Islam adalah agama yang sangat memperhatikan dan memuliakan para pemuda, al-Qur’an menceritakan tentang potret pemuda Ashaabul Kahfi sebagai kelompok pemuda yang beriman kepada Allah SWT dan meninggalkan mayoritas kaumnya yang menyimpang dari agama Allah SWT, sehingga Allah SWT menyelamatkan para pemuda tersebut dengan menidurkan mereka selama 309 tahun. Kisah pemuda Ashaabul Ukhdud dalam al-Qur’an juga menceritakan tentang pemuda yang tegar dalam keimanannya kepada Allah SWT sehingga menyebabkan banyak masyarakatnya yang beriman dan membuat murka penguasa sehingga ratusan orang dibinasakan dengan diceburkan ke dalam parit berisi api yang bergejolak. Dan masih banyak lagi contoh-contoh kisah para pemuda lainnya, diantaranya bahwa mayoritas dari assabiquunal awwaluun (orang-orang yang pertama kali beriman kepada Rasulullah SAW) adalah para pemuda (Abubakar ra masuk Islam pada usia 32 tahun, Umar ra 35 th, Ali ra 9 th, Utsman ra 30 th, dst).
Pemuda dalam Sejarah Bangsa Indonesia
Di Nusantara, 82 Tahun yang lalu, Pemuda Indonesia melakukan satu hal sangat disanjung-sanjung dan diingat hingga hari ini seiring dengan pergerakan pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang mengikrarkan nilai-nilai persatuan dan melahirkan kesamaan pandangan hidup, meraka mengikrarkan satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air Indonesia. Sejarah memberi nama ikrar tersebut dengan nama Sumpah Pemuda. Para pemuda sangat yakin bahwa suku-suku bangsa di Indonesia memiliki nilai adat dan nilai budaya yang umum sebagai nilai kebersamaan yang dapat dijadikan pengikat atau perekat persatuan Indonesia. Nilai adat dan budaya suku-suku bangsa yang dijadikan nilai kebersamaan tersebut melahirkan kesamaan pandangan hidup untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu, merdeka dan berdaulat. Saat itu semangat perbedaan dan kepentingan pribadi maupun golongan telah lebur menjadi satu jiwa yaitu persatuan bangsa. Ikrar pemuda Indonesia – diantara yang hadir Jong Islamiten, Jong java, Jong Sumatra, Jong Celebes, Pemuda Indonesia, Pemuda Betawi, Sekar Rukun, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia, pada 28 Oktober 1928, telah membangun gelora api semangat di dada pemuda Indonesia untuk merebut kemerdekaan dan menjadi tonggak awal persatuan Indonesia yang pernah diangankan oleh Gajah Mada melalui Sumpah Palapa-nya. Disadari atau tidak bahwa lahirnya negara - bangsa (nation state) Indonesia adalah tidak bisa lepas dari peran para pemudanya. Sejarah mencatat bahwa peran dan pengorbanan para pemuda terbukti sangat besar dalam membangun karakter nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Begitu juga, di setiap lintasan sejarah Indonesia, para pemuda adalah yang selalu tampil di garda depan, menjadi pelopor (avant guarde) dan pengawal perubahan. Oleh karena itu sangat wajar kalau dipundak para pemuda selalu tertancap predikat agen of social change atau agen of development dan sebagainya. Tentu saja predikat-predikat yang disandangnya tersebut bukan omong kosong. Terbukti bahwa ledakan-ledakan besar sejarah dan perubahan di negeri ini adalah dipicu oleh kepeloporan para pemuda. Kita bisa melihat lembaran sejarah bangsa ini, sejak era perjuangan kemerdekaan sampai pergantian orde pemerintahan, mulai orde lama sampai orde reformasi, para pemuda yang tampil menjadi subjek penggerak perubahan, bahkan mereka sering menjadi martir perubahan sejarah itu sendiri. Oleh karena itu tidak salah kalau Bung Karno dalam rapat-rapat umum sekitar tahun 1927-1928 selalu mengatakan :…."berilah aku 10 pemuda gagah perkasa, yang jiwanya menyala-nyala dengan semangat persatuan dan kepahlawanan untuk kemerdekaan, maka akau akan dapat menggemparkan dunia!". Atau juga pidato Bung Hatta di lapangan Ikada, tanggal 11 September 1944: "Dari duapuluh tahun yang lalu, sejarah pergerakan kita menunjukkan, bahwa pemuda bersedia berjuang di baris depan, bersedia menjadi pelopor