Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui metode untuk mengisolasi kafein dari tanaman kopi (Coffea
arabica L.).
2. Untuk mengetahui metode untuk mengidentifikasi isolat yang diperoleh dari hasil
teknik isolasi yang dilakukan.
1.4 Manfaat
Memberikan informasi kepada kalangan akademis mengenai cara isolasi dan
identifikasi senyawa aktif kafein yang diisolasi dari tanaman kopi (Coffea arabica L.).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman kopi berbentuk perdu, dengan tinggi 2-3m. Batangnya tegak, bulat,
bercabang, percabangan monopodial, permukaan kasar, kuning kotor. Daun tunggal,
berhadapan, lonjong, tepi rata, ujung meruncing, lonjong, pangkal tumpul, panjang 8-15 cm,
lebar 4-7 cm, bertangkai pendek, hijau, pertulangan menyirip, hijau. Bunganya majemuk,
bentuk payung, di ketiak daun, kelopak lonjong, lima helai, panjang mm, hijau, tangkai
benang sari berlekatan membentuk tabung, panjang , putih, tangkai putik menjulang
keluar tabung, putih, mahkota berbentuk bintang, lima helai, panjang 7-9 mm, putih. Buah
berbentuk batu, bulat telur, diameter 0,5-1 cm, masih muda hijau setelah tua merah. Biji
memiliki bentuk ½ bola, salah satu permukaan beralur, panjang 0,5-1 cm, putih kehijauan.
Akarnya tunggang, kuning muda (Hutapea, 1993).
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Rubiales
Suku : Rubiaceae
3
Marga : Coffea
(Hutapea, 1993).
Daun dan biji Coffea arabica berkhasiat untuk penyegar badan. Untuk
penyegar badan dipakai daun muda Coffea arabica, dicuci dan dimakan
sebagai lalapan atau urapan.
Salah satu komponen kimia yang banyak terdapat dalam kopi adalah kafein.
Kafein merupakan xantin yang paling kuat, menghasilkan stimulasi korteks dan
medula dan bahkan stimulasi spiral pada dosis yang besar, kafein juga
memperpanjang waktu kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan yang
melelahkan tubuh. Sedangkan teobromin merupakan stimulan sistem saraf pusat
yang paling lemah dan bahkan mungkin tidak aktif pada manusia. Orang yang
mengkonsumsi kafein merasakan kekurangan rasa mengantuk, lelah dan daya
pikirannya lebih cepat dan lebih jernih.
4
untuk mengobati sakit kepala, batuk, rasa pusing bahkan mencegah plag dan
penyakitpenyakit lain. Beberapa ahli antropologi percaya bahwa kafein digunakan
sejak zaman batu. Kafein memberikan aksi stimulant sistem saraf pusat,
menstimulasi jantung dan pelebaran bronkus.
Konsumsi minuman yang mengandung kafein sebaiknya tidak lebih dari 100
mg kafein sehari, sebab konsumsi kafein 100 mg dalam sehari dapat membuat
ketagihan apabila dikonsumsi setiap hari. Ketagihan kafein menyebabkan sakit
kepala, penat pening, perasaan mudah terganggu, mual muntah, dan ketegangan otot
apabila tidak mengkonsumsi minuman mengandung kafein.
Kafein relatif tidak toksik, perkiraan dosis kafein pada manusia adalah sekitar
10 g. Meskipun kelebihan dosis mematikan jarang terjadi, gejala yang tidak
menyenangkan dapat terjadi dengan dosis besar (250 mg atau lebih besar). Efek
pusat menyerupai keadaan cemas dan meliputi gejala sukar tidur, mudah
tersinggung, gemetaran, gugup kemampuan tereksitasi yang berlebih, hipertermia,
dan sakit kepala. Gangguan toksik pada indera berupa kepekaan yang tinggi, telinga
berdengung, silau mata, ketidakteraturan jantung, aritmia, dan hipotensi yang nyata
akibat vasodilitasi langsung.
5
Keterangan:
Turunan xantin yang ada dalam tanaman yaitu kafein, teofilin dan teobromin,
kafein memiliki kerja psikotonik yang paling kuat. Agak kurang kerjanya adalah
teofilin sedangkan pada teobromin tidak mempunyai efek stimulasi pusat. Struktur
xantin serupa dengan nukleotida purin, banyak penelitian yang diarahkan pada
penentuan efek mutagenik Kafein. Kafein dapat bersifat mutagenic pada
mikroorganisme, kapang, tanaman, serangga buah, mencit dan pada sel-sel manusia.
Secara in vitro dapat memperkuat efek mutagenik bahan kimia. Namun berdasarkan
informasi terbaru, pemakaian kafein tidak mendatangkan bahaya mutagenik yang
berarti bagi manusia. Meskipun telah menunjukkan bahwa kafein bersifat
teratogenik pada manusia, tidak ada laporan yang menghubungkan kafein dengan
pengaruh teratogenik pada manusia.
Kafein diduga merupakan bagian dari sistem pertahanan benih kopi terhadap
serangga, karena kafein telah diakui sebagai suatu antijamur, sebuah selektif
fitotoksin, dan agen sterilisasi kimia terhadap serangga. Kadar kafein dalam biji kopi
(Coffea sp.) ialah 0.2 – 2.2 persen. Untuk bermacam-macam kopi kadar kafeinnya
berbeda-beda. Misalnya kadar kafein pada kopi robusta 1.5 – 2.5 persen, kopi
arabika 1.0 - .1.2 persen, kopi leberia 1.4 – 1.6 persen dan kopi mokka 1.4 – 1.6
persen.
RM : C8H10N4O2
Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, dalam etanol; mudah larut
dalam kloroform; sukar larut dalam eter (Anonim b,
1995)
6
Titik Lebur : 238° C
Identifikasi :
• Spektrum Serapan UV
7
terdapat sisa kulit biji, berwarna coklat tua sampai coklat tua
kehitaman.
(Anonim, 1989)
Keterangan gambar:
1 = lapisan sel batu
2 = parenkim dinding tipis
3 = lapisan sel pigmen
4 = perisperm dengan tetes minyak
(Anonim, 1989)
8
Gambar 4. Penampang melintang serbuk biji Coffea arabica L
Keterangan :
1 = sel batu
2 = perisperm dengan tetes minyak
(Anonim, 1989)
Identifikasi Serbuk Biji Kopi
Menurut Materia Medika Indonesia, identifikasi untuk biji kopi adalah sebagai berikut:
a. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes asam sulfat P; terjadi warna coklat tua.
b. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes asam sulfat 10 N; terjadi warna coklat tua.
c. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes larutan natrium hidroksida P 5% b/v dalam
etanol terjadi warna coklat.
d. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes ammonia (25%) P; terjadi warna coklat tua.
e. Pada 2 mg serbuk biji tambahkan 5 tetes larutan besi(III)klorida P 5%; terjadi warna
biru kehitaman.
f. Timbang 300 mg serbuk biji campur dengan 5 mL metanol P dan panaskan di atas
tangas air selama menit, dinginkan dan saring. Cuci endapan dengan metanol P
secukupnya sehingga diperoleh 5 mL filtrate. Pada titik pertama, kedua dan ketiga
lempeng KLT tutulkan masing-masing sebanyak 40µl filtrate. Pada titik keempat
tutulkan 5 µl zat warna I LP. Elusi dengan dikloroetana P dengan jarak rambat 15 cm.
Keringkan lempeng tersebut di udara selama 10 menit, elusi lagi dengan toluene P
dengan arah elusi dan jarak rambat yang sama, Amati dnegan sinar biasa dan dengan
sinar ultraviolet 366 nm. Selanjutnya disemprot dengan pereaksi anisaldehida-asam
sulfat LP, panaskan pada suhu 1100 C selama 10 menit. Amati lagi dengan sinar biasa
dan sinar ultraviolet 366 nm. Dengan perlakuan yang sama seperti cara kerja diatas
dilakuakn penyemprotan dnegan pereaksi AlCl3 LP. Pasa Kromatogram tampak
bercak-bercak dengan warna dan hRf sebagai berikut :
9
Tabel 2. Kromatografi tampak bercak – bercak dengan warna dan hRx
Catatan : harga Rx dihitung terhadap bercak warna merah yang teramati dengan
sinar biasa atau warna ungu dengan sinar UV 366 nm. hRf bercak warna
merah = 65
II = pereaksi AlCl3 LP
(Anonim, 1979)
10
berada dalan jumlah maksimal pada organ tanaman yang dikumpulkan (Tim
Penyusun, 2008).
