara ini kita belum dapat. Tapi ngga tahu kalau dari PPATK,” tutupnya.

Kasus yang dialami Gayus Tambunan, PNS golongan IIIA di Ditjen Pajak menoreng nama baik
institusi tempat dia bekerja. Jika terbukti bersalah, Gayus layak dipecat. “Kalau memang terbukti
terlibat pidana korupsi ya harus dipecat dan ada proses hukum pidana,” kata Deputi Menteri
Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tasdik Kinanto usai membuka
acara Rakor Kemenpan di Hotel Seruni, Jakarta, Selasa (30/3/2010).

Tasdik menjelaskan, saat ini amsih banyak kelemahan pengawasan internal para paratur negara.
Sehingga perlu adanya perbaikan sistem yang menyeluruh. “Masih adanya kelemahan dan
pengawasan internal aparatur negara, dan perlu dilakukan segera perbaikan sistem pengendalian
internal,” ujarnya. Dia menjelaskan, reformasi birokrasi di lembaga-lembaga keuangan, terutama
kementrian keuangan adalah bagian utama dalam percepatan pemberantasan korupsi dan
reformasi birokrasi. “Kementrian Keuangan sebenarnya adalah pilot project dalam membantu
percepatan pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi di aparatur negara. Karena Kemenkeu
adalah bagian pengelolaan keuangan,” kata kinanto. Lebih lanjut Tasdik menegaskan, “siapa pun
itu, yang menjadi aparatur negara, atau bagi gayus-gayus yang lain, kalau memang terbukti
bersalah dan melakukan pelanggaran itu harus ditindak tegas sesuai peraturan perundang
undangan yang berlaku,” pungkasnya

Gayus Diberhentikan Tidak Hormat

Direktur Direktorat Jendral Pajak, Tjiptarjo akan memberhentikan secara tidak hormat,
Gayus Tambunan jika terbukti menerima suap pada perusahaan yang diawasinya. “Pasti
akan ditindak tegas. Ancamannya yang paling tinggi dia akan diberhentikan tidak hormat, ujar
Dirjen Muhammad Tjiptardjo saat dihubungi wartawan, Selasa (23/3). Ia menuturkan, Tjiptardjo
menyatakan pihaknya telah mencopot Gayus dari jabatannya di bagian Penelaah Keberatan
Ditjen Pajak. Saat ini, Gayus hanya berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan IIIA.

Menurut Tjiptardjo, sejak Senin, kemarin Gayus telah diperiksa oleh Direktorat Kepatuhan,
Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur atau Kitsda Ditjen Pajak. Hasil pemeriksaan
ini akan digunakan Ditjen Pajak sebagai acuan untuk memutuskan sanksi yang akan diterapkan
kepada Gayus. “Kita itu sama dengan provostnya. Pemeriksaannya masih berjalan mulai jam
10.00. Kalau kita hanya bisa sebatas ini saja. Kalau masalah kriminalnya kan sudah di Bareskrim
dan sudah ada putusannya di pengadilan. Itu di luar Ditjen Pajak. Masalah memuaskan atau tidak
ya kami tidak punya wewenang”, tegasnya.Terkait Kasus Gayus, Polri Periksa Haposan
Hutagalung

Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri,


Komisaris Jenderal Ito Sumardi mengatakan pihaknya memeriksa pengacara
bernama Haposan Hutagalung terkait dengan kasus rekening mencurigakan milik
Gayus Tambunan. “Iya betul sedang diperiksa,” kata Ito Sumardi melalui pesan
singkat telepon selular di Jakarta, Senin. Ito menuturkan tim independen memeriksa
Haposan Hutagalung di Bareskrim Mabes Polri.

Tim independen itu terdiri dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), anggota Polri dan
Satuan Petugas (Satgas) Mafia Hukum. Sebelumnya, Haposan Hutagalung menjadi pengacara
Gayus Tambunan terkait tiga tuduhan perkara, yakni penggelapan pajak, korupsi dan pencucian
uang hampir Rp400 juta.

Namun, majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang memvonis bebas Gayus Tambunan, 12
Maret 2010. Gayus Tambunan tercatat sebagai pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang diduga
memiliki rekening mencurigakan sebesar Rp25 miliar.Kasus kepemilikan rekening sebesar Rp25
miliar milik Gayus itu kembali memcuat setelah mantan Kabareskrim Mabes Polri, Komisaris
Jenderal Susno Duadji mengungkapkan adanya dugaan keterlibatan beberapa perwira tinggi
Mabes Polri dan Kejaksaan Agung.

Polri Blokir Rekening Penerima Dana Gayus


Polri menyatakan bahwa penyidiknya telah memblokir rekening
bank yang menerima aliran dana dari Gayus Tambunan, terkait kasus dugaan
pencucian uang. “Semua rekening yang menerima sudah diblokir,” kata Kepala
Divisi Humas Polri Irjen Polisi Edward Aritonang saat dikonfirmasi melalui telepon
selular di Jakarta, Senin.

Namun demikian, Kadivhumas Polri itu enggan menyebutkan aliran dana tersebut ke mana saja
dan nama yang menerima dana dari rekening Gayus, pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu.
Edward juga belum menerima informasi sejauhmana perkembangan penelusuran tentang adanya
oknum yang menarik tunai uang berasal dari rekening Gayus sebesar Rp6,2 miliar.

Sementara itu, terkait dengan penelusuran keberadaan Gayus yang masuk daftar pencarian orang
(DPO), Edward menyatakan Polri sudah berkoordinasi dengan kepolisian Singapura. Mabes
Polri belum mengirimkan anggotanya ke Sinagpura karena masih mengupayakan agar Gayus
kembali pulang ke Indonesia. Sebelumnya, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
menginformasikan Gayus Tambunan melarikan diri ke Singapura bersama beberapa orang.

Paspor Gayus Tambunan Diblokir

Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumham) mulai Senin telah memblokir paspor pegawai
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Gayus HP Tambunan, yang saat ini diduga tengah berada di
Singapura. “Saya sudah koordinasi dengan Imigrasi Singapura bahwa paspornya itu diblokir
mulai hari ini,” kata Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Patrialis Akbar, di Jakarta,
Senin.

Gayus HP Tambunan diduga melarikan diri ke Singapura saat hendak menjalani pemeriksaan
internal di lingkungan Ditjen Pajak dan pemeriksaan penyidik Mabes Polri soal keberadaan dana
di rekeningnya senilai Rp24,6 miliar. Gayus tersandung dalam kasus pencucian uang,
penggelapan, dan tindak pidana korupsi soal adanya aliran dana ke rekeningnya di Panin Bank
senilai Rp24,6 miliar.Namun, perkara yang maju ke pengadilan terkait penggelapan uang dari PT
Megah Jaya Garmindo senilai Rp370 juta, dan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN)
Tangerang, Banten memvonis bebas dirinya dari jeratan kasus penggelapan uang. Menkumham
menyatakan, meski demikian Gayus adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang tentunya
keberadaannya di luar negeri harus dilindungi. “Karena itu, agar Gayus ini bisa kembali ke
Indonesia, kita keluarkan yang namanya SPLP yang hanya berlaku satu kali, yakni dari
Singapura ke Indonesia,” katanya. SPLP adalah Surat Perjalanan Laksana Paspor. Ia juga
mengaku dirinya sudah memerintahkan seluruh atase imigrasi di seluruh dunia untuk mendeteksi
keberadaan Gayus. “Perintah terhadap seluruh imigrasi di seluruh dunia, karena kita ingin
membantu polisi,” katanya. Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum menyatakan,
pekan depan paling tidak akan terbongkar sindikat pajak terkait kasus Gayus HP Tambunan.
“Sindikasi ini yang dalam waktu dekat, Insya Allah akan terbongkar,” kata Sekretaris Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum, Denny Indrayana.

