You are on page 1of 6

Menyikapi Nilai Rapor Anak

Asrofi *)

Menjelang pengumuman kelulusan atau penerimaan rapor acapkali para orang tua tidak
kalah stresnya dengan anak-anak mereka dalam menanti hari penentuan tersebut. Orang
tua di sini diartikan secara luas, mencakup ibu dan atau ayah dari anak yang
bersangkutan. Betapa tidak, kabar-kabar miris yang disiarkan media massa terkait cukup
tingginya tingkat kegagalan dalam ujian nasional belum lama ini menambah tinggi tensi
suasana. Bahkan, ada siswa yang sampai gantung diri karena dinyatakan tidak lulus ujian
nasional. Betapa tragisnya!

Kondisi lain yang biasanya menambah stress orang tua adalah perbedaan konstelasi
antara zaman saat sang orang tua bersekolah dengan kondisi kekinian yang dihadapi
anaknya. Termasuk dalam konstelasi ini adalah tingkat persaingan dalam memperebutkan
tempat pendidikan idaman di jenjang berikutnya, kualitas pendidikan yang kurang
merata, biaya pendidikan yang makin lebar jurangnya (yang dipersepsikan bagus
biasanya berbiaya tinggi) sampai pada kesempatan memperoleh pekerjaan. Dimana
tingkat persaingan di zaman orang tuanya bersekolah bisa jadi tidak setajam sekarang.
Belum lagi pergantian sistem pendidikan yang barangkali tidak begitu dimengerti oleh
orang tua.

Satu hal lain lagi yang berkontribusi pada tingkat stress orang tua dalam menyikapi nilai
rapor anak adalah pandangan orang tua itu sendiri yang kadung melekatkan rapor anak
sebagai simbol capaian orang tua dalam dimensi sosial. Prestise dan gengsi orang tua
akan melonjak dengan nilai rapor anak yang kinclong. Begitu pula sebaliknya, prestise
orang tua akan anjlok dengan nilai rapor anak yang kurang memuaskan. Dalam kondisi
terakhir ini rapor anak dapat menampar martabat orang tua. Dus, kepada anak cap yang
siap distempelkan tidak jauh dari “memalukan keluarga”, “Dengan rapor seperti itu, mau
ditaruh dimana muka orang tuamu ini?” dan sejenisnya. Bagi anak, hal ini menjadi beban
tersendiri yang makin memperrumit permasalahan. Dalam persepektif seperti ini, tidak
heran jika langkah preventif yang lazim ditempuh orang tua adalah membombardir anak
dengan banyak pelajaran tambahan (les) untuk mendongkrak kinerja anak. Logikanya,
dengan memperbanyak masukan (input) maka outputnya akan lebih berpeluang untuk
lebih bagus. Bagi mereka konsekuensinya jelas berupa tambahan biaya, tetapi memang
sepadan bukan, sebagaimana ungkapan jawa jer basuki mawa bea. Tapi bagaimana
konsekuensinya bagi sang anak sendiri? Bagaimana manajemen waktu anak? Bagaimana
pendapat dan kemauan anak sendiri? Bagaimana kapasitas dan kapabilitas anak?
Bagaimana dengan minat dan bakat anak? Apakah perspektif-perspektif anak seperti ini
sudah dimasukkan dalam pertimbangan?

Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengkritisi bagaimana sistem
pendidikan yang selama ini berjalan ataupun mengusulkan sistem yang lebih baik tetapi
secara spesifik ingin mengulas bagaimana sebaiknya orang tua menyikapi nilai rapor
anak. Yang menjadi pertanyaan, apakah stress orang tua seperti di atas beralasan?

1
Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, pertama-tama perlu diklarifikasi terlebih
dahulu, siapakah yang sebenarnya mendapatkan rapor, orang tua atau anak? Tidak
terbantahkan bahwa anaklah yang bersekolah. Hari demi hari anak kita menuntut ilmu,
mengerjakan tugas-tugas sekolah, mengikuti ujian dan pada saatnya mendapatkan nilai
yang terakumulasi dalam rapor. Jadi, pada prinsipnya bukan orang tua yang mendapatkan
rapor, tetapi anaknya.

Ok, memang anaklah yang bersekolah tetapi bukankah rapor merupakan laporan hasil
kemajuan pendidikan anak dari pihak sekolah kepada orang tua? Lantas dimana
sebaiknya orang tua menempatkan diri?

Agar dapat secara efektif menangani persoalan rapor terlebih dahulu orang tua harus
menempatkan diri secara proporsial. Apapun nilai yang diperoleh dalam rapor menjadi
beban di pundak anak. Anak perlu tahu bahwa rapor adalah urusan dirinya. Sebagai orang
tua kita harus peduli. Jika nilai rapornya memuaskan tentu tidak menjadi masalah, harus
disyukuri dan anak mendapat apresiasi secukupnya. Lantas bagaimana jika ada nilai
buruk dalam rapor anak, bagaimana mengatasinya? Tentu kita prihatin tetapi kembalikan
lagi kepada anak kita dan sedapat mungkin membantunya untuk bertanggung jawab
memperbaikinya.

