Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini kita saksikan bersama di media cetak maupun elektronik berbagai
sorotan tajam tentang penegakan hukum oleh Polri di negeri ini. Beberapa kasus yang
menjadi sorotan tersebtu antara lain :
1. Kediri, pencurian semangka Basar Suyanto (49 Tahun) dan Kholil (50 Tahun), vonis
2 bulan 10 hari penjara.2
2. Situbondo , pencurian 5 (lima) batang jagung, tersangka Parto (50 Tahun).3
3. Tanggerang, pencemaran nama baik dan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik, Prita Mulyasari (33 Tahun), didenda 204 juta.4
4. Jakarta Pusat, pencurian listrik, Aguswandi Tanjung (57 Tahun).5
5. Banyumas, Mbah Minah (55 Tahun), Pencurian 3 (tiga) biji kakau, hukuman penjara
1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan.6
6. Batang, Pencurian dua kilogram kapas senilai Rp4 ribu, Rusnoto (14), Juwono (16),
Sri Suratmi (25), dan Manise (39).7
Apakah ada yang salah dalam penegakan hukum tersebut ? Tentu jawabnya tidak,
bila dilihat secara normatif menurut kaca mata undang-undang. Tetapi dari sudut pandang
sosiologis dan filosofis, beberapa kalangan masyarakat mengkritik penegakan hukum
kasus-kasus tersebut dan memberikan dukungan baik langsung maupun tidak langsung
kepada para pelaku.
Masyarakat menyuarakan keadilan dan kemanfaatan atas tindakan penegakan hukum
atas perkara-perkara tersebut. Mengapa masyarakat berbuat demikian ? Apakah karena
masyarakat sudah banyak yang mengetahui bahwa potret penegakan hukum di Indoensia
1
Dony Setiawan, Tugas Hukum Administrasi Negara, Program Magister Ilmu Hukum, Undip Semarang, 2009.
2
Ant / CN16, Terdakwa Kasus Semangka Terancam Dua Bulan Penjara,
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2009/12/16/42201/Terdakwa-Kasus-Semangka-Terancam-
Dua-Bulan-Penjara, 16 Desember 2009.
3
Uchie, Ironis Curi 5 Buah Jagung Berakhir di Pengadilan , http://www.klikp21.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=5058&Itemid=706, 07 Desember 2009.
4
Pingkan e dundu/kcm, Prita Mulyasari Didenda Rp 204 Juta, http://www.surya.co.id/2009/12/04/prita-
mulyasari-didenda-rp-204-juta.html, 4 Desember 2009.
5
Riky Ferdianto, Aguswandi Didakwa Pasal Pencurian Listrik,
http://www.tempointeraktif.com/hg/kriminal/2009/11/16/brk,20091116-208659,id.html, 16 November 2009.
6
Hef-Ct, Ketua Majelis Hakim menangis Divonis 3 bulan, Mbah Minah tersenyum,
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=35433&Itemid=1, 20
November 2009.
7
Empat Pemungut Kapas Dua Kilogram Dipenjara, http://antaranews.com/berita/1259092808/empat-pemungut-
kapas-dua-kilogram-dipenjara, 25 November 2009.
2
hanya bisa menjerat masyarakat yang lemah ketika perkara-perkara tersebut dibandingkan
dengan vonis hakim atas perkara-perkara yang berat dan mafia peradilan yang masih
berkeliaran seolah-olah tidak terjamah hukum ? Tetapi dari sudut pandang yang berbeda,
masyarakat tidak mempertimbangkan bahwa ada pihak lain yaitu korban yang juga warga
masyarakat dan harus juga dilindungi hak-haknya oleh Polisi.
Pada saat yang sama, semua prestasi-prestasi Polri dalam mengungkap kasus-kasus
besar tiba-tiba sirna di mata masyarakat. Ketika prestasi yang dibuat oleh Polri,
pemberitaan pers sangat singkat, kekaguman dan apresiasi dari masyarakat berlangsung
sebentar saja serta hal tersebut dianggap lumrah. Tidak demikian yang terjadi saat Polri
dinilai salah melangkah dan salah mengambil keputusan, pemberitaan menjadi sangat
eksklusif, berlanjut bagaikan sinetron yang sangat asyik untuk menjadi tontonan. Hal
tersebut lumrah bila dilihat dari kaca mata hukum yang normatif.