MA Tidak Temukan Suap Penanganan Perkara Gayus

Mahkamah Agung (MA) menyimpulkan tidak


menemukan adanya indikasi suap yang dilakukan hakim Pengadilan Negeri (PN)
Tangerang, Banten yang memutus bebas pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak,
Gayus HP Tambunan. “Kesimpulannya, tidak ada bukti indikasi penyuapan dalam
putusan Gayus,” kata Kepala Biro (Kabiro) Hukum dan Humas MA, Nurhadi, di
Jakarta, Selasa.

Sebelumnya, majelis hakim PN Tangerang memvonis bebas Gayus HP Tambunan terkait dugaan
penggelapan uang pajak sebesar Rp370 juta yang disangkakan kepada pegawai ditjen pajak itu
yang saat ini dalam status buron. Bebasnya Gayus HP Tambunan tersebut menimbulkan reaksi
publik, karena Gayus juga diduga tersangkut dalam kasus tindak pidana korupsi, pencucian uang
dan penggelapan sebesar Rp24,6 miliar. Namun jaksa melimpahkan kasus itu ke pengadilan
dalam kasus yang berbeda yakni penggelapan uang Rp370 juta, karena menganggap berkas uang
Rp24,6 miliar yang dari BAP polisi dinyatakan tidak terbukti.
Nurhadi menyatakan putusan tersebut merupakan hasil Rapat Pimpinan (Rapim) MA yang
dihadiri oleh Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial, Ahmad Kamil. “Kesimpulan itu diperoleh
dari hasil kerja Badan Pengawasan Internal MA yang bekerja pada Senin (29/3) dan Selasa
(30/3) dengan memeriksa majelis hakim yang menangani perkara tersebut,” katanya. Ia
menambahkan putusan itu murni merupakan putusan yuridis dan pertimbangannya bisa
dipertanggungjawabkan.

Kendati demikian, ia menyatakan MA tetap membuka peluang bagi Satuan Tugas (Satgas)
Pemberantasan Mafia Hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan
pemeriksaan terhadap majelis hakimnya. “MA membuka peluang satgas dan KPK melakukan
pemeriksaan terhadap majelis hakimnya, kalau ada bukti melakukan penyimpangan,” katanya.
Ditegaskan, MA akan bersikap tegas terhadap hakim yang melakukan penyimpangan .”Siapapun
yang tersangkut kasus itu, dipastikan dihukum,” katanya

Gayus Telah Ditemukan di Singapura


Oknum pegawai pajak, Gayus Tambunan saat ini masih berada di Singapura. Polri
telah memasukannya dalam daftar pencarian orang (DPO). Kepala Divisi Humas
Polri, Inspektur Jenderal Edward Aritonang mengatakan Gayus akan segera
ditangkap. “Keberadaannya sudah diketahui, tinggal koordinasi dengan pihak
terkait supaya bisa ditangkap yang bersangkutan sesuai ketentuan,” kata Edward di
Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta, Selasa 30 Maret 2010. Bagaimanapun,
penangkapan Gayus harus dilakukan sesuai ketentuan. “Untuk nantinya tak
menjadi masalah di belakang hari, misalnya memaksa seseorang yang bukan di
yuridiksi Indonesia,” tambah dia.

Gayus diketahui pergi dari Indonesia sejak Rabu 24 maret 2010 malam. Dia bertolak
menggunakan pesawat Singapore Airlines. Gayus ke Singapura dengan alasan berobat. Gayus
kabur setelah sempat curhat dengan Satgas Antimafia Hukum. Sebelumnya, Menteri Hukum dan
HAM Patrialis Akbar menyatakan paspor pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Tambunan.
Hal ini dilakukan untuk mengembalikan Gayus ke Indonesia. “Sudah koordinasi dengan Imigrasi
di Singapura. Paspor Gayus itu diblokir,” kata Patrialis Akbar di Kejaksaan agung, Senin 29
Maret 2010. Patrialis mengatakan, agar Gayus dapat kembali ke Indonesia, pihak imigrasi
mengeluarkan Surat Perjalananan Laksana Paspor (SPLP). “Yang berlaku hanya satu kali dari
Singapura ke Indonesia,” ujar dia.Selain Gayus, istrinya, Milana Anggraeini juga sedang diburu
Polisi. Milana bisa ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencucian uang dan penggelapan
pajak yang dilakukan suaminya. Saat ini, dia diduga bersama Gayus di Singapura.

Gayus Tambunan tidak pergi sendirian ke Singapura. Dia membawa istrinya Milana Angraeini
untuk menemaninya. Tetapi belum dipastikan apakah anaknya juga ikut dibawa. “Istrinya Gayus
dibawa ke Singapura,” kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang di Mabes
Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Selasa (30/3/2010). Karena itulah, pemeriksaan atas Milana tidak
bisa dilakukan. “Bagaimana mau diperiksa?” tambahnya. Gayus diketahui pergi ke Singapura
pada Rabu 24 Maret 2010 melalui Bandara Soekarno-Hatta dengan menumpang pesawat
Singapore Airlines. Kini polisi sudah mengetahui keberadaannya di mana di Singapura dan
tinggal menjemputnya.
Manteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar telah menemukan data yang menngatakan Gayus
Tambunan mengaku sebagai pegawai swasta dalam paspornya. Dia mengatakan, data itu
digunakan sebagai alasan untuk memblokir paspor Gayus yang kini berada di Singapura.
Mengenai pemblokiran paspor Gayus ini, Patrialis mengaku pihaknya telah dihubungi oleh
otoritas imigrasi Singapura. Imigrasi singapura, kata dia, menanyakan alasan Indonesia
memblokir paspor Gayus.”Disampaikan oleh Plt imgigrasi kami bahwa karena kami
mendapatkan data lain, ternyata waktu Gayus membuat paspor, itu statusnya sebagai pegawai
swata,” kata Patrialis usai bertemu dengan Kapolri di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta
Selatan, Selasa 30 Maret 2010.Bahkan, tambah dia, ada perusahaan swasta yang mengeluarkan
rekomendasi agar pihak imigrasi mengeluarkan paspor kepada Gayus. Namun Patrialis tidak
menyebutkan perusahaan swasta yang memberikan rekomendasi untuk paspor Gayus. “Lupa,
tapi saya betul-betul sudah lihat berkas-berkasnya. Berkasnya ada di kantor,” kata dia. Dia
mengatakan, dengan diblokirnya paspor Gayus, maka Gayus tidak bisa menggunakan paspor itu
untuk pergi keluar Singapura. Namun demikian, lanjut dia, upaya untuk memulangkan Gayus
tetap dilakukan. Dia menambahkan, untuk memulangkan Gayus ke Indonesia, pihaknya telah
memberikan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) yang bisa digunakan untuk keluar
Singapura oleh Gayus. “Maka kita berikan SPLP yang bisa digunakan untuk keluar Singapura
hanya satu kali dan hanya bisa digunakan ke Indonesia,” kata dia.

