Professional Documents
Culture Documents
1. Umum
Politik hukum dikenal juga dengan “legal policy atau arah hukum yang
akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya
74
dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama” .
Dengan demikian, politik hukum agraria merupakan arah kebijaksanaan
hukum dalam bidang agraria dalam usaha memelihara, mengawetkan,
memperuntukan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi
tanah dan sumber daya alam lainnya yang terkandung di dalamnya untuk
kepentingan dan kesejahteraan rakyat, yang hal ini juga terdapat dalam konsep
75
tujuan hukum tanah . Dimana dalam pelaksanaan legal policy itu dapat
dituangkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang memuat asas,
dasar, dan norma dalam bidang agraria.
Pelaksanaan UUPA ini mempunyai arti ideologis yang sangat penting.
Sebab undang-undang ini merupakan penjabaran langsung dari Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, sebagai “basic power” demokrasi ekonomi yang sedang
dikembangkan dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat.
2. Pada Masa Penjajahan Belanda
Politik hukum agraria kolonial menganut prinsip dagang, yakni untuk
mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin,
kemudian dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuannya tidak lain
mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang
merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha
Belanda dan pengusaha Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia hanya
menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam.
Sistem politik hukum agraria kolonial ditandai dengan empat (4) ciri,
76
yaitu :
1) dominasi;
Prinsip dominan terjadi dalam kekuasaan golongan penjajah yang minoritas
terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini ditopang oleh keunggulan
militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk pribumi.
2) eksploitasi;
Eksploitasi dilakukan dengan pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk
kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil
produksinya untuk diserahkan kepada penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah
dikirim ke negara induknya untuk kemakmuran mereka sendiri.
3) diskriminasi;
74
Mahfud MD. Membangun ......op.cit, hlm. 13
75
Singgih Praptodihardjo, (1), hlm. 26-37.; Sunarjati Hartono. CFG, (7a), hlm. 89-114
76
Noer Fauzi dalam Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta,
Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005, hlm. 28
43
44
Politik Hukum
Diskriminasi dilakukan dengan perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah
dianggap sebagai golongan yang superior, sedangkan penduduk pribumi yang
dijajah dipandang sebagai bangsa yang rendah atau hina.
4) dependensi.
Dependensi adalah ketergantungan masyarakat jajahan terhadap penjajah.
Masyarakat terjajah menjadi makin tergantung kepada penjajah dalam hal modal,
teknologi pengetahuan, dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan
miskin.
Contoh politik hukum agraria kolonial yang dimuat dalam Agrarische
Wet (AW) Stb.1870 No.55 dengan isi dan maksud serta tujuan sebagai
berikut:
1) Tujuan primer:
Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan
bidang tanah yang luas dari pemerintah untuk waktu yang cukup lama
dengan uang sewa (canon) yang murah. Di samping itu untuk
memungkinkan orang asing (bukan bumi putera) menyewa atau
mendapat hak pakai atas tanah langsung dari orang bumi putera menurut
peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi. Meaksudnya
adalah memungkinkan berkembangnya perusahaan pertanian swasta
asing.
2) Tujuan sekunder.
Melindungi hak penduduk Bumi Putera atas tanahnya, yaitu:
a) Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hak
Bumi Putera;
b) Pemerintah hanya boleh mengambil tanah Bumi Putera apabila
diperlukan untuk kepentingan umum atau untuk tanaman-tanaman
yang diharuskan dari atasan dengan pemberian ganti kerugian;
c) Bumi Putera diberikan kesempatan mendapatkan hak atas tanah
yang kuat yaitu hak eigendom bersyarat (agrarische eigendom);
d) Diadakan peraturan sewa menyewa antara Bumi Putera dengan
bukan Bumi Putera.
Dalam perjalanan berlakunya AW terjadi penyimpangan terhadap
tujuan skundernya, yaitu adanya penjualan tanah-tanah milik pribumi
langsung kepada orang-orang Belanda atau Eropa lainnya, untuk
menghindari hal yang demikian maka pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan kebijaksanaan berupa Vervreemdingsverbod Stb.1875
77
No.179 .
77
Yang dimaksud dengan Vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah tidak dapat
dipindahtangankan oleh orang-orang Indonesia asli kepada bukan orang Indonesia asli dan oleh karena
itu semua perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak tersbut, baik secara langsung maupun
tidak langsung adalah batal karenanya.
78
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, Cet. Ke-8, 1999, hlm. 43
79
Pengertian hak disini harus diartikan yuridis yang diatur dalam ketentuan hukum barat (BW)
termasuk didalamnya hak rakyat atas tanah yang pada waktu itu tanah-tanah yang mendasarkan pada
hukum adat setempat.
