Professional Documents
Culture Documents
tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen
serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas,
organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang
sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena
adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme.
Untuk selamat dari tantangan ini, beberapa mekanisme telah berevolusi yang menetralisir
patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh sistem enzim
yang melindungi terhadap infeksi virus. Mekanisme imun lainnya yang berevolusi pada
eukariota kuno dan tetap pada keturunan modern, seperti tanaman, ikan, reptil dan
serangga. Mekanisme tersebut termasuk peptida antimikrobial yang disebut defensin,
fagositosis, dan sistem komplemen.[1] Mekanisme yang lebih berpengalaman berkembang
secara relatif baru-baru ini, dengan adanya evolusi vertebrata. Imunitas vertebrata seperti
manusia berisi banyak jenis protein, sel, organ tubuh dan jaringan yang berinteraksi pada
jaringan yang rumit dan dinamin. Sebagai bagian dari respon imun yang lebih kompleks
ini, sistem vertebrata mengadaptasi untuk mengakui patogen khusus secara lebih efektif.
Proses adaptasi membuat memori imunologis dan membuat perlindungan yang lebih
efektif selama pertemuan di masa depan dengan patogen tersebut. Proses imunitas yang
diterima adalah basis dari vaksinasi.
Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya untuk melindungi tubuh juga berkurang,
membuat patogen, termasuk virus yang menyebabkan penyakit. Penyakit defisiensi imun
muncul ketika sistem imun kurang aktif daripada biasanya, menyebabkan munculnya
infeksi. Defisiensi imun merupakan penyebab dari penyakit genetik, seperti severe
combined immunodeficiency, atau diproduksi oleh farmaseutikal atau infeksi, seperti
sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus HIV. Penyakit
autoimun menyebabkan sistem imun yang hiperaktif menyerang jaringan normal seperti
jaringan tersebut merupakan benda asing. Penyakit autoimun yang umum termasuk
rheumatoid arthritis, diabetes melitus tipe 1 dan lupus erythematosus. Peran penting
imunologi tersebut pada kesehatan dan penyakit adalah bagian dari penelitian.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 15 Pranala luar
Komponen imunitas
Sistem imun bawaan Sistem imun adaptif
Respon tidak spesifik Respon spesifik patogen dan antigen
Eksposur menyebabkan respon maksimal Perlambatan waktu antara eksposur dan
segara respon maksimal
Komponen imunitas selular dan respon Komponen imunitas selular dan respon imun
imun humoral humoral
Tidak ada memori imunologikal Eksposur menyebabkan adanya memori
imunologikal
Ditemukan hampir pada semua bentuk
Hanya ditemukan pada Gnathostomata
kehidupan
Baik imunitas bawaan dan adaptif bergantung pada kemampuan sistem imun untuk
memusnahkan baik molekul sendiri dan non-sendiri. Pada imunologi, molekul sendiri
adalah komponen tubuh organisme yang dapat dimusnahkan dari bahan asing oleh sistem
imun.[4] Sebaliknya, molekul non-sendiri adalah yang dianggap sebagai molekul asing.
Satu kelas dari molekul non-sendiri disebut antigen (kependean dari generator antibodi)
dan dianggap sebagai bahan yang menempel pada reseptor imun spesifik dan
mendapatkan respon imun.[5]
Perisai kimia juga melindungi terhadap infeksi. Kulit dan sistem pernapasan
mengeluarkan peptida antimikroba seperti β-defensin.[7] Enzim seperti lisozim dan
fosfolipase A2 pada air liur, air mata dan air susu ibu juga antiseptik.[8][9] Sekresi Vagina
merupakan perisai kimia selama menarche, ketika mereka menjadi agak bersifat asal,
sementara semen memiliki pertahanan dan zinc untuk membunuh patogen.[10][11] Pada
perut, asam lambung dan protase menyediakan pertahanan kimia yang kuat melawan
patogen yang tertelan ketika dimakan.
Dalam saluran pencernaan dan sistem genitourinari, flora komensal merupakan perisai
biologi dengan bersaing dengan patogen untuk makanan dan tempat, dan pada beberapa
kasus, dengan mengubah kondisi lingkungan mereka, seperti pH atau besi yang ada.[12]
Hal ini mengurangi kemungkinan bahwa patogen akan menyebabkan penyakit. Namun,
sejak kebanyakan antibiotik mengincar bakteri dan tidak menyerang fungi, antibiotik oral
dapat menyebabkan "pertumbuhan lebih" fungi dan dapat menyebabkan kondisi seperti
kandiasis vagina.[13] Terdapat bukti baik bahwa perkenalan kembali flora probiotik,
seperti budaya asli lactobacillus yang ada pada yogurt, menolong mengembalikan
keseimbangan kesehatan populasi mikrobial pada infeksi usus anak-anak dan mendorong
data pendahuluan pada penelitian Gastroenteritis bakterial, radang usus, infeksi saluran
urin dan infeksi setelah operasi.[14][15][16]
[sunting] Imunitas bawaan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sistem imun bawaan
Mikroorganisme yang berhasil memasuki organisme akan bertemu dengan sel dan
mekanisme sistem imun bawaan. Respon bawaan biasanya dijalankan ketika mikroba
diidentifikasi oleh reseptor pengenalan susunan, yang mengenali komponen yang
diawetkan antara grup mikroorganisme.[17] Pertahanan imun bawaan tidak spesifik, berarti
bahwa respon sistem tersebut pada patogen berada pada cara yang umum.[5] Sistem ini
tidak berbuat lama-penghabisan imunitas terhadap patogen. Sistem imun bawaan adalah
sistem dominan pertahanan seseorang pada kebanyakan organisme.[2]
[sunting] Peradangan
Peradangan adalah salah satu dari respon pertama sistem imun terhadap infeksi.[18] Gejala
peradangan adalah kemerahan dan bengkak yang diakibatkan oleh peningkatan aliran
darah ke jaringan. Peradangan diproduksi oleh eikosanoid dan sitokin, yang dikeluarkan
oleh sel yang terinfeksi atau terluka. Eikosanoid termasuk prostaglandin yang
memproduksi demam dan pembesaran pembuluh darah berkaitan dengan peradangan,
dan leukotrin yang menarik sel darah putih (leukosit).[19][20] Sitokin umum termasuk
interleukin yang bertanggung jawab untuk komunikasi antar sel darah putih; Chemokin
yang mengangkat chemotaksis; dan interferon yang memiliki pengaruh anti virus, seperti
menjatuhkan protein sintesis pada sel manusia.[21] Faktar pertumbuhan dan faktor
sitotoksik juga dapat dirilis. Sitotokin tersebut dan kimia lainnya merekrut sel imun ke
tempat infeksi dan menyembuhkan jaringan yang mengalami kerusakan yang diikuti
dengan pemindahan patogen.[22]
Sistem komplemen adalah kaskade biokimia yang menyerang permukaan sel asing.
