You are on page 1of 65

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kopi arabika berasal dari pegunungan Ethiopia (Afrika). Di daerah asalnya kopi
arabika tumbuh baik secara alami di hutan-hutan pada dataran tinggi sekitar 1500-2000an
meter dari permukaan laut. Mulai tahun 1450 kopi dijadikan sebagai minuman sampai
sekarang. Pada tahun 1696 seseorang berkebangsaan Belanda membawa tumbuhan kopi
masuk ke Jawa (Aak, 1988).
Selama beberapa abad ini kopi menjadi bahan perdagangan karena kopi dapat diolah
menjadi minuman yang lezat rasanya. Dengan kata lain kopi adalah sebagai penyegar
badan dan pikiran. Badan yang lemah dan rasa kantuk dapat hilang setelah minum kopi
panas. Lebih-lebih orang yang sudah menjadi pecandu kopi, bila tidak minum kopi
rasanya akan capai dan tidak dapat berpikir.
Kandungan kopi yang dimaksud untuk penyegar badan tersebut adalah kafein.
Kafein mempunyai efek farmakogis terhadap CNS dan sistem kardiovaskular. Aktivitas
terhadap CNS meliputi stimulasi kortikal, meningkatkan kewaspadaan, dan menurunkan
rasa lelah. Pada dosis yang sangat tinggi dapat menginduksi sistem saraf, insomnia, dan
tremor. Menstimulasi pusat respirasi pada batang otak dengan meningkatkan sensistivitas
terhadap karbondioksida. Aktivitas terhadap sistem kardiovaskular meliputi aksi positif
inotropik dan menyebabkan takikardia, meningkatkan kardiak output, mengakibatkan
vasodilatasi ringan dan memiliki efek diuretik sedang (Bruneton, 1999).
Secara non farmakologis kafein dimanfaatkan sebagai bahan dalam minuman non
alkoholik dan digunakan juga dalam minuman berenergi. Efek samping kafein yang
diberikan secara per oral yang muncul pada dosis tinggi yaitu sinus takikardia, nyeri
epigastrik, mual muntah, sakit kepala, gelisah, insomnia dan tremor (Bruneton, 1999).
Efek farmakologis dan non farmakologis tersebut yang membuat kafein perlu di
identifikasi dan dipisahkan dari biji kopi karena pada biji mengandung kafein paling
banyak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara mengisolasi kafein dari tanaman kopi (Coffea arabica L.)
2. Bagaimana cara mengidentifikasi isolat yang diperoleh dari hasil teknik isolasi yang
dilakukan.

1
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui metode untuk mengisolasi kafein dari tanaman kopi (Coffea
arabica L.).
2. Untuk mengetahui metode untuk mengidentifikasi isolat yang diperoleh dari hasil
teknik isolasi yang dilakukan.

1.4 Manfaat
Memberikan informasi kepada kalangan akademis mengenai cara isolasi dan
identifikasi senyawa aktif kafein yang diisolasi dari tanaman kopi (Coffea arabica L.).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Tanaman Kopi

Gambar 1. Tanaman Kopi (Coffea arabica L.)

Tanaman kopi berbentuk perdu, dengan tinggi 2-3m. Batangnya tegak, bulat,
bercabang, percabangan monopodial, permukaan kasar, kuning kotor. Daun tunggal,
berhadapan, lonjong, tepi rata, ujung meruncing, lonjong, pangkal tumpul, panjang 8-15 cm,
lebar 4-7 cm, bertangkai pendek, hijau, pertulangan menyirip, hijau. Bunganya majemuk,
bentuk payung, di ketiak daun, kelopak lonjong, lima helai, panjang mm, hijau, tangkai

benang sari berlekatan membentuk tabung, panjang , putih, tangkai putik menjulang
keluar tabung, putih, mahkota berbentuk bintang, lima helai, panjang 7-9 mm, putih. Buah
berbentuk batu, bulat telur, diameter 0,5-1 cm, masih muda hijau setelah tua merah. Biji
memiliki bentuk ½ bola, salah satu permukaan beralur, panjang 0,5-1 cm, putih kehijauan.
Akarnya tunggang, kuning muda (Hutapea, 1993).

2.1.1. Klasifikasi Tanaman Kopi

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Rubiales

Suku : Rubiaceae

3
Marga : Coffea

Jenis : Coffea arabica L.

(Hutapea, 1993).

2.1.2 Khasiat Tanaman Kopi

Daun dan biji Coffea arabica berkhasiat untuk penyegar badan. Untuk
penyegar badan dipakai daun muda Coffea arabica, dicuci dan dimakan
sebagai lalapan atau urapan.

2.1.3 Kandungan Kimia


Daun, buah dan akar Coffea arabica mengandung saponin, flavonoida, dan
polifenol, disamping itu buahnya juga mengandung alkaloida. Kopi mengandung
banyak komponen kimia yang dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu
komponen alifatik, komponen alisiklik, komponen aromatik, komponen heterosiklik,
protein, asam amino, dan asam nukleat, karbohidrat, lemak, alkaloid, vitamin, dan
komponen anorganik (Spiller, 1998).

Salah satu komponen kimia yang banyak terdapat dalam kopi adalah kafein.
Kafein merupakan xantin yang paling kuat, menghasilkan stimulasi korteks dan
medula dan bahkan stimulasi spiral pada dosis yang besar, kafein juga
memperpanjang waktu kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan yang
melelahkan tubuh. Sedangkan teobromin merupakan stimulan sistem saraf pusat
yang paling lemah dan bahkan mungkin tidak aktif pada manusia. Orang yang
mengkonsumsi kafein merasakan kekurangan rasa mengantuk, lelah dan daya
pikirannya lebih cepat dan lebih jernih.

Kafein berguna untuk menghilangkan rasa letih dan lesu, menyegarkan


menghilangkan rasa kantuk dan meningkatkan semangat maupun kewaspadaan.
Kafein termasuk kelompok perangsang otak (stimulansia) juga bekerja terhadap
jantung yaitu memperkuat dan mempercepat pukulan jantung, memperbaiki
peredaran darah. Biasanya yang mengandung kafein antara lain kopi, teh, kakao, dan
cola. Efek dominan pada pusat psikis menyebabkan kenaikan alur penalaran, kurang
mengantuk dan kelelahan mental, memberi rasa nyaman, dan perasaan enak.

Kafein telah digunakan dalam pengobatan sepanjang sejarah, pada sekitar


tahun 1950, orang-orang Eropa menggunakan minuman yang mengandung kafein

4
untuk mengobati sakit kepala, batuk, rasa pusing bahkan mencegah plag dan
penyakitpenyakit lain. Beberapa ahli antropologi percaya bahwa kafein digunakan
sejak zaman batu. Kafein memberikan aksi stimulant sistem saraf pusat,
menstimulasi jantung dan pelebaran bronkus.

Konsumsi minuman yang mengandung kafein sebaiknya tidak lebih dari 100
mg kafein sehari, sebab konsumsi kafein 100 mg dalam sehari dapat membuat
ketagihan apabila dikonsumsi setiap hari. Ketagihan kafein menyebabkan sakit
kepala, penat pening, perasaan mudah terganggu, mual muntah, dan ketegangan otot
apabila tidak mengkonsumsi minuman mengandung kafein.

Kafein relatif tidak toksik, perkiraan dosis kafein pada manusia adalah sekitar
10 g. Meskipun kelebihan dosis mematikan jarang terjadi, gejala yang tidak
menyenangkan dapat terjadi dengan dosis besar (250 mg atau lebih besar). Efek
pusat menyerupai keadaan cemas dan meliputi gejala sukar tidur, mudah
tersinggung, gemetaran, gugup kemampuan tereksitasi yang berlebih, hipertermia,
dan sakit kepala. Gangguan toksik pada indera berupa kepekaan yang tinggi, telinga
berdengung, silau mata, ketidakteraturan jantung, aritmia, dan hipotensi yang nyata
akibat vasodilitasi langsung.

Secara farmakokinetik kafein didistribusikan keseluruhan tubuh, melewati


plasenta dan masuk ke air susu ibu, volume distribusi kafein adalah antar 400 dan
600 ml/kg. Eliminasi kafein terutama melalui metabolisme dalam hati. Sebagian
besar disekresi bersama urin dalam bentuk asam metil urat atau metil xantin. Kurang
dari 5% kafein akan ditemukan di urin dalam bentuk utuh. Waktu paruh plasma
antara 3-7 jam nilai ini akan menjadi dua kali lipat pada wanita hamil tua atau
wanita yang menggunakan pil kontrasepsi jangka panjang. Intoksikasi pada manusia,
kematian akibat keracunan kafein jarang terjadi. Kafein merupakan salah satu
senyawa golongan xantin, selain tobromin dan teofilin. Gambar struktur turunan
metil xantin tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

Gambar 2. Struktur Turunan Metil Xantin (Mutschler, 1986).

5
Keterangan:

R1, R2, R3 = CH3 = Kafein

R1, R3 = CH3, R2 = Teofilin

R1 = H, R2, R3 = CH3 = Teobromin

Turunan xantin yang ada dalam tanaman yaitu kafein, teofilin dan teobromin,
kafein memiliki kerja psikotonik yang paling kuat. Agak kurang kerjanya adalah
teofilin sedangkan pada teobromin tidak mempunyai efek stimulasi pusat. Struktur
xantin serupa dengan nukleotida purin, banyak penelitian yang diarahkan pada
penentuan efek mutagenik Kafein. Kafein dapat bersifat mutagenic pada
mikroorganisme, kapang, tanaman, serangga buah, mencit dan pada sel-sel manusia.
Secara in vitro dapat memperkuat efek mutagenik bahan kimia. Namun berdasarkan
informasi terbaru, pemakaian kafein tidak mendatangkan bahaya mutagenik yang
berarti bagi manusia. Meskipun telah menunjukkan bahwa kafein bersifat
teratogenik pada manusia, tidak ada laporan yang menghubungkan kafein dengan
pengaruh teratogenik pada manusia.

Kafein diduga merupakan bagian dari sistem pertahanan benih kopi terhadap
serangga, karena kafein telah diakui sebagai suatu antijamur, sebuah selektif
fitotoksin, dan agen sterilisasi kimia terhadap serangga. Kadar kafein dalam biji kopi
(Coffea sp.) ialah 0.2 – 2.2 persen. Untuk bermacam-macam kopi kadar kafeinnya
berbeda-beda. Misalnya kadar kafein pada kopi robusta 1.5 – 2.5 persen, kopi
arabika 1.0 - .1.2 persen, kopi leberia 1.4 – 1.6 persen dan kopi mokka 1.4 – 1.6
persen.

Nama Lain : 1,3,7 trimetil xanthin

RM : C8H10N4O2

Bobot Molekulnya : 194,19 gram/mol

Pemerian : Serbuk putih atau berbentuk jarum mengkilat putih;


biasanya menggunpal; tidak berbau; rasa pahit; bentuk
hidratnya mekar di udara (Anonim b, 1995) .

Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, dalam etanol; mudah larut
dalam kloroform; sukar larut dalam eter (Anonim b,
1995)

Konstanta dissosiasi : pKa14.0 (25°), 10.4 (40°).

6
Titik Lebur : 238° C

Identifikasi :

• KLT (Kromatografi Lapis Tipis)

Sistem TA—Rf 52; sistem TB—Rf 03; sistem TC—Rf 58;


sistem TD—Rf 15; sistem TE—Rf 52; sistem TF—Rf 10; sistem TL
—Rf 25; sistem TAD—Rf 55; sistem TAE—Rf 59; sistem TAF—Rf
55; sistem TAJ—Rf 54; sistem TAK—Rf 18; sistem TAL—Rf 81

Tabel 1. Daftar Sistem Pelarut


Sistem Fase Gerak Perbandingan
TA Methanol : larutan amonia pekat 100 : 1,5
TB Sikloheksana : toluen : dietilamin 75 : 15 : 10
TC Kloroform : methanol 90 : 10
TD Kloroform : aseton 80 : 20
TE Etil asetat : methanol : larutan amonia kuat 85 : 10 : 5
TF Etil asetat
TL Aseton
TAD Kloroform : methanol 90 : 10
TAE Methanol
TAF Methanol : n-butanol 60 : 40 (ditambahkan 0,1 mol/L
NaBr)
TAJ Kloroform : etanol 90 : 10
TAK Kloroform : sikloheksana : asam asetat 4:4:2
TAL Kloroform : methanol : asam propionat 72 : 18 : 10
(Moffat, 2005)

• Spektrum Serapan UV

Larutan asam—273 nm (A11=504a) (Moffat, 2005)

2.1.4 Simplisia Biji Kopi

Pemerian : Bau aromatik, khas, dan rasa pahit.

Makroskopik : Biji berbentuk hampir setengah bulat atau jorong, bagian


punggung cembung, bagian perut datar, pada bagian perut
terdapat sebuah alur yang dalam dan membujur, di dalam alur

7
terdapat sisa kulit biji, berwarna coklat tua sampai coklat tua
kehitaman.

Mikroskopik : Pada penampang melintang tampak spermoderm terdiri dari


satu lapis sel batu, dinding tebal, lumen lebar, bernoktah,
bentuk dan ukuran bermacam-macam, tunggal atau
berkelompok. Perisperm terdiri dari sel parenkim berbentuk
hampir segi empat, dinding tebal, lumen lebar. Pada sel yang
lebih besar dinding berpenebalan tak rata, berisi tetes minyak
dan aleuron, kadang-kadang butir-butir pati.

Serbuk berwarna coklat kehitaman. Fragmen pengenal


adalah sel batu lumen lebar bernoktah parenkim dinding tipis,
lapisan pigmen parenkim tetes minyak.

(Anonim, 1989)

Gambar 3. Penampang melintang biji Coffea arabica L.