80
Imam Sotiknjo, “Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dalam Rangka Menyukseskan
Pelita V”, Makalah Ceramah Sehari, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya, 1989, hlm. 2-3
81
Kar J. Pelzer, Sengketa Agraria; Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1991, hlm 80
82
Pada masa ini dapat dilihat dikeluarkannya berbagai peraturan, antara lain: UU No.5 Tahun
1952 tentang Penetapan "Undang-Undang Nr 6 Tahun 1951 Untuk Mengubah "Grondhuur Ordonantie"
Dan "Vorstenlandsch Grondhuurreglement" Sebagai Undang-Undang.; UU No.14 Tahun 1952 tentang
Penunjukan Jawatan Regi Garam Sebgai Perusahaan I.B.W. Dengan Nama Baru "Perusahaan Garam
Dan Soda Negeri”.; UU No.6 Tahun 1953 tentang Pernyataan Perlunya Beberapa Tanah Partikelir
Dikembalikan Menjadi Tanah Negeri.; UU No.25 Tahun 1953 tentang Penetapan "Undang-Undang
Darurat Nomor 12 Tahun 1950, Tentang Mengadakan Pajak Peredaran 1950" Dan "Undang-Undang
Darurat Nomor 38 Tahun 1950 Tentang Tambahan Dan Perubahan Undang-Undang Pajak Peredaran
1950" Sebagai Undang-Undang.; UU No.14 Tahun 1954 tentang Pencabutan Ordonansi "Uitvoerverbod
Plantenmateriaal Negara Sumatera Timur 1949".; UU No.19 Tahun 1954 tentang Peraturan Penagihan
Penghasilan Lebih Kepada Negara.; UU No.24 Tahun 1954 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat
Tentang Pemindahan Hak Tanah-Tanah Dan Barang-Barang Tetap Yang Lainnya Yang Bertakluk
Kepada Hukum Eropah Sebagai Undang-Undang.; UU No.21 Tahun 1957 tentang Menetapkan Undang-
Undang Darurat Nomor 14 Tahun 1952 Tentang Perubahan Dan Penambahan Peraturan Pemungutan
Pajak Peralihan, Pajak Upah Dan Pajak Kekayaan Sebagai Undang-Undang.; UU No.76 Tahun 1957
tentang Pengubahan Undang-Undang No. 24 Tahun 1954 Dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1956
Mengenai Penggantian Perkataan "Menteri Kehakiman" Dengan Perkataan "Menteri Agraria".; UU No.78
Tahun 1957 tentang Perubahan Canon Dan Cijns Atas Hak Hak Erfpacht Dan Konsesi Guna
Perusahaan Kebun Besar.; UU No.13 Tahun 1959 tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat No. 25
Tahun 1957 Tentang Penghapusan Monopoli Garam Dan Pembikinan Garam Rakyat" Sebagai Undang-
Undang.; UU No.16 Tahun 1959 tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1959
Tentang Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan Dan Pembukaan Tanah" Sebagai Undang-
Undang.; UU No.2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
83
Moh. Mahfud MD, Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum, merupakan ringkasan
disertasi penulis yang dipertahankan di depan Sidang Senat Terbuka Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta, 25 Juni 1993, juga tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Prisma No.7 – 1995, yang
diterbitkan oleh LP3ES, Jakarta, hlm. 18
84
Abdurrahman, “Pengaruh UUPA dalam Pembaharuan Hukum Perdata di Indonesia”,
Sumbangan pikiran dalam Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional, di Yogyakarta 1988, hlm.
3
85
Daniel S. Lev, “The Land and the Banyan Tree: Civil Law Change in Indonesia”, The American
Journal of Comparative Law, Th. XIV 1965, hlm. 289
86
Wirjono Prodjodikoro. R, Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda, Intermasa, Jakarta, Cet.ke-
5, 1986, hlm. 9
87
Soedargo, Perundang-undangan Agraria I. Eresco, Bandung, 1962, hlm. iii.; bandingkan
dengan “UUPA bukan saja mengadakan perombakan secara strukturial mengenai kedudukan hukum
tanah di Indonesia, tetapi juga secara tak langsung telah merombak sistem Hukum Adat”, dalam Saleh
Adiwinata, Perkembangan Hukum Perdata/Adat Sejak Tahun 1960, Alumni, Bandung, 1970, hlm. x
88
Parlindungan. AP, Kapita Selekta Hukum Agraria, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 120
89
Ibid, hlm. 39, bandingkan dengan “urgensi untuk mengadakan suatu Landreform sebagai hasil
yang gemilang dalam pembentukan hukum nasional, yaitu merupakan “pendobrak hukum agrarian
kolonial” dan menjadi pula “alat” yang membuka kemungkinan untuk membangun masyarakat yang adil
dan makmur.”, dalam Subekti. R, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1977, hlm. 35-36
90
Perinciannya adalah sebagai berikut: Land Reform terdiri dari 4 Undang-Undang, 2 Peraturan
Pemerintah, 3 Keputusan Presiden, 10 Peraturan Menteri, 12 Keputusan Menteri, 9 Surat Edaran
Menteri (40 peraturan); dan tentang Pengurusan Hak Tanah terdiri dari 1 Undang-Undang, 3 Peraturan
Pemerintah, 2 Keputusan Presiden, 1 Instruksi Presiden, 4 Peraturan Menteri, 10 Keputusan Menteri, 7
Surat Edaran Menteri (28 peraturan), dari keseluruhan yang berjumlah 92 peraturan. Lihat dalam
Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik,
Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2006, hlm. 185.
