You are on page 1of 9

PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN PADA AGROEKOSISTEM

PERTANIAN LAHAN KERING

Dina Muthmainnah
20093602003
Mahasiswa Program Doktor Ilmu-ilmu Lingkungan
Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya
e-mail: dina_mth@yahoo.co.id

ABSTRAK
Lahan kering menempati areal yang terluas dan mempunyai kedudukan yang strategis dalam
kegiatan pembangunan pertanian di Indonesia. Pemanfaatan lahan kering merupakan sarana
penting dalam usaha pemerataan pembangunan. Lahan kering merupakan penghasil berbagai
komoditas pertanian seperti pangan, sandang, perkebunan, perumahan, obat-obatan, dan devisa.
Pemanfaatan lahan kering bagi keperluan pertanian memerlukan pengelolaan terpadu antar
sektor. Untuk menjaga kelestarian lingkungan diperlukan adanya pengelolaan yang tepat
mengikuti kaidah lingkungan. Pengelolaan lahan kering adalah salah satu upaya untuk
mengoptimalkan fungsi lahan dan menjaga kelestarian lahan dan lingkungan. Pengelolaan lahan
yang tidak tepat dapat menurunkan produktifitas lahan dan produksi pertanian juga akan
menurunkan kualitas lingkungan disekitarnya. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui gambaran dampak dari kegiatan pada agroekosistem pertanian di lahan kering yaitu
pencemaran dan kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkannya.

Kata kunci: agroekosistem lahan kering, pencemaran, lingkungan

PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi serta pertambahan penduduk menuntut perlunya
penyediaan sumber daya untuk memenuhi konsumsi pangan dan areal pemukiman. Untuk
merealisasikannya perlu tindakan yang bijaksana agar tidak menimbulkan dampak perubahan
terhadap lingkungan. Masalah lingkungan yang terjadi seperti erosi tanah, longsor, banjir dan
kekeringan merupakan tanda-tanda terancamnya keseimbangan ekosistem.
Agroekosistem terbentuk sebagai hasil interaksi antara sistem sosial dengan sistem alam, dalam
bentuk aktivitas manusia yang berlangsung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
(livelihood). Kegiatan prioritas yang dilakukan oleh petani adalah penanaman padi (persawahan).
Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif lebih besar
dibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971). Selanjutnya menurut Hidayat dkk (2000) lahan
kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian
waktu selama setahun. Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70%. Pada
saat ini pemanfaatan lahan kering untuk keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun
tanaman tahunan/perkebunan sudah sangat berkembang. Pertambahan jumlah penduduk yang
terjadi dengan sangat cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga
akan meningkat. Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering untuk pertanian tanaman
pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan. Usaha
intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan. Upaya lainnya dengan
pembukaan lahan baru sudah tidak terelakkan lagi.
Lahan kering di Indonesia menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan
tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan dengan perbukitan. Relief tanah ikut
menentukan mudah dan tidaknya pengelolaan lahan kering. Menurut Subagio dkk (2000) relief
tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian. Ditinjau dari bentuk,
kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibandingkan
dengan lahan basah (sawah). Hingga saat ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan
lahan kering secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah
dataran rendah (Irawan dan Pranadji, 2002).
Pemanfaatan lahan kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk pertanian semusim dalam
menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan penduduk yang bermukim di
pedesaan. Dengan pemanfaatan lahan kering di pegunungan dan perbukitan secara terus menerus
tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan menyebabkan terjadinya erosi dan penurunan
kesuburan yang berat. Di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan ini
umumnya bermuara pada merebaknya kemiskinan dan kelaparan. Sedangkan secara ekologi
akan mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi penurunan kekayaan hayati yang berat
(Scherr, 2003).