Keterangan gambar:
1 = lapisan sel batu
2 = parenkim dinding tipis
3 = lapisan sel pigmen
4 = perisperm dengan tetes minyak
(Anonim, 1989)

8
Gambar 4. Penampang melintang serbuk biji Coffea arabica L
Keterangan :
1 = sel batu
2 = perisperm dengan tetes minyak
(Anonim, 1989)
Identifikasi Serbuk Biji Kopi
Menurut Materia Medika Indonesia, identifikasi untuk biji kopi adalah sebagai berikut:
a. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes asam sulfat P; terjadi warna coklat tua.
b. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes asam sulfat 10 N; terjadi warna coklat tua.
c. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes larutan natrium hidroksida P 5% b/v dalam
etanol terjadi warna coklat.
d. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes ammonia (25%) P; terjadi warna coklat tua.
e. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes larutan besi(III)klorida P 5%; terjadi warna
biru kehitaman.
f. Timbang 300 mg serbuk biji campur dengan 5 mL metanol P dan panaskan di atas
tangas air selama menit, dinginkan dan saring. Cuci endapan dengan metanol P
secukupnya sehingga diperoleh 5 mL filtrate. Pada titik pertama, kedua dan ketiga
lempeng KLT tutulkan masing-masing sebanyak 40µl filtrate. Pada titik keempat
tutulkan 5 µl zat warna I LP. Elusi dengan dikloroetana P dengan jarak rambat 15 cm.
Keringkan lempeng tersebut di udara selama 10 menit, elusi lagi dengan toluene P
dengan arah elusi dan jarak rambat yang sama, Amati dnegan sinar biasa dan dengan
sinar ultraviolet 366 nm. Selanjutnya disemprot dengan pereaksi anisaldehida-asam
sulfat LP, panaskan pada suhu 1100 C selama 10 menit. Amati lagi dengan sinar biasa
dan sinar ultraviolet 366 nm. Dengan perlakuan yang sama seperti cara kerja diatas
dilakuakn penyemprotan dnegan pereaksi AlCl3 LP. Pasa Kromatogram tampak
bercak-bercak dengan warna dan hRf sebagai berikut :

9
Tabel 2. Kromatografi tampak bercak – bercak dengan warna dan hRx

No. hRx Dengan sinar biasa Dengan sinar UV 366 nm

Tanpa Dengan pereaksi Tanpa Dengan pereaksi


pereaksi pereaksi
I II I II

1 2-12 - Violet - Biru Ungu Violet

2 25-29 - Violet - violet Violet Hijau

3 43-48 - Violet - - Merah Biru

4 89-93 - Violet - - Merah Biru

5 93-101 - Violet - - Ungu -

6 125-131 - Violet - - ungu -

Catatan : harga Rx dihitung terhadap bercak warna merah yang teramati dengan
sinar biasa atau warna ungu dengan sinar UV 366 nm. hRf bercak warna
merah = 65

Tanda I = Pereaksi anisaldehida-asam sulfat LP

II = pereaksi AlCl3 LP

(Anonim, 1979)

2.2 Penyiapan Bahan


2.2.1 Pengumpulan Bahan Baku
Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia dapat bervariasi tidak hanya
bergantung dari organ tanaman yang digunakan untuk simplisia, tetapi juga
bergantung dari umur tanaman serta waktu pengumpulan dalam setahun dan bahkan
waktu pengumpulan dalam sehari. Pemilihan organ tanaman yang dikumpulkan dan
penentuan waktu waktu tertentu untuk panen bertujuan untuk memperoleh kadar
senyawa bioaktif semaksimal mungkin dalam simplisia yang bersangkutan (Tim
Penyusun, 2008).
2.2.1.1 Waktu Pengumpulan
Waktu panen suatu organ tanaman dari satu jenis tanaman obat sangat
berhubungan erat dengan pembentukan senyawa bioaktif dalam organ tanaman
tersebut. Waktu yang tepat untuk panen adalah pada saat senyawa bioaktif

10
berada dalan jumlah maksimal pada organ tanaman yang dikumpulkan (Tim
Penyusun, 2008).
2.2.1.2 Teknik Pengumpulan
Panen dapat dilakukan dengan tangan, tanpa atau dengan menggunakan
mesin. Apabila pengumpulan dilakukan secara manual langsung misalnya
dengan pemetikan langsung sehingga keterampilan pemetik dalam menentukan
dan memetik organ yang sesuai dari tanaman sangat penting diperhatikan. Dalam
hal ini pengalaman memegang peranan penting. Keterampilan diperlukan untuk
memperoleh simplisia yang benar dan tepat seperti kalau diperlukan daun muda,
tidak terpetik daun tua dan ranting serta tidak merusak tanaman induk terutama
untuk tanaman yang dipanen organya beberapa kali. Alat yang digunakan untuk
memetik misalnya pisau juga dipilih yang sesuai dan tepat. Alat dari logam tidak
digunakan jika merusak secara kimiawi senyawa aktif dalam simplisia misalnya
untuk simplisia yang mengandung golongan fenol, glikosida (Tim Penyusun,
2008). Cara pemanenan mekanik dengan menggunakan mesin diperlukan apabila
dari segi pertimbangan ekonomi keadaaan simplisia yang dikumpulkan dapat
dilaksanakan. Penggunaan mesin-mesin biasanya digunakan untuk memanen
simplisia dari tanaman sekali panen (Tim Penyusun, 2008).
2.2.2 Sortasi Basah
Sortasi basah bertujuan untuk membersihkan benda-benda asing yang
berasal dari luar (Tim Penyusun, 2008).
2.2.3 Pencucian
Pencucian terutama dilakukan terhadap simplisia organ tanaman bawah
tanah untuk mencuci sisa-sisa tanah yang melekat. Untuk simplisia jumlah besar
umumnya digunakan teknik dengan mengaliri air pada simplisia yang ditempatkan
di atas alat seperti jaring-jaring. Air yang digunakan dapat dari berbagai sumber
namun tetap harus memperhatikan kemungkinan adanya pencemaran (Tim
Penyusun, 2008).
2.2.4 Pengubahan Bentuk
Pengubahan bentuk bertujuan untuk memperluas permukaan (Tim
Penyusun, 2008).
2.2.5 Pengeringan
Tujuan pengeringan organ tanaman atau tanaman yang dipanen adalah
untuk mendapatkan simplisia yang awet, tidak rusak dan dapat digunakan atau
disimpam dalam jangka waktu relatif lama dengan cara mengurangi kandungan air

11
dan menghentikan reaksi enzimatik yang mungkin dapat menguraikan senyawa
bioaktif dan menurunkan mutu atau merusak simplisia itu. Air dalam sel dan
jaringan tumbuhan yang ada setelah sel atau jaringan itu mati akan merupakan
media pertumbuhan jamur. Demikian pula enzim-enzim tertentu dalam sel akan
menguraikan senyawa bioaktif tertentu, sesaat setelah sel mati dan selama sel atau
organ tersebut masih mengandung jumlah air tertentu yang memungkinkan reaksi
enzimatik berlangsung (Tim Penyusun, 2008). Pengeringan dapat dibedakan
menjadi dua yaitu :
2.2.5.1 Pengeringan Alamiah
Bergantung dari zat aktif yang dikandung dalam organ tanaman yang
dikeringkan, dapat dilakukan dengan pengeringan yang tidak dikenai sinar
matahari langsung. Pada saat pengeringan simplisia yang berupa daun dapat
digunakan kain hitam karena kain hitam dapat menyerap panas bukan
sinarnya sehingga uv terhalang, selain itu karena uv dapat merusak zat aktif
yang terkandung dalam tanaman (Tim Penyusun, 2008).
2.2.5.2 Pengeringan Buatan
Pengeringan ini menggunakan alat yang bisa diatur suhu, kelembaban,
tekanan dan sirkulasi udaranya misalnya dengan oven. Adapun hal-hal yang
mempengaruhi pengeringan yaitu waktu pengeringan, suhu, kelembaban
udara dan kelemban bahan, ketebalan bahan yang dikeringkan, sirkulasi
udara dan luas permukaan bahan (Tim Penyusun, 2008).
Cara pengeringan alamiah maupun pengeringan buatan, derajat
kekeringan simplisia yang dapat dicapai setelah proses pengeringan
tergantung pada jenis organ yang dikeringkan dan usaha untuk mencapai
tingkat kekeringan setinggi mungkin tanpa merusak senyawa aktif, sehingga
kadar air yang tersisa relatif rendah untuk tidak memungkinkan pertumbuhan
jamur dan berlangsungnya reaksi enzimatik (Tim Penyusun, 2008).
2.2.6 Sortasi Kering
Sortasi ini dilakukan setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap
akhir penyiapan simplisia. Tujuan sortasi disini adalah memisahkan benda-benda
asing seperti bagian-bagian tanaman yang masih ada dan tertinggal pada simplisia
kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus kemudian disimpan
(Tim Penyusun, 2008).

12
2.2.7 Penyimpanan
Tujuan penyimpanan yang baik dari suatu simplisia adalah untuk
mencegah menurunnya mutu simplisia dalam masa penyimpanan. Wadah yang
bersih, kedap udara diperlukan untuk simplisia. Kekedapan terhadap udara luar
diperlukan untuk mencegah masuknya kelembaban udara yang tinggi dari luar ke
dalam wadah. Udara tropik dengan kelembaban tinggi memudahkan pertumbuhan
jamur. Wadah dari logam tidak dianjurkan karena dalam beberapa hal berpengaruh
terhadap kadar senyawa aktif. Wadah dari plastik tebal kualitas baik atau dari gelas
berwarna gelap relatif. baik. Pengaruh-pengaruh luar yang perlu dicegah antara
lain masuknya serangga, sinar matahari langsung, dan kotoran udara lain.
Sedangkan, ruang penyimpanan simplisia yang telah diwadahi juga perlu
diperhatikan. Suhu rendah, kelembaban relatif rendah, tekanan udara dalam ruang
relatif tinggi dari tekanan udara luar atau sistem sirkulasi udara yang baik, adalah
kondisi ruang yang dianjurkan. Disamping itu perlu juga diatur letak dan susunan
wadah di dalam ruang sehingga memudahkan orang mencari simplisia yang
diperlukan (Tim Penyusun, 2008).

2.3 Skrining Fitokimia


2.3.1 Cara Identifikasi Alkaloid
2.3.1.1 Reaksi Pengendapan
Larutan percobaan untuk pengendapan alkaloid dibagi dalam 4 golongan sebagai
berikut:
a. Golongan I: Larutan percobaan dengan alkaloid membentuk garam
yang tidak larut: Asam silikowolframat LP, Asam fosfomolibdat LP, dan asam
fosfowolframat LP.

b. Golongan II: Larutan percobaan yang dengan alkaloid membentuk


senyawa kompleks bebas, kemudian membentuk endapan: Bourchardat LP dan
Wagner LP.

c. Golongan III: Larutan percobaan yang dengan alkaloid membentuk


senyawa adisi yang tidak larut: Mayer LP, Dragendroff LP, dan Marme LP.

d. Golongan IV: Larutan percobaan yang dengan alkaloid membentuk


ikatan asam organik dengan alkohol: Harger LP.

(Anonim, 1979).

13
Cara percobaan:
1. Timbang 500 mg serbuk simplisia, tambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml
air, panaskan di atas penangas air selama 2 menit, dinginkan dan saring.

2. Pindahkan 3 tetes filtrat pada kaca arloji, tambahkan 2 tetes Bouchardat LP. Jika
pada kedua percobaan tidak terjadi endapan, maka serbuk tidak mengandung
alkaloid.

3. Jika dengan Mayer LP terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau


kuning yang larut dalam methanol P dan dengan Bouchardat LP terbentuk
endapan berwarna coklat sampai hitam, maka kemungkinan terdapat alkaloid.

4. Lanjutkan percobaan dengan mengocok sisa filtrat dengan 3 ml ammonia pekat


P dan 10 ml campuran 3 bagian volume eter P dan 1 bagian volume kloroform P.

5. Ambil fase organik, tambahkan natrium sulfat anhidrat P, saring.

6. Uapkan filtrat diatas penangas air, larutkan sisa dalam sedikit asam klorida 2 N.

7. Lakukan percobaan dengan keempat golongan larutan percobaan, serbuk


mengandung alkaloid jika sekurang-kurangnya terbentuk endapan dengan
menggunakan dua golongan larutan percobaan yang digunakan.

(Anonim, 1979)

2.3.1.2 Reaksi Warna

Cara percobaan:
1. Lakukan penyarian dengan campuran eter-kloroform seperti pada cara reaksi
pengendapan. Pindahkan beberapa ml filtrat pada cawan porselin, uapkan.

2. Pada sisa tambahkan 1 sampai 3 tetes larutan percobaan seperti yang tertera pada
masing-masing monografi. Larutan percobaan, asam sulfat P, asam nitrat P,
Frohde LP, dan Erdman LP.

(Anonim, 1979)

2.3.2 Cara Identifikasi Glikosida

2.3.2.1 Larutan Percobaan

14
Sari 3 g serbuk simplisia dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol (95%)
P dan 3 bagian volume air dalam alat pendingin alir balik selama 10 menit,
dinginkan, saring. Pada 20 ml filtrat tambahkan 25 ml air dan 25 ml timbal (II)
asetat 0,4 M, kocok, diamkan selama 5 menit, saring. Sari filtrat 3 kali, tiap kali
dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform P dan 2 bagian volume
isopropanol P. Pada kumpulan sari tambahkan natrium sulfat anhidrat P, saring,
dan uapkan pada suhu tidak lebih dari 50oC. Larutkan sisa dengan 2 ml methanol
P (Anonim, 1979).
2.3.2.2. Percobaan umum terhadap glikosida

Cara percobaan.
a. Uapkan 0,1 ml larutan percobaan di atas penangas air, larutkan sisa dalam 5 ml
asam asetat anhidrat P. Tambahkan 10 tetes asam sulfat P; terjadi warna biru
atau hijau, menunjukkan adanya glikosida (reaksi Liebermann Burchard).

b. Masukkan 0,1 ml larutan percobaan dalam tabung reaksi, uapkan di atas


penangas air. Pada sisa tambahkan 2 ml air dan 5 tetes Molish LP. Tambahkan
hati-hati 2 ml asam sulfat P; terbentuk cincin berwarna ungu pada batas cairan,
menunjukkan adanya ikatan gula (reaksi Molish).

(Anonim, 1979)

2.3.2.3 Kromatografi Lapis Tipis

Sari 300 mg serbuk simpllisia dengan 5 ml methanol P, saring, pada 2 titik


masing-masing 20 ml fitrat pada lempeng KLT setebal 0,25 mm. Elusi dengan
campuran benzen P- etanol (95%) P (70+30) dengan jarak rambat 15 cm.
Semprot kromatogram pertama dengan anisaldehida-asam sulfat LP, panaskan
pada suhu 110oC selama 10 menit, amati dengan sinar biasa dan sinar
ultraviolet 366 nm. Pada kromatogram tampak bercak berwarna biru. Semprot
kromatogram kedua dengan asam perklorat P, panaskan pada suhu 110oC
selama 10 menit, amati dengan sinar biasa dan sinar ultraviolet 366 nm, bercak
tidak berflourosensi (Anonim, 1979).
2.3.2.4 Percobaan terhadap glikosida antrakinon

Cara percobaan.
Campur 200 mg serbuk simplisia dengan 5 ml asam sulfat 2 N, panaskan
sebentar, dinginkan. Tambahkan 10 ml benzen P, kocok, diamkan. Pisahkan

15
lapisan benzen, saring; filtrat berwarna kuning, menunjukkan adanya
antrakinon. Kocok lapisan benzen dengan 1 ml sampai 2 ml natrium hidroksida
2 N, diamkan; lapisan air berwarna merah intensif dan lapisan benzen tidak
berwarna (Anonim, 1979).