Sistem komplemen memiliki lebih dari 20 protein yang berbeda dan dinamai karena
kemampuannya untuk "melengkapi" pembunuhan patogen oleh antibodi. Komplemen
adalah komponen humoral utama dari respon imun bawaan.[23][24] Banyak spesies
memiliki sistem komplemen, termasuk spesies bukan mamalia seperti tumbuhan, ikan,
dan beberapa invertebrata.[25]
Pada manusia, respon ini diaktivasi dengan melilit komplemen ke antibodi yang dipasang
pada mikroba tersebut atau protein komplemen yang dililit pada karbohidrat di
permukaan mikroba. Pengenalan sinyal menjalankan respon membunuh dengan cepat.[26]
Kecepatan respon adalah hasil dari pengerasan yang muncul mengikuti aktivas proteolisis
dari molekul kompleman, yang juga termasuk protease. Setelah protein komplemen
melilit pada mikroba, mereka mengaktifkan aktivitas proteasenya, yang mengaktivasi
protease komplemen lainnya. Hal ini menyebabkan produksi kaskade katalisis yang
memperbesar sinyal oleh arus balik positif yang dikontrol.[27] Hasil kaskade adalah
produksi peptid yang menarik sel imun, meningkatkan vascular permeability, dan
opsonin permukaan patogen, menandai kehancurannya. This Pemasukan komplemen juga
dapat membunuh sel secara langsung dengan menyerang membran plasma mereka.[23]
Gambar darah manusia dari mikroskop elektron. Dapat terlihat sel darah merah, dan juga
terlihat sel darah putih termasuk limfosit, monosit, neutrofil dan banyak platelet kecil
lainnya.
Leukosit (sel darah putih) bergerak sebagai organisme selular bebas dan merupakan
"lengan" kedua sistem imun bawaan.[5] Leukosit bawaan termasuk fagosit (makrofag,
neutrofil, dan sel dendritik), mastosit, eosinofil, basofil dan sel pembunuh alami. Sel
tersebut mengidentifikasikan dan membunuh patogen dengan menyerang patogen yang
lebih besar melalui kontak atau dengan menelan dan lalu membunuh mikroorganisme.[25]
Sel bawaan juga merupakan mediator penting pada kativasi sistem imun adaptif.[3]
Fagositosis adalah fitur imunitas bawaan penting yang dilakukan oleh sel yang disebut
fagosit. Fagosit menelan, atau memakan patogen atau partikel. Fagosit biasanya
berpatroli mencari patogen, tetapi dapat dipanggil ke lokasi spesifik oleh sitokin.[5] Ketika
patogen ditelan oleh fagosit, patogen terperangkap di vesikel intraselular yang disebut
fagosom, yang sesudah itu menyatu dengan vesikel lainnya yang disebut lisosom untuk
membentuk fagolisosom. Patogen dibunuh oleh aktivitas enzim pencernaan atau
respiratory burst yang mengeluarkan radikal bebas ke fagolisosom.[28][29] Fagositosis
berevolusi sebagai sebuah titik pertengahan penerima nutrisi, tetapi peran ini diperluas di
fagosit untuk memasukan menelan patogen sebagai mekanisme pertahanan.[30] Fagositosis
mungkin mewakili bentuk tertua pertahanan, karena fagosit telah diidentifikasikan ada
pada vertebrata dan invertebrata.[31]
Neutrofil dan makrofaga adalah fagosit yang berkeliling di tubuh untuk mengejar dan
menyerang patogen.[32] Neutrofil dapat ditemukan di sistem kardiovaskular dan
merupakan tipe fagosit yang paling berlebih, normalnya sebanyak 50% sampai 60%
jumlah peredaran leukosit.[33] Selama fase akut radang, terutama sebagai akibat dari
infeksi bakteri, neutrofil bermigrasi ke tempat radang pada proses yang disebut
chemotaksis, dan biasanya sel pertama yang tiba pada saat infeksi. Makrofaga adalah sel
serba guna yang terletak pada jaringan dan memproduksi susunan luas bahan kimia
termasuk enzim, protein komplemen, dan faktor pengaturan seperti interleukin 1.[34]
Makrofaga juga beraksi sebagai pemakan, membersihkan tubuh dari sel mati dan debris
lainnya, dan sebagai sel penghadir antigen yang mengaktivasi sistem imun adaptif.[3]
Sel dendritik adalah fagosit pada jaringan yang berhubungan dengan lingkungan luar;
oleh karena itu, mereka terutama berada di kulit, hidung, paru-paru, perut, dan usus.[35]
Mereka dinamai untuk kemiripan mereka dengan dendrit, memiliki proyeksi mirip
dengan dendrit, tetapi sel dendritik tidak terhubung dengan sistem saraf. Sel dendritik
merupakan hubungan antara sistem imun adaptif dan bawaan, dengan kehadiran antigen
pada sel T, salah satu kunci tipe sel sistem imun adaptif.[35]
Mastosit terletak di jaringan konektif dan membran mukosa dan mengatur respon
peradangan.[36] Mereka berhubungan dengan alergi dan anafilaksis.[33] Basofil dan
eosinofil berhubungan dengan neutrofil. Mereka mengsekresikan perantara bahan kimia
yang ikut serta melindungi tubuh terhadap parasit dan memainkan peran pada reaksi
alergi, seperti asma.[37] Sel pembunuh alami adalah leukosit yang menyerang dan
menghancurkan sel tumor, atau sel yang telah terinfeksi oleh virus.[38]
Imunitas adaptif berevolusi pada vertebrata awal dan membuat adanya respon imun yang
lebih kuat dan juga memori imunologikal, yang tiap patogen diingat oleh tanda antigen.
[39]
Respon imun adaptif spesifik-antigen dan membutuhkan pengenalan antigen "bukan
sendiri" spesifik selama proses disebut presentasi antigen. Spesifisitas antigen
menyebabkan generasi respon yang disesuaikan pada patogen atau sel yang terinfeksi
patogen. Kemampuan tersebut ditegakan di tubuh oleh "sel memori". Patogen akan
menginfeksi tubuh lebih dari sekali, sehingga sel memori tersebut digunakan untuk
segera memusnahkannya.