PERMASALAHAN
Dalam beberapa tahun belakangan ini masalah kerusakan lingkungan sudah menjadi issu
Nasional dan Internasional. Salah satu yang mendasari hal ini adalah terjadinya pemanasan
global akibat efek rumah kaca yang sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama. Pembukaan
hutan untuk dijadikan lahan pertanian merupakan salah satu penyumbang terjadinya pemanasan
global. Perubahan lahan hutan menjadi Agroekosistem lahan kering bagi keperluan pertanian
menetap dan sementara demi untuk memenuhi kebutuhan hidup sudah terjadi sejak lama. Hal ini
telah mengakibatkan terjadinya degradasi/penurunan kesuburan lahan. Pemanfaatan lahan kering
di perbukitan/lahan miring secara terus menerus untuk keperluan pertanian baik pertanian
semusim maupun tanaman perkebunan dapat menyebabkan lahan tersebut mengalami erosi dan
penurunan kesuburan yang berat. Untuk mempertahankan kelestarian lahan diperlukan upaya
pengelolaan yang tepat.

TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui gambaran dampak dari kegiatan
pada agroekosistem pertanian di lahan kering yaitu pencemaran dan kerusakan lingkungan yang
ditimbulkannya serta cara penanggulangannya.

ALUR PEMIKIRAN
Berikut alur pemikiran dalam pelaksanaan agroekosistem lahan kering yang berkelanjutan.
TINJAUAN PUSTAKA
Sejak akhir abad ke-19 perkembangan pertanian lahan kering khususnya di pulau Jawa dirasakan
sangat pesat dan sampai saat ini sudah menyebar ke luar pulau Jawa. Antara tahun 1875–1925
(50 tahun) peningkatannya mencapai lebih dari 350% (Lombart, 2000). Hal ini terjadi akibat
ketersediaan lahan basah di dataran rendah bagi kebanyakan petani yang memanfaatkannya
sebagai lahan pertanian pangan semakin berkurang. Sebagian lagi penyusutan lahan basah di
dataran rendah akibat konversi lahan menjadi lahan non pertanian yang tidak terkendali.
Agroekosistem kebanyakan dipakai oleh negara atau masyarakat yang berperadaban agraris.
Kata agro atau pertanian menunjukan adanya aktifitas atau campur tangan masyarakat pertanian
terhadap alam atau ekosistem. Istilah pertanian dapat diberi makna sebagai kegiatan masyarakat
yang mengambil manfaat dari alam atau tanah untuk mendapatkan bahan pangan, energi dan
bahan lain yang dapat digunakan untuk kelangsungan hidupnya (Pranaji, 2006). Dalam
mengambil manfaat ini masyarakat dapat mengambil secara langsung dari alam, ataupun terlebih
dahulu mengolah atau memodifikasinya. Jadi suatu agroekosistem sudah mengandung campur
tangan masyarakat yang merubah keseimbangan alam atau ekosistem untuk menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat.
Menurut Hidayat (2000) bahwa agroekosistem lahan kering dibagi ke dalam beberapa kategori
berdasarkan iklim, ketinggian tempat dari permukaan laut dan jenis tanah yaitu berdasarkan
Iklim terbagi atas 2 yaitu (1) Lahan kering iklim basah (LKIB) yaitu daerah yang memiliki curah
hujan diatas 2500 mm/tahun; (2) Lahan kering iklim kering (LKIK) yaitu daerah yang memiliki
curah hujan dibawah 2000 mm/ tahun.
Sedangkan bila dibagi berdasarkan ketinggi tempat lahan kering dibedakan atas: (1) Lahan
kering dataran tinggi (LKDT) yaitu daerah yang berada pada ketinggian diatas 700 meter dpl dan
(2) Lahan kering dataran rendah (LKDR) yaitu daerah yang berada pada ketinggian 0 – 700
meter dpl.
Berdasarkan jenis tanah pada lahan kering dapat dibedakan atas:
1. Oxisol, merupakan tanah-tanah yang telah mengalami perkembangan sangat lanjut,
penampang tanahnya dalam, bertekstur liat sampai liat berat, porositasnya tergolong tinggi, daya
menahan air kecil dan didominasi mineral liat kaolinit, oksida besi dan alumunium. Tanah ini
relatif resisten terhadap erosi.
2. Inceptisol, Tanah ini tergolong masih muda dan sifat tanahnya bervariasi, tergantung bahan
induknya (tekstur halus dari pasir halus berlempung, sangat masam sampai netral). Termasuk
kedalam jenis-jenis utama lahan pertanian lahan kering.
3. Ultisol, Tanah memiliki kejenuhan basa kecil dari 35 % pada kedalaman 125 cm. Tanah ini
telah mengalami pelapukan lanjut dan terjadi tranlokasi liat pada bahan induk yang umumnya
terdiri atas bahan kaya alumunium-silika dengan iklim basah.
4. Andisol, Tanah andisol mempunyai sifat- sifat andik dengan bahan induk berupa abu volkan
yang kaya gelas volkan dan mineral mudah lapuk. Sifat – sifatnya antara lain berat isi ringan,
kaya bahan organik, kaya gelas volkan yang mengandung mineral amorf (alofan), mempunyai
sifat tidak balik terhadap kekeringan, daya menahan airnya tinggi sekali dan resisten terhadap
erosi. Tekstur tanah bervariasi dari berliat sampai berlempung kasar. Reaksi tanah umumnya
agak masam.
Pengelolaan lahan pertanian khususnya lahan kering yang lestari dan berkelanjutan memerlukan
penanganan yang profesional dan mengikuti kaidah lingkungan. Menurut Goenadi (2002)
pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan memiliki lima pilar penyangga, yaitu Produktifitas,
keamanan, proteksi, viabilitas dan akseptibilitas.