perjuangan bangsa…." Menengok peran hirtorisnya, tidak bisa dipungkiri bila Republik ini lahir juga berkat perjuangan tiada henti dari pemuda. Tokoh-tokoh pemuda yang lahir pada masa perjuangan revolusi fisik hingga kemerdekaan adalah bukti konkrit para pemuda. Peristiwa 1908, 1945, 1965.1998 juga saksi bisu selain sumpah pemuda yang juga merupakan bukti konkret dari serangkaian perjuangan kesinambungan dari para pemuda Indoensia bagi bangsanya. Perjuangan para pemuda sepertinya tidak akan pernah padam karena secara sosiologis pemuda merupakan bagian dari masyarakat yang memiliki sifat progresif, kritis, idealis, dan selalu gelisah ketika melihat jalan kehidupannya tidak ideal, dan hal inilah yang menjadi tungku semangat perjuangan pemuda. Mentalitas Pemuda Sekarang Pemuda di tahun 1928 M adalah mereka yang dilahirkan dari rahim masa Penjajahan, mereka memilki semangat juang dan keinginan kemerdekaan dan terlepas dari himpitan tangan penjajah. Mungkin hal ini berbeda drastic dengan mentalitas pemuda zaman sekarang. Pemuda zaman sekarang, di lihat dari sudut pandang mentalitasnya dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori : 1. Pemuda apriori, masa bodoh dengan kondisi social yang terjadi di saat ini. Perubahan social mereka anggap hal biasa walaupun gelindingnya bisa jadi melindas mereka. Kelompok pemuda ini sama sekali tidak memiliki anggapan bahwa saat ini kehidupan masih dipengaruhi oleh nilai-nilai kolonialisme. Padahal bisa dikatakan, hampir semua lini kehidupan saat ini dipengaruhi begitu kental dengan nilai-nilai kolonilaisme ini. Mereka sering kali menjadi objek pemerasan tak terasa dari kelompok neo-kolonialis, menjadi sasaran empuk bagi pemasaran-pemasaran produk neo-imperialisme. Dan sama sekali tidak mereka rasakan. 2. Pemuda modern, namun bersikap kompromi terhadap kondisi saat ini, dengan bahasa ektrem mereka telah menjadi pembantu-pambantu yang menggoalkan cita-cita kaum neo-imperialis . Kecendrungan bersikap koopratif ini bukan karena mereka ingin memperlihatkan bahwa bangsanya adalah bangsa tangguh, kecuali karena ingin mengambil sesuatu demi kepentingan individu, keluarga, dan kelompoknya saja. Mereka lebih senang melihat dirinya berlimpah ruah dan mencicipi kue raksasa kehidupan tanpa merasa peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Kelompok pemuda ini, saat ini, berlomba-lomba ingin mendapatkan simpati dari pemerintah, dari kelompok pemegang uang, dan terus terang akses mereka begitu besar meskipun tidak ada kemerdekaan dalam mentalitas seperti ini. 3. Pemuda bermental merdeka, pemuda yang telah tercerahkan, meminjam istilah Ali Shariati mereka adalah minoritas kreatif. Akses mereka dalam kehidupan ini begitu samar karena kegiatan-kegiatan mereka sering kali bersebrangan dengan nilai-nilai kaum neo imperialis. Langkah yang ditempuh kadang menjadi sebuah ekstremitas, bukannya kebaikan yang muncul melainkan satu penyesalan dari berbagai lapisan. Sepertinya mentalitas seperti ini hanya berlaku di era tahun 20-an saja. Karena bentuk penjajahan kaum colonial waktu itu berupa penjajahan fisik. Mentalitas mana yang seharusnya dimiliki oleh pemuda-pemuda bangsa saat ini. Tiada lain adalah mentalitas merdeka, kompromi namun bersikap aposteriori, tidak mudah percaya saja terhadap keyakinan yang dipaksakan oleh beberapa kelompok. Sudah tidak ada perang fisik lagi di tahun ini, kecuali perang mentalitas, perang pemikiran. Pola pikir pemuda harus terbentuk dari sikap bahwa pemuda pun memiliki akses baik di pemerintahan atau di kehidupan masyarakat. Pemuda harus menjadi pemuda, bukan kelompok kambing conge atau kerbau dicocok hidung, manggut kepada atasan. Tapi harus memberikan sebuah solusi perubahan, seperti inilih yang seharusnya dilakukan. Celaka, jika kita- para pemuda- telah diberi akses terutama dalam hal pemerintahan kemudian akses yang diberikan oleh pemerintah tersebut menjadi boomerang yang memandulkan kreatifitas pemuda.