[sunting] Limfosit
Sel sistem imun adaptif adalah tipe spesial leukosit yang disebut limfosit. Sel B dan sel T
adalah tipe utama limfosit yang berasal dari sel punca hematopoietik pada sumsum
tulang.[25] Sel B ikut serta pada imunitas humoral, sedangkan sel T ikut serta pada respon
imun selular.
Baik sel B dan sel T membawa molekul reseptor yang mengenali target spesifil. Sel T
mengenali target bukan diri sendiri, seperti patogen, hanya setelah antigen (fragmen kecil
patogen) telah diproses dan disampaikan pada kombinasi dengan reseptor "sendiri" yang
disebut molekul major histocompatibility complex (MHC). Terdapat dua subtipe utama
sel T: sel T pembunuh dan sel T pembantu. Sel T pemnbunuh hanya mengenali antigen
dirangkaikan pada molekul kelas I MHC, sementara sel T pembantu hanya mengenali
antigen dirangkaikan pada molekul kelas II MHC. Dua mekanisme penyampaian antigen
tersebut memunculkan peran berbeda dua tipe sel T. Yang ketiga, subtipe minor adalah
sel T γδ yang mengenali antigen yang tidak melekat pada reseptor MHC.[40]
Reseptor antigel sel B adalah molekul antibodi pada permukaan sel B dan mengenali
semua patogen tanpa perlu adanya proses antigen. Tiap keturunan sel B memiliki
antibodi yang berbeda, sehingga kumpulan resptor antigen sel B yang lengkap
melambangkan semua antibodi yang dapat diproduksi oleh tubuh.[25]
Sel T pembunuh secara langsung menyerang sel lainnya yang membawa antigen asing
atau abnormal di permukaan mereka.[41]
Sel T pembunuh adalah sub-grup dari sel T yang membunuh sel yang terinfeksi dengan
virus (dan patogen lainnya), atau merusak dan mematikan patogen.[42] Seperti sel B, tiap
tipe sel T mengenali antigen yang berbeda. Sel T pembunuh diaktivasi ketika reseptor sel
T mereka melekat pada antigen spesifik pada kompleks dengan reseptor kelas I MHC
dari sel lainnya. Pengenalan MHC ini:kompleks antigen dibantu oleh co-reseptor pada sel
T yang disebut CD8. Sel T lalu berkeliling pada tubuh untuk mencari sel yang reseptor I
MHC mengangkat antigen. Ketika sel T yang aktif menghubungi sel lainnya, sitotoksin
dikeluarkan yang membentuk pori pada membran plasma sel, membiarkan ion, air dan
toksin masuk. Hal ini menyebabkan sel mengalami apoptosis.[43] Sel T pembunuh penting
untuk mencegah replikasi virus. Aktivasi sel T dikontrol dan membutuhkan sinyal
aktivasi antigen/MHC yang sangat kuat, atau penambahan aktivasi sinyak yang
disediakan oleh sel T pembantu.[43]
Sel T pembantu mengatur baik respon imun bawaan dan adaptif dan membantu
menentukan tipe respon imun mana yang tubuh akan buat pada patogen khusus.[44][45] Sel
tersebut tidak memiliki aktivitas sitotoksik dan tidak membunuh sel yang terinfeksi atau
membersihkan patogen secara langsung, namun mereka mengontrol respon imun dengan
mengarahkan sel lain untuk melakukan tugas tersebut.
Sel T pembantu mengekspresikan reseptor sel T yang mengenali antigen melilit pada
molekul MHC kelas II. MHC:antigen kompleks juga dikenali oleh reseptor sel pembantu
CD4 yang merekrut molekul didalam sel T yang bertanggung jawab untuk aktivasi sel T.
Sel T pembantu memiliki hubungan lebih lemah dengan MHC:antigen kompleks
daripada pengamatan sel T pembunuh, berarti banyak reseptor (sekitar 200-300) pada sel
T pembantu yang harus dililit pada MHC:antigen untuk mengaktifkan sel pembantu,
sementara sel T pembunuh dapat diaktifkan dengan pertempuran molekul MHC:antigen.
Kativasi sel T pembantu juga membutuhkan durasi pertempuran lebih lama dengan sel
yang memiliki antigen.[46] Aktivasi sel T pembantu yang beristirahat menyebabkan
dikeluarkanya sitokin yang memperluas aktivitas banyak tipe sel. Sinyak sitokin yang
diproduksi oleh sel T pembantu memperbesar fungsi mikrobisidal makrofag dan aktivitas
sel T pembunuh.[5] Aktivasi sel T pembantu menyebabkan molekul diekspresikan pada
permukaan sel T, seperti CD154), yang menyediakan sinyal stimulasi ekstra yang
dibutuhkan untuk mengaktifkan sel B yang memproduksi antibodi.[47]
[sunting] Sel T γδ
Sel T γδ memiliki reseptor sel T alternatif yang opposed berlawanan dengan sel T CD4+
dan CD8+ (αβ) dan berbagi karakteristik dengan sel T pembantu, sel T sitotoksik dan sel
NK. Kondisi yang memproduksi respon dari sel T γδ tidak sepenuhnya dimengerti.