Gayus Akhirnya Ditangkap

Gayus Halomoan Tambunan tak bisa berkeliaran lagi. Tersangka skandal pajak yang menjadi
buronan Mabes Polri ditangkap bersama keluarganya di Hotel Mandarin Orchard kawasan
Orchid Road, Singapura, Selasa (30/3). Gayus tak berkutik ketika digerebek Mabes Polri yang
dipimpin Komisaris Besar Polisi M. Irawan. Rencananya tersangka diterbangkan ke Indonesia
pagi ini melalui Bandar Udara Changi Singapura.Mabes Polri sudah mengetahui keberadaan
Gayus di Singapura sebelumnya. Bahkan, tim dari Mabes sudah berada di Kepulauan Batam.

Tim Mabes Polri telah melakukan penangkapan terhadap buron pegawai dirjen
pajak, Gayus Tambunan di Hotel Mandarin Orchard Road Singapura, Selasa 30
Maret 2010.Saat ditangkap, Gayus Tambunan tidak melakukan perlawanan dan
saat ini masih dilakukan pemeriksaan. Tak hanya Gayus, polisi juga mengamankan
Meliana Anngraeni, istri Gayus dan anaknya yang ikut dalam pelarian ke Singapura.
Tim Mabes Polri melakukan penangkapan bersama dengan tim independen.

Rencananya Gayus akan dibawa ke Jakarta pada pukul 15.00 WIB, waktu setempat dengan
menggunakan pesawat komersil. Diperkirakan sekitar pukul 16.30 WIB, Gayus bersama tim
akan tiba di Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta.

“Dari Singapura kira-kira jam 15.00,” ujar Komisaris Besar M Iriawan, yang memimpin
penangkapan, Rabu 31 Maret 2010. Dalam penangkapan ini, selain tim Polri pimpinan Kombes
M Iriawan, tim independen dari Kompolnas dan Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Ito
Sumardi juga ikut mengawasi penangkapan ini. Menyusul untuk memastikan penangkapan itu
adalah tim dari Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana dan Mas Achmad
Santosa.
KORAN DEMOKRASI INDONESIA, Yudhasmara Publisher

Jl Taman Bendungan Asahan 5 Jakarta PusatPhone : (021) 70081995 – 5703646

email : judarwanto@gmail.com

http://korananakindonesia.wordpress.com/

Copyright © 2010, Koran Demokrasi Indonesia Network Information Education Network. All
rights reserved

Ditulis dalam 0A.Korupsi | Tag: Akhirnya Tertangkap di Singapura, Gayus Tambunan Si


Markus Golongan IIIA yang Kaya Raya

« Pidato Lengkap SBY tentang Paripurna DPR Soal Century

Jenderal Kontroversial, Pantaskah Jadi ketua KPK »

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Korupsi

Mengacu Kepada Kasus Korupsi Gayus Tambunan

Disusun sebagai tugas Mata Kuliah

Sosiologi Hukum

Oleh:

Manshur Zikri, 0906634870


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK, 2010

Bab I

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah
sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah
merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang telah menjadi hal
yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum elite.

Banyak kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya. Salah satunya
adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pegawai pajak golongan IIIA, yang sempat
menggegerkan Mabes Polri, Gayus Tambunan. Keterkejutan semua orang terhadap apa yang
telah dilakukan oleh Gayus Tambunan adalah suatu hal yang wajar. Karena apabila kita melihat
dari statusnya yang hanyalah seorang pegawai negeri biasa, tetapi memiliki tabungan yang
begitu banyak, senilai Rp. 25 Miliar, tentu saja hal ini mengundang tanya: Apalagi kalau bukan
korupsi? Padahal, pekerjaan Gayus sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak (banding)
perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Mengingat gaji pegawai pajak
setingkat golongan IIIA hanyalah berkisar antara Rp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan,
hal ini menegaskan bahwa seorang Gayus Tambunan pasti telah melakukan kecurangan yang
dapat merugikan Negara dan masyarakat banyak.

Seperti yang telah diberitakan oleh berbagai media bahwa nama Gayus Tambunan mulai
mencuat ketika disebutkan oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji sebagai seseorang
yang berkaitan erat dengan makelar kasus. Susno menyebutkan Gayus memiliki Rp 25 miliar di
rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang disita negara. Sisanya Rp 24,6 miliar menguap
entah ke mana. Susno mengutarakan bahwa ada keterlibatan dari tubuh Polri sendiri dalam
kasus manipulasi pengusutan pajak.

Gayus kemudian dituntut kepolisian dengan tiga pasal, yakni pasal penggelapan, pencucian uang,
dan korupsi. Namun pada persidangan itu Gayus hanya dituntut dengan pasal penggelapan,
divonis oleh hakim dengan hukuman 1 tahun percobaan, kemudian dibebaskan. Terdapat
berbagai kejanggalan di pengadilan Gayus saat itu, antara lain soal ancaman hukuman yang
ternyata lebih ringan dari ketentuan Undang-Undang, tuntutan dari jaksa yang hanya berupa
tuntutan soal penggelapan uang, serta penggelaran persidangan yang dilakukan di hari Jumat, di
Pengadilan Negeri Tangerang, yang biasanya tidak digelar persidangan pidana.
(www.tempointeraktif.com, Maret 2010).

Modus Gayus melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam.


Dalam posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan Banding,
pada pertengahan 2007 Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan.
Berkaitan dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam
pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih pemenangan banding. Misalnya seorang wajib
pajak seharusnya membayar pajak Rp 3 Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di
pengadilan pajak itu Gayus memenangkan banding wajib pajak. Selain itu, menurut Indonesia
Corruption Watch (ICW), diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs
Rupiah saat menangani pajak Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut
menyebabkan kewajiban pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu (www.mediaindonesia.com,
November 2009).

Kini Gayus Tambunan kembali ditetapkan sebagai terdakwa dan dijerat pasal berlapis yakni
korupsi, pencucian uang dan penggelapan. Kasus Gayus kini melebar dan melibatkan sejumlah
pihak. Namanya mencuat kembali saat dirinya diduga bebas berkeliaran keluar dari rumah
tahanan. Gayus Tambunan, entah mengapa, mendapatkan perlakukan khusus yang sangat tidak
masuk akal.

