Professional Documents
Culture Documents
Tentara muslim mencapai perbatasan China pertama kali melalui darat di masa
khalifah Walid dari Bani Umayyah, Al-Hajjaj Ibn Yusuf Al-Tsaqafi, gubernur Irak
pada waktu itu mengirim tentara muslim di bawah pimpinan Qutaibah Ibn Muslim
Al-Bahili ke perbatasan China. Tentara itu meninggalkan Samarkand (Uzbekistan)
pada 93 H (711 M) dan memasuki Kashgar (Singkiang) pada 96 H (714 M). Kaisar
China kemudian setuju membayar upeti kepada orang-orang muslim sebagai tanda
kesetiaan kepada negara muslim.
Hubungan perdagangan meningkat dengan pesat antara bangsa muslim dan China.
Perdagangan dijalankan pertama dengan jalur laut, kemudian ketika Kashgar menjadi
bagian dari bangsa muslim, melalui darat. Kebanyakan pedagang adalah muslim, dan
umumnya dari Arabia dan Persia. Hubungan antara China dan bangsa muslim di masa
dinasti Umayyah dan Abbasiyah terus-menerus bersifat ramah dan hangat, saling
tukar-menukar kedutaan dan delegasi. Pada 138 H (755 M) kaisar China meminta
pertolongan dari bangsa muslim untuk memadamkan pemberontakan An-Lu-Chan.
Khalifah memenuhi dengan mengirim pasukan terdiri dari 4000 orang tentara muslim
yang berhasil mengalahkan pemberontak dan menetap di tanah China. Mereka
mengawini wanita China, membangun keluarga muslim, sehingga memberikan
dukungan demografik yang kuat kepada komunitas muslim pertama di China.
Jumlah pedagang muslim dan Arabia dan Persia yang menetap di Kanton meningkat
secara berarti sehingga mereka membentuk perbandingan yang penting dari penduduk
kota itu. pada 141 H (758 M), mereka memberontak melawan kaisar karena beban
pajak yang berat, yang kemudian dihentikan. Pada 145 H (762 M), muslim sekali lagi
membantu kaisar memadamkan pemberontakan lain, Sei-Chu-Bei.
Kanton menjadi pusat penyebaran komunitas muslim kearah Hang-Chu digaris pantai
sebelah utara. Mereka membangun masjid dan sekolah di mana mereka pergi. Pada
259 H (872 M) pengembara Arab Ibn Wahb mengunjungi Kanton dan bertemu orang-
orang muslim di sana ketika ia bertemu dengan kaisar. Namun tujuh tahun kemudian,
malapetaka menimpa orang-orag muslim ketika pemberontak membakar kota dan
membunuh lebih dari 100.000 muslim. Dinasti Tang tidak selamat dalam peristiwa ini
dan jatuh pada 295 H (907 M).
Selama dinasti Tang, orang-orang muslim hidup makmur dan dihormati di China.
Namun meskipun meluas perkawinan campuran, mereka tetap merupakan unsure
asing, baik dalam segi bahasa, asal etnik dan bentuk fisik. Namun banyak kaisar
memberikan perlakuan istimewa kepada mereka. Pemberian hak istimewa ini
meningkat di bawah Dinasti Siung berikutnya. Ada 86 delegasi dari negara muslim ke
China antara 31 H (651 M) DAN 604 H (1207 M). Terjadi aliran imigran Muslim
secara terus-menerus yang mebangun kota-kota Muslim satelit di dekat pelabuhan-
pelabuhan terbesar China. Mereka membangun masjid dan sekolah dan mendirikan
lembaga-lembaganya sendiri. Mereka mencalonkan gubernur mereka sendiri yang
biasanya diterima oleh Kaisar.
Dinasti Mongol (Yuan) jatuh pada 1368 M, diganti oleh dinasti Ming yang berlanjut
sampai tiga abad sampai tahun 1644 M. Selama periode ini, Muslim mencapai
puncak kemakmuran dan pengaruh. Periode ini juga bercirikan berakhirnya imigrasi
Muslim dan ditandai dengan meningkatnya jumlah orang China yang masuk Islam.