2.3.3 Cara Identifikasi Saponin


2.3.3.1 Pembuihan
Cara percobaan.
Masukkan 0,5 g serbuk yang diperiksa ke dalam tabung reaksi, tambahkan 10
ml air panas, dinginkan dan kemudian kocok kuat-kuat selama 10 detik. (Jika
zat yang diperiksa berupa sediaan cair, encerkan 1 ml sediaan yang diperiksa
dengan 10 ml air dan kocok kuat-kuat selama 10 menit); terbentuk buih yang
mantap selama tidak kurang dari 10 menit, setinggi 1 cm sampai 10 cm. Pada
penambahan 1 tetes asam klorida 2 N, buih tidak hilang (Anonim, 1979).
2.3.3.2 Haemolisa
Larutan dapar fosfat PH 7,4. Larutkan 16,0 g natrium fosfat P yang telah
dikeringkan pada suhu 130oC hingga bobot tetap dan 4,4 g natrium dihidrogen
fosfat P dalam 1.000 ml air. Untuk menambahkan stabilitas tambahkan 0,1 g
natrium fluoride P (Anonim, 1979).
Suspensi darah. Masukkan 10 ml larutan natrium sitrat P 3,65 % b/v ke dalam
labu takar bersumbat kaca 100 ml. Tambahkan darah sapi segar secukupnya
hingga 100 ml, campur baik-baik hingga homogen. (larutan stabil selama 7
hari jika disimpan dalam lemari pendingin). Pipet 2 ml larutan diatas ke dalam
labu takar bersumbat kaca 100 ml, tambahkan larutan dapar fosfat pH 7,4
secukupnya hingga 100 ml, campur baik-baik. Larutan dapat dipergunakan jika
larutan jernih dan jika terjadi endapan, endapan tidak berwarna ungu (Anonim,
1979).
2.3.3.3 Cara percobaan.
Campur 0,5 g serbuk yang diperiksa atau sisa kering 5 ml sediaan berbentuk
cair, dengan 50 ml larutan dapar fosfat pH 7,4, panaskan sebentar, dinginkan,
saring. Ambil 1 ml filtrat, campur dengan 1 ml suspensi darah. Untuk serbuk
yang mengandung tannin, encerkan 0,2 ml filtrat dengan 0,8 ml larutan dapat
fosfat pH 7,4, campur dengan 1 ml suspensi darah. Diamkan selama 30 menit,
terjadi haemolisa total, menunjukkan adanya saponin (Anonim, 1979).

16
2.3.4 Cara Identifikasi Flavonoid
2.3.4.1 Larutan percobaan
Sari 0,5 g serbuk yang diperiksa atau sisa kering 10 ml sediaan berbentuk
cairan, dengan 10 ml methanol P, menggunakan alat pendingin balik selama 10
menit. Saring panas melalui kertas saring kecil berlipat. Encerkan filtrat
dengan 10 ml air. Setelah dingin tambahkan 5 ml eter minyak tanah P, kocok
hati-hati, diamkan. Ambil lapisan metanol, uapkan pada suhu 40oC di bawah
tekanan. Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat P, saring (Anonim, 1979).
2.3.4.2 Cara percobaan.
1. Uapkan hingga kering 1 ml larutan percobaan, sisa dilarutkan dalam 1
ml sampai 2 ml etanol (95%) P; tambahkan, 5 g serbuk seng P dan 2 ml
asam klorida 2 N, diamkan selama 1 menit. Tambahkan 10 tetes asam
klorida pekat P, jika dalam waktu 2 sampai 5 menit terjadi warna merah
intensif, menunjukkan adanya flavonoid (glikosida-3-flavonol).

2. Uapkan hingga kering 1 ml larutan percobaan, sisa dilarutkan dalam 1


ml etanol (95%) P, tambahkan 0,1 g serbuk magnesium P dan 10 tetes
asam klorida pekat P, jika terjadi warna merah jingga sampai merah ungu,
menunjukkan adanya flavon, kalkon dan auron.

3. Uapkan hingga kering 1 ml larutan percobaan, basahkan sisa dengan


aseton P, tambahkan sedikit serbuk halus asam borat P dan serbuk halus
asam oksalat P, panaskan hati – hati di atas penangas air dan hindari
pemanasan yang berlebihan. Campur sisa yang diperoleh dengan 10 ml eter
P. Amati dengan sinar ultraviolet 366 nm; larutan berflurorensensi kuning
intensif, menunjukkan adanya flavonoid (Anonim, 1979).

2.3.5 Penetapan minyak atsiri


Cara I :
Campur bahan yang diperiksa dalam labu (simplisia) dengan cairan penyuling.
Pasang alat, isi buret hingga penuh (sebelum digunakan, buret dicuci dengan
etanol (90%) P dan dengan eter P, kemudian dibebas lemakkan dengan asam
pencuci dan dibilasi dengan air hingga bebas asam), panaskan dengan tangas
udara, sehingga penyulingan berlangsung dengan lambat tetapi teratur, setelah
penyulingan selesai, biarkan selama tidak kurang dari 15 menit, catat volume
minyak atsiri pada buret. Hitung kadar minyak atsiri dalam %b/v.
Cara II :
17
Dlakukan menurut cara yang tertera pada cara I. Sebelum buret diisi penuh
dengan air, lebih dahulu diisi dengan 0,2 ml xilena P yang diukur seksama.
Volume minyak atsiri dihitung dengan mengurangkan volume yang dibaca
dengan volume xilena(Anonim, 1979).

2.4 Prosedur Ekstraksi


Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian
semua pelarut diuapkan dan massa serbuk atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Proses ekstraksi bahan
nabati/bahan obat alami dapat dilakukan berdasarkan teori penyarian. Penyarian
merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel,
ditarik oleh cairan penyari sehingga terjadi larutan aktif dalam cairan penyari tersebut.
Terdapat beberapa metode ekstraksi yaitu:
2.4.1 Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat
aktif akan larut dan karena adanya perbedan konsentrasi antara larutan zat aktif di
dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar.
Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan
di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986).
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif
yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah
mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak, dan lain-lain
(Anonim, 1986).
Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut
lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya kapang, dapat
ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian (Anonim, 1986).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Sedangkan kerugian cara
maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Anonim,
1986).
Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara: 10 bagian simplisia dengan
derajat halus yang cocok dimasukkan ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan 75
18
bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya,
sambil berulang - ulang diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas. Ampas
ditambah cairan penyari secukupnya diaduk dan diserkai, sehingga diperoleh seluruh
sari sebanyak 100 bagian. Benjana ditutup, dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari
cahaya, selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan (Anonim, 1986).

Gambar 5. Alat maserasi (Anonim, 1986)


2.4.2 Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui serbuk
simplisia yang telah dibasahi (Anonim, 1986).
Prinsip perkolasi adalah sebagai berikut:
Serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang dibagian
bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui
serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai
mencapai keadaan jenuh. Gerak ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya
sendiri dan cairan di atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk
menahan (Anonim, 1986).
Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain: gaya berat, kekentalan,
daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosis, adhesi, daya kapiler dan daya
geseran (friksi). Cara perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena:
a. Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan
larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan derajat
perbedaan konsentrasi.
b. Ruangan diantara butir – butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat
mengalir cairan penyari. Karena kecilnya saluran kapiler tersebut, maka kecepatan
pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan
perbedaan konsentrasi.
(Anonim, 1986)
Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator, cairan yang
digunakan untuk menyari disebut cairan penyari atau menstrum, larutan zat aktif yang

19
keluar dari perkolator disebut sari atau perkolat, sedang sisa setelah dilakukannya
penyarian disebut ampas atau sisa perkolasi (Anonim, 1986).

Gambar 6. Alat perkolasi


Kalau tidak dinyatakan lain perkolasi dilakukan dengan membasahi 10 bagian
simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dibasahi dengan
2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari, lalu dimasukkan ke dalam bejana tertutup
sekurang - kurangnya selama 3 jam. Kemudian massa dipindahkan sedikit demi
sedikit ke dalam perkolator sambil tiap kali ditekan hati - hati. Selanjutnya dituangi
dengan cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas simplisia
masih terdapat selapis cairan penyari. Kemudian perkolator ditutup dan dibiarkan
selama 24 jam. Selanjutnya cairan dibiarkan menetes dengan kecepatan 1 ml/menit
dan ditambahkan berulang - ulang cairan penyari berikutnya sehingga selalu terdapat
selapis cairan penyari di atas simplisia, hingga jika 500 mg perkolat yang keluar
terakhir diuapkan, tidak meninggalkan sisa. Perkolat kemudian disuling atau diuapkan
dengan tekanan rendah pada suhu tidak lebih dari 500C hingga konsistensi yang
dikehendaki. Pada pembuatan ekstrak cair 0,8 bagian perkolat pertama dipisahkan,
perkolat selanjutnya diuapkan hingga diperoleh 0,2 bagian yang selanjutnya
dicampurkan ke dalam perkolat pertama. Keuntungan metode ini adalah tidak
memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat (marc) telah terpisah dari ekstrak.
Sedangkan kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas
dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut menjadi dingin selama proses
perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien (Anonim, 1986).

2.4.3 Soxhletasi
Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan
penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi
molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam
klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati
pipa sifon (Anonim, 1986).

20
Alat soxhletasi merupakan penyempurnaan alat ekstraksi, alat tersebut disebut
alat ”Soxhlet”. Uap cairan penyari naik ke atas melalui pipa samping, kemudian
diembunkan kembali oleh pendingin tegak. Cairan turun ke labu melalui tabung yang
berisi serbuk simplisia. Cairan penyari sambil turun melarutkan zat aktif serbuk
simplisia. Karena adanya sifon maka setelah cairan mencapai permukaan sifon,
seluruh cairan kembali ke labu. Cairan ini lebih menguntungkan karena uap panas
tidak melalui serbuk simplisia, tetapi melalui pipa samping. Ekstraksi sempurna
ditandai bila cairan di sifon tidak berwarna, tidak tampak noda jika di KLT, atau
sirkulasi telah mencapai 20-25 kali. Ekstrak yang diperoleh dikumpulkan dan
dipekatkan (Anonim, 1986).

Keuntungan:
1. Cairan penyari yang diperlukan lebih sedikit, dan secara langsung dapat diperoleh
hasil yang lebih pekat.
2. Serbuk simplisia disari oleh cairan penyari yang murni, sehingga dapat menyari
zat aktif yang lebih banyak.
3. Penyarian dapat diteruskan sesuai dengan keperluan, tanpa menambah volume
cairan penyari.
(Anonim, 1986)
Kerugian:
1. Larutan dipanaskan terus-menerus, sehingga zat aktif yang tidak tahan
panas kurang cocok. Ini dapat diperbaiki dengan menambahkan peralatan untuk
mengurangi tekanan udara.
2. Cairan dididihkan terus menerus, sehingga cairan penyari yang baik harus
murni atau campuran azeotrop.
(Anonim, 1986)

Gambar 7. Alat soxhletasi

21
2.4.4 Refluks
Refluks adalah penyarian untuk mendapatkan ekstrak cair yaitu dengan proses
penguapan dengan menggunakan alat refluks. Prinsip kerja refluks yaitu dengan cara
cairan penyari diisikan pada labu, serbuk simplisia diisikan pada tabung dari kertas
saring atau tabung yang berlubang-lubang dari gelas, baja tahan karat atau bahan
lainya yang cocok. Cairan penyari dipanaskan hingga mendidih. Uap penyari akan
naik ke atas melalui serbuk simplisia. Uap penyari mengembun karena didinginkan
oleh pendingin balik. Embun turun melalui serbuk simplisia sambil melarutkan zat
aktifnya dan kembali ke labu. Cairan akan menguap kembali berulang seperti proses
di atas (Anonim, 1986).
Keuntungan dari metode refluks ini yaitu menggunakan pelarut yang sedikit,
hemat serta ekstrak yang didapat lebih sempurna. Sedangkan kerugian metode ini
yaitu uap panas langsung melalui serbuk simplisia (Anonim, 1986).

Gambar 8. Alat refluks

2.4.5 Ekstraksi Cair-cair


Digunakan sebagai cara untuk praperlakuan sampel atau clean-up sampel untuk
memisahkan analit-analit dari komponen-komponen matriks yang mungkin
mengganggu pada saat kuantifikasi atau deteksi analit. Di samping itu, ekstraksi
pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada dalam sampel dengan
jumlah kecil sehingga tidak memungkinkan atau menyulitkan untuk deteksi atau
kuantifikasinya (Gandjar, 2008).
Dalam bentuk yang paling sederhana, suatu alikuot larutan air digojog dengan
pelarut organik yang ridak bercampur dengan air. Kebanyakan prosedur ekstraksi cair-
cair melibatkan ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut organik yang bersifat

22
non polar atau agak polar seperti heksana, metilbenzena atau diklorometan. Meskipun
demikian, proses sebaliknya (ekstraksi analit dari pelarut organik non polar ke dalam
air) juga mungkin terjadi (Gandjar, 2008).
Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi yang
menyatakan bahwa “pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan
terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang saling
campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam dua fase disebut
koefisien distribusi atau koefisieen partisi (KD) (Gandjar, 2008).
Kebanyakan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan corong pisah dalam
waktu beberapa menit. Akan tetapi untuk efektifitas ekstraksi analit dengan rasio
distribusi yang kecil (<1), ekstraksi hanya dapat dicapai dengan menggunakan pelarut
baru pada larutan sampel secara terus-menerus. Hal ini dapat dilakukan dengan refluks
menggunakan alat yang didisain secara khusus (Gandjar, 2008).

2.5 Metode Pemisahan Bahan Alam


Pemisahan dan pemurnian kandungan kimia tumbuhan terutama dilakukan
dengan menggunakan teknik kromatografi. Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur
pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensiasi dinamis dalam sistem yang
terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan
dalam arah tertentu dan didalamnya zat tersebut menunjukkan perbedaaan mobilisasi
disebabkan adanya perbedaan dalam absorpsi partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran
molekul atau kerapatan muatan ion (Anonim, 1995).
Teknik kromatografi umum membutuhkan zat-zat terdistribusi di antara dua fase,
satu diantaranya diam (fase diam), yang lainnya bergerak (fase gerak). Fase gerak
membawa zat terlarut melalui media, hingga terpisah dari zat terlarut lainnya, tereluasi
lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh
aliran suatu pelarut berbentuk cair atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat bertindak
sebagai penjerap, atau dapat melarutkan zat terlarut sehingga terjadi partisi antara fase
diam dan fase gerak. Dalam proses terakhir ini suatu lapisan cairan pada suatu penyangga
yang inert berfungsi sebagai fase diam. Partisi merupakan mekanisme pemisahan yang
utama dalam kromatografi gas-cair, kromatografi kertas, dan bentuk kromatografi kolom
atau yang disebut dengan kromatografi cair-cair (Harbone, 1987).
Jenis-jenis kromatografi yang bermanfaat dalam pemisahan dan pemurnian adalah
: kromatografi kertas (KKt), kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi gas cair
(KGC), dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) (Harbone, 1987). Menurut

23
Farmakope Indonesia IV (1995) selain keempat teknik yang telah disebutkan ada pula
Kromatografi Kolom.
Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar bergantung pada sifat dan
keatsirian senyawa yang akan dipisahkan. KKt dapat digunakan terutama bagi kandungan
tumbuhan yang mudah larut dalam air, yaitu karbohidrat, asam amino, basa asam nukleat,
asam organik dan senyawa fenolat. KLT merupakan metode pilihan untuk pemisahan
semua kandungan yang larut dalam lipid, yaitu lipid, steroid, karotenoid, kuinon
sederhana dan klorofil. Sebaliknya, teknik ketiga, yaitu KCG, penggunaan utamanya
ialah pada pemisahan senyawa atsiri, yaitu asam lemak, mono dan seskuiterpene,
hidrokarbon, dan senyawa belerang. Tetapi, keatsirian kandungan tumbuhan yang bertitik
didih tinggi dapat diperbesar dengan mengubahnya menjadi ester dan atau eter trimetil
silil sehingga hanya sedikit saja golongan yang sama sekali tidak cocok dipisahkan
dengan KGC. Cara lain, yaitu KCKT, dapat memisahkan kandungan keatsiriannya kecil.
KCKT adalah suatu metode yang menggabungkan keefisiensian dari kromatigrafi kolom
dan kecepatan analisis (Harbone, 1987).
Semua teknik tersebut dapat digunakan pada skala mikro maupun makro. Untuk
pekerjaan penyiapan, KLT dilakukan pada lapisan penjerap yang tebal, dan KKt pada
lembaran kertas saring yang tebal. Untuk isolasi pada skala yang lebih besar dari itu,
biasanya digunakan kromatografi kolom yang digabungkan dengan pengumpul fraksi
otomatis. Prosedur ini akan menghasilkan senyawa murni dalam skala gram (Harbone,
1987).
2.5.1 Kromatografi Kertas (KKt)
Kromatografi kertas dapat digunakan terutama bagi kandungan tumbuhan yang
mudah larut dalam air, yaitu karbohidrat, asam amino, basa asam nukleat, asam organik,
dan fenolat. Untuk pekerjaan penyiapannya kromatografi kertas biasanya pada lembaran
kertas saring yang tebal (Harbone, 1987).
Satu keuntungan utama kromatografi kertas adalah kemudahan dan
kesederhanaannya pada pelaksanaan pemisahan, yaitu hanya pada lembaran kertas saring
yang berlaku sebagai medium pemisahan dan juga sebagai penyangga. Keuntungan lain
adalah keterulangan bilangan Rf yang besar pada kertas sehingga pengukuran Rf
merupakan parameter yang berharga dalam memaparkan senyawa tumbuhan baru
(Harbone, 1987).
Kromatografi pada kertas biasanya melibatkan kromatografi pembagian atau
penjerapan. Pada kromatografi pembagian, senyawa terbagi dalam pelarut alkohol yang
sebagian besar tidak bercampur dengan air (misalnya n-butanol). Pengembang

24
kromatografinya adalah air murni dan dapat digunakan untuk memisahkan purin dan
pirimidin biasa, dan secara umum dapat dipakai juga untuk senyawa fenol dan glikosida
tumbuhan. Pada kromatografi kertas senyawa biasanya dideteksi sebagai bercak berwarna
atau bercak berfluoresensi-UV setelah direaksikan dengan pereaksi kromogenik yang
digunakan sebagai pereaksi semprot atau pereaksi celup (Harbone, 1987).