2.2.1.2 Teknik Pengumpulan
Panen dapat dilakukan dengan tangan, tanpa atau dengan menggunakan
mesin. Apabila pengumpulan dilakukan secara manual langsung misalnya
dengan pemetikan langsung sehingga keterampilan pemetik dalam menentukan
dan memetik organ yang sesuai dari tanaman sangat penting diperhatikan. Dalam
hal ini pengalaman memegang peranan penting. Keterampilan diperlukan untuk
memperoleh simplisia yang benar dan tepat seperti kalau diperlukan daun muda,
tidak terpetik daun tua dan ranting serta tidak merusak tanaman induk terutama
untuk tanaman yang dipanen organya beberapa kali. Alat yang digunakan untuk
memetik misalnya pisau juga dipilih yang sesuai dan tepat. Alat dari logam tidak
digunakan jika merusak secara kimiawi senyawa aktif dalam simplisia misalnya
untuk simplisia yang mengandung golongan fenol, glikosida (Tim Penyusun,
2008). Cara pemanenan mekanik dengan menggunakan mesin diperlukan apabila
dari segi pertimbangan ekonomi keadaaan simplisia yang dikumpulkan dapat
dilaksanakan. Penggunaan mesin-mesin biasanya digunakan untuk memanen
simplisia dari tanaman sekali panen (Tim Penyusun, 2008).
2.2.2 Sortasi Basah
Sortasi basah bertujuan untuk membersihkan benda-benda asing yang
berasal dari luar (Tim Penyusun, 2008).
2.2.3 Pencucian
Pencucian terutama dilakukan terhadap simplisia organ tanaman bawah
tanah untuk mencuci sisa-sisa tanah yang melekat. Untuk simplisia jumlah besar
umumnya digunakan teknik dengan mengaliri air pada simplisia yang ditempatkan
di atas alat seperti jaring-jaring. Air yang digunakan dapat dari berbagai sumber
namun tetap harus memperhatikan kemungkinan adanya pencemaran (Tim
Penyusun, 2008).
2.2.4 Pengubahan Bentuk
Pengubahan bentuk bertujuan untuk memperluas permukaan (Tim
Penyusun, 2008).
2.2.5 Pengeringan
Tujuan pengeringan organ tanaman atau tanaman yang dipanen adalah
untuk mendapatkan simplisia yang awet, tidak rusak dan dapat digunakan atau
disimpam dalam jangka waktu relatif lama dengan cara mengurangi kandungan air
11
dan menghentikan reaksi enzimatik yang mungkin dapat menguraikan senyawa
bioaktif dan menurunkan mutu atau merusak simplisia itu. Air dalam sel dan
jaringan tumbuhan yang ada setelah sel atau jaringan itu mati akan merupakan
media pertumbuhan jamur. Demikian pula enzim-enzim tertentu dalam sel akan
menguraikan senyawa bioaktif tertentu, sesaat setelah sel mati dan selama sel atau
organ tersebut masih mengandung jumlah air tertentu yang memungkinkan reaksi
enzimatik berlangsung (Tim Penyusun, 2008). Pengeringan dapat dibedakan
menjadi dua yaitu :
2.2.5.1 Pengeringan Alamiah
Bergantung dari zat aktif yang dikandung dalam organ tanaman yang
dikeringkan, dapat dilakukan dengan pengeringan yang tidak dikenai sinar
matahari langsung. Pada saat pengeringan simplisia yang berupa daun dapat
digunakan kain hitam karena kain hitam dapat menyerap panas bukan
sinarnya sehingga uv terhalang, selain itu karena uv dapat merusak zat aktif
yang terkandung dalam tanaman (Tim Penyusun, 2008).
2.2.5.2 Pengeringan Buatan
Pengeringan ini menggunakan alat yang bisa diatur suhu, kelembaban,
tekanan dan sirkulasi udaranya misalnya dengan oven. Adapun hal-hal yang
mempengaruhi pengeringan yaitu waktu pengeringan, suhu, kelembaban
udara dan kelemban bahan, ketebalan bahan yang dikeringkan, sirkulasi
udara dan luas permukaan bahan (Tim Penyusun, 2008).
Cara pengeringan alamiah maupun pengeringan buatan, derajat
kekeringan simplisia yang dapat dicapai setelah proses pengeringan
tergantung pada jenis organ yang dikeringkan dan usaha untuk mencapai
tingkat kekeringan setinggi mungkin tanpa merusak senyawa aktif, sehingga
kadar air yang tersisa relatif rendah untuk tidak memungkinkan pertumbuhan
jamur dan berlangsungnya reaksi enzimatik (Tim Penyusun, 2008).
2.2.6 Sortasi Kering
Sortasi ini dilakukan setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap
akhir penyiapan simplisia. Tujuan sortasi disini adalah memisahkan benda-benda
asing seperti bagian-bagian tanaman yang masih ada dan tertinggal pada simplisia
kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus kemudian disimpan
(Tim Penyusun, 2008).
12
2.2.7 Penyimpanan
Tujuan penyimpanan yang baik dari suatu simplisia adalah untuk
mencegah menurunnya mutu simplisia dalam masa penyimpanan. Wadah yang
bersih, kedap udara diperlukan untuk simplisia. Kekedapan terhadap udara luar
diperlukan untuk mencegah masuknya kelembaban udara yang tinggi dari luar ke
dalam wadah. Udara tropik dengan kelembaban tinggi memudahkan pertumbuhan
jamur. Wadah dari logam tidak dianjurkan karena dalam beberapa hal berpengaruh
terhadap kadar senyawa aktif. Wadah dari plastik tebal kualitas baik atau dari gelas
berwarna gelap relatif. baik. Pengaruh-pengaruh luar yang perlu dicegah antara
lain masuknya serangga, sinar matahari langsung, dan kotoran udara lain.
Sedangkan, ruang penyimpanan simplisia yang telah diwadahi juga perlu
diperhatikan. Suhu rendah, kelembaban relatif rendah, tekanan udara dalam ruang
relatif tinggi dari tekanan udara luar atau sistem sirkulasi udara yang baik, adalah
kondisi ruang yang dianjurkan. Disamping itu perlu juga diatur letak dan susunan
wadah di dalam ruang sehingga memudahkan orang mencari simplisia yang
diperlukan (Tim Penyusun, 2008).
(Anonim, 1979).
13
Cara percobaan:
1. Timbang 500 mg serbuk simplisia, tambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml
air, panaskan di atas penangas air selama 2 menit, dinginkan dan saring.
2. Pindahkan 3 tetes filtrat pada kaca arloji, tambahkan 2 tetes Bouchardat LP. Jika
pada kedua percobaan tidak terjadi endapan, maka serbuk tidak mengandung
alkaloid.
6. Uapkan filtrat diatas penangas air, larutkan sisa dalam sedikit asam klorida 2 N.
(Anonim, 1979)
Cara percobaan:
1. Lakukan penyarian dengan campuran eter-kloroform seperti pada cara reaksi
pengendapan. Pindahkan beberapa ml filtrat pada cawan porselin, uapkan.
2. Pada sisa tambahkan 1 sampai 3 tetes larutan percobaan seperti yang tertera pada
masing-masing monografi. Larutan percobaan, asam sulfat P, asam nitrat P,
Frohde LP, dan Erdman LP.
(Anonim, 1979)
14
Sari 3 g serbuk simplisia dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol (95%)
P dan 3 bagian volume air dalam alat pendingin alir balik selama 10 menit,
dinginkan, saring. Pada 20 ml filtrat tambahkan 25 ml air dan 25 ml timbal (II)
asetat 0,4 M, kocok, diamkan selama 5 menit, saring. Sari filtrat 3 kali, tiap kali
dengan 20 ml campuran 3 bagian volume kloroform P dan 2 bagian volume
isopropanol P. Pada kumpulan sari tambahkan natrium sulfat anhidrat P, saring,
dan uapkan pada suhu tidak lebih dari 50oC. Larutkan sisa dengan 2 ml methanol
P (Anonim, 1979).