Pemetaan Situasi Yang Dihadapi


Untuk dapat menyikapi dengan baik, terlebih dahulu harus dapat memetakan bagaimana
situasi anak kita dalam konteks nilai rapor. Sebagai alat bantu dapat digunakan
persamaan aljabar sederhana berdasarkan apa yang dihasilkan (results driven, obyektif)
dan apa yang dirasakan terhadap hasil tersebut (attitude, process driven, subyektif).
Rumusan ini menghasilkan empat situasi yang dapat divisualisasikan ke dalam empat
kuadran yang berlaku makro untuk keseluruhan rapor dan mikro untuk setiap mata
pelajaran di dalamnya. Rumusan ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam
menentukan sikap.

Kondisi pertama (kuadran pertama), ketika seorang anak mengerjakan tugas dengan baik
(+) dan merasa baik tentang itu (+), hasilnya akan positif (+). Sebagaimana dalam aljabar
bilangan positif dikalikan bilangan positif hasilnya berupa bilangan positif. Dalam hal ini
orang tua harus fair dalam mengapresiasi dengan memberikan imbalan (rewards, tidak
selalu harus materi) secukupnya. Orang tua juga harus secara arif mengingatkan anak
agar tidak terlena dengan capaian tersebut dan menegaskan filosofi masih ada langit di
atas langit dengan bahasa yang mudah dimengerti anak.

Kondisi kedua (kuadran kedua), ketika seorang anak mendapatkan nilai baik (+) tetapi
merasa buruk dengan itu (-), hasilnya akan negatif (-). Sebagaimana dalam aljabar
bilangan positif dikalikan bilangan negatif hasilnya berupa bilangan negatif. Peran orang
tua dalam situasi ini adalah mengarahkan agar anak mendapat perspektif yang benar dan
dimensi yang lebih menyeluruh. Dengan membuka wawasan anak, diharapkan ia tidak
lagi berpikir sempit dan dapat menempatkan diri secara lebih proporsional. Jika
masalahnya lebih bersifat psikologis, dengan arahan yang benar diharapkan anak akan
lebih bisa berbahagia dan menikmatinya.

2
Kondisi ketiga (kuadran ketiga), ketika seorang anak mengerjakan tugas dengan kurang
baik (-) dan merasa buruk dengan itu (-), hasilnya akan positif (+). Sebagaimana dalam
aljabar bilangan negatif dikalikan bilangan negatif hasilnya berupa bilangan positif.
Tidak ayal, dalam kondisi ini perlu kerja ekstra keras baik untuk anak maupun orang tua.
Kerja keras ini akan lebih efektif jika dilakukan secara kolaboratif dan dalam suasana
yang kondusif. Orang tua harus ekstra dalam membimbing agar anak tidak mudah patah
arang, maju terus pantang mundur. Orang tua harus berpandai-pandai dalam menjaja
harapan anak.

Kondisi keempat (kuadran keempat), ketika seorang anak mengerjakan tugas dengan
kurang baik (-) tetapi merasa baik-baik saja dengan itu (+), hasilnya akan negatif (-).
Sebagaimana dalam aljabar bilangan negatif dikalikan bilangan positif hasilnya berupa
bilangan negatif. Dalam kondisi ini, diperlukan dua sikap berbeda dan sifatnya
berkesinambungan (two-steps reaction). Fokus pertama orang tua adalah meluruskan
attitude anak. Langkah korektif ini diperlukan agar anak menyadari situasi yang
dihadapinya, komplikasi yang dapat memperuncing situasi berikut konsekuensi-
konsekuensi yang mungkin timbul. Hanya setelah anak sadar dan terpanggil rasa
tanggung jawabnya, maka upaya dalam melakukan perbaikan akan menemukan titik
terang. Fokus kedua adalah memfasilitasi anak dalam memperbaiki nilai rapor tersebut.

Gambar. Visualisasi pemetaan situasi yang dihadapi

Pada masalah nilai rapor, seperti halnya masalah lain, anak butuh sentuhan kasih sayang
dari orang tua. Jadi saat anak mendapatkan nlai rapor yang bervariasi, orang tua perlu
antusias pada hal-hal positif dan tidak perlu ngotot melampiaskan emosi pada nilai
pelajaran yang kurang. Orang tua perlu terlibat di area di mana anak-anak menguasainya.
Jika pelajaran sejarah yang menjadi kekuatannya, orang tua dapat mencarikan buku-buku
yang menyajkan sejarah dengan cara yang menarik dan sudut yang berbeda. Ketika yang
dibahas nilai yang buruk, dengan nada tanpa emosi tetapi dengan penuh perhatian, orang
tua dapat menanyakan, “apakah kamu sudah memiliki rencana untuk memperbaiki nilai
matematikamu?”. Yang perlu ditekankan, pertanyaan yang diajukan tidak menyudutkan
anak. Orang tua perlu menggarisbawahi bahwa mereka ada dan siap sedia untuk
membantu anaknya, bukan menghakimi semata.

