You are on page 1of 25

1

TUJUAN PENEGAKAN HUKUM POLRI DALAM


PERSPEKTIF VISI, MISI DAN ARAH KEBIJAKAN PEMERINTAH1

I. PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini kita saksikan bersama di media cetak maupun elektronik berbagai
sorotan tajam tentang penegakan hukum oleh Polri di negeri ini. Beberapa kasus yang
menjadi sorotan tersebtu antara lain :
1. Kediri, pencurian semangka Basar Suyanto (49 Tahun) dan Kholil (50 Tahun), vonis
2 bulan 10 hari penjara.2
2. Situbondo , pencurian 5 (lima) batang jagung, tersangka Parto (50 Tahun).3
3. Tanggerang, pencemaran nama baik dan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik, Prita Mulyasari (33 Tahun), didenda 204 juta.4
4. Jakarta Pusat, pencurian listrik, Aguswandi Tanjung (57 Tahun).5
5. Banyumas, Mbah Minah (55 Tahun), Pencurian 3 (tiga) biji kakau, hukuman penjara
1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan.6
6. Batang, Pencurian dua kilogram kapas senilai Rp4 ribu, Rusnoto (14), Juwono (16),
Sri Suratmi (25), dan Manise (39).7
Apakah ada yang salah dalam penegakan hukum tersebut ? Tentu jawabnya tidak,
bila dilihat secara normatif menurut kaca mata undang-undang. Tetapi dari sudut pandang
sosiologis dan filosofis, beberapa kalangan masyarakat mengkritik penegakan hukum
kasus-kasus tersebut dan memberikan dukungan baik langsung maupun tidak langsung
kepada para pelaku.
Masyarakat menyuarakan keadilan dan kemanfaatan atas tindakan penegakan hukum
atas perkara-perkara tersebut. Mengapa masyarakat berbuat demikian ? Apakah karena
masyarakat sudah banyak yang mengetahui bahwa potret penegakan hukum di Indoensia
1
Dony Setiawan, Tugas Hukum Administrasi Negara, Program Magister Ilmu Hukum, Undip Semarang, 2009.
2
Ant / CN16, Terdakwa Kasus Semangka Terancam Dua Bulan Penjara,
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2009/12/16/42201/Terdakwa-Kasus-Semangka-Terancam-
Dua-Bulan-Penjara, 16 Desember 2009.
3
Uchie, Ironis Curi 5 Buah Jagung Berakhir di Pengadilan , http://www.klikp21.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=5058&Itemid=706, 07 Desember 2009.
4
Pingkan e dundu/kcm, Prita Mulyasari Didenda Rp 204 Juta, http://www.surya.co.id/2009/12/04/prita-
mulyasari-didenda-rp-204-juta.html, 4 Desember 2009.
5
Riky Ferdianto, Aguswandi Didakwa Pasal Pencurian Listrik,
http://www.tempointeraktif.com/hg/kriminal/2009/11/16/brk,20091116-208659,id.html, 16 November 2009.
6
Hef-Ct, Ketua Majelis Hakim menangis Divonis 3 bulan, Mbah Minah tersenyum,
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=35433&Itemid=1, 20
November 2009.
7
Empat Pemungut Kapas Dua Kilogram Dipenjara, http://antaranews.com/berita/1259092808/empat-pemungut-
kapas-dua-kilogram-dipenjara, 25 November 2009.
2

hanya bisa menjerat masyarakat yang lemah ketika perkara-perkara tersebut dibandingkan
dengan vonis hakim atas perkara-perkara yang berat dan mafia peradilan yang masih
berkeliaran seolah-olah tidak terjamah hukum ? Tetapi dari sudut pandang yang berbeda,
masyarakat tidak mempertimbangkan bahwa ada pihak lain yaitu korban yang juga warga
masyarakat dan harus juga dilindungi hak-haknya oleh Polisi.
Pada saat yang sama, semua prestasi-prestasi Polri dalam mengungkap kasus-kasus
besar tiba-tiba sirna di mata masyarakat. Ketika prestasi yang dibuat oleh Polri,
pemberitaan pers sangat singkat, kekaguman dan apresiasi dari masyarakat berlangsung
sebentar saja serta hal tersebut dianggap lumrah. Tidak demikian yang terjadi saat Polri
dinilai salah melangkah dan salah mengambil keputusan, pemberitaan menjadi sangat
eksklusif, berlanjut bagaikan sinetron yang sangat asyik untuk menjadi tontonan. Hal
tersebut lumrah bila dilihat dari kaca mata hukum yang normatif.
Menyertai hal tersebut, fenomena yang terjadi sekarang ini adalah penegakan hukum
oleh Polri yang bisa dipastikan sudah benar menurut hukum positif tetapi dinilai sebagai
penegakan hukum yang tidak memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Penegakan hukum diistilahkan sebagai pisau dapur yang hanya tajam di bagian bawah dan
tumpul di bagian atasnya. Masyarakat secara umum merespon tindakan Polri tersebut
secara berkesinambungan disertai dukungan-dukungan masyarakat yang disalurkan melalui
media-media yang ada. Respon masyarakat yang terjadi secara spontan tersebut sebenarnya
dapat kita ambil makna positifnya dan dapat kita jadikan masukan yang berharga bagi Polri
yaitu Polri diharapkan dapat menyerap aspirasi dan respon masyarakat tersebut untuk
membenahi diri. Masyarakat menuntut Polri agar lebih progresif, tidak mengharapkan Polri
menjadi robot atau mesin yang kaku dalam menerapkan undang-undang serta tidak peka
terhadap kondisi sosial masyarkat.
Tujuan apa yang sebenarnya hendak dituju oleh Polri dalam penegakan hukumnya ?
menjadi pertanyaan besar yang harus dijawab menyikapi kejadian-kejadian akhir-akhir ini.
Arah penegakan hukum seperti pada beberapa contoh kasus di atas adalah menegakkan
undang-undang atau hukum positif yang berlaku di Indonesia yaitu hukum positif yang
tidak mengenal pemilahan kasus dan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan perkara
pidana serta pencapaian keadilan formal atau keadilan prosedural yaitu keadilan menurut
undang-undang atau keadilan yang dimaksud sebagai suatu yang adil sebagai hasil dari
keputusan para penegak hukum melalui prosedur yang yang telah ditentukan menurut
undang-undang. Hukum positif Indonesia tidak mengenal keadilan lainnya selain keadilan
formal tersebut.
Dengan demikian secara substansi, hukum positif yang ditegakkan oleh Polri atau
penegak hukum lainnya dalam kasus-kasus tersebut ikut memberikan kontribusi terhadap
potret penegakan hukum yang terjadi di Indonesia yang mengharuskan Polri atau
penegakan hukum lainnya harus mengikuti prosedural yang telah ditentukan. Ketika
prosedur tersebut tidak diikuti, Polri akan kembali dihadapkan pada sanksi-sanksi yang
telah diatur dalam undang-undang maupun sanksi dalam peraturan internal kepolisian. Di
lain pihak ketika Polri menegakkan hukum positif tersebut apa adanya tanpa berani
3

memerankan peran, fungsi, tujuan dan tugas pokok Polri lainya selain sebagai penegak
hukum, Polri dihadapkan pada penilaian masyarakat yang cenderung mengharapkan Polri
lebih fleksibel, tidak kaku, tegas namun humanis, mampu menghadirkan hukum sebagai
suatu institusi yang membahagiakan masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis merasa sangat tertarik untuk mengetahui
arah dan tujuan penegakan hukum Polri dari perspektif kebijakan pemerintah sehingga
dapat memberikan gambaran mengenai apa yang hendak dituju oleh Polri dalam
melakukan penegakan hukum. Dengan demikian, penulis merumuskan dua permasalahan
dalam makalah ini yaitu :
1. Bagaimana tujuan penegakan hukum Polri bila ditinjau dari perspektif visi, misi dan
arah kebijakan pemerintah tentang penegakan hukum ?
2. Bagaimana Polri mentransfromasikan tujuan penegakan hukum menurut kebijakan
pemerintah ke dalam kebijakan penegakan hukum Polri ?