2.3.2.2. Percobaan umum terhadap glikosida
Cara percobaan.
a. Uapkan 0,1 ml larutan percobaan di atas penangas air, larutkan sisa dalam 5 ml
asam asetat anhidrat P. Tambahkan 10 tetes asam sulfat P; terjadi warna biru
atau hijau, menunjukkan adanya glikosida (reaksi Liebermann Burchard).
(Anonim, 1979)
Cara percobaan.
Campur 200 mg serbuk simplisia dengan 5 ml asam sulfat 2 N, panaskan
sebentar, dinginkan. Tambahkan 10 ml benzen P, kocok, diamkan. Pisahkan
15
lapisan benzen, saring; filtrat berwarna kuning, menunjukkan adanya
antrakinon. Kocok lapisan benzen dengan 1 ml sampai 2 ml natrium hidroksida
2 N, diamkan; lapisan air berwarna merah intensif dan lapisan benzen tidak
berwarna (Anonim, 1979).
16
2.3.4 Cara Identifikasi Flavonoid
2.3.4.1 Larutan percobaan
Sari 0,5 g serbuk yang diperiksa atau sisa kering 10 ml sediaan berbentuk
cairan, dengan 10 ml methanol P, menggunakan alat pendingin balik selama 10
menit. Saring panas melalui kertas saring kecil berlipat. Encerkan filtrat
dengan 10 ml air. Setelah dingin tambahkan 5 ml eter minyak tanah P, kocok
hati-hati, diamkan. Ambil lapisan metanol, uapkan pada suhu 40oC di bawah
tekanan. Sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat P, saring (Anonim, 1979).
2.3.4.2 Cara percobaan.
1. Uapkan hingga kering 1 ml larutan percobaan, sisa dilarutkan dalam 1
ml sampai 2 ml etanol (95%) P; tambahkan, 5 g serbuk seng P dan 2 ml
asam klorida 2 N, diamkan selama 1 menit. Tambahkan 10 tetes asam
klorida pekat P, jika dalam waktu 2 sampai 5 menit terjadi warna merah
intensif, menunjukkan adanya flavonoid (glikosida-3-flavonol).
19
keluar dari perkolator disebut sari atau perkolat, sedang sisa setelah dilakukannya
penyarian disebut ampas atau sisa perkolasi (Anonim, 1986).
2.4.3 Soxhletasi
Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan
penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi
molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam
klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati
pipa sifon (Anonim, 1986).
20
Alat soxhletasi merupakan penyempurnaan alat ekstraksi, alat tersebut disebut
alat ”Soxhlet”. Uap cairan penyari naik ke atas melalui pipa samping, kemudian
diembunkan kembali oleh pendingin tegak. Cairan turun ke labu melalui tabung yang
berisi serbuk simplisia. Cairan penyari sambil turun melarutkan zat aktif serbuk
simplisia. Karena adanya sifon maka setelah cairan mencapai permukaan sifon,
seluruh cairan kembali ke labu. Cairan ini lebih menguntungkan karena uap panas
tidak melalui serbuk simplisia, tetapi melalui pipa samping. Ekstraksi sempurna
ditandai bila cairan di sifon tidak berwarna, tidak tampak noda jika di KLT, atau
sirkulasi telah mencapai 20-25 kali. Ekstrak yang diperoleh dikumpulkan dan
dipekatkan (Anonim, 1986).
Keuntungan:
1. Cairan penyari yang diperlukan lebih sedikit, dan secara langsung dapat diperoleh
hasil yang lebih pekat.
2. Serbuk simplisia disari oleh cairan penyari yang murni, sehingga dapat menyari
zat aktif yang lebih banyak.
3. Penyarian dapat diteruskan sesuai dengan keperluan, tanpa menambah volume
cairan penyari.
(Anonim, 1986)
Kerugian:
1. Larutan dipanaskan terus-menerus, sehingga zat aktif yang tidak tahan
panas kurang cocok. Ini dapat diperbaiki dengan menambahkan peralatan untuk
mengurangi tekanan udara.
2. Cairan dididihkan terus menerus, sehingga cairan penyari yang baik harus
murni atau campuran azeotrop.
(Anonim, 1986)
21
2.4.4 Refluks
Refluks adalah penyarian untuk mendapatkan ekstrak cair yaitu dengan proses
penguapan dengan menggunakan alat refluks. Prinsip kerja refluks yaitu dengan cara
cairan penyari diisikan pada labu, serbuk simplisia diisikan pada tabung dari kertas
saring atau tabung yang berlubang-lubang dari gelas, baja tahan karat atau bahan
lainya yang cocok. Cairan penyari dipanaskan hingga mendidih. Uap penyari akan
naik ke atas melalui serbuk simplisia. Uap penyari mengembun karena didinginkan
oleh pendingin balik. Embun turun melalui serbuk simplisia sambil melarutkan zat
aktifnya dan kembali ke labu. Cairan akan menguap kembali berulang seperti proses
di atas (Anonim, 1986).
Keuntungan dari metode refluks ini yaitu menggunakan pelarut yang sedikit,
hemat serta ekstrak yang didapat lebih sempurna. Sedangkan kerugian metode ini
yaitu uap panas langsung melalui serbuk simplisia (Anonim, 1986).
22
non polar atau agak polar seperti heksana, metilbenzena atau diklorometan. Meskipun
demikian, proses sebaliknya (ekstraksi analit dari pelarut organik non polar ke dalam
air) juga mungkin terjadi (Gandjar, 2008).
Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi yang
menyatakan bahwa “pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan
terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang saling
campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam dua fase disebut
koefisien distribusi atau koefisieen partisi (KD) (Gandjar, 2008).
Kebanyakan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan corong pisah dalam
waktu beberapa menit. Akan tetapi untuk efektifitas ekstraksi analit dengan rasio
distribusi yang kecil (<1), ekstraksi hanya dapat dicapai dengan menggunakan pelarut
baru pada larutan sampel secara terus-menerus. Hal ini dapat dilakukan dengan refluks
menggunakan alat yang didisain secara khusus (Gandjar, 2008).
23
Farmakope Indonesia IV (1995) selain keempat teknik yang telah disebutkan ada pula
Kromatografi Kolom.
Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar bergantung pada sifat dan
keatsirian senyawa yang akan dipisahkan. KKt dapat digunakan terutama bagi kandungan
tumbuhan yang mudah larut dalam air, yaitu karbohidrat, asam amino, basa asam nukleat,
asam organik dan senyawa fenolat. KLT merupakan metode pilihan untuk pemisahan
semua kandungan yang larut dalam lipid, yaitu lipid, steroid, karotenoid, kuinon
sederhana dan klorofil. Sebaliknya, teknik ketiga, yaitu KCG, penggunaan utamanya
ialah pada pemisahan senyawa atsiri, yaitu asam lemak, mono dan seskuiterpene,
hidrokarbon, dan senyawa belerang. Tetapi, keatsirian kandungan tumbuhan yang bertitik
didih tinggi dapat diperbesar dengan mengubahnya menjadi ester dan atau eter trimetil
silil sehingga hanya sedikit saja golongan yang sama sekali tidak cocok dipisahkan
dengan KGC. Cara lain, yaitu KCKT, dapat memisahkan kandungan keatsiriannya kecil.
KCKT adalah suatu metode yang menggabungkan keefisiensian dari kromatigrafi kolom
dan kecepatan analisis (Harbone, 1987).
Semua teknik tersebut dapat digunakan pada skala mikro maupun makro. Untuk
pekerjaan penyiapan, KLT dilakukan pada lapisan penjerap yang tebal, dan KKt pada
lembaran kertas saring yang tebal. Untuk isolasi pada skala yang lebih besar dari itu,
biasanya digunakan kromatografi kolom yang digabungkan dengan pengumpul fraksi
otomatis. Prosedur ini akan menghasilkan senyawa murni dalam skala gram (Harbone,
1987).
2.5.1 Kromatografi Kertas (KKt)
Kromatografi kertas dapat digunakan terutama bagi kandungan tumbuhan yang
mudah larut dalam air, yaitu karbohidrat, asam amino, basa asam nukleat, asam organik,
dan fenolat. Untuk pekerjaan penyiapannya kromatografi kertas biasanya pada lembaran
kertas saring yang tebal (Harbone, 1987).