3
Satu manfaat lain dari pemetaan di atas adalah kesadaran bahwa masalah yang dihadapi
di tiap pelajaran misalnya belum tentu sama. Ada kekhasan dari masing-masing kasus.
Jika kesadaran ini ditarik secara sosial maka akan didapati bahwa masing-masing anak
memiliki masalah yang khas. Dengan demikian tidak tepat dan tidak pada tempatnya
untuk membanding-bandingkan prestasi anak kita dengan prestasi teman-temannya atau
membandingkan anak dengan saudaranya yang lain. Ok, secara relatif memang bisa
disandingkan, bahkan bisa dikompetisikan di dalam kelompok yang relatif homogen.
Tetapi sekali lagi, itu sifatnya relatif, tidak bersifat mutlak dan tidak pula bersifat final.
Lagipula, kompetisi digelorakan untuk membakar gairah anak, bukan untuk melemahkan
semangat.

Mencari root cause dengan menjalin komunikasi


Pada kenyataannya, nilai buruk bukanlah masalah utamanya. Masalah utamanya justru
terletak pada kenapa diperoleh nilai buruk. Seringkali terjadi, nilai buruk diperoleh gara-
gara konsep diri anak yang lemah, anak bermasalah dengan lingkungannya (terutama di
keluarga atau di sekolah), sikap anak menghadapi pelajaran, karakter daya serap anak dan
sejumlah besar persoalan lainnya. Sebagian dari alasan tersebut mungkin membutuhkan
penanganan yang berbeda. Anak yang memiliki tipe belajar secara visual misalnya
membutuhkan penaganan yang berbeda dengan tipe anak audio. Anak yang memiliki
daya serap cepat membutuhkan penanganan yang berbeda dengan mereka yang memiliki
daya serap relative lambat, dan seterusnya.

Pemahaman menyeluruh secara jelas tentang situasi yang sebenarnya akan membantu
orang tua dalam memutuskan reaksi seperti apa yang paling tepat. Tidak bisa kita copy
and paste begitu saja pola didik dan pola pengasuhan orang tua kita dahulu kepada anak
kita sekarang. Kondisinya sudah berubah, sehingga asumsinya barangkali sudah tidak
valid lagi. Untuk mendapatkan pemahaman ini, jika dimungkinkan adanya komunikasi
dengan pihak-pihak lain yang terkait akan sangat membantu. Namun demikian,
komunikasi dengan anak yang berkualitas adalah faktor yang tidak dapat ditawar-tawar.
Karena kesibukan orang tua, frekuensi komunikasi dengan anak boleh tidak intensif,
tetapi dari yang sedikit itu harus diupayakan memiliki kualitas yang tinggi. Tentu saja,
kombinasi antara kuantitas dan kualitas yang memadai adalah kondisi yang ideal. Tidak
kalah pentingnya adalah komunikasi antar orang tua. Dengan komunikasi antar orang tua
terjalin soliditas dan konsistensi sikap masing-masing dari orang tua terhadap anak dan
pihak-pihak terkait lainnya. Satu kata dan satu hati. Pada intinya, dengan komunikasi
tersebut akar permasalahan (root cause) yang sebenarnya dapat diketahui.

Resolusi Bersama Anak


Mendapatkan akar permasalahan yang dihadapi anak terkait nilai rapornya tidak otomatis
menyelesaikan masalahnya. Langkah ini dapat dikatakan baru setengah jalan, sisanya
adalah bagaimana resolusi terhadap permasalahan dan implementasinya. Dalam
memformulasi resolusi terhadap permasalahan yang dihadapi, orang tua dapat mengambil
peran dengan porsi yang besar, dengan catatan tetap melibatkan anak. Namun, perlu
ditekankan kembali bahwa dalam proses implementasi porsi terbesar menjadi wilayah
(domain) dari anak. Anaklah sang penanggung jawab utamanya (person in charge).

4
Orang tua sifatnya hanya pendukung, sebagai fasilitator dengan suntikan sumber daya
(menyediakan biaya, sarana dan prasarana) dan menjadi narasumber (pembimbing dan
tempat rujukan, tempat bertanya, tempat curhat/berkonsultasi, tempat berdialog, tempat
berdiskusi) serta sebagai regulator (membuat aturan yang memungkinkan tujuan tercapai
dan memastikan aturan tersebut ditaati).