II. PEMBAHASAN

A. Tujuan Penegakan Hukum Polri dalam Perspektif Visi, Misi dan Arah
Kebijakan Pemerintah

Kedudukan Polri sebagai alat negara penegakan hukum diatur di dalam


konstitusi pasal 30 ayat (4) UUD 1945 perubahan ke-4 mengatur peran Polri dalam
penegakan hukum yaitu : “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara
yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayanai masyarakat, serta menegakkan hukum.”
Selanjutnya, penegakan hukum oleh Polri tersebut dipertegas lagi
kedudukannya dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia disebut berulang kali dan meliputi beberapa makna yaitu :
1. Penegakan hukum adalah salah satu fungsi pemerintahan negara.8
2. Penegakan hukum sebagai tujuan Polri.9
3. Penegakan hukum sebagai peran Polri.10
4. Penegakan hukum sebagai tugas pokok Polri.11

8
Pasal 2 Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Polri yang berbunyi : “ Fungsi kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.”
9
Pasal 4 Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Polri berbunyi : Polri bertujuan untuk mewujudkan keamanan
dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung hak asasi manusia.
10
Pasal 5 Undang-Undang No.2 tahun 2002Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam
negeri.
4

Jadi dapat disimpulkan bahwa secara normatif, penegakan hukum selain


merupakan salah satu fungsi Polri sebagai fungsi pemerintahan negara, peran dan
tugas pokok Polri, tetapi juga merupakan salah satu bagian dari tujuan organisasi.
Sebelum membahas lebih mendalam, penulis akan menguraikan terlebih dahulu
beberapa pendapat tentang definisi penegakan hukum.
Penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.12
Pengertian penegakan hukum dalam Laporan Seminar Hukum Nasional ke IV
sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief adalah keseluruhan kegiatan dari para
pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan
harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum sesuai
dengan Undang-Undang Dasar 1945.13
Selanjutnya, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa penegakan hukum
merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak
yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai
moral, seperti keadilan dan kebenaran yang harus diwujudkan dalam realitas nyata.14
Lain halnya dengan Jimly Asshiddiqie yang mendefinisikan penegakan hukum
dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas penegakan hukum mencakup
kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan
hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan
subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun arbitrase dan mekanisme
penyelesaian sengketa lainnya. Dalam arti sempit, penegakan hukum menyangkut
kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap
peraturan perundang-undangan.15
Dari keempat pengertian/definisi penegakan hukum yang diuraikan di atas, kita
temukan makna penegakan hukum cenderung mengarah kepada tujuannya yang
masing-masing didefinisikan secara berbeda-beda yaitu :
1. Untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.

11
Pasal 13 Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Polri bahwa tugas pokok Polri adalah: a. memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat.
12
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1983, Hlm.5.
13
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005, Hlm.9.
14
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, Hlm.Vii.
15
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2009, Hlm.22.
5

2. Tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia,


ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945.
3. Penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan
perundang-undangan.
4. Pencapaian tujuan hukum yang memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan
kebenaran yang harus diwujudkan dalam realitas nyata.
Beberapa pendapat di atas melihat tujuan penegakan hukum dari sudut pandang
yang berbeda baik dari perspektif hukum secara normatif, sosiologis, dan filsafat
maupun dari sudut pandang negara. Beberapa pendapat tersebut mendefinisikan
bahwa tujuan penegakan hukum sama dengan tujuan hukum, tujuan sosial, dan
tujuan negara.
Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri tidak mengatur secara jelas
dan tegas tentang tujuan penegakan hukum Polri. Di dalam Undang-Undang No.2
Tahun 2002 tentang Polri yang bisa kita temukan hanyalah makna dari penegakan
hukum sebagai fungsi, peran, tujuan dan tugas pokok Polri.
Apakah tujuan penegakan hukum Polri sama dengan tujuan Polri ? Merujuk
pada rumusan Pasal 4 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 yang berbunyi sebagai
berikut :
“Polri bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan
masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung hak
asasi manusia.”
Momo Kelana berpendapat bahwa Pasal 4 Undang-Undang No.2 Tahun 2002
memuat pokok pikiran tentang tujuan kepolisian dalam kaitannya dengan tujuan
negara dan keamanan dalam negeri. Tiap negara mempunyai tujuan kepolisian
sendiri yang khas dan terkait dengan falsafah/ideologi negara dan tujuan negara yang
dapat diketahui dari undang-undang dasar negara yang bersangkutan.16
Mengacu kepada pendapat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
penegakan hukum merupakan salah satu tujuan Polri yaitu dalam hubungannya
dengan tujuan negara. Sama halnya dengan pokok pikiran pada Laporan Seminar
Hukum Nasional ke IV yang dikutip Barda Nawawi Arief yang telah diuraikan
sebelumnya bahwa pengertian penegakan hukum mengandung tujuan dari penegakan
hukum itu sendiri yaitu untuk menjamin tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan
harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum sesuai
dengan Undang-Undang Dasar 1945.17 Jadi selain untuk mencapai tujuan hukum dan

16
Momo Kelana, 2002. Memahami Undang-Undang Kepolisian : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 : Latar
Belakang dan Komentar Pasal demi Pasal, PTIK Press, Jakarta, hal.63.
17
Barda Nawawi Arief, op.cit..
6

tujuan sosial, penegakan hukum juga idealnya juga harus selaras dengan pencapaian
tujan negara dan nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi.
Tujuan negara menurut Deddy Ismatullah dapat kita temukan dalam rumusan
ideologi negara.18 Pendapat tersebut selaras dengan tujuan negara yang diatur pada
Pasal 3 dan Bab I Umum Penjelasan Undang-Undang No.17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) bahwa tujuan dan cita-
cita negara tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Tujuan tersebut dapat kita simak di dalam Alenia ke-IV
Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi sebagai
berikut :
“Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indoensia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indoensia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Pembahasan di atas sangat erat hubungannya dengan kebijakan pemerintah


tentang penegakan hukum dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005–2025.
Undang-undang ini merupakan visi, misi, dan arah pembangunan nasional untuk
mencapai cita-cita bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya
memuat beberapa kebijakan pemerintah tentang tujuan penegakan hukum yaitu
sebagai berikut :
1. Tegaknya supremasi hukum dan HAM berdasarkan keadilan dan kebenaran.
2. Melindungi dan mengayomi masyarakat, mencegah tindak kejahatan, dan
menuntaskan tindak kriminalitas.
3. Menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak
pada rakyat kecil.
4. Penegakan hukum tanpa memandang kedudukan, pangkat, dan jabatan
seseorang demi supremasi hukum dan terciptanya penghormatan pada hak-hak
asasi manusia.

18
Deddy Ismatullah dan Asep A.Sahid Gatara, Ilmu Negara dalam Multi Perspektif : Kekuasaan, Masyarakat,
Hukum dan Agama, CV.Pustaka Setia, bandung, 2007, Hlm.83.
7

5. Memastikan terlaksananya keadilan untuk semua warga negara tanpa


memandang dan membedakan kelas sosial, ras, etnis, agama, maupun gender.
Hukum yang ditaati dan diikuti akan menciptakan ketertiban dan keterjaminan
hak-hak dasar masyarakat secara maksimal. Melindungi dan mengayomi
masyarakat, mencegah tindak kejahatan dan menuntaskan tindak kriminalitas.
6. Terwujudnya keamanan nasional yang menjamin martabat kemanusiaan,
keselamatan warga negara.
7. Pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan
kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur,
lancar, serta berdaya saing global.
8. Penerapan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) dilaksanakan
secara tegas, lugas, profesional, dan tidak diskriminatif dengan tetap
berdasarkan pada penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM),
keadilan, dan kebenaran.19
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari kebijakan pemerintah tersebut dalam
kaitannya dengan penegakan hukum oleh Polri yaitu :
1. Penegakan hukum tidak hanya sekedar untuk mencapai tujuan hukum, tujuan
sosial dan tujuan polri tetapi juga untuk mencapai tujuan yang lebih luas dan
lebih besar lagi ruang lingkupnya yaitu tujuan negara.
2. Dari beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam kebijakan tersebut, semuanya
tertuju kepada satu hal yaitu masyarakat atau rakyat atau segenap bangsa
Indonesia yang dilakukan dengan cara menjauhkan hal-hal yang bersifat
negatif dan berupaya menghadirkan hal-hal yang bersifat positif di tengah-
tengah masyarakat.
3. Kebijakan penegakan hukum tersebut lebih berorientasi pada pelayanan
aparatur negara kepada masyarakatnya dalam bidang hukum.
4. Lebih cenderung ke arah ketertiban masyarakat.
5. Penegakan hukum juga mengandung makna penegakan nilai-nilai yang
terkandung di dalam konstitusi, yaitu supremasi hukum, kedaulatan rakyat,
persamaan di muka hukum, hak-hak konstitusi warga negara.
6. Mensyaratkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Begitu luasnya tujuan yang harus dicapai dalam penegakan hukum dalam
perspektif kebijakan pemerintah bila dihubungkan dengan tujuan Polri dan
bagaimana Polri merumuskan kebijakan penegakan hukumnya. Hal ini seharusnya
memberikan gambaran yang cukup jelas bagi Polri dalam merumuskan kebijakan
penegakan hukumnya dimana tujuan penegakan hukum ternyata meliputi aspek-
aspek di luar tujuan hukum itu sendiri tetapi juga tujuan sosial dan tujuan negara

