You are on page 1of 48

Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi

tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen
serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas,
organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang
sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena
adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme.

Untuk selamat dari tantangan ini, beberapa mekanisme telah berevolusi yang menetralisir
patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh sistem enzim
yang melindungi terhadap infeksi virus. Mekanisme imun lainnya yang berevolusi pada
eukariota kuno dan tetap pada keturunan modern, seperti tanaman, ikan, reptil dan
serangga. Mekanisme tersebut termasuk peptida antimikrobial yang disebut defensin,
fagositosis, dan sistem komplemen.[1] Mekanisme yang lebih berpengalaman berkembang
secara relatif baru-baru ini, dengan adanya evolusi vertebrata. Imunitas vertebrata seperti
manusia berisi banyak jenis protein, sel, organ tubuh dan jaringan yang berinteraksi pada
jaringan yang rumit dan dinamin. Sebagai bagian dari respon imun yang lebih kompleks
ini, sistem vertebrata mengadaptasi untuk mengakui patogen khusus secara lebih efektif.
Proses adaptasi membuat memori imunologis dan membuat perlindungan yang lebih
efektif selama pertemuan di masa depan dengan patogen tersebut. Proses imunitas yang
diterima adalah basis dari vaksinasi.

Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya untuk melindungi tubuh juga berkurang,
membuat patogen, termasuk virus yang menyebabkan penyakit. Penyakit defisiensi imun
muncul ketika sistem imun kurang aktif daripada biasanya, menyebabkan munculnya
infeksi. Defisiensi imun merupakan penyebab dari penyakit genetik, seperti severe
combined immunodeficiency, atau diproduksi oleh farmaseutikal atau infeksi, seperti
sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS) yang disebabkan oleh retrovirus HIV. Penyakit
autoimun menyebabkan sistem imun yang hiperaktif menyerang jaringan normal seperti
jaringan tersebut merupakan benda asing. Penyakit autoimun yang umum termasuk
rheumatoid arthritis, diabetes melitus tipe 1 dan lupus erythematosus. Peran penting
imunologi tersebut pada kesehatan dan penyakit adalah bagian dari penelitian.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Lapisan pelindung pada imunitas


• 2 Perisai permukaan
• 3 Imunitas bawaan
o 3.1 Pelindung humoral dan kimia
 3.1.1 Peradangan
 3.1.2 Sistem komplemen
o 3.2 Perisai selular sistem imun bawaan
• 4 Imunitas adaptif
o 4.1 Limfosit
 4.1.1 Sel T pembunuh
 4.1.2 Sel T pembantu
 4.1.3 Sel T γδ
 4.1.4 Antibodi dan limfosit B
 4.1.5 Imunitas adaptif alternatif
• 5 Memori imunologikal
o 5.1 Memori pasif
o 5.2 Memori aktif dan imunisasi
• 6 Gangguan pada imunitas
o 6.1 Defisiensi imun
o 6.2 Autoimunitas
o 6.3 Hipersensitivitas
• 7 Pertahanan dan mekanisme lainnya
• 8 Imunologi tumor
• 9 Regulasi fisiologis
• 10 Manipulasi pada kedokteran
• 11 Manipulasi oleh patogen
• 12 Sejarah imunologi
• 13 Lihat pula
• 14 Catatan kaki

• 15 Pranala luar

[sunting] Lapisan pelindung pada imunitas


Sistem kekebalan tubuh melindungi organisme dari infeksi dengan lapisan pelindung
kekhususan yang meningkat. Pelindung fisikal mencegah patogen seperti bakteri dan
virus memasuki tubuh. Jika patogen melewati pelindung tersebut, sistem imun bawaan
menyediakan perlindungan dengan segera, tetapi respon tidak-spesifik. Sistem imun
bawaan ditemukan pada semua jenis tumbuhan dan binatang.[2] Namun, jika patogen
berhasil melewati respon bawaan, vertebrata memasuki perlindungan lapisan ketiga, yaitu
sistem imun adaptif yang diaktivasi oleh respon bawaan. Disini, sistem imun
mengadaptasi respon tersebut selama infeksi untuk menambah penyadaran patogen
tersebut. Respon ini lalu ditahan setelah patogen dihabiskan pada bentuk memori
imunologikal dan menyebabkan sistem imun adaptif untuk memasang lebih cepat dan
serangan yang lebih kuat setiap patogen tersebut ditemukan.[3]

Komponen imunitas
Sistem imun bawaan Sistem imun adaptif
Respon tidak spesifik Respon spesifik patogen dan antigen
Eksposur menyebabkan respon maksimal Perlambatan waktu antara eksposur dan
segara respon maksimal
Komponen imunitas selular dan respon Komponen imunitas selular dan respon imun
imun humoral humoral
Tidak ada memori imunologikal Eksposur menyebabkan adanya memori
imunologikal
Ditemukan hampir pada semua bentuk
Hanya ditemukan pada Gnathostomata
kehidupan

Baik imunitas bawaan dan adaptif bergantung pada kemampuan sistem imun untuk
memusnahkan baik molekul sendiri dan non-sendiri. Pada imunologi, molekul sendiri
adalah komponen tubuh organisme yang dapat dimusnahkan dari bahan asing oleh sistem
imun.[4] Sebaliknya, molekul non-sendiri adalah yang dianggap sebagai molekul asing.
Satu kelas dari molekul non-sendiri disebut antigen (kependean dari generator antibodi)
dan dianggap sebagai bahan yang menempel pada reseptor imun spesifik dan
mendapatkan respon imun.[5]

[sunting] Perisai permukaan


Beberapa perisai melindungi organisme dari infeksi, termasuk perisai mekanikal, kimia
dan biologi. Kulit ari tanaman dari banyak daun, eksoskeleton serangga, kulit telur dan
membran bagian luar dari telur dan kulit adalah contoh perisai mekanikal yang
merupakan pertahanan awal terhadap infeksi.[5] Namun, karena organisme tidak dapat
sepenuhnya ditahan terhadap lingkungan mereka, sistem lainnya melindungi tubuh
seperti paru-paru, usus, dan sistem genitourinari. Pada paru-paru, batuk dan bersin secara
mekanis mengeluarkan patogen dan iritan lainnya dari sistem pernapasan. Pengeluaran
air mata dan urin juga secara mekanis mengeluarkan patogen, sementara ingus
dikeluarkan oleh saluran pernapasan dan sistem pencernaan untuk menangkap
mikroorganisme.[6]

Perisai kimia juga melindungi terhadap infeksi. Kulit dan sistem pernapasan
mengeluarkan peptida antimikroba seperti β-defensin.[7] Enzim seperti lisozim dan
fosfolipase A2 pada air liur, air mata dan air susu ibu juga antiseptik.[8][9] Sekresi Vagina
merupakan perisai kimia selama menarche, ketika mereka menjadi agak bersifat asal,
sementara semen memiliki pertahanan dan zinc untuk membunuh patogen.[10][11] Pada
perut, asam lambung dan protase menyediakan pertahanan kimia yang kuat melawan
patogen yang tertelan ketika dimakan.

Dalam saluran pencernaan dan sistem genitourinari, flora komensal merupakan perisai
biologi dengan bersaing dengan patogen untuk makanan dan tempat, dan pada beberapa
kasus, dengan mengubah kondisi lingkungan mereka, seperti pH atau besi yang ada.[12]
Hal ini mengurangi kemungkinan bahwa patogen akan menyebabkan penyakit. Namun,
sejak kebanyakan antibiotik mengincar bakteri dan tidak menyerang fungi, antibiotik oral
dapat menyebabkan "pertumbuhan lebih" fungi dan dapat menyebabkan kondisi seperti
kandiasis vagina.[13] Terdapat bukti baik bahwa perkenalan kembali flora probiotik,
seperti budaya asli lactobacillus yang ada pada yogurt, menolong mengembalikan
keseimbangan kesehatan populasi mikrobial pada infeksi usus anak-anak dan mendorong
data pendahuluan pada penelitian Gastroenteritis bakterial, radang usus, infeksi saluran
urin dan infeksi setelah operasi.[14][15][16]
[sunting] Imunitas bawaan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sistem imun bawaan

Mikroorganisme yang berhasil memasuki organisme akan bertemu dengan sel dan
mekanisme sistem imun bawaan. Respon bawaan biasanya dijalankan ketika mikroba
diidentifikasi oleh reseptor pengenalan susunan, yang mengenali komponen yang
diawetkan antara grup mikroorganisme.[17] Pertahanan imun bawaan tidak spesifik, berarti
bahwa respon sistem tersebut pada patogen berada pada cara yang umum.[5] Sistem ini
tidak berbuat lama-penghabisan imunitas terhadap patogen. Sistem imun bawaan adalah
sistem dominan pertahanan seseorang pada kebanyakan organisme.[2]

[sunting] Pelindung humoral dan kimia

[sunting] Peradangan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Radang

Peradangan adalah salah satu dari respon pertama sistem imun terhadap infeksi.[18] Gejala
peradangan adalah kemerahan dan bengkak yang diakibatkan oleh peningkatan aliran
darah ke jaringan. Peradangan diproduksi oleh eikosanoid dan sitokin, yang dikeluarkan
oleh sel yang terinfeksi atau terluka. Eikosanoid termasuk prostaglandin yang
memproduksi demam dan pembesaran pembuluh darah berkaitan dengan peradangan,
dan leukotrin yang menarik sel darah putih (leukosit).[19][20] Sitokin umum termasuk
interleukin yang bertanggung jawab untuk komunikasi antar sel darah putih; Chemokin
yang mengangkat chemotaksis; dan interferon yang memiliki pengaruh anti virus, seperti
menjatuhkan protein sintesis pada sel manusia.[21] Faktar pertumbuhan dan faktor
sitotoksik juga dapat dirilis. Sitotokin tersebut dan kimia lainnya merekrut sel imun ke
tempat infeksi dan menyembuhkan jaringan yang mengalami kerusakan yang diikuti
dengan pemindahan patogen.[22]

[sunting] Sistem komplemen

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sistem komplemen

Sistem komplemen adalah kaskade biokimia yang menyerang permukaan sel asing.
Sistem komplemen memiliki lebih dari 20 protein yang berbeda dan dinamai karena
kemampuannya untuk "melengkapi" pembunuhan patogen oleh antibodi. Komplemen
adalah komponen humoral utama dari respon imun bawaan.[23][24] Banyak spesies
memiliki sistem komplemen, termasuk spesies bukan mamalia seperti tumbuhan, ikan,
dan beberapa invertebrata.[25]

Pada manusia, respon ini diaktivasi dengan melilit komplemen ke antibodi yang dipasang
pada mikroba tersebut atau protein komplemen yang dililit pada karbohidrat di
permukaan mikroba. Pengenalan sinyal menjalankan respon membunuh dengan cepat.[26]
Kecepatan respon adalah hasil dari pengerasan yang muncul mengikuti aktivas proteolisis
dari molekul kompleman, yang juga termasuk protease. Setelah protein komplemen
melilit pada mikroba, mereka mengaktifkan aktivitas proteasenya, yang mengaktivasi
protease komplemen lainnya. Hal ini menyebabkan produksi kaskade katalisis yang
memperbesar sinyal oleh arus balik positif yang dikontrol.[27] Hasil kaskade adalah
produksi peptid yang menarik sel imun, meningkatkan vascular permeability, dan
opsonin permukaan patogen, menandai kehancurannya. This Pemasukan komplemen juga
dapat membunuh sel secara langsung dengan menyerang membran plasma mereka.[23]

[sunting] Perisai selular sistem imun bawaan

Gambar darah manusia dari mikroskop elektron. Dapat terlihat sel darah merah, dan juga
terlihat sel darah putih termasuk limfosit, monosit, neutrofil dan banyak platelet kecil
lainnya.