2.5.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


KLT merupakan metode pilihan untuk pemisahan semua kandungan yang larut
dalam lipid, yaitu lipid, steroid, karotenoid, kuinon sederhana, dan klorofil. Untuk
pekerjaan penyiapannya KLT biasanya dilakukan pada lapisan penjerap yang tebal. Bila
KLT dibandingkan dengan KKt (Kromatografi Kertas), kelebihan KLT adalah
keserbagunaan, kecepatan, dan kepekaannya. Keserbagunaan KLT disebabkan oleh
kenyataan bahwa disamping selulosa, sejumlah penjerap yang berbeda-beda dapat
disaputkan pada pelat kaca atau penyangga lain yang digunakan untuk kromatografi.
Kecepatan KLT yang lebih besar disebabkan oleh sifat penjerap yang lebih pada bila
disaputkan pada pelat dan merupakan keuntungan bila kita menelaah senyawa labil.
Kepekaan KLT sedemikian rupa sehingga bila diperlukan dapat dipisahkan dari bahan
yang jumlahnya lebih sedikit dari ukuran µg (Harbone, 1987).
Satu kekurangan KLT adalah kerja penyaputan pelat kaca dengan penjerap. Kerja
ini kemudian agak diringankan dengan adanya penyaput otomatis (Harbone, 1987).
Pelarut yang digunakan pada KLT lebih banyak dibandingkan pada KKt, dan pada
umumnya terdapat ruang gerak yang lebih leluasa dalam perbandingan pelarut yang
digunakan dalam bidang pengembang. Untuk mengukur Rf pada KLT dengan seksama
dapat membakukan kondisi, tetapi hal itu merupakan suatu proses yang memakan waktu.
Biasanya dilakukan dengan cara pengembangan naik di dalam suatu bejana yang
dindingnya dilapisi kertas saring sehingga atmosfer di dalam bejana jenuh dengan fase
pelarut (Harbone, 1987).
Deteksi senyawa pada pelat KLT biasanya dilakukan dengan penyemprotan dan
karena permukaan pelat lebih sempit (20 × 20 cm). maka penyemprotannya merupakan
prosedur yang nisbi sederhana. Satu keuntungannya bila dibandingkan dengan KKt adalah
pelat kaca dapat disemprot dengan asam sulfat pekat, yaitu pereaksi pendeteksi steroid dan
lipid yang berguna (Harbone, 1987).

2.5.3 Kromatografi Gas Cair (KGC)

25
Penggunaan utama KGC adalah pada pemisahan senyawa atsiri, yaitu asam lemak,
mono dan sesquiterpen, hidrokarbon, dan senyawa belerang. Tetapi keatsirian kandungan
tumbuhan yang bertitik didih tinggi dapat diperbesar dengan mengubahnya menjadi ester
atau eter trimetilsilil, sehingga hanya ada sedikit saja golongan yang sama sekali tidak
cocok dipisahkan dengan cara KGC (Harbone, 1987).
Komponen yang diperlukan untuk KCG sangat canggih dan mahal dibandingkan
dengan komponen untuk KLT ataupun KKt. Tetapi pada prisipnya KGC tidaklah lebih
rumit dari prosedur kromatografi yang lain.
Komponen KGC memiliki empat bagian utama yaitu:
1. Kolom berupa pipa kecil yang panjang yang dikemas dengan fase diam yang melekat
pada serbuk lebam. Disini fase diam disaputkan sebagai film pada permukaan kolom
bagian dalam.
2. Pemanas digunakan untuk memanaskan kolom secara meningkat. Suhu di tempat
masuk ke kolom dikendalikan terpisah sehingga cuplikan dapat diuapkan dengan cepat
ketika diteruskan ke kolom.
3. Aliran Gas terdiri atas gas pembawa yang lembam seperti nitrogen dan argon.
Pemisahan senyawa dalam kolom bergantung pada pengaliran gas ini melalui kolom
dengan laju aliran yang terkendali.
4. Detektor diperlukan untuk mengukur senyawa ketika senyawa itu dialirkan melalui
kolom. Pendeteksian didasarkan pengionan nyala atau penangkap elektron. Detektor
dihubungkan dengan perekam potensiometri yang memberikan hasil pemisahan
berupa serangkaian puncak yang berbeda-beda kekuatannya (Harbone, 1987)
Hasil KGC dapat dinyatakan dengan Volume Retensi RV (volume gas pembawa
yang diperlukan untuk mengelusi suatu komponen dari kolom) atau dengan waktu retensi
Rt (waktu yang diperlukan untuk mengelusi komponen dari kolom) (Harbone, 1987).
Perubah utama dalam KGC adalah sifat fase diam dalam kolom dan suhu kerja.
Keduanya diubah-ubah menurut kepolaran dan keatsirian senyawa yang dipisahkan. KGC
memberikan data kuantitatif maupun kualitatif senyawa tumbuhan karena luas daerah
dibawah puncak yang ditunjukkan pada kromatogram berbanding lurus dengan
konsentrasi masing-masing komponen yang berbeda yang terdapat dalam campuran asal
(Harbone, 1987).

26
Gambar 9. Grafik Kromatografi Gas Cair
Keterangan gambar: Kromatogram gas cair pemisahan campuran sterol asetat yang
terdapat dalam biji gandum ( Avena sativa ). Keterangan: (1) kolestrol, (2)
brasikasterol, (3) kampesterol, (4) stigmasterol, (5) sitosterol, (6) Δ5 avenasterol, (7)
Δ7 avenasterol. Fase diam sikloheksandimetanol suksinat 1% + polivinil pirolidon 2%
pada gas krom P 255 yang telah dicuci dengan asam (Harbone, 1987).

2.5.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)


KCKT dapat memisahkan kandungan yang keatsiriannya kecil. KCKT adalah
suatu metode yang menggabungkan keefisiennya kolom dan kecepatan analisis. KCKT
dapat disamakan dengan KGC dalam hal kepekaan dan kemampuannya menghasilkan
data kualitatif dan kuantitatif dengan sekali kerja saja. Perbedaannya adalah fase diam
yang terikat pada polimer berpori terdapat pada kolom baja tahan karat yang bergaris
tengah kecil, dan fase gerak cair mengalir akibat tekanan yang besar. Alat KCKT lebih
mahal daripada KGC, terutama karena diperlukan sistem pompa yang cocok serta semua
sambungan harus diskrup agar dapat menahan tekanan. Fase geraknya adalah campuran
pelarut yang dapat bercampur. Campuran ini dapat tetap susunannya atau dapat diubah
perbandingannya secara kesinambungan dengan menambahkan ruang pencampur kepada
susunan alat (elusi landaian) (Harbone, 1987).
Senyawa dipantau ketika keluar dari kolom dengan menggunakan pendeteksi,
biasanya dengan mengukur spektrum serapan UV. Kolom yang biasanya dikemas dengan
partikel bulat kecil yang terbuat dari silika yang berlapiskan atau berkaitan dengan fase
diam, terutama peka terhadap cemaran. KCKT digunakan terutama untuk senyawa tak
atsiri, misalnya terpenoid tinggi, segala jenis senyawa fenol, alkaloid, lipid, dan gula.
KCKT paling baik untuk senyawa yang dapat dideteksi di daerah spektrum UV atau di
daerah sinar tampak (Harbone, 1987).
27
2.5.5 Kromatogafi Kolom
Kromatografi kolom juga merupakan suatu metode pemisahan preparatif. Metode ini
memungkinkan untuk melakukan pemisahan satu sampel yang berupa campuran dengan
berat beberapa gram. Beberapa kelemahan dari metode ini adalah :
1. Diperlukan jumlah pelarut/eluen yang cukup besar
2. Waktu elusi untuk dapat menyelesaikan pemisahan sangat lama
3. Deteksi hasil pemisahan tidak dapat langsung dilakukan (masih
memerlukan KLT)
(Kristianti dkk., 2008)
Pada prinsipnya kromatografi kolom adalah suatu teknik pemisahan yang
didasarkan pada peristiwa adsorpsi. Sampel yang biasanya berupa larutan pekat diletakkan
pada ujung atas kolom. Eluen atau pelarut dialirkan secara kontinu ke dalam kolom.
Dengan adanya gravitasi atau karena bantuan tekanan, maka eluen atau pelarut akan
melewati kolom dan proses pemisahan akan terjadi. Seperti pada umumnya, eluen/pelarut
yang digunakan dimulai dari yang paling nonpolar dan dinaikkan secara gradien
kepolarannya hingga pemisahan dapat terjadi. Sama halnya pada KLT, pemisahan dapat
terjadi karena adanya perbedaan afinitas senyawa pada absorben dan perbedaan kelarutan
senyawa pada eluen/pelarut (Kristianti dkk., 2008).
Ketika sampel diletakkan di ujung kolom, seketika itu juga terjadi peristiwa
adsorpsi oleh permukaan adsorben yang berbatasan dengan sampel. Eluen yang dialirkan
secara kontinu ke dalam kolom menyebabkan adanya peristiwa adsorpsi dan desorpsi
senyawa-senyawa pada sampel. Molekul-molekul senyawa akan dibawa ke bagian bawah
kolom dengan kecepatan yang bervariasi bergantung besarnya afinitas molekul tersebut
pada adsorben dan juga pada besarnya kelarutan molekul tersebut dalam pelarut/eluen.
Cairan yang keluar dari kolom ditampung dan dilakukan analisis menggunakan KLT
untuk melihat hasil pemisahannya. Pada kromatografi kolom, hal yang paling berperan
dalam kesuksesan pemisahan adalah pemilihan adsorben dan eluen/pelarut, dimensi
kolom yang digunakan serta kecepatan elusi yang dilakukan (Kristianti dkk., 2008).
Adsorben yang umum digunakan selain SiO2 dan selulosa adalah alumina, yang
tersedia dalam bentuk asam, basa, atau netral. Adsorben ini dianjurkan hanya dipakai
untuk senyawa organik yang stabil. Pemilihan adsorben dan bentuknya (asam, basa, atau
netral) sangat penting untuk menghindari reaksi yang dapat terjadi di dalam kolom yang
tidak diinginkan selama proses elusi berlangsung, misalnya alumina asam dapat
menimbulkan reaksi dehidrasi alkohol tersier dan bentuk basanya dapat mengakibatkan

28
reaksi hidrolisis ester atau reaksi kondensasi aldol pada aldehida. Adsorben lain yang
umum dipakai adalah silika gel, terutama digunakan untuk memisahkan senyawa organik
yang tidak memiliki kestabilan yang memadai untuk dipisahkan menggunakan alumina
(Kristianti dkk., 2008).
Besarnya butir/granul adsorben yang digunakan pada kromatografi kolom harus
lebih besar dibandingkan dengan yang digunakan pada KLT, yaitu antara 50-200µm.
Dengan ukuran tersebut, pengisian kolom secara homogen dapat terlaksana, kecepatan
elusi juga berjalan sebagaimana seharusnya serta pergantian senyawa yang teradsorpsi
pada adsorben dan kelarutannya pada eluen/pelarut terjadi cukup cepat (Kristianti dkk.,
2008)
Jumlah adsorben yang digunakan bergantung pada tingkat kesulitan pemisahan
dan pada jumlah sampel yang akan dipisahkan. Secara umum diperlukan 30-50 gram
adsorben untuk tiap gram sampel yang akan dipisahkan. Jumlah tersebut bisa mencapai
200 gram adsorben jika pemisahan yang dilakukan cukup sulit. Dibutuhkan jumlah
adsorben yang lebih sedikit untuk memisahkan senyawa-senyawa yang perbedaan
polaritasnya sangat besar (Kristianti dkk., 2008).

Tabel 3. Acuan Persiapan kolom


Diameter Kolom
Sampel (mg) Adsorben (gram) Tinggi (mm)
(mm)
0,01 0,3 3,5 30
0,1 3 7,5 60
1 30 16 130
10 300 35 280
Eluen/pelarut yang digunakan, umumnya adalah campuran dua macam pelarut.
Pada awal elusi dimulai dengan eluen yang paling nonpolar yang akan membawa
senyawa-senyawa yang kurang terikat pada adsorben (yang paling nonpolar). Sepanjang
proses elusi, komposisi eluen dapat divariasi dengan jalan menambahkan secara gradien
pelarut yang lebih polar. Dengan demikian, senyawa-senyawa juga akan hanya terelusi ke
arah bawah kolom secara berurutan berdasarkan kepolarannya. Adalah komposisi yang
pertama dari eluen yang memiliki kemampuan elusi terkuat. Oleh karena itu, sepanjang
elusi proporsi pelarut yang lebih polar dinaikkan dengan jalan menambahkan pelarut yang
lebih polar ke dalam pelarut yang kurang polar secara eksponensial (Kristianti dkk.,
2008).