19
Kebijakan pemerintah tentang visi, misi dan arah pembangunan nasional dalam kaitannya dengan tujuan
penegakan hukum diambil dari Lampiran Undang-Undang No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025.
8

dengan lebih menitikberatkan pelayanan yang berkeadilan sosial untuk mencapai


keamanan dan ketertiban masyarakat.
Dalam menyusun kebijakan penegakan hukumnya, Polri harus memperhatikan
pertentangan-pertentangan dalam masing-masing tujuan tersebut yaitu :
1. Antara beberapa tujuan Polri yaitu dalam menegakkan hukum Polri tidak dapat
mengabaikan atau menanggalkan fungsi, peran dan tugas pokoknya serta
tujuan-tujuan lain selain sebagai penegak hukum yang melekat padanya yaitu
sebagai pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat. Masing-masing fungsi,
peran, tugas pokok dan tujuan Polri tersebut diharapkan seiring sejalan dan
dilaksanakan secara proporsional dan profesional serta dilandasi oleh nilai-nilai
kemanusian, moral dan etika.
2. Begitu pula untuk mencapai tujuan hukum, menyeimbangkan antara kepastian,
kemanfaatan dan keadilan hukum bukan merupakan hal yang mudah. Masing-
masing mempunyai titik berat yang berbeda yang berasal dari sudut pandang
yang berbeda-beda pula.20 Pertentangan akan terjadi bila masing-masing nilai
itu hendak dituju secara bersamaan. Asas prioritas Gustav Radbruch
sebagaimana dikutip Achmad Ali yaitu prioritas pertama adalah keadilan,
barulah kemanfaatan dan terakhir kepastian juga tidak dapat diterapkan pada
untuk semua kasus dan semua situasi, sehingga prioritas tersebut harus
diterapkan secara kasuistis dalam menghadapi kehidupan masyarakat yang
begitu kompleks.21 Terlepas dari itu, Esmi Warassih mengutarakan bahwa dari
berbagai teori mengenai tujuan hukum yaitu teori etis ( keadilan), teori utilitas (
menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang
sebanyak-banyaknya) dan teori campuran (ketertiban) secara garis besar
tujuan-tujuan hukum meliputi pencapaian suatu masyarakat yang tertib dan
damai, mewujudkan keadilan serta untuk mendatangkan kemakmuran dan
kebahagian atau kesejahteraan.22Ternyata hukum sendiri mempunyai tujuan
yang begitu banyak yang muncul dari teori-teori dari sudut pandang yang
berbeda-beda. Bahkan Soebekti sebagaimana dikutip Esmi Warassih
mengatakan bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara untuk
mendatangkan kemakmuran dan kebahagian rakyat dengan asumsi bahwa
dengan mengabdi kepada tujuan negara itu, hukum mewujudkan keadilan dan
ketertiban.23 Begitu luasnya tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh hukum dan
dengan merangkum dari beberapa pendapat di atas, maka menurut penulis dari
berbagai macam perbedaan tujuan yang hendak dicapai oleh hukum, ada satu
20
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum : Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, PT.Toko Gunung Agung, Jakarta,
2002, Hlm.72.
21
Ibid., Hlm. 84-85.
22
Esmi Warassih, Pranata Hukum : Sebuah Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru Utama, Semarang, 2005, Hlm.24-
26.
23
Ibid., Hlm, 26.
9

persamaan yang akan dituju oleh hukum yaitu masyarakat dan kehadiran
hukum diharapkan menghadirkan kebaikan dari segala aspek kehidupan bagi
masyarakat. Bertolak pada pemikiran ini, maka pemahaman-pemahaman yang
komprehensif dari berbagai sudut pandang yang berbeda setidak-tidaknya
dapat dijadikan acuan bagi Polri dalam menyusun tujuan penegakan hukumnya
sehingga tujuannya lebih mengarah kepada pengabdian hukum terhadap
masyarakat.
3. Pertentangan antara hukum dan ketertiban sebagaimana dikemukakan oleh
Satjipto Rahardjo bahwa dilema dalam pekerjaan polisi ketika harus mencapai
tujuan hukum dan tujuan sosial yang keduanya tidak selalu sama tetapi polisi
dituntut untuk bertindak berdasarkan hukum yang berlaku serta selalu diminta
untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.24
Dalam kenyataannya, kita masih sering menjumpai praktik penegakan hukum
yang berdasarkan prosedur hukum sudah benar, tetapi tidak dinilai sebagai suatu
keadilan oleh masyarakat dan tidak juga dinilai kemanfaatannya di tengah-tengah
masyarakat. Mengedepankan kepastian hukum dengan berpegang teguh pada prinsip
persamaan di muka hukum sering menghadapkan Polri pada permasalahan
pencapaian keadilan dan kemanfaatan bahkan terancamnya situasi keamanan dan
ketertiban masyarakat. Begitu pula sebaliknya sehingga ketiga nilai dalam tujuan
hukum tersebut terkadang sulit untuk dicapai secara bersamaan.
Tujuan penegakan hukum Polri harus menyadari bahwa pertentangan-
pertentangan dalam tujuan polri, tujuan hukum dan antara hukum dan ketertiban
dalam hubungannya untuk mencapai tujuan negara harus disepakati bersama dan
disusun dengan lebih berorientasi pada masyarakat. Bila tidak, maka perbedaan cara
pandang dalam praktik penegakan hukum otomatis tidak dapat dihindarkan.
Misalnya saja sering kita temukan bahwa pekerjaan Polri yang sudah benar menurut
hukum menjadi tidak benar bila dilihat dari sudut pandang lain yaitu saat nilai
kemanfaatan dan keadilan serta tujuan negara harus diabaikan untuk mencapai
kepastian hukum. Situasi tersebut didukung oleh pendapat Farouk Muhammad
bahwa praktik penegakan hukum mengalami gejala invariabilitas atau ketidak-
konsistenan.25
Dari sudut pandang lain, Satjipto Rahardjo yang mengutip pendapat Chambliss
dan Seidman bahwa adanya hubungan yang kuat dan saling mempengaruhi antara
bekerjanya hukum dengan lingkungannya dapat menimbulkan pergeseran tujuan
(goal subsitution) atau penggantian tujuan (goal displacement) dimana tujuan formal
organisasi digantikan atau bahkan diterlantarkan oleh kebijakan-kebijakan yang lebih
menguntungkan organisasi dimana keuntungan-keuntungan ini diperoleh dari

24
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009,
Hlm.114-115.
25
Farouk Muhammad, Menuju Reformasi Polri, PTIK Press dan Restu Agung, Jakarta, 2005, Hlm.129.
10

masyarkat.26 Inkonsistensi dalam penegakan hukum tersebut digambarkan sebagai


berikut :
“Apabila pejabat hukum berhadapan dengan orang-orang dari lapisan-lapisan
sosial yang berbeda-beda, maka dapat diperkirakan tindakan atau peranan
yang mereka lakukan akan berbeda dari apa yang tertera secara formal dalam
peraturan-peraturan.”27

Perbedaan praktik dalam penegakan hukum, pertentangan-pertentangan yang


terkandung di dalamnya, perbedaan pendefinisian mengenai tujuan penegakan
hukum serta tujuan penegakan hukum berdasarkan visi, misi dan arah kebijakan
pemerintah dalam program pembangunan nasional, akan menimbulkan beberapa
pertanyaan mendasar sehubungan dengan upaya menetapkan tujuan penegakan
hukum Polri, yaitu :
1. Bagaimana praktik penegakan hukum seharusnya diterapkan dengan
berorientasi pada tujuan negara? Antara tujuan hukum, tujuan sosial dan tujuan
negara, tujuan mana yang harus dikedepankan atau diutamakan atau
diposisikan dominan sebagai dasar penyusunan tujuan penegakan hukum Polri,
ataukah semuanya harus diposisikan seimbang dan saling melengkapi serta
bagaimana mensinkronkan tujuan-tujuan tersebut ke dalam suatu tujuan
penegakan hukum Polri yang lebih berorientasi pada masyarakat ?
2. Bagaimana menselaraskan pencapaian tujuan hukum pada saat yang sama juga
harus memperhatikan tujuan sosial dalam pencapaian tujuan negara? Apakah
dengan berpegang teguh bahwa hukum di atas segala-galanya ? Ataukah harus
lebih berorientasi pada masyarakat dan tujuan negara, ataukah satu sama
lainnya saling melengkapi dan tetap harus berada pada koridor hukum ?
3. Bagaimana tujuan penegakan hukum dibuat sehubungan dengan peran, fungsi,
tugas pokok dan tujuan Polri yang tidak hanya sebagai penegak hukum tapi
juga menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi
dan melayani masyarakat ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah hal mendasar yang menurut penulis harus
ikut dipertimbangkan dalam menyusun tujuan penegakan hukum Polri terutama
mengenai tujuan penegakan hukum. Tujuan penegakan hukum yang merupakan salah
satu bagian dari tujuan Polri untuk mencapai tujuan negara masih merupakan
ketentuan yang sangat umum dan mendasar. Dengan tidak diaturnya secara tegas apa
yang menjadi dari tujuan penegakan hukum Polri maka akan menyebabkan
penegakan hukum kehilangan arah karena yang akan terjadi adalah perbedaan cara
pandang atau paradigma dalam praktik penegakan hukum. Apalagi seperti kita
ketahui dari apa yang dikatakan oleh William J. Novak bahwa “The police includes