SUMBER DAN KEGIATAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN


Perubahan pola pertanian yang konvensional ke pertanian intensif telah membawa berbagai
konsekuensi baik terhadap lingkungan pertanian maupun lingkungan sekitarnya. Konsekuensi
nyata perkembangan sistem pertanian intensif antara lain, percepatan erosi, efek residu pupuk
dan pestisida. Terjadinya gangguan dalam lingkungan disebabkan adanya manusia yang serakah,
kurangnya kepedulian pada ekologi dan akibat penggunaan teknologi pertanian yang tidak
mengacu pada pembangunan berwawasan lingkungan (Ambo Ala, 1997). Selain itu, tidak
terakomodirnya penggunaan/pemberian pupuk sehingga tidak mampu mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan (Nuhfil, dkk., 2003). Selanjutnya Reintjes, dkk. (1999), mengatakan
bahwa apabila pemupukan yang digunakan pada suatu daerah rendah, maka produksinya akan
tertinggal jauh dibanding dengan pertumbuhan jumlah penduduknya. Fenomena ini banyak
terjadi pada petani yang mengelola lahan-lahan marginal.
Pengelolaan agrokosistem lahan kering dipandang sebagai bagian dari pengelolaan ekosistem
sumberdaya alam oleh masyarakat petani yang menempati areal dimana mereka menetap.
Masyarakat petani menanami lahan pertanian dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya dapat dikatakan sebagai bagian dari pengelolaan agroekosistem lahan kering di
daerahnya. Menurut Soerianegara (1977) pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan
bagian dari interaksi atau kerja sama masyarakat dengan agroekosistem sumberdaya alam.
Pengelolaan agroekosistem lahan kering merupakan usaha atau upaya masyarakan pedesaan
dalam mengubah atau memodifikasi ekosistem sumberdaya alam agar bisa diperoleh manfaat
yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksinya.