Menyertai hal tersebut, fenomena yang terjadi sekarang ini adalah penegakan hukum
oleh Polri yang bisa dipastikan sudah benar menurut hukum positif tetapi dinilai sebagai
penegakan hukum yang tidak memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Penegakan hukum diistilahkan sebagai pisau dapur yang hanya tajam di bagian bawah dan
tumpul di bagian atasnya. Masyarakat secara umum merespon tindakan Polri tersebut
secara berkesinambungan disertai dukungan-dukungan masyarakat yang disalurkan melalui
media-media yang ada. Respon masyarakat yang terjadi secara spontan tersebut sebenarnya
dapat kita ambil makna positifnya dan dapat kita jadikan masukan yang berharga bagi Polri
yaitu Polri diharapkan dapat menyerap aspirasi dan respon masyarakat tersebut untuk
membenahi diri. Masyarakat menuntut Polri agar lebih progresif, tidak mengharapkan Polri
menjadi robot atau mesin yang kaku dalam menerapkan undang-undang serta tidak peka
terhadap kondisi sosial masyarkat.
Tujuan apa yang sebenarnya hendak dituju oleh Polri dalam penegakan hukumnya ?
menjadi pertanyaan besar yang harus dijawab menyikapi kejadian-kejadian akhir-akhir ini.
Arah penegakan hukum seperti pada beberapa contoh kasus di atas adalah menegakkan
undang-undang atau hukum positif yang berlaku di Indonesia yaitu hukum positif yang
tidak mengenal pemilahan kasus dan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan perkara
pidana serta pencapaian keadilan formal atau keadilan prosedural yaitu keadilan menurut
undang-undang atau keadilan yang dimaksud sebagai suatu yang adil sebagai hasil dari
keputusan para penegak hukum melalui prosedur yang yang telah ditentukan menurut
undang-undang. Hukum positif Indonesia tidak mengenal keadilan lainnya selain keadilan
formal tersebut.
Dengan demikian secara substansi, hukum positif yang ditegakkan oleh Polri atau
penegak hukum lainnya dalam kasus-kasus tersebut ikut memberikan kontribusi terhadap
potret penegakan hukum yang terjadi di Indonesia yang mengharuskan Polri atau
penegakan hukum lainnya harus mengikuti prosedural yang telah ditentukan. Ketika
prosedur tersebut tidak diikuti, Polri akan kembali dihadapkan pada sanksi-sanksi yang
telah diatur dalam undang-undang maupun sanksi dalam peraturan internal kepolisian. Di
lain pihak ketika Polri menegakkan hukum positif tersebut apa adanya tanpa berani
3
memerankan peran, fungsi, tujuan dan tugas pokok Polri lainya selain sebagai penegak
hukum, Polri dihadapkan pada penilaian masyarakat yang cenderung mengharapkan Polri
lebih fleksibel, tidak kaku, tegas namun humanis, mampu menghadirkan hukum sebagai
suatu institusi yang membahagiakan masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis merasa sangat tertarik untuk mengetahui
arah dan tujuan penegakan hukum Polri dari perspektif kebijakan pemerintah sehingga
dapat memberikan gambaran mengenai apa yang hendak dituju oleh Polri dalam
melakukan penegakan hukum. Dengan demikian, penulis merumuskan dua permasalahan
dalam makalah ini yaitu :
1. Bagaimana tujuan penegakan hukum Polri bila ditinjau dari perspektif visi, misi dan
arah kebijakan pemerintah tentang penegakan hukum ?
2. Bagaimana Polri mentransfromasikan tujuan penegakan hukum menurut kebijakan
pemerintah ke dalam kebijakan penegakan hukum Polri ?
II. PEMBAHASAN
A. Tujuan Penegakan Hukum Polri dalam Perspektif Visi, Misi dan Arah
Kebijakan Pemerintah
8
Pasal 2 Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Polri yang berbunyi : “ Fungsi kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.”
9
Pasal 4 Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Polri berbunyi : Polri bertujuan untuk mewujudkan keamanan
dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung hak asasi manusia.
10
Pasal 5 Undang-Undang No.2 tahun 2002Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam
negeri.