91
Utrecht. E & Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan,
Jakarta, Cet.ke-10, 1983, hlm. 141
92
Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-
Politik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2006, hlm. 15
93
Terjadinya aksi sepihak, baik itu dalam arti aksi sepihak yang dilakukan oleh petani (di bawah
naungan Barisan Tani Indonesia) maupun oleh tuan tanah karena keduanya sama-sama tidak
memperhatikan prosedur normal landreform.
94
Lilis Nur Faizah, Landreform: Sejarah Dari Masa Ke Masa, www.zeilla.wordpress.com, akses
22 Mei 2008
95
Moh. Mahfud MD, Konfigurasi ......op.cit, hlm. 26
96
Rikardo Simarmata, Kapitalisme Perkebunan: Dinamika Konsep Pemilikan Tanah oleh
Negara, Insist Press&Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 64-65
97
Sosialisme Indonesia dan dinyatakan bahwa hukum Agraria tersebut adalah merupakan
pelaksanaan dari pada dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketentuan dalam Pasal 33 UUD dan Manifesto Politik
Republik Indonesia sebagai yang ditegaskan dengan Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 dan
seterusnya. Hal yang demikian dapat dimaklumi oleh suasana politik konsentrasi kekuatan golongan
komunis di Indonesia yang sedikit banyaknya ada pengaruhnya terhadap penyusunan UUPA atau lebih
ekstrim lagi bahwa undang-undang ini adalah merupakan suatu proyek politik dalam masa tersebut.
dalam Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria dalam Pembangunan di Indonesia, Alumni,
Bandung, 1978, hlm. 12
98
Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Gama University Press, Yogyakarta, Cet.ke-1, 1983,
hlm. 35.; lebih lanjut disebutkan Khusus terhadap pandangan yang menyatakan bahwa UUPA itu buatan
PKI/Komunis ia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada tempat bagi pendapat yang menyatakan
bahwa UUPA diundangkan secara tergesa-gesa bahkan mungkin pula dengan maksud tersembunyi dari
PKI untuk memungkinkan tanah-tanah Indonesia (dan dengan itu seluruh perekonomian), dikuasai oleh
orang Cina sehingga lebih mudah Indonesia dikuasai oleh Komunisme RRC.; Ibid, hlm. 92
99
Maria S.W Sumardjono, “Implikasi Yuridis Kebijaksanaan Penguasaan dan Penggunaan
Tanah di pedesaan Menyongsong Era Industrilialisasi,” makalah pada Seminar Nasional Tri Dasa Warsa
UUPA, FH-UGM dan BPN, Yogyakarta, 24 Oktober 1990, hlm.3
100
Iman Sutiknjo, Politik .....op.cit, hlm.95
101
berdasarkan data Biro Pusat Statistik 1993 dalam sensus pertanian, disebutkan data
penguasaan tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22, 41% dari 19.713.806 rumah tangga tani hanya
menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan pertanian; (2) 48,61% memguasai lahan lebih
dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat perincian yang menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam
penguasaan dan pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan
rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720 atau 1,21%
dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai 1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan
pertanian yang ada. Dari data tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian
rata-rata seluas 0,24 hektar, sedangkan kelompok kedua rata-rata penguasaannya adalah sekitar
22,174 hektar.; demikian juga Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari
1.397.167 hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931 hektar
(56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani, dalam Maria SW Sumardjono,
Kebijakan.....,op.cit, hlm. 51.
102
Parlindungan. AP, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung,
Cet.ke-6, 1991, hlm. 106
103
Moh. Mahfud MD, Konfigurasi .....op.cit, hlm. 20
104
terakhir dicabut dengan Perpres No.36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.; dan Perpres No.65 Tahun 2006 Perubahan
Atas Perpres No.36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
105
Kompas, tanggal 30 Januari 2007, judul berita “Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang
Dijual atau Digadaikan”
106
misalnya, antara lain: UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.; UU No.27
Tahun 2003 tentang Panas Bumi.; UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.; UU No.18 Tahun
2004 tentang Perkebunan.; UU No.19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.; UU No.31 Tahun
2004 tentang Perikanan.; UU No.4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty On Plant
Genetic Resources For Food And Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman
Untuk Pangan Dan Pertanian).; UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.; UU No.26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang.; UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-
Pulau Kecil.; UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi dan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral Dan Batubara
107
lebih lanjut lihat Lampiran BAB IV, point 1.5 tentang Mewujudkan Pembangunan Yang Lebih
Merata Dan Berkeadilan, angka 11 UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025