29
Tahap yang paling sulit dalam kromatografi kolom adalah pengisian kolom dengan
adsorben. Pengisisan tersebut harus sehomogen mungkin dan harus benar-benar bebas
dari gelembung udara. Permukaan adsorben harus benar-benar horizontal untuk
menghindari terjadinya cacat yang dapat terjadi selama proses elusi berjalan. Oleh karena
itu, yang pertama harus diperhatikan adalah menempatkan kolom pada posisi yang benar-
benar vertikal. Pengisian kolom dengan adsorben dapat dilakukan menurut dua cara yaitu:

1. Pengisian cara basah,

Dalam sebuah gelas beker, disiapkan terlebih dahulu campuran homogen adsorben
dengan pelarut atau campuran pelarut yang paling nonpolar yang nantinya akan
digunakan untuk elusi. Campuran harus membentuk suspensi dengan kekentalan
tertentu (cukup cair untuk bisa dituang). Pembuatan campuran harus dilakukan dengan
jalan menambahkan sedikit demi sedikit adsorben ke dalam pelarut. Langkah ini tidak
boleh dibalik dengan menambahkan pelarut ke dalam adsorben karena panas yang
dibebaskan akan dapat mendidihkan pelarut dan akan menyebabkan terbentuknya
gumpalan dalam campuran. Dengan bantuan sebuah corong, suspensi dimasukkan
secukupnya ke dalam kolom agar adsorben dapat membentuk sebuah lapisan setebal
2cm secara progresif. Selama partikel-partikel adsorben dalam suspensi membentuk
lapisan secara berlahan, dinding kolom diketuk-ketuk agar lapisan adsorben yang
terbentuk benar-benar mampat (tidak ada gelembung udara). Kemudian keran di
bagian bawah kolom dibuka agar pelarut dapat mengalir keluar secara perlahan.
Pelarut yang keluar ini dapat dipakai kembali untuk membentuk suspensi adsorben-
pelarut. Langkah ini terus diulang hingga semua adsorben yang telah disiapkan telah
masuk ke dalam kolom. Setelah semua adsorben masuk, kolom dibiarkan beberapa
saat agar cairan yang berada di atas adsorben menjadi jernih (semua partikel adsorben
sudah membentuk lapisan). Selama proses elusi harus diperhatikan agar jumlah eluen
atau pelarut tersebut di atas adsorben (Kristianti dkk., 2008).

2. Pengisian cara kering


Kolom diisi terlebih dahulu 2/3 bagiannya dengan eluen atau campuran eluen yang
paling nonpolar yang nantinya akan dipakai untuk elusi. Kemudian serbuk adsorben
dimasukkan ke dalam kolom dengan bantuan sebuah corong secara perlahan-lahan.
Selama penanbahan adsorben, dinding kolom diketuk-ketuk agar pengisian adsorben
dapat benar-benar mampat. Pada saat sudah terbentuk adsorben setebal 2 cm, keran di
bagian bawah kolom dibuka agar pelarut dapat keluar secara perlahan. Setelah semua

30
adsorben masuk kolom dibiarkan berapa saat hingga adsorben menjadi jernih (semua
partikel adsorben sudah membentuk lapisan). Selama proses elusi harus diperhatikan
agar jumlah eluen atau pelarut dalam kolom selalu cukup yang ditandai dengan adanya
eluen atau pelarut tersebut di atas adsorben (Kristianti dkk., 2008).

2.5.6 Spektrofotodensitometer
Prinsip kerja spektrofotodensitometri berdasarkan interaksi antara radiasi
elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada plat. Radiasi
elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh analit, ditransmisi atau diteruskan
jika plat yang digunakan transparan. Radiasi elektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit
atau indikator plat dapat diemisikan berupa flouresensi dan fosforesensi (Sherma and
Fried 1994).
Analisis KLT dengan menggunakan spektrofotodensitometri dapat dilakukan
dengan menggunakan mode absorbsi atau flouresensi. Pada umumnya yang paling sering
digunakan adalah mode absorbsi dengan menggunakan sinar UV pada λ 190-300 nm.
Oleh karena kebanyakan plat KLT menggunakan silika gel yang bersifat opaque (tidak
tembus cahaya), maka pengukuran dengan mode transmitan tidak cocok digunakan.
Penentuan absorpsi analit pada plat KLT opaque didasarkan pada rasio intensitas antara
radiasi elektromagnetik yang datang dengan intensitas radiasi elektromagnetik yang
dipantulkan/direfleksikan. Pengukuran flouresensi merupakan metode pengukuran
langsung yang peka untuk senyawa dalam daerah ultraviolet dapat ditentukan melalui
emisi penyinaran sekunder. Intensitas cahaya flouresensi setelah dipancarkan melalui
suatu monokromator, diukur secara selektif dalam kondisi yang sesuai, berbanding lurus
dengan berat senyawa yang ada dalam noda (Sherma and Fried, 1994).
Densitometer dapat bekerja secara serapan atau flouresensi. Kebanyakan
densitometer mempunyai sumber cahaya monokromator (rentang panjang gelombang 190
s/d 800 nm) untuk memilih panjang gelombang yang cocok, sistem untuk memfokuskan
sinar pada lempeng, pengganda foton, dan rekorder. Output detektor dikonversikan
menjadi signal dan diamplifikasi. Sebagai tambahan untuk scanning instrumen
densitometer dilengkapi dengan digital konverter, dan data akan diproses secara
digitalisasi oleh komputer. Analis dapat bekerja dengan densitometri pada jangkauan
panjang gelombang 190 s/d 800 nm. Terjadinya penyimpangan baseline yang disebabkan
oleh variasi ketebalan dan ketidakseragaman lapisan pada densitometer sangat kecil dan
level signalnya relatif tinggi. Analisis kuantitatif dari suatu senyawa yang telah

31
dipisahkan dengan TLC biasanya dilakukan dengan densitometer langsung pada
lempeng TLC (atau secara in situ).

Gambar 10. Skema instrumen spektrofotodensitometer


Keterangan: L (light); SL (slit); MC (monokromator); PM (photomultiplier); FF (filter
fluorescens); P (plat); SCS (sistem for circular scanning).

2.6 Standarisasi Ekstrak


2.6.1 Penetapan Kadar Abu
Biji kopi memiliki kadar abu tidak lebih dari 4%.
Prosedur penetapan kadar abu yaitu lebih kurang 2 g sampai 3 g zat yang telah digerus
dan ditimbang saksama, masukkan ke dalam krus platina atau krus silikat yang telah
dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan,
timbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas,
saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang
sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang.
Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Anonim, 1979).
2.6.2 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam
Biji kopi memiliki kadar abu yang tidak larut dalam asam tidak lebih dari 1 %.
Prosedur: Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam
klorida encer P selama 5 menit, kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam.
Saring melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas,
pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam
terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Anonim, 1979).
2.6.3 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air
Biji kopi memiliki kadar sari yang larut dalam air tidak kurang dari 23,5 %. Prosedur:
Keringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk dengan 100 ml
air kloroform P, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6
jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 ml filtrat

32
hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan sisa
pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam
air, dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Anonim, 1979).
2.6.4 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol
Biji kopi memiliki kadar sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 13%.
Keringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk dengan 100 ml
etanol (95%), menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selma 6 jam
pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat dengan menghindarkan
penguapan etanol (95%), uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal
berdasar rata yang telah ditara, panaskan sisa pada suhu 1050C hingga bobot tetap.
Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol (95%), dihitung terhadap
bahan yang telah dikeringkan di udara (Anonim, 1979).
2.6.5 Penetapan Bahan Organik Asing
Pada biji kopi jumlah bahan organik asing yang terdapat di dalamnya tidak lebih dari 2
%. Bahan organik asing adalah bagian tanaman atau seluruh tanaman asal simplisia,
tertera atau jumlahnya dibatasi dalam uraian pemerian dalam monografi yang
bersangkutan (Anonim, 1979).
Cara penetapan
Timbang antara 25 g dan 500 g simplisia, ratakan. Pisahkan sesempurna mungkin
bahan organik asing, timbang dan tetapkan jumlahnya dalam persen terhadap simplisia
yang digunakan. Makin kasar simplisia yang diperiksa makin banyak jumlah simplisia
yang ditimbang (Anonim, 1979).
2.6.6 Kadar Air
Prosedur penetapan kadar air seperti berikut:
a. Cara Titrasi
Pereaksi dan larutan yang digunakan peka terhadap air, hingga harus
dilindungi dari pengaruh kelembaban udara (Anonim, 1979).
Pereaksi Karl Fischer disimpan dalam botol yang diperlengkapi dengan buret
otomatik. Untuk melindungi dari pengaruh kelembaban udara, buret dilengkapi
dengan tabung pengering. Labu titrasi kapasitas lebih kurang 60 ml, dilengkapi
dengan 2 elektroda platina, sebuah pipa pengalir nitrogen, sebuah sumbat
berlubang untuk ujung buret dan sebuah tabung pengering. Zat yang diperiksa
dimasukkan ke dalam labu melalui pipa pengalir nitrogen atau melalui pipa
samping yang dapat disumbat. Pengadukan dilakukan dengan mengalirkan gas
nitrogen yang telah dikeringkan atau dengan pengaduk magnit. Penunjuk titik

33
akhir terdiri dari batere kering 1,5 volt atau 2 volt yang dihubungkan dengan
tahanan variabel lebih kurang 2.000 ohm. Tahanan diatur sedemikian rupa
sehingga arus utama yang cocok yang melalui elektroda platina berhubungan
secara seri dengan mikroammeter (Anonim, 1979).
Setelah setiap kali penambahan pereaksi Karl Fischer, penunjuk mikroammeter
menyimpang akan tetapi segera kembali ke kedudukan semula. Pada titik akhir,
penyimpangan akan tetap selama waktu yang lebih lama (Anonim, 1979).
Untuk zat-zat yang melepaskan air secara perlahan-lahan, maka pada
umumnya dilakukan titrasi tidak langsung. Kecuali dinyatakan lain dalam
monografi maka penetapan kadar air dilakukan dengan titrasi langsung (Anonim,
1979).
Cara Penetapan
Titrasi langsung
Kecuali dinyatakan lain, masukkan lebih kurang 20 ml methanol P ke dalam
labu titrasi. Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer hingga titik akhir tercapai.
Masukkan dengan cepat sejumlah zat yang ditimbang saksama yang diperkirakan
mengandung 10 mg sampai 50 mg air, ke dalam labu titrasi, aduk selama 1 menit.
Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer yang telah diketahui kesetaraan airnya.
Hitung jumlah air dalam mg dengan rumus :
VxF
V adalah volume dalam ml pereaksi Karl Fischer pada titrasi kedua, F adalah
faktor kesetaraan air (Anonim, 1980).
Titrasi tidak langsung
Masukkan lebih kurang 20 ml metanol P ke dalam labu titrasi. Titrasi dengan
pereaksi Karl Fischer hingga titik akhir tercapai. Masukkan dengan cepat
sejumlah zat yang ditimbang saksama yang diperkirakan mengandung 10 mg
sampai 50 mg air, campur. Tambahkan pereaksi Karl Fischer berlebihan dan yang
diukur saksama, biarkan selama beberapa waktu hingga reaksi sempurna. Titrasi
kelebihan pereaksi dengan larutan baku air-metanol. Hitung jumlah dalam mg air
dengan rumus :
FV1-aV2
F adalah faktor kesetaraan air pereaksi Karl Fischer, V1 adalah volume dalam
ml pereaksi Karl Fischer yang diukur saksama, a adalah kadar cair dalam mg tiap
ml dari larutan baku air-metanol dan V2 adalah volume dalam ml larutan baku air-
metanol (Anonim, 1979).

34
Pereaksi
Pereaksi Karl Fischer
Larutkan 60 g yodium P dalam 100 ml piridina mutlak P, dinginkan dalam es,
alirkan belerang dioksida P hingga bobot bertambah 32,3 g sambil dilindungi dari
pengaruh kelembaban udara. Tambahkan metanol mutlak P secukupnya hingga
500 ml, biarkan selama 24 jam. Lakukan pembakuan sebagai berikut:
Masukkan lebih kurang 20 ml metanol mutlak P ke dalam labu titrasi. Titrasi
dengan pereaksi Karl Fischer tanpa mencatat volume yang digunakan. Masukkan
air yang ditimbang saksama sejumlah yang cocok. Titrasi dengan pereaksi Karl
Fischer. Hitung kesetaraan air dalam mg tiap ml pereaksi. Pereaksi Karl Fischer
harus dibakukan segera sebelum digunakan. Peraksi Karl Fischer harus disimpan
di lemari yang dingin pada suhu antara 20-80C, terlindung dari cahaya. 1 ml
pereaksi Karl Fischer segar setara dengan lebih kurang 5 mg air (Anonim, 1979).
Larutan baku air metanol
Encerkan 2 ml air dengan metanol P secukupnya hingga 1.000,0 ml. Titrasi
25,0 ml larutan dengan pereaksi Karl Fischer. Hitung kadar air dalam mg tiap ml
dengan rumus (VF/25). V adalah volume dalam ml pereaksi Karl Fischer, F adalah
faktor kesetaraan air (Anonim, 1979).

b. Cara Destilasi
Alat
Sebuah labu 500-ml (A) dihubungkan dengan pendingin alir balik (C) dengan
pertolongan alat penampung (B). Tabung penerima 5 ml (E), berskala 0,1 ml.
Pemanas yang digunakan sebaiknya pemanas listrik yang suhunya dapat diatur
atau tangas minyak. Bagian atas labu tabung penyambung (D) sebaiknya
dibungkus dengan asbes (Anonim, 1979).

35
Gambar 11. Alat Destilasi
Pereaksi
Toluen. Sejumlah toluen P, kocok dengan sedikit air, biarkan memisah, buang lapisan
air suling (Anonim, 1979).
Cara Penetapan
Bersihkan tabung penerima dan pendingin dengan asam pencuci, bilasi dengan
air, keringkan dalam lemari pengering. Ke dalam labu kering masukkan sejumlah zat
yang ditimbang saksama yang diperkirakan mengandung 2 ml sampai 4 ml air. Jika
zat berupa pasta, timbang dalam sehelai lembaran logam dengan ukuran yang sesuai
dengan leher labu. Untuk zat yang dapat menyebabkan gejolak mendadak, tambahkan
pasir kering yang telah dicuci secukupnya hingga mencukupi dasar labu atau sejumlah
tabung kapiler, panjang lebih kurang 100 mm yang salah satu ujungnya tertutup.
Masukkan lebih kurang 200 ml toluen ke dalam labu, hubungkan dengan alat. Tuang
toluen ke dalam tabung penerima melalui alat pendingin. Panaskan labu hati-hati
selama 15 menit (Anonim, 1979).
Setelah toluen mulai mendidih, suling dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes
tiap detik, hingga sebagian besar air tersuling, kemudian naikkan kecepatan hingga 4
tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, cuci bagian dalam pendingin dengan
toluen sambil dibersihkan dengan sikat tabung yang disambungkan pada sebuah kawat
tembaga dan lebih dibasahi dengan toluen. Lanjutkan penyulingan selama 5 menit.
Biarkan tabung penerima pendingin hingga suhu kamar. Jika ada tetes air yang
melekat pada pendingin tabung penerima, hosok dengan karet yang diikatkan pada
sebuah kawat tembaga dan basahi dengan toluen hingga tetesan air turun. Setelah air
dan toluen memisah sempurna, baca volume air. Hitung kadar air dalam %. (Anonim,
1979).
2.6.7 Penetapan Susut Pengeringan
Berdasarkan Materia Medika Indonesia, susut pengeringan adalah kadar bagian
yang menguap suatu zat. Kecuali dinyatakan lain, suhu penetapan adalah 105oC dan
susut pengeringan ditetapkan sebagai berikut: Timbang saksama 1 g dan 2 g zat dalam
bobot timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu
penetapan selama 30 menit dan telah ditara. Jika zat berupa hablur besar, sebelum
ditimbang digerus dengan cepat hingga ukuran butiran lebih kurang 2 mm. Ratakan
zat dalam botol timbang dengan menggoyangkan botol, hingga merupakan lapisan
setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm, masukkan ke dalam ruang pengering, buka

36
tutupnya, keringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap. Sebelum setiap
pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup mendingin dalam desikator hingga
suhu kamar. Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu penetapan, pengeringan
dilakukan pada suhu antara 5o dan 10oC dibawah suhu leburnya selama 1 jam sampai 2
jam, kemudian pada suhu penetapan selama waktu yang ditentukan atau hingga bobot
tetap (Anonim, 1995).