4
11
Pasal 13 Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Polri bahwa tugas pokok Polri adalah: a. memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat.
12
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1983, Hlm.5.
13
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005, Hlm.9.
14
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, Hlm.Vii.
15
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2009, Hlm.22.
5
16
Momo Kelana, 2002. Memahami Undang-Undang Kepolisian : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 : Latar
Belakang dan Komentar Pasal demi Pasal, PTIK Press, Jakarta, hal.63.
17
Barda Nawawi Arief, op.cit..
6
tujuan sosial, penegakan hukum juga idealnya juga harus selaras dengan pencapaian
tujan negara dan nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi.
Tujuan negara menurut Deddy Ismatullah dapat kita temukan dalam rumusan
ideologi negara.18 Pendapat tersebut selaras dengan tujuan negara yang diatur pada
Pasal 3 dan Bab I Umum Penjelasan Undang-Undang No.17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) bahwa tujuan dan cita-
cita negara tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Tujuan tersebut dapat kita simak di dalam Alenia ke-IV
Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi sebagai
berikut :
“Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indoensia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indoensia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
18
Deddy Ismatullah dan Asep A.Sahid Gatara, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif : Kekuasaan, Masyarakat,
Hukum dan Agama, CV.Pustaka Setia, bandung, 2007, Hlm.83.
7
19
Kebijakan pemerintah tentang visi, misi dan arah pembangunan nasional dalam kaitannya dengan tujuan
penegakan hukum diambil dari Lampiran Undang-Undang No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025.
8
persamaan yang akan dituju oleh hukum yaitu masyarakat dan kehadiran
hukum diharapkan menghadirkan kebaikan dari segala aspek kehidupan bagi
masyarakat. Bertolak pada pemikiran ini, maka pemahaman-pemahaman yang
komprehensif dari berbagai sudut pandang yang berbeda setidak-tidaknya
dapat dijadikan acuan bagi Polri dalam menyusun tujuan penegakan hukumnya
sehingga tujuannya lebih mengarah kepada pengabdian hukum terhadap
masyarakat.
3. Pertentangan antara hukum dan ketertiban sebagaimana dikemukakan oleh
Satjipto Rahardjo bahwa dilema dalam pekerjaan polisi ketika harus mencapai
tujuan hukum dan tujuan sosial yang keduanya tidak selalu sama tetapi polisi
dituntut untuk bertindak berdasarkan hukum yang berlaku serta selalu diminta
untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.24
Dalam kenyataannya, kita masih sering menjumpai praktik penegakan hukum
yang berdasarkan prosedur hukum sudah benar, tetapi tidak dinilai sebagai suatu
keadilan oleh masyarakat dan tidak juga dinilai kemanfaatannya di tengah-tengah
masyarakat. Mengedepankan kepastian hukum dengan berpegang teguh pada prinsip
persamaan di muka hukum sering menghadapkan Polri pada permasalahan
pencapaian keadilan dan kemanfaatan bahkan terancamnya situasi keamanan dan
ketertiban masyarakat. Begitu pula sebaliknya sehingga ketiga nilai dalam tujuan
hukum tersebut terkadang sulit untuk dicapai secara bersamaan.
Tujuan penegakan hukum Polri harus menyadari bahwa pertentangan-
pertentangan dalam tujuan polri, tujuan hukum dan antara hukum dan ketertiban
dalam hubungannya untuk mencapai tujuan negara harus disepakati bersama dan
disusun dengan lebih berorientasi pada masyarakat. Bila tidak, maka perbedaan cara
pandang dalam praktik penegakan hukum otomatis tidak dapat dihindarkan.
Misalnya saja sering kita temukan bahwa pekerjaan Polri yang sudah benar menurut
hukum menjadi tidak benar bila dilihat dari sudut pandang lain yaitu saat nilai
kemanfaatan dan keadilan serta tujuan negara harus diabaikan untuk mencapai
kepastian hukum. Situasi tersebut didukung oleh pendapat Farouk Muhammad
bahwa praktik penegakan hukum mengalami gejala invariabilitas atau ketidak-
konsistenan.25
Dari sudut pandang lain, Satjipto Rahardjo yang mengutip pendapat Chambliss
dan Seidman bahwa adanya hubungan yang kuat dan saling mempengaruhi antara
bekerjanya hukum dengan lingkungannya dapat menimbulkan pergeseran tujuan
(goal subsitution) atau penggantian tujuan (goal displacement) dimana tujuan formal
organisasi digantikan atau bahkan diterlantarkan oleh kebijakan-kebijakan yang lebih
menguntungkan organisasi dimana keuntungan-keuntungan ini diperoleh dari
24
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009,
Hlm.114-115.