Akibatnya perubahan sempurna cirri-ciri komunitas Muslim, dari komunitasasing,
sekalipun telah hadir selama tujuh abad, menjadi komunitas asli secara sempurna,
tanpa kehilangan Islamnya. Hasil paling mengesankan dari penghasilan ini adalah
penggantian kedudukan bahasa Persia sebagai
komunitas Muslim oleh
China Mandarin dalam mana sekunpulan besar literature Muslim dikembangkan.
Efek lain adalah meluasnya nama-nama China dikalangan orang-orang Muslim:
Muhammad menjadi µMa¶, Mustapha menjadi µMu¶, Mas¶ud µSi¶, Dawwud dan Tahir
µTa¶, Hasan µHa¶, Husayn µHu¶, Badruddin, Jalaluddin, dan seterusnya menjadi
µNing¶, Najib dan Nasir menjadi µNa¶, Salim, Salih menjadi ³Sha¶, Ali menjadi µAy¶,
dan seterusnya. Orang-orang Muslim juga menyerap kebiasaan-kebiasaan China yang
tidak mengganggu pengajaran Islam. Mereka saling kawin-mengawini dengan orang-
orang China yang masuk Islam secara besar-besaran sehingga tidak mungkin
mengenali China dengan Muslim dari China non-Muslim.
Pengaruh Muslim sepanjang Dinasti Ming pernah lebih besar daripada masa Dinasti
Mongol. Kaisar pertama dari dinasti itu, Ming Tsai Tsu, dan Kaisar Wanita
diperkirakan telah menjadi muslim. Kecintaan Kaisar terhadap Nabi Muhammad
sudah terkenal dan sangat terang-terangan. Ia menulis puisi memuji-muji nabi dan
memahatnya diatas marmer di masjid Jami¶ Kota Nankin (masih ada sampai
sekarang). Kaisar Yung Lu (1405-32 M) menggunakan Kalender Hijrah sebagai
kalender resmi China dan mengirim Duta Besar Muslim, Chung Hu, ke beberapa
negara Muslim untuk membangun hubungan yang hangat dengan mereka.
Kebanyakan pejabat tinggi Dinasti Ming juga Muslim.
Rezim komunis tidak memerlukan identifikasi agama dalam sensus. Namun jumlah
muslim yang bukan berasal dari etnik China dapat ditaksir dari sensus
kebangsaannya. Bagi muslim yang secara etnis adalah China, jumlahnya dapat
dihitung atas dasar sensus 1936. Sensus ini menunjukkan jumlah muslim di tiap
provinsi dan juga jumlah penduduk muslim seluruhnya. Jumlah muslim seluruhnya
ditaksir 47.437.000 orang atau 10,5% dari jumlah penduduk. Jika persentase ini tidak
berubah, kita sampai pada suatu angka 107 juta pada 1982.
Bagi muslim China periode 1952-1968 mirip era Stalin di Uni Soviet. Kelaparan
buatan dicipatakan, penduduk muslim dibubarkan, masjid-masjid dibakar, lembaran-
lembaran Al-Qur¶an dirobek berserakan dan para pemimpin muslim dianiaya dan
dihina. Baru-baru ini saja, beberapa perbaikan nasib orang-orang muslim seakan-akan
telah terjadi. Harapan-rapan telah meningkat setelah meninggalnya Mao-Tse-Tung
dan penyisihan ³Kelompok Empat´.
c
Sejak sebelum era Islam sudah terjadi hubungan perdagangan antara dunia Arab dan
China. Jalur perdagangan ini ada
yang melewati laut dan ada yang melewati darat (jalur sutera). Beberapa pedagang
Arab disebut-sebut sudah ada yang menetap di beberapa kota bandar dagang di negeri
China, seperti Kanton, Chang Chow, dan Chuan Chow. Walaupun ada yang
berpendapat Islam sudah masuk ke Kanton sejak zaman Nabi shallallahu ¶alaihi
wasallam, tetapi hubungan resmi antara pemerintah Islam dan China terjadi pada
masa Khalifah Utsman ibn Affan radhiyallahu ¶anhu yang mengirim delegasi pada
kaisar Dinasti Tang (618-905). Hal ini tercatat dalam sejarah resmi (Annals) Dinasti
Tang.