Revitalisasi Peran Pemuda
Seiring dengan gempuran globalisasi yang menyerbu kehidupan kita dewasa inip, pemuda menghadapi tantangan berat. Hal ini memang menjadi konsekuensi dari gempuran arus globalisasi yang menggrogoti nilai-nilai kepekaan kita. Dalam kondisi seperti ini, nilai-nilai dari ikrar pemuda harus diperkuat. revitalisasi pemuda harus dilakukan karena persoalan, situasi dan kondisi zaman berubah. Pemuda harus mampu menjawab tantangan persoalan bangsanya dari berbagai dimensi. Nilai-nilai keindonesiaan kebangsaan, seperti keanekaragaman, kemajemukan, gotong-royong, kebersamaan, kearifan local, menjaga perdamaian dan pembangunan bangsa harus melekat dalam pandangan pemuda. Bukan sebaliknya, pemuda justru tercerabut dari keindonesiaan, kebangsaan. Kalau kondisi ini terjadi, pemuda sebagai generasi penerus kehilangan eksistensi dan jati diri keindonesiaan. Semangat pemuda dalam menyarakan persatuan dan kebersamaan bangsa dalam wadah Indonesia, inilah yang seharusnya terus menjadi inspirasi dan titik tolak dunia pergerakan pemuda sekarang. Apapun nama dan atributnya, dunia pergerakan pemuda sekarang tidak boleh terjerembab ke dalam fanatisme golongan atau organisasi yang berlebihan sehingga bisa menggerus semangat nasionalisme dan patriotisme. Semuanya harus mengedepankan pentingnya persatuan-dan kesatuan nasional. Karena persatuan yang semacam inilah yang bisa menjadi alat ampuh untuk melakukan perlawanan terhadap para musuh. Namun sayang semua elemen dan organisasi kepemudaan khususnya gerakan mahasiswa, sekarang justru mengalami perpecahan dan pengkotak-kotakan, terfragmentasi menjadi kekuatan-kekuatan kecil yang sulit disatukan. Satu dengan yang lainnya saling gontok-gontokan, intrik-intrikan dan saling menghancurkan sendiri demi kepuasan egonya. Mereka lebih bangga menjadi komunitas oragnisasinya daripada menjadi warga negara kesatuan republik Indonesia. Dalam konteks kultural dan idiologis, mereka yang marxis lebih membanggakan marxismenya, yang sosialis lebih PD dengn sosialismenya, yang liberal lebih mendewakan liberalismenya, yang berhaluan kanan lebih suka mengedepankan kekanannya, yang berhaluan kiri lebih mantap dengan kekiriannya. Dengan semangat sumpah pemuda ini, semua pergerakan pemuda sekarang dan selanjutnya hendaknya kembali "mengasaha runcing" semangat pergerakannya dan menanamkan kembali spirit persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam hal ini masing-masing organisasi kepemudaan harus bersedia memangkas egoisme organisasinya dan lebih mengedepankan semangat nasionalisme demi menjaga integrasi bangsa. Dalam hal ini lebih khususnya peran pemuda Nangroe Aceh, untuk kembali merapatkan barisan dalam menjaga perdamaian yang telah tercipta di bumi " Iskandar Muda" dan merawat kedamaian dalam mengoptimalkan pembangunan yang sedang di gagas di nagroe Ini. Memang demi menjaga dinamika dan dialektika antar oraganisasi, kompetisi perlu ditumbuhkan. Namun kompetisi yang konstruktif tidak harus menjadikan /sparing partnernya/ sebagai musuh, tetapi justru sebagai kawan atau saudara. Musuh utama mereka adalah kekuatan-kekuatan luar yang hendak merong-rong stabilitas nasional seperti kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, konsumerisme, otoritarianisme, despotisme dan seterusnya. Menurut Yudi Latif bahwa semangat kompetisi itu bisa tumbuh justru jika kecenderungan inward looking berubah menjadi outward looking, daya –daya juang tidak diorientasikan untuk bertikai di dalam, tetapi untuk di arahkan untuk mernandingi kekuatan di luar. Selama tidak ada perubahan dalam pola perjuanagn kearah persatuan nasional, maka fungsi pemuda sebagai pemersatu bangsa, sebagaimana yang terjadi pada angkatan penegas, akan terancam padam.