25
Farouk Muhammad, Menuju Reformasi Polri, PTIK Press dan Restu Agung, Jakarta, 2005, Hlm.129.
10
26
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Op.,Cit, Hlm.67.
27
Ibid., Hlm.69.
11
28
William J. Novak, The people's welfare: law and regulation in nineteenth-century America, The University of
North Carolina Press, 1996, Hlm.14.
29
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Op.cit., Hlm.66-67.
12
perlu kiranya ditetapkan kembali tujuan penegakan hukum Polri yang lebih
berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya.
Kebijakan pemerintah dalam hal penegakan hukum seperti yang telah diuraikan
sebelumnya telah ditindaklanjuti oleh Polri dengan menggulirkan program reformasi
birokrasi sebagaimana diatur dalam Keputusan Kapolri No.Pol : Kep/37/X/2008
tanggal 27 Oktober 2008 tentang Program Akselerasi Transformasi Polri Menuju
Polri yang Mandiri, Profesional dan Dipercaya Masyarakat.
Dalam Keputusan Kapolri ini, Undang-Undang No. No.17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005–2025 tidak
dijadikan acuan atau dasar pertimbangan padahal Undang-Undang No. No.17 Tahun
2007 merupakan visi, misi, dan arah pembangunan nasional yang di dalamnya
terkandung arah dan kebijakan pemerintah tentang penegakan hukum yang
seharusnya juga dijadikan acuan dalam pembuatan keputusan tersebut.
Walaupun demikian, nilai-nilai prinsip yang terkandung dalam kebijakan
penegakan hukum pemerintah pada Undang-Undang No. No.17 Tahun 2007 juga
ditemukan dalam Keputusan Kapolri ini yaitu kebijakan yang lebih berorientasi pada
masyarakat dengan terfokus pada peningkatan kepercayaan masyarakat (publik trust)
dan sekaligus mengamankan pembangunan nasional.30
Sehubungan dengan tujuan penegakan hukum, di dalam Program Akselerasi
tersebut dinyatakan bahwa Polri dalam rangka mengemban tugas pemeliharaan
kamtibmas, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat
dalam mewujudkan keamanan dalam negeri, tetap mengacu pada Grand Strategy
Polri (2005-2025), visi dan misi Polri yaitu sebagai berikut :
1. Grand Strategy Polri (2005-2025), dirumuskan tiga tahapan yaitu :
a. Tahap I : Trust Building (2005-2009). Keberhasilan Polri dalam
menjalankan tugas memerlukan dukungan masyarakat dengan landasan
kepercayaan (trust).
b. Tahap II : Parthership Building ( 2011-2015). Merupakan kelanjutan dari
tahap pertama, dimana perlu dibangun kerjasama yang erat dengan
berbagai pihak yang terkait dengan pekerjaan Polri.
c. Tahap III : Strive For Excellence ( 2016-2025). Membangun kemampuan
pelayanan publik yang unggul dan dipercaya masyarakat.31
2. Visi dan misi Polri
30
Buku I, Lampiran “A”, Keputusan Kapolri No.Pol : Kep/37/X/2008 tanggal 27 Oktober 2008 tentang Program
Akselerasi Transformasi Polri Menuju Polri yang Mandiri, Profesional dan Dipercaya Masyarakat, hlm.2-3.
31
Ibid., Hlm.7.
13
Berdasarkan rumusan misi Polri tersebut, tidak ada yang lebih dominan atau
yang lebih diutamakan antara masing-masing fungsi, peran, tugas pokok dan tujuan
Polri karena masing-masing secara normatif maupun empiris tidak dipisahkan satu
sama lain. Berlandaskan pada hal tersebut maka tujuan penegakan hukum tidak dapat
hanya dilihat dari persepektif yang sempit tetapi juga meliputi tujuan Polri secara
keseluruhan. Di dalam menegakkan hukum Polri juga harus memperhatikan fungsi,
peran, tugas pokok dan tujuan Polri lainnya yang harus juga diseimbangkan.
Mengingat penegakan hukum merupakan bagian dari tujuan Polri secara
keseluruhan yang dirumuskan menjadi satu kesatuan tujuan dan dengan mendasari
pembahasan-pembasan sebelumnya bahwa tujuan penegakan hukum ditemukan
32
Ibid.
33
Ibid.
14
secara implisit di dalam pengertian penegakan hukum dari para pakar, kebijakan
pemerintah dan peraturan internal Polri adalah tertuju pada masyarakat yang pada
akhirnya akan mendukung pencapaian tujuan negara. Karena tujuan penegakan
hukum itu tidak ditentukan secara tegas serta begitu banyak dan luasnya tujuan yang
hendak dicapai dalam penegakan hukum, maka Polri idealnya harus menyusun
tujuan tersebut secara jelas dan tegas. Jadi tidak cukup hanya sekedar secara
formalitas mentransformasikan kebijakan pemerintah ke dalam kebijakan penegakan
hukum Polri tetapi harus dimulai dengan menyerap aspirasi dan keinginan atau
pengharapan masyarkat terhadap Polri.
Kären M. Hess dan Christine Hess Orthmann mengatakan bahwa “ Priorities
are often influenced by the desires of police than by any others considerations.
Because the success of policing depends heavily on public support, the citizen’s
wishes must be listenend to and considered.” Artinya bahwa prioritas dan tujuan
polisi sering dipengaruhi oleh kehendak-kehendak polisi daripada pertimbangan-
pertimbangan lainnya. Karena suksesnya perpolisian sangat tergantung pada
dukungan masyarakat, keinginan-keinginan masyarakat harus didengarkan dan
dipertimbangkan. Berdasarkan pendapat tersebut, kebijakan penegakan hukum harus
ditentukan oleh “what the community wants”.34
Di Indonesia, “what the community wants” atau apa yang diinginkan
masyarakat terhadap Polri dalam menegakan hukum telah diuraikan pada bagian
pendahuluan yaitu dari potret penegakan hukum Polri dari beberapa contoh kasus
yang sedang mengemuka baru-baru ini. Bila dihubungkan dengan kebijakan
pengakan hukum Polri yang lebih berorientasi pada tujuannya yaitu masyarakat,
sangat tepat bila kebijakan penegakan hukum tersebut dikaji dan disusun kembali
dengan berlandaskan pada permasalahan-permasalahan (problems) dalam penegakan
hukum oleh Polri baru-baru ini yang seiring dengan perkembangan masyarakat yang
cukup pesat.
Dengan mengkaji permasalah-permasalahan tersebut, Polri akan semakin
menyadari bahwa berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan
tugas Polri makin meningkat sehingga dalam menyusun kebijakan penegakan hukum
dengan mendasari permasalahan-permasalahan tersebut akan mendekatkan tujuan
yang ingin dicapai dengan apa yang diinginkan masyarakat. Bukan tidak mungkin
partnership, trust building dan strive for excellence yang menjadi grand strategy
Polri akan dapat mencapai nilai-nilai yang lebih substansi daripada hanya sekedar
slogan yang sangat abstrak.
Sebelum reformasi birokrasi Polri dicanangkan, sebenarnya Polri sudah
menerbitkan kebijakan tentang penegakan hukum yang lebih berorientasi pada
masyarakat dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan, tuntutan dan harapan
masyarakat yaitu dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman
34
Kären M. Hess, Christine Hess Orthmann, Introduction to Law Enforcement and Criminal Justice, Wadsworth
Cengage Learning, 2009, USA, Hlm.117-118.
15
6. Penegakan hukum yang bernurani yaitu cara berhukum yang tidak hanya
menggunakan rasio (logika), melainkan syarat dengan kenuranian yang
penilaian keberhasilannya terletak pada makna dan kualitas.35
Walaupun demikian, keselarasan kebijakan penegakan hukum Polri dengan
gagasan dan konsep-konsep terbaru mengenai hubungan penegakan hukum yang
lebih berorientasi pada masyarakat ternyata masih menemukan kebuntuan dalam
praktiknya. Hal ini terbukti dari beberapa contoh praktik penegakan hukum dalam
beberapa kasus yang telah diuraikan sebelumnya yang menggambarkan bahwa
kebijakan ini belum dihayati sepenuhnya dan penegak hukum masih belum berani
menerobos kekakuan hukum dalam menghadirkan kebahagian bagi masyarakat.
Dengan demikian, untuk mendukung penyusunan kebijakan penegakan hukum
seperti yang diuraikan di atas, penulis merumuskan faktor-faktor yang sangat
menentukan proses penegakan hukum dalam masyarakat dengan mendasari ruang
lingkup bekerjanya hukum sebagai suatu sistem.36 Faktor-faktor tersebut bila
dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi belakangan ini akan
meliputi 3 (tiga) pertanyaan besar yaitu :
1. Substansi hukum yang bagaimana yang harus disusun agar penegakan hukum
yang lebih berorientasi pada masyarakat dapat terwujud ?
Tujuan penegakan hukum tidak ditemukan secara tegas di dalam
perundang-undangan baik di dalam Undang-Undang Kepolisian, KUHP
maupun KUHAP. Sekalipun ada, tujuan tersebut tersirat dalam berbagai
peraturan yang berbeda-beda dan perlu dipahami dan dinterpretasikan sendiri
oleh personil Polri. Bahayanya akan terjadi penafsiran yang berbeda-beda yang
akan berdampak pada praktik yang berbeda pula.
Namun demikian, kebijakan pemerintah tentang penegakan hukum dapat
ditemukan dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang mengandung makna
bahwa banyak tujuan yang hendak dicapai dalam penegakan hukum yaitu
tujuan hukum, tujuan sosial, tujuan Polri, tujuan negara dan tujuan penegakan
nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi.
Dari persektif penegakan hukum oleh Polri, tujuan penegakan hukumpun
tidak ditemukan secara jelas di Undang-Undang Kepolisian maupun peraturan-
peraturan internal kepolisian, hanya saja secara tersirat arah penegakan hukum
Polri dirumuskan dalam model perpolisian masyarakat dan kebijakan internal
Polri sebagai suatu pencerahan dan perwujudan kesadaran bahwa hukum yang
selama ini ditegakkan oleh Polri khususnya KUHP dan KUHAP merupakan
warisan dari peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang tidak
mencerminkan aspirasi serta karakteristik bangsa Indonesia.37
35
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Gentha Publishing, Yogyakarta, 2009.
36
Satjipto Raharjo, 2009, Hlm.viii.
37
Ibid.
18
38
Yusriyadi, Paradigma Sosiologis dan Implikasinya terhadap Pengembangan Ilmu Hukum dan Penegakan
Hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan, Semarang, 2006, Hlm.5-6.
39
Ibid.
40
H.George Frederickson, Administrasi Negara Baru, The University of Alabama Press, Alabama, 1980,
diterjemahkan oleh Al-Ghozei Usman, PT.Pustaka LP3ES, Jakarta, Hlm.54.
41
Pasal 16 ayat (2) huruf a Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri dinyatakan bahwa diskresi Polri yang
disebut sebagai “tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab” dibatasi oleh beberapa syarat yaitu tidak
bertentangan dengan suatu aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
19
profesi Polri”42. Ditambah lagi dengan tidak diaturnya sifat dari batasan-
batasan tersebut apakah saling melengkapi ? ataukah masing-masing berdiri
sendiri ?
Dengan aturan yang begitu kaku dan terkesan seolah-olah menutup diri
dari konsekuensi-konsekuensi sosial, fakta empiris di lapangan dan tuntutan
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada
terbentuknya dominasi paradigma positivisme dalam penegakan hukum dan
terciptanya kultur penegakan hukum bagi personil Polri di lapangan menjadi
“safety player” artinya personil Polri di lapangan lebih memilih untuk berjalan
sesuai koridor hukum ketimbang inovatif mencari solusi alternatif dalam
menyelesaikan masalah-masalah sosial agar tidak terjerumus dalam karirnya.