DAMPAK LINGKUNGAN
Pada lahan miring dengan kemiringan diatas 15% apabila tanah tidak dikelola dengan baik saat
ditanami, maka sangat rentan terhadap terjadinya erosi di waktu hujan. Hal ini terjadi karena
tanah tidak mampu meresapkan air hujan kedalam tanah, sehingga terjadi aliran permukaan (run
off) yang menghanyutkan butiran-butiran tanah sehingga tanah menjadi tidak subur lagi.
Menurut Sutono dkk (2007), akibat erosi yang terjadi selama musim hujan tidak hanya
menghanyutkan butiran-butiran tanah akan tetapi juga menghanyutkan pupuk dan kompos yang
diberikan ketanah juga ikut hanyut sehingga tanah menjadi kurus, oleh sebab itu erosi harus
dicegah sedini mungkin. Dampak dari terjadinya erosi ini adalah di daerah bagian bawah
terjadinya pendangkalan pada daerah aliran sungai (DAS) yang berakibat terjadinya gangguan
keseimbangan ekosistim air setempat.
Erosi adalah sebagai akibat dari penggarapan lahan yang tidak tepat maka untuk penggunaan
lahan harus menerapkan teknik konservasi (Shaxson, 1988). Erosi menyebabkan berkurangnya
lapisan perakaran efektif, ketersediaan air untuk tanaman, cadangan hara, bahan orgnik dan
rusaknya struktur tanah (Lal, 1988). Masalah utama yang dihadapi pada lahan kering beriklim
basah bergelombang antara lain mudah tererosi, bereaksi masam, miskin akan hara makro
esensial dan tingkat keracunan aluminium yang tinggi (Cook, 1988). Selanjutnya dinyatakan
bahwa daerah tropis merupakan medan dimana bertemunya dua kepentingan, yang pertama
kegiatan untuk mencapai dan mempertahankan swasembada pangan sedang yang kedua yang
tidak kalah pentingnya adalah usaha pelestarian lingkungan. Mengingat lahan merupakan sumber
daya yang terbatas dan tidak dapat diperbarui, maka untuk memenuhi kebutuhan pangan tidak
ada pilihan lain selain mengembalikan kesuburan lahan yang sudah tererosi.

CARA PENGENDALIAN
Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan pengelolaan agroekosistem lahan kering dapat
dipandang sebagai upaya memperbaiki dan memperbaharui sumberdaya alam yang bisa
dipulihkan (renewable resources) di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumberdaya lahan kering
untuk pertanian berkelanjutan memerlukan pendekatan lingkungan dan mengikuti kaidah
pelestarian lingkungan. Ada beberapa metode dalam pengendalian dampak negatif dari
eksploitasi penggunaan lahan kering.

1. Konservasi
Salah satu upaya penanganan kerusakan lahan akibat ekplorasi adalah dengan menerapkan
sistem budidaya lorong dalam pengembangan sistem usahatani lahan kering, karena sistem ini
memberikan banyak keuntungan diantaranya dapat menekan terjadinya erosi, meningkatkan
produktivitas tanah karena adanya penambahan bahan organik melalui hasil pangkasan tanaman
pagar, dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman serta dapat menciptakan kondisi
iklim mikro (suhu) di antara lorong tanaman (Sudharto et al., 1996).
Pemberian bahan hijauan sebagai mulsa yang berasal dari pangkasan tanaman legume yang
dipangkas pada umur 1,5 – 2 bulan sekali dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah dan
ketersediaan air, memperbaiki sifat fisik tanah, dan meningkatkan produksi. Sistem bertanam
lorong dapat mencegah erosi secara ganda yaitu dengan mulsa hasil pangkasan dan pengurangan
laju aliran permukaan (Adiningsih dan Sudjadi, 1989).
Hasil pengkajian Basri dkk. (2001) dengan penerapan sistim budidaya lorong di Kabupaten
Rejang lebong menunjukkan bahwa dengan adanya barisan tanaman penyangga erosi rumput
raja (King grass) yang ditanam sejajar dengan garis kontur secara efektif dapat mengurangi laju
erosi. Selanjutnya dari hasil pangkasan king grass yang dilaksanakan setiap bulan dapat
menghasilkan 0,5 ton bahan hijauan yang dapat diberikan untuk sapi selama 20 hari. Dari luasan
plot seluas 1 ha akan dihasilkan 1 ton bahan hijauan yang dapat digunakan untuk pakan sapi.
Pada pengkajian tahun berikutnya (tahun kedua) teras sudah mulai terbentuk sebagai akibat
penanaman teras vegetatif dengan tanaman rumput raja. Dengan terbentuknya teras maka pada
lahan miring ini sudah terbentuk lahan usahatani yang representatif untuk berbagai jenis tanaman
baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan yang sesuai dengan kondisi setempat dan
menekan terjadinya erosi diwaktu hujan. Dengan terbentuknya teras secara bertahap sampai
menjadi permanen, di samping menjaga kelestarian lahan juga menyebabkan produktifitas lahan
akan lebih baik.

