You are on page 1of 3

Fungsionalisme Malinowski

Secara garis besar Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuk menganalisis fungsi dari
kebudayaan manusia, yang disebutnya sutu teori fungsional tentang kebudayaan atau “a functional
theory of Culuture”. Dan melalui teori ini banyak antropolog yang sering menggunakan teori tersebut
sebagai landasan teoritis hingga dekade tahun 1990-an, bahkan dikalangan mahasiswa menggunakan
teori ini untuk menganalisis data penelitian untuk keperluan skripsi dan sebagainya.

Ia berpendapat bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia sama, baik itu kebutuhan yang bersifat
biologis maupun yang bersifat psikologis dan kebudayaan pada pokoknya memenuhi kebutuhan
tersebut. Semisal kebutuhan sex biologis manusia yang dasarnya merupakan kebutuhan pokok, tetapi
tidak serta merta dilakukan atau dipenuhi secara sembarangan. Kondisi pemenuhan kebutuhan tak
terlepas dari sebuah proses dinamika perubahan ke arah konstruksi nilai-nilai yang disepakati bersama
dalam sebuah masyarakat (dan bahkan proses yang dimaksud akan terus bereproduksi) dan dampak
dari nilai tersebut pada akhirnya membentuk tindakan-tindakan yang terlembagakan dan dimaknai
sendiri oleh masyarakat bersangkutan yang pada akhirnya memunculkan tradisi upacara perkawinan,
tata cara dan lain sebagainya yang terlembaga untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia tersebut.
Hal inilah yang kemudian menguatkan tesis dari Malinowski yang sangat menekankan konsep fungsi
dalam melihat kebudayaan. Ada tiga tingkatan oleh Malinowski yang harus terekayasa dalam
kebudayaan yakni,

1. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan pangan dan prokreasi

2. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan akan hukum dan
pendidikan.

3. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian.

Tulisan “Argonauts of the Western Pacific” (1922) melukiskan tentang sistem Kula yakni berdagang
yang disertai upacara ritual yang dilakoni oleh penduduk di kepulauan Trobriand dan kepulauan
sekitarnya. Perdagangan tersebut dilakukan dengan menggunakan perahu kecil bercadik menuju pulau
lainnya yang jaraknya cukup jauh. Benda-benda yang diperdagangkan dilakukan dengan tukar menukar
(barter) berupa berbagai macam bahan makanan, barang-barang kerajinan, alat-alat perikanan, selain
daripada itu yang paling menonjol dan menarik perhatian adalah bentuk pertukaran perhiasan yang oleh
penduduk Trobriand sangat berharga dan bernialai tinggi. Yakni kalung kerang (sulava) yang beradar
satu arah mengikuti arah jarum jam, dan sebaliknya gelang-gelang kerang (mwali) yang beredar
berlawanan dari arah kalung kerang dipertukarkan.

Karangan etnografi dari hasil penelitian lapangan tersebut tidak lain adalah bentuk perekonomian
masyarakat di kepulauan Trobriand dengan kepulauan sekitarnya. Hanya dengan menggunakan
teknologi sederhana dalam mengarungi topografi lautan pasifik, namun disisi lain tidak hanya itu,
tetapi yang menarik dalam karangan tersebut ialah keterkaitan sistem perdagangan atau ekonomi yang
saling terkait dengan unsur kebudayaan lainnya seperti kepercayaan, sistem kekerabatan dan organisasi
sosial yang berlaku pada masyarakat Trobriand. Dari berbagai aspek tersebut terbentuk kerangka
etnografi yang saling berhubungan satu sama lain melalui fungsi dari aktifitas tersebut. Pokok dari
tulisan tersebut oleh Malinowski ditegaskan sebagai bentuk Etnografi yang berintegrasi secara
fungsional. Selain dari hasil karya etnografinya, tentunya harus diperhatikan pula upaya-upaya
Malinowski dalam mengembangkan konsep teknik dan metode penelitian. Dan sangat lugas ditekankan
pentingnya penelitian yang turun langsung ketengah-tengah objek masyarakat yang diteliti, menguasai
bahasa mereka agar dapat memahami apa yang objek lakukan sesuai dengan konsep yang berlaku pada
masyarakat itu sendiri dan kebiasaan yang dikembangkan menjadi metode adalah pencatatan. Mencatat
seluruh aktifitas dan kegiatan atau suatu kasus yang konkret dari unsur kehidupan. Selain dari pada itu
yang patut untuk para peneliti menurut Malinowski adalah kemampuan keterampilan analitik agar
dapat memahami latar dan fungsi dari aspek yang diteliti, adat dan pranata sosial dalam masyarakat.
Konsep tersebut dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek kebudayaan, yakni :

1. Saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lainnya.

2. Konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.

3. Unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional.

4. Esensi atau inti dari kegiatan aktifitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan
kebutuhan dasar “biologis” manusia.

Melalui tingkatan abstraksi tersebut Malinowski kemudian mempertegas inti dari teorinya dengan
mengasumsikan bahwa segala kegiatan/aktifitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya
bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang
berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kelompok sosial atau organisasi sebagai contoh, awalnya
merupakan kebutuhan manusia yang suka berkumpul dan berinteraksi, perilaku ini berkembang dalam
bentuk yang lebih solid dalam artian perkumpulan tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.

Dalam konsep fungsionalisme Malinowski dijelaskan beberapa unsur kebutuhan pokok manusia
yang terlembagakan dalam kebudayaan dan berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
manusia. Seperti kebutuhan gizi (nutrition), berkembang biak (reproduction), kenyamanan (body
comforts), keamanan (safety), rekreasi (relaxation), pergerakan (movement), dan pertumbuhan
(growth). Setiap lembaga sosial (Institution, dalam istilah Malinowski) memiliki bagian-bagian yang
harus dipenuhi dalam kebudayaan

TANGGAPAN

Budaya adalah hasil cipta, karya dam karsa manusia. Dengan definisi seperti itu kebudayaan
mempunyai nilai pragmatis karena sebelum manusia memcipta yang terlebih dahulu ada adalah tujuan
dari penciptaan itu sendiri. Teori fungsi kebudayaan yang diungkapkan Malinowski merupakan
penegasan dari definisi yang diungkapkan di awal kalau setiap kebudayaan harus memberikan manfaat
untuk masyarakat.

Adapun budaya yang merupakan hasil belajar manusia termasuk dalam proses penyepakatan
sebuah budaya dalam proses belajar itu masyarakat menelaah kekurangan dan kelebihan yang akan
mereka rasakan. Ketika kekurangan dari sebuah budaya terlalu banyak dan beresiko untuk
dipertahankan maka dengan sendirinya kebudayaan akan tersingkir.

Teori Fungsi kebudayaan lebih memperinci lagi kedudukan kebudayaan di masyarakat melalui
fungsinya. Malinowski mengklasifikasikan tiga tingkatan kriteria yang harus ada dalam kebudayaan
yang berkembang di masyarakat, yaitu kebudayaan harus memenuhi kebutuhan manusia secara
biologis, instrumental dan integratif. Sebagai contoh budaya ronda malam yang masih berkembang di
masyarakat desa di Indonesia telah memenuhi tingkatan kriteria instrumental karena sudah memberikan
rasa aman pada masyarakat. Budaya ronda malam bermula dari keresahan masing-masing anggota
masyarakat yang merasa kalau harta benda, jiwa dan raga mereka terancam oleh gangguan dari luar
pada saat malam hari. Setelah menyepakati kalau setiap anggota masyarakat membutuhkan keamanan
maka mereka sepakat untuk menjaga keamanan secara bersama-sama melalui ronda malam secara
bergiliran.

Nama : Ubaidillah

NIM : F1G009026

Tugas Kemahiran bahasa Indonesia

You might also like