Satu keuntungan utama kromatografi kertas adalah kemudahan dan
kesederhanaannya pada pelaksanaan pemisahan, yaitu hanya pada lembaran kertas saring
yang berlaku sebagai medium pemisahan dan juga sebagai penyangga. Keuntungan lain
adalah keterulangan bilangan Rf yang besar pada kertas sehingga pengukuran Rf
merupakan parameter yang berharga dalam memaparkan senyawa tumbuhan baru
(Harbone, 1987).
Kromatografi pada kertas biasanya melibatkan kromatografi pembagian atau
penjerapan. Pada kromatografi pembagian, senyawa terbagi dalam pelarut alkohol yang
sebagian besar tidak bercampur dengan air (misalnya n-butanol). Pengembang
24
kromatografinya adalah air murni dan dapat digunakan untuk memisahkan purin dan
pirimidin biasa, dan secara umum dapat dipakai juga untuk senyawa fenol dan glikosida
tumbuhan. Pada kromatografi kertas senyawa biasanya dideteksi sebagai bercak berwarna
atau bercak berfluoresensi-UV setelah direaksikan dengan pereaksi kromogenik yang
digunakan sebagai pereaksi semprot atau pereaksi celup (Harbone, 1987).
25
Penggunaan utama KGC adalah pada pemisahan senyawa atsiri, yaitu asam lemak,
mono dan sesquiterpen, hidrokarbon, dan senyawa belerang. Tetapi keatsirian kandungan
tumbuhan yang bertitik didih tinggi dapat diperbesar dengan mengubahnya menjadi ester
atau eter trimetilsilil, sehingga hanya ada sedikit saja golongan yang sama sekali tidak
cocok dipisahkan dengan cara KGC (Harbone, 1987).
Komponen yang diperlukan untuk KCG sangat canggih dan mahal dibandingkan
dengan komponen untuk KLT ataupun KKt. Tetapi pada prisipnya KGC tidaklah lebih
rumit dari prosedur kromatografi yang lain.
Komponen KGC memiliki empat bagian utama yaitu:
1. Kolom berupa pipa kecil yang panjang yang dikemas dengan fase diam yang melekat
pada serbuk lebam. Disini fase diam disaputkan sebagai film pada permukaan kolom
bagian dalam.
2. Pemanas digunakan untuk memanaskan kolom secara meningkat. Suhu di tempat
masuk ke kolom dikendalikan terpisah sehingga cuplikan dapat diuapkan dengan cepat
ketika diteruskan ke kolom.
3. Aliran Gas terdiri atas gas pembawa yang lembam seperti nitrogen dan argon.
Pemisahan senyawa dalam kolom bergantung pada pengaliran gas ini melalui kolom
dengan laju aliran yang terkendali.
4. Detektor diperlukan untuk mengukur senyawa ketika senyawa itu dialirkan melalui
kolom. Pendeteksian didasarkan pengionan nyala atau penangkap elektron. Detektor
dihubungkan dengan perekam potensiometri yang memberikan hasil pemisahan
berupa serangkaian puncak yang berbeda-beda kekuatannya (Harbone, 1987)
Hasil KGC dapat dinyatakan dengan Volume Retensi RV (volume gas pembawa
yang diperlukan untuk mengelusi suatu komponen dari kolom) atau dengan waktu retensi
Rt (waktu yang diperlukan untuk mengelusi komponen dari kolom) (Harbone, 1987).
Perubah utama dalam KGC adalah sifat fase diam dalam kolom dan suhu kerja.
Keduanya diubah-ubah menurut kepolaran dan keatsirian senyawa yang dipisahkan. KGC
memberikan data kuantitatif maupun kualitatif senyawa tumbuhan karena luas daerah
dibawah puncak yang ditunjukkan pada kromatogram berbanding lurus dengan
konsentrasi masing-masing komponen yang berbeda yang terdapat dalam campuran asal
(Harbone, 1987).
26
Gambar 9. Grafik Kromatografi Gas Cair
Keterangan gambar: Kromatogram gas cair pemisahan campuran sterol asetat yang
terdapat dalam biji gandum ( Avena sativa ). Keterangan: (1) kolestrol, (2)
brasikasterol, (3) kampesterol, (4) stigmasterol, (5) sitosterol, (6) Δ5 avenasterol, (7)
Δ7 avenasterol. Fase diam sikloheksandimetanol suksinat 1% + polivinil pirolidon 2%
pada gas krom P 255 yang telah dicuci dengan asam (Harbone, 1987).
28
reaksi hidrolisis ester atau reaksi kondensasi aldol pada aldehida. Adsorben lain yang
umum dipakai adalah silika gel, terutama digunakan untuk memisahkan senyawa organik
yang tidak memiliki kestabilan yang memadai untuk dipisahkan menggunakan alumina
(Kristianti dkk., 2008).
Besarnya butir/granul adsorben yang digunakan pada kromatografi kolom harus
lebih besar dibandingkan dengan yang digunakan pada KLT, yaitu antara 50-200µm.
Dengan ukuran tersebut, pengisian kolom secara homogen dapat terlaksana, kecepatan
elusi juga berjalan sebagaimana seharusnya serta pergantian senyawa yang teradsorpsi
pada adsorben dan kelarutannya pada eluen/pelarut terjadi cukup cepat (Kristianti dkk.,
2008)
Jumlah adsorben yang digunakan bergantung pada tingkat kesulitan pemisahan
dan pada jumlah sampel yang akan dipisahkan. Secara umum diperlukan 30-50 gram
adsorben untuk tiap gram sampel yang akan dipisahkan. Jumlah tersebut bisa mencapai
200 gram adsorben jika pemisahan yang dilakukan cukup sulit. Dibutuhkan jumlah
adsorben yang lebih sedikit untuk memisahkan senyawa-senyawa yang perbedaan
polaritasnya sangat besar (Kristianti dkk., 2008).
29
Tahap yang paling sulit dalam kromatografi kolom adalah pengisian kolom dengan
adsorben. Pengisisan tersebut harus sehomogen mungkin dan harus benar-benar bebas
dari gelembung udara. Permukaan adsorben harus benar-benar horizontal untuk
menghindari terjadinya cacat yang dapat terjadi selama proses elusi berjalan. Oleh karena
itu, yang pertama harus diperhatikan adalah menempatkan kolom pada posisi yang benar-
benar vertikal. Pengisian kolom dengan adsorben dapat dilakukan menurut dua cara yaitu:
Dalam sebuah gelas beker, disiapkan terlebih dahulu campuran homogen adsorben
dengan pelarut atau campuran pelarut yang paling nonpolar yang nantinya akan
digunakan untuk elusi. Campuran harus membentuk suspensi dengan kekentalan
tertentu (cukup cair untuk bisa dituang). Pembuatan campuran harus dilakukan dengan
jalan menambahkan sedikit demi sedikit adsorben ke dalam pelarut. Langkah ini tidak
boleh dibalik dengan menambahkan pelarut ke dalam adsorben karena panas yang
dibebaskan akan dapat mendidihkan pelarut dan akan menyebabkan terbentuknya
gumpalan dalam campuran. Dengan bantuan sebuah corong, suspensi dimasukkan
secukupnya ke dalam kolom agar adsorben dapat membentuk sebuah lapisan setebal
2cm secara progresif. Selama partikel-partikel adsorben dalam suspensi membentuk
lapisan secara berlahan, dinding kolom diketuk-ketuk agar lapisan adsorben yang
terbentuk benar-benar mampat (tidak ada gelembung udara). Kemudian keran di
bagian bawah kolom dibuka agar pelarut dapat mengalir keluar secara perlahan.
Pelarut yang keluar ini dapat dipakai kembali untuk membentuk suspensi adsorben-
pelarut. Langkah ini terus diulang hingga semua adsorben yang telah disiapkan telah
masuk ke dalam kolom. Setelah semua adsorben masuk, kolom dibiarkan beberapa
saat agar cairan yang berada di atas adsorben menjadi jernih (semua partikel adsorben
sudah membentuk lapisan). Selama proses elusi harus diperhatikan agar jumlah eluen
atau pelarut tersebut di atas adsorben (Kristianti dkk., 2008).
30
adsorben masuk kolom dibiarkan berapa saat hingga adsorben menjadi jernih (semua
partikel adsorben sudah membentuk lapisan). Selama proses elusi harus diperhatikan
agar jumlah eluen atau pelarut dalam kolom selalu cukup yang ditandai dengan adanya
eluen atau pelarut tersebut di atas adsorben (Kristianti dkk., 2008).