Perkembangan terkini dari penanganan kasus korupsi Gayus Tambunan semakin membuat
masyarakat jengah. Gayus Tambunan sebagai tersangka korupsi seolah-olah memiliki kuasa
sahingga dia selalu mendapatkan perlakuan istimewa. Terakhir, dia kembali mendapatkan
perlakuan istimewa di depan hukum, yaitu kepolisian hanya menjeratnya dengan pasal
gratifikasi, di mana dia hanya dapat dihukum maksimal 3 tahun penjara. Dalam berbagai perkara
yang pernah ada, seseorang yang terjerat pasal gratifikasi sering lolos dari jeratan hukum. Hal ini
kemudian menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum dalam
menangani kasus Gayus. Oleh karena itu masyarakat banyak yang mendesak agar kasus Gayus
ditangai oleh KPK. Akan tetapi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri tetap menegaskan
bahwa kasus Gayus tetap ditangai oleh Polisi. Padahal, telah jelas terlihat bahwa Kepolisian
sendiri tidak serius dalam menangani kasus korupsi Gayus sehingga menyebabkan kasus ini
tidak menemui ujungnya. (http://www.mediaindonesia.com, Desember 2010).

Hal ini kemudian menjadi pertanyaan penting bagi kita semua. Ada apa dengan negeri ini?
Mengapa korupsi tetap saja dapat berjaya dan bersemayam di tubuh semua lembaga, bahkan di
lembaga yang seharusnya memiliki kewajiban untuk memberantas korupsi itu sendiri. Ini
menjadi tantangan bagi bangsa dan Negara dalam mengatur dan menata kehidupannya.

1. Masalah

Pertanyaan yang penting untuk dijawab di sini adalah bagaimana bisa muncul suatu penyakit,
yaitu korupsi. Mengapa dia menjadi benalu yang tidak pernah lepas dari kehidupan berbangsa
dan bernegara? Bahkan korupsi telah menjamah semua kalangan di dalam masyarakat. Yang
lebih memprihatinkan adalah korupsi terus bersarang, dan sarangnya semakin besar, di kalangan
atas, para elite, pejabat, dan pemimpin yang memiliki kuasa dalam mengatur kesejahteraan
masyarakat umum.

Mengapa korupsi bisa terjadi? Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, melihat keterkaitan
korupsi dengan kekuasaan, tindak kejahatan korporasi dan birokrasi, adalah hal yang akan
dibahas dalam makalah ini. Rumusan masalah dalam makalah ini terletak pada kasus korupsi
yang dilakukan oleh kalangan atas, para elite, pejabat dan petinggi Negara semakin serius
sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi Negara dan masyarakat.

1. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah untuk memahami mengapa munculnya suatu tindakan korupsi
dalam sebuah kekuasaan, bahkan dalam praktek-praktek penegakan hukum sekalipun. Selain itu,
dengan pembahasan dalam makalah ini, diharapkan juga dapat diketahui apa-apa saja faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan korupsi di kalangan atas, para elite, dan pejabat
pemerintah.

Bab II

Landasan Teori

Dalam melihat hubungan antara korupsi, kekuasaan, dan kejahatan korporasi dan birokrasi ini,
akan dibahas pengertian beberapa kerangka teoritik berikut.

1. Korupsi
Secara etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus yang merupakan kata
sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan (com memiliki arti intensif atau
keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau menghancurkan.
Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara harfiah bahwa korupsi adalah
suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara intensif. Dalam dictionary.reference.com,
kata corruption diartikan sebagai to destroy the integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc.,
esp. by bribery (Lihat “Corrupt | Define Corrupt at Dictionary.com”. Dictionary.reference.com.
Retrieved 2010-12-06.)

Sejatinya, ada begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli.
Huntington (1968) memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang
menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini
ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi
adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk
keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Korupsi juga sering dimengerti sebagai
penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa
dimengerti sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan
jarak” ini maksudnya adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi,
politik, dan sebagainya, permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga tidak memainkan
peran (Agus Suradika, 2009: 2). Selain itu, korupsi juga dapat dikatakan sebagai representasi dari
rendahnya akuntabilitas birokrasi publik (Wahyudi Kumorotomo, 2005: V)

Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption and political development” mendefiniskan korupsi sebagai
prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam
posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan,
kekuasaan dan status (lihat Agus Suradika, 2009: 2).

Amin Rais, dalam sebuah makalah berjudul “Suksesi sebagai suatu Keharusan”, tahun 1993,
membagi jenis korupsi menjadi empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption),
yaitu korupsi yang merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat
memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang
pengusaha dengan sengaja memberikan sogokan pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin
usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai
miliaran rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption), yaitu korupsi yang
merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan
pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang
kepada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat
menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini umumnya dapat
merugikan masyarakat banyak. Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption), yaitu
perlakuan istimewa yang diberikan pada keluarga: anak-anak, keponakan atau saudara dekat para
pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan
istri sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat, korupsi subversif (subversive
cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat
negara dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.

1. Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi
tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu menjadi
sesuai dengan keinginan dan tujuan dari oang yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan sosial
terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial (Miriam Budiarjo,
“Dasar-dasar Ilmu Politik, 1995: 35)

Kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengedalikan tingkah laku orang lain, baik secara
langsung dengan jalan member perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan
segala alat dan cara yang tersedia (Robert M. Maclver, 1961: 87). Kekuasaan dalam suatu
masyarakat selalu berbentuk piramida, yang disebabkan oleh kekuasaan yang satu menegaskan
dirinya lebih unggul daripada yang lain. Piramida kekuasaan ini menggambarkan kenyataan
bahwa dalam sejarah masyarakat golongan yang berkuasa dan yang memerintah itu relatif lebih
kecil dari pada yang dikuasai (op cit., h.36)

Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah)


baik terbentuknya mamupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan
sendiri. Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial, dan fokusnya ditujukan
kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang untuk mengendalikan tingkah laku
sosial dengan paksaan (ibid., h.37)

1. White-collar crime

Pengertian dasar dari konsep white-collar crime yang dikemukakan oleh Sutherland adalah untuk
menunjuk tipe pelaku dari suatu kejahatan, yaitu “orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaanya”
(Sutherland, 1949: 9). Orang dari kelas sosial ekonomi ini, menurut Sutherland, adalah mengacu
kepada orang-orang yang berada di kelompok orang-orang terhormat.

Atas dasar pengertian di atas, tindakan kriminal seperti pembunuhan, perzinahan, dan peracunan
tidak dapat dikategorikan sebagai white-collar crime meskipun kejahatan itu dilakukan oleh
orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi karena tindakan itu tidak memiliki kaitan dengan
pekerjaannya. Kejahatan yang dilakukan oleh penjahat yang kaya, misalnya kecurangan dalam
perjudian, yang memiliki kaitan erat denganpe pekerjaannya, juga tidak dapat dikateogrikan
sebagai white-collar criminal, karena penjahat tersebut tidak termasuk dalam golongan orang
terhomat (Muhammad Mustofa, 2010: 17).