Atau menjadi “task officer” yaitu polisi yang menjalankan tugasnya tanpa
menggunakan nilai-nilainya sendiri dan hanya menjalankan hukum.43
Selain itu, memang tidak bisa kita sangkali bahwa hukum positif kita
juga belum ada yang mengatur mengenai diskresi aparatur negara, belum
diatunya mengenai tujuan hukum, tujuan pemidanaan dan alternatif
penyelesaian sengketa pidana di luar pengadilan. Jadi apa yang didengungkan
sebagai tujuan hukum yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan menurut
hukum positif di Indonesia hanya dapat ditemukan dengan satu cara dan pada
satu tempat yaitu melalui peradilan di pengadilan. Hal ini juga merupakan
faktor yang sangat dominan menurut penulis yang mempengaruhi dominasi
paradigma positivisme dalam penegakan hukum oleh Polri.
Bagaimana mungkin pemerintah dan masyarakat mengharapkan Polri
sebagai salah satu fungsi pemerintahan di bidang penegakan hukum dapat
menegakan hukum dengan lebih berorientasi pada masyarakat bila hukum
posistif Indonesia tidak memberikan peluang untuk itu dan pemerintah sendiri
belum melakukan perubahan terhadap hukum positif tersebut.
Dengan semakin gencarnya sorotan masyarakat atas praktik penegakan
hukum oleh Polri yang berparadigma positivisme, telah menggugah Polri
dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan internal yang mengandung prinsip-
prinsip penegakan hukum yang lebih peka terhadap perubahan-perubahan yang
ada yaitu dengan mengembangkan pendekatan-pendekatan institusional
alternatif dalam menghadapi masalah44 sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya.
tersebut dilakukan; harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; pertimbangan yang
layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati hak asasi manusia.
42
Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri dinyatakan bahwa diskresi Polri yang
yang disebut juga dengan bertindak menurut penilaian sendiri demi kepentingan umum juga dibatasi bahwa
pelaksanaannya harus dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan,
serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
43
Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial Budaya, Buku Kompas, Jakarta, 2005, Hlm.65.
44
H.George Frederickson, Op.cit., Hlm.10.
20
45
Kepala Bagian Kelembagaan Biro Organisasi dan Tata Kewilayahan, Staf Deputi Perencanaan dan
Pengembangan Mabes Polri, Kelompok Kerja Penataan Struktur Organisasi Kewilayahan, dalam Rapat Kerja
Validasi/Restrukturisasi Organisasi Polri yang diselenggarakan di Lido Bogor tanggl 28 Juli 2008 sampai dengan
30 Juli 2009.
21
yaitu hemat stuktur kaya fungsi dan pendelegasian ke unit-unit yang lebih
kecil.46
Sayangnya rapat kerja yang merupakan tindak lanjut dari reformasi
birokrasi Polri di bidang struktural ini hanya melibatkan partisipasi internal dan
belum melibatkan partisipasi masyarakat untuk ikut berperan memberikan
masukan. Padahal untuk mewujudkan pelayanan yang berkeadilan sosial, Polri
seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat47 mengingat dalam konteks
penegakan hukum untuk mensinkronkan nilai-nilai penegakan hukum yang
lebih berorientasi pada masyarakat harus dimulai dari masyarakat atau
berorientasi pada masyarakat yang dilayani karena seperti yang dikatakan H
George Frederickson bahwa sekelompok warga negara bisa menyatakan suatu
pelayanan masyarakat sebagai efektif berdasar cara yang nyata-nyata agak
bertentangan dengan definisi-definisi efektivitas pada pejabat manajemen
ataupun pejabat yang terpilih mayoritas.48
Pendapat ini sangatlah realistis bila dihubungkan dengan pelayanan
penegakan hukum Polri yang memang masih dalam proses penyesuaian dengan
nilai-nilai yang ada di masyarakat. Proses ini tentu akan mengalami kesulitan
bila tidak didukung stuktur organisasi yang sesuai dan memungkinkan untuk
pengoptimalan pelayanan masyarakat. Meninggat sasarannya adalah
masyarakat, apa salahnya bila Polri bertanya kepada masyarakat tentang
struktur organisasi yang bagaimana yang dapat mendukung pencapaian tujuan
penegakan hukum agar efektif ?