2.5.6 Spektrofotodensitometer
Prinsip kerja spektrofotodensitometri berdasarkan interaksi antara radiasi
elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada plat. Radiasi
elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh analit, ditransmisi atau diteruskan
jika plat yang digunakan transparan. Radiasi elektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit
atau indikator plat dapat diemisikan berupa flouresensi dan fosforesensi (Sherma and
Fried 1994).
Analisis KLT dengan menggunakan spektrofotodensitometri dapat dilakukan
dengan menggunakan mode absorbsi atau flouresensi. Pada umumnya yang paling sering
digunakan adalah mode absorbsi dengan menggunakan sinar UV pada λ 190-300 nm.
Oleh karena kebanyakan plat KLT menggunakan silika gel yang bersifat opaque (tidak
tembus cahaya), maka pengukuran dengan mode transmitan tidak cocok digunakan.
Penentuan absorpsi analit pada plat KLT opaque didasarkan pada rasio intensitas antara
radiasi elektromagnetik yang datang dengan intensitas radiasi elektromagnetik yang
dipantulkan/direfleksikan. Pengukuran flouresensi merupakan metode pengukuran
langsung yang peka untuk senyawa dalam daerah ultraviolet dapat ditentukan melalui
emisi penyinaran sekunder. Intensitas cahaya flouresensi setelah dipancarkan melalui
suatu monokromator, diukur secara selektif dalam kondisi yang sesuai, berbanding lurus
dengan berat senyawa yang ada dalam noda (Sherma and Fried, 1994).
Densitometer dapat bekerja secara serapan atau flouresensi. Kebanyakan
densitometer mempunyai sumber cahaya monokromator (rentang panjang gelombang 190
s/d 800 nm) untuk memilih panjang gelombang yang cocok, sistem untuk memfokuskan
sinar pada lempeng, pengganda foton, dan rekorder. Output detektor dikonversikan
menjadi signal dan diamplifikasi. Sebagai tambahan untuk scanning instrumen
densitometer dilengkapi dengan digital konverter, dan data akan diproses secara
digitalisasi oleh komputer. Analis dapat bekerja dengan densitometri pada jangkauan
panjang gelombang 190 s/d 800 nm. Terjadinya penyimpangan baseline yang disebabkan
oleh variasi ketebalan dan ketidakseragaman lapisan pada densitometer sangat kecil dan
level signalnya relatif tinggi. Analisis kuantitatif dari suatu senyawa yang telah
31
dipisahkan dengan TLC biasanya dilakukan dengan densitometer langsung pada
lempeng TLC (atau secara in situ).
32
hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan sisa
pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam
air, dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Anonim, 1979).
2.6.4 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol
Biji kopi memiliki kadar sari yang larut dalam etanol tidak kurang dari 13%.
Keringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk dengan 100 ml
etanol (95%), menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selma 6 jam
pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat dengan menghindarkan
penguapan etanol (95%), uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal
berdasar rata yang telah ditara, panaskan sisa pada suhu 1050C hingga bobot tetap.
Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol (95%), dihitung terhadap
bahan yang telah dikeringkan di udara (Anonim, 1979).
2.6.5 Penetapan Bahan Organik Asing
Pada biji kopi jumlah bahan organik asing yang terdapat di dalamnya tidak lebih dari 2
%. Bahan organik asing adalah bagian tanaman atau seluruh tanaman asal simplisia,
tertera atau jumlahnya dibatasi dalam uraian pemerian dalam monografi yang
bersangkutan (Anonim, 1979).
Cara penetapan
Timbang antara 25 g dan 500 g simplisia, ratakan. Pisahkan sesempurna mungkin
bahan organik asing, timbang dan tetapkan jumlahnya dalam persen terhadap simplisia
yang digunakan. Makin kasar simplisia yang diperiksa makin banyak jumlah simplisia
yang ditimbang (Anonim, 1979).
2.6.6 Kadar Air
Prosedur penetapan kadar air seperti berikut:
a. Cara Titrasi
Pereaksi dan larutan yang digunakan peka terhadap air, hingga harus
dilindungi dari pengaruh kelembaban udara (Anonim, 1979).
Pereaksi Karl Fischer disimpan dalam botol yang diperlengkapi dengan buret
otomatik. Untuk melindungi dari pengaruh kelembaban udara, buret dilengkapi
dengan tabung pengering. Labu titrasi kapasitas lebih kurang 60 ml, dilengkapi
dengan 2 elektroda platina, sebuah pipa pengalir nitrogen, sebuah sumbat
berlubang untuk ujung buret dan sebuah tabung pengering. Zat yang diperiksa
dimasukkan ke dalam labu melalui pipa pengalir nitrogen atau melalui pipa
samping yang dapat disumbat. Pengadukan dilakukan dengan mengalirkan gas
nitrogen yang telah dikeringkan atau dengan pengaduk magnit. Penunjuk titik
33
akhir terdiri dari batere kering 1,5 volt atau 2 volt yang dihubungkan dengan
tahanan variabel lebih kurang 2.000 ohm. Tahanan diatur sedemikian rupa
sehingga arus utama yang cocok yang melalui elektroda platina berhubungan
secara seri dengan mikroammeter (Anonim, 1979).
Setelah setiap kali penambahan pereaksi Karl Fischer, penunjuk mikroammeter
menyimpang akan tetapi segera kembali ke kedudukan semula. Pada titik akhir,
penyimpangan akan tetap selama waktu yang lebih lama (Anonim, 1979).
Untuk zat-zat yang melepaskan air secara perlahan-lahan, maka pada
umumnya dilakukan titrasi tidak langsung. Kecuali dinyatakan lain dalam
monografi maka penetapan kadar air dilakukan dengan titrasi langsung (Anonim,
1979).
Cara Penetapan
Titrasi langsung
Kecuali dinyatakan lain, masukkan lebih kurang 20 ml methanol P ke dalam
labu titrasi. Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer hingga titik akhir tercapai.
Masukkan dengan cepat sejumlah zat yang ditimbang saksama yang diperkirakan
mengandung 10 mg sampai 50 mg air, ke dalam labu titrasi, aduk selama 1 menit.
Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer yang telah diketahui kesetaraan airnya.
Hitung jumlah air dalam mg dengan rumus :
VxF
V adalah volume dalam ml pereaksi Karl Fischer pada titrasi kedua, F adalah
faktor kesetaraan air (Anonim, 1980).
Titrasi tidak langsung
Masukkan lebih kurang 20 ml metanol P ke dalam labu titrasi. Titrasi dengan
pereaksi Karl Fischer hingga titik akhir tercapai. Masukkan dengan cepat
sejumlah zat yang ditimbang saksama yang diperkirakan mengandung 10 mg
sampai 50 mg air, campur. Tambahkan pereaksi Karl Fischer berlebihan dan yang
diukur saksama, biarkan selama beberapa waktu hingga reaksi sempurna. Titrasi
kelebihan pereaksi dengan larutan baku air-metanol. Hitung jumlah dalam mg air
dengan rumus :
FV1-aV2
F adalah faktor kesetaraan air pereaksi Karl Fischer, V1 adalah volume dalam
ml pereaksi Karl Fischer yang diukur saksama, a adalah kadar cair dalam mg tiap
ml dari larutan baku air-metanol dan V2 adalah volume dalam ml larutan baku air-
metanol (Anonim, 1979).
34
Pereaksi
Pereaksi Karl Fischer
Larutkan 60 g yodium P dalam 100 ml piridina mutlak P, dinginkan dalam es,
alirkan belerang dioksida P hingga bobot bertambah 32,3 g sambil dilindungi dari
pengaruh kelembaban udara. Tambahkan metanol mutlak P secukupnya hingga
500 ml, biarkan selama 24 jam. Lakukan pembakuan sebagai berikut:
Masukkan lebih kurang 20 ml metanol mutlak P ke dalam labu titrasi. Titrasi
dengan pereaksi Karl Fischer tanpa mencatat volume yang digunakan. Masukkan
air yang ditimbang saksama sejumlah yang cocok. Titrasi dengan pereaksi Karl
Fischer. Hitung kesetaraan air dalam mg tiap ml pereaksi. Pereaksi Karl Fischer
harus dibakukan segera sebelum digunakan. Peraksi Karl Fischer harus disimpan
di lemari yang dingin pada suhu antara 20-80C, terlindung dari cahaya. 1 ml
pereaksi Karl Fischer segar setara dengan lebih kurang 5 mg air (Anonim, 1979).