26
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Op.,Cit, Hlm.67.
27
Ibid., Hlm.69.
11

everything, no aspect of human intercourse remained outside the purview of police


science,”28 merupakan suatu fakta yang menggambarkan begitu luasnya aspek
pekerjaan polisi terlebih bila dikaitkan hubungannya dengan masyarakat dan
lingkungan sosial tempatnya beberja.
Dari uraian-uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa betapa pentingnya
menetapkan arah dan tujuan dari penegakan hukum oleh Polri bila dilihat dari
kontradiksi-kontradiksi antara nilai-nilai yang terkandung dalam tujuan hukum dan
antara tujuan-tujuan yang terkandung dalam tujuan Polri serta dalam hubungannya
dengan upaya pencapaian tujuan negara dan penegakan nilai-nilai yang terkandung di
dalam konsitusi.
Tujuan hukum, tujuan sosial, tujuan Polri dan tujuan negara yang hendak
dicapai dalam penegakan hukum harus diselaraskan untuk memberikan arah dan
tujuan yang jelas sehingga mensyaratkan bahwa penegakan hukum harus lebih
berorientasi pada rakyat atau masyarakat. Polri harus menyadari bahwa ternyata
penegakan hukum memiliki tujuan yang sebenarnya lebih besar dari tujuan hukum
itu sendiri yaitu untuk mencapai tujuan negara yang membahagiakan rakyatnya. Hal
lain yang juga harus diingat bahwa masyarakat semakin mengharapkan Polri untuk
melakukan penegakan hukum yang lebih berorientasi pada rakyat atau masyarakat.
Pentingnya penyusunan tujuan penegakan hukum yang lebih berorientasi pada
masyarakat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti yang dikemukakan Satjipto
Raharjo bahwa :
1. Bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak berada dalam medan yang hampa,
maka yang terjadi adalah hubungan saling mempengaruhi yang kuat antara
hukum dan tempat bekerjanya hukum yaitu di tengah-tengah masyarakat.
2. Organisasi bekerja dalam masyarakat dan terdapat hubungan yang erat antar
keduanya yaitu dalam bentuk saling mempengaruhi.
3. Tujuan menentukan apa yang dikehendaki dan ingin dilakukan oleh organisasi
dalam masyarakat sehingga tujuan tersebut berfungsi untuk menuntun
organisasi sehingga selamat dalam menjalankan tugasnya di tengah-tengah
masyarakat.29
Dari beberapa uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa penegakan hukum
oleh Polri bila dilihat dari arah, visi dan misi penegakan hukum dalam kebijakan
pemerintah mengandung makna dan tujuan yang sangat luas yaitu selain tujuan
hukum, tujuan Polri dan tujuan sosial juga tujuan negara. Kesemua tujuan tersebut
tertuju atau terfokus pada satu hal yaitu masyarakat atau rakyat. Dengan demikian,
menempatkan masyarakat sebagai sentral yang harus dituju dalam penegakan hukum
sehingga untuk mengantisipasi perbedaan cara pandang dalam penegakan hukum

28
William J. Novak, The people's welfare: law and regulation in nineteenth-century America, The University of
North Carolina Press, 1996, Hlm.14.
29
Satjipto Raharjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Op.cit., Hlm.66-67.
12

perlu kiranya ditetapkan kembali tujuan penegakan hukum Polri yang lebih
berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya.

B. Transformasi Tujuan Penegakan Hukum berdasarkan Kebijakan Pemerintah


ke dalam Kebijakan Penegakan Hukum Polri

Kebijakan pemerintah dalam hal penegakan hukum seperti yang telah diuraikan
sebelumnya telah ditindaklanjuti oleh Polri dengan menggulirkan program reformasi
birokrasi sebagaimana diatur dalam Keputusan Kapolri No.Pol : Kep/37/X/2008
tanggal 27 Oktober 2008 tentang Program Akselerasi Transformasi Polri Menuju
Polri yang Mandiri, Profesional dan Dipercaya Masyarakat.
Dalam Keputusan Kapolri ini, Undang-Undang No. No.17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005–2025 tidak
dijadikan acuan atau dasar pertimbangan padahal Undang-Undang No. No.17 Tahun
2007 merupakan visi, misi, dan arah pembangunan nasional yang di dalamnya
terkandung arah dan kebijakan pemerintah tentang penegakan hukum yang
seharusnya juga dijadikan acuan dalam pembuatan keputusan tersebut.
Walaupun demikian, nilai-nilai prinsip yang terkandung dalam kebijakan
penegakan hukum pemerintah pada Undang-Undang No. No.17 Tahun 2007 juga
ditemukan dalam Keputusan Kapolri ini yaitu kebijakan yang lebih berorientasi pada
masyarakat dengan terfokus pada peningkatan kepercayaan masyarakat (publik trust)
dan sekaligus mengamankan pembangunan nasional.30
Sehubungan dengan tujuan penegakan hukum, di dalam Program Akselerasi
tersebut dinyatakan bahwa Polri dalam rangka mengemban tugas pemeliharaan
kamtibmas, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat
dalam mewujudkan keamanan dalam negeri, tetap mengacu pada Grand Strategy
Polri (2005-2025), visi dan misi Polri yaitu sebagai berikut :
1. Grand Strategy Polri (2005-2025), dirumuskan tiga tahapan yaitu :
a. Tahap I : Trust Building (2005-2009). Keberhasilan Polri dalam
menjalankan tugas memerlukan dukungan masyarakat dengan landasan
kepercayaan (trust).
b. Tahap II : Parthership Building ( 2011-2015). Merupakan kelanjutan dari
tahap pertama, dimana perlu dibangun kerjasama yang erat dengan
berbagai pihak yang terkait dengan pekerjaan Polri.
c. Tahap III : Strive For Excellence ( 2016-2025). Membangun kemampuan
pelayanan publik yang unggul dan dipercaya masyarakat.31
2. Visi dan misi Polri

30
Buku I, Lampiran “A”, Keputusan Kapolri No.Pol : Kep/37/X/2008 tanggal 27 Oktober 2008 tentang Program
Akselerasi Transformasi Polri Menuju Polri yang Mandiri, Profesional dan Dipercaya Masyarakat, hlm.2-3.
31
Ibid., Hlm.7.
13

a. Visi Polri adalah : Terwujudnya postur Polri yang profesional, bermoral


dan modern sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang
terpercaya dalam melindungi masyarakat dan menegakkan hukum.
b. Misi Polri terkait dengan penegakan hukum adalah menegakkan hukum
secara profesional dan obyektif, proporsional, transparan dan akuntabel
untuk menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan. Selain misi
dalam penegakan hukum melekat juga misi lain terkait dengan fungsi,
peran, tugas pokok dan tujuan Polri sebagai pelindung, pengayom dan
pelayan masyarakat serta penjaga keamanan dan ketertiban.32
Grand strategy, visi dan misi Polri tersebut di atas merupakan penjabaran dari
fungsi, peran, tugas pokok dan tujuan Polri yaitu pemelihara kamtibmas, penegak
hukum, perlindung, pengayom dan pelayanan masyarakat dalam mewujudkan
keamanan dalam negeri . Penjabaran tersebut menggambarkan upaya Polri dalam
mewujudkan fungsi, peran, tugas pokok dan tujuannya agar lebih berorientasi dan
fokus kepada masyarakat.
Namun demikian, baik tujuan Polri maupun penjabarannya dalam grand
strategy, visi dan misi Polri dirumuskan dalam satu kesatuan tujuan yang utuh yang
satu sama lain saling mengait. Semua fungsi, peran, tugas pokok dan tujuan Polri
melekat ke seluruh penegak hukum. Selain sebagai penegak hukum, sosok Polri juga
harus memerankan fungsi, peran tugas pokok dan tujuan Polri yang lainnya. Bahasan
ini dikuatkan dengan pernyataan Misi Polri sebagaimana telah diuraikan sebelumnya
yaitu :
“Misi Polri terkait dengan penegakan hukum adalah menegakkan hukum secara
profesional dan obyektif, proporsional, transparan dan akuntabel untuk
menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan. Selain misi dalam
penegakan hukum melekat juga misi lain terkait dengan fungsi, peran, tugas
pokok dan tujuan Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat
serta penjaga keamanan dan ketertiban.”33