White-collar yang dimaksudkan oleh Sutherland adalah mereka yang merupakan orang-orang
terhormat. Istilah itu merupakan istilah yang awalnya digunakan oleh Sloan, Direktur General
Motors dalam bukunya The Autobiography of a White Collar Worker, yang memiliki arti lebih
luas. White-collar menunjuk kaum peneruma gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus
dalam pekerjaanya, seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para asistennya (Lihat
Sutherland, 1949: 9, catatan kaki 7)

Pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang-orang terhormat ini biasanya berupa
pemanfaatan wewenang untuk kepentingan pribadi, biasanya dalam usaha untuk
mempertahankan jabatan atau memperoleh kekayaan. Terkait dengan hal ini, sistem keuangan
negara yang berlaku di negeri ini merupakan lahan yang subur bagi praktik-praktik yang
demikian. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi mesin utama bagi negara
dalam menghasilkan dana juga membuka kesempatan terjadinya kejahatan oleh kerah puitih.
White-collar crime dalam bentuk kejahatan korporasi tercatat terjadi di bidang yang
berhubungan dengan perlindungan konsumen, pencemaran lingkungan, pembalakan hutan
(Illegal loging).

Terdapat dua kategori kejahatan dalam dimensi white-collar crime, menurut Clinard dan
Quinney (1973), yaitu occupational criminal behavior dan corporate criminal behavior. Dalam
menjabarkan cirri-ciri occupational crime behavior, Clinar dan Quineey merujuk kepada
rumusan tipologi oleh Bloch dan Geis (1970), yaitu perbuatan yang dilakukan:

- Oleh individu sebagai individu (misalnya pengacara, dokter);

- Oleh pegawai terhadap majikannya (misalnya kasus penggelapan);

- Oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan (kasus monopoli);

- Oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum (misalnya iklan yang menyesatkan)

- Oleh pedagan terhadap konsumen (pelanggaran konsumen)

Hagan (1989) memberikan tipologi white-collar crime yang berangkat dari tipologi yang
diutarakan oleh Edelhertz,. Tipologi oleh Edelhertz adalah sebagai berikut:

- Kejahatan oleh orang-orang yag bekerja secara individual dan sementara (ad hoc),
misalnya pelanggaran pajak, penipuan kartu kredit, penipuan kebangkrutan dan lain-lain;

- Kejahatan yang dilakukan dalam rangka pekerjaan (yang sah) ileh orang yang
mengoperasikan bisnis internal, pemerintahan, atau lain-lain kemapanan, dalam bentuk
pelanggaran tugas atau loyalitas dan kesetiaan terhadap majikan dank lien, misalnya
penggelapan, pencurian, penggajian pegawai palsu;

- Kejahatan yang sesekali dilakukakan dalam rangka memajukan usaha bisnis, misalnya
pelanggaran antimonopoli, penyuapan, pelanggaran peraturan makanan, dan obat-obatan;

- White-collar crime sebagai bisnis, atau sebagai aktivitas utama. Konsep ini termasuk
dalam bahasan kejahatan professional, misalnya penipuan layanan pengobatan dan kesehatan,
undian palsu, dan sebagainya (lihat Muhammad Mustofa, 2010: 28)

Ketentuan tipologi yang pertama dan kedua adalah bentuk kejahatan yang dijalankan oleh
individu, sedangkan ketentuan yang ketiga dan keempat merupakan bentuk kejahatan yang
dilakukan oleh organisasi.

1. Kejahatan Korporasi
Kejahatan korporasi tidak dapat dilihat sebagai tingkah laku yang dilakukan oleh orang, tetapi
harus sebagai tingkah laku organisasi yang kompleks. Kejahatan korporasi dapat dipahami
melalui teori organisasi untuk menjelaskan bagaimana korporasi sebagai organisasi yang secara
kodrati khas, yaitu organisasi berskala besar melakukan tingkah laku yang melanggar hukum.
Strtuktur dari organisasi korporasi ini sangat luas sehingga menopang keadaan yang mendorong
terjadinya penimpangan oleh organisasi, disebabkan oleh menyebarnya tanggung jawab secara
luas. Kodrat tujuan korporasi untuk mendapatkan keuntungan yang merupakan cirri iklim sosal
industry dapat mendorong tindakan pelanggaran hukum dan tindakan yang mendekati
pelanggaran hukum (Clinard, Yeager, 1980: 43)

Di dalam korporasi, terdapat jenjang-jenjang yang memungkinkan setiap jenjang tersebut


memiliki sikap tidak bertanggung jawab (pelembagaan sikat tidak bertanggung jawab). Hal ini
menyebabkan korporasi bekerja dan memiliki fungsi seperti tirai, yang membolehkan setiap
orang di dalamnya tidak tersentuh oleh moral maupun hukum. Dari situasi seperti inilah
kejahatan korporasi hampir dapat terjadi. Mereka, eksekutif korporasi, dapat mengelak dari
tanggung jawab dengan dalih bahwa cara-cara tidak sah dalam mencapai tujuan korporasi yang
dirumuskan secara umum sdah merupakan sarana yang tersedia tanpa dapat dikendalikan (Ibid.,
h.44)

1. Differential Association.

Differential Association adalah sebuah teori kriminologi yang melihat bahwa tindakan kejahatan
sebagai perilaku yang dipelajari. Teori yang dikemukakan oleh Sutherland ini, berkeyakinan
bahwa perilaku menyimpang disosialisasikan melalui sebuah cara yang kurang memiliki
perlawanan terhadap perilaku iti sendiri. Sama halnya dengan norma-norma yang berlaku di
masyarakat, yang disosialisasikan melalui interaksi sosial dan ketaatan, begitu juga dengan
kejahatan dan perilaku menyimpang.

Sutherland memberikan 9 prinsip dari teori Differential Association, yaitu:

1) Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari

2) Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari dalam sebuah interaksi dengan orang
lain melalui proses komunikasi

3) Belajar menjadi jahat terjadi di dalam primary group (keluarga, teman, teman sepermainan
atau sahabat paling dekat)

4) Belajar menjadi jahat termasuk juga di dalamnya untuk belajar mengenai teknik, tujuan,
rasionalisasi, kebiasaan dan sikap sehari-hari.

5) Arah khusus dari tujuan dan sikap itu dipelajari dari definisi situasi yang menguntungkan
dan tidak menguntungkan.
6) Seseorang menjadi penjahat apabila di dalam dirinya ada pertimbangan bahwa dengan
melanggar hukum akan mendapat keuntungan yang lebih banyak daripada tidak melanggar
hukum.

7) Differential association bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.

8) Proses belajar menjadi jahat itu melibatkan semua mekanisme yang terlibat dalam
pembelajaran lainnya.

9) Meskipun perilaku kejahatan (kriminal) adalah ekspresi dari kebutuhan umum dan sikap,
perilaku kriminal dan tujuannya tidak dijelaskan atau dimaafkan oleh kebutuhan dan sikap sama,
sedangkan perilaku non-kriminal dijelaskan oleh kebutuhan umum dan sikap sama.

Bab III

Pembahasan

Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan kekuasaan. Di mana ada
kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu sendiri, yang
menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi. Kekuasaan dan korupsi yang selalu
berdampingan, layaknya dua sisi mata uang, merupakan hakikat dari pernyataan yang
disampaikan oleh Lord Acton, dari Universitas Cambridge, “Power tends to corrupt, and
absolute power corrupt absolutely.