37
BAB III
ALAT DAN BAHAN

3.1 Alat
1. Neraca 6. Labu 15. Chamber
analitik erlenmeyer 16. Aluminium foil
2. Botol 7. Pipet tetes 17. Kertas saring
timbang dan 8. Batang pengaduk 18. Water bath
tutup 9. Oven 19. Glasswool
3. Cawan 10. Desikator 20. Silica gel
porselin 11. Corong pisah 21. Kaca arloji
4. Gelas ukur 12. Kolom 22. Spektrofotodensito
5. Gelas 13. Pipet volume meter
beaker 14. Plat KLT GF254

3.2 Bahan
1. Serbuk biji 5. Natrium 11. Mayer LP
kopi karbonat 12. kloroform P
2. Etanol 70 6. Natrium sulfat anhidrat 13. Harger LP.
% 7. Asam klorida 2 N 14. etanol 50%.
3. Kloroform 8. eter P 15. Metanol P
4. Amonia 9. Air 16. standar kafein
cair 10. Bouchardat LP

38
BAB IV
SKEMA KERJA DAN EVALUASI HASIL

4.1 Prosedur Kerja


4.1.1 Uji Skrining Fitokimia
Ditimbang 500 mg serbuk simplisia, ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9
ml air, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring.
Dipindahkan 3 tetes filtrat pada kaca arloji, ditambahkan 2 tetes Bouchardat LP.
Dipindahkan 3 tetes filtrat pada kaca arloji yang berbeda, ditambahkan 2 tetes
Mayer LP. Jika pada kedua percobaan tidak terjadi endapan, maka serbuk tidak
mengandung alkaloid. Jika dengan Mayer LP terbentuk endapan menggumpal
berwarna putih atau kuning yang larut dalam methanol P dan dengan Bouchardat
LP terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam, maka kemungkinan terdapat
alkaloid. Lanjutkan percobaan dengan mengocok sisa filtrat dengan 3 ml ammonia
pekat P dan 10 ml campuran 3 bagian volume eter P dan 1 bagian volume
kloroform P. Diambil fase organik, ditambahkan natrium sulfat anhidrat P,
disaring. Diuapkan filtrat diatas penangas air, dilarutkan sisa dalam sedikit asam
klorida 2 N. Diambil 3 tetes filtrat, diletakkan pada kaca arloji. Ditambahkan 2 tetes
Harger LP. Hasil positif jika terbentuk endapan kuning.

4.1.2 Penetapan Kadar Susut Pengeringan


Ditimbang botol yang sudah dicuci. Dimasukkan ke dalam oven dengan suhu
105oC dengan kondisi terbuka dan tutup botol ada di dalam oven. Simplisia biji
kopi ditimbang sebanyak 1 gram dengan timbangan analitik. Botol timbang
dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit. Botol
timbang yang telah dikeluarkan dari oven ditimbang kembali. Simplisia biji kopi
dimasukkan ke dalam botong timbang, kemudian ditimbang bobotnya. Dimasukkan
ke dalam oven dengan suhu 105oC selama 30 menit dalam kondisi terbuka, tutup
berada di dalam oven. Botol timbang dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke
dalam desikator dalam kondisi terbuka dan tutup botol ada di dalam desikator
selama 15 menit. Ditimbang (berat akhir I) botol timbang dalam kondisi tertutup.

39
Dimasukkan kembali ke dalam oven dengan suhu 105oC selama 30 menit
dalam kondisi terbuka, tutup berada di dalam oven. Botol timbang dikeluarkan dari
oven dan dimasukkan ke dalam desikator dalam kondisi terbuka dan tutup botol ada
di dalam desikator selama 15 menit. Ditimbang (berat akhir II) botol timbang dalam
kondisi tertutup ( pada penimbangan kedua dianggap masa sudah konstan).
Diulangi prosedur di atas sampai diperoleh data 3 botol timbang.

4.1.3 Maserasi
Ditimbang sebanyak 5 gram serbuk kering dari simplisia biji kopi. Dimasukkan
ke dalam toples (yang telah dibungkus dengan kain hitam). Ditambahkan 100 mL
etanol 50%. Diaduk campuran selama 5 menit. Direndam selama 7 hari, dengan
pengadukan yang dilakukan tiap hari. Setelah 7 hari, maserat disaring. Ditampung
dan diukur volume maserat yang diperoleh.

4.1.4 Ekstraksi Cair-cair


Corong pisah dibersihkan. Maserat hasil maserasi dimasukkan ke dalam corong
pisah. Ditambahkan campuran pelarut amonium liquid dan kloroform dengan
perbandingan ekstrak : amonium liquid : kloroform = 70 :10: 5 Corong pisah
ditutup, digojog ± 5 kali. Setelah penggojogan dilakukan, kran corong pisah dibuka
untuk mengeluarkan gas yang terbentuk. Didiamkan selama beberapa saat, hingga
terbentuk 2 fase. Diambil fase kloroform yang berada pada bagiang bawah corong,
kemudian ditampung. Ditambahkan kloroform dengan volume yang sama dengan
perbandingan diatas, sebanyak 2 x berturut-turut untuk memaksimalkan hasil yang
diperoleh saat pemisahan. Setiap selesai diekstraksi dengan kloroform, fase
kloroform ditampung dalam beker glass. Pada fase kloroform, ditambahkan
Natrium sulfat anhidrat secukupnya.

4.1.5 Kromatografi Kolom


4.1.5.1 Pembuatan Kolom
Diawali dengan penyiapan kolom dan glasswool. Kolom dipasang
pada statif secara tegak lurus kemudian dimasukkan glaswool dengan
bantuan batang bambu. Glasswool dimasukkan secara hati-hati dan tepat
menutupi lubang bagian bawah kolom. Silica gel ditimbang sebanyak 20 gr
kemudian dilarutkan dengan fase gerak yang terdiri dari Kloroform : etanol
40
50% (99:1) dan ammonia 0,05% dari volume yang digunakan, penambahan
fase gerak ini dilakukan sampai terbentuk suatu massa yang mudah dituang.
Fase gerak dimasukkan ke dalam kolom setinggi ± 2 cm di atas glasswool.
Kemudian bubur fase diam dimasukkan ke dalam kolom secara perlahan-
lahan dengan bantuan batang pengaduk, jangan sampai terbentuk
gelembung udara, jika terbentuk gelembung maka dinding kolom diketuk
secara perlahan. Kolom dibiarkan beberapa hari hingga terbentuk massa
yang kompak, bila perlu dilakukan penambahan fase gerak untuk mencegah
keringnya kolom.

4.1.5.2 Elusi
Ekstrak dimasukkan ke dalam kolom secara perlahan melalui dinding
kolom dengan menggunakan pipet tetes. Bagian bawah kolom dibuka dan
dilakukan elusi. Kecepatan keluarnya fase gerak harus sama dengan
kecepatan penambahan fase gerak. Eluat ditampung setiap 5 mL. Eluat
diuapkan diatas penangas air.

4.1.6 Kromatografi Lapis Tipis


4.1.6.1 Aktivasi Plat
Dipotong plat KLT GF 254 dengan ukuran 15x10cm. Ditandai 1 cm
pada bagian atas dan bawah. Plat dicuci ( dielusi ) dalam chamber dengan
10 mL metanol, dengan cara mengelusi plat hingga semua plat terbasahi.
Saat pengelusian, pada pinggiran chamber digantung tissue bersih. Plat
diaktivasi di dalam oven dengan suhu 120oC selama 30 menit.
4.1.6.2 Penyiapan Eluen
Dibuat eluen dengan campuran pelarut kloroform : etanol 50% (99:1)
sebanyak 10 mL, dengan memipet 9,9 mL kloroform dan dimasukkan ke
dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 0,1 mL etanol 50% ke dalam
erlenmeyer.
4.1.6.3 Elusi dengan KLT
Fraksi yang telah diuapkan direkonstitusi dengan 50 μL metanol.
Kemudian ditotolkan di atas plat KLT sebanyak 10 μL dengan jarak antar
peak 1 cm. Penotolan fraksi dilakukan menggunakan pipet kapiler dengan
ukuran 5 μL sedangkan untuk standar kafein ditotol sebanyak 2 μL dengan
menggunakan pipet kapiler 2 μL. Selanjutnya, plat dielusi dengan

41
menggunakan campuran fase gerak Kloroform dan etanol 50% sebanyak 10
mL hingga tanda batas. Plat di keringkan di dalam oven dengan suhu 60 0 C
selama 10 menit.
4.1.7 Scanning dengan Spektrofotodensitometer
Plat dimasukkan ke dalam alat spektrofotodensitometer. Kemudian pada
komputer diatur modenya menjadi mode absorbsi, panjang gelombang maksimum
273 nm, ukuran plat 15 x 10 cm, dan fase gerak yang digunakan (campuran
kloroform : ethanol 50% (99:1) .

4.2 Skema Kerja


4.2.1 Skema Kerja Umum Identifikasi dan Pemisahan Serbuk Biji Kopi

4.2.2 Uji Skrining Fitokimia

42
4.2.3 Penetapan Susut Pengeringan

43
Metode Ekstraksi
44
4.2.4.1 Skema Kerja Maserasi

4.2.4.2 Skema Kerja Ekstraksi Cair-cair

4.2.4.3 Skema Kerja Penguapan Ekstrak

45
4.2.4 Skema Kerja Pemisahan dengan Kromatografi Kolom

46
4.2.1 Skema Kromatografi Lapis Tipis
4.2.6.1 Aktivasi Plat

4.2.6.2 Penyiapan Eluen

4.2.6.3 Elusi dengan KLT

4.2.2 Identifikasi Plat pada Alat Spektrofotodensitometer

47
4.3 Evaluasi Hasil
4.3.1 Hasil KLT
Plat KLT diidentifikasi dengan menggunakan sinar UV 254 dan 366 nm.
Pengamatan di bawah sinar UV 254 nm menunjukkan ……………. Dan pada
sinar UV 366 nm menunjukkan adanya bercak berwarna
biru……………………………
Plat KLT juga discan dengan menggunakan spektrofotodensitometer, diperoleh
,,,,,,,
Dilakukan pembandingan harga hRf antara spot pada masing-masing fraksi
yang ditotol dengan hRf larutan baku pembanding.
4.3.2 Spektra Kafein pada Spektrofotodensitometer

Gambar 12. Spektra Kafein


Dilakukan pembandingan spektra antara larutan baku pembanding dengan
spektra kafein pada masing-masing fraksi.
(Moffat et al, 2005)

48
BAB V
HASIL DAN PERHITUNGAN

5.1 Hasil Pengamatan


Hasil pengamatan yang didapat pada praktikum ini adalah berupa hasil standarisasi
simplisia (Tabel 5.1.1), hasil penetapan susut pengeringan simplisia biji kopi (Tabel
5.1.2), hasil penimbangan serbuk biji kopi untuk proses maserasi (Tabel 5.1.3), hasil
ekstraksi dengan maserasi (Tabel 5.1.4), hasil partisi dengan ekstraksi cair-cair (5.1.5),
hasil penimbangan penguapan ekstrak ekstraksi cair-cair (Tabel 5.1.6), hasil pemisahan
dengan kromatografi kolom basah (Tabel 5.1.7), hasil fraksi hasil kromatografi (Tabel
5.1.8), hasil KLT-Spektrofotodensitometri (Tabel 5.1.9)

Tabel 5.1.1 Hasil Standarisasi Simplisia

Pereaksi Warna Esktrak Hasil


Bouchardat Coklat Tidak dilakukan uji
Mayer LP Coklat (tidak terjadi perubahah warna)
Positif mengandung alkaloid
Harger LP Coklat kekuningan
(larutan berwarna kuning)

Tabel 5.1.2 Hasil Penetapan Susut Pengeringan Simplisia Biji Kopi


Berat Berat akhir botol timbang +
Berat Berat
No botol + simplisia (gram)
simplisia botol
botol simplisia
(gram) (gram) I II
(gram)
Botol 1 1,01 21,786 22,796 22,753 22,753
Botol 2 1,013 40,711 41,724 41,686 41,684
Botol 3 1,016 43,631 44,647 44,596 44,593

Tabel 5.1.3 Hasil Penimbangan Serbuk Biji Kopi Untuk Proses Maserasi
Penimbangan Berat (gram) Keterangan
Kertas kosong 1,066 gram
Kertas + serbuk biji kopi 6,076 gram
Ketelitian
Kertas setelah serbuk biji kopi timbangan 1 mg
1,066 gram
dipindahkan
Serbuk biji kopi 5,010 gram

49
Tabel 5.1.4 Hasil Ekstaksi Dengan Maserasi
Simplisia yang digunakan Pelarut etanol yang digunakan Hasil ekstraksi
5,010 gram 100 ml 84 l
Warna ekstrak : coklat pekat

Tabel 5.1.5 Hasil Partisi Dengan Ekstraksi Cair-Cair


Berat ekstrak Kloroform yang Na2CO3 yang Hasil partisi Hasil
yang dipartisi ditambahkan ditambahkan penguapan
84 ml 6 ml 12 ml 18 mL 0,22 gr
Dengan 2 x
replikasi
Warna ekstrak : coklat kehitaman

Tabel 5.1.6 Hasil Penimbangan Penguapan Ekstrak Ekstraksi Cair-Cair

Penimbangan Berat (gram)

Cawan kosong 68,996 gram


Cawan + ekstrak 69,2117 gram
Ekstrak 0,22 gram

Tabel 5.1.7 Hasil Pemisahan Dengan Kromatografi Kolom Cara Basah


Tinggi Diameter Kolom Berat silika yang Bobot Ekstrak yang Hasil
kolom digunakan masuk ke kolom pemisahan
13 cm 2,5 cm 20 gr 0,1773 gr 12 fraksi
Warna fraksi : bening

Tabel 5.1.8 Fraksi Hasil Kromatografi

No. Fraksi Warna Keterangan


1 Bening
2 Bening Fraksi digabung
3 Bening
4 Bening
5 Bening
6 Bening
7 Bening
8 Bening
9 Bening
10 Bening
11 Bening
12 Bening

50
Hasil Pengamatan Plat KLT di bawah sinar UV

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Gambar 13. Foto Plat KLT di bawah sinar UV 254 nm

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Gambar 14. Foto Plat KLT di bawah sinar UV 366 nm
Keterangan gambar :
1 (spot 1) : Baku kafein 6 (spot 6) : Fraksi 8 11 (spot 11) : Fraksi 14
2 (spot 2) : Fraksi 1-4 7 (spot 7) : Fraksi 9 12 (spot 12) : Fraksi 15
3 (spot 3) : Fraksi 5 8 (spot 8) : Fraksi 10 13 (spot 13) : Fraksi 12
4 (spot 4) : Fraksi 6 9 (spot 9) : Fraksi 11 14 (spot 14) : ekstrak
5 (spot 5) : Fraksi 7 10 (Spot 10) : Fraksi 13