Berdasarkan rumusan misi Polri tersebut, tidak ada yang lebih dominan atau
yang lebih diutamakan antara masing-masing fungsi, peran, tugas pokok dan tujuan
Polri karena masing-masing secara normatif maupun empiris tidak dipisahkan satu
sama lain. Berlandaskan pada hal tersebut maka tujuan penegakan hukum tidak dapat
hanya dilihat dari persepektif yang sempit tetapi juga meliputi tujuan Polri secara
keseluruhan. Di dalam menegakkan hukum Polri juga harus memperhatikan fungsi,
peran, tugas pokok dan tujuan Polri lainnya yang harus juga diseimbangkan.
Mengingat penegakan hukum merupakan bagian dari tujuan Polri secara
keseluruhan yang dirumuskan menjadi satu kesatuan tujuan dan dengan mendasari
pembahasan-pembasan sebelumnya bahwa tujuan penegakan hukum ditemukan
32
Ibid.
33
Ibid.
14

secara implisit di dalam pengertian penegakan hukum dari para pakar, kebijakan
pemerintah dan peraturan internal Polri adalah tertuju pada masyarakat yang pada
akhirnya akan mendukung pencapaian tujuan negara. Karena tujuan penegakan
hukum itu tidak ditentukan secara tegas serta begitu banyak dan luasnya tujuan yang
hendak dicapai dalam penegakan hukum, maka Polri idealnya harus menyusun
tujuan tersebut secara jelas dan tegas. Jadi tidak cukup hanya sekedar secara
formalitas mentransformasikan kebijakan pemerintah ke dalam kebijakan penegakan
hukum Polri tetapi harus dimulai dengan menyerap aspirasi dan keinginan atau
pengharapan masyarkat terhadap Polri.
Kären M. Hess dan Christine Hess Orthmann mengatakan bahwa “ Priorities
are often influenced by the desires of police than by any others considerations.
Because the success of policing depends heavily on public support, the citizen’s
wishes must be listenend to and considered.” Artinya bahwa prioritas dan tujuan
polisi sering dipengaruhi oleh kehendak-kehendak polisi daripada pertimbangan-
pertimbangan lainnya. Karena suksesnya perpolisian sangat tergantung pada
dukungan masyarakat, keinginan-keinginan masyarakat harus didengarkan dan
dipertimbangkan. Berdasarkan pendapat tersebut, kebijakan penegakan hukum harus
ditentukan oleh “what the community wants”.34
Di Indonesia, “what the community wants” atau apa yang diinginkan
masyarakat terhadap Polri dalam menegakan hukum telah diuraikan pada bagian
pendahuluan yaitu dari potret penegakan hukum Polri dari beberapa contoh kasus
yang sedang mengemuka baru-baru ini. Bila dihubungkan dengan kebijakan
pengakan hukum Polri yang lebih berorientasi pada tujuannya yaitu masyarakat,
sangat tepat bila kebijakan penegakan hukum tersebut dikaji dan disusun kembali
dengan berlandaskan pada permasalahan-permasalahan (problems) dalam penegakan
hukum oleh Polri baru-baru ini yang seiring dengan perkembangan masyarakat yang
cukup pesat.
Dengan mengkaji permasalah-permasalahan tersebut, Polri akan semakin
menyadari bahwa berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan
tugas Polri makin meningkat sehingga dalam menyusun kebijakan penegakan hukum
dengan mendasari permasalahan-permasalahan tersebut akan mendekatkan tujuan
yang ingin dicapai dengan apa yang diinginkan masyarakat. Bukan tidak mungkin
partnership, trust building dan strive for excellence yang menjadi grand strategy
Polri akan dapat mencapai nilai-nilai yang lebih substansi daripada hanya sekedar
slogan yang sangat abstrak.
Sebelum reformasi birokrasi Polri dicanangkan, sebenarnya Polri sudah
menerbitkan kebijakan tentang penegakan hukum yang lebih berorientasi pada
masyarakat dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan, tuntutan dan harapan
masyarakat yaitu dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman
34
Kären M. Hess, Christine Hess Orthmann, Introduction to Law Enforcement and Criminal Justice, Wadsworth
Cengage Learning, 2009, USA, Hlm.117-118.
15

Dasar Strategi dan Implementasi Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan


Tugas Polri sebagai revisi dan penyempurnaan dari Surat Keputusan Kapolri No.Pol :
Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi
Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Dalam Peraturan Kapolri ini terkandung prinsip-prinsip dasar penegakan hukum
yang dijiwai oleh konsep perpolisian masyarakat dan merupakan suatu pencerahan
dari ketidakberpihakannya hukum kepada masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut antara
lain :
1. Pasal 8 ayat (3) : Falsafah Polmas menghendaki agar petugas polisi di tengah
masyarakat tidak berpenampilan sebagai alat hukum atau pelaksana undang-
undang yang hanya menekankan penindakan hukum atau mencari kesalahan
warga, melainkan lebih menitikberatkan kepada upaya membangun
kepercayaan masyarakat terhadap Polri melalui kemitraan yang didasari oleh
prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, agar warga masyarakat tergugah
kesadaran dan kepatuhan hukumnya. Oleh karenanya, fungsi keteladanan
petugas Polri menjadi sangat penting.
2. Pasal 11 : Dengan mendasari prinsip kesetaraan guna membangun kepercayaan
warga masyarakat terhadap Polri, sehingga terwujud kebersamaan dalam
rangka memahami masalah kamtibmas dan masalah sosial, menganalisis
masalah, mengusulkan alternatif-alternatif solusi yang tepat dalam rangka
menciptakan rasa aman, tentram dan ketertiban (tidak hanya berdasarkan pada
hukum pidana dan penangkapan), melakukan evaluasi serta evaluasi ulang
terhadap efektifitas solusi yang dipilih.
3. Pasal 12 huruf c : Upaya penegakkan hukum lebih diutamakan kepada sasaran
peningkatan kesadaran hukum daripada penindakan.
4. Pasal 12 huruf d : Upaya penindakan hukum merupakan alternatif tindakan
paling akhir bila upaya pemecahan masalah yang bersifat persuasif tidak
berhasil.
5. Pasal 14 huruf f : Penerapan konsep Alternative Dispute Resolution yaitu pola
penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif yaitu
menetralisir masalah selain melalui proses hukum/non litigasi (misal upaya
perdamaian).
6. Pasal 42 ayat (2) huruf a : Pola penugasan yang tidak hanya terfokus pada
penindakan kejahatan (penegakan hukum) tetapi lebih luas fokusnya meliputi
pengendalian kejahatan, pelayanan masyarakat, pencegahan kejahatan, dan
pemecahan masalah dalam masyarakat (agar dicatat bahwa Polmas tidak
meninggalkan penegakan hukum).
7. Pasal 42 ayat (2) huruf b : Dari pola penugasan yang hanya tertuju kepada
kejahatan berat menuju ke pola penugasan yang memprioritaskan pemecahan
masalah yang ditentukan melalui konsultasi dengan masyarakat;
16

8. Pasal 42 ayat (2) huruf h : Dari pola penugasan yang mengutamakan


penangkapan dan penuntutan sebagai jawaban utama dari permasalahan
menuju ke penangkapan dan penuntutan sebagai dua tindakan yang mungkin
diambil dari sejumlah pilihan yang dihasilkan melalui pemecahan masalah.
Prinsip-prinsip tersebut merupakan perwujudan perubahan paradigma dalam
memaknai hukum yaitu hukum untuk masyarakat bukan hukum untuk hukum itu
sendiri. Penegak hukum tidak lagi menyelesaikan permasalahan hanya mutlak
menggunakan hukum pidana selagi upaya persuasif masih bisa dilakukan untuk
menyelesaikan masalah. Dengan prinsip kemitraan dan kesetaraan, Polri dituntut
bekerja sama dengan masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban
masyarakat dan dituntut kreatif mencari solusi penyelesaian masalah yang tepat
berdasarkan anilisa yang komprehensif dan tidak selalu berakhir pada penangkapan
dan penggunaan hukum pidana.
Sehingga menurut penulis, pada tataran normatif, Polri sebenarnya sudah
merubah paradigma penegakan hukumnya yaitu tujuannya lebih difokuskan atau
berorientasi pada pemecahan masalah keamanan dan ketertiban atau permasalahan
sosial walaupun pada tataran aplikatif perubahan tersebut masih belum dirasakan.
Penegakan hukum yang lebih mengutamakan keadilan dan kemanfaatan daripada
kepastian hukum demi mencapai ketertiban masyarakat banyak atau dengan kata lain
penegakan hukum yang juga mempertimbangkan dampak dari bekerjanya hukum di
masyarakat harus diterima oleh organisasi sebagai suatu diskresi yang benarkan.
Dengan demikian penegak hukum yang bekerja dengan mendasari hati nuraninya,
kemanusiaan, etika dan moral dengan mengedepankan penegakan hukum yang
progresif tidak lagi menjadi korban kebijakan yang dilandasi kepastian hukum dan
paradigma positivisme.
Kebijakan Polri ini selaras gagasan Satjipto Raharjo tentang hukum progresif
yang menurut penulis merupakan pilihan yang paling realistis untuk diterapkan
dalam pencapaian tujuan penegakan hukum yang berorientasi pada masyarakat.
Beberapa point yang dapat diambil dalam gagasan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Penegakan hukum yang pro-rakyat dan pro-keadilan.
2. Penegakan hukum sebagai suatu institusi yang bertujuan mengantarkan
manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.
3. Paradigma hukum untuk manusia dan memberikan ruang kepada faktor
manusia yang kualitas kesempurnaannya dapat diverifikasi ke dalam faktor
keadilan, kesejateraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain.
4. Tujuan penegakan hukum tidak hanya dilihat dari kaca mata hukum itu sendiri,
melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta
akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum.
5. Penegakan hukum agar berpihak pada kepentingan yang lebih besar yaitu
mensejahterakan dan memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to
the people).
17