Terdapat sebuah postulat yang mengatakan bahwa korupsi selalu mengikuti watak kekuasaan.
Dalam artian bahwa korupsi itu ada baik di pemerintahan yang sentralistik maupun
desentralistik. Jika pemerintahan suatu negara adalah sentralistik, korupsi juga akan bersifat
sentralistik. Semakin kuat kekuasaan itu tersentral, semakin besar pula terjadi kasus korupsi di
kekuasaan pusat tersebut. Di Indonesia, hal ini terjadi pada masa Orde Baru. Sebaliknya, jika
pemerintahan suatu negara adalah desentralistik, misalnya dengan Otonomi Daerah, tindakan
korupsi akan tersebar pula mengikuti pola pemerintahan desentralistik tersebut. Dengan kata
lain, praktek korupsi juga terjadi di pemerintahan tingkat daerah. Karena kekuasaan berpindah
dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya
berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Situasi seperti ini terjadi
pada masa sekarang di Indonesia (Lihat Agus Suradika, 2009: 1)

Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku yang menyimpang merupakan suatu tindakan
yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh seseorang dalam posisi otoritas publik
(penguasa). Korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa atau wewenang
terhadap sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi
dirinya untuk melakukan korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang
tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama dari korupsi adalah tindakan
tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata dan merugikan pihak lain
di luar dirinya. Contoh paling mudah adalah seorang mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta
temannya untuk mengisi buku hadir. Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia memiliki
kuasa terhadap kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas. Dia melakukan tindakan
tersebut untuk kepentingannya sendiri.

Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas kakap, merupakan
korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat banyak. Korupsi yang dimaksud ini juga
tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para pejabat publik telah dengan sengaja menyalahgunakan
wewenangnya untuk melakukan tindakan melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang
pejabat publik yang memegang kekuasaan (memiliki wewenang) secara otomatis memiliki daya
untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan. Sesuai dengan sifat dari kekuasan
(kekuasaan politik) itu, yaitu mengendalikan tingkah laku manusia (masyarakat) secara koersif
(memaksa) agar supaya masyarakat bersedia tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini,
setiap kebijaksanaan yang diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang
sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang untuk terjadinya
tindakan korupsi besar sekali.

Mengacu pada kasus korupsi Gayus Tambunan, dapat dijelaskan bahwa tindakan korupsi yang
dilakukan oleh Gayus itu dapat terlaksana karena dia memiliki suatu kekuasaan dan wewenang.
Seperti yang kita ketahui bahwa Gayus bekerja di kantor pusat pajak, memegang jabatan sebagai
Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Posisi yang demikian sangat memudahkannya
untuk memanipulasi data, mempengaruhi suatu kebijakan sehingga ia dapat meraup keuntungan
yang besar untuk dirinya sendiri. Menurut sumber Media Indonesia, modus Gayus melakukan
pelanggaran dengan memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai
pegawai Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007
Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan dengan ini,
Gayus memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam pengadilan pajak, yaitu
dengan memainkan selisih pemenangan banding. Misalnya seorang wajib pajak seharusnya
membayar pajak Rp 3 Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu
Gayus memenangkan banding wajib pajak. Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch
(ICW), diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs rupiah saat menangani
pajak Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban
pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu (www.mediaindonesia.com, November 2009). Dari
perkara-perkara seperti ini lah Gayus berhasil mendapatkan keuntungan tersebut. Dia memiliki
kepintaran dan kelihaian yang merupakan ‘senjata’ dari sebuah kekuasaan dan kewenangan.

Manusia memiliki sifat dasar untuk terus mengonsumsi, atau paling tidak memenuhi kebutuhan
pokoknya. Oleh karena itu, besar kemungkinan tuntutan-tuntutan pribadi tetap membayangi
manusia di dalam melaksanakan kewajibannya, yang seharusnya kewajiban itu menuntut
seseorang untuk dapat berperilaku bersih dan mengutamakan kepentingan umum dan tanggung
jawab. Hal ini pula yang menimpa Gayus Tambunan. Ada kecurigaan bahwa kasus korupsi,
penggelapan dan pencucian uang disebabkan oleh suap yang dilakukan oleh para pengusaha agar
mau memudahkan jalan bagi usaha mereka. Seperti misalnya ketika Gayus menerima aliran duit
sebesar Rp 370 juta. Selain itu, ada keterlibatan pengusaha bernama Andi Kosasih dalam kasus
korupsi Gayus Tambunan.
Korupsi yang merugikan negara dan masyarakat banyak biasanya bermula dari penguasa

Kaitan tindakan kejahatan, korupsi, antara penguasa dan keterlibatan para pengusaha, secara
sederhan dapat diilustrasikan sebagai berikut: penduasa dapat memberikan akses kepada para
pengusaha untuk melakukan eksploitasi rente ekonomi yang merugikan konsumen dan
masyarakat luas. Di lain pihak pengusaha diuntungkan, dan bagian keuntungan tersebut harus
dibayar (diserahkan) kepada pemberi akses tadi, yaitu penguasa (Lihat Siti Akhiriah Nasution,
“Korupsi dan Kekuasaan”, Opini, http://www.waspada.co.id, Januari 2010)

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, antara lain adalah korporatisme.
Korporatisme, dalam khasanah literature ekonomi-politik, sering disepadankan dengan praktek
politik di mana pemerintah atau penguasa berinteraksi secara tertutup (idak diketahui oleh
masyarakat) dengan sektor swasta besar (pengusaha kelas kakap). Dalam ketertutupan tersebut,
transaksi ekonomi mapun politik terjadi hanya untuk kepentingan segelintir kelompok
kepentingan (interest group) yang terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun
eknomi yang seperti ini terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau tatanan
hukum yang memihak kepentingan kelompok kecil tersebut. Adanya persengkongkolan seperti
ini membuka peluang besar bagi hukum untuk dipermainkan (mafia hukum) sehingga hukum
seorah-olah telah dipegang oleh tangan-tangan tertentu (Lihat Didik J. Rahbini, 1996: 92)

Sistem korporatisme akan menimbulkan ketidakstabilan dan rakyat menjadi pihak yang
dirugikan. Dalam prakteknya, korporatisme biasanya berbarengan dengan praktek-praktek haram
lainnya yang disebut dengan rent seeking (memburu rente) yang dilakukan oleh para elite
penguasa atau pun keluarga di lingkup elite. Rent seeking dalam prakteknya adalah
menjualbelikan jabatan publik yang dimiliki oleh pejabat publik guna memperoleh kekuntungan
ekonomi, yang prakteknya berwatak “koruptif”. Praktek-praktek seperti ini dapat dilihat jelas
pada masa Orde Baru, yang pada saat itu terjadi distribusi modal yang hanya dinikmati segelintir
orang atau pengusaha (yang umumnya adalah keluarga Soeharto) dan terdapat praktek monopoli
dalam produksi (Agus Suradika, op cit., h.7)

Seperti yang disampaikan oleh Amien Rais tentang empat tipe korupsi, secara jelas bahwa
bagaimanapun tindakan korupsi itu, tidak akan lepas dari apa yang namanya persengkongkolan
(korporasi) antara penguasa (penguasa merupakan pihak pertama yang pada awalnya membuka
akses untuk terjadinya kecurangan) dengan para pengusaha (sektor swasta, yang berpotensi
memberikan rangsangan kepada penguasa untuk membuka akses kemudahan bagi pelanggaran
hukum). Korupsi atau kejahtan korporasi juga didorong oleh pengaruh hasrat dan ketamakan dari
dalam diri seseorang (dalam hal ini adalah penguasa), serta tuntutan keluarga (korupsi
nepotistik).