Seperti sel T 'diluar kebiasaan' menghasilkan reseptor sel T konstan, seperti CD1d yang
dibatasi sel T pembunuh alami, sel T γδ mengangkang perbatasan antara imunitas adaptif
dan bawaan.[48] Sel T γδ adalah komponen dari imunitas adaptif karena mereka menyusun
kembali gen reseptor sel T untuk memproduksi perbedaan reseptor dan dapat
mengembangkan memori fenotipe. Berbagai subset adalah bagian dari sistem imun
bawaan, karena reseptor sel T atau reseptor NK yang dilarang dapat digunakan sebagai
reseptor pengenalan latar belakang, contohnya, jumlah besar respon sel T Vγ9/Vδ2 dalam
waktu jam untuk molekul umum yang diproduksi oleh mikroba, dan melarang sel T Vδ1+
T pada epithelium akan merespon untuk menekal sel epithelial.[49]
Sebuah antibodi terbuat dari dua rantai berat dan dua rantai ringan. Variasi unik daerah
membuat antibodi mengenali antigen yang cocok.[41]
Sel B mengidentifikasi patogen ketika antibodi pada permukaan melekat pada antigen
asing.[50] Antigen/antibodi kompleks ini diambil oleh sel B dan diprosesi oleh proteolisis
ke peptid. Sel B lalu menampilkan peptid antigenik pada permukaan molekul MHC kelas
II. Kombinasi MHC dan antigen menarik sel T pembantu yang cocok, yang melepas
limfokin dan mengaktivkan sel B.[51] Sel B yang aktif lalu mulai membagi keturunannya
(sel plasma) mengeluarkan jutaan kopi limfa yang mengenali antigen itu. Antibodi
tersebut diedarkan pada plasma darah dan limfa, melilit pada patogen menunjukan
antigen dan menandai mereka untuk dihancurkan oleh aktivasi komplemen atau untuk
penghancuran oleh fagosit. Antibodi juga dapat menetralisir tantangan secara langsung
dengan melilit toksin bakteri atau dengan mengganggu dengan reseptor yang digunakan
virus dan bakteri untuk menginfeksi sel.[52]
Walaupun molekul klasik sistem imun adaptif (seperti antibodi dan reseptor sel T) ada
hanya pada vertebrata berahang, molekul berasal dari limfosit ditemukan pada vertebrata
tak berahang primitif, seperti lamprey dan hagfish. Binatang tersebut memproses susunan
besar molekul disebut reseptor limfosit variabel yang seperti reseptor antigen vertebrata
berahang, diproduksi dari jumlah kecil (satu atau dua) gen. Molekul tersebut dipercaya
melilit pada patogen dengan cara yang sama dengan antibodi dan dengan tingkat
spesifisitas yang sama.[53]
Imunitas pasif biasanya berjangka pendek, hilang antara beberapa hari sampai beberapa
bulan. Bayi yang baru lahir tidak memiliki eksposur pada mikroba dan rentan terhadap
infeksi. Beberapa lapisan perlindungan pasif disediakan oleh ibu. Selama kehamilan, tipe
antibodi yang disebut IgG, dikirim dari ibu ke bayi secara langsung menyebrangi
plasenta, sehingga bayi manusia memiliki antibodi tinggi bahkan saat lahir, dengan
spesifisitas jangkauan antigen yang sama dengan ibunya.[54] Air susu ibu juga
mengandung antibodi yang dikirim ke sistem pencernaan bayi dan melindungi bayi
terhadap infeksi bakteri sampai bayi dapat mengsintesiskan antibodinya sendiri.[55]
Imunitas pasif ini disebabkan oleh fetus yang tidak membuat memori sel atau antibodi
apapun, tetapi hanya meminjam. Pada ilmu kedokteran, imunitas pasif protektif juga
dapat dikirim dari satu individu ke individu lainnya melalui serum kaya-antibodi.[56]
Lama waktu respon imun dimulai dengan penemuan patogen dan menyebabkan formasi
memori imunologikal aktif.
Memori aktif jangka panjang didapat diikuti dengan infeksi oleh aktivasi sl B dan T.
Imunitas aktif dapat juga muncul buatan, yaitu melalui vaksinasi. Prinsip di belakang
vaksinasi (juga disebut imunisasi) adalah ntuk memperkenalkan antigen dari patogen
untuk menstimulasikan sistem imun dan mengembangkan imunitas spesifik melawan
patogen tanpa menyebabkan penyakit yang berhubungan dengan organisme tersebut.[5]
Hal ini menyebabkan induksi respon imun dengan sengaja berhasil karena
mengeksploitasi spesifisitas alami sistem imun. Dengan penyakit infeksi tetap menjadi
salah satu penyebab kematian pada populasi manusia, vaksinasi muncul sebagai
manipulasi sistem imun manusia yang paling efektif.[57][25]
Kebanyakan vaksin virus berasal dari selubung virus, sementara banyak vaksin bakteri
berasal dari komponen aselular dari mikroorganisme, termasuk komponen toksin yang
tidak melukai.[5] Sejak banyak antigen berasal dari vaksin aselular tidak dengan kuat
menyebabkan respon adaptif, kebanyakan vaksin bakter disediakan dengan penambahan
ajuvan yang mengaktifkan sel yang memiliki antigen pada sistem imun bawaan dan
memaksimalkan imunogensitas.[58]
Defisiensi imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem imun tidak aktif.
Kemampuan sistem imun untuk merespon patogen berkurang pada baik golongan muda
dan golongan tua, dengan respon imun mulai untuk berkurang pada usia sekitar 50 tahun
karena immunosenescence.[59][60] Di negara-negara berkembang, obesitas, penggunaan
alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari fungsi imun yang buruk.[60] Namun,
kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang menyebabkan defisiensi imun di
negara berkembang.[60] Diet kekurangan cukup protein berhubungan dengan gangguan
imunitas selular, aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibodi IgA dan
produksi sitokin. Defisiensi nutrisi seperti zinc, selenium, zat besi, tembaga, vitamin A,
C, E, dan B6, dan asam folik (vitamin B9) juga mengurangi respon imun.[60]
Defisiensi imun juga dapat didapat.[5] Chronic granulomatous disease, penyakit yang
menyebabkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan fagosit berkurang, adalah
contoh dari defisiensi imun dapatan. AIDS dan beberapa tipe kanker menyebabkan
defisiensi imun dapatan.[61][62]
[sunting] Autoimunitas
Respon imun terlalu aktif menyebabkan disfungsi imun yang disebut autoimunitas.
Sistem imun gagal untuk memusnahkan dengan tepat antara diri sendiri dan bukan diri
sendiri, dan menyerang bagian dari tubuh. Dibawah keadaan sekitar yang normal, banyak
sel T dan antibodi bereaksi dengan peptid sendiri.[63] Satu fungsi sel (terletak di thymus
dan sumsum tulang) adalah untuk memunculkan limfosit muda dengan antigen sendiri
yang diproduksi pada tubuh dan untuk membunuh sel tersebut yang dianggap antigen
sendiri, mencegah autoimunitas.[50]
[sunting] Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah respon imun yang berlebihan yang dapat merusak jaringan tubuh
sendiri. Mereka terbagi menjadi empat kelas (tipe I – IV) berdasarkan mekanisme yang
ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif. Tipe I hipersensitivitas sebagai reaksi
segera atau anafilaksis sering berhubungan dengan alergi. Gejala dapat bervariasi dari
ketidaknyamanan sampai kematian. Hipersensitivitas tipe I ditengahi oleh IgE yang
dikeluarkan dari mastosit dan basofil.[64] Hipersensitivitas tipe II muncul ketika antibodi
melilit pada antigen sel pasien, menandai mereka untuk penghancuran. Hal ini juga
disebut hipersensitivitas sitotoksik, dan ditengahi oleh antibodi IgG dan IgM.[64]
Kompleks imun (kesatuan antigen, protein komplemen dan antibodi IgG dan IgM) ada
pada berbagai jaringan yang menjalankan reaksi hipersensitivitas tipe III.[64]
Hipersensitivitas tipe IV (juga diketahui sebagai selular) biasanya membutuhkan waktu
antara dua dan tiga hari untuk berkembang. Reaksi tipe IV ikut serta dalam berbagai
autoimun dan penyakit infeksi, tetapi juga dalam ikut serta dalam contact dermatitis.