6. Penegakan hukum yang bernurani yaitu cara berhukum yang tidak hanya
menggunakan rasio (logika), melainkan syarat dengan kenuranian yang
penilaian keberhasilannya terletak pada makna dan kualitas.35
Walaupun demikian, keselarasan kebijakan penegakan hukum Polri dengan
gagasan dan konsep-konsep terbaru mengenai hubungan penegakan hukum yang
lebih berorientasi pada masyarakat ternyata masih menemukan kebuntuan dalam
praktiknya. Hal ini terbukti dari beberapa contoh praktik penegakan hukum dalam
beberapa kasus yang telah diuraikan sebelumnya yang menggambarkan bahwa
kebijakan ini belum dihayati sepenuhnya dan penegak hukum masih belum berani
menerobos kekakuan hukum dalam menghadirkan kebahagian bagi masyarakat.
Dengan demikian, untuk mendukung penyusunan kebijakan penegakan hukum
seperti yang diuraikan di atas, penulis merumuskan faktor-faktor yang sangat
menentukan proses penegakan hukum dalam masyarakat dengan mendasari ruang
lingkup bekerjanya hukum sebagai suatu sistem.36 Faktor-faktor tersebut bila
dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi belakangan ini akan
meliputi 3 (tiga) pertanyaan besar yaitu :
1. Substansi hukum yang bagaimana yang harus disusun agar penegakan hukum
yang lebih berorientasi pada masyarakat dapat terwujud ?
Tujuan penegakan hukum tidak ditemukan secara tegas di dalam
perundang-undangan baik di dalam Undang-Undang Kepolisian, KUHP
maupun KUHAP. Sekalipun ada, tujuan tersebut tersirat dalam berbagai
peraturan yang berbeda-beda dan perlu dipahami dan dinterpretasikan sendiri
oleh personil Polri. Bahayanya akan terjadi penafsiran yang berbeda-beda yang
akan berdampak pada praktik yang berbeda pula.
Namun demikian, kebijakan pemerintah tentang penegakan hukum dapat
ditemukan dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang mengandung makna
bahwa banyak tujuan yang hendak dicapai dalam penegakan hukum yaitu
tujuan hukum, tujuan sosial, tujuan Polri, tujuan negara dan tujuan penegakan
nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi.
Dari persektif penegakan hukum oleh Polri, tujuan penegakan hukumpun
tidak ditemukan secara jelas di Undang-Undang Kepolisian maupun peraturan-
peraturan internal kepolisian, hanya saja secara tersirat arah penegakan hukum
Polri dirumuskan dalam model perpolisian masyarakat dan kebijakan internal
Polri sebagai suatu pencerahan dan perwujudan kesadaran bahwa hukum yang
selama ini ditegakkan oleh Polri khususnya KUHP dan KUHAP merupakan
warisan dari peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang tidak
mencerminkan aspirasi serta karakteristik bangsa Indonesia.37
35
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Gentha Publishing, Yogyakarta, 2009.
36
Satjipto Raharjo, 2009, Hlm.viii.
37
Ibid.
18

Terlepas dari itu, walaupun secara normatif kebijakan penegakan hukum


yang lebih berorientasi pada masyarakat telah dirumuskan, pada praktiknya
penegakan hukum masih didominasi oleh paradigma positivisme sebagaimana
yang diyakini oleh Yusriyadi dengan mengutip pendapat Wignjosoebroto, dan
Achmad Ali bahwa :
a. Hukum semata-mata diposisikan sebagai pengarah/pengontrol atau tolok
dalam menilai benar atau salah perilaku manusia.
b. Pemahaman hukum, lebih membatasi makna hukum sebagai kaidah
semata atau hanya menitikberatkan pada seni menemukan dan
menerapkan aturan-aturan dalam suatu kasus.38
Apa yang diyakini oleh Yusriyadi ini menjadi sangat relevan bila
dihubungkan dengan fakta-fakta yang terjadi dalam praktik penegakan hukum
di Indonesia seperti pada contoh beberapa kasus yang telah diuraikan pada
bagian pendahuluan makalah ini. Itulah yang terjadi sekarang ini, bahwa
penegakan hukum menghadirkan penyelesaian yang hanya berhenti pada
prosedur sekalipun penyelesaian tersebut telah mengusik rasa keadilan
masyarakat.39
Upaya Polri dalam mereformasi diri dan dengan telah ditetapkannya
kebijakan-kebijakan penegakan hukum yang lebih berorientasi pada
masyarakat secara aplikatif akan terhindar dari paradigma positivisme dan
perbedaan-perbedaan dalam praktik penegakan hukum bila tujuan penegakan
hukum ditetapkan secara jelas dengan beranjak dari permasalahan-
permasalahan yang terjadi belakangan ini serta didukung dari partisipasi
masyarakat dalam menyusun kebijakan tersebut dalam bentuk penyesuaian-
penyesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan warga negara.40
Mengacu pada persoalan-persoalan dalam penegakan hukum oleh Polri,
dari aspek substansi hukum, yang perlu menjadi perhatian adalah paradigma
positivisme yang begitu dominan sebagai akibat dari kurang fleksibelnya
aturan mengenai diskresi kepolisian terkait dengan penegakan hukum. Di
dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri, diskresi dalam
penegakan hukum masih terhambat pada batasan-batasan bahwa diskresi dapat
dilakukan dengan syarat-syarat “tidak bertentangan dengan suatu aturan
hukum”41 dan “dengan memperhatikan perundang-undangan serta kode etik

38
Yusriyadi, Paradigma Sosiologis dan Implikasinya terhadap Pengembangan Ilmu Hukum dan Penegakan
Hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan, Semarang, 2006, Hlm.5-6.
39
Ibid.
40
H.George Frederickson, Administrasi Negara Baru, The University of Alabama Press, Alabama, 1980,
diterjemahkan oleh Al-Ghozei Usman, PT.Pustaka LP3ES, Jakarta, Hlm.54.
41
Pasal 16 ayat (2) huruf a Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri dinyatakan bahwa diskresi Polri yang
disebut sebagai “tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab” dibatasi oleh beberapa syarat yaitu tidak
bertentangan dengan suatu aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
19

profesi Polri”42. Ditambah lagi dengan tidak diaturnya sifat dari batasan-
batasan tersebut apakah saling melengkapi ? ataukah masing-masing berdiri
sendiri ?
Dengan aturan yang begitu kaku dan terkesan seolah-olah menutup diri
dari konsekuensi-konsekuensi sosial, fakta empiris di lapangan dan tuntutan
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada
terbentuknya dominasi paradigma positivisme dalam penegakan hukum dan
terciptanya kultur penegakan hukum bagi personil Polri di lapangan menjadi
“safety player” artinya personil Polri di lapangan lebih memilih untuk berjalan
sesuai koridor hukum ketimbang inovatif mencari solusi alternatif dalam
menyelesaikan masalah-masalah sosial agar tidak terjerumus dalam karirnya.
Atau menjadi “task officer” yaitu polisi yang menjalankan tugasnya tanpa
menggunakan nilai-nilainya sendiri dan hanya menjalankan hukum.43
Selain itu, memang tidak bisa kita sangkali bahwa hukum positif kita
juga belum ada yang mengatur mengenai diskresi aparatur negara, belum
diatunya mengenai tujuan hukum, tujuan pemidanaan dan alternatif
penyelesaian sengketa pidana di luar pengadilan. Jadi apa yang didengungkan
sebagai tujuan hukum yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan menurut
hukum positif di Indonesia hanya dapat ditemukan dengan satu cara dan pada
satu tempat yaitu melalui peradilan di pengadilan. Hal ini juga merupakan
faktor yang sangat dominan menurut penulis yang mempengaruhi dominasi
paradigma positivisme dalam penegakan hukum oleh Polri.
Bagaimana mungkin pemerintah dan masyarakat mengharapkan Polri
sebagai salah satu fungsi pemerintahan di bidang penegakan hukum dapat
menegakan hukum dengan lebih berorientasi pada masyarakat bila hukum
posistif Indonesia tidak memberikan peluang untuk itu dan pemerintah sendiri
belum melakukan perubahan terhadap hukum positif tersebut.
Dengan semakin gencarnya sorotan masyarakat atas praktik penegakan
hukum oleh Polri yang berparadigma positivisme, telah menggugah Polri
dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan internal yang mengandung prinsip-
prinsip penegakan hukum yang lebih peka terhadap perubahan-perubahan yang
ada yaitu dengan mengembangkan pendekatan-pendekatan institusional
alternatif dalam menghadapi masalah44 sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya.
tersebut dilakukan; harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; pertimbangan yang
layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati hak asasi manusia.
42
Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Polri dinyatakan bahwa diskresi Polri yang
yang disebut juga dengan bertindak menurut penilaian sendiri demi kepentingan umum juga dibatasi bahwa
pelaksanaannya harus dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan,
serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
43
Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial Budaya, Buku Kompas, Jakarta, 2005, Hlm.65.
44
H.George Frederickson, Op.cit., Hlm.10.
20

Namun demikian kebijakan-kebijakan tersebut seharusnya dapat


dijadikan masukan untuk mereformsi substansi perundang-undangan agar Polri
dalam menegakkan hukum tidak lagi diharuskan untuk mengabdi kepada
hukum tetapi lebih mengabdi kepada masyarakat.

