You are on page 1of 8

1

A. SOAL LATIHAN
1. Jelaskan ruang lingkup delik pers?
2. Kapan suatu perbuatan pidana masuk ke dalam klasifikasi delik pers?
3. Jelaskan perbedaan delik pers dengan tindak pidana pencemaran nama
baik yang diatur dalam KUHP?
4. Jelaskan apakah dalam delik pers berlaku azas lex specialis derogat legi
lex generalis bila dibandingkan antara UU Pers dengan KUHP?
5. Jelaskan teori-teori pertanggungjawaban dalam delik pers dan teori
manakah yang biasanya menjadi rujukan hakim dalam mengadili delik
pers?
B. JAWABAN SOAL
1. Sebelum mengetahui apa saja ruang lingkup delik pers, maka ada baiknya terlebih
dahulu kita memahami definisi dari kata “Pers” tersebut. Pers Menurut Oemar
Seno Adji dibagi menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu :
1) Dalam arti sempit : mengandung pengertian penyiaran-penyiaran fikiran,
gagasan ataupun berita-berita dengan jalan kata tertulis.
2) Dalam Arti kata Luas : memasukkan di dalamnya semua media mass
comunications yang memancarkan fikiran dan perasaan seseorang baik
dengan kata-kata tertulis maupun dengan kata-kata lisan.

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers


menyebutkan :
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komuniksi masssa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik
dala bentuk tulisan, suara, gambar, saura dan gambar, serta data dan
grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak,
media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
2

Jadi dari pengertian pers di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup
delik pers adalah semua kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dala bentuk
tulisan, suara, gambar, saura dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam
bentuk lainnya yang menjadi delik yang diancam pidana/dijatuhi pidana yang
untuk penyelesaiannya memerlukan publikasi dengan menggunakan pers.
Refrensi Jawaban :
1. Oemar Seno Adji, 1997, Mass Media Hukum, Erlangga, Jakarta, Hal. 13.
2. Rifqi Sjarief Assegaf, 2004, Pers Diadili, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan,
Leip3, Edisi 3. Hal. 80
2. Suatu perbuatan pidana masuk ke dalam klasifikasi delik pers :
Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
perbuatan yang dapat dihukum. Suatu perbuatan pidana masuk ke dalam
klasifikasi delik pers adalah ketika adanya publikasi yang merupakan suatu syarat
menumbuhkan kejahatan. Publikasi inilah yang secara khusus mengangkat delik
menjadi delik pers. Berita sebagai sajian pers itu berproses melalui tahapan
tahapan tertentu. Dari tahapan ini pula dapat dilihat dan selanjutnya dipilih
sehingga akan menentukan kadar pertanggungjawaban dan siapa yang seharusnya
mempertanggungjawaban ketika terjadi permasalahan akibat berita yang telah
disajikan.
Dan lebih lanjut lagi suatu perbuatan pidana itu masuk ke dalam
klasifikasi delik pers adalah ketika suatu perbuatan itu dianggap kejahatan atau
pelanggaran yang dilakukan melalui pers
Refrensi Jawaban :
1. Kejahatan Pers Dalam Perspektif Hukum dalam http://anggara.org/2006/11/07
2. Rifqi Sjarief Assegaf, 2004, Pers Diadili, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan,
Leip3, Edisi 3. Hal. 80
3

3. Perbedaan delik pers dengan tindak pidana pencemaran nama baik yang
diatur dalam KUHP adalah sebagai berikut :
a. Delik Pers
1) Dalam pengertian umum, delik pers adalah kejahatan atau pelanggaran yang
dilakukan melalui pers;
2) Dalam pengertian menurut peraturan (yuridis) sebagaimana tercantum di
dalam Reglement op de Drukswerken 1856, delik pers adalah kejahatan atau
pelanggaran dengan mempergunakan barang cetak yang berupa melipat
gandakan tulisan, hasil seni lukis dan teks musik yang dihasilkan oleh
pekerjaan mesin atau bahan kimia ;
3) Dalam pengertian yang dibatasi menurut para ahli hukum, dengan
persyaratan:
a) Berupa pernyataan pikiran atau pendapat orang;
b) Dilakukan dengan melalui alat cetak atau pers;
c) Dan harus adanya publikasi telah terjadi delik.
Pengertian delik pers menurut ahli hukum yang dibatasi dengan tiga
persyaratan tersebut di atas membawa konsekwensi, bahwa apabila tidak
memenuhi syarat pertama lebih dahulu dan kemudian syarat berikutnya maka
tidak termasuk golongan delik pers, sedangkan;
b. Pencemaran Nama Baik Dalam KUHP
Dalam KUHP pencemaran nama baik diistilahkan sebagai
penghinaan/penistaan terhadap seseorang, terdapat dalam Bab XVI, Buku I
KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal
318 KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang,
secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317
ayat (1) dan Pasal 318 ayat (1) KUHP
R. Soesilo menerangkan apa yang dimaksud dengan “menghina”,
yaitu “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang
biasanya merasa “malu”. “Kehormatan” yang diserang disini hanya mengenai
4

kehormatan tentang “nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan


seksuil.1 Menurut R. Soesilo, penghinaan dalam KUHP ada 6 macam yaitu :
1. menista secara lisan (smaad);
2. menista dengan surat/tertulis (smaadschrift);
3. memfitnah (laster);
4. penghinaan ringan (eenvoudige belediging);
5. mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht);
6. tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)
Semua penghinaan di atas hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari
orang yang menderita/dinista/dihina (delik aduan), kecuali bila penghinaan itu
dilakukan terhadap seorang pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan
pekerjaannya secara sah
Obyek dari penghinaan tersebut harus manusia perseorangan,
maksudnya bukan instansi pemerintah, pengurus suatu perkumpulan,
segolongan penduduk dan lain-lain. Bila obyeknya bukan perseorangan, maka
dikenakan pasal-pasal khusus seperti : Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP
(penghinaan pada Presiden atau Wakil Presiden) yang telah dihapuskan
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP
(penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia).
Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP, penghinaan yang dapat
dipidana harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan
perbuatan yang tertentu”, dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui
orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu suatu perbuatan yang
boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzinah, dan sebagainya.
Perbuatan tersebut cukup perbuatan biasa, yang sudah tentu merupakan
perbuatan yang memalukan, misalnya menuduh bahwa seseorang telah
berselingkuh. Dalam hal ini bukan perbuatan yang boleh dihukum, akan tetapi
cukup memalukan bagi yang berkepentingan bila diumumkan. Tuduhan
tersebut harus dilakukan dengan lisan, apabila dilakukan dengan tulisan
5

(surat) atau gambar, maka penghinaan itu dinamakan “menista/menghina


dengan surat (secara tertulis)”, dan dapat dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP.
Kemudian selanjutnya yang memebedakan antara delik pers dengan
pencemaran nama baik adalah Pasal 310 dan 311 KUHP merupakan delik
umum. Artinya Pasal 310 dan 311 KUHP dapat saja didakwakan kepada siapa
saja, tidak hanya kepada mereka yang berprofesi sebagai jurnalis atau insan
pers.
Refrensi Jawaban :
1. Rifqi Sjarief Assegaf, 2004, Pers Diadili, Jurnal Kajian Putusan
Pengadilan,Leip3, Edisi 3. Hal. 80
2. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia – Bogor,
1996, hal. 225.

4. Berlaku atau tidaknya azas lex specialis derogat legi lex generalis bila
dibandingkan antara UU Pers dengan KUHP?
Dalam delik pers, UU No. 40 Tahun 1999 belum bisa diberlakukan
sebagai Lex Specialis, karena undang-undang tersebut menurut ahli hukum
Nono Anwar Makarim tidak memenuhi syarat formal maupun material
tentang doktrin hukum khusus. Kecuali itu, masih begitu banyak delik pers
yang belum diatur di dalam undang undang tersebut. UU No. 40 tahun 1999
hanya mengatur 3 delik pers, yaitu pelanggaran terhadap norma agama, norma
susila dan asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1). Bagaimana dengan delik
kabar bohong? Delik pencemaran nama? Delik membuka rahasia negara, dan
sebagainya? Karena delik-delik tersebut belum diatur dalam UU No. 40
Tahun 1999, tepatlah kalau hakim mencari peraturan perundang-undangan di
luar UU No. 40 Tahun 1999, khususnya KUHP.
Dalam peradilan banding Tommy Winata lawan Koran Tempo,
Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi Jakarta mengemukakan bahwa
6

“selain Undang-Undang tentang Pers (Undang-Undang No. 40 tahun 1999)


tidak mengatur mekanisme atau hukum acara penyelesaian sengketa pers,
adalah hak setiap orang in casu Tergugat Rekonpensi/Penggugat
Konpensi/Terbanding untuk menuntu atau mempertahankan haknya dari
orang lain (in casu Penggugat Rekonpensi/Tergugat I Konpensi/Pembanding)
dengan mengajukan gugatan perdata di depan pengadilan”. (Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta No. 358/Pdt/2004/PT.DKI, hal. 12). Pertimbangan
Majelis Hakim banding ini, secara implisit, sebetulnya merupakan pengakuan
bahwa UU Pers belum dapat menyelesaikan setiap sengketa hukum yang
ditimbulkan oleh pemberitaan pers dan oleh karena itu UU Pers belum bisa
dikatakan sebuah Lex Specialis.
Zoeber Djajadi, S.H., Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan yang mengadili perkara Tommy Winata lawan Koran Tempo
berpendapat bahwa “Dalam masalah pencemaran nama baik, Undang-Undang
Pers bukanlah Lex Specialist. Sejak dulu saya selalu mengatakan itu.
Pengamat pun bilang begitu!”
Jadi dalam delik pers, azas lex specialis derogate legi generalis tidak
berlaku bila dibandingakan antara UU Pers dengan KUHP. Hal ini
dikarenakan tidak memenuhi syarat formal maupun material tentang doktrin
hukum khusus dan masih begitu banyak delik pers yang belum diatur di dalam
UU Pers tersebut.

Refrensi Jawaban :
1. Kompas, 6-5-2004, hal. 9
2. (Amir Syamsuddin, Kompas, 18-9-2004, hal. 4; Lesmana, Pilars,
No. 11 Thn VII).
3. (Majalah Tempo, No. 48/XXXII/26 Januari – 01 Februari 2004).
4. www.antikorupsi.org
7

5. Teori-teori pertanggungjawaban dalam delik pers dan teori yang menjadi


rujukan hakim dalam mengadili delik pers
a. Teori pertanggungjawaban dalam delik pers
1) stair system (system bertangga)
Stair system biasa pula disebut fiksi pertanggungjawaban redaksi. Artinya
pertanggungjawaban yang dipikul oleh Pemimpin Redaksi (Pemred) adalah
fiktif karena yang melakukan perbuatan (delik pers) bukan dia melainka orang
lain(wartawan), tetapi ia yang harus bertanggungjawba. System bertangga
dapat menyebabkan wartwan kurang hati-hati dlam menjalankan tugas, karena
apabila ia melakukan delik pers maka bukan dia yang wajib bertangungjawab.
2) Waterfall system (system air terjun)
Dalam system air terjun Pemimpin Redaksi dapat mengalihkan tanggung
jawab hukum kepada anggota redaksi yang lain dan seterusnya hingga kepada
wartawan yang mungkin memang adalah pelaku delik per(penulis yang
sebenarnya). System air terjun dapat menyebabkan wartawan bawahan lebih
berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya agar tidak mudah terjebak dalam
delik pers.
b. Teori yang menjadi rujukan hakim dalam mengadili delik pers
Pertanggungjawaban pers terhadap pemberitaan yang merugikan
nama baik orang lain sesuai dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers dapat diterapkan pertanggungjawaban pidana
dengan sistem bertangga (Stair System) yaitu Pemimin Redaksi
bertanggungjawab atas pemberitaan yang dibuat oleh bawahannya atau
wartawan. Hal ini bisa dihubungkan dengan beberapa putusan hakim yang
menyatakan Pemimpin Redaksi bertanggung jawab terhadap materi
pemberitaan, karena yang menentukan diterbitkan atau tidaknya suatu berita
adalah Pemimpin Redaksi sebelumnya sistem pertanggungjawaban pidana
yang dianut adalah pertanggungjawaban pidana dengan sistem air terjun
(Waterfall System) yaitu tanggung jawab pemimpin redaksi dapat dialihkan
8

kepada redaktur lain atau kepada penulis yang bersangkutan. Hal ini diatur
dalam Pasal 15 Undang-undang Nomr 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pers.
Refrensi Jawaban :
1. Samsul Wahidin, 2005, Hukum Pers, Pustaka Pelajar,Banjarmasin, Hal.
139.
2. Rifqi Sjarief Assegaf, 2004, Pers Diadili, Jurnal Kajian Putusan
Pengadilan,Leip3, Edisi 3. Hal. 32

You might also like