Sejak itu terjadi hubungan diplomatik yang baik antara kekhalifahan Islam dan
Dinasti Tang. Catatan resmi dinasti tersebut menyebutkan adanya 37 kali perutusan
diplomatik di antara kedua belah pihak. Salah satu kaisar China yang terguling karena
pemberontakan pada tahun 755 M bahkan pernah mendapat bantuan militer dari
pasukan muslim yang dikirim dari Asia Tengah sehingga dinasti tersebut berhasil
mendapatkan kembali kedaulatannya. Sebagai balasannya, sang kaisar mengizinkan
pasukan muslim yang telah membantunya itu untuk tinggal di salah satu distrik di
ibukota Dinasti Tang dan membolehkan mereka melakukan pernikahan dengan
perempuan-perempuan China.
Di akhir masa pemerintahan Dinasti Tang tercatat adanya 120.000 orang asing
menetap di China. 80 persen dari jumlah tersebut adalah orang-orang Arab,
selebihnya orang Persia, Nasrani, dan Yahudi.6 Orang-orang Arab muslim yang
menetap di China pada abad ke-8 telah memperoleh hak khusus untuk mengatur
urusan serta memilih pemimpin di antara mereka sendiri. Hal ini menunjukkan
adanya hubungan baik serta kepercayaan pemerintah China kepada komunitas
muslim yang tinggal di sana. Mobilitas yang dinamis di antara dunia Islam dan
Tiongkok telah memungkinkan para ahli geografi muslim mencatat keadaan geografis
dan kebudayaan China dengan baik pada masa yang relatif dini, seperti yang bisa
didapati pada sebuah kitab anonim berjudul Silsilat al-Tawarikh yang mungkin
disusun pada paruh terakhir abad ke-9 dan diedit oleh Abu Zaid al-Sirafi dan
kemudian dikutip oleh al-Mas¶udi dalam Muruj al-Dzahab-nya.
Pada masa-masa berikutnya, eksistensi Islam di China terus berlanjut, malah semakin
baik. Ketika China dikuasai oleh Mongol dan terbentuk Dinasti Yuan (1279-1368 M),
pengaruh Islam di Tiongkok semakin kokoh. Banyak muslim Arab atau Persia yang
diberdayakan dalam pemerintahan dan militer China. Beberapa di antaranya bahkan
memegang posisi yang strategis, seperti Saidian Chi (Say Dian Chih/ Sayyid Shini/
Sayyid Syamsuddin) yang menjadi Gubernur di Yunnan. Sebuah pribahasa China
sampai-sampai menyebutkan ´Hui-Hui (muslim) tersebar luas di seluruh penjuru
China pada masa Dinasti Yuan.´8 Pada masa ini kaum
Muslimin bahkan dipanggil dengan sebutan Da¶shman yang
bermakna ¶orang terpelajar,¶ di samping sebutan Mu Su Lu
Man dan Hui-Hui.
Liu Baojun memberi contoh bahwa di provinsi Qinghai setelah tahun 1958 hanya
tersisa 8 masjid, padahal sebelumnya ada 931 masjid. Jumlah imam dan staf
keagamaan di masjid-masjid pun tinggal 12 orang setelah tahun 1958, dari
sebelumnya yang berjumlah 5940 orang. Pada masa Revolusi Kebudayaan, masjid
dan para imam di provinsi tersebut sama sekali tidak tersisa lagi. Pelaksanaan
kewajiban Islam seperti shalat lima waktu dan pergi haji tidak diizinkan. Yang
terakhir ini menyebabkan muslim China mengalami keterputusan hubungan dengan
negeri-negeri Muslim lainnya dan menjadikan generasi muda mereka mengalami
kesenjangan dalam pemahaman Islam. Namun sejak masa pemerintahan Deng
Xiaoping, keadaan muslim di China menjadi lebih baik. Keyakinan mereka serta
kebebasan dalam menjalankan kewajiban keagamaan dilindungi oleh undang-undang.
Ketegangan antara muslim dengan pemerintah komunis China memang masih terjadi
pada waktu-waktu tertentu, seperti yang berlaku di wilayah Xinjiang belum lama ini.
Namun itu bukan berarti kaum Muslimin sama sekali tidak memiliki peluang untuk
berkembang dan memajukan diri pada masa-masa yang akan datang. Islam telah
hadir sejak awal keberadaannya di China dan telah menjadi bagian integral serta
memberikan kontribusi yang sangat penting dalam perjalanan sejarah bangsa tersebut.