Prof. Muhammad Mustofa, dalam bukunya Kleptokrasi, menjelaskan keterkaitan konsep keluaga
dalam tatanan sosial Indonesia dengan tindakan korupsi. Dalam masyarakat Indonesia, keluarga
dimaknai sebagai kelompok yang tidak hanya terdiri dari ayah, ibum dan anak-anak (keluarga
batih), tetapi juga berupa konsep keluarga besar yang meliputi seluruh kerabat dekat dan kerabat
jauh, seperti nenek dan nenek, paman dan bibi beserta anak-anaknya, baik dari pihak ayah
maupun ibu. Dalam tatanan sosial terdapat suatu tuntutan dan harapan peran agar setiap individu
di dalam keluarga itu bertanggung jawab terhadap anggota-anggota keluaraga besa yang sedang
tidak beruntung (Muhammad Mustofa, 2010: ix)

Pola seperti ini memang memiliki manfaat yang baik. Konsep keluarga besar ini tersebut dapat
dianggap sebagai mekanisme yang memiliki potensi untuk mengatasi masalah sosial, seperti
pengengguran dan kemiskinan. Namun begitu, konsep keluarga besar seperti ini juga memiiki
potensi yang tak kalah kuatnya untuk mendorong ke situasi yang kondusif bagi dilakukannya
tindakan penyimpangan. Ketika ada tuntutan dan tanggung jawab yang diemban untuk saling
membantu anggota keluarga yang sedang susah, seseorang berada pada titik di mana dia harus
memberikan bantuan materil (terkadang pemberian pekerjaan). Keadaan seperti ini sama saja
dengan “lebih besar pasak dari pada tiangnya” sehingga individu tersebut harus mencari
tambahan penghasilan untuk menutupi kekurangan tersebut. Hal ini lah yang kemudian
menyebabkan individu sering melakukan suatu tindakan untuk mendapatkan penghasilan
tambahan dengan jalan yang tidak sah, misalnya korupsi (Ibid., h.x)

Korupsi merupakan white-collar crime

Merujuk kepada pengertian white-collar crime yang menunjukkan suatu tindakan kejahatan yang
dilakukan oleh orang-orang terhormat, sesungguhnya kasus korupsi Gayus Tambunan sangat
dapat dilihat dari pisau bedah ini.

Yang pertama sekali harus diperhatikan adalah kata “orang terhormat” tersebut. Bisa jadi ini
dapat menimbulkan pengertian yang bias tentang status Gayus Tambunan yang hanyalah seorang
pegawai rendahan di kantor pusat pajak. Oleh karena itu, penulis lebih menekankan pengertian
white-collar ini sebagai istilah yang memiliki makna pada awal kemunculannya, yang digunakan
oleh Sloan, yaitu white-collar yang menunjuk kaum penerima gaji yang mengenakan pakaian
yang bagus-bagus dalam pekerjaanya, seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan
para asistennya. Dari sini, Gayus termasuk dalam kategori yang dimaksudkan.

Tipologi dari white-collar crime yang dibuat oleh Clinard dan Quinney (1973) adalah
occupational criminal behavior dan corporate criminal behavior. Dua tipologi ini kemudian
dibagi menjadi lima tipe cirri pelaku dan tujuan, yaitu 1) pelanggaran individu sebgai individu,
2) pelanggaran pegawai terhadap majikan, 3) pelanggaran pejabat pembuat keibjakan untuk
kepentingan umum, 4) pelanggaran agen korporasi terhadap kepentingan umum, dan 5)
pelanggaran oleh pedagan terhadap konsumen (Lihat Muhammad Mustofa, 2010: 26)

Kejahatan korupsi adalah pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang terhormat tadi.
Kejahatan ini dapat dilakukan oleh individu sebagai individu, atau pegawai terhadap majikannya
(kasus penggelapan). Melihat secara sepintas kasus korupsi yang dilakukan oleh Gayus,
tindakannya temasuk dalam kategori ini, yaitu dilakukan oleh individu sebagai individu demi
keuntungan yang dinikmati oleh individu. Namun demikian, adanya dugaan keterlibatan para
pengusaha lain, seperti Andi Kosasih, dan para petinggi dari Kepolisian, menjadikan kasus
korupsi Gayus (makelar kasus) sebagai bentuk dari kejaharan korporasi (dilakukan oleh
organisasi, dalam bentuk struktur organisasi yang saling menguntungkan dan melindungi, serta
melempar tanggung jawab). Aksi seperti ini termasuk dalam tipe 3 dan tipe 4 yang disampaikan
oleh Clinard dan Quinney, yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat pembuat kebijakan
untuk kepentingan majikan atau pihak tertentu; pelanggaran yang dilakukan oleh agen korporasi
terhadap kepentingan umum. Berkaitan dengan hal ini, pengusaha memanfaatkan posisi Gayus
untuk mempermudah prosedural pengurusan pajak, dan bahkan melibatkan pihak kepolisian
untuk menutupi kecurangan yang telah dilakukan.

Prof. Muhammad Mustofa, memberikan penjelasan tentang teori yang digagas oleh Sutherland,
berkaitan dengan kasus korupsi ini. Sutherland menganalisa dan menjelaskan gejala white-collar
crime dengan menggunakan teori different association. Sutherland menunjukkan bahwa para
pelaku kejahatan tersebut dalam melaksanakan pekerjaannya melakukan pelanggaran hukum,
tetapi bukan merupakan kelanjutan dari kenakalan yang pernah dilakukan pada masa anak atau
remaja. Konsep ini menunjukkan bahwa mereka berasal dari kalangan atas yang berpendidikan.
Ketika para pelaku ini belajar masalah bisnis, pada saat itu pula lah mereka belajar tentang
bagaimana cara melakukan pelanggaran hukum (dalam different association dikatakan bahwa
kejahatan didapat dari proses belajar). Konsep bisnis dihayati sebagai sikap untuk mencari
keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara. Dalam melakukan bisnis ini, sering terjadi
penyelewengan hukum demi kelancaran jalannya bisnis. Penyimpangan sengaja dilakukan untuk
meningkatkan keuntungan. Misalnya pelaku usaha yang sengaja membuat iklan terlalu
berlebihan dan menyesatkan (terdapat unsur kebohongan) agar konsumen mau membeli produk
mereka. Hal ini merupakan sebagian kecil dari banyak contoh yang memperlihatkan bentuk
kecurangan dalam perilaku bisnis. Biasanya dalam melakukan kecurangan, pelaku bisnis jarang
sekali mendapatkan kritik dari media massa, karena sejatinya media massa juga merupakan
palaku bisnis. Para pelaku bisnis terbebas dari kritik dan terbebas dari kemungkinan diajukan ke
pengadilan karena mereka mempuyai hubungan yang erat dengan birokrasi (Muhammad
Mustofa, 2010: 43)

Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, jelaslah sudah bahwa teori different association dapat
dijadikan landasan sebagai pisau untuk menjelaskan mengapa korupsi dapat terjadi dan
dilakukan oleh seorang individu. Menurut yang diberitakan dalam Republika Online, Gayus
semasa muda adalah orang yang berpendidikan, terkenal sebagai anak muda yang baik, ramah,
dan pintar dalam mengatur keuangan. Keluarganya dipandang cukup berada pada masa itu.
Selain itu, Gayus juga merupakan seorang tamatan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
dengan nilai yang cukup memuaskan meskipun tidak dapat dikatakan sebagai nilai yang
spektakuler (http://koran.republika.co.id, Maret 2010). Tentunya semua kelihaian Gayus dalam
mengolah data keuangan di kantor pusat pajak ia dapatkan dari bekalnya menuntut ilmu tersebut.
Akan tetapi kemahiran dalam melakukan pelanggaran hukum didapatkan di lapangan, setelah ia
terjun langsung dalam dunia perpajakan dan bisnis (dalam hal ini bisnis diartikan sebagai
kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk mendapatkan laba/keuntungan).

Tidak hanya kepada Gayus, teori ini juga dapat ditunjukkan kepada pelaku usaha yang bekerja
sama dengan Gayus Tambunan. Semua pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku bisnis,
sesuai dengan teori tersebut, merupakan hasil belajar dari pengalaman, belajar di lapangan, yang
terpicu karena penghayatan pelaku bisnis yang memaknai kegiatan mereka adalah mencari
keuntungan sebesar-besarnya. Atas dasar ini, pelanggaran hukum telah menjadi suatu kebiasaan,
atau bahkan mereka terisolasi dari pengertian yang menegaskan bahwa pelanggaran hukum yang
mereka lakukan adalah salah.
Adanya faktor tuntutan dari konsep keluarga besar yang ada dalam masyarakat Indonesia,
wewenang yang dimiliki (kekuasaan), tuntutan bisnis dan keuntungan pribadi, persengkokolan
(korporasi) menjadikan tindakan korupsi sebagai tindakan yang sudah biasa dan lazim saja
dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mengerucutkan semua faktor-faktor
yang ada tersebut, semuanya kembali kepada hati nurani dan keimanan seseorang dalam
mengambil sikap dan melaksanakan amanah yang mereka emban.

Bab IV

Kesimpulan dan Saran

Korupsi adalah kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran hukum yang dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi, di mana
tindakan tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat.

Korupsi pada dasarnya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, menyentuh semua kalangan di
dalam masyarakat. Namun dengan mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, korupsi yang
sangat merugikan ini sering kali terjadi di kalangan atas, kau elite, dan para pejabat yang
memiliki kekuasaan dan posisi yang strategis.

Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Korupsi merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di
mana seseorang membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia
peroleh jika menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi merupakan tindakan yang
tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh individu maupun
kelompok, dan dilaksanakan baik sebagai kejahatan individu (professional) maupun sebagai
bentuk dari kejahatan korporasi (dilakukan denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin
mendapatkan keuntungan sehingga membentuk suatu struktur organisasi yang saling melindungi
dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan cerminan dari krisis kebijakan
dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.

Korupsi juga dapat terjadi karena kurangnya kesadaran untuk mematuhi prinsip
“mempertahankan jarak”. Ketika di dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia yang menjujung
tinggi konsep keluarga besar menjadi sebuah faktor individu untuk berada di situasi yang sulit
dalam menutupi kekurangan ekonomi, pengaruh-pengaruh dari keluarga dan kerabat dapat
menyebabkan munculnya sikap untuk melakukan kecurangan dan pelanggaran hukum. Individu
yang melakukan korupsi gagal dalam memilah antara kepentingan pribadi dengan kepentingan
umum. Korupsi terjadi karena hilangnya rasa tanggung jawab dan rasa malu di dalam diri
pelakunya.

Korupsi juga tidak datang begitu saja di pikiran seorang pelaku. Dia dipahami seabagai suatu
tindakan melanggara hukum dan diperoleh melalui proses belajar. Sesuai dengan teori different
association, kemungkinan terbesar aksi pelanggaran hukum ini dipelajari ketika seseorang mulai
belajar melakukan bisnis atau usaha untuk mencari keuntungan. Semakin kuatnya paham setiap
pelaku bisnis bahwa mendapatkan keuntungan (materil) adalah tujuan utama dari suatu bisnis,
menyebabkan pelangaran hukum, seperti korupsi, menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan.
Selain itu, semakin bertambahnya anggota yang memiliki paham yang sama tentang keuntungan
tersebut, menjadikan korupsi sebagai lahan untuk mencari uang sehingga membuka lebar untuk
terjadinya tindakan kejahatan korporasi.

Semua faktor-faktor itu sangat mempengaruhi diri individu untuk melakukan kejahatan: korupsi.
Hal ini disebabkan kurangnya rasa kesadaran akan pentingnya tanggung jawab moral bagi
mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, meskipun terkesan sebagai mimpi
dan harapan yang muluk, memperbaiki kesadaran seseorang dan mengembalikan rasa tanggung
jawab moralnya adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk mencegah dan menghentikan
korupsi di negeri ini. Pendidikan agama dan aksi memperkuat iman adalah metode yang mesti
ditingkatkan demi mendapatkan orang-orang yang memiliki hati nurani bersih dan mau bekerja
demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

Daftar Pustaka

Mustofa, Muhammad. kleptokrasi: Persengkongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola White-


Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke duapuluh tujuh. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2005

Suradika, Agus. RELASI KORUPSI DAN KEKUASAAN: Antara Cermin Budaya dan
Penanggulangannya, http://www.docstoc.com/docs/5936230/Agus-Suradika-Korupsi-dan-
Kekuasaan, diakses tanggal 7 Desember, 2010

Djafar, Wahyudi. Perselingkuhan Birokrasi dan Korupsi,


http://www.legalitas.org/content/perselingkuhan-birokrasi-
dan-korupsi, diakses tanggal 7 Desember, 2010

Nasution, S. A. Korupsi dan kekuasaan, kolom Opini. Waspada Online.


http://www.waspada.co.id/index.php/images/flash/index.php?
option=com_content&view=article&id=81290:korupsi-dan-
kekuasaan&catid=25:artikel&Itemid=44, diakses tanggal 7 Desember, 2010.

Rastika, Icha. Andi Kosasih Dituntut 10 Tahun. Kompas.com 23 November 2010.


http://nasional.kompas.com/read/2010/11/23/16344531/Andi.Kosasih.Dituntut.10.Tahun, diakses
tanggal 7 Desember, 2010.

Taufiqqurahman, Muhammad. Mencari Jejak Gayus Tambunan di Warakas. detikNews 24


Maret 2010. http://www.detiknews.com/read/2010/03/24/104528/1324145/10/mencari-jejak-
gayus-tambunan-di-warakas, diakses tanggal 7 Desember 20

You might also like