51
Table 5.1.9 Hasil Pengamatan KLT-Spektrofotodensitometri
Faktor
Spot Senyawa hRf Keterangan
korelasi
1 Baku Kafein 9 0,93661 Ada kafein
2 Fraksi 1 -4 - - Tidak ada kafein
3 Fraksi 5 - - Tidak ada kafein
4 Fraksi 6 - - Tidak ada kafein
5 Fraksi 7 - - Tidak ada kafein
6 Fraksi 8 - - Tidak ada kafein
7 Fraksi 9 - - Tidak ada kafein
8 Fraksi 10 - - Tidak ada kafein
9 Fraksi 11 - - Tidak ada kafein
10 Fraksi 13 - - Tidak ada kafein
11 Fraksi 14 - - Tidak ada kafein
12 Fraksi 15 - - Tidak ada kafein
13 Fraksi 12 - - Tidak ada kafein
14 Ekstrak - - Tidak ada kafein

5.2 Perhitungan
5.2.1 Perhitungan Penetapan Susut Pengeringan
Perhitungan penetapan susut pengeringan didasarkan atas rumus sebagai berikut :

Dengan menggunakan persamaan di atas diperoleh hasil sesuai dengan Table 5.2.1
Tabel 5.2.1 Hasil Penetapan Susut Pengeringan Serbuk Kopi
Massa Simplisia
No botol Massa susut Kering %Susut pengeringan
kopi awal
Botol 1 1,01 0,043 4,25 %
Botol 2 1,013 0,04 3,94 %
Botol 3 1,016 0,053 5,21 %
Rata-rata susut pengeringan 4,467 %
Jadi rata-rata susut pengeringan simplisia biji kopi yang digunakan pada praktikum ini
adalah 4,467 %

Perhitungan Standar Deviasi

52
Jadi ± SD adalah 4,467%± 0,4385%
5.2.2 Perhitungan pembuatan HCl 2 N untuk uji identifikasi alkaloid
Konsentrasi HCl yang ada di laboratorium : 10,137 N
Konsentrasi HCl yang akan dibuat :2N
Volume HCl yang akan dibuat : 5 mL
Voume HCl yang diambil : .....?
Perhitungan:

VI × M1 = V2 × M2
V1 × 10,137 N = 5 mL × 2N
V1 = 0,986 mL

Sehingga volume HCl 10, 137 N yang diambil untuk membuat HCl 2 N adalah
sebanyak 0,986 mL.

53
5.2.3 Perhitungan Pengenceran Etanol 70% untuk Maserasi
V1. M1 = V2. M2
V1. 70% = 100 ml. 50 %
V1 = 71,428 mL
Pembuatan etanol 50 %:
Dipipet etanol 70% sebanyak 71,428 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 100
ml, kemudian ditambahkan aquades hingga tanda batas.

5.2.4 Perhitungan Ekstraksi Cair-cair


• Jumlah maserat = 84 ml
• Perbandingan kloroform : maserat : Amonium liquid = 5 : 70 : 10
84 ml
• Kloroform = x5 ml
70 ml
=6ml

84 ml
= x10 ml
• Amonium liquid 70 ml
=12 ml

• Bobot ekstrak + cawan porselen = 69,216 gram


• Bobot cawan porselen = 68,996 gram
• Bobot ekstrak kental = (Bobot ekstrak + cawan porselen) – bobot
 cawan
 = 69,216 gram – 68,996 gram
 = 0,22 gram
• Rendemen yang diperoleh = 0,22 gram

bobot ekstrak kental


= x100 %
• % rendemen bobot serbuk simplisia
0,22 g
= x100 %
5,010 g
= 4,39 %

Jadi persen rendemen yang diperoleh adalah 4,39 %

54
BAB VI
PEMBAHASAN

Pada praktikum ini dilakukan identifikasi senyawa kafein dalam biji kopi. Kopi
mengandung banyak komponen kimia yang dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu
komponen alifatik, komponen alisiklik, komponen aromatik, komponen heterosiklik, protein,
asam amino, dan asam nukleat, karbohidrat, lemak, alkaloid, vitamin, dan komponen
anorganik (Spiller, 1998). Salah satu komponen kimia yang banyak terdapat dalam kopi
adalah kafein. Kafein merupakan xantin yang paling kuat, mempunyai efek farmakogis
terhadap CNS (Central Nervous System) dan sistem kardiovaskular. Kafein menghasilkan
stimulasi korteks dan medula dan bahkan stimulasi spiral pada dosis yang besar. Kafein juga
memperpanjang waktu kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan yang melelahkan
tubuh.
Kafein merupakan golongan alkaloid dimana pada tanaman biasanya terdapat dalam
bentuk basa bebasnya. Alkaloid merupakan salah satu kandungan aktif tanaman yang
termasuk dalam kelompok metabolit sekunder. Alkaloid biasanya disintesis pada tempat yang
spesifik seperti akar yang sedang tumbuh, kloroplas, dan sel laktiferus. Alkaloid digolongkan
berdasarkan pada struktur cincin atau inti yang dimilikinya meliputi piridin-piperidin, tropan,
quinolin, isoquinolin, indol, imidazol, steroid, alkaloid amin dan purin (Tim penyusun, 2008).
Alkaloid kafein termasuk kedalam golongan alkaloid purin. Berdasarkan pada sifat
kebasaanya, kafein memiliki sifat basa lemah. Untuk kelarutannya, umumnya alkaloid dalam
bentuk basa dan garamnya larut baik dalam alkohol, namun khusus untuk alkaloid kafein,
merupakan basa alkaloid yang larut dalam air, sehingga untuk melarutkan kafein dapat
digunakan air, namun pada praktikum kali ini digunakan etanol 50 %. Digunakannya etanol
50 % sebagai pelarut dalam proses maserasi karena etanol merupakan pelarut yang mudah
melarutkan senyawa polar sampai non polar. Hal itu karena pada etanol kutub non polar
(CH3) sangat dekat dengan kutub polar (OH). Senyawa polar akan mudah larut dalam pelarut
polar, dan senyawa non polar akan mudah larut dalam pelarut non polar
Pertama-tama dilakukan proses standarisasi simplisia yakni dengan penetapan susut
pengeringan serbuk simplisia biji kopi. Tujuan penetapan susut pengeringan adalah untuk
memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses
pengeringan. Susut pengeringan dapat diartikan sebagai kadar bagian yang menguap suatu
zat, kecuali dinyatakan lain suhu penetapan adalah 105oC (Anonim, 1980). Penetapan susut
pengeringan dilakukan dengan jalan memanaskan simplisia dalam oven pada suhu 105 0C
sampai bobotnya tetap. Pemanasan dilakukan pada suhu 105 0C agar tidak merusak

55
kandungan zat aktif yang terdapat dalam simplisia. Dilakukan penetapan susut pengeringan
dengan 3 botol yang berbeda dan dilakukan pengulangan 1 kali bertujuan untuk mendapatkan
presisi yang baik dan memperoleh nilai standar deviasi. Persentase susut pengeringan dari
simplisia biji kopi yang diperoleh sebesar 4,467%± 0,4385%.
Standar deviasi merupakan suatu nilai yang menyatakan seberapa besar
penyimpangan dari suatu data yang didapat. Dari nilai standar deviasi yang didapat oleh
praktikan, kita bisa mengetahui bahwa praktikan melakukan kesalahan relatif pengukuran
bobot untuk menghitung persen susut pengeringan simplisia sebesar 0,4385%. Kesalahan
relatif tersebut disebabkan oleh suhu penimbangan yang tidak konstan selain itu karena
keterbatasan waktu, pendinginan botol timbang dan ekstrak dalam desikator hanya dilakukan
beberapa menit saja, sehingga suhunya belum kembali ke temperatur awal sesuai pada saat
penimbangan sebelumnya. Perbedaan suhu pada saat penimbangan dapat mempengaruhi
besarnya bobot yang terukur. Seharusnya dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali untuk
mendapatkan hasil yang lebih akurat, namun karena keterbatasan waktu, hanya dilakukan 1
kali pengulangan.
Selanjutnya dilakukan pengujian skrining fitokimia, yaitu identifikasi alkaloid yang
terdapat pada serbuk simplisia biji kopi. Penambahan HCl 2 N saat penyiapan filtrat bertujuan
untuk membuat kafein berada dalam bentuk garamnya sehingga lebih mudah larut dalam air
serta pemanasan juga akan meningkatkan kelarutan kafein dalam air. Tiga tetes filtrat hasil
penyaringan kemudian ditambahkan pereaksi Mayer LP. Hasil yang diperoleh dari pengujian
tersebut ialah tidak terbentuk endapan berwarna putih atau kuning. Menurut pustaka kafein
tidak akan membentuk endapan dengan larutan yang mengandung iodin di dalamnya
(Gombergg, 2009).Namun, khusus untuk reagen Mayer LP, walaupun mengandung iodin
menurut literatur menyebutkan untuk reagen Mayer mempunyai ciri khusus apabila terjadi
endapan atau tidak. Apabila larutan uji yang mengandung alkaloid direaksikan dengan Mayer
LP terbentuk endapan, maka alkaloid tersebut kemungkinan adalah golongan quinine,
brucine, papaverine, atropine dan strychnine. Namun apabila tidak membentuk endapan,
maka kemungkinan alkaloid tersebut adalah efedrin dan alkaloid basa purin seperti kafein,
teobromin, dan teofilin (Anonim, 2009). Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa larutan
uji tidak membentuk endapan sebab larutan uji yang dibuat diperkirakan mengandung kafein.
Pada pengujian yang menggunakan pereaksi Bouchardat LP tidak dilakukan karena
pereaksi tersebut tidak tersedia di laboratorium. Kemudian sisa filtrat dikocok dengan dengan
3 ml ammonia pekat P dan 10 ml campuran 3 bagian volume eter P dan 1 bagian volume
kloroform P. Penambahan amonia disini bertujuan untuk membasakan filtrat, sehingga kafein
berada dalam bentuk bebasnya. Saat ditambahkan dengan campuran pelarut klorofom dan

56
eter, kafein akan tertarik ke fase kloroform, karena kafein memiliki kelarutan yang baik dalam
kloroform. Diambil fase kloroform (fase organik) filtrat yang mengandung kafein. Filtrat
yang diperoleh diuapkan pada penangas air, sisanya dilarutkan dalam sedikit asam klorida 2
N. Penambahan HCl 2 N ini bertujuan untuk berfungsi membuat kafein kembali dalam bentuk
garamnya. Diambil 3 tetes filtrat, diletakkan pada kaca arloji, ditambahkan 2 tetes Harger LP.
Hasil pengujian menunjukkan hasil positif karena terbentuk warna coklat kekuningan.
Setelah dilakukan penentuan susut pengeringan dan uji identifikasi alkaloid,
praktikum dilanjutkan dengan proses ekstraksi terhadap simplisia biji kopi. Proses ekstraksi
ini bertujuan untuk menyari zat aktif dalam tanaman untuk diidentifikasi dan untuk
memperoleh ekstrak kental dari simplisia yang nantinya mempermudah jalannya identifikasi
maupun proses analisis berikutnya. Ekstraksi dilakukan dengan jalan maserasi. Keuntungan
ekstraksi dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana
dan mudah diusahakan. Sedangkan kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan
penyariannya kurang sempurna (Anonim, 1986). Pelarut yang digunakan adalah etanol 50%
sebanyak 100 mL. Setelah pelarut dimasukkan ke dalam toples yang mengandung simplisia
biji kopi, campuran diaduk selama kurang lebih 5 menit yang bertujuan agar kopi dapat larut
sempurna dalam etanol dan juga untuk memperbesar bidang kontak antara serbuk dengan
pelarut, sehingga pelarut dapat berpenetrasi ke dalam serbuk biji kopi dan menarik zat aktif
yang berada pada serbuk biji kopi tersebut. Maserasi dilakukan selama 7 hari, dan dilakukan
pengadukan tiap harinya. Setelah 7 hari, maserat disaring, ampasnya dibuang, dan larutan
hasil maserasi ditampung serta diukur volumenya. Dari hasil percobaan diperoleh maserat
sebanyak 84 ml dengan warna coklat pekat.
Tahap berikutnya ialah pemisahan senyawa kafein dengan pengotor-pengotor yang
masih terkandung pada maserat. Tahap pemisahan ini dibagi menjadi dua yaitu partisi dan
kromatografi kolom. Untuk partisi dilakukan dengan ekstraksi cair-cair dengan menggunakan
corong pisah, pemisahan partisi dengan cara ekstraksi cair-cair ini bertujuan untuk
mengelompokkan senyawa berdasarkan polaritasnya. Prinsipnya adalah menggunakan pelarut
yang saling tidak bercampur dari yang paling nonpolar sampai yang paling polar. Ekstraksi
cair-cair ini dilakukan dengan menambahkan campuran pelarut amonia cair dan kloroform ke
dalam maserat, dengan perbandingan maserat : amonia cair : kloroform (70 : 10 : 5).
Penggunaan amonia sebagai pelarut disini bertujuan untuk membasakan maserat, sehingga
kafein berada dalam bentuk basa bebasnya. Setelah maserat dan pelarut dimasukkan ke
dalam corong pisah, corong pisah digojog sekitar 5 kali. Penggojogan bertujuan untuk
memperbesar bidang kontak antara maserat yang mengandung kafein dengan kloroform.
Kafein yang berada dalam keadaan bebasnya yang bersifat non polar akan tertarik ke fase

57
kloroform, sedangkan pengotor-pengotor lain yang bersifat polar pada maserat akan berada
pada fase amonia cair. Setelah terjadi pemisahan, tampung bagian kloroform, dimana bagian
kloroform selalu berada pada bagian bawah dari corong, karena berat jenis kloroform lebih
besar daripada berat jenis etanol, sehingga bagian kloroform akan terkumpul pada bagian
bawah corong. Fase kloroform diambil karena akan terjadi pemindahan kafein dari fase etanol
ke kloroform yang merupakan pelarut organik nonpolar. Ekstraksi ini dilakukan bertahap
yaitu sebanyak 3 kali dengan menggunakan 6 mL kloroform, bertujuan untuk mendapatkan
hasil pemisahan yang baik dan maksimal. Fase kloroform yang diperoleh dari hasil ekstraksi
ditampung. Volume fase kloroform yang diperoleh ialah sebanyak 18 mL. Pada fase
kloroform, ditambahkan natrium sulfat anhidrat kurang lebih 1 gram, yang berfungsi untuk
menarik air dari ekstrak sehingga ekstrak yang dihasilkan bebas dari air. Ekstrak kemudian
disaring menggunakan kertas saring. Selanjutnya fase kloroform ini diuapkan pada suhu 700C
sampai 900C dan tidak boleh lebih sebab apabila penguapan dilakukan pada suhu di atas suhu
900C kafein akan mengalami dekomposisi (Mumin et all, 2006). Berat ekstrak kental yang
diperoleh sebesar 0,22 gram dan persentase rendemennya adalah 4,39 %.
Tahap pemisahan selanjutnya ialah kromatografi kolom. Kolom yang digunakan
dalam pemisahan ini adalah kolom basah. Pada tahap awal preparasi kolom, dimasukkan glass
wool ke dalam kolom. Glass wool ini berfungsi untuk mencegah fase diam melewati kran
yang dapat menyumbat kran saat pengelusian dilakukan. Fase gerak terdiri dari campuran
pelarut kloroform : etanol 50 % (99:1) dan ditambahkan 1 tetes amonia. Penambahan amonia
bertujuan untuk membebaskan kafein agar berada dalam bentuk basa bebasnya sehingga dapat
dengan mudah dipisahkan. Fase gerak dimasukkan ke dalam kolom secara hari-hati melalui
dinding kolom, sampai melewati sedikit glass wool. Jika terdapat gelembung udara, dinding
kolom diketok-ketok hingga gelembung pecah. Karena jika terdapat gelembung udara,
pemisahan yang dihasilkan tidak maksimal. Bubur fase diam dibuat dengan mencampurkan
silika gel 60 yang telah ditimbang sebanyak 20 gram dengan eluen fase gerak. Bubur fase
diam yang sudah siap, dituangkan perlahan-lahan ke dalam kolom melalui dinding kolom
dengan bantuan batang pengaduk, hal ini bertujuan agar tidak terbentuk gelembung udara
yang nantinya dapat mempengaruhi proses pemisahan. Setelah semua bubur fase diam
dituang ke dalam kolom, disisakan eluen fase gerak agar tetap berada di atas fase diam,
karena kolom akan didiamkan selama kurang lebih 3 hari. Hal ini dilakukan supaya fase diam
tidak kering dan kolomnya tidak pecah saat akan dielusi. Pecahnya kolom atau fase diam
yang mengering dapat mengganggu proses pemisahan, sehingga pemisahannya tidak
maksimal. Sedangkan tujuan pendiaman selama 3 hari adalah untuk memperoleh kolom yang
homogen dan kompak sehingga pemisahannya optimal.