Larutan baku air metanol
Encerkan 2 ml air dengan metanol P secukupnya hingga 1.000,0 ml. Titrasi
25,0 ml larutan dengan pereaksi Karl Fischer. Hitung kadar air dalam mg tiap ml
dengan rumus (VF/25). V adalah volume dalam ml pereaksi Karl Fischer, F adalah
faktor kesetaraan air (Anonim, 1979).
b. Cara Destilasi
Alat
Sebuah labu 500-ml (A) dihubungkan dengan pendingin alir balik (C) dengan
pertolongan alat penampung (B). Tabung penerima 5 ml (E), berskala 0,1 ml.
Pemanas yang digunakan sebaiknya pemanas listrik yang suhunya dapat diatur
atau tangas minyak. Bagian atas labu tabung penyambung (D) sebaiknya
dibungkus dengan asbes (Anonim, 1979).
35
Gambar 11. Alat Destilasi
Pereaksi
Toluen. Sejumlah toluen P, kocok dengan sedikit air, biarkan memisah, buang lapisan
air suling (Anonim, 1979).
Cara Penetapan
Bersihkan tabung penerima dan pendingin dengan asam pencuci, bilasi dengan
air, keringkan dalam lemari pengering. Ke dalam labu kering masukkan sejumlah zat
yang ditimbang saksama yang diperkirakan mengandung 2 ml sampai 4 ml air. Jika
zat berupa pasta, timbang dalam sehelai lembaran logam dengan ukuran yang sesuai
dengan leher labu. Untuk zat yang dapat menyebabkan gejolak mendadak, tambahkan
pasir kering yang telah dicuci secukupnya hingga mencukupi dasar labu atau sejumlah
tabung kapiler, panjang lebih kurang 100 mm yang salah satu ujungnya tertutup.
Masukkan lebih kurang 200 ml toluen ke dalam labu, hubungkan dengan alat. Tuang
toluen ke dalam tabung penerima melalui alat pendingin. Panaskan labu hati-hati
selama 15 menit (Anonim, 1979).
Setelah toluen mulai mendidih, suling dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes
tiap detik, hingga sebagian besar air tersuling, kemudian naikkan kecepatan hingga 4
tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, cuci bagian dalam pendingin dengan
toluen sambil dibersihkan dengan sikat tabung yang disambungkan pada sebuah kawat
tembaga dan lebih dibasahi dengan toluen. Lanjutkan penyulingan selama 5 menit.
Biarkan tabung penerima pendingin hingga suhu kamar. Jika ada tetes air yang
melekat pada pendingin tabung penerima, hosok dengan karet yang diikatkan pada
sebuah kawat tembaga dan basahi dengan toluen hingga tetesan air turun. Setelah air
dan toluen memisah sempurna, baca volume air. Hitung kadar air dalam %. (Anonim,
1979).
2.6.7 Penetapan Susut Pengeringan
Berdasarkan Materia Medika Indonesia, susut pengeringan adalah kadar bagian
yang menguap suatu zat. Kecuali dinyatakan lain, suhu penetapan adalah 105oC dan
susut pengeringan ditetapkan sebagai berikut: Timbang saksama 1 g dan 2 g zat dalam
bobot timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu
penetapan selama 30 menit dan telah ditara. Jika zat berupa hablur besar, sebelum
ditimbang digerus dengan cepat hingga ukuran butiran lebih kurang 2 mm. Ratakan
zat dalam botol timbang dengan menggoyangkan botol, hingga merupakan lapisan
setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm, masukkan ke dalam ruang pengering, buka
36
tutupnya, keringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap. Sebelum setiap
pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup mendingin dalam desikator hingga
suhu kamar. Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu penetapan, pengeringan
dilakukan pada suhu antara 5o dan 10oC dibawah suhu leburnya selama 1 jam sampai 2
jam, kemudian pada suhu penetapan selama waktu yang ditentukan atau hingga bobot
tetap (Anonim, 1995).
37
BAB III
ALAT DAN BAHAN
3.1 Alat
1. Neraca 6. Labu 15. Chamber
analitik erlenmeyer 16. Aluminium foil
2. Botol 7. Pipet tetes 17. Kertas saring
timbang dan 8. Batang pengaduk 18. Water bath
tutup 9. Oven 19. Glasswool
3. Cawan 10. Desikator 20. Silica gel
porselin 11. Corong pisah 21. Kaca arloji
4. Gelas ukur 12. Kolom 22. Spektrofotodensito
5. Gelas 13. Pipet volume meter
beaker 14. Plat KLT GF254
3.2 Bahan
1. Serbuk biji 5. Natrium 11. Mayer LP
kopi karbonat 12. kloroform P
2. Etanol 70 6. Natrium sulfat anhidrat 13. Harger LP.
% 7. Asam klorida 2 N 14. etanol 50%.
3. Kloroform 8. eter P 15. Metanol P
4. Amonia 9. Air 16. standar kafein
cair 10. Bouchardat LP
38
BAB IV
SKEMA KERJA DAN EVALUASI HASIL
39
Dimasukkan kembali ke dalam oven dengan suhu 105oC selama 30 menit
dalam kondisi terbuka, tutup berada di dalam oven. Botol timbang dikeluarkan dari
oven dan dimasukkan ke dalam desikator dalam kondisi terbuka dan tutup botol ada
di dalam desikator selama 15 menit. Ditimbang (berat akhir II) botol timbang dalam
kondisi tertutup ( pada penimbangan kedua dianggap masa sudah konstan).
Diulangi prosedur di atas sampai diperoleh data 3 botol timbang.
4.1.3 Maserasi
Ditimbang sebanyak 5 gram serbuk kering dari simplisia biji kopi. Dimasukkan
ke dalam toples (yang telah dibungkus dengan kain hitam). Ditambahkan 100 mL
etanol 50%. Diaduk campuran selama 5 menit. Direndam selama 7 hari, dengan
pengadukan yang dilakukan tiap hari. Setelah 7 hari, maserat disaring. Ditampung
dan diukur volume maserat yang diperoleh.
4.1.5.2 Elusi
Ekstrak dimasukkan ke dalam kolom secara perlahan melalui dinding
kolom dengan menggunakan pipet tetes. Bagian bawah kolom dibuka dan
dilakukan elusi. Kecepatan keluarnya fase gerak harus sama dengan
kecepatan penambahan fase gerak. Eluat ditampung setiap 5 mL. Eluat
diuapkan diatas penangas air.
41
menggunakan campuran fase gerak Kloroform dan etanol 50% sebanyak 10
mL hingga tanda batas. Plat di keringkan di dalam oven dengan suhu 60 0 C
selama 10 menit.
4.1.7 Scanning dengan Spektrofotodensitometer
Plat dimasukkan ke dalam alat spektrofotodensitometer. Kemudian pada
komputer diatur modenya menjadi mode absorbsi, panjang gelombang maksimum
273 nm, ukuran plat 15 x 10 cm, dan fase gerak yang digunakan (campuran
kloroform : ethanol 50% (99:1) .
42
4.2.3 Penetapan Susut Pengeringan
43
Metode Ekstraksi
44
4.2.4.1 Skema Kerja Maserasi
45
4.2.4 Skema Kerja Pemisahan dengan Kromatografi Kolom
46
4.2.1 Skema Kromatografi Lapis Tipis
4.2.6.1 Aktivasi Plat
47
4.3 Evaluasi Hasil
4.3.1 Hasil KLT
Plat KLT diidentifikasi dengan menggunakan sinar UV 254 dan 366 nm.
Pengamatan di bawah sinar UV 254 nm menunjukkan ……………. Dan pada
sinar UV 366 nm menunjukkan adanya bercak berwarna
biru……………………………
Plat KLT juga discan dengan menggunakan spektrofotodensitometer, diperoleh
,,,,,,,
Dilakukan pembandingan harga hRf antara spot pada masing-masing fraksi
yang ditotol dengan hRf larutan baku pembanding.