Karena anak bukanlah robot, suasana sangat menentukan berhasil tidaknya resolusi
dijalankan. Untuk itu baik orang tua maupun anak harus bersama-sama membangun
suasana yang kondusif. Suasana ini tidak melulu pada saat proses pencapaian tetapi juga
pengkondisian pada saat nantinya hasil diperoleh. Apapun hasil yang nantinya diperoleh
harus diakui dan dihargai sebagai hasil kerja bersama. Untuk setiap tonggak capaian
(milestone) dapat dirayakan secara bijaksana, sebagai moment of truth. Salah satu praktek
yang dapat ditiru dalam hal ini adalah kebiasaan masyarakat Jepang dalam melakukan
selebrasi untuk prestasi sekecil apapun di meja makan yang diikuti oleh seluruh keluarga.
Praktek yang menyuburkan kebersamaan, dukungan dan penghargaan.

Kebiasaan mencari jalan pintas (short cut) juga harus dicermati. Salah satu cara dalam
mengevaluasi setiap alternatif adalah dengan mengajukan pertanyaan kunci “Apakah
jalan ini baik bagi perkembangan anak?” Dalam hal ini orientasinya direntang tidak
hanya untuk kepentingan jangka pendek tetapi juga mencakup jangka menengah dan
jangka panjang. Terlihat seperti rumit, tetapi sesungguhnya tidak, hanya menambahkan
unsur kehati-hatian demi hasil dan resiko yang terkelola. Seperti tagline salah satu
produk anak dalam iklannya, “Untuk anak kok coba-coba….”

Resolusi Sosial
Jika secara teknis resolusi dilakukan bersama anak, lantas bagaimana dengan resolusi
sosial? Bagaimana orang tua mereposisi dirinya terkait prestasi anaknya secara sosial?
Tentu saja, wilayah ini lebih merupakan pekerjaan rumah bagi orang tua. Di awal tulisan
ini disarankan bahwa apapun nilai yang diperoleh dalam rapor menjadi beban di pundak
anak. Konsisten dengan prinsip ini maka dalam dimensi sosial, persoalan rapor kembali
dilekatkan dengan anak, bukan pada orang tua. Jika prestasi anak kinclong, maka hal ini
akan membangun reputasi anak yang sudah pasti akan banyak berguna bagi anak itu
sendiri. Dengan prestasi dan reputasi yang terbentuk anak akan memiliki cukup
kepercayaan diri, yang sangat berperan dalam menentukan kesuksesannya di masa depan.
Selain itu, dengan merasakan sendiri manisnya buah dari kerja kerasnya, anak akan lebih
terpacu untuk berprestasi.

Sebaliknya jika prestasinya jeblok, otomatis anak akan langsung merasakan sendiri pahit
getir dari buah karyanya. Dengan dampingan dan kasih sayang orang tua, biarkan anak
mengambil hikmah dari kegagalannya. Untuk menempa karakternya sebagai bekal dalam
menghadapi hidup dan kehidupan yang tentu saja selalu memiliki onak, duri, jalan terjal,
berbatu penuh dengan tanjakan dan tikungan dalam perjalanan hidupnya kelak. Dengan
demikian kurang berhasil secara akademis di masa anak-anak tidak meluluh lantakkan
masa depannya, tetapi menjadi ajang dalam menempa mentalnya agar sekuat baja.

5
Alih-alih mengeksploitasi anak untuk prestise orang tua, masih banyak aspek lain dalam
hidup yang dapat dikedepankan. Kontribusi orang tua secara sosial serta hal-hal lain yang
positif bagi keluarga dan lingkungan yang pada gilirannya juga akan menjadi teladan bagi
anak. Cukuplah bagi orang tua dengan berbahagia bila anaknya berprestasi tetapi jangan
rebut kebanggaan anak atas nama prestise orang tua. Sebaliknya jika anak kurang
berprestasi, masih diperlukan kesabaran dan dukungan kepada anak agar lebih baik dan
lebih baik lagi, sesuai potensi yang dimiliki anak. Tidak perlu memaksakan standar orang
tua kepada anak, karena anak memiliki karakteristik, minat dan bakat yang bisa jadi
berbeda dengan orang tuanya.

So, masih perlukah orang tua stress dalam menyikapi nilai rapor anak? Saya berharap
tidak. Karena stress orang tua pada gilirannya akan menambah stress anak. Bukankah
akan lebih baik jika energi yang dimiliki orang tua dapat didayagunakan secara lebih
efektif dan efisien dalam menyokong tumbuh kembangnya kepribadian dan prestasi
anak? Dengan demikian orang tua happy, anak juga happy  Stress? No way!
*)
Ayah dua orang putri, bekerja sebagai konsultan manajemen dan tinggal di Jakarta

You might also like