2. Stuktur organisasi yang bagaimana yang dapat mendukung penegakan hukum


yang lebih berorientasi pada masyarakat ?
Rumusan pertanyaan ini, dibuat penulis dari sudut pandang Polri sebagai
institusi bukan sebagai perorangan. Untuk mendukung pencapaian kebijakan
dan tujuan penegakan hukum yang berorientasi pada masyarakat maka kita
perlu melihat kembali pada struktur organisasi Polri saat ini. Struktur
organisasi Polri saat ini masih seperti piramida terbalik yaitu besar dan luas di
atas dan semakin ke bawah semakin mengerucut atau sempit baik dilihat dari
fungsi maupun personil. Dengan struktur seperti ini, maka wajar saja bila pada
tingkat sektor yang luasnya meliputi satu atau lebih kecamatan jumlah
polisinya sangat sedikit. Bagaimana bisa menjawab kebutuhan masyarakat bila
dari aspek struktur saja tidak memungkinkan bagi Polri untuk mengoptimalkan
pelayanannya secara efektif dan efisien.
Menyikapi permasalahan tersebut dalam reformasi Polri, restrukturisasi
merupakan salah satu proyek besar yang belum selesai. Wacana untuk
melakukan restrukturisasi sebagai upaya untuk mendekatkan dan
pengoptimalan pelayanan Polri kepada masyarakat masih dalam proses
pengumpulan pendapat-pendapat dari kesatuan paling bawah. Misalnya saja,
penulis pernah mengikuti acara Rapat Kerja Validasi/Restrukturisasi
Organisasi Polri yang diselenggarakan di Lido Bogor tanggl 28 Juli 2008 sampai
dengan 30 Juli 2009.
Pada kesempatan ini, Mabes Polri memanggil perwakilan perwira Polri
yang menduduki jabatan-jabatan baik yang berhubungan langsung dengan
penataan kelembagaan maupun operasional dan administrasi. Tujuannya adalah
untuk menampung usulan-usulan dari kesatuan bawah dikaitkan dengan
kondisi nyata di lapangan dan karakteristik wilayah masing-masing. Pada
dasarnya yang melatarbelakangi rapat kerja ini adalah untuk mewujudkan tekad
Polri dalam mendekatkan pelayanannya kepada masyarakat.45 Prinsip yang
digunakan dalam restrukturisasi organisasi Polri selaras dengan pendapat Yos
Johan Utama yaitu model “efficiency drive “ yaitu penyederhanaan stuktur

45
Kepala Bagian Kelembagaan Biro Organisasi dan Tata Kewilayahan, Staf Deputi Perencanaan dan
Pengembangan Mabes Polri, Kelompok Kerja Penataan Struktur Organisasi Kewilayahan, dalam Rapat Kerja
Validasi/Restrukturisasi Organisasi Polri yang diselenggarakan di Lido Bogor tanggl 28 Juli 2008 sampai dengan
30 Juli 2009.
21

yaitu hemat stuktur kaya fungsi dan pendelegasian ke unit-unit yang lebih
kecil.46
Sayangnya rapat kerja yang merupakan tindak lanjut dari reformasi
birokrasi Polri di bidang struktural ini hanya melibatkan partisipasi internal dan
belum melibatkan partisipasi masyarakat untuk ikut berperan memberikan
masukan. Padahal untuk mewujudkan pelayanan yang berkeadilan sosial, Polri
seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat47 mengingat dalam konteks
penegakan hukum untuk mensinkronkan nilai-nilai penegakan hukum yang
lebih berorientasi pada masyarakat harus dimulai dari masyarakat atau
berorientasi pada masyarakat yang dilayani karena seperti yang dikatakan H
George Frederickson bahwa sekelompok warga negara bisa menyatakan suatu
pelayanan masyarakat sebagai efektif berdasar cara yang nyata-nyata agak
bertentangan dengan definisi-definisi efektivitas pada pejabat manajemen
ataupun pejabat yang terpilih mayoritas.48
Pendapat ini sangatlah realistis bila dihubungkan dengan pelayanan
penegakan hukum Polri yang memang masih dalam proses penyesuaian dengan
nilai-nilai yang ada di masyarakat. Proses ini tentu akan mengalami kesulitan
bila tidak didukung stuktur organisasi yang sesuai dan memungkinkan untuk
pengoptimalan pelayanan masyarakat. Meninggat sasarannya adalah
masyarakat, apa salahnya bila Polri bertanya kepada masyarakat tentang
struktur organisasi yang bagaimana yang dapat mendukung pencapaian tujuan
penegakan hukum agar efektif ?
Peran serta masyarakat dalam membantu tugas Polri dapat juga kita lihat
di dalam Bab I Umum Penjelasan Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang
Polri bahwa komitmen masyarakat juga diharapkan untuk secara aktif
berpartisipasi dalam mewujudkan Polri yang mandiri, profesional, dan
memenuhi harapan masyarakat. Bunyi undang-undang ini menjadi tidak begitu
bermakna bila dalam menentukan kebijakannya terkait dengan restrukturisasi
organisasi Polri tidak melibatkan masyarakat.

3. Kultur organisasi penegak hukum yang bagaimana yang dapat mendukung


penegakan hukum yang lebih berorientasi pada masyarakat.
Pada bagian ini penulis menyoroti praktik penegakan hukum yang masih
kental dengan budaya “ucapan terima kasih”. Dalam hal ini, dua hal yang bisa
terjadi yaitu pelaksana diskresi yang meminta imbalan atas kebijakan yang
diberikan dan masyarakt secara ikhlas memberikan imbalan tersebut sebagai

46
Yos Johan Utama, Menuju Hukum Administrasi Negara Yang Mensejahterakan Dan Melindungi,
http://studihukum.wordpress.com/2009/10/13/hukum-administrasi-negara-5/, 13 Oktober 2009.
47
H.George Frederickson, Op.cit., Hlm.19.
48
Ibid., Hlm.55.
22

wujud rasa terima kasihnya atas keputusan diskresi tersebut. Dalam konteks
reformasi Polri di bidang kultural, praktik diskresi harus mengutamakan
kepentingan masyarkat, tidak membebani atau meminta imbalan dalam bentuk
apapun kepada masyarakat dan diskresi dilaksanakan dengan penuh rasa
tanggung jawab dan dilandasi hati yang bersih serta jiwa yang tulus.49
Contoh lainnya adalah budaya “Asal Bapak Senang” (ABS) mewarnai
proses penegakan hukum. Tidak jarang proses penegakan hukum diarahkan,
direkayasa bahkan lebih parah lagi diintervensi oleh pimpinan kesatuan
maupun pimpinan kesatuan di atasnya.
Intervensi kadangkala dilakukan secara terang-terangan dan ada juga
yang berlindung di balik celah hukum. Maksudnya berlindung di balik celah
hukum adalah pimpinan yang mengintervensi memiliki interpretasi normatif
yang berbeda tentang penerapan hukum yang sering kali diselimuti oleh
kepentingan-kepentingan pertemanan pimpinan dengan masyarakat tertentu,
misalnya menilai bahwa proses penyidikan tidak cukup bukti dan mengarahkan
untuk dihentikan penyidikannya dengan alasan demi nama baik organisasi atau
profesionalisme penyidik. Karena struktur yang bersifat hirarki akhirnya
pejabat yang bertanggung jawab atas suatu proses penyidikan akan meminta
pertimbangan kepada pimpinan kesatuannya yang kecenderungan
keputusannya adalah lebih mengarah pada perwujudan loyalitas dan
pertimbangan menjaga karir sehingga hasil akhirnya penegakan hukum
tersebut harus disiasati sedemikian rupa hingga tidak berdampak negatif pada
institusi. Dalam kondisi yang tidak normal ini kadangkala rasa keadilan harus
dikesampingkan. Manakala situasi yang diharapkan pimpinan tersebut tidak
memungkinkan untuk disiasati atau kemungkinan kedua adanya rasa
kekecewaan dari pejabat kesatuan yang diintervensi sehingga membiarkan
situasi tersebut berlalu tanpa memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
Sebenarnya yang harus disadari bersama dalam reformasi kultural Polri
adalah keberanian untuk menggeser nilai-nilai dalam program reformasi Polri
menjadi lebih aplikatif dan tidak sekedar terkesan formalitas untuk mengejar
persyaratan pencapaian remunerasi. Pergeseran dimaksud bisa dimulai dari
“zero complain” ke “zero deviance” lalu menjadi “zero tolerance”. Komplain
masyarakat terhadap Polri janganlah dijadikan acuan dalam mengukur kinerja.
Apalagi dalam konteks penegakan hukum, komplain yang sering kali
diwujudkan dalam bentuk “surat kaleng” harus diteliti dan diklarifikasi bukan
digunakan untuk me-label penegakan hukum lalu menjadi tidak profesional
apalagi menjustifikasinya sebagai penegakan hukum berkemungkinan besar
salah prosedur.
49
Komitmen Moral Dalam Rangka Reformasi Birokrasi Polri yang disepakati bersama oleh perwakilan perwira
terbaik tiap-tiap angkatan alumni Akademi Kepolisian dalam Sarasehan Polri di Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian, Jakarta, 26 Mei 2009.
23