4.3.2 Spektra Kafein pada Spektrofotodensitometer
48
BAB V
HASIL DAN PERHITUNGAN
Tabel 5.1.3 Hasil Penimbangan Serbuk Biji Kopi Untuk Proses Maserasi
Penimbangan Berat (gram) Keterangan
Kertas kosong 1,066 gram
Kertas + serbuk biji kopi 6,076 gram
Ketelitian
Kertas setelah serbuk biji kopi timbangan 1 mg
1,066 gram
dipindahkan
Serbuk biji kopi 5,010 gram
49
Tabel 5.1.4 Hasil Ekstaksi Dengan Maserasi
Simplisia yang digunakan Pelarut etanol yang digunakan Hasil ekstraksi
5,010 gram 100 ml 84 l
Warna ekstrak : coklat pekat
50
Hasil Pengamatan Plat KLT di bawah sinar UV
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Gambar 13. Foto Plat KLT di bawah sinar UV 254 nm
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Gambar 14. Foto Plat KLT di bawah sinar UV 366 nm
Keterangan gambar :
1 (spot 1) : Baku kafein 6 (spot 6) : Fraksi 8 11 (spot 11) : Fraksi 14
2 (spot 2) : Fraksi 1-4 7 (spot 7) : Fraksi 9 12 (spot 12) : Fraksi 15
3 (spot 3) : Fraksi 5 8 (spot 8) : Fraksi 10 13 (spot 13) : Fraksi 12
4 (spot 4) : Fraksi 6 9 (spot 9) : Fraksi 11 14 (spot 14) : ekstrak
5 (spot 5) : Fraksi 7 10 (Spot 10) : Fraksi 13
51
Table 5.1.9 Hasil Pengamatan KLT-Spektrofotodensitometri
Faktor
Spot Senyawa hRf Keterangan
korelasi
1 Baku Kafein 9 0,93661 Ada kafein
2 Fraksi 1 -4 - - Tidak ada kafein
3 Fraksi 5 - - Tidak ada kafein
4 Fraksi 6 - - Tidak ada kafein
5 Fraksi 7 - - Tidak ada kafein
6 Fraksi 8 - - Tidak ada kafein
7 Fraksi 9 - - Tidak ada kafein
8 Fraksi 10 - - Tidak ada kafein
9 Fraksi 11 - - Tidak ada kafein
10 Fraksi 13 - - Tidak ada kafein
11 Fraksi 14 - - Tidak ada kafein
12 Fraksi 15 - - Tidak ada kafein
13 Fraksi 12 - - Tidak ada kafein
14 Ekstrak - - Tidak ada kafein
5.2 Perhitungan
5.2.1 Perhitungan Penetapan Susut Pengeringan
Perhitungan penetapan susut pengeringan didasarkan atas rumus sebagai berikut :
Dengan menggunakan persamaan di atas diperoleh hasil sesuai dengan Table 5.2.1
Tabel 5.2.1 Hasil Penetapan Susut Pengeringan Serbuk Kopi
Massa Simplisia
No botol Massa susut Kering %Susut pengeringan
kopi awal
Botol 1 1,01 0,043 4,25 %
Botol 2 1,013 0,04 3,94 %
Botol 3 1,016 0,053 5,21 %
Rata-rata susut pengeringan 4,467 %
Jadi rata-rata susut pengeringan simplisia biji kopi yang digunakan pada praktikum ini
adalah 4,467 %
52
Jadi ± SD adalah 4,467%± 0,4385%
5.2.2 Perhitungan pembuatan HCl 2 N untuk uji identifikasi alkaloid
Konsentrasi HCl yang ada di laboratorium : 10,137 N
Konsentrasi HCl yang akan dibuat :2N
Volume HCl yang akan dibuat : 5 mL
Voume HCl yang diambil : .....?
Perhitungan:
VI × M1 = V2 × M2
V1 × 10,137 N = 5 mL × 2N
V1 = 0,986 mL
Sehingga volume HCl 10, 137 N yang diambil untuk membuat HCl 2 N adalah
sebanyak 0,986 mL.
53
5.2.3 Perhitungan Pengenceran Etanol 70% untuk Maserasi
V1. M1 = V2. M2
V1. 70% = 100 ml. 50 %
V1 = 71,428 mL
Pembuatan etanol 50 %:
Dipipet etanol 70% sebanyak 71,428 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 100
ml, kemudian ditambahkan aquades hingga tanda batas.
84 ml
= x10 ml
• Amonium liquid 70 ml
=12 ml
54
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan identifikasi senyawa kafein dalam biji kopi. Kopi
mengandung banyak komponen kimia yang dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu
komponen alifatik, komponen alisiklik, komponen aromatik, komponen heterosiklik, protein,
asam amino, dan asam nukleat, karbohidrat, lemak, alkaloid, vitamin, dan komponen
anorganik (Spiller, 1998). Salah satu komponen kimia yang banyak terdapat dalam kopi
adalah kafein. Kafein merupakan xantin yang paling kuat, mempunyai efek farmakogis
terhadap CNS (Central Nervous System) dan sistem kardiovaskular. Kafein menghasilkan
stimulasi korteks dan medula dan bahkan stimulasi spiral pada dosis yang besar. Kafein juga
memperpanjang waktu kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan yang melelahkan
tubuh.
Kafein merupakan golongan alkaloid dimana pada tanaman biasanya terdapat dalam
bentuk basa bebasnya. Alkaloid merupakan salah satu kandungan aktif tanaman yang
termasuk dalam kelompok metabolit sekunder. Alkaloid biasanya disintesis pada tempat yang
spesifik seperti akar yang sedang tumbuh, kloroplas, dan sel laktiferus. Alkaloid digolongkan
berdasarkan pada struktur cincin atau inti yang dimilikinya meliputi piridin-piperidin, tropan,
quinolin, isoquinolin, indol, imidazol, steroid, alkaloid amin dan purin (Tim penyusun, 2008).
Alkaloid kafein termasuk kedalam golongan alkaloid purin. Berdasarkan pada sifat
kebasaanya, kafein memiliki sifat basa lemah. Untuk kelarutannya, umumnya alkaloid dalam
bentuk basa dan garamnya larut baik dalam alkohol, namun khusus untuk alkaloid kafein,
merupakan basa alkaloid yang larut dalam air, sehingga untuk melarutkan kafein dapat
digunakan air, namun pada praktikum kali ini digunakan etanol 50 %. Digunakannya etanol
50 % sebagai pelarut dalam proses maserasi karena etanol merupakan pelarut yang mudah
melarutkan senyawa polar sampai non polar. Hal itu karena pada etanol kutub non polar
(CH3) sangat dekat dengan kutub polar (OH). Senyawa polar akan mudah larut dalam pelarut
polar, dan senyawa non polar akan mudah larut dalam pelarut non polar
Pertama-tama dilakukan proses standarisasi simplisia yakni dengan penetapan susut
pengeringan serbuk simplisia biji kopi. Tujuan penetapan susut pengeringan adalah untuk
memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses
pengeringan. Susut pengeringan dapat diartikan sebagai kadar bagian yang menguap suatu
zat, kecuali dinyatakan lain suhu penetapan adalah 105oC (Anonim, 1980). Penetapan susut
pengeringan dilakukan dengan jalan memanaskan simplisia dalam oven pada suhu 105 0C
sampai bobotnya tetap. Pemanasan dilakukan pada suhu 105 0C agar tidak merusak
55
kandungan zat aktif yang terdapat dalam simplisia. Dilakukan penetapan susut pengeringan
dengan 3 botol yang berbeda dan dilakukan pengulangan 1 kali bertujuan untuk mendapatkan
presisi yang baik dan memperoleh nilai standar deviasi. Persentase susut pengeringan dari
simplisia biji kopi yang diperoleh sebesar 4,467%± 0,4385%.
Standar deviasi merupakan suatu nilai yang menyatakan seberapa besar
penyimpangan dari suatu data yang didapat. Dari nilai standar deviasi yang didapat oleh
praktikan, kita bisa mengetahui bahwa praktikan melakukan kesalahan relatif pengukuran
bobot untuk menghitung persen susut pengeringan simplisia sebesar 0,4385%. Kesalahan
relatif tersebut disebabkan oleh suhu penimbangan yang tidak konstan selain itu karena
keterbatasan waktu, pendinginan botol timbang dan ekstrak dalam desikator hanya dilakukan
beberapa menit saja, sehingga suhunya belum kembali ke temperatur awal sesuai pada saat
penimbangan sebelumnya. Perbedaan suhu pada saat penimbangan dapat mempengaruhi
besarnya bobot yang terukur. Seharusnya dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali untuk
mendapatkan hasil yang lebih akurat, namun karena keterbatasan waktu, hanya dilakukan 1
kali pengulangan.