Walaupun belakangan mendapat tekanan luar biasa dari rezim yang berkuasa, tetapi
Islam bukan hanya masih eksis di China, tetapi juga masih memiliki jumlah penganut
yang sangat besar. Sementara agama Yahudi dan Kristen Nestorian yang lebih dulu
masuk ke China telah habis tak bersisa.
Kenyataan ini juga rupanya yang mendorong ketertarikan Isaac Mason, seorang
misionaris di China pada awal abad ke-20, untuk menerjemahkan sebuah karya
biografi tentang Nabi Muhammad yang ditulis oleh seorang ilmuwan Muslim China
bernama Liu Chai-Lien atau Liu Chih. Dalam pengantarnya Mason menulis,
´Nestorianisme menghilang bak air yang merembes ke dalam pasir, meninggalkan tak
satu pun pengikut di negeri ini; dan hal yang sama juga secara praktis berlaku pada
komunitas Yahudi masa lalu. Apa, kemudian, dinamika dalam agama ini (Islam, pen.)
yang secara tegar menolak untuk terserap oleh lingkungannya, dan secara gigih
membanggakan superioritasnya terhadap seluruh sistem lainnya? Sementara
sepenuhnya menyadari, dan mengakui sebab-sebab lainnya, saya percaya bahwa
keperibadian sang Nabi (Muhammad, pen.), sebagaimana yang dipahami dan
dipercayai oleh para pengikutnya, telah menjadi faktor yang sangat kuat dalam
memelihara agama Islam.
Namun penganiayaan Manchu selama tiga abad menyebabkan orang Muslim lebih
miskin, jumlahnya berkurang, terputus hubungan dengan Dunia Muslim yang lain.
Walaupun kesetiaan mereka terhadap Islam kuat, tetapi pengamalan Islam mereka
memerlukan banyak peningkatan. Setelah 1911, Muslim China membangun kembali
kontak-kontak dengan Dunia Muslim, melakukan upaya perbaikan organisasai dan
pendidikan dan membawa kembali massa Muslim kepada garis ortodoks. Yang paling
meninjol adalah pendirian Organisasi MUSLIM China Progresif di Beijing yang
dipimpin oleh Al-Haj Ahound Wang Haonan yang aktivitasnya terpusat pada
penyebaran pendidikan Islam, pengajaran bahasa Arab, dan pembangunan masjid dan
sekolah. Pada 1938, sustu organisasi baru Pan China Muslim didirikan di bawah
pimpinan seorang jenderal angkatan darat Muslim. Ia mengorganisasi milisi Muslim
untuk mempertahankan negaranya dari serbuan Jepang. Organisasi yang sama
menerjemahkan Al-qur¶an ke dalam bahasa China, dan mengirim ratusan pelajar.
Pada 1926 Organisasi Kebudayaan Muslim China dibentuk di Shanghai, dipimpin
oleh Al-Haj Jalaluddin Hat-Hshing. Peranan organisasi itu adalah mengatur pendirian
studi Al-Qur¶an (tafsir) dan hadist nabi. Organisasi ini memulai sejumlah besar
sekolah dan perpustakaan dan memberikan beasiswa kepada banyak mahasiswa.
Secara cultural, terjadi kebangkitan kembali Muslim sejak di China pada periode
1911-48. Selama periode ini orang-orang Muslim membangun lebih dari seribu
sekolah dasar dan perpustakaan dan banyak sekolah menengah. Mereka berhasil
dalam mengenalkan studi bahasa Arab dan Islam di universitas-universitas China,
seperti Universitas Beijing, Universitas Central, Universitas Tchung-San, dan
sebagainya. Mereka memproduksi sejumlah besar literatur Islam dalam bahasa China
melalui majalah-majalah Islam seperti: Majalah Studi Islam China; Surat Kabar
Islam, Majalah, Sinar Islam, Matahari Terbit, Pemuda Muslim, Al-Islah,
Kemanusiaan, Majalah Chee, Majalah Bang-Tou, Batas-batas, Al-Awqaf, dan
sebagainya.