Reaksi tersebut ditengahi oleh sel T, monosit dan makrofaga.[64]
Reseptor pengenalan susunan adalah protein yang digunakan oleh hampir semua
organisme untuk mengidentifikasi molekul yang berhubungan dengan patrogen
mikrobial. Peptid antimikrobial yang disebut defensin adalah komponen evolusioner
sistem imun bawaan yang ditemukan pada semua jenis binatang dan tumbuan, dan
menampilkan bentuk utama imunitas sistemik invertebrata.[1] Sistem komplemen dan sel
fagositik juga dimanfaatkan oleh hampir semua bentuk kehidupan invertebrata.
Ribonuklease dan jalan gangguan RNA digunakan pada semua eukariot, dan diketahui
memainkan peran pada respon imun terhadap virus dan material genetika asing lainnya.
[66]
Tidak seperti binatang, tanaman memiliki sedikit sel fagositik, dan kebanyakan respon
imun tumbuhan melibatkan sinyak sistemik bahan kimia yang dikirim melalui tanaman.
[67]
Ketika bagian dari tumbuhan terinfeksi, tumbuhan memproduksi respon hipersensitif,
untuk sel pada tempat infeksi mengalami apoptosis cepat untuk mencegah penyebaran
penyakit terhadap bagian lain tumbuhan. Perlawanan sistemik dapatan adalah tipe respon
pertahanan yang digunakan oleh tumbuhan yang mengubah seluruh tumbuhan melawan
pada penyebab infeksi.[67] Mekanisme menghilangkan RNA sangat penting pada sistem
respon karena mereka dapat menghalangi replikasi virus.[68]
[sunting] Imunologi tumor
Peran penting imunitas lainnya adalah untuk menemukan dan menghancurkan tumor. Sel
tumor menunjukan antigen yang tidak ditemukan pada sel normal. Untuk sistem imun,
antigen tersebut muncul sebagai antigen asing dan kehadiran mereka menyebabkan sel
imun menyerang sel tumor. Antigen yang ditunjukan oleh tumor memiliki beberapa
sumber;[70] beberapa berasal dari virus onkogenik seperti papillomavirus, yang
menyebabkan kanker leher rahim,[71] sementara lainnya adalah protein organisme sendiri
yang muncul pada tingkat rendah pada sel normal tetapi mencapai tingkat tinggi pada sel
tumor. Salah satu contoh adalah enzim yang disebut tirosinase yang ketika ditunjukan
pada tingkat tinggi, merubah beberapa sel kulit (seperti melanosit) menjadi tumor yang
disebut melanoma.[72][73] Kemungkinan sumber ketiga antigen tumor adalah protein yang
secara normal penting untuk mengatur pertumbuhan dan proses bertahan hidup sel, yang
umumnya bermutasi menjadi kanker membujuk molekul sehingga sel termodifikasi
sehingga meningkatkan keganasan sel tumor. Sel yang termodifikasi sehingga
meningkatkan keganasan sel tumor disebut onkogen.[70][74][75]
Respon utama sistem imun terhadap tumor adalah untuk menghancurkan sel abnormal
menggunakan sel T pembunuh, kadang-kadang dengan bantuan sel T pembantu.[73][76]
Antigen tumor ada pada molekul MHC kelas I pada cara yang mirip dengan antigen
virus. Hal ini menyebabkan sel T pembunuh mengenali sel tumor sebagai sel abnormal.
[77]
Sel NK juga membunuh sel tumor dengan cara yang mirip, terutama jika sel tumor
memiliki molekul MHC kelas I lebih sedikit pada permukaan mereka daripada keadaan
normal; hal ini merupakan fenomena umum dengan tumor.[78] Terkadang antibodi
dihasilkan melawan sel tumor yang menyebabkan kehancuran mereka oleh sistem
komplemen.[74]
Beberapa tumor menghindari sistem imun dan terus berkembang sampai menjadi kanker.
[79]
Sel tumor sering memiliki jumlah molekul MHC kelas I yang berkurang pada
permukaan mereka, sehingga dapat menghindari deteksi oleh sel T pembunuh.[77]
Beberapa sel tumor juga mengeluarkan produk yang mencegah respon imun; contohnya
dengan mengsekresikan sitokin TGF-β, yang menekan aktivitas makrofaga dan limfosit.
[80]
Toleransi imunologikal dapat berkembang terhadap antigen tumor, sehingga sistem
imun tidak lagi menyerang sel tumor.[79]
Makrofaga dapat meningkatkan perkembangan tumor [81] ketika sel tumor mengirim
sitokin yang menarik makrofaga yang menyebabkan dihasilkannya sitokin dan faktor
pertumbuhan yang memelihara perkembangan tumor. Kombinasi hipoksia pada tumor
dan sitokin diproduksi oleh makrofaga menyebabkan sel tumor mengurangi produksi
protein yang menghalangi metastasis dan selanjutnya membantu penyebaran sel kanker.
Sistem imun bertambah dengan tidur dan beristirahat,[89] dan diganggu oleh kondisi stress.
[90]
Diet dapat mempengaruhi sistem imun, contohnya buah segar, sayur dan makanan yang
kaya akan asam lemak dapat membantu perkembangan sistem imun yang sehat.[91]
Demikian dengan perkembangan prenatal dapat menyebabkan gangguan panjang
imunitas.[92] Pada pengobatan tradisional, beberapa obat-obatan tradisional dipercaya
dapat menstimulasi imunitas, seperti ekinasea, akar manis, ginseng, astragalus, saga,
bawang putih, sangitan, jamur shiitake dan lingzhi, dan hyssop, dan juga madu.
Penelitian telah menunjukan bahwa obat-obatan tradisional dapat menstimulasi sistem
imun,[93] walaupun cara aksi mereka kompleks dan sulit untuk dikarakterisasikan.