2. Pengaturan pola tanam


Lahan kering yang murni hanya mengandalkan ketersediaan air dari curah hujan dalam proses
produksi pertanian, dimana pengaturan sistim pertanaman diatur dalam bentuk tumpang sari
menggunakan tanaman dengan umur panen yang berbeda dan dalam pertumbuhannya tidak
banyak memerlukan air dan merupakan salah satu alternatif untuk memecahkan masalah
keterbatasan air. Lahan kering pada umumnya rawan terhadap erosi baik oleh air maupun oleh
angin. Salah satu alternatif teknologi untuk mengatasi erosi yaitu menggunakan sistim
pertanaman lorong. Fungsi lainnya dari pertanaman lorong adalah untuk menciptakan iklim
mikro di lahan kering iklim kering dan tanaman yang digunakan disesuaikan dengan tanaman
yang biasa ditanam petani dan tentunya memiliki pangsa pasar. Hasil penelitian Wisnu dkk
(2005) menyatakan dengan mengkombinasikan beberapa tanaman pangan ubi kayu, jagung,
kacang tanah, kedelai dan kacang hijau yang disusun dalam suatu pertanaman tumpang sari dapat
memberikan keuntungan dan dapat memberikan kestabilan cukup baik dalam menghadapi
keterbatasan curah hujan.

3. Embung
Embung atau tandon air adalah waduk berukuran mikro di lahan pertanian (small farm reservoir)
yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan diwaktu musim hujan dan
menggunakannya jika diperlukan tanaman pada waktu musim kemarau. Teknik penggunaannya
demikian sesuai bagi ekosistem lahan tadah hujan yang memiliki intensitas dan distribusi curah
hujan yang tidak pasti (Syamsiah dan Fagi, 2004).
Pembuatan embung dan penerapannya di lahan kering bagi petani sudah banyak dilakukan
khususnya di Indonesia bagiagian timur yang memiliki iklim kering dengan keterbatasan air. Di
Lombok Timur sebagai daerah yang beriklim kering penggunaan embung sudah menjadi
kebiasaan bagi sebagian besar petani. Jumlah embung milik rakyat saat ini adalah 1.458 buah
dengan luas keseluruhan 755,58 ha berupa genangan dan 3.083 ha berupa irigasi, rata-rata luas
pemilikan embung setiap petani di Lombok Timur adalah 0,51 ha. Hasil penelitian Wisnu dkk.
( 2005) di beberapa Desa di Lombok Timur dengan komoditi tembakau pada musim kering
memperlihatkan bahwa dengan penerapan/pemanfaatan embung sebagai sumber air yang
dicampur dengan dengan pupuk (ngecor) maka penggunaan air menjadi lebih efisien dan biaya
tenaga kerja dapat ditekan karena penyiraman dan pemupukan dilakukan secara bersamaan.

4. Pemakaian pupuk organik


Pengolahan lahan untuk pertanian secara terus menerus akan menyebabkan lahan menjadi kurus
sehingga untuk usahatani selanjutnya perlu input yang banyak untuk mengembalikan hara tanah
yang sudah banyak diserap tanaman. Pemakaian pupuk anorganik yang tidak seimbang secara
terus menerus untuk proses produksi dapat merusak lahan dan dalam jangka panjang lahan
menjadi tidak efektif lagi untuk usaha pertanian. Salah satu alternatif untuk menyelamatkan
keberlanjutan penggunaan lahan adalah dengan mengurangi input yang berasal dari bahan kimia
dan beralih kepada pemakaian pupuk organik yang berasal dari bahan organik sisa tanaman atau
limbah.
Secara umum saat ini permasalahan yang dihadapi petani di Indonesia adalah kesulitan
mendapatkan pupuk anorganik yang kebutuhannya cendrung meningkat. Kesulitan ini sebagian
akibat ketersediaan yang tidak mencukupi maupun sistem pendistribusian yang kurang tepat dan
faktor faktor lainnya. Sebagai gambaran Produksi nasional tahun 2008 sekitar 6 juta ton
sedangkan kebutuhan mencapai 9 juta ton. Kendala ini berimbas kapada penurunan produktifitas
lahan dan produksi berbagai komoditas pertanian secara nasional.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelangkaan pupuk dan mengurangi
ketergantungan akan pupuk anorganik adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
alam yang tersedia secara lokal. Pemanfaatan limbah pertanian yang selama ini belum menjadi
perhatian sebagai bahan dasar pupuk organik diharapkan dapat memperkecil ketergantungan
terhadap pupuk an organik. Pada pihak pemanfaatan limbah pertanian dapat menciptakan
efisiensi penggunaan lahan yang ketersediaannya semakin terbatas serta dapat menjaga
kelestarian lingkungan.
Limbah pertanian adalah bagian atau sisa produksi pertanian yang tidak dapat dimanfaatkan
secara langsung. Limbah ini apabila telah mengalami proses dekomposisi banyak mengandung
unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Apabila tanaman mati, maka selanjutnya
terjadi proses dekomposisi akibat aktifitas mikroorganisme dengan hasil akhir berupa humus
(Sutanto, 2002). Kandungan hara setiap sisa tanaman berbeda-beda.
Penelitian dengan pemakaian pupuk organik yang berasal dari ampas biji mimba sudah pernah
dilakukan di Desa Tebat Monok Kecamatan Kepahiang Kabupaten Kepahiang. Penelitian
dilakukan terhadap tanaman jahe dengan beberapa perlakuan pupuk an organik. Dari penelitian
tersebut diketahui bahwa dengan pemakaian pupuk organik (kompos) yang berasal dari ampas
biji mimba memperlihatkan pertumbuhan lebih baik dan produksi tanaman lebih tinggi dari
pemakaian pupuk dan organik. Dengan demikian terdapat beberapa keuntungan dengan
pemakaian pupuk organik yaitu efisiensi terhadap biaya karena harga pembuatan pupuk ini lebih
murah, produksi lebih tinggi dan menjaga kesuburan dan kelestarian lahan.

PENUTUP
Dampak dari kegiatan pada egroekosistem pertanian di lahan kering dapat diminimalisir. Salah
satu upaya penanganan kerusakan lahan akibat ekplorasi adalah dengan mengkonversi paket
teknologi yang untuk pengembangan sistem usahatani lahan kering. Pengaturan pola tanam
adalah usaha yang dapat menekan terjadinya erosi, meningkatkan produktivitas tanah dengan
penambahan bahan organik melalui hasil pangkasan tanaman, dapat meningkatkan pertumbuhan
dan produksi tanaman. Dengan membangun embung atau tandon air atau waduk berukuran
mikro di lahan pertanian dapat menampung kelebihan air hujan di waktu musim hujan dan
menggunakannya jika diperlukan tanaman pada waktu musim kemarau. Pemanfaatkan rantai
dalam ekologi dapat menciptakan pupuk yang murah dan alami, yang tetap menjaga kesuburan
dan kelestarian lahan. Dengan melakukan alternatif pengelolaan lahan kering tersebut diharapkan
agroekosiste di lahan kering tetap berkelanjutan dengan dampak lingkungan yang minimal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Lingkungan dengan judul PENCEMARAN DAN
KERUSAKAN LINGKUNGAN PADA AGROEKOSISTEM PERTANIAN LAHAN KERING
dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Supli Effendie Rahim. Pada kesempatan ini penulis sangat
mengharapkan koreksi dan masukan dari Bapak Dosen Pembimbing untuk perbaikan penulisan
ilmiah ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulusnya penulis sampaikan kepada
Bapak Dosen Pembimbing untuk arahan dan bimbingan selama ini. Disamping itu ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan angkatan III Program Doktor Ilmu-ilmu
Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya yang telah membantu baik secara
langsung maupun tidak langsung terutama dalam diskusi sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya tulis yang bersumber dari telaah pustaka dari literatur, makalah-makalah pada publikasi-
publikasi ilmiah.