Pada 1946, ada lebih dari seratus wakil Muslim di parlemen China. Para gubernur
daerah-daerah mayoritas Muslim semuanya orang Muslim: Turkestan Timur,
Tsinghai dan Ningsia, dan Khansu. Banyak menteri-menteri Muslim dalam
pemerintahan, seperti Tn. Ma Fu Sian, dan Jenderal Omar Bay yang menjadi Menteri
Pertahanan setelah Perang Dunia II. Orang-orang Muslim bergabung dengan tentara
dalam jumlah besar dan banyak di antara mereka menonjol, seperti Jenderal Husayn
Bufan Ma, Bushin Ma dan Jee-Yuan Ma.
Usaha pengorganisasian semua Muslim China di bawah satu payung tunggal dimulai
oleh Muslim Mongolia, yang pada 1938, membiayai pembentukan ³Liga Lima Ma´.
c
c
Turkestan Timur 2.400
Khansu 3.000
Hopeh dan Beijing 1.000
Shan-Si 1.000
Yunnan 1.000
Manchuria 200
Shan-Toung 200
Honan 200
Kiang-Su 250
Sichuan 250
Daerah-daerah lain 141
Jumlah 9.641
Rezim komunis membuat sensus di China pada 1953. Namun rezim ini tidak
menganggap penting afiliasi keagamaan penduduk. Seperti di Uni Soviet, rezim
komunis mengakui prinsip kebangsaan di daerah-daerah terpencil. Rezim itu
mengakui enam kebangsaan Muslim di daerah otonom Singkiang-Uighur; dua di
Provinsi Khansu, dan satu di Chinghai.
JALAN Sutra yang pernah menghubungkan China ke Timur Tengah dan belahan
dunia yang lain itu ternyata bukan sekedar rute yang digunakan untuk mengangkut
barang dan menjalin hubungan dagang atau keterkaitan yang bersifat material, namun
juga jalan untuk membangun hubungan dalam hal pemikiran, budaya, sains, industri,
filsafat, dan mistisisme. Beruntung sekali saat itu ada jalan terbuka yang bisa
menghubungkan hati dan saling bertukar cinta kasih antar bangsa.
Abad ke-6 SM merupakan titik balik bagi sejarah kebudayaan. Abad ini menyaksikan
munculnya Zoroaster, nabi reformis yang saleh, yang juga teosof dari Persia. Selain
itu ada pemuka ajaran moral dan filsafat yang jenius seperti Lao Tzu dan Konfusius,
Buddha di India, Pythagoras dan Thales di wilayah yang berdekatan dengan Yunani.
Menurut beberapa peneliti, dulu Pythagoras dan Thales pernah melawat ke Iran dan
menjadi murid di sekolah-sekolah yang didirikan Imam Magi Persia. Ada juga
beberapa pendapat yang menyatakan adanya berbagai persamaan yang dijumpai pada
prinsip-prinsip filosofis Iran Kuno²yang disebut iluminasionisme atau Filsafat
Timur²dengan doktrin-doktrin yang diperkenalkan oleh Buddha dan Lao Tzu
(berkenaan dengan filsafat spekulatif, pemikiran mereka serupa dengan Mistisisme
Islam modern); dan Konfusius (ajaran filsafat praktis, politik, dan prinsip
pemerintahan yang diusungnya
sejalan dengan dinasti Magi di
Persia). Karena itu, muncul dugaan
bahwa memang ada hubungan
antara para teosof ini dengan para
pemikir Iran, bahkan dengan
Zoroaster sendiri.
Tak lama setelah munculnya Islam²tahun 651 M²agama ini masuk ke China, dan
banyak pribumi yang menganutnya. Di era tertentu dalam sejarah China, termasuk
masa dominasi Mongol di China, agama Islam kian menemukan momentum untuk
bisa diterima.
Tidak seperti agama-agama lain, Islam bukan semata-mata rangkaian doktrin religius
dan sebuah paket keyakinan, ataupun ritus-ritus keagamaan. Lebih dari itu, Islam
membawa peradaban yang megah, maju, sesuai dengan perkembangan zaman, dan
terus mengalami perbaikan. Islam mempersembahkan karya-karya terkemuka di
bidang sains dan seni maupun filsafat, matematika, astronomi, dan obat-obatan. Pada
saat dunia masih mengimpor dan menerjemahkan buku-buku dari Yunani, ilmu-ilmu
tersebut mengalami kemerosotan yang tajam, dan kemudian bisa mencapai
puncaknya berkat upaya yang dilakukan oleh figur-figur terkemuka seperti Al-Farabi,
Ibn Sina, Khayyam, Biruni, dan Al-Razi. Dalam bidang obat-obatan, misalnya, Ibn
Sina dengan karyanya O
dan Kitab O (Kitab Pengobatan), di bidang
logika, filsafat, matematika, dan ilmu alam, selama bertahun-tahun menjadi dasar
untuk mempelajari bidang-bidang ini di Timur dan Eropa Pertengahan; kitab-kitab
filsafatnya masih menjadi sumber utama ilmu filsafat Islam hingga kini.