Kebijakan dalam menyusun program reformasi kultural akan lebih baik


berorientasi pada komitmen untuk mewujudkan perubahan itu sendiri
ketimbang menyesuaikan diri terhadap perubahan sehingga bukan membuat
bagaimana agar Polri tidak dikomplain masyarakat atau bagaimana
menghindari komplain masyarakat tetapi membuat kebijakan yang berawal dari
pertanyaan “apa yang harus diubah agar komplain yang bersifat negatif dapat
dikurangi dan bahkan dihilangkan, seberapa kuat komitmen kita untuk
mengubahnya dan bagaimana cara menegakan kebijakan tersebut secara
berkelanjutan ?”
Dalam mereformasi kultur Polri, butuh komitmen dan konsistensi yang
sangat besar yang menurut penulis harus dimulai dari atas bukan dari bawah.
Sepertinya hal nya pendapat David H.Bayley yaitu :
“Sustained and committed leadership by top management, especially the
most senior executive, is required to produce any important
organizational change. This is probably the most frequently repeated
lesson of reform management. applies to any sort of reform effort, from
administrative processes to operational strategies and tactical behavior.
Significant reform cannot be brought about by stealth from below
against the indifference or hostility of senior managers.”50

Dengan demikian, dalam rangka reformasi kultural pertanyaan-


pertanyaan mendasar yang harus dijawab terlebih dahulu adalah :
a. Seberapa besar komitmen Polri untuk berubah ?
b. Apakah perubahan yang akan dilaksanakan Polri hanyalah sebagai
strategi untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan yang ada di
sekitarnya, tanpa menyadari bahwa perubahan tersebut benar-benar
diperlukan ?
c. Mengapa harus berubah apa untungnya ? Perubahan tersebut hanya akan
membuat kita sulit untuk bisa seperti dulu yaitu bebas memanfaatkan
masyarakat sebagai objek pemolisian yang menggunakan pendekatan
memanfaatkan masyarakat untuk kepentingan pribadi bukan
menempatkan masyarakat sebagai subyek atau mitra.
d. Seberapa besar keikhlasan Polri untuk meninggalkan kenikmatan serta
kemewahan yang diperoleh dari peluang-peluang dan celah-celah dalam
jabatan dan kewenangannya ?
e. Seberapa besar kesadaran untuk menghilangkan prinsip “Aji Mumpung”
artinya mumpung masih menjabat kapan lagi bisa menabung untuk hari
tua ?
Setelah pertanyaan ini bisa dijawab dengan penuh kesadaran dan
keihklasan bahwa perubahan merupakan sesuatu yang urgen dan harus
50
David H.Bayley, Democratizing the Police Abroad: What to Do and How to Do It, National Institute of Justice,
U.S. Department of Justic, 2001, Hlm.20.
24

disepakati bersama baik secara individu maupun institusional, baru lah


reformasi tersebut digulirkan sehingga tidak terkesan hanya sebagai formalitas
yang sebenarnya berada di luar tujuan dari reformasi itu sendiri.
Dari mana Polri harus memulainya ? Penulis berpendapat bahwa tidak
sulit mengubah perilaku personil Polri selama ketauladanan yang baik yang
menghiasi manajemen dan kepemimpinan Polri. Sangatlah indah bila reformasi
yang sekarang ini sedang bergulir menciptakan Polri yang dalam dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat dan penegakan hukum tidak
sekedar menjalankan suatu “job description”, melainkan mewujudkan moral
yang terkandung dalam pekerjaan tersebut.51

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dari bebarapa pembahasan di atas, penulis mengintisarikan tujuan penegakan


hukum dari definisi penegakan hukum dari beberapa literatur, fungsi, peran,
tujuan dan tugas pokok Polri dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang
Polri dan kebijakan pemerintah tentang penegakan hukum dalam Undang-
Undang No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) Tahun 2005–2025, bahwa tujuan penegakan hukum Polri
bila ditinjau dari perspektif visi, misi dan arah kebijakan pemerintah
mempunyai tujuan yang sangat luas meliputi tujuan hukum, tujuan sosial,
tujuan Polri dan tujuan negara yang semuanya tertuju pada satu hal yaitu
mayarakat atau rakyat dan segenap bangsa Indonesia. Dari perspektif ini, Polri
harus menyadari bahwa dari masing-masing tujuan tersebut mengandung
kontradiksi-kontradiksi yang juga patut dipertimbangkan dalam merumuskan
tujuan penegakan hukum Polri yaitu (1) Kontradiksi dalam fungsi, peran, tugas
pokok dan tujuan Polri, (2) Kontradiksi dalam tujuan hukum, (3) Kontradiksi
dalam pencapaian tujuan hukum dan tujuan sosial serta tujuan negara. Dengan
demikian, menempatkan masyarakat sebagai sentral yang harus dituju dalam
penegakan hukum sehingga untuk mengantisipasi perbedaan cara pandang
dalam penegakan hukum menimbulkan konsekuensi bahwa perlu kiranya
ditetapkan kembali tujuan penegakan hukum Polri yang lebih berorientasi pada
masyarakat yang dilayaninya untuk menselaraskan banyaknya tujuan yang
hendak dicapai dalam penegakan hukum dari sudut pandang kebijakan
pemerintah.
2. Polri telah mentranformasikan tujuan penegakan hukum yang tersirat dalam
kebijakan pemerintah dalam kebijakan reformasi birokrasi Polri. Dalam

51
Satjipto Raharjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Gentha Publishing, Yogyakarta, 2009,
Hlm.83.
25

rumusannya kebijakan reformasi birokrasi Polri tersebut secara konseptual


telah menjawab kontradiksi-kontradiksi dalam upaya Polri menselaraskan
tujuan penegakan hukumnya dengan tujuan-tujuan lainnya yang juga hendak
dicapai dalam penegakan hukum. Reformasi birokrasi dalam bidang penegakan
hukum ini juga merupakan penegasan terhadap kebijakan penegakan hukum
sebelumnya yang pernah digulirkan Polri yaitu kebijakan penegakan hukum
yang terkandung dalam strategi perpolisian masyarakat yang mengandung
keselarasan dengan gagasan hukum progresif. Namun demikian kebijakan ini
masih menemukan kebuntuan dalam menghadirkan penegakan hukum sebagai
institusi yang membahagiakan masyarakat yang menurut hemat penulis
disebabkan oleh tidak diaturnya tujuan penegakan hukum itu secara jelas
sehingga dalam pelaksanaannya ditafsirkan berbeda-beda dan tetap berkiblat
pada hukum secara normatif. Untuk mendukung kebijakan penegakan hukum
yang lebih berorientasi pada masyarakat dan dalam menjawab permasalahan-
permasalahan dalam penegakan hukum perlu kiranya membenahi penegakan
hukum dengan melihat ruang lingkup bekerjanya hukum sebagai suatu sistem.
Dari aspek substansi, Polri seharusnya tidak boleh terlena dengan
keterbatasasan sistem hukum yang ada, kebijakan untuk menerobos
keterbatasan itu sebenarnya sudah dibuat oleh Polri namun mengalami kendala
dalam pelaksanaannya. Dari aspek struktur, reformasi struktural dalam
menyusun suatu struktur organisasi yang lebih berorientasi pada masyarakat
seharusnya tidak hanya didukung oleh partisipasi internal tapi juga partisipasi
masyarakat. Dari aspek kultur, perubahan kultur yang begiu mentradisi harus
dimulai dari atas dengan penuh kesadaran dan keikhlasan bukan hanya sekedar
slogan atau simbol yang terkesan begitu formal sebagai penyesuaian terhadap
perubahan yang ada di sekitar Polri tetapi sebagai suatu yang dibutuhkan
sebagai komponen yang paling sulit diubah dalam reformasi birokrasi
khususnya dalam bidang penegakan hukum.

You might also like