PUSTAKA
Undang-undang Lingkungan Hidup:
1. Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
4. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Ala A, 1997. Pertanian Organik sebagai Suatu Alternatif Pertanian Berwawasan Lingkungan,
Journal of Flora and Fauna, UNHAS – Indonesia, Volume 5 Nomor 1.
Adyono dan H.Setyati., 1999. Prinsip-Prinsip Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Basri., IH, A.Darmadi, Yanfirwan Yanuar, D.Aprizal, W.Mikasari. 2001. Pengkajian Teknologi
Konservasi Metode Vegetatif pada Perkebunan Kopi Rakyat . Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Bengkulu. Laporan Hasil Penelitian (tidak dipublikasikan).
Ewusie, J. Y., 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit ITB Bandung.
Fagi, A.M. dan L. Irsal , 1988. Lingkungan Tumbuh Padi. Padi (Buku I),Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pertanian – Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan,
Bogor.
Hidayat, A., Hikmatullah, dan D. Santoso. 2000. Potensi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran
Rendah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian Dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
Irawan, B dan T. Pranaji. 2002. Kebijakan Pemberdayaan Lahan Kering Untuk mendukung
Pengembangan Agribisnis dan Peetanian Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Kementerian Lingkungan Hidup, 2004. Kesepakatan Nasional dan Rencana Tindak
Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta.
Nuhfil H. A.R.. 2003. Strategi Pembangunan Pertanian (Sebuah Pemikiran Baru). LAPPERA
Pustaka Utama, Yogyakarta.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunder Company. Philadelphia.
Pranaji, T. 2006. Pengembangan Kelembagaan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air.
Analisis Kebijakan Pertanian, 3(3) : 236-255.
Scherr, S.J. 2003. Hunger, Proverty and Biodiversity in Developing Countries. A. Paper for the
Mexico Summit, 2-3 June 2003, Mexico.
Shaxson, T.F. 1988. Conservation Soil by Stealth in (Moldenhauer and Hudson Eds).
Conservation Farming on Steep Lands, World Association of Soil and Water Conservation
Ankeny Iowa. P: 9-17.
Soemarwoto, Otto. 2001. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan, Bandung.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Sudharto, T., N. Efram, E. Sunarto, Suriatinah, A. Hartono, dan R.L. Watung, 1996. Sistem
Usahatani Budidaya Lorong untuk Mendukung Tanaman Pangan dan Buah-buahan di Lahan
Kering di Wilayah Gunung Mas, Kalimantan Tengah dalam Prosiding Lokakarya Evaluasi Hasil
Penelitian Usahatani Lahan Kering, Palangkaraya, 16 Desember 1996. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Syamsiah, I. dan A.M Fagi. 1997. Teknologi Embung. Sumberdaya Air dan Iklim dalam
mewujutkan Pertanian Efisien. Kerjasama Departemen Pertanian dengan Perhimpunan
Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
Wisnu, I.M.W, I. Basuki dan Johanes. 2005. Alternatif Sistem Usahatani dan Pengelolaan
sumberdaya air dalam pengembangan lahan kering di NTB. Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Pertanian Mendukung Pembangunan Pertanian Lahan Kering. Kerjasama. PSE dan
UNIB. 33 hal.
Zen, M.T. 1985. Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup. P.T. Gramedia, Jakarta.

You might also like