Walaupun sebelumnya Iran merupakan pusat ilmu-ilmu tersebut (sejak abad ke-4
Hijriah) dan dinasti demi dinasti di Iran mendukung para ilmuwan dan filosof, di
wilayah sekitar Iran, khususnya di anak benua India, ilmu-ilmu tersebut termasuk
sastra Parsi cukup menyebar luas. Para penyair biasa menulis puisi mereka dalam
bahasa Parsi. Para filosof biasa mengajarkan kitab-kitab Ibn Sina; dan di wilayah
yang kini dikenal dengan sebutan Asia Minor (khususnya kota seperti Marv, Bukhara,
dan Samarkand merupakan bagian dari Iran, dan dikuasai oleh Iran kecuali di masa
dinasti Ghaznavid, Samaniyah, Seljuk, dan Khwarazmshah) juga tak jauh dari Iran
dalam hal menguasai kebudayaan, filsafat dan ilmu pengetahuan. Di seluruh wilayah
ini, ilmu pengetahuan dan budaya Iran dan Islam sama-sama tersebar luas.
Jalan Sutra merupakan jalur perdagangan yang diperlukan China untuk menjual dan
mengekspor berbagai komoditas, khususnya sutra, dan merupakan cara yang unik
untuk menghubungkan China dengan dunia luar sebelum jalur laut dikenal luas.
Namun demikian, melalui jalur inilah hubungan China dengan budaya dan
pengetahuan Islam menemukan jalannya. Para ilmuwan Iran dan China saling
melawat ke negara masing-masing dan jadi saling akrab dengan kebudayaan masing-
masing.
Melalui jalur penting inilah berbagai pengalaman dan penemuan China yang sangat
berharga (seperti kertas dan bubuk mesiu) bisa masuk ke Timur Tengah bersama-
sama dengan sutra dan barang dagangan lain. Sebaliknya, begitu banyak kebudayaan
dan ritual Islam, bersama-sama dengan para ilmuwan dan buku-buku filsafat, maupun
barang dagangan dari wilayah barat masuk ke China. Berkat pertukaran ini,
pengetahuan yang dibawa para ilmuwan tersebut digunakan oleh pemerintahan
China.
Menurut para raja dan emir, ada dua ilmu pengetahuan yang penting, dan karenanya
bermanfaat serta mereka perlukan; yaitu: pengobatan yang bisa menjaga kesehatan
mereka, dan astrologi, yang bisa memberitahu mereka tentang keberuntungan dan
nasib sial dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bisa menjauhkan mereka dari
marabahaya. Astrologi ini hadir menyertai pengetahuan tentang benda-benda luar
angkasa, pengukuran waktu, dan penyusunan kalender.
Mungkin karena itulah astrologi Islam masuk ke China sejak masa Tang. Pembagian
kalender dengan kemiringan 60 derajat dan memperhitungkan tahun kabisat, yang
merupakan metode yang ditemukan oleh Hakim Khayyam dari Nishapur, diadopsi
oleh bangsa China. Dengan tegas dinyatakan oleh para ilmuwan China, bahwa sistem
kalender ini merupakan salah satu sumbangsih paling penting yang diberikan para
ilmuwan Islam kepada ilmu pengetahuan di China. Ada ahli matematika Iran yang
diundang ke China pada masa pemerintahan Jiang Lung untuk mengoreksi kalender
China, hingga diberi gelar kebangsawanan kehormatan. Dia dikenal dengan nama
Ma-yize.