58
Ekstrak hasil ekstraksi yang telah diuapkan, dituang ke dalam kolom. Namun, karena
pendiaman selama kurang lebih 1 minggu, ekstrak menjadi kering, sehingga tidak bisa
dituangkan langsung ke dalam kolom. Agar ekstrak dapat dituang ke dalam kolom, ekstrak
dilarutkan dengan sedikit eluen, disertai dengan pemanasan untuk mempercepat kelarutannya.
Setelah diperoleh bentuk ekstrak yang dapat dituang, ekstrak kemudian dituangkan ke dalam
kolom perlahan-lahan melalui dinding kolom. Kemudian dilakukan elusi ekstrak dengan fase
gerak yang telah disiapkan. Fase gerak tersebut akan membawa ekstrak kopi turun melewati
fase diam sehingga diperoleh eluat (fraksi). Saat pengelusian berlangsung, diatur kecepatan
tetesan fase gerak yang melewati kran, dan dihitung kecepatannya. Kecepatan tetesan fase
gerak melewati kolom ialah 9,1 detik/ml eluen. Kemudian ditampung fraksi-fraksi hasil elusi
setiap 5 mL. Dari praktikum ini, diperoleh 15 fraksi, dimana fraksi 1-4 digabung menjadi 1
fraksi. Warna fraksi-fraksi yang diperoleh ialah bening. Fraksi-fraksi hasil pemisahan dengan
kromatografi kolom kemudian diuapkan pada penangas air menggunakan effendrof.
Penguapan disini bertujuan untuk menghilangkan kandungan fase gerak yang terkandung
dalam tiap fraksi, sehingga didapatkan isolat dalam konsentrasi yang tinggi.
Identifikasi senyawa kafein yang terdapat pada fraksi-fraksi hasil kromatografi kolom
dilakukan dengan KLT-spektrofotodensitometri. Prinsip kerja spektrofotodensitometri
berdasarkan interaksi antara radiasi elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang
merupakan noda pada plat. Radiasi elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh
analit, ditransmisi atau diteruskan. Jika plat yang digunakan transparan, radiasi
elektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa
flouresensi dan fosforesensi (Sherma and Fried 1994). Sedangkan pada kromatografi lapis
tipis menggunakan dua peubah yaitu sifat fase diam dan sifat fase gerak atau campuran
pelarut pengembang (Gandjar, 2009). Pada proses identifikasi dengan metode KLT-
spektrofotodensitometri ini, tahap KLT menggunakan fase gerak campuran pelarut antara
kloroform:etanol 50% (99:1), sedangkan fase diam yang digunakan adalah plat silika GF 254.

Plat yang telah dipotong, dicuci dengan cara dielusi dengan menggunakan metanol sebanyak
10 ml sampai batas atas plat. Pencucian dengan cara elusi ini bertujuan untuk menghilangkan
pengotor-pengotor yang terdapat pada plat silika sehinnga tidak mengganggu proses
pemisahan. Selanjutnya dilakukan aktivasi plat pada oven dengan suhu 120oC selama 30
menit. Aktivasi ini bertujuan untuk menghilangkan sisa air yang terdapat fase diam dan juga
untuk memindahkan pengotor agar berada pada ujung plat KLT sehingga tidak mengganggu
proses pemisahan.
Pada plat yang sudah diaktivasi, dilakukan penotolan larutan standar kafein, fraksi-
fraksi hasil kromatografi kolom serta ekstrak hasil ekstraksi cair-cair sebelum pemisahan

59
dengan kromatografi kolom. Penambahan larutan standar kafein pada penotolan bertujuan
untuk membandingkan harga Rf dari larutan standar kafein dan harga Rf dari fraksi yang
diperoleh melalui kromatografi kolom. Dari perbandingan itulah nantinya dapat diketahui
apakah dalam fraksi yang diperoleh tersebut terdapat kandungan kafein atau tidak. Saat
dilakukan penotolan pada plat KLT, diusahakan ukuran bercak hasil penotolan sekecil dan
sesempit mungkin untuk mendapatkan hasil pemisahan yang baik. Penotolan sampel yang
tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncar ganda (Gandjar, 2009).
Pada penotolan fraksi-fraksi dan ekstrak dilakukan bertahap dengan dilakukan pengeringan
antar totolan.
Selanjutnya dilakukan penjenuhan chamber dengan 10 ml fase gerak. Saat penjenuhan
dilakukan, ditambahkan kertas saring yang diletakkkan pada pinggiran chamber. Penambahan
kertas saring berfungsi agar penguapan yang terjadi dalam chamber merata sehingga udara di
dalam chamber tetap jenuh oleh pelarut (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Selama proses
penjenuhan, chamber ditutup dengan baik, didiamkan selama 30 menit dan dijaga agar tidak
mengalami pergeseran untuk mencegah terjadinya ketidakjenuhan pelarut. Penjenuhan
chamber bertujuan untuk meratakan penguapan fase gerak dalam chamber, sehingga chamber
jenuh oleh fase gerak, sehingga memaksimalkan pengembangan fase gerak. Plat yang telah
ditotolkan dengan sampel, diletakkan didalam chamber yang telah jenuh dengan fase gerak.
Pelarut bergerak naik disepanjang lapisan tipis zat padat diatas lempengan akibat pengaruh
kapilaritas, dan bersamaan dengan pergerakan pelarut tersebut, zat terlarut dalam sampel
dibawa dengan laju yang tergantung pada kelarutan zat terlarut tersebut dalam fase bergerak
dan interaksinya dengan fase diam (zat padat) (Day dan Underwood, 2002). Setelah proses
pengelusian selesai dilakukan, plat dimasukkan kembali ke dalam oven selama 10 menit pada
suhu 60oC, yang bertujuan untuk menghilangkan sisa air yang terdapat fase diam.
Plat yang telah dikeluarkan dari oven, didiamkan beberapa saat hingga dingin.
Selanjutnya plat diamati di bawah sinar UV 254 dan 366, warna spot yang terbentuk pada plat
ialah coklat (gelap) pada UV 254 dan berwarna biru pada UV 366. Warna coklat gelap yang
terbentuk pada plat KLT setelah dilihat di bawah UV 254 menandakan bahwa terdapat kafein
pada spot tersebut. Fraksi-fraksi yang menunjukkan hasil positif ialah fraksi 2 dan 14,
sedangkan fraksi-fraksi yang lain tidak terlalu jelas warna coklat yang terbentuk . Pada UV
366, warna biru yang terbentuk menandakan bahwa pada fraksi positif mengandung kafein.
Fraksi-fraksi yang mengandung kafein adalah fraksi 2, 6, 9, 12, 13 dan 14. Untuk memastikan
kembali, plat kemudian di-scanning dengan CAMAG TLC-Scanner mode absorbsi pada
panjang gelombang 273 nm sehingga diperoleh hasil berupa kromatogram. Dipilih panjang
gelombang 273 nm didasarkan pada panjang gelombang maksimum kafein berada pada

60
panjang gelombang tersebut. Untuk memperoleh spektrum senyawa yang terdapat pada
sampel, maka dilakukan scanning pada panjang gelombang 200-800 pada spot-spot yang
terdapat pada tiap fraksi. Spektra merupakan ciri khas yang dimiliki oleh suatu senyawa yang
dapat membedakannya dengan senyawa lain. Berdasarkan hasil scanning, larutan standar
kafein memiliki harga Rf 0,09. Harga Rf ini digunakan untuk membandingkan antara larutan
standar dengan fraksi-fraksi dan ekstrak yang mengandung kafein. Berdasarkan perbandingan
harga Rf antara larutan standar dengan fraksi-fraksi dan ekstrak, tidak satupun fraksi-fraksi
dan ekstrak yang memiliki Rf yang sama dengan Rf larutan standar. Tidak terdeteksinya
kafein pada plat, mungkin dikarenakan pada konsentrasi kafein dalam sampel yang terlalu
kecil yang berada di bawah rentang LOD alat. Selain harga Rf, didapatkan juga data spektrum
kafein pada larutan standar maupun sampel yang ditotolkan. Dari hasil perbandingan spektra
kafein pada larutan standar dengan spektra kafein pada larutan sampel, tidak ditemukan
spektra yang sama (identik) dari ke-13 sampel yang ditotolkan dengan larutan standar kafein.
Hal ini disebabkan tidak teridentifikasinya kafein pada alat densditometer.
Pada praktikum ini khusus untuk identifikasi kandungan kimia di dalam kopi
dilakukan dengan metode ekstraksi yang berbeda-beda untuk setiap kelompok. Dimana untuk
kelompok 1 menggunakan metode maserasi sedangkan kelompok 2 menggunakan metode
soxhletasi. Untuk ekstraksi menggunakan maserasi dihasilkan 84 ml ekstrak sedangkan
ekstraksi menggunakan dengan jalan soxhletasi diperoleh ekstrak sebanyak 79 ml. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan jumlah simplisia dan pelarut yang sama diperoleh hasil ekstrak
cair yang berbeda menggunakan metode ekstraksi yang berbeda, dimana metode ekstraksi
menggunakan maserasi menghasilkan ekstrak yang lebih banyak jika dibandingkan dengan
menggunakan soxhletasi.
Saat proses pemisahan dengan ekstraksi cair-cair, volume cairan setelah dipisahkan
sama yaitu 18 ml, sebab fase yang diambil saat ekstraksi adalah fase kloroform, dimana
dilakukan penambahan 6 ml volume kloroform, tiap kali ekstraksi (ekstraksi dilakukan
sebanyak 3 kali). Setelah diuapkan, didapatkan ekstrak dengan berat 0,22 gram dari kelompok
maserasi dan 0,272 gram dari kelompok sohxhletasi. Jika dilihat dari banyaknya fraksi yang
diperoleh melalui kromatografi kolom, untuk metode sokletasi diperoleh 9 fraksi, untuk
metode maserasi diperoleh 14 fraksi dan untuk metode maserasi diperoleh 15 fraksi. Fraksi
yang diperoleh ini digabungkan berdasarkan kesamaan warna tiap fraksi yang dihasilkan.
Sehingga setelah digabungkan, untuk metode maserasi mendapatkan 12 fraksi, sedangkan
metode soxhletasi memperoleh 11 fraksi.
Berdasarkan hasil identifikasi plat pada densitometer untuk metode sokhletasi,
ditemukan adanya kafein pada fraksi 9, 10, 11, dan 12. Sedangkan pada ekstrak tidak

61
ditemukan kafein. Hal ini mungkin disebabkan oleh volume metanol yang ditambahkan saat
rekonstitusi terlalu banyak, sehingga volume yang ditotolkan juga terlalu encer, dan kafein
yang kemungkinan terdapat pada ekstrak tidak terdeteksi. Untuk metode maserasi, tidak
ditemukan kafein pada ke-13 fraksi, disebabkan oleh konsentrasi kafein yang terlalu kecil,
yang berada di bawah LOD alat, sehingga tidak bisa dideteksi.

62
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Metode yang digunakan untuk mengisolasi kafein dari simplisia biji kopi adalah
maserasi, partisi cair-cair dan kromatografi kolom.
2. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi kafein adalah KLT-
spektrofotodensitometer.
3. Hasil yang diperoleh berdasarkan metode KLT-spektrofotodensitometer ialah tidak
ditemukannya kafein pada isolat. Hal ini mungkin disebabkan oleh konsentrasi kafein
yang terlalu kecil, yang berada di bawah LOD alat, sehingga tidak dapat
teridentifikasi.
7.2 Saran
Para peneliti kandungan biji kopi selanjutnya diharapkan dapat menentukan metode yang
lebih tepat untuk mendapatkan kandungan kafein dalam biji kopi sesuai dengan literatur.

63
DAFTAR PUSTAKA

Aak. 1998. Budidaya Tanaman Kopi. Yogyakarta: Kanisius.


Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Anonim. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia .
Anonim. 1989. Materia Medika Indonesia, Jilid V. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Anonim. 2009. Scheme for Identification of Unknown Alkaloid Solution.
Available at :
http://www.pua.cc/PUASite/uploads/file/Pharmacy/Courses/PHR344/Practical%205.pdf
Openned : 24 Desember 2010
Bruneton, J. 1999. Pharmacognosy Phytochemistry Medical Plant, 2nd Edition. New York :
Intercept ltd.
Clarck, Jim.b2007. Kromatografi.
Available at : http://www.chem-is-try.org/instrumen_analisis/kromatografi
Opened at : 24 Desember 2010
Day, R.A. dan A.L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta : Erlangga.
Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2009. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Gomberg, M. 2009. Estimation of Caffein by Meansof Wagner’s Reagent.
Available at : http://www.rsc.org/ejarchive/AN/1896/AN8962100192.pdf
Opened : 24 Desember 2010
Harbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: ITB .
Hutapea, J.R. 1993. Inventaris Tanaman Obat Indonesia III. Jakarta: Depkes RI Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kristianti, A.N, N.S. Aminah, M. Tanjung, B.Kurniadi. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Surabaya:
Jurusan Kimia Laboratorium Kimia Organik FMIPA Universitas Airlangga.
Kusmardiani,S dan A. Nawawi.1992. Kimia Bahan Alam. Jakarta: Pusat Antar Universitas
Bidang Ilmu Hayati
Moffat, A.C., M.D. Osselton, and B. Widdop. 2005. Clarke's Analysis of Drugs and Poisons.
3rd Edition. London: Pharmaceutical Press.
Tim Penyusun. 2008. Buku Ajar Farmakognosi. Bukit Jimbaran: Jurusan Farmasi Fakultas
MIPA Universitas Udayana.

64
Sherma, J. and B. Fried. 1996. Handbook of Thin-Layer Chromatography. Third Edition.
New York: Marcel Dekker Inc. P.147-149
Spiller, G. A. 1998. Caffeine. USA: CRC Press.
Sthal, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung : ITB.

65

You might also like