Peran serta masyarakat dalam membantu tugas Polri dapat juga kita lihat
di dalam Bab I Umum Penjelasan Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang
Polri bahwa komitmen masyarakat juga diharapkan untuk secara aktif
berpartisipasi dalam mewujudkan Polri yang mandiri, profesional, dan
memenuhi harapan masyarakat. Bunyi undang-undang ini menjadi tidak begitu
bermakna bila dalam menentukan kebijakannya terkait dengan restrukturisasi
organisasi Polri tidak melibatkan masyarakat.
46
Yos Johan Utama, Menuju Hukum Administrasi Negara Yang Mensejahterakan Dan Melindungi,
http://studihukum.wordpress.com/2009/10/13/hukum-administrasi-negara-5/, 13 Oktober 2009.
47
H.George Frederickson, Op.cit., Hlm.19.
48
Ibid., Hlm.55.
22
wujud rasa terima kasihnya atas keputusan diskresi tersebut. Dalam konteks
reformasi Polri di bidang kultural, praktik diskresi harus mengutamakan
kepentingan masyarkat, tidak membebani atau meminta imbalan dalam bentuk
apapun kepada masyarakat dan diskresi dilaksanakan dengan penuh rasa
tanggung jawab dan dilandasi hati yang bersih serta jiwa yang tulus.49
Contoh lainnya adalah budaya “Asal Bapak Senang” (ABS) mewarnai
proses penegakan hukum. Tidak jarang proses penegakan hukum diarahkan,
direkayasa bahkan lebih parah lagi diintervensi oleh pimpinan kesatuan
maupun pimpinan kesatuan di atasnya.
Intervensi kadangkala dilakukan secara terang-terangan dan ada juga
yang berlindung di balik celah hukum. Maksudnya berlindung di balik celah
hukum adalah pimpinan yang mengintervensi memiliki interpretasi normatif
yang berbeda tentang penerapan hukum yang sering kali diselimuti oleh
kepentingan-kepentingan pertemanan pimpinan dengan masyarakat tertentu,
misalnya menilai bahwa proses penyidikan tidak cukup bukti dan mengarahkan
untuk dihentikan penyidikannya dengan alasan demi nama baik organisasi atau
profesionalisme penyidik. Karena struktur yang bersifat hirarki akhirnya
pejabat yang bertanggung jawab atas suatu proses penyidikan akan meminta
pertimbangan kepada pimpinan kesatuannya yang kecenderungan
keputusannya adalah lebih mengarah pada perwujudan loyalitas dan
pertimbangan menjaga karir sehingga hasil akhirnya penegakan hukum
tersebut harus disiasati sedemikian rupa hingga tidak berdampak negatif pada
institusi. Dalam kondisi yang tidak normal ini kadangkala rasa keadilan harus
dikesampingkan. Manakala situasi yang diharapkan pimpinan tersebut tidak
memungkinkan untuk disiasati atau kemungkinan kedua adanya rasa
kekecewaan dari pejabat kesatuan yang diintervensi sehingga membiarkan
situasi tersebut berlalu tanpa memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
Sebenarnya yang harus disadari bersama dalam reformasi kultural Polri
adalah keberanian untuk menggeser nilai-nilai dalam program reformasi Polri
menjadi lebih aplikatif dan tidak sekedar terkesan formalitas untuk mengejar
persyaratan pencapaian remunerasi. Pergeseran dimaksud bisa dimulai dari
“zero complain” ke “zero deviance” lalu menjadi “zero tolerance”. Komplain
masyarakat terhadap Polri janganlah dijadikan acuan dalam mengukur kinerja.
Apalagi dalam konteks penegakan hukum, komplain yang sering kali
diwujudkan dalam bentuk “surat kaleng” harus diteliti dan diklarifikasi bukan
digunakan untuk me-label penegakan hukum lalu menjadi tidak profesional
apalagi menjustifikasinya sebagai penegakan hukum berkemungkinan besar
salah prosedur.
49
Komitmen Moral Dalam Rangka Reformasi Birokrasi Polri yang disepakati bersama oleh perwakilan perwira
terbaik tiap-tiap angkatan alumni Akademi Kepolisian dalam Sarasehan Polri di Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian, Jakarta, 26 Mei 2009.
23
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
51
Satjipto Raharjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Gentha Publishing, Yogyakarta, 2009,
Hlm.83.
25