Selama masa kekuasan Mongol (Dinasti Yuan) di China, kiprah ilmuwan Islam dan
berbagai buku karya mereka²nyaris di semua bidang pengetahuan²kian
memperoleh dukungan. Karenanya para ilmuwan Iran masuk ke China dengan
membawa buku-buku astrologi, matematika, ramalan, kimia, geografi, obat-obatan,
sastra, filsafat, dan sejarah.
Jamaluddin merupakan salah satu astrolog Iran di tahun 267 M yang menawarkan
tujuh peralatan astrologi hasil temuannya kepada kaisar. Penemuan itu belum pernah
dilakukan sebelumnya. Di antara penemuannya adalah globe, yang saat itu adalah
benda yang benar-benar baru. Bertentangan dengan keyakinan para ilmuwan China
yang beranggapan bahwa bumi itu datar, benda itu membuktikan bahwa bumi itu
seperti bola. Di globe tersebut, dia pernah menggambar peta bumi sesuai dengan
penjelasan dan pengalaman para ilmuwan Muslim di masa itu.
Berkaitan dengan ilmu obat-obatan, di masa itu ilmuwan Muslim juga berada di
tingkat teratas. Mereka mengekspor obat-obatan ke China melalui para pedagang, dan
menjadikan China akrab dengan obat baru hasil temuan mereka. Dokter-dokter Iran
biasa berkunjung ke China atas permintaan para kaisarnya untuk mengobati penyakit,
serta mengajarkan ilmu pengobatan dan farmasi. Kedatangan mereka itu
menyebabkan masuknya obat-obatan Iran²yang merupakan kombinasi antara
ramuan Galen, ramuan tradisional Iran, dan temuan ilmuwan Islam²ke China.
_
_
O
c
! O " # !
O
#
!
O" #
Berdasarkan fakta itulah, filsafat menemukan jalan masuk, bersamaan dengan ilmu-
ilmu pengetahuan yang lain yang telah diterima luas di negara-negara tetangga China
sejak Dinasti Sung, dan yang dikuasai oleh ilmuwan Muslim di abad ke-4 H. Buku-
buku karya Ibn Sina dan Al Razi, serta karya murid-murid mereka juga masuk ke
kalangan China Muslim. Menyebarnya filsafat Islam di China mendorong para filosof
Muslim melakukan serangkaian studi komparatif antara filsafat dan kebudayaan
Islam di satu sisi, dan filsafat China kuno seperti Konfusius, Taoisme, dan
Buddhisme di sisi lain.
Perpaduan dua pemikiran ini kian mengemuka menjelang akhir Periode Ming.
Perkawinan antara filsafat Islam dan filsafat Konfusius yang dilakukan oleh para
ilmuwan dan filosof Muslim yang akrab dengan kedua mahzab ini pada akhirnya tak
bisa mencegah terjadinya efek timbal balik.
Kita tak pernah tahu pasti, hingga sejauh mana para filosof Muslim ini, yang
bersinggungan dengan filsafat Islam maupun mahzab Konfusius, menjalin kontak
dengan para pemuka Konfusius di China. Walaupun begitu, kita tahu pasti bahwa
pengetahuan tak mengenal batas wilayah; lebih-lebih bagi orang yang tinggal di
sebuah negara, khususnya yang tinggal di kota, interaksi berbagai pemikiran dan
kebudayaan adalah fenomena yang lazim. Untuk memahami kedalaman pengaruh
filsafat dan mistisisme Islam terhadap Neo-Konfusianisme, diperlukan investigasi
lebih lanjut, yang seharusnya dilakukan oleh para ilmuwan China.
Menurut sejumlah dokumen asli, dari waktu ke waktu, beberapa filosof dan teosof
dari Timur Tengah²terutama dari Khurasan dan Anak Benua India²biasa
mengunjungi China, baik untuk berwisata, belajar, maupun mengajar atas undangan
kalangan Muslim China. Misalnya, di abad ke-17 dan ke-18, lawatan bangsa Iran ke
China tercatat resmi. Di masa itu, Dinasti Savawi memerintah Iran, dan pemerintahan
Anak Benua di tangan para Timur India, yang sangat tergantung kepada Iran dalam
hal kebudayaan, sastra, dan filsafat. Jelas bahwa dalam sebagian besar buku-buku
Mulla Shadra, khususnya O yang dengan asal-asalan disebut dengan
judul Mulla Sadra, biasa diajarkan di sana, dan memang sangat terkenal.