Selanjutnya dilakukan pengujian skrining fitokimia, yaitu identifikasi alkaloid yang
terdapat pada serbuk simplisia biji kopi. Penambahan HCl 2 N saat penyiapan filtrat bertujuan
untuk membuat kafein berada dalam bentuk garamnya sehingga lebih mudah larut dalam air
serta pemanasan juga akan meningkatkan kelarutan kafein dalam air. Tiga tetes filtrat hasil
penyaringan kemudian ditambahkan pereaksi Mayer LP. Hasil yang diperoleh dari pengujian
tersebut ialah tidak terbentuk endapan berwarna putih atau kuning. Menurut pustaka kafein
tidak akan membentuk endapan dengan larutan yang mengandung iodin di dalamnya
(Gombergg, 2009).Namun, khusus untuk reagen Mayer LP, walaupun mengandung iodin
menurut literatur menyebutkan untuk reagen Mayer mempunyai ciri khusus apabila terjadi
endapan atau tidak. Apabila larutan uji yang mengandung alkaloid direaksikan dengan Mayer
LP terbentuk endapan, maka alkaloid tersebut kemungkinan adalah golongan quinine,
brucine, papaverine, atropine dan strychnine. Namun apabila tidak membentuk endapan,
maka kemungkinan alkaloid tersebut adalah efedrin dan alkaloid basa purin seperti kafein,
teobromin, dan teofilin (Anonim, 2009). Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa larutan
uji tidak membentuk endapan sebab larutan uji yang dibuat diperkirakan mengandung kafein.
Pada pengujian yang menggunakan pereaksi Bouchardat LP tidak dilakukan karena
pereaksi tersebut tidak tersedia di laboratorium. Kemudian sisa filtrat dikocok dengan dengan
3 ml ammonia pekat P dan 10 ml campuran 3 bagian volume eter P dan 1 bagian volume
kloroform P. Penambahan amonia disini bertujuan untuk membasakan filtrat, sehingga kafein
berada dalam bentuk bebasnya. Saat ditambahkan dengan campuran pelarut klorofom dan
56
eter, kafein akan tertarik ke fase kloroform, karena kafein memiliki kelarutan yang baik dalam
kloroform. Diambil fase kloroform (fase organik) filtrat yang mengandung kafein. Filtrat
yang diperoleh diuapkan pada penangas air, sisanya dilarutkan dalam sedikit asam klorida 2
N. Penambahan HCl 2 N ini bertujuan untuk berfungsi membuat kafein kembali dalam bentuk
garamnya. Diambil 3 tetes filtrat, diletakkan pada kaca arloji, ditambahkan 2 tetes Harger LP.
Hasil pengujian menunjukkan hasil positif karena terbentuk warna coklat kekuningan.
Setelah dilakukan penentuan susut pengeringan dan uji identifikasi alkaloid,
praktikum dilanjutkan dengan proses ekstraksi terhadap simplisia biji kopi. Proses ekstraksi
ini bertujuan untuk menyari zat aktif dalam tanaman untuk diidentifikasi dan untuk
memperoleh ekstrak kental dari simplisia yang nantinya mempermudah jalannya identifikasi
maupun proses analisis berikutnya. Ekstraksi dilakukan dengan jalan maserasi. Keuntungan
ekstraksi dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana
dan mudah diusahakan. Sedangkan kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan
penyariannya kurang sempurna (Anonim, 1986). Pelarut yang digunakan adalah etanol 50%
sebanyak 100 mL. Setelah pelarut dimasukkan ke dalam toples yang mengandung simplisia
biji kopi, campuran diaduk selama kurang lebih 5 menit yang bertujuan agar kopi dapat larut
sempurna dalam etanol dan juga untuk memperbesar bidang kontak antara serbuk dengan
pelarut, sehingga pelarut dapat berpenetrasi ke dalam serbuk biji kopi dan menarik zat aktif
yang berada pada serbuk biji kopi tersebut. Maserasi dilakukan selama 7 hari, dan dilakukan
pengadukan tiap harinya. Setelah 7 hari, maserat disaring, ampasnya dibuang, dan larutan
hasil maserasi ditampung serta diukur volumenya. Dari hasil percobaan diperoleh maserat
sebanyak 84 ml dengan warna coklat pekat.
Tahap berikutnya ialah pemisahan senyawa kafein dengan pengotor-pengotor yang
masih terkandung pada maserat. Tahap pemisahan ini dibagi menjadi dua yaitu partisi dan
kromatografi kolom. Untuk partisi dilakukan dengan ekstraksi cair-cair dengan menggunakan
corong pisah, pemisahan partisi dengan cara ekstraksi cair-cair ini bertujuan untuk
mengelompokkan senyawa berdasarkan polaritasnya. Prinsipnya adalah menggunakan pelarut
yang saling tidak bercampur dari yang paling nonpolar sampai yang paling polar. Ekstraksi
cair-cair ini dilakukan dengan menambahkan campuran pelarut amonia cair dan kloroform ke
dalam maserat, dengan perbandingan maserat : amonia cair : kloroform (70 : 10 : 5).
Penggunaan amonia sebagai pelarut disini bertujuan untuk membasakan maserat, sehingga
kafein berada dalam bentuk basa bebasnya. Setelah maserat dan pelarut dimasukkan ke
dalam corong pisah, corong pisah digojog sekitar 5 kali. Penggojogan bertujuan untuk
memperbesar bidang kontak antara maserat yang mengandung kafein dengan kloroform.
Kafein yang berada dalam keadaan bebasnya yang bersifat non polar akan tertarik ke fase
57
kloroform, sedangkan pengotor-pengotor lain yang bersifat polar pada maserat akan berada
pada fase amonia cair. Setelah terjadi pemisahan, tampung bagian kloroform, dimana bagian
kloroform selalu berada pada bagian bawah dari corong, karena berat jenis kloroform lebih
besar daripada berat jenis etanol, sehingga bagian kloroform akan terkumpul pada bagian
bawah corong. Fase kloroform diambil karena akan terjadi pemindahan kafein dari fase etanol
ke kloroform yang merupakan pelarut organik nonpolar. Ekstraksi ini dilakukan bertahap
yaitu sebanyak 3 kali dengan menggunakan 6 mL kloroform, bertujuan untuk mendapatkan
hasil pemisahan yang baik dan maksimal. Fase kloroform yang diperoleh dari hasil ekstraksi
ditampung. Volume fase kloroform yang diperoleh ialah sebanyak 18 mL. Pada fase
kloroform, ditambahkan natrium sulfat anhidrat kurang lebih 1 gram, yang berfungsi untuk
menarik air dari ekstrak sehingga ekstrak yang dihasilkan bebas dari air. Ekstrak kemudian
disaring menggunakan kertas saring. Selanjutnya fase kloroform ini diuapkan pada suhu 700C
sampai 900C dan tidak boleh lebih sebab apabila penguapan dilakukan pada suhu di atas suhu
900C kafein akan mengalami dekomposisi (Mumin et all, 2006). Berat ekstrak kental yang
diperoleh sebesar 0,22 gram dan persentase rendemennya adalah 4,39 %.
Tahap pemisahan selanjutnya ialah kromatografi kolom. Kolom yang digunakan
dalam pemisahan ini adalah kolom basah. Pada tahap awal preparasi kolom, dimasukkan glass
wool ke dalam kolom. Glass wool ini berfungsi untuk mencegah fase diam melewati kran
yang dapat menyumbat kran saat pengelusian dilakukan. Fase gerak terdiri dari campuran
pelarut kloroform : etanol 50 % (99:1) dan ditambahkan 1 tetes amonia. Penambahan amonia
bertujuan untuk membebaskan kafein agar berada dalam bentuk basa bebasnya sehingga dapat
dengan mudah dipisahkan. Fase gerak dimasukkan ke dalam kolom secara hari-hati melalui
dinding kolom, sampai melewati sedikit glass wool. Jika terdapat gelembung udara, dinding
kolom diketok-ketok hingga gelembung pecah. Karena jika terdapat gelembung udara,
pemisahan yang dihasilkan tidak maksimal. Bubur fase diam dibuat dengan mencampurkