You are on page 1of 12

EPIFISIOLISIS

PENDAHULUAN
Epifisiolisis adalah fraktur pada anak-anak yang melibatkan lempeng pertumbuhan.
Karena lempeng pertumbuhan adalah suatu bagian tulang yang relatif lemah, strain sendi yang
dapat menyebabkan cedera ligamen pada orang dewasa cenderung akibat terjadi pemisahan pada
lempeng pertumbuhan saat mereka masih anak-anak.
Fraktur biasanya berjalan melintang melalui lapisan hipertrofik atau lapisan kapur pada
lempeng pertumbuhan, sering masuk ke dalam metafisis pada salah satu tepi dan mencakup bibir
segitiga dari tulang. Hal ini tidak memberi banyak efek pada pertumbuhan longitudinal, yang
terjadi dalam lapisan germinal fisis dan lapisan fisis yang bertumbuh. Tetapi kalau fraktur
melintasi lapisan reproduksi maka dapat berakibat penulangan prematur pada bagian yang
mengalami cedera dan menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang. Klasifikasi yang paling
banyak digunakan adalah Salter dan Harris yang membedakan lima jenis fraktur.
Patah tulang piringan epifiseal menimbulkan permasalahan khusus dalam hubungannya
dengan diagnosa maupun perawatan, selain itu patah tulang ini menimbulkan resiko komplikasi
dengan gangguan serius pertumbuhan local dan perkembangan pembentukan tulang selanjutnya
selama masa pertumbuhan tulang sehingga klasifikasi luka sangat berpengaruh dalam perawatan
dan dapat sebagai petunjuk komplikasi jangka panjang yang mungkin terjadi.
Maka dari itu penanganan patah tulang pada anak membutuhkan pertimbangan bahwa
anak masih tumbuh. Disamping itu kemampuan penyembuhan anak lebih cepat dan karena itulah
perpendekan serta perubahan bentuk akibat patah tulang lebih dapat ditoleransi oleh anak
A. DEFINISI

Growth plate atau fisis adalah lempeng kartilago yang terletak di antar epifisis (pusat
penulangan sekunder) dan metafisis. Ini penting bagi pertumbuhan tulang panjang agar terjadi.
Bagian ini juga menjadi satu titik kelemahan dari semua struktur tulang terhadap trauma
mekanik. Fisis, secara histologik terdiri dari 4 lapisan, yaitu :

a. Resting zone: Lapisan teratas yang terdiri dari sel-sel germinal yang datar dan merupakan
tempan penyimpanan bahan-bahan metabolik yang akan digunakan nantinya.

b. Proliferating zone: Sel-sel di area ini secara aktif bereplikasi dan tumbuh menjadi lempeng.
Sel-sel tersebut disebut seperi tumpukan lempeng. Pada area ini, sel-selnya menggunakan bahan
metabolik yang sebelumnya disimpan untuk perjalanan mereka ke metafisis.

c. Hypertrophic zone: Sel-sel di area ini cenderung membengkak dan berubah menjadi lebih
katabolik. Sel mempersiapkan matriks untuk mengalami kalsifikasi dan berubah menjadi tulang.
Area ini menjadi letak terlemah secara mekanis.

d. Calcified zone: Secara metabolik, matriks menyebar untuk deposisi garam kalsium, dan
membentuk osteoid. Di daerah yang dekat metafisis, cabang-cabang pembuluh darah kecil
menjalar ke lapisan basal dari lempeng fisis.

Gambar 1. Bagian-bagian dari tulang immatur


Gambar 2. Gambaran histologi tulang

B. PATOFISIOLOGI

Gambaran histologis dari fisis sangat penting untuk memahami prognosis patah physeal.
Lapisan germinal tulang rawan berada diatas epiphisis dan menguraikan nutrisi dari bejana
epifiseal. Sel tulang rawan tumbuh dari epiphysis menuju metafisis, yang kemudian terjadi
degeneratif, fragmentasi dan mengalami hipertrofi. Fragmentasi sel kemudian termineralisasi. Ini
merupakan zona pengerasan sementara yang membentuk pembatas metafiseal, dan bukan tulang
rawan.
Neovaskularisasi terjadi dari metafisis menuju epifisisis. Sel endotelial berubah menjadi
osteoablast dan menggunakan puing-puing sel yang mengalami degeneratif untuk membentuk
tulang muda primer. Tulang muda ini secara progresif dibentuk kembali menjadi tulang dewasa
dan pembentukan ini kemudian menjadi tulang harversian dewasa. Kerusakan baik pada saluran
vascular epiphyseal maupun metaphyseal mengganggu pertumbuhan tulang, akan tetapi
kerusakan lapisan tulang rawan mungkin tidak signifikan jika permukaannya tidak terganggu dan
saluran vaskular ke tulang rawan tidak terganggu secara permanen. Jika kedua dasar vaskular
saling bersentuhan, fisis tersebut tertutup dan tidak ada lagi pertumbuhan tulang berikutnya yang
terjadi.
Daerah piringan epifiseal merupakan bagian tulang rawan yang mengeras, dan jika terjadi
fraktur yang melibatkan piringan epifiseal, biasanya garis pemisah berjalan melintang melalui
lapisan hipertrofik atau lapisan kapur pada lempeng pertumbuhan, dan sering masuk kedalam
metafisis pada salah satu tepi dan mencakup bibir segitiga dari tulang. Ini tidak memberikan
banyak efek terhadap pertumbuhan longitudinal yang terjadi dalam lapisan germinal fisis dan
lapisan fisis yang sedang berkembang biak.
Tetapi kalau fraktur melintasi lapisan sel reproduksi pada lempeng dapat mengakibatkan
penulangan premature pada bagian yang mengalami cidera dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan tulang. Selain itu suplai darah piringan epfisieal yang masuk dari permukaan
epiphyseal dapat kehilangan pasokan darahnya sehingga dapat mengakibatkan piringan tersebut
menjadi nekrotis dan tidak tumbuh lagi. Pada beberapa tempat suplai darah pada epifiseal tidak
rusak pada saat terjadi luka karena pada epifiseal femoral proximal dan epifiseal radial proximal
pembuluh darah mengalir melalui leher tulang dan memotong sekeliling epifiseal

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi fraktur piringan epifiseal Salter-Haris berdasarkan pada mekanisme fraktur
dan juga hubungan garis patahan terhadap sel tumbuh piringan epifiseal, selain itu, ini berkaitan
dengan metode perawatan dan juga prognosis luka yang berhubungan dengan gangguan
pertumbuhan.

Gambar 3. Klasifikasi Salter-Harris


1. Tipe I (Slipped/ Separation)
Terdapat pemisahan total epiphysis sepanjang tulang tanpa patah tulang, sel piringan epifiseal
yang tumbuh masih melekat pada epiphysis. Jenis luka ini akibat gaya gunting, lebih umum
terjadi pada bayi yang baru lahir ( dari luka kelahiran ) dan pada anak-anak yang masih muda
dimana piringan epifiseal masih relatif tebal. Prognosis baik, biasanya hanya dengan closed
reduction, ORIF dapat dilakukan jika stabilitas tidak tercapai atau tidak terjamin

Gambar 4. Fraktur tipe 1.

2. Tipe II ( Above)
Garis pemisah patah tulang memanjang sepanjang piringan epiphyseal hingga jarak tertentu dan
kemudian keluar melalui bagian metaphysis sehingga mengakibatkan fragmentasi metaphyseal
berbentuk triangular. Sel tumbuh pada piringan tersebut masih melekat pada epiphysis. Jenis
fraktur ini, akibat dari gaya gunting dan tekuk, biasanya terjadi pada anak-anak yang lebih besar
dimana piringan epiphyseal relatif tipis. Periosteum tersobek pada sisi cembung angulasi tersebut
tetapi melekat pada sisi cekung sehingga engsel periosteal utuh dan selalu berada pada sisi
potongan metafiseal. Fraktur tipe 2 ini adalah fraktur yang paling sering terjadi (75%).
Gambar 5. Fraktur tipe 2 distal tibia.

3. Tipe III (Lower)

Patah tulang tipe 3 ini adalah intra-articular, memanjang dari permukaan sambungan hingga
bagian dalam piringan epifiseal dan kemudian sepanjang piringan tersebut hingga sekelilingnya.
Jenis fraktur yang tidak umum ini disebabkan oleh gaya gunting intra artikular dan biasanya
terbatas pada epifisis tibia distal. Sering memerlukan ORIF untuk memastikan realignment
anatomis.

Gambar 6. Fraktur tipe 3 distal tibia


4. Type IV (Through)
Patah tulang yang intra-articular, mamanjang dari permukaan sambungan malalui epifisis
memotong ketebalan piringan epifiseal dan melalui bagian metaphysis. Contoh yang paling
umum dari fraktur tipe IV ini adalah patah tulang condyle lateral tulang lengan bagian atas.

Gambar 7. Fraktur tipe 4 distal tibia

5. Type V (Raised)
Fraktur yang relatif kurang umum ini diakibatkan oleh gaya tekan yang keras yang terjadi pada
epifisis menuju ke piringan epifiseal. Tidak ada fraktur yang kelihatan tetapi lempeng
pertumbuhan remuk dan ini mungkin mengakibatkan terhentinya pertumbuhan. Seperti juga
yang terjadi pada daerah lutut dan pergelangan kaki.
Gambar 8. Fraktur tipe 5 distal tibia

D. GAMBARAN KLINIK

Fraktur ini lebih sering ditemukan pada anak laki-laki daripada anak perempuan dan
biasanya ditemukan pada masa bayi atau diantara usia 10-12 tahun. Deformitas biasanya sedikit
sekali, tetapi setiap cedera pada anak yang diikuti dengan rasa nyeri dan nyeri tekan di dekat
sendi harus dicurigai, dan pemeriksaan dengan sinar X penting dilakukan.
Sinar X fisis sendiri bersifat radiolusen dan penulangan epifisis mungkin belum lengkap,
ini membuat sulit mengatakan apakah ujung tulang telah rusak atau mengalami deformasi. Lebih
muda si anak lebih kecil bagian epifisis yang kelihatan sehingga lebih sukar menegakkan
diagnosis maka perbandingan dengan sisi yang normal dapat sangat membantu. Tanda-tanda
yang memberi petunjuk adalah pelebaran dari celah fisis , ketidaksesuaian sendi atau miringnya
poros epiphysis. Kalau terdapat pergeseran yang nyata diagnosinya jelas, tapi fraktur tipe IV
sekalipun mula-mula dapat sedikit pergeserannya sehingga garis fraktur sulit dilihat dan kalau
terdapat kecurigaan yang sedikitpun mengenai adanya fraktur fisis, pemeriksaan ulang sinar X
setelah 4 atau 5 hari perlu dilakukan
E. PENANGANAN

Fraktur yang tidak bergeser dapat diterapi dengan membebat bagian itu dalam gips atau
suatu slab gips yang ketat selama 2-4 minggu (tergantung tempat cedera dan anak umur itu).
Tetapi pada fraktur tipe 3 dan tipe 4 yang tak bergeser, pemeriksaan sinar X setelah 4 hari dan
sekali lagi sekitar 10 hari kemudian wajib dilakukan agar pergeseran yang terjadi belakangan
tidak terlewatkan.
Pada tipe I reduksi tertutup tidak sulit karena perlekatan periosteal utuh disekitar
lingkarannya dan kemudian dibebat dengan erat selama 5-6 minggu. Prognosis untuk masa yang
akan datang sangat dipengaruhi oleh suplai darah pada epiphysis, dimana biasanya pada tempat
selain epiphysis femoral femoral proximal dan epiphysis radial proximal.
Pada tipe II reduksi tertutup relatif mudah didapatkan begitu juga dengan perawatannya
karena engsel periosteal utuh dan potongan metaphysis terlindung selama reduksi. Prognosis
selama perkembangan yang sempurna dengan suplai darah pada epifisis umunya baik, yang
hampir selalu berada pada tempat dimana fraktur type II terjadi.
Penanganan pada tipe III membutuhkan reduksi anatomis yang sempurna. Dapat
dilakukan usaha untuk mencapai hasil ini dengan manipulasi secara pelan-pelan dibawah
anestesi umum, kalau ini berhasil tungkai ditahan dengan gips selama 4-8 minggu. Kalau tidak
dapat direduksi dengan tepat dengan manipulasi tertutup, reduksi terbuka biasanya dibutuhkan
segera untuk mengembalikan permukaan sambungan normal yang sempurna. Tungkai kemudian
dibebat selama 4-6 minggu, tetapi diperlukan waktu selama itu lagi sebelum anak siap untuk
melanjutkan aktivitas tanpa batasan. Prognosis untuk pertumbuhan adalah suplai darah yang baik
yang diberikan pada bagian epiphysis yang terpisah.
Penanganan tipe IV yaitu reduksi terbuka dan fiksasi internal dengan kawat Kirschner
diperlukan dimana tidak hanya untuk mengembalikan permukaan sambungan normal tetapi juga
untuk mendapatkan pengembalian posisi piringan epiphyseal, kecuali jika permukaan patah
piringan epiphyseal dibiarkan tereduksi maka penyembuhan patahan tulang terjadi sepanjang
piringan tersebut dan selanjutnya memberikan pertumbuhan longitudinal yang tidak mungkin.
Prognosis untuk pertumbuhan pada tipe IV ini jelek kecuali jika reduksi sempurna dicapai dan
terjaga.
Karena epiphysis tersebut biasanya tidak tergeser, diagnosis fraktur tipe V sulit untuk
dilakukan. Beban ringan harus diabaikan paling tidak tiga minggu dengan harapan untuk
menjaga tekanan selanjutnya pada epiphyseal. Prognosis fraktur tipe V kurang diperhatikan
karena gangguan pertumbuhan hampir tidak terlihat.
Dari penanganan diatas dapat dikatakan bahwa luka yang melibatkan piringan epiphyseal
harus dirawat dengan hati-hati dan secepatnya. Fraktur tipe I dan II hampir dapat selalu dirawat
dengan reduksi tertutup. Fraktur tipe III biasanya membutuhkan reduksi terbuka dan tipe IV
selalu membutuhkan reduksi terbuka dan fiksasi internal. Periode immobilisasi yang dibutuhkan
pada fraktur tipe I, II, dan III hanya setengah dari yang dibutuhkan untuk patah tulang
metaphysis pada tulang yang sama pada anak dengan usia yang sama. Selanjutnya perlu diteliti
secara klinis dan radiologi dengan cemat dalam interval yang teratur paling tidak satu tahun dan
kadang lebih untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan.

F. PROGNOSIS

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam memperkirakan prognosis fraktur piringan


epiphyseal pada anak antara lain:
1. Tipe fraktur.
Prognosis untuk masing-masing dari kelima tipe klasifikasi fraktur piringan epifiseal telah
dibahas diatas.
2. Usia anak.
Anak dengan usia yang lebih muda pada saat mengalami fraktur akan mempunyai gangguan
pertumbuhan yang lebih besar.
3. Suplai darah pada epiphysis
Gangguan suplai darah pada epiphysis berhubungan dengan prognosis jelek.
4. Metode Reduksi
Manipulasi yang sangat besar pada epiphysis yang tergeser dapat merusakan piringan epiphyseal
tersebut dan oleh karenanya dapat meningkatkan gangguan pertumbuhan.
5. Luka terbuka atau tertutup
Fraktur piringan epiphyseal terbuka dapat mengakibatkan infeksi yang pada akhirnya akan
merusak piringan tersebut dan mengakibatkan berhentinya proses pertumbuhan sebelum
waktunya.

G. KESIMPULAN

1. Salter Haris merupakan jenis patah tulang yang sering terjadi pada anak-anak yaitu patah
tulang yang melibatkan cedera piringan epiphyseal.
2. Fraktur piringan epiphyseal Salter Haris berdasarkan pada mekanisme fraktur dan juga
hubungan garis patahan terhadap sel tumbuh piringan epiphyseal diklasifikasikan dalam 5 type.
3. Penanganan tipe I dan II dengan reduksi tertutup, tipe III dengan reduksi terbuka dan tipe IV
dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal.
4. Tipe V diagnosanya sulit ditegakkan karena epiphisis biasanya tidak bergeser. Penanganannya
dengan mengurangi tekanan paling tidak selama tiga minggu.
5. Prognosis fraktur piringan epiphyseal pada anak tergantung pada tipe fraktur, usia, suplai
darah pada epiphysis, metode reduksi, dan luka terbuka atau tertutup.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nugroho E., 1995, Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, ED. 7, hal 281-282,
Widya Medika, Indonesia.
2. De Jong W., Sjamsuhidajat R., 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi : 1140,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
3. NN. Fraktur Salter Harris. Diakses dari : http://medlinux.blogspot.com/2009/03/fraktur-
salter-haris.html diunduh pada April 2010
4. Bevan C. 2006, Salter Harris Fracture diakses dari radiology.med.sc.edu/Salter-
Harris.ppt diunduh pada April 2010
5. Hasan. Fraktur pada anak. Diakses dari : http://drhasan.wordpress.com/2009/02/01/fraktur-
pada-anak/ diunduh pada April 2010
6. Duckworth A. Salter Harris Fracture. Diakses dari : http://medinfo.ufl.edu:8050/
~radelect/presentations/msk/salter_harris_fracture_alex_duckworth.pdf
7. Moore W., 2003, http//www. eMedicine - Salter-Harris Fractures Article,.htm

You might also like