Respon imun dapat dimanipulasi untuk menekan respon yang disebabkan dari
autoimunitas, alergi dan penolakan transplantasi, dan untuk menstimulasi respon protektif
terhadap patogen yang sebagian besar menghindari sistem imun. Obat imunosupresif
digunakan untuk mengontrol kekacauan autoimun atau radang ketika terlalu banyak
kerusakan jaringan yang muncul, dan untuk mencegah penolakan transplantasi setelah
transplantasi organ.[25][94]
Obat yang lebih besar (>500 Da) dapat menyebabkan netralisir respon imun, terutama
jika obat digunakan berulang-ulang atau pada dosis yang lebih besar. Batasan efektifitas
obat berdasarkan dari peptid dan protein yang lebih besar (yang lebih besar daripada
6000 Da). Pada beberapa kasus, obat tersebut tidak imunogenik, tetapi dapat dilakukan
dengan campuran imunogenik, seperti pada kasus taksol. Metode komputerisasi telah
dikembangkan untuk memprediksi imunogenisitas peptid dan protein yang berguna untuk
menentukan antibodi pengobatan, menaksir kejahatan mutasi pada partikel virus, dan
validasi perawatan obat berdasarkan peptid. Teknik awal menyandarkan pada observasi
bahwa hidrofil asam amino dilambangkan pada daerah epitop daripada hidrofob asam
amino;[97] namun, banyak perkembangan terkini bersandar pada teknik pembelajaran
mesin menggunakan basis data epitop yang diketahui ada, biasanya pada protein yang
sudah diteliti dengan baik sebagai kumpulan percobaan.[98] Basis data yang dapat diakses
di depan umum telah didirikan untuk mengkatalogkan epitop dari patogen yang diketahui
dapat dikenali oleh sel B.[99] Penelitian berdasarkan bioinformatika terhadal
imunogenisitas merujuk pada sebutan imunoinformatika.[100]
[sunting] Manipulasi oleh patogen
Keberhasilan patogen bergantung pada kemampuannya untuk menghindar dari respon
imun. Patogen telah mengembangkan beberapa metode yang menyebabkan mereka dapat
menginfeksi sementara patogen menghindari kehancuran akibat sistem imun.[101] Bakteri
sering menembus perisai fisik dengan mengeluarkan enzim yang mendalami isi perisai,
contohnya dengan menggunakan sistem tipe II sekresi.[102] Sebagai kemungkinan, patogen
dapat menggunakan sistem tipe III sekresi. Mereka dapat memasukan tuba palsu pada sel,
yang menyediakan saluran langsung untuk protein agar dapat bergerak dari patogen ke
pemilik tubuh; protein yang dikirim melalui tuba sering digunakan untuk mematikan
pertahanan.[103]
Strategi menghindari digunakan oleh beberapa patogen untuk mengelakan sistem imun
bawaan adalah replikasi intraselular (juga disebut patogenesis intraselular). Disini,
patogen mengeluarkan mayoritas lingkaran hidupnya kedalam sel yang dilindungi dari
kontak langsung dengan sel imun, antibodi dan komplemen. Beberapa contoh patogen
intraselular termasuk virus, racun makanan, bakteri Salmonella dan parasit eukariot yang
menyebabkan malaria (Plasmodium falciparum) dan leismaniasis (Leishmania spp.).
Bakteri lain, seperti Mycobacterium tuberculosis, hidup didalam kapsul protektif yang
mencegah lisis oleh komplemen.[104] Banyak patogen mengeluarkan senyawa yang
mengurangi respon imun atau mengarahkan respon imun ke arah yang salah.[101] Beberapa
bakteri membentuk biofilm untuk melindungi diri mereka dari sel dan protein sistem
imun. Biofilm ada pada banyak infeksi yang berhasil, seperti Pseudomonas aeruginosa
kronik dan Burkholderia cenocepacia karakteristik infeksi sistik fibrosis.[105] Bakteri lain
menghasilkan protein permukaan yang melilit pada antibodi, mengubah mereka menjadi
tidak efektif; contoh termasuk Streptococcus (protein G), Staphylococcus aureus (protein
A), dan Peptostreptococcus magnus (protein L).[106]
Mekanisme yang digunakan oleh virus untuk menghindari sistem imun adaptif lebih
menyulitkan. Kemunculan paling sederhana dengan cepat merubah epitop yang tidak
esensial (asam amino dan gula) pada permukaan penyerang, sementara membiarkan
epitop esensial disembunyikan. HIV tetap memutasikan protein pada sampul virus yang
esensial untuk masuk pada sel target. Perubahan tersebut pada antigen dapat menjelaskan
kegagalan vaksin yang diarahkan pada protein tersebut.[107] Antigen tersembunyi dengan
molekul pemilik tubuh adalah strategi umum lainnya untuk menghindari deteksi oleh
sistem imun. Pada HIV, sampul yang menutupi virus dibentuk dari membran paling luar
sel; virus tersembunyi membuat sistem imun kesulitan untuk mengidentifikasikan mereka
sebagai benda asing.[108]
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi imunitas. Imunologi berasal
dari ilmu kedokteran dan penelitian awal akibat dari imunitas sampai penyakit. Sebutan
imunitas yang pertama kali diketahui adalah selama wabah Athena tahun 430 SM.
Thucydides mencatat bahwa orang yang sembuh dari penyakit sebelumnya dapat
mengobati penyakit tanpa terkena penyakit sekali lagi.[109] Observasi imunitas nantinya
diteliti oleh Louis Pasteur pada perkembangan vaksinasi dan teori penyakit kuman.[110]
Teori Pasteur merupakan perlawanan dari teori penyakit saat itu, seperti teori penyakit
miasma. Robert Koch membuktikan teori ini pada tahun 1891, untuk itu ia diberikan
hadiah nobel pada tahun 1905. Ia membuktikan bahwa mikroorganisme merupakan
penyebab dari penyakit infeksi.[111] Virus dikonfirmasi sebagai patogen manusia pada
tahun 1901 dengan penemuan virus demam kuning oleh Walter Reed.[112]
Imunologi membuat perkembangan hebat pada akhir abad ke-19 melalui perkembangan
cepat pada penelitian imunitas humoral dan imunitas selular.[113] Paul Ehrlich
mengusulkan teori rantai-sisi yang menjelaskan spesifisitas reaksi antigen-antibodi.
Kontribusinya pada pengertian imunitas humoral diakui dengan penghargaan hadiah
nobel pada tahun 1908, yang bersamaan dengan penghargaan untuk pendiri imunologi
selular, Elie Metchnikoff.[114]
Perbedaan antara imunitas non spesifik dan spesifik adalah imunitas non spesifik
berespons dengan cara yang sama pada paparan berikutnya dengan mikroba, sedangkan
imunitas spesifik akan berespons lebih efisien karena adanya memori imunologik.
Reaksi Hipersensitivitas
• Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas.
• Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe,
yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang
bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe
IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu
tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.
• Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk
mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan
sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi
suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.
REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I
• Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100
tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok.
Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu
kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya,
yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.
• Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi
reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu
reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE
spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan
alergen yang bersangkutan.
• Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen
hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator
peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi
anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk
bunga.
• Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran
IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras
atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat
bab mengenai komplemen).
• Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I
melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic
factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators
yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor
kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang
terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel
mast yang berperan pada reaksi tipe I.
• Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat
dan fase lambat.
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat
biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat
bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa
refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi
resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif
lagi terhadap alergen.
Insidensi
Insidensi reaksi adversi obat belum diketahui dengan pasti. Penelitian di luar negeri
menunjukkan bahwa reaksi adversi obat yang terjadi pada pasien yang dirawat di rumah
sakit berkisar antara 6-15%. Angka insidensi di luar rumah sakit biasanya kecil, karena
kasus-kasus tersebut bila ringan tidak dilaporkan. Reaksi alergi obat merupakan 6-10%
dari reaksi adversi obat. Di masyarakat nilai ini berkisar 1-3% tetapi mungkin angka ini
lebih kecil lagi, mengingat idiosinkrasi dan intoleransi obat sering dilaporkan sebagai
reaksi alergi obat.
1. Intoleransi yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh efek farmakologis yang
meninggi. Misalnya gejala tinitus pada pemakaian aspirin dosis kecil.
2. Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak berhubungan dengan efek
farmakologis dan tidak juga disebabkan reaksi imunologis, misalnya primakuin
yang menyebabkan anemia hemolitik.
3. Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat tejadi pada pasien tertentu. Gejala yang
ditimbulkan adalah melalui mekanisme imunologis. Jadi reaksi alergi obat
merupakan sebagian dari reaksi adversi.
4. Pseudoalergi (reaksi anafilaktoid) yaitu tejadinya keadaan yang menyerupai reaksi
tipe I tanpa melalui ikatan antigen dengan IgE (lgE independenf). Beberapa obat
seperti opiat, vankomisin, polimiksin B. D tubokurarin dan zat kontras
(pemeriksaan radiologis) dapat menyebabkan sel mast melepaskan mediator
(seperti tipe I). Proses di atas tanpa melalui sensitisasi terlebih dahulu (non-
imunologis).
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau
menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (Tipe
I s/d IV). Untuk memudahkan pengertian patogenesis dan pengobatannya, dalam makalah
im digunakan klasifikasi Gell dan Coombs.
Manifestasi klinis yang tejadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen
dengan IgE yang telah terbentuk yang menyebabkan kontraksi otot polos. meningkatnya
permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus.
Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah
pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial
membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis. Penyebab yang tersering
adalah penisilin.
Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi oleh karena terbentuknya IgM
/ IgG oleh paparan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki
reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat mengaktifkan komplemen melalui
reseptro komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia
hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat
juga merupakan reaksi alergi tipe ini.
Tipe III
Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini
mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan disini ialah IgM dan IgG. Kompleks
ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen.
Gejala tadi timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah
mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam waktu 1-5 hari.
Tipe lV
Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell
Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi.
Reaksi terjadi karena respons sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
Diagnosis
1. Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling penting
untuk diagnosis alergi obat, karena cara-cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit
dan hasilnya juga belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala
yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena penyakit dasarnya.
Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu
macam obat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah :
1. Catat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, dan juga obat
yang sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat.
2. Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi.
1. Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala.
Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala alergi
obat baru timbul 7-10 hari setelah pemakaian pertama.
4. Cara lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya. Alergi obat
sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling, berulang-ulang, serta
dosis tinggi secara parenteral.
5. Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu.
6. Diagnosis alergi obat sangat mungkin. bila gejala menghilang setelah obat
dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama.
7. Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan
terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.
2. Uji kulit
Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin,
insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih diragukan nilainya.
Hal ini karena beberapa hal, antara lain :
1. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh
obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya, hasilnya
kurang dapat dipertanggung jawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui hasil
metabolismenya serta obat-obat yang mempunyai berat molekul besar (insulin,
ACTH, serum serta vaksin yang mengandung protein telur).
2. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein,
tiamin), sehingga uji positif yang tejadi adalah semu (false positive).
3. Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian
besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten,
oleh sebab itu sukar untuk menentukan antigennya.
Uji kulit yang disebutkan di atas adalah uji kulit yang lazim dipakai untuk reaksi alergi
tipe I (anafilaksis). Uji kulit untuk tujuan lain seperti untuk melihat reaksi lambat belum
diketahui sebagai prosedur yang berguna, demikian pula peran uji tempel (patch test)
untuk menilai reaksi alergi tipe I. Uji tempel bermanfaat hanya untuk obat-obat yang
diberikan secara topikal (tipe IV).
3. Pemeriksaan laboratorium
Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat tipe I terutama ditunjang dengan
pemeriksaan uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas pada beberapa macam obat.
Dikenal pemeriksaan RAST (Radio Allergo Sorbent test) yaitu pemeriksaan untuk
menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen. Tetapi untuk obat, jenis
antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi
seperti pada pasien yang mungkin timbul bila dilakukan uji kulit atau bila tidak dapat
dilakukan uji kulit (karena seluruh kulit rusak, minum antihistamin dan kulit tidak sensitif
lagi).
Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada anemia hemolitik dapat
ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan trombositopenia dengan
pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.
Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III.
Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan pemeriksaan
laboratorium untuk reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya pun sering tidak
memuaskan. Untuk jelasnya tipe reaksi, manifestasi klinik, uji laboratorium dan
pemakaian obat masa depan dapat dilihat pada tabel 1.
Anemia hemolitik,
granulositopenia,
trombositopenia
Gell and Commbs Darah perifer lengkap Indikasi kontra
Demam, urtikaria, (DPL)
Tipe 2 arthralgia,
limfadenopati 2-21 hari
sesudah mulai terapi
Kadar komplemen
Gell and Coombs Eritema, blister (kulit Indikasi kontra
melepuh)
Tipe 3
Ruam makulo popular
(dapat bergabung)
Uji tempel
Gell and Coombs Lesi sasaran tertentu Agaknya Indikasi
kontra
Tipe 4 Lesi sasaran,
keterlibatan membran Mungkin uji tempel, uji Pemakaian hati-hati
Morbilliform mukosa, deskuamasi kulit intradermal (reaksi
kulit lambat)
Steven-Johnson/TEN
Indikasi kontra
DPL, enzim hati,
kreatinin, urinalisis
HSS/DRESS
Pengobatan
Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu
pasien memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi
bila tidak mungkin berikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil
kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang rumus
imunokimianya berlainan.
Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala yang
ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pengobatan kasus yang lebih berat
tergantung pada erupsi kulit yang tejadi dan derajat berat reaksi pada organ-organ lain.
Apapun penyebabnya pengobatannya lebih kurang sama.
Pada kelainan kulit yang berat seperti pada sindrom Steven Johnson, pasiennya harus
dirawat, karena selain harus mendapat kortikosteroid, yang lebih penting lagi adalah
pemasukan kalori dan cairan perlu dijaga. Perawatan kulit juga memerlukan waktu
berhari-hari sampai berminggu-minggu. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder
sehingga pasien perlu diberikan antibiotik.
Kelainan sistemik yang berat seperti anafilaksis, dibicarakan tersendiri pada bab
anafilaksis. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah
memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum,
kelainan darah, hati, nefritis interstisial, dan lain-Iain diperlukan kortikosteroid dosis
tinggi (60-100 mg prednison atau ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan selanjutnya
prednison tersebut diturunkan dosisnya secara bertahap selama satu sampai dua minggu.
Pencegahan
Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi alergi obat yaitu
memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Jangan hanya untuk menyenangkan
pasien atau kita sendiri. Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap 30
kematian karena penisilin, ternyata hanya 12 pasien yang mempunyai indikasi yang jelas.
Jika sudah tepat indikasinya. barulah ditanyakan secara teliti riwayat alergi obat di masa
lalu, terutama yang ada hubungannya dengan yang akan kita berikan. Sering pasien
menyebutkan alergi terhadap bermacam-macam obat yang sebenarnya kurang masuk
akal, tetapi untuk sementara hal ini harus kita terima saja. Selanjutnya kepada pasien
diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan. Masalah reaksi
silang di antara obat juga harus diperhatikan. Seperti penisilin dengan sefalosporin,
gentamisin dengan kanamisin atau streptomisin, sulfa dengan obat-obat golongan
sulfonilurea.
Pada pasien dengan riwayat alergi obat, atau dicurigai alergi obat sedangkan obat atau
tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau kalau ada
fasilitas dengan pemeriksaan laboratorium. Jika negatif, obat tadi boleh diberikan namun
tetap harus berhati-hati. Tetapi bila hasil uji positif dan obat memang harus diberikan,
dipertimbangkan cara pemberian obat secara desensitisasi. Sedangkan bagi obat-obat
yang uji kulit tidak bermakna dilakukan pemberian obat secara provokasi dan bila
reaksinya positif kembali kita melakukan prosedur desensitisasi (Gambar 1 ).
Baik prosedur uji provokasi maupun desensitisasi selalu mengandung risiko yang
kadang-kadang dapat menimbulkan kematian. Karena itu diperlukan beberapa syarat
untuk melakukannya.
Prinsip uji provokasi atau desensitisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang sangat
kecil, kemudian dinaikkan perlahan-Iahan sampai dosis terapeutik tercapai. Meskipun uji
provokasi menyerupai desensitisasi, tetapi sebenarnya pada uji provokasi tidak selalu
tejadi desensitisasi karena sensitisasinya sendiri belum bisa dibuktikan. Prosedur
desensitisasi hanya memberi pasien keadaan bebas sensitisasi sementara, karena bila
suatu hari diperlukan pemakaian obat yang sama, prosedur tersebut harus diulangi
kembali. Perlu ditambahkan bahwa kedua prosedur tadi hanya untuk mencegah terjadinya
reaksi anafilaktik.
Di bawah ini diberikan contoh uji provokasi dengan anestesi lokal (TabeI 2).
Tabel 2. Uji provokasi dengan anesujii lokal
No.
1. uji tusuk 1 : 100 (pengenceran)
Catatan :
-Urutan no: 1 dan 3 boleh dilewatkan bila riwayat penyakit tak jelas.
pikirkan kembali
Frekuensi alergi obat ternyata tidak banyak berbeda antara pasien yang atopi dan non
atopi, tetapi pasien yang mempunyai riwayat penyakit alergi tipe I (atopi) seperti asma
alergik, rinitis alergik, atau eksim, lebih besar 3 sampai 10 kali kemungkinannya untuk
mendapat reaksi anafilaksis.
Kalau mungkin obat sebaiknya diberikan secara oral, karena selain jarang menimbulkan
reaksi alergi, juga paling kecil menimbulkan sensitisasi. Tetapi bila pasien sudah jelas
mempunyai riwayat alergi obat, tentu obat tadi tidak boleh diberikan. Demikian pula
pasien yang pernah mendapat reaksi anafilaktik. Pemberian obat topikal seperti
antibiotik, anesujii lokal dan antihistamin paling besar kemungkinannya menimbulkan
sensitisasi, sehingga pemberian obat secara topikal harus dihindari.
Daftar Pustaka
1. Anderson JA. Allergic reactions to drugs and biological agents. JAMA 1992;
268.2845- 57.
2. De Swarte RD, Patterson R .Drug allergy. In: Patterson R, Grammer LC,
Greenberger PA. (editors). Allergic Diseases, Diagnosis and Management. 5th ed.
Philadelphia. JB Lippincott ;1997.317 -412.
3. De Swarte RD. Drug allergy, problem and strategies. J. Allergy Clin Immunol
1984 ; 74.209- 21.
4. Incaudo G, Schatz M, Patterson R, et al .Administration of local anesthetic to
patient with a history of prior adverse reaction. J. Allergy Clin Immunol 1978 ; 61
: 339- 45.
5. Mellon MH, Schatz M, Patterson R .Drug allergy. In. Lawlor GJ, Fischer T J,
Adelman DC, (editors). Manual of Allergy and Immunology. 3th ed. Boston:
Little Brown and Company; 1995. 262-89.
6. Adkinson NF, Jr. Drug allergy. In: Adkinson NF Jr, Yunginger JW, Busse WW,
Bochner BS, Holgate ST, Simons FER, editors. Middleton’s Allergy Principles
and Practice. 6th ed. Philadelphia. Mosby ; 2003.1679-94.
7. Jos