Leukosit (sel darah putih) bergerak sebagai organisme selular bebas dan merupakan
"lengan" kedua sistem imun bawaan.[5] Leukosit bawaan termasuk fagosit (makrofag,
neutrofil, dan sel dendritik), mastosit, eosinofil, basofil dan sel pembunuh alami. Sel
tersebut mengidentifikasikan dan membunuh patogen dengan menyerang patogen yang
lebih besar melalui kontak atau dengan menelan dan lalu membunuh mikroorganisme.[25]
Sel bawaan juga merupakan mediator penting pada kativasi sistem imun adaptif.[3]

Fagositosis adalah fitur imunitas bawaan penting yang dilakukan oleh sel yang disebut
fagosit. Fagosit menelan, atau memakan patogen atau partikel. Fagosit biasanya
berpatroli mencari patogen, tetapi dapat dipanggil ke lokasi spesifik oleh sitokin.[5] Ketika
patogen ditelan oleh fagosit, patogen terperangkap di vesikel intraselular yang disebut
fagosom, yang sesudah itu menyatu dengan vesikel lainnya yang disebut lisosom untuk
membentuk fagolisosom. Patogen dibunuh oleh aktivitas enzim pencernaan atau
respiratory burst yang mengeluarkan radikal bebas ke fagolisosom.[28][29] Fagositosis
berevolusi sebagai sebuah titik pertengahan penerima nutrisi, tetapi peran ini diperluas di
fagosit untuk memasukan menelan patogen sebagai mekanisme pertahanan.[30] Fagositosis
mungkin mewakili bentuk tertua pertahanan, karena fagosit telah diidentifikasikan ada
pada vertebrata dan invertebrata.[31]

Neutrofil dan makrofaga adalah fagosit yang berkeliling di tubuh untuk mengejar dan
menyerang patogen.[32] Neutrofil dapat ditemukan di sistem kardiovaskular dan
merupakan tipe fagosit yang paling berlebih, normalnya sebanyak 50% sampai 60%
jumlah peredaran leukosit.[33] Selama fase akut radang, terutama sebagai akibat dari
infeksi bakteri, neutrofil bermigrasi ke tempat radang pada proses yang disebut
chemotaksis, dan biasanya sel pertama yang tiba pada saat infeksi. Makrofaga adalah sel
serba guna yang terletak pada jaringan dan memproduksi susunan luas bahan kimia
termasuk enzim, protein komplemen, dan faktor pengaturan seperti interleukin 1.[34]
Makrofaga juga beraksi sebagai pemakan, membersihkan tubuh dari sel mati dan debris
lainnya, dan sebagai sel penghadir antigen yang mengaktivasi sistem imun adaptif.[3]

Sel dendritik adalah fagosit pada jaringan yang berhubungan dengan lingkungan luar;
oleh karena itu, mereka terutama berada di kulit, hidung, paru-paru, perut, dan usus.[35]
Mereka dinamai untuk kemiripan mereka dengan dendrit, memiliki proyeksi mirip
dengan dendrit, tetapi sel dendritik tidak terhubung dengan sistem saraf. Sel dendritik
merupakan hubungan antara sistem imun adaptif dan bawaan, dengan kehadiran antigen
pada sel T, salah satu kunci tipe sel sistem imun adaptif.[35]

Mastosit terletak di jaringan konektif dan membran mukosa dan mengatur respon
peradangan.[36] Mereka berhubungan dengan alergi dan anafilaksis.[33] Basofil dan
eosinofil berhubungan dengan neutrofil. Mereka mengsekresikan perantara bahan kimia
yang ikut serta melindungi tubuh terhadap parasit dan memainkan peran pada reaksi
alergi, seperti asma.[37] Sel pembunuh alami adalah leukosit yang menyerang dan
menghancurkan sel tumor, atau sel yang telah terinfeksi oleh virus.[38]

[sunting] Imunitas adaptif


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sistem imun adaptif

Imunitas adaptif berevolusi pada vertebrata awal dan membuat adanya respon imun yang
lebih kuat dan juga memori imunologikal, yang tiap patogen diingat oleh tanda antigen.
[39]
Respon imun adaptif spesifik-antigen dan membutuhkan pengenalan antigen "bukan
sendiri" spesifik selama proses disebut presentasi antigen. Spesifisitas antigen
menyebabkan generasi respon yang disesuaikan pada patogen atau sel yang terinfeksi
patogen. Kemampuan tersebut ditegakan di tubuh oleh "sel memori". Patogen akan
menginfeksi tubuh lebih dari sekali, sehingga sel memori tersebut digunakan untuk
segera memusnahkannya.

[sunting] Limfosit

Sel sistem imun adaptif adalah tipe spesial leukosit yang disebut limfosit. Sel B dan sel T
adalah tipe utama limfosit yang berasal dari sel punca hematopoietik pada sumsum
tulang.[25] Sel B ikut serta pada imunitas humoral, sedangkan sel T ikut serta pada respon
imun selular.

Hubungan sel T dengan Major histocompatibility complex kelas I atau Major


histocompatibility complex kelas II, dan antigen (merah)

Baik sel B dan sel T membawa molekul reseptor yang mengenali target spesifil. Sel T
mengenali target bukan diri sendiri, seperti patogen, hanya setelah antigen (fragmen kecil
patogen) telah diproses dan disampaikan pada kombinasi dengan reseptor "sendiri" yang
disebut molekul major histocompatibility complex (MHC). Terdapat dua subtipe utama
sel T: sel T pembunuh dan sel T pembantu. Sel T pemnbunuh hanya mengenali antigen
dirangkaikan pada molekul kelas I MHC, sementara sel T pembantu hanya mengenali
antigen dirangkaikan pada molekul kelas II MHC. Dua mekanisme penyampaian antigen
tersebut memunculkan peran berbeda dua tipe sel T. Yang ketiga, subtipe minor adalah
sel T γδ yang mengenali antigen yang tidak melekat pada reseptor MHC.[40]

Reseptor antigel sel B adalah molekul antibodi pada permukaan sel B dan mengenali
semua patogen tanpa perlu adanya proses antigen. Tiap keturunan sel B memiliki
antibodi yang berbeda, sehingga kumpulan resptor antigen sel B yang lengkap
melambangkan semua antibodi yang dapat diproduksi oleh tubuh.[25]

[sunting] Sel T pembunuh

Sel T pembunuh secara langsung menyerang sel lainnya yang membawa antigen asing
atau abnormal di permukaan mereka.[41]
Sel T pembunuh adalah sub-grup dari sel T yang membunuh sel yang terinfeksi dengan
virus (dan patogen lainnya), atau merusak dan mematikan patogen.[42] Seperti sel B, tiap
tipe sel T mengenali antigen yang berbeda. Sel T pembunuh diaktivasi ketika reseptor sel
T mereka melekat pada antigen spesifik pada kompleks dengan reseptor kelas I MHC
dari sel lainnya. Pengenalan MHC ini:kompleks antigen dibantu oleh co-reseptor pada sel
T yang disebut CD8. Sel T lalu berkeliling pada tubuh untuk mencari sel yang reseptor I
MHC mengangkat antigen. Ketika sel T yang aktif menghubungi sel lainnya, sitotoksin
dikeluarkan yang membentuk pori pada membran plasma sel, membiarkan ion, air dan
toksin masuk. Hal ini menyebabkan sel mengalami apoptosis.[43] Sel T pembunuh penting
untuk mencegah replikasi virus. Aktivasi sel T dikontrol dan membutuhkan sinyal
aktivasi antigen/MHC yang sangat kuat, atau penambahan aktivasi sinyak yang
disediakan oleh sel T pembantu.[43]

[sunting] Sel T pembantu

Sel T pembantu mengatur baik respon imun bawaan dan adaptif dan membantu
menentukan tipe respon imun mana yang tubuh akan buat pada patogen khusus.[44][45] Sel
tersebut tidak memiliki aktivitas sitotoksik dan tidak membunuh sel yang terinfeksi atau
membersihkan patogen secara langsung, namun mereka mengontrol respon imun dengan
mengarahkan sel lain untuk melakukan tugas tersebut.

Sel T pembantu mengekspresikan reseptor sel T yang mengenali antigen melilit pada
molekul MHC kelas II. MHC:antigen kompleks juga dikenali oleh reseptor sel pembantu
CD4 yang merekrut molekul didalam sel T yang bertanggung jawab untuk aktivasi sel T.
Sel T pembantu memiliki hubungan lebih lemah dengan MHC:antigen kompleks
daripada pengamatan sel T pembunuh, berarti banyak reseptor (sekitar 200-300) pada sel
T pembantu yang harus dililit pada MHC:antigen untuk mengaktifkan sel pembantu,
sementara sel T pembunuh dapat diaktifkan dengan pertempuran molekul MHC:antigen.
Kativasi sel T pembantu juga membutuhkan durasi pertempuran lebih lama dengan sel
yang memiliki antigen.[46] Aktivasi sel T pembantu yang beristirahat menyebabkan
dikeluarkanya sitokin yang memperluas aktivitas banyak tipe sel. Sinyak sitokin yang
diproduksi oleh sel T pembantu memperbesar fungsi mikrobisidal makrofag dan aktivitas
sel T pembunuh.[5] Aktivasi sel T pembantu menyebabkan molekul diekspresikan pada
permukaan sel T, seperti CD154), yang menyediakan sinyal stimulasi ekstra yang
dibutuhkan untuk mengaktifkan sel B yang memproduksi antibodi.[47]

[sunting] Sel T γδ

Sel T γδ memiliki reseptor sel T alternatif yang opposed berlawanan dengan sel T CD4+
dan CD8+ (αβ) dan berbagi karakteristik dengan sel T pembantu, sel T sitotoksik dan sel
NK. Kondisi yang memproduksi respon dari sel T γδ tidak sepenuhnya dimengerti.
Seperti sel T 'diluar kebiasaan' menghasilkan reseptor sel T konstan, seperti CD1d yang
dibatasi sel T pembunuh alami, sel T γδ mengangkang perbatasan antara imunitas adaptif
dan bawaan.[48] Sel T γδ adalah komponen dari imunitas adaptif karena mereka menyusun
kembali gen reseptor sel T untuk memproduksi perbedaan reseptor dan dapat
mengembangkan memori fenotipe. Berbagai subset adalah bagian dari sistem imun
bawaan, karena reseptor sel T atau reseptor NK yang dilarang dapat digunakan sebagai
reseptor pengenalan latar belakang, contohnya, jumlah besar respon sel T Vγ9/Vδ2 dalam
waktu jam untuk molekul umum yang diproduksi oleh mikroba, dan melarang sel T Vδ1+
T pada epithelium akan merespon untuk menekal sel epithelial.[49]

Sebuah antibodi terbuat dari dua rantai berat dan dua rantai ringan. Variasi unik daerah
membuat antibodi mengenali antigen yang cocok.[41]

[sunting] Antibodi dan limfosit B

Sel B mengidentifikasi patogen ketika antibodi pada permukaan melekat pada antigen
asing.[50] Antigen/antibodi kompleks ini diambil oleh sel B dan diprosesi oleh proteolisis
ke peptid. Sel B lalu menampilkan peptid antigenik pada permukaan molekul MHC kelas
II. Kombinasi MHC dan antigen menarik sel T pembantu yang cocok, yang melepas
limfokin dan mengaktivkan sel B.[51] Sel B yang aktif lalu mulai membagi keturunannya
(sel plasma) mengeluarkan jutaan kopi limfa yang mengenali antigen itu. Antibodi
tersebut diedarkan pada plasma darah dan limfa, melilit pada patogen menunjukan
antigen dan menandai mereka untuk dihancurkan oleh aktivasi komplemen atau untuk
penghancuran oleh fagosit. Antibodi juga dapat menetralisir tantangan secara langsung
dengan melilit toksin bakteri atau dengan mengganggu dengan reseptor yang digunakan
virus dan bakteri untuk menginfeksi sel.[52]

[sunting] Imunitas adaptif alternatif

Walaupun molekul klasik sistem imun adaptif (seperti antibodi dan reseptor sel T) ada
hanya pada vertebrata berahang, molekul berasal dari limfosit ditemukan pada vertebrata
tak berahang primitif, seperti lamprey dan hagfish. Binatang tersebut memproses susunan
besar molekul disebut reseptor limfosit variabel yang seperti reseptor antigen vertebrata
berahang, diproduksi dari jumlah kecil (satu atau dua) gen. Molekul tersebut dipercaya
melilit pada patogen dengan cara yang sama dengan antibodi dan dengan tingkat
spesifisitas yang sama.[53]

[sunting] Memori imunologikal


Ketika sel B dan sel T diaktivasi dan mulai untuk bereplikasi, beberapa dari keturunan
mereka akan menjadi memori sel yang hidup lama. Selama hidup binatang, memori sel
tersebut akan mengingat tiap patogen spesifik yang ditemui dan dapat melakukan respon
kuat jika patogen terdeteksi kembali. Hal ini adaptif karena muncul selama kehidupan
individu sebagai adaptasi infeksi dengan patogen tersebut dan mempersiapkan imunitas
untuk tantangan di masa depan. Memori imunologikal dapat berbentuk memori jangka
pendek pasif atau memori jangka panjang aktif.

[sunting] Memori pasif

Imunitas pasif biasanya berjangka pendek, hilang antara beberapa hari sampai beberapa
bulan. Bayi yang baru lahir tidak memiliki eksposur pada mikroba dan rentan terhadap
infeksi. Beberapa lapisan perlindungan pasif disediakan oleh ibu. Selama kehamilan, tipe
antibodi yang disebut IgG, dikirim dari ibu ke bayi secara langsung menyebrangi
plasenta, sehingga bayi manusia memiliki antibodi tinggi bahkan saat lahir, dengan
spesifisitas jangkauan antigen yang sama dengan ibunya.[54] Air susu ibu juga
mengandung antibodi yang dikirim ke sistem pencernaan bayi dan melindungi bayi
terhadap infeksi bakteri sampai bayi dapat mengsintesiskan antibodinya sendiri.[55]
Imunitas pasif ini disebabkan oleh fetus yang tidak membuat memori sel atau antibodi
apapun, tetapi hanya meminjam. Pada ilmu kedokteran, imunitas pasif protektif juga
dapat dikirim dari satu individu ke individu lainnya melalui serum kaya-antibodi.[56]

Lama waktu respon imun dimulai dengan penemuan patogen dan menyebabkan formasi
memori imunologikal aktif.

[sunting] Memori aktif dan imunisasi

Memori aktif jangka panjang didapat diikuti dengan infeksi oleh aktivasi sl B dan T.
Imunitas aktif dapat juga muncul buatan, yaitu melalui vaksinasi. Prinsip di belakang
vaksinasi (juga disebut imunisasi) adalah ntuk memperkenalkan antigen dari patogen
untuk menstimulasikan sistem imun dan mengembangkan imunitas spesifik melawan
patogen tanpa menyebabkan penyakit yang berhubungan dengan organisme tersebut.[5]
Hal ini menyebabkan induksi respon imun dengan sengaja berhasil karena
mengeksploitasi spesifisitas alami sistem imun. Dengan penyakit infeksi tetap menjadi
salah satu penyebab kematian pada populasi manusia, vaksinasi muncul sebagai
manipulasi sistem imun manusia yang paling efektif.[57][25]

Kebanyakan vaksin virus berasal dari selubung virus, sementara banyak vaksin bakteri
berasal dari komponen aselular dari mikroorganisme, termasuk komponen toksin yang
tidak melukai.[5] Sejak banyak antigen berasal dari vaksin aselular tidak dengan kuat
menyebabkan respon adaptif, kebanyakan vaksin bakter disediakan dengan penambahan
ajuvan yang mengaktifkan sel yang memiliki antigen pada sistem imun bawaan dan
memaksimalkan imunogensitas.[58]

[sunting] Gangguan pada imunitas


Sistem imun adalah struktur efektif yang menggabungkan spesifisitas dan adaptasi.
Kegagalan pertahanan dapat muncul, dan jatuh pada tiga kategori: defisiensi imun,
autoimunitas, dan hipersensitivitas.

[sunting] Defisiensi imun

Defisiensi imun muncul ketika satu atau lebih komponen sistem imun tidak aktif.
Kemampuan sistem imun untuk merespon patogen berkurang pada baik golongan muda
dan golongan tua, dengan respon imun mulai untuk berkurang pada usia sekitar 50 tahun
karena immunosenescence.[59][60] Di negara-negara berkembang, obesitas, penggunaan
alkohol dan narkoba adalah akibat paling umum dari fungsi imun yang buruk.[60] Namun,
kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang menyebabkan defisiensi imun di
negara berkembang.[60] Diet kekurangan cukup protein berhubungan dengan gangguan
imunitas selular, aktivitas komplemen, fungsi fagosit, konsentrasi antibodi IgA dan
produksi sitokin. Defisiensi nutrisi seperti zinc, selenium, zat besi, tembaga, vitamin A,
C, E, dan B6, dan asam folik (vitamin B9) juga mengurangi respon imun.[60]

Defisiensi imun juga dapat didapat.[5] Chronic granulomatous disease, penyakit yang
menyebabkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan fagosit berkurang, adalah
contoh dari defisiensi imun dapatan. AIDS dan beberapa tipe kanker menyebabkan
defisiensi imun dapatan.[61][62]

[sunting] Autoimunitas

Respon imun terlalu aktif menyebabkan disfungsi imun yang disebut autoimunitas.
Sistem imun gagal untuk memusnahkan dengan tepat antara diri sendiri dan bukan diri
sendiri, dan menyerang bagian dari tubuh. Dibawah keadaan sekitar yang normal, banyak
sel T dan antibodi bereaksi dengan peptid sendiri.[63] Satu fungsi sel (terletak di thymus
dan sumsum tulang) adalah untuk memunculkan limfosit muda dengan antigen sendiri
yang diproduksi pada tubuh dan untuk membunuh sel tersebut yang dianggap antigen
sendiri, mencegah autoimunitas.[50]
[sunting] Hipersensitivitas

Hipersensitivitas adalah respon imun yang berlebihan yang dapat merusak jaringan tubuh
sendiri. Mereka terbagi menjadi empat kelas (tipe I – IV) berdasarkan mekanisme yang
ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif. Tipe I hipersensitivitas sebagai reaksi
segera atau anafilaksis sering berhubungan dengan alergi. Gejala dapat bervariasi dari
ketidaknyamanan sampai kematian. Hipersensitivitas tipe I ditengahi oleh IgE yang
dikeluarkan dari mastosit dan basofil.[64] Hipersensitivitas tipe II muncul ketika antibodi
melilit pada antigen sel pasien, menandai mereka untuk penghancuran. Hal ini juga
disebut hipersensitivitas sitotoksik, dan ditengahi oleh antibodi IgG dan IgM.[64]
Kompleks imun (kesatuan antigen, protein komplemen dan antibodi IgG dan IgM) ada
pada berbagai jaringan yang menjalankan reaksi hipersensitivitas tipe III.[64]
Hipersensitivitas tipe IV (juga diketahui sebagai selular) biasanya membutuhkan waktu
antara dua dan tiga hari untuk berkembang. Reaksi tipe IV ikut serta dalam berbagai
autoimun dan penyakit infeksi, tetapi juga dalam ikut serta dalam contact dermatitis.
Reaksi tersebut ditengahi oleh sel T, monosit dan makrofaga.[64]

[sunting] Pertahanan dan mekanisme lainnya


Sistem imun bangun dengan vertebrata pertama, sementara invertebrata tidak
menghasilkan limfosit atau respon humoral yang berdasarkan antibodi.[1] Namun, banyak
spesies yang memanfaatkan mekanisme yang muncul sebagai tanda aspek imunitas
vertebrata tersebut. Imunitas muncul pada bentuk kehidupan yang paling sederhana,
dengan bakteri menggunakan mekanisme pertahanan unik yang disebut sistem modifikasi
restriksi untuk melindungi diri mereka dari patogen virus yang disebut bakteriofag.[65]

Reseptor pengenalan susunan adalah protein yang digunakan oleh hampir semua
organisme untuk mengidentifikasi molekul yang berhubungan dengan patrogen
mikrobial. Peptid antimikrobial yang disebut defensin adalah komponen evolusioner
sistem imun bawaan yang ditemukan pada semua jenis binatang dan tumbuan, dan
menampilkan bentuk utama imunitas sistemik invertebrata.[1] Sistem komplemen dan sel
fagositik juga dimanfaatkan oleh hampir semua bentuk kehidupan invertebrata.
Ribonuklease dan jalan gangguan RNA digunakan pada semua eukariot, dan diketahui
memainkan peran pada respon imun terhadap virus dan material genetika asing lainnya.
[66]

Tidak seperti binatang, tanaman memiliki sedikit sel fagositik, dan kebanyakan respon
imun tumbuhan melibatkan sinyak sistemik bahan kimia yang dikirim melalui tanaman.
[67]
Ketika bagian dari tumbuhan terinfeksi, tumbuhan memproduksi respon hipersensitif,
untuk sel pada tempat infeksi mengalami apoptosis cepat untuk mencegah penyebaran
penyakit terhadap bagian lain tumbuhan. Perlawanan sistemik dapatan adalah tipe respon
pertahanan yang digunakan oleh tumbuhan yang mengubah seluruh tumbuhan melawan
pada penyebab infeksi.[67] Mekanisme menghilangkan RNA sangat penting pada sistem
respon karena mereka dapat menghalangi replikasi virus.[68]
[sunting] Imunologi tumor

Makrofaga telah mengidentifikasikan sel kanker. Ketika melampaui batas menyatukan


dengan sel kanker, makrofaga (sel putih yang lebih kecil) akan menyuntkan toksin yang
akan membunuh sel tumor. Imunoterapi untuk perawatan kanker merupakan salah satu
hal yang diteliti oleh penelitian medis.[69]

Peran penting imunitas lainnya adalah untuk menemukan dan menghancurkan tumor. Sel
tumor menunjukan antigen yang tidak ditemukan pada sel normal. Untuk sistem imun,
antigen tersebut muncul sebagai antigen asing dan kehadiran mereka menyebabkan sel
imun menyerang sel tumor. Antigen yang ditunjukan oleh tumor memiliki beberapa
sumber;[70] beberapa berasal dari virus onkogenik seperti papillomavirus, yang
menyebabkan kanker leher rahim,[71] sementara lainnya adalah protein organisme sendiri
yang muncul pada tingkat rendah pada sel normal tetapi mencapai tingkat tinggi pada sel
tumor. Salah satu contoh adalah enzim yang disebut tirosinase yang ketika ditunjukan
pada tingkat tinggi, merubah beberapa sel kulit (seperti melanosit) menjadi tumor yang
disebut melanoma.[72][73] Kemungkinan sumber ketiga antigen tumor adalah protein yang
secara normal penting untuk mengatur pertumbuhan dan proses bertahan hidup sel, yang
umumnya bermutasi menjadi kanker membujuk molekul sehingga sel termodifikasi
sehingga meningkatkan keganasan sel tumor. Sel yang termodifikasi sehingga
meningkatkan keganasan sel tumor disebut onkogen.[70][74][75]

Respon utama sistem imun terhadap tumor adalah untuk menghancurkan sel abnormal
menggunakan sel T pembunuh, kadang-kadang dengan bantuan sel T pembantu.[73][76]
Antigen tumor ada pada molekul MHC kelas I pada cara yang mirip dengan antigen
virus. Hal ini menyebabkan sel T pembunuh mengenali sel tumor sebagai sel abnormal.
[77]
Sel NK juga membunuh sel tumor dengan cara yang mirip, terutama jika sel tumor
memiliki molekul MHC kelas I lebih sedikit pada permukaan mereka daripada keadaan
normal; hal ini merupakan fenomena umum dengan tumor.[78] Terkadang antibodi
dihasilkan melawan sel tumor yang menyebabkan kehancuran mereka oleh sistem
komplemen.[74]

Beberapa tumor menghindari sistem imun dan terus berkembang sampai menjadi kanker.
[79]
Sel tumor sering memiliki jumlah molekul MHC kelas I yang berkurang pada
permukaan mereka, sehingga dapat menghindari deteksi oleh sel T pembunuh.[77]
Beberapa sel tumor juga mengeluarkan produk yang mencegah respon imun; contohnya
dengan mengsekresikan sitokin TGF-β, yang menekan aktivitas makrofaga dan limfosit.
[80]
Toleransi imunologikal dapat berkembang terhadap antigen tumor, sehingga sistem
imun tidak lagi menyerang sel tumor.[79]

Makrofaga dapat meningkatkan perkembangan tumor [81] ketika sel tumor mengirim
sitokin yang menarik makrofaga yang menyebabkan dihasilkannya sitokin dan faktor
pertumbuhan yang memelihara perkembangan tumor. Kombinasi hipoksia pada tumor
dan sitokin diproduksi oleh makrofaga menyebabkan sel tumor mengurangi produksi
protein yang menghalangi metastasis dan selanjutnya membantu penyebaran sel kanker.

[sunting] Regulasi fisiologis


Hormon dapat mengatur sensitivitas sistem imun. Contohnya, hormon seks wanita
diketahui menstimulasi baik respon imun adaptif [82] dan respon imun bawaan.[83]
Beberapa penyakit autoimun seperti lupus erythematosus menyerang wanita secara
istimewa, dan serangan mereka sering bertepatan dengan pubertas. Androgen seperti
testosteron nampak menekan sistem imun.[84] Hormon lainnya muncul untuk mengatur
sistem imun, dan yang paling penting adalah prolaktin, hormon pertumbuhan dan vitamin
D.[85][86] Diduga bahwa kemunduran progresif pada tingkat hormon dengan umur
bertanggung jawab untuk melemahnya respon imun pada individual yang menua.[87]
Conversely, some hormones are regulated by the immune system, notably thyroid
hormone activity.[88]

Sistem imun bertambah dengan tidur dan beristirahat,[89] dan diganggu oleh kondisi stress.
[90]

Diet dapat mempengaruhi sistem imun, contohnya buah segar, sayur dan makanan yang
kaya akan asam lemak dapat membantu perkembangan sistem imun yang sehat.[91]
Demikian dengan perkembangan prenatal dapat menyebabkan gangguan panjang
imunitas.[92] Pada pengobatan tradisional, beberapa obat-obatan tradisional dipercaya
dapat menstimulasi imunitas, seperti ekinasea, akar manis, ginseng, astragalus, saga,
bawang putih, sangitan, jamur shiitake dan lingzhi, dan hyssop, dan juga madu.
Penelitian telah menunjukan bahwa obat-obatan tradisional dapat menstimulasi sistem
imun,[93] walaupun cara aksi mereka kompleks dan sulit untuk dikarakterisasikan.

[sunting] Manipulasi pada kedokteran


Obat imunosupresif deksametason

Respon imun dapat dimanipulasi untuk menekan respon yang disebabkan dari
autoimunitas, alergi dan penolakan transplantasi, dan untuk menstimulasi respon protektif
terhadap patogen yang sebagian besar menghindari sistem imun. Obat imunosupresif
digunakan untuk mengontrol kekacauan autoimun atau radang ketika terlalu banyak
kerusakan jaringan yang muncul, dan untuk mencegah penolakan transplantasi setelah
transplantasi organ.[25][94]

Obat anti radang sering digunakan untuk mengontrol pengaruh peradangan.


Glukokortikoid adalah obat anti radang yang paling kuat, namun, obat tersebut memiliki
banyak efek samping (seperti obesitas pusat, hiperglikemia, osteoporosis) dan
penggunaan obat tersebut harus dikontrol dengan baik.[95] Oleh sebab itu, dosis obat anti
radang yang lebih sedikit sering digunakan pada hubungan dengan sitotoksik atau obat
imunosupresif seperti metotreksat atau azatioprin. Obat sitotoksik mencegah respon imun
dengan membunuh sel yang terbagi seperti sel T yang sudah diaktivasi. Namun,
pembunuhan sel dilakukan sembarangan dan organ lain serta tipe sel terpengaruh, yang
dapat menyebabkan efek samping berupa toksin.[94] Obat imunosupresif seperti
siklosporin mencegah sel T dari merespon sinyal dengan menghalangi jalur transduksi
sinyal.[96]

Obat yang lebih besar (>500 Da) dapat menyebabkan netralisir respon imun, terutama
jika obat digunakan berulang-ulang atau pada dosis yang lebih besar. Batasan efektifitas
obat berdasarkan dari peptid dan protein yang lebih besar (yang lebih besar daripada
6000 Da). Pada beberapa kasus, obat tersebut tidak imunogenik, tetapi dapat dilakukan
dengan campuran imunogenik, seperti pada kasus taksol. Metode komputerisasi telah
dikembangkan untuk memprediksi imunogenisitas peptid dan protein yang berguna untuk
menentukan antibodi pengobatan, menaksir kejahatan mutasi pada partikel virus, dan
validasi perawatan obat berdasarkan peptid. Teknik awal menyandarkan pada observasi
bahwa hidrofil asam amino dilambangkan pada daerah epitop daripada hidrofob asam
amino;[97] namun, banyak perkembangan terkini bersandar pada teknik pembelajaran
mesin menggunakan basis data epitop yang diketahui ada, biasanya pada protein yang
sudah diteliti dengan baik sebagai kumpulan percobaan.[98] Basis data yang dapat diakses
di depan umum telah didirikan untuk mengkatalogkan epitop dari patogen yang diketahui
dapat dikenali oleh sel B.[99] Penelitian berdasarkan bioinformatika terhadal
imunogenisitas merujuk pada sebutan imunoinformatika.[100]
[sunting] Manipulasi oleh patogen
Keberhasilan patogen bergantung pada kemampuannya untuk menghindar dari respon
imun. Patogen telah mengembangkan beberapa metode yang menyebabkan mereka dapat
menginfeksi sementara patogen menghindari kehancuran akibat sistem imun.[101] Bakteri
sering menembus perisai fisik dengan mengeluarkan enzim yang mendalami isi perisai,
contohnya dengan menggunakan sistem tipe II sekresi.[102] Sebagai kemungkinan, patogen
dapat menggunakan sistem tipe III sekresi. Mereka dapat memasukan tuba palsu pada sel,
yang menyediakan saluran langsung untuk protein agar dapat bergerak dari patogen ke
pemilik tubuh; protein yang dikirim melalui tuba sering digunakan untuk mematikan
pertahanan.[103]

Strategi menghindari digunakan oleh beberapa patogen untuk mengelakan sistem imun
bawaan adalah replikasi intraselular (juga disebut patogenesis intraselular). Disini,
patogen mengeluarkan mayoritas lingkaran hidupnya kedalam sel yang dilindungi dari
kontak langsung dengan sel imun, antibodi dan komplemen. Beberapa contoh patogen
intraselular termasuk virus, racun makanan, bakteri Salmonella dan parasit eukariot yang
menyebabkan malaria (Plasmodium falciparum) dan leismaniasis (Leishmania spp.).
Bakteri lain, seperti Mycobacterium tuberculosis, hidup didalam kapsul protektif yang
mencegah lisis oleh komplemen.[104] Banyak patogen mengeluarkan senyawa yang
mengurangi respon imun atau mengarahkan respon imun ke arah yang salah.[101] Beberapa
bakteri membentuk biofilm untuk melindungi diri mereka dari sel dan protein sistem
imun. Biofilm ada pada banyak infeksi yang berhasil, seperti Pseudomonas aeruginosa
kronik dan Burkholderia cenocepacia karakteristik infeksi sistik fibrosis.[105] Bakteri lain
menghasilkan protein permukaan yang melilit pada antibodi, mengubah mereka menjadi
tidak efektif; contoh termasuk Streptococcus (protein G), Staphylococcus aureus (protein
A), dan Peptostreptococcus magnus (protein L).[106]

Mekanisme yang digunakan oleh virus untuk menghindari sistem imun adaptif lebih
menyulitkan. Kemunculan paling sederhana dengan cepat merubah epitop yang tidak
esensial (asam amino dan gula) pada permukaan penyerang, sementara membiarkan
epitop esensial disembunyikan. HIV tetap memutasikan protein pada sampul virus yang
esensial untuk masuk pada sel target. Perubahan tersebut pada antigen dapat menjelaskan
kegagalan vaksin yang diarahkan pada protein tersebut.[107] Antigen tersembunyi dengan
molekul pemilik tubuh adalah strategi umum lainnya untuk menghindari deteksi oleh
sistem imun. Pada HIV, sampul yang menutupi virus dibentuk dari membran paling luar
sel; virus tersembunyi membuat sistem imun kesulitan untuk mengidentifikasikan mereka
sebagai benda asing.[108]

[sunting] Sejarah imunologi


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah imunologi
Paul Ehrlich

Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi imunitas. Imunologi berasal
dari ilmu kedokteran dan penelitian awal akibat dari imunitas sampai penyakit. Sebutan
imunitas yang pertama kali diketahui adalah selama wabah Athena tahun 430 SM.
Thucydides mencatat bahwa orang yang sembuh dari penyakit sebelumnya dapat
mengobati penyakit tanpa terkena penyakit sekali lagi.[109] Observasi imunitas nantinya
diteliti oleh Louis Pasteur pada perkembangan vaksinasi dan teori penyakit kuman.[110]
Teori Pasteur merupakan perlawanan dari teori penyakit saat itu, seperti teori penyakit
miasma. Robert Koch membuktikan teori ini pada tahun 1891, untuk itu ia diberikan
hadiah nobel pada tahun 1905. Ia membuktikan bahwa mikroorganisme merupakan
penyebab dari penyakit infeksi.[111] Virus dikonfirmasi sebagai patogen manusia pada
tahun 1901 dengan penemuan virus demam kuning oleh Walter Reed.[112]

Imunologi membuat perkembangan hebat pada akhir abad ke-19 melalui perkembangan
cepat pada penelitian imunitas humoral dan imunitas selular.[113] Paul Ehrlich
mengusulkan teori rantai-sisi yang menjelaskan spesifisitas reaksi antigen-antibodi.
Kontribusinya pada pengertian imunitas humoral diakui dengan penghargaan hadiah
nobel pada tahun 1908, yang bersamaan dengan penghargaan untuk pendiri imunologi
selular, Elie Metchnikoff.[114]

[sunting] Lihat pula

Wikimedia Commons memiliki kategori mengenai Imunologi


• Epitop
• Hapten
• Imunostimulator
• Antibodi monoklonal
• Antibodi poliklonal
• Antigen

[sunting] Catatan kaki


1. ^ a b c Beck, Gregory, Gail S. Habicht (November 1996). "Immunity and the
Invertebrates" (PDF). Scientific American: 60–66 Diakses pada 1 Januari 2007.
2. ^ a b Litman G, Cannon J, Dishaw L (2005). "Reconstructing immune phylogeny:
new perspectives.". Nat Rev Immunol 5 (11): 866-79. PMID 16261174.
3. ^ a b c Mayer, Gene Immunology - Chapter One: Innate (non-specific) Immunity.
Microbiology and Immunology On-Line Textbook. USC School of Medicine.
Diakses pada 1 Januari 2007.
4. ^ Smith A.D. (Ed) Oxford dictionary of biochemistry and molecular biology.
(1997) Oxford University Press. ISBN 0-19-854768-4
5. ^ a b c d e f g h i Alberts, Bruce; Alexander Johnson, Julian Lewis, Martin Raff, Keith
Roberts, and Peter Walters (11 Desember 2010). Molecular Biology of the Cell;
Fourth Edition. New York and London: Garland Science. ISBN 0-8153-3218-1.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/bv.fcgi?
call=bv.View..ShowTOC&rid=mboc4.TOC&depth=2.
6. ^ Boyton R, Openshaw P. "Pulmonary defences to acute respiratory infection.".
Br Med Bull 61: 1–12. PMID 11997295.
7. ^ Agerberth B, Gudmundsson G. "Host antimicrobial defence peptides in human
disease.". Curr Top Microbiol Immunol 306: 67–90. PMID 16909918.
8. ^ Moreau J, Girgis D, Hume E, Dajcs J, Austin M, O'Callaghan R (2001).
"Phospholipase A(2) in rabbit tears: a host defense against Staphylococcus
aureus.". Invest Ophthalmol Vis Sci 42 (10): 2347–54. PMID 11527949.
9. ^ Hankiewicz J, Swierczek E (1974). "Lysozyme in human body fluids.". Clin
Chim Acta 57 (3): 205-9. PMID 4434640.
10. ^ Fair W, Couch J, Wehner N (1976). "Prostatic antibacterial factor. Identity and
significance.". Urology 7 (2): 169-77. PMID 54972.
11. ^ Yenugu S, Hamil K, Birse C, Ruben S, French F, Hall S (2003). "Antibacterial
properties of the sperm-binding proteins and peptides of human epididymis 2
(HE2) family; salt sensitivity, structural dependence and their interaction with
outer and cytoplasmic membranes of Escherichia coli.". Biochem J 372 (Pt 2):
473-83. PMID 12628001.
12. ^ Gorbach S (1990). "Lactic acid bacteria and human health". Ann Med 22 (1):
37–41. PMID 2109988.
13. ^ Hill L, Embil J (1986). "Vaginitis: current microbiologic and clinical
concepts.". CMAJ 134 (4): 321-31. PMID 3510698.
14. ^ Reid G, Bruce A (2003). "Urogenital infections in women: can probiotics
help?". Postgrad Med J 79 (934): 428-32.
15. ^ Salminen S, Gueimonde M, Isolauri E (2005). "Probiotics that modify disease
risk". J Nutr 135 (5): 1294–8. PMID 15867327.
16. ^ Reid G, Jass J, Sebulsky M, McCormick J (2003). "Potential uses of probiotics
in clinical practice". Clin Microbiol Rev 16 (4): 658-72.
17. ^ Medzhitov R (2007). "Recognition of microorganisms and activation of the
immune response". Nature 449 (7164): 819–26. DOI:10.1038/nature06246.
18. ^ Kawai T, Akira S (2006). "Innate immune recognition of viral infection". Nat
Immunol 7 (2): 131-7. PMID 16424890.
19. ^ Miller, SB (2006). "Prostaglandins in Health and Disease: An Overview".
Seminars in Arthritis and Rheumatism 36 (1): 37–49. PMID 16887467.
20. ^ Ogawa Y, Calhoun WJ. (2006). "The role of leukotrienes in airway
inflammation.". J Allergy Clin Immunol. 118 (4): 789–98. PMID 17030228.
21. ^ Le Y, Zhou Y, Iribarren P, Wang J (2004). "Chemokines and chemokine
receptors: their manifold roles in homeostasis and disease". Cell Mol Immunol 1
(2): 95–104. PMID 16212895.
22. ^ Martin P, Leibovich S (2005). "Inflammatory cells during wound repair: the
good, the bad and the ugly.". Trends Cell Biol 15 (11): 599–607. PMID
16202600.
23. ^ a b Rus H, Cudrici C, Niculescu F (2005). "The role of the complement system
in innate immunity.". Immunol Res 33 (2): 103-12. PMID 16234578.
24. ^ Mayer, Gene Immunology - Chapter Two: Complement. Microbiology and
Immunology On-Line Textbook. USC School of Medicine. Diakses pada 1 Januari
2007.
25. ^ a b c d e f Janeway CA, Jr. et al (2005). Immunobiology. (edisi ke-6th ed.).
Garland Science. ISBN 0-443-07310-4.
26. ^ Liszewski M, Farries T, Lublin D, Rooney I, Atkinson J. "Control of the
complement system.". Adv Immunol 61: 201-83. PMID 8834497.
27. ^ Sim R, Tsiftsoglou S (2004). "Proteases of the complement system.". Biochem
Soc Trans 32 (Pt 1): 21-7. PMID 14748705.
28. ^ Ryter A (1985). "Relationship between ultrastructure and specific functions of
macrophages.". Comp Immunol Microbiol Infect Dis 8 (2): 119-33. PMID
3910340.
29. ^ Langermans J, Hazenbos W, van Furth R (1994). "Antimicrobial functions of
mononuclear phagocytes". J Immunol Methods 174 (1–2): 185-94. PMID
8083520.
30. ^ May R, Machesky L (2001). "Phagocytosis and the actin cytoskeleton". J Cell
Sci 114 (Pt 6): 1061–77. PMID 11228151.
31. ^ Salzet M, Tasiemski A, Cooper E (2006). "Innate immunity in
lophotrochozoans: the annelids". Curr Pharm Des 12 (24): 3043–50. PMID
16918433.
32. ^ Zen K, Parkos C (2003). "Leukocyte-epithelial interactions". Curr Opin Cell
Biol 15 (5): 557-64. PMID 14519390.
33. ^ a b Stvrtinová, Viera; Ján Jakubovský and Ivan Hulín (11 Desember 1995).
Inflammation and Fever from Pathophysiology: Principles of Disease. Computing
Centre, Slovak Academy of Sciences: Academic Electronic Press.
http://web.archive.org/web/20010711220523/nic.savba.sk/logos/books/scientific/I
nffever.html. Diakses pada 2007-01-01.
34. ^ Bowers, William Immunology -Chapter Thirteen: Immunoregulation.
Microbiology and Immunology On-Line Textbook. USC School of Medicine.
Diakses pada 4 Januari 2007.
35. ^ a b Guermonprez P, Valladeau J, Zitvogel L, Théry C, Amigorena S. "Antigen
presentation and T cell stimulation by dendritic cells". Annu Rev Immunol 20:
621-67. PMID 11861614.
36. ^ Krishnaswamy G, Ajitawi O, Chi D. "The human mast cell: an overview.".
Methods Mol Biol 315: 13–34. PMID 16110146.
37. ^ Kariyawasam H, Robinson D (2006). "The eosinophil: the cell and its weapons,
the cytokines, its locations". Semin Respir Crit Care Med 27 (2): 117-27. PMID
16612762.
38. ^ Middleton D, Curran M, Maxwell L (2002). "Natural killer cells and their
receptors". Transpl Immunol 10 (2–3): 147-64. PMID 12216946.
39. ^ Pancer Z, Cooper M. "The evolution of adaptive immunity". Annu Rev
Immunol 24: 497–518. PMID 16551257.
40. ^ Holtmeier W, Kabelitz D. "gammadelta T cells link innate and adaptive
immune responses". Chem Immunol Allergy 86: 151-83. PMID 15976493.
41. ^ a b Understanding the Immune System: How it Works. (PDF) National Institute
of Allergy and Infectious Diseases (NIAID). Diakses pada 1 Januari 2007.
42. ^ Harty J, Tvinnereim A, White D. "CD8+ T cell effector mechanisms in
resistance to infection". Annu Rev Immunol 18: 275–308. PMID 10837060.
43. ^ a b Radoja S, Frey A, Vukmanovic S (2006). "T-cell receptor signaling events
triggering granule exocytosis". Crit Rev Immunol 26 (3): 265-90. PMID
16928189.
44. ^ Abbas A, Murphy K, Sher A (1996). "Functional diversity of helper T
lymphocytes". Nature 383 (6603): 787-93. PMID 8893001.
45. ^ McHeyzer-Williams L, Malherbe L, McHeyzer-Williams M. "Helper T cell-
regulated B cell immunity". Curr Top Microbiol Immunol 311: 59–83. PMID
17048705.
46. ^ Kovacs B, Maus M, Riley J, Derimanov G, Koretzky G, June C, Finkel T
(2002). "Human CD8+ T cells do not require the polarization of lipid rafts for
activation and proliferation". Proc Natl Acad Sci U S A 99 (23): 15006-11. PMID
12419850.
47. ^ Grewal I, Flavell R. "CD40 and CD154 in cell-mediated immunity". Annu Rev
Immunol 16: 111-35. PMID 9597126.
48. ^ Girardi M (2006). "Immunosurveillance and immunoregulation by γδ T cells".
J Invest Dermatol 126 (1): 25–31. PMID 16417214.
49. ^ Holtmeier W, Kabelitz D (2005). "γδ T cells link innate and adaptive immune
responses". Chem Immunol Allergy 86: 151–183. PMID 15976493.
50. ^ a b Sproul T, Cheng P, Dykstra M, Pierce S (2000). "A role for MHC class II
antigen processing in B cell development". Int Rev Immunol 19 (2–3): 139-55.
PMID 10763706.
51. ^ Kehry M, Hodgkin P (1994). "B-cell activation by helper T-cell membranes".
Crit Rev Immunol 14 (3–4): 221-38. PMID 7538767.
52. ^ Bowers, William Immunology - Chapter nine: Cells involved in immune
responses. Microbiology and Immunology On-Line Textbook. USC School of
Medicine. Diakses pada 4 Januari 2007.
53. ^ M.N. Alder, I.B. Rogozin, L.M. Iyer, G.V. Glazko, M.D. Cooper, Z. Pancer
(2005). "Diversity and Function of Adaptive Immune Receptors in a Jawless
Vertebrate". Science 310 (5756): 1970–1973. PMID 16373579.
54. ^ Saji F, Samejima Y, Kamiura S, Koyama M (1999). "Dynamics of
immunoglobulins at the feto-maternal interface.". Rev Reprod 4 (2): 81-9. PMID
10357095.
55. ^ Van de Perre P (2003). "Transfer of antibody via mother's milk.". Vaccine 21
(24): 3374–6. PMID 12850343.
56. ^ Keller, Margaret A. and E. Richard Stiehm (2000). "Passive Immunity in
Prevention and Treatment of Infectious Diseases.". Clinical Microbiology
Reviews 13 (4): 602–614. PMID 11023960.
57. ^ Death and DALY estimates for 2002 by cause for WHO Member States. World
Health Organization. Retrieved on 2007-01-01.
58. ^ Singh M, O'Hagan D (1999). "Advances in vaccine adjuvants". Nat Biotechnol
17 (11): 1075–81. PMID 10545912.
59. ^ Aw D, Silva A, Palmer D (2007). "Immunosenescence: emerging challenges for
an ageing population". Immunology 120 (4): 435–446.
60. ^ a b c d Chandra, RK (1997). "Nutrition and the immune system: an introduction".
American Journal of Clinical Nutrition Vol 66: 460S-463S. PMID 9250133. Free
full-text pdf available
61. ^ Joos L, Tamm M (2005). "Breakdown of pulmonary host defense in the
immunocompromised host: cancer chemotherapy". Proc Am Thorac Soc 2 (5):
445-8. PMID 16322598.
62. ^ Copeland K, Heeney J (1996). "T helper cell activation and human retroviral
pathogenesis". Microbiol Rev 60 (4): 722-42. PMID 8987361.
63. ^ Miller J (1993). "Self-nonself discrimination and tolerance in T and B
lymphocytes". Immunol Res 12 (2): 115-30. PMID 8254222.
64. ^ a b c d Ghaffar, Abdul Immunology - Chapter Seventeen: Hypersensitivity
Reactions. Microbiology and Immunology On-Line Textbook. USC School of
Medicine. Diakses pada 1 Januari 2007.
65. ^ Bickle T, Krüger D (1993). "Biology of DNA restriction". Microbiol Re

Perbedaan antara imunitas non spesifik dan spesifik adalah imunitas non spesifik
berespons dengan cara yang sama pada paparan berikutnya dengan mikroba, sedangkan
imunitas spesifik akan berespons lebih efisien karena adanya memori imunologik.

Komponen imunitas non spesifik


Sistem imun non spesifik terdiri dari epitel (sebagai barrier terhadap infeksi), sel-sel
dalam sirkulasi dan jaringan, serta beberapa protein plasma.
1. Barrier epitel
Tempat masuknya mikroba yaitu kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran pernapasan
dilindungi oleh epitel yang berfungsi sebagai barrier fisik dan kimiawi terhadap infeksi.
Sel epitel memproduksi antibodi peptida yang dapat membunuh bakteri. Selain itu, epitel
juga mengandung limfosit intraepitelial yang mirip dengan sel T namun hanya
mempunyai reseptor antigen yang terbatas jenisnya. Limfosit intraepitelial dapat
mengenali lipid atau struktur lain pada mikroba. Spesifisitas dan fungsi limfosit ini masih
belum jelas.
2. Sistem fagosit
Terdapat 2 jenis fagosit di dalam sirkulasi yaitu neutrofil dan monosit, yaitu sel darah
yang dapat datang ke tempat infeksi kemudian mengenali mikroba intraselular dan
memakannya (intracellular killing). Sistem fagosit dibahas dalam bab tersendiri (Bab 6).
3. Sel Natural Killer (NK)
Sel natural killer (NK) adalah suatu limfosit yang berespons terhadap mikroba
intraselular dengan cara membunuh sel yang terinfeksi dan memproduksi sitokin untuk
mengaktivasi makrofag yaitu IFN-γ. Sel NK berjumlah 10% dari total limfosit di darah
dan organ limfoid perifer. Sel NK mengandung banyak granula sitoplasma dan
mempunyai penanda permukaan (surface marker) yang khas. Sel ini tidak
mengekspresikan imunoglobulin atau reseptor sel T. Sel NK dapat mengenali sel pejamu
yang sudah berubah akibat terinfeksi mikroba. Mekanisme pengenalan ini belum
sepenuhnya diketahui. Sel NK mempunyai berbagai reseptor untuk molekul sel pejamu
(host cell), sebagian reseptor akan mengaktivasi sel NK dan sebagian yang lain
menghambatnya. Reseptor pengaktivasi bertugas untuk mengenali molekul di permukaan
sel pejamu yang terinfeksi virus, serta mengenali fagosit yang mengandung virus dan
bakteri. Reseptor pengaktivasi sel NK yang lain bertugas untuk mengenali molekul
permukaan sel pejamu yang normal (tidak terinfeksi). Secara teoritis keadaan ini
menunjukkan bahwa sel NK membunuh sel normal, akan tetapi hal ini jarang terjadi
karena sel NK juga mempunyai reseptor inhibisi yang akan mengenali sel normal
kemudian menghambat aktivasi sel NK. Reseptor inhibisi ini spesifik terhadap berbagai
alel dari molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I.
Terdapat 2 golongan reseptor inhibisi sel NK yaitu killer cell immunoglobulin-
like receptor (KIR), serta reseptor yang mengandung protein CD94 dan subunit lectin
yang disebut NKG2. Reseptor KIR mempunyai struktur yang homolog dengan
imunoglobulin. Kedua jenis reseptor inhibisi ini mengandung domains structural motifs
di sitoplasmanya yang dinamakan immunoreceptor tyrosine-based inhibitory motif
(ITIM) yang akan mengalami fosforilasi ke residu tirosin ketika reseptor berikatan
dengan MHC kelas I, kemudian ITIM tersebut mengaktivasi protein dalam sitoplasma
yaitu tyrosine phosphatase. Fosfatase ini akan menghilangkan fosfat dari residu tirosin
dalam molekul sinyal (signaling molecules), akibatnya aktivasi sel NK terhambat. Oleh
sebab itu, ketika reseptor inhibisi sel NK bertemu dengan MHC, sel NK menjadi tidak
aktif.
Berbagai virus mempunyai mekanisme untuk menghambat ekspresi MHC kelas I
pada sel yang terinfeksi, sehingga virus tersebut terhindar dari pemusnahan oleh sel T
sitotoksik CD8+. Jika hal ini terjadi, reseptor inhibisi sel NK tidak teraktivasi sehingga sel
NK akan membunuh sel yang terinfeksi virus. Kemampuan sel NK untuk mengatasi
infeksi ditingkatkan oleh sitokin yang diproduksi makrofag, diantaranya interleukin-12
(IL-12). Sel NK juga mengekspresikan reseptor untuk fragmen Fc dari berbagai antibodi
IgG. Guna reseptor ini adalah untuk berikatan dengan sel yang telah diselubungi antibodi
(antibody-mediated humoral immunity).
Setelah sel NK teraktivasi, sel ini bekerja dengan 2 cara. Pertama, protein dalam
granula sitoplasma sel NK dilepaskan menuju sel yang terinfeksi, yang mengakibatkan
timbulnya lubang di membran plasma sel terinfeksi dan menyebabkan apoptosis.
Mekanisme sitolitik oleh sel NK serupa dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T
sitotoksik. Hasil akhir dari reaksi ini adalah sel NK membunuh sel pejamu yang
terinfeksi. Cara kerja yang kedua yaitu sel NK mensintesis dan mensekresi interferon-γ
(IFN-γ) yang akan mengaktivasi makrofag. Sel NK dan makrofag bekerja sama dalam
memusnahkan mikroba intraselular: makrofag memakan mikroba dan mensekresi IL-12,
kemudian IL-12 mengaktivasi sel NK untuk mensekresi IFN-γ, dan IFN-γ akan
mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikroba yang sudah dimakan tersebut (lihat
Gambar 4-1).
Tubuh menggunakan sel T sitotoksik untuk mengenali antigen virus yang ditunjukkan
oleh MHC, virus menghambat ekspresi MHC, dan sel NK akan berespons pada keadaan
dimana tidak ada MHC. Pihak mana yang lebih unggul akan menentukan hasil akhir dari
infeksi.
4. Sistem komplemen
Sistem komplemen merupakan sekumpulan protein dalam sirkulasi yang penting dalam
pertahanan terhadap mikroba. Banyak protein komplemen merupakan enzim proteolitik.
Aktivasi komplemen membutuhkan aktivasi bertahap enzim-enzim ini yang dinamakan
enzymatic cascade.
Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur yaitu jalur alternatif, jalur klasik, dan jalur
lektin. Jalur alternatif dipicu ketika protein komplemen diaktivasi di permukaan
mikroba dan tidak dapat dikontrol karena mikroba tidak mempunyai protein pengatur
komplemen (protein ini terdapat pada sel tuan rumah). Jalur ini merupakan komponen
imunitas non spesifik. Jalur klasik dipicu setelah antibodi berikatan dengan mikroba
atau antigen lain. Jalur ini merupakan komponen humoral pada imunitas spesifik. Jalur
lektin teraktivasi ketika suatu protein plasma yaitu lektin pengikat manosa (mannose-
binding lectin) berikatan dengan manosa di permukaan mikroba. Lektin tersebut akan
mengaktivasi protein pada jalur klasik, tetapi karena aktivasinya tidak membutuhkan
antibodi maka jalur lektin dianggap sebagai bagian dari imunitas non spesifik.
Protein komplemen yang teraktivasi berfungsi sebagai enzim proteolitik untuk
memecah protein komplemen lainnya. Bagian terpenting dari komplemen adalah C3 yang
akan dipecah oleh enzim proteolitik pada awal reaksi complement cascade menjadi C3a
dan C3b. Fragmen C3b akan berikatan dengan mikroba dan mengaktivasi reaksi
selanjutnya. Ketiga jalur aktivasi komplemen di atas berbeda pada cara dimulainya, tetapi
tahap selanjutnya dan hasil akhirnya adalah sama.
Sistem komplemen mempunyai 3 fungsi sebagai mekanisme pertahanan. Pertama,
C3b menyelubungi mikroba sehingga mempermudah mikroba berikatan dengan fagosit
(melalui reseptor C3b pada fagosit). Kedua, hasil pemecahan komplemen bersifat
kemoatraktan untuk neutrofil dan monosit, serta menyebabkan inflamasi di tempat
aktivasi komplemen. Ketiga, tahap akhir dari aktivasi komplemen berupa pembentukan
membrane attack complex (MAC) yaitu kompleks protein polimerik yang dapat
menembus membran sel mikroba, lalu membentuk lubang-lubang sehingga air dan ion
akan masuk dan mengakibatkan kematian mikroba. Sistem komplemen dibahas lebih
lanjut pada Bab 5.
5. Sitokin pada imunitas non spesifik
Sebagai respons terhadap mikroba, makrofag dan sel lainnya mensekresi sitokin untuk
memperantarai reaksi selular pada imunitas non spesifik. Sitokin merupakan protein yang
mudah larut (soluble protein), yang berfungsi untuk komunikasi antar leukosit dan antara
leukosit dengan sel lainnya. Sebagian besar dari sitokin itu disebut sebagai interleukin
dengan alasan molekul tersebut diproduksi oleh leukosit dan bekerja pada leukosit
(namun definisi ini terlalu sederhana karena sitokin juga diproduksi dan bekerja pada sel
lainnya). Pada imunitas non spesifik, sumber utama sitokin adalah makrofag yang
teraktivasi oleh mikroba. Terikatnya LPS ke reseptornya di makrofag merupakan
rangsangan kuat untuk mensekresi sitokin. Sitokin juga diproduksi pada imunitas selular
dengan sumber utamanya adalah sel T helper (TH).
Sitokin diproduksi dalam jumlah kecil sebagai respons terhadap stimulus
eksternal (misalnya mikroba). Sitokin ini kemudian berikatan dengan reseptor di sel
target. Sebagian besar sitokin bekerja pada sel yang memproduksinya (autokrin) atau
pada sel di sekitarnya (parakrin). Pada respons imun non spesifik, banyak makrofag akan
teraktivasi dan mensekresi sejumlah besar sitokin yang dapat bekerja jauh dari tempat
sekresinya (endokrin).
Sitokin pada imunitas non spesifik mempunyai bermacam-macam fungsi,
misalnya TNF, IL-1 dan kemokin berperan dalam penarikan neutrofil dan monosit ke
tempat infeksi. Pada konsentrasi tinggi, TNF menimbulkan trombosis dan menurunkan
tekanan darah sebagai akibat dari kontraktilitas miokardium yang berkurang dan
vasodilatasi. Infeksi bakteri Gram negatif yang hebat dan luas dapat menyebabkan syok
septik. Manifestasi klinis dan patologis dari syok septik disebabkan oleh kadar TNF yang
sangat tinggi yang diproduksi oleh makrofag sebagai respons terhadap LPS bakteri.
Makrofag juga memproduksi IL-12 sebagai respons terhadap LPS dan mikroba yang
difagosit. Peran IL-12 adalah mengaktivasi sel NK yang akan menghasilkan IFN-γ. Pada
infeksi virus, makrofag dan sel yang terinfeksi memproduksi interferon (IFN) tipe I.
Interferon ini menghambat replikasi virus dan mencegah penyebaran infeksi ke sel yang
belum terkena.
6. Protein plasma lainnya pada imunitas non spesifik
Berbagai protein plasma diperlukan untuk membantu komplemen pada pertahanan
melawan infeksi. Mannose-binding lectin (MBL) di plasma bekerja dengan cara
mengenali karbohidrat pada glikoprotein permukaan mikroba dan menyelubungi mikroba
untuk mempermudah fagositosis, atau mengaktivasi komplemen melalui jalur lectin.
Protein MBL ini termasuk dalam golongan protein collectin yang homolog dengan
kolagen serta mempunyai bagian pengikat karbohidrat (lectin). Surfaktan di paru-paru
juga tergolong dalam collectin dan berfungsi melindungi saluran napas dari infeksi. C-
reactive protein (CRP) terikat ke fosforilkolin di mikroba dan menyelubungi mikroba
tersebut untuk difagosit (melalui reseptor CRP pada makrofag). Kadar berbagai protein
plasma ini akan meningkat cepat pada infeksi. Hal ini disebut sebagai respons fase akut
(acute phase response).
Cara kerja respons imun non spesifik dapat bervariasi tergantung dari jenis
mikroba. Bakteri ekstraselular dan jamur dimusnahkan oleh fagosit, sistem komplemen,
dan protein fase akut. Sedangkan pertahanan terhadap bakteri intraselular dan virus
diperantarai oleh fagosit dan sel NK, serta sitokin sebagai sarana penghubung fagosit dan
sel NK.

Penghindaran mikroba dari imunitas non spesifik


Mikroba patogen dapat mengubah diri menjadi resisten terhadap imunitas non spesifik
sehingga dapat memasuki sel pejamu. Beberapa bakteri intraselular tidak dapat
didestruksi di dalam fagosit. Lysteria monocytogenes menghasilkan suatu protein yang
membuatnya lepas dari vesikel fagosit dan masuk ke sitoplasma sel fagosit. Dinding sel
Mycobacterium mengandung suatu lipid yang akan menghambat penggabungan fagosom
dengan lisosom. Berbagai mikroba lain mempunyai dinding sel yang tahan terhadap
komplemen. Mekanisme ini digunakan juga oleh mikroba untuk melawan mekanisme
efektor pada imunitas selular dan humoral.

Peran imunitas non spesifik dalam menstimulasi respons imun spesifik


Selain mekanisme di atas, imunitas non spesifik berfungsi juga untuk menstimulasi
imunitas spesifik. Respons imun non spesifik menghasilkan suatu molekul yang bersama-
sama dengan antigen akan mengaktivasi limfosit T dan B. Aktivasi limfosit yang spesifik
terhadap suatu antigen membutuhkan 2 sinyal; sinyal pertama adalah antigen itu sendiri,
sedangkan mikroba, respons imun non spesifik terhadap mikroba, dan sel pejamu yang
rusak akibat mikroba merupakan sinyal kedua. Adanya “sinyal kedua” ini memastikan
bahwa limfosit hanya berespons terhadap agen infeksius, dan tidak berespons terhadap
bahan-bahan non mikroba. Pada vaksinasi, respons imun spesifik dapat dirangsang oleh
antigen, tanpa adanya mikroba. Dalam hal ini, pemberian antigen harus disertai dengan
bahan tertentu yang disebut adjuvant. Adjuvant akan merangsang respons imun non
spesifik seperti halnya mikroba. Sebagian besar adjuvant yang poten merupakan produk
dari mikroba.
Mikroba dan IFN-γ yang dihasilkan oleh sel NK akan merangsang sel dendrit dan
makrofag untuk memproduksi 2 jenis “sinyal kedua” pengaktivasi limfosit T. Pertama,
sel dendrit dan makrofag mengekspresikan petanda permukaan yang disebut ko-
stimulator. Ko-stimulator ini berikatan dengan reseptor pada sel T naif, kemudian
bersama-sama dengan mekanisme pengenalan antigen akan mengaktivasi sel T (lihat
Gambar 4-2). Kedua, sel dendrit dan makrofag mensekresi IL-12. Interleukin ini
merangsang diferensiasi sel T naif menjadi sel efektor pada imunitas selular (lihat
Gambar 4-3).

Mikroba di dalam darah mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur alternatif.


Pada aktivasi komplemen, diproduksi C3d yang akan berikatan dengan mikroba. Pada
saat limfosit B mengenali antigen mikroba melalui reseptornya, sel B juga mengenali
C3d yang terikat pada mikroba melalui reseptor terhadap C3d. Kombinasi pengenalan ini
mengakibatkan diferensiasi sel B menjadi sel plasma. Dalam hal ini, produk komplemen
berfungsi sebagai “sinyal kedua” pada respons imun humoral.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Diposkan oleh VENI WULANDARI di 02.04

Reaksi Hipersensitivitas

• Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas.
• Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe,
yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang
bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe
IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu
tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.
• Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk
mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan
sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi
suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.
REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I

• Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100
tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok.
Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu
kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya,
yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.
• Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi
reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu
reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE
spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan
alergen yang bersangkutan.
• Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada
permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen
hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator
peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi
anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk
bunga.
• Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran
IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras
atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat
bab mengenai komplemen).
• Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I
melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic
factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators
yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor
kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang
terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel
mast yang berperan pada reaksi tipe I.
• Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat
dan fase lambat.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat
biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat
bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa
refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi
resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif
lagi terhadap alergen.

• Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi


hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel
mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti
bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase
cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang
menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel
mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel
radang.
• Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat
dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing
factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator
dari sel mast dan sel lain.
• Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein
(MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas
faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di
dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat
peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang
selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama
eosinofil.
• Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti telah diuraikan di
atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE
spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed
mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator).
Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain
akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast


Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of
anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).
1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik
serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam
plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah
uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam
beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos,
serta peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,
hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan
kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah
reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam
lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu
antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit,
tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat
(anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak
dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin
membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin
dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi.
Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi
pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus
mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek
modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)


Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi
radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah
terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu
degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).
Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang
terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada
penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil
karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.
3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)
NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru
manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa
menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau
setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena
mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer.
Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat
yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga
bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.
Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor
aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari
jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan
produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-
3).
1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan
satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta
tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya
membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga
dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di
mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).
Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat
bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas
vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator
sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan
yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.
2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang
membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4
merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4
adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk
lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari
jaringan paru yang tersensitisasi.
‘Slow reacting substance of anaphylaxis’
Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama
dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan
antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang
lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek
bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan
permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri
dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.

Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)


Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF
dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari trombosit.
Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan
permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan
oleh IgE.
Serotonin
Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran cerna.
Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast manusia. Dalam
reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh
trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI
Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber beberapa
sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.
Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen
menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu normal
tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika
beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan
tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin,
respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik dapat
alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai
akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang
terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi
alergik) sering disebut sebagai alergen.
Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan
menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang
atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang
tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini
mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.
Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu Th2.
Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak
memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh makrofag
(APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang
kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin
lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat diduga
bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam reaksi alergi. Produksi
interleukin diperkirakan dapat langsung dari sel mast atau dari sel lain akibat
stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama
dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan
ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut
faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor). Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat
oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat oleh IFNα, IFNγ, TGFβ, PGE2, dan IL-I0
Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat
menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen pada
sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai aktivitas sama
pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES
(regulated upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian juga
SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang
disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau
tanpa melalui stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).
Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan mengaktivasi
eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata dibandingkan
dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.
Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi peradangan
pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve growth factor)
serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan hidup dan diferensiasi
limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini
ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang
ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating factor). Keadaan
ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada
percobaan ini eosinofil menjadi hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4
bila diaktivasi oleh stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).
PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI
(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)

• Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan berikatan pada


target antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan (reaksi
hipersensitivitas tipe II) atau dengan membentuk kompleks imun yang
mengendap di pembuluh darah (reaksi hipersensitivitas tipe III)
• Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)
merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia.
Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai
jaringan yang sesuai dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi
antibodi ini biasanya spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya
mengendap di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh
darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh karena itu,
penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit sistemis yang
bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.

Sindrom klinik dan pengobatan


Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau berhubungan
dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun. Tatalaksana dan
pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghambat proses inflamasi dan
kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus
yang berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi kadar autoantibodi atau
kompleks imun yang beredar dalam darah.
Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan
Penyakit Antigen target Mekanisme Manifestasi
klinopatologi
Anemia hemolitik Protein membran eritrosit Opsonisasi dan Hemolisis, anemia
autoimun (antigen golongan darah Rh)fagositosis eritrosit
Purpura Protein membran platelet Opsonisasi dan Perdarahan
trombositopenia (gpIIb:integrin IIIa) fagositosis platelet
autoimun
(idiopatik)
Pemfigus vulgaris Protein pada hubungan Aktivasi protease Vesikel kulit (bula)
interseluler pada sel diperantarai antibodi,
epidermal (epidemal gangguan adhesi
cadherin) interseluler
Sindrom Protein non-kolagen pada Inflamasi yang Nefritis, perdarahan
Goodpasture membran dasar glomerulus diperantarai komplemen paru
ginjal dan alveolus paru dan reseptor Fc
Demam reumatik Antigen dinding sel Inflamasi, aktivasi Artritis, miokarditis
akut streptokokus, antibodi makrofag
bereaksi silang dengan
antigen miokardium
Miastenia gravis Reseptor asetilkolin Antibodi menghambat Kelemahan otot,
ikatan asetilkolin, paralisis
modulasi reseptor
Penyakit Graves Reseptor hormon TSH Stimulasi reseptor TSH Hipertiroidisme
diperantarai antibodi
Anemia pernisiosa Faktor intrinsik dari sel Netralisasi faktor Eritropoesis
parietal gaster intrinsik, penurunan abnormal, anemia
absorpsi vitamin B12
(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Penyakit oleh kompleks imun


Penyakit Spesifitas antibodi Mekanisme Manifestasi
klinopatologi
Lupus eritematosus DNA, nukleoprotein Inflamasi diperantarai Nefritis, vaskulitis,
sistemik komplemen dan reseptor Fc artritis
Poliarteritis nodosa Antigen permukaan Inflamasi diperantarai Vaskulitis
virus hepatitis B komplemen dan reseptor Fc
Glomreulonefirtis Antigen dinding sel Inflamasi diperantarai Nefritis
post-streptokokus streptokokus komplemen dan reseptor Fc
(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)
Point of interest
• Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan
jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II).
• Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn menstimulasi
fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi, aktivasi komplemen
menyebabkan sel lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke
tempat terjadinya reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan
pada reseptor sel organ tersebut.
• Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan membentuk
kompleks imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh darah dan
menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III). Kerusakan
jaringan terutama disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.

PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)


Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal
dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini
lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.

• Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme


autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada
sel yang distribusinya terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu
penyakit T cell mediated cenderung terbatas mengenai organ-organ tertentu dan
biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai
reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat reaksi
T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik oleh
karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi
mengakibatkan kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus
hepatitis, virusnya sendiri tidak terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T
sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan
kerusakan jaringan hepar.
• Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan
dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh
sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+ CTLs
• Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan
oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+
bereaksi terhadap antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang
menginduksi inflamasi dan mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan
disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel
T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada
banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T CD4+ dan
sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada
kerusakan jaringan.

Sindrom klinik dan pengobatan


Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi yang
diperantarai oleh sel T .
Penyakit yang diperantarai sel T
Penyakit Spesifitas sel T Penyakit pada Contoh pada
patogenik manusia hewan
Diabetes melitus Antigen sel islet Spesifisitas sel T Tikus NOD,
tergantung insulin (insulin, belum ditegakkan tikus BB, tikus
(tipe I) dekarboksilase transgenik
asam glutamat)
Artritis reumatoid Antigen yang tidak Spesifisitas sel T Artritis diinduksi
diketahui di dan peran antibodi kolagen
sinovium sendi belum ditegakkan
Ensefalomielitis Protein mielin Postulat : sklerosis
Induksi oleh
alergi dasar, protein multipel imunisasi dengan
eksperimental proteolipid antigen mielin
SSP; tikus
transgenik
Penyakit inflamasi Tidak diketahui, Spesifisitas sel T Induksi oleh
usus peran mikroba belum ditegakkan rusaknya gen IL-
intestinal 2 atau IL-10 atau
kurangnya
regulator sel T
(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)
DAFTAR PUSTAKA

1. Stiehm ER. Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-3.


Philadelphia: WB Saunders, 1989.
2. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Disease caused by humoral and cell-
mediated immune reactions. Dalam: Cellular and molecular immunology.
Philadelphia: WB Saunders, 1991; 353-76.
3. Bellanti JA. Mechanism of tissue injury produced by immunologic reactions.
Dalam: Bellanti JA, penyunting. Immunology III. Philadelphia: WB Saunders,
1985; 218-60.
4. Roitt IM. Essential immunology; edisi ke-6. Oxford: Blackwell Scioentific,
1988; 233-67.
5. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke-2. Philadelphia:
Saunders, 2004.
6. http://childrenallergyclinic.wordpress.com
Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi obat untuk
diagnosis, pengobatan, maupun pencegahan telah menimbulkan berbagai reaksi obat
yang tidak diinginkan yang disebut reaksi adversi. Reaksi tersebut tidak saja
menimbulkan persoalan baru di samping penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat
membawa maut. Hiperkalemia, intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin, dan reaksi
anafilaktik merupakan contoh reaksi adversi yang potensial sangat berbahaya. Gatal
karena alergi obat, dan efek mengantuk antihistamin merupakan contoh lain reaksi
adversi obat yang ringan. Karena pada umumnya adversi obat dan pada khususnya alergi
obat sering terjadi dalam klinik, pengetahuan mengenai diagnosis, penatalaksanaan dan
pencegahan masalah tersebut amat penting untuk diketahui.

Insidensi

Insidensi reaksi adversi obat belum diketahui dengan pasti. Penelitian di luar negeri
menunjukkan bahwa reaksi adversi obat yang terjadi pada pasien yang dirawat di rumah
sakit berkisar antara 6-15%. Angka insidensi di luar rumah sakit biasanya kecil, karena
kasus-kasus tersebut bila ringan tidak dilaporkan. Reaksi alergi obat merupakan 6-10%
dari reaksi adversi obat. Di masyarakat nilai ini berkisar 1-3% tetapi mungkin angka ini
lebih kecil lagi, mengingat idiosinkrasi dan intoleransi obat sering dilaporkan sebagai
reaksi alergi obat.

Klasifikasi Reaksi Adversi

A. Reaksi adversi yang terjadi pada orang normal.

1. Overdosis yaitu reaksi adversi yang secara langsung berhubungan dengan


pemberian dosis yang berlebihan. Contoh : depresi pemapasan karena obat
sedatif.
2. Efek samping yaitu efek farmakologis suatu obat yang tidak diinginkan tetapi
juga tak dapat dihindarkan yang terjadi pada dosis terapeutik. Misalnya efek
mengantuk pada pemakaian antihistamin.
3. Efek sekunder yaitu reaksi adversi yang secara tidak langsung berhubungan
dengan efek farmakologis primer suatu obat.
4. Contoh: penglepasan antigen atau endotoksin sesudah pemberian antibiotik
(reaksi Jarisch-Herxheimer)
5. Interaksi obat yaitu efek suatu obat yang mempengaruhi respons satu atau lebih
obat-obat lain misalnya induksi enzim suatu obat yang mempengaruhi
metabolisme obat lain.

B. Reaksi adversi pada orang-orang yang sensitif.

1. Intoleransi yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh efek farmakologis yang
meninggi. Misalnya gejala tinitus pada pemakaian aspirin dosis kecil.
2. Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak berhubungan dengan efek
farmakologis dan tidak juga disebabkan reaksi imunologis, misalnya primakuin
yang menyebabkan anemia hemolitik.
3. Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat tejadi pada pasien tertentu. Gejala yang
ditimbulkan adalah melalui mekanisme imunologis. Jadi reaksi alergi obat
merupakan sebagian dari reaksi adversi.
4. Pseudoalergi (reaksi anafilaktoid) yaitu tejadinya keadaan yang menyerupai reaksi
tipe I tanpa melalui ikatan antigen dengan IgE (lgE independenf). Beberapa obat
seperti opiat, vankomisin, polimiksin B. D tubokurarin dan zat kontras
(pemeriksaan radiologis) dapat menyebabkan sel mast melepaskan mediator
(seperti tipe I). Proses di atas tanpa melalui sensitisasi terlebih dahulu (non-
imunologis).

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau
menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (Tipe
I s/d IV). Untuk memudahkan pengertian patogenesis dan pengobatannya, dalam makalah
im digunakan klasifikasi Gell dan Coombs.

Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat)

Manifestasi klinis yang tejadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen
dengan IgE yang telah terbentuk yang menyebabkan kontraksi otot polos. meningkatnya
permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus.

• Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Kadang-kadang kejang bronkus. disertai


kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan ini bisa sangat gawat karena
pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas.
• Urtikaria.
• Angioedema.
• Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi beberapa menit setelah
suntikan seperti penisilin.

Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah
pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial
membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis. Penyebab yang tersering
adalah penisilin.

Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :

1. Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE.


2. Fase aktivasi, yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik.
Akibat aktivasi ini sel mast/basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk
granul yang dapat menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor, yaitu fase terjadinya respons imun yang kompleks akibat
penglepasan mediator.

Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi oleh karena terbentuknya IgM
/ IgG oleh paparan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki
reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat mengaktifkan komplemen melalui
reseptro komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia
hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat
juga merupakan reaksi alergi tipe ini.

Tipe III

Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini
mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan disini ialah IgM dan IgG. Kompleks
ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :

1. Urtikaria. angioedema, eritema. makulopapula, eritema multiforme, dan lain-Iaih.


Gejala tersebut sering disertai pruritus.
2. Demam.
3. Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi.
4. Limfadenopati.
5. Lain-Iain :

• kejang perut, mual


• neuritis optik
• glomerulonefritis
• sindrom lupus eritematosus sistemik
• gejala vaskulitis lain

Gejala tadi timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah
mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam waktu 1-5 hari.

Tipe lV

Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell
Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi.
Reaksi terjadi karena respons sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.

Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity) :

1. Cutaneous Basophil Hypersensitivity


2. Hipersensitivitas kontak (contact Dermatitis)
3. Reaksi tuberkulin
4. Reaksi granuloma
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,
sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini
yaitu nitrofurantoin, Nefritis interstisial, ensefalomielitis, dan hepatitis juga dapat
merupakan manifestasi reaksi alergi obat.

Namun demikian dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang-kadang


gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal
(sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18-24
jam setelah obat dioleskan.

Diagnosis

1. Anamnesis

Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling penting
untuk diagnosis alergi obat, karena cara-cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit
dan hasilnya juga belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala
yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena penyakit dasarnya.
Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu
macam obat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah :

1. Catat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, dan juga obat
yang sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat.
2. Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi.

1. Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala.
Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala alergi
obat baru timbul 7-10 hari setelah pemakaian pertama.

4. Cara lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya. Alergi obat
sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling, berulang-ulang, serta
dosis tinggi secara parenteral.
5. Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu.
6. Diagnosis alergi obat sangat mungkin. bila gejala menghilang setelah obat
dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama.
7. Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan
terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.

2. Uji kulit

Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin,
insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih diragukan nilainya.
Hal ini karena beberapa hal, antara lain :
1. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh
obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya, hasilnya
kurang dapat dipertanggung jawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui hasil
metabolismenya serta obat-obat yang mempunyai berat molekul besar (insulin,
ACTH, serum serta vaksin yang mengandung protein telur).
2. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein,
tiamin), sehingga uji positif yang tejadi adalah semu (false positive).
3. Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian
besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten,
oleh sebab itu sukar untuk menentukan antigennya.

Uji kulit yang disebutkan di atas adalah uji kulit yang lazim dipakai untuk reaksi alergi
tipe I (anafilaksis). Uji kulit untuk tujuan lain seperti untuk melihat reaksi lambat belum
diketahui sebagai prosedur yang berguna, demikian pula peran uji tempel (patch test)
untuk menilai reaksi alergi tipe I. Uji tempel bermanfaat hanya untuk obat-obat yang
diberikan secara topikal (tipe IV).

3. Pemeriksaan laboratorium

Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat tipe I terutama ditunjang dengan
pemeriksaan uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas pada beberapa macam obat.
Dikenal pemeriksaan RAST (Radio Allergo Sorbent test) yaitu pemeriksaan untuk
menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen. Tetapi untuk obat, jenis
antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi
seperti pada pasien yang mungkin timbul bila dilakukan uji kulit atau bila tidak dapat
dilakukan uji kulit (karena seluruh kulit rusak, minum antihistamin dan kulit tidak sensitif
lagi).

Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada anemia hemolitik dapat
ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan trombositopenia dengan
pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.

Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III.
Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan pemeriksaan
laboratorium untuk reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya pun sering tidak
memuaskan. Untuk jelasnya tipe reaksi, manifestasi klinik, uji laboratorium dan
pemakaian obat masa depan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Identifikasi dan penatalaksanaan reaksi alergi obat

Tipe reaksi Karakteristik klinik Uji laboratoirum Penggunaan obat


selanjutnya
Gell and Coombs Urtikaria, angioedema, Uji kulit, uji radio- Desensitisasi
mengi, hipotensi, alergosorben
Tipe 1 nausea, muntah, nyeri
abdomen, diare

Anemia hemolitik,
granulositopenia,
trombositopenia
Gell and Commbs Darah perifer lengkap Indikasi kontra
Demam, urtikaria, (DPL)
Tipe 2 arthralgia,
limfadenopati 2-21 hari
sesudah mulai terapi
Kadar komplemen
Gell and Coombs Eritema, blister (kulit Indikasi kontra
melepuh)
Tipe 3
Ruam makulo popular
(dapat bergabung)

Uji tempel
Gell and Coombs Lesi sasaran tertentu Agaknya Indikasi
kontra
Tipe 4 Lesi sasaran,
keterlibatan membran Mungkin uji tempel, uji Pemakaian hati-hati
Morbilliform mukosa, deskuamasi kulit intradermal (reaksi
kulit lambat)

Utikaria, mengi, Tidak ada Indikasi kontra


angioedema, hipotensi
Tidak ada Indikasi kontra
Eritema multiforme

Steven-Johnson/TEN

Tidak ada Pencegahan dengan


Dermatitis, eksfoliativa, prednison dan
demam, limfadenopati antihistamin untuk
Anafilaktoid sensitivitas terhadap
radiokontras

Indikasi kontra
DPL, enzim hati,
kreatinin, urinalisis

HSS/DRESS

HS : Hypersensitivity Syndrome, DRESS : Drug Rash with Eosinophilia and Systemic


Symptom

Pengobatan

Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu
pasien memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi
bila tidak mungkin berikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil
kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang rumus
imunokimianya berlainan.

Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala yang
ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pengobatan kasus yang lebih berat
tergantung pada erupsi kulit yang tejadi dan derajat berat reaksi pada organ-organ lain.
Apapun penyebabnya pengobatannya lebih kurang sama.

Pada kelainan kulit yang berat seperti pada sindrom Steven Johnson, pasiennya harus
dirawat, karena selain harus mendapat kortikosteroid, yang lebih penting lagi adalah
pemasukan kalori dan cairan perlu dijaga. Perawatan kulit juga memerlukan waktu
berhari-hari sampai berminggu-minggu. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder
sehingga pasien perlu diberikan antibiotik.

Kelainan sistemik yang berat seperti anafilaksis, dibicarakan tersendiri pada bab
anafilaksis. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah
memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum,
kelainan darah, hati, nefritis interstisial, dan lain-Iain diperlukan kortikosteroid dosis
tinggi (60-100 mg prednison atau ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan selanjutnya
prednison tersebut diturunkan dosisnya secara bertahap selama satu sampai dua minggu.

Pencegahan

Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi alergi obat yaitu
memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Jangan hanya untuk menyenangkan
pasien atau kita sendiri. Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap 30
kematian karena penisilin, ternyata hanya 12 pasien yang mempunyai indikasi yang jelas.
Jika sudah tepat indikasinya. barulah ditanyakan secara teliti riwayat alergi obat di masa
lalu, terutama yang ada hubungannya dengan yang akan kita berikan. Sering pasien
menyebutkan alergi terhadap bermacam-macam obat yang sebenarnya kurang masuk
akal, tetapi untuk sementara hal ini harus kita terima saja. Selanjutnya kepada pasien
diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan. Masalah reaksi
silang di antara obat juga harus diperhatikan. Seperti penisilin dengan sefalosporin,
gentamisin dengan kanamisin atau streptomisin, sulfa dengan obat-obat golongan
sulfonilurea.

Pada pasien dengan riwayat alergi obat, atau dicurigai alergi obat sedangkan obat atau
tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau kalau ada
fasilitas dengan pemeriksaan laboratorium. Jika negatif, obat tadi boleh diberikan namun
tetap harus berhati-hati. Tetapi bila hasil uji positif dan obat memang harus diberikan,
dipertimbangkan cara pemberian obat secara desensitisasi. Sedangkan bagi obat-obat
yang uji kulit tidak bermakna dilakukan pemberian obat secara provokasi dan bila
reaksinya positif kembali kita melakukan prosedur desensitisasi (Gambar 1 ).

Baik prosedur uji provokasi maupun desensitisasi selalu mengandung risiko yang
kadang-kadang dapat menimbulkan kematian. Karena itu diperlukan beberapa syarat
untuk melakukannya.

1. Indikasi kuat dan tak ada obat atau alternatif lain.


2. Pasien dan keluarganya diberitahu perihal tujuan tindakan ini, serta untung
ruginya.
3. Dilakukan di rumah sakit yang mempunyai obat dan peralatan untuk
menanggulangi keadaan darurat.
4. Dilakukan oleh dokter yang berpengalaman.
5. Umumnya rute pemberian obat pada desensitisasi atau provokasi sesuai dengan
rute pemberian yang akan diberikan.
6. Pada desensitisasi pasien dipasang infus, yang sewaktu-waktu bisa dipergunakan
bila terjadi keadaan darurat.
7. Uji kulit dilakukan segera sebelum pemberian obat. Jangan menunggu berhari-
hari kemudian obat baru diberikan, karena uji kulit sendiri menimbulkan
sensitisasi.

Prinsip uji provokasi atau desensitisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang sangat
kecil, kemudian dinaikkan perlahan-Iahan sampai dosis terapeutik tercapai. Meskipun uji
provokasi menyerupai desensitisasi, tetapi sebenarnya pada uji provokasi tidak selalu
tejadi desensitisasi karena sensitisasinya sendiri belum bisa dibuktikan. Prosedur
desensitisasi hanya memberi pasien keadaan bebas sensitisasi sementara, karena bila
suatu hari diperlukan pemakaian obat yang sama, prosedur tersebut harus diulangi
kembali. Perlu ditambahkan bahwa kedua prosedur tadi hanya untuk mencegah terjadinya
reaksi anafilaktik.

Di bawah ini diberikan contoh uji provokasi dengan anestesi lokal (TabeI 2).
Tabel 2. Uji provokasi dengan anesujii lokal

(dikulip dari J Allergy Cllin Immunol1978; 61:339)

Urutan Rute Dosis

No.
1. uji tusuk 1 : 100 (pengenceran)

2. uji tusuk tidak diencerkan

3. intrakutan 0,02 mL larutan 1 : 100

4. intrakutan 0,02 mL tidak diencerkan

5. subkutan 0, 1 mL tidak diencerkan

6. subkutan 1 mL tidak diencerkan

Catatan :

-Larutan obat tidak mengandung epinefrin

-Urutan no: 1 dan 3 boleh dilewatkan bila riwayat penyakit tak jelas.

Riwayat alergi obat


Adakah obat alternatif yang efektif
Ada
Tidak ada
Obati dengan obat alternatif
Uji kulit atau laboratorium

(tersedia dan dapat dipercaya)


YA
TIDAK
Uji
Uji provokasi
Negatif
Positif
Negatif
Berikan obat hati-hati
Desensitisasi
atau

pikirkan kembali

alternatif yang lain


Teruskan pengobatan

Gambar 1. Skema pencegahan reaksi alergi obat

Frekuensi alergi obat ternyata tidak banyak berbeda antara pasien yang atopi dan non
atopi, tetapi pasien yang mempunyai riwayat penyakit alergi tipe I (atopi) seperti asma
alergik, rinitis alergik, atau eksim, lebih besar 3 sampai 10 kali kemungkinannya untuk
mendapat reaksi anafilaksis.

Kalau mungkin obat sebaiknya diberikan secara oral, karena selain jarang menimbulkan
reaksi alergi, juga paling kecil menimbulkan sensitisasi. Tetapi bila pasien sudah jelas
mempunyai riwayat alergi obat, tentu obat tadi tidak boleh diberikan. Demikian pula
pasien yang pernah mendapat reaksi anafilaktik. Pemberian obat topikal seperti
antibiotik, anesujii lokal dan antihistamin paling besar kemungkinannya menimbulkan
sensitisasi, sehingga pemberian obat secara topikal harus dihindari.

Di samping kewaspadaan untuk mengenal tanda dini reaksi anafilaktik, sebelum


menyuntik sebaiknya disediakan dulu obat-obat untuk menanggulangi keadaan darurat
alergik. Obat-obat tersebut adalah adrenalin, antihistamin, kortikosteroid, aminofilin, dan
diazepam yang semuanya dalam bentuk suntikan. Begitu pula setelah disuntik, pasien
diminta menunggu paling tidak 20 menit sebelum diperbolehkan pulang. Selain perawat
dan petugas kesehatan yang membantu dokter, pasien juga sebaiknya diberitahu
mengenai tanda-tanda dini reaksi anafilaktik, sehingga bila terjadi reaksi, mereka dapat
segera memberitahukan kepada kita.

Peran obat-obat anti alergi seperti antihistamin, kortikosteroid, dan bahkan


simpatomimetik dalam upaya mencegah reaksi alergi ternyata masih kontroversial. Obat-
obat tersebut diberikan sebelum atau bersama-sama obat yang diindikasikan. Mungkin
obat-obat tadi dapat diandalkan untuk mencegah reaksi yang ringan, tetapi tidak dapat
diandalkan untuk mencegah reaksi yang fatal. Lagi pula bila reaksi ringan yang biasanya
merupakan gejala dini reaksi yang hebat dihilangkan, di rumah atau di tempat lain yang
jauh dari fasilitas kesehatan, tiba-tiba pasien bisa mendapat reaksi alergi yang hebat.
Sedangkan kalau hal tersebut terjadi di rumah sakit atau di tempat kita, mungkin
pertolongan sementara dapat diberikan.
Pasien perlu diberikan penyuluhan. Pasien harus mengetahui obat-obat yang
menyebabkan alergi padanya, termasuk obat yang diberikan dalam bentuk campuran
dengan obat yang lain. Metampiron, misalnya, banyak terdapat pada berbagai obat baik
sebagai obat analgesik maupun sebagai antipiretik atau campuran analgetik spasmolitik.
Bila berobat ke dokter, pasien hendaknya memberitahukan kepada dokter yang
dikunjunginya perihal obat yang pemah menyebabkan reaksi alergi, agar dokter dapat
membuat catatan khusus di kartu berobat pasien.

Daftar Pustaka

1. Anderson JA. Allergic reactions to drugs and biological agents. JAMA 1992;
268.2845- 57.
2. De Swarte RD, Patterson R .Drug allergy. In: Patterson R, Grammer LC,
Greenberger PA. (editors). Allergic Diseases, Diagnosis and Management. 5th ed.
Philadelphia. JB Lippincott ;1997.317 -412.
3. De Swarte RD. Drug allergy, problem and strategies. J. Allergy Clin Immunol
1984 ; 74.209- 21.
4. Incaudo G, Schatz M, Patterson R, et al .Administration of local anesthetic to
patient with a history of prior adverse reaction. J. Allergy Clin Immunol 1978 ; 61
: 339- 45.
5. Mellon MH, Schatz M, Patterson R .Drug allergy. In. Lawlor GJ, Fischer T J,
Adelman DC, (editors). Manual of Allergy and Immunology. 3th ed. Boston:
Little Brown and Company; 1995. 262-89.
6. Adkinson NF, Jr. Drug allergy. In: Adkinson NF Jr, Yunginger JW, Busse WW,
Bochner BS, Holgate ST, Simons FER, editors. Middleton’s Allergy Principles
and Practice. 6th ed. Philadelphia. Mosby ; 2003.1679-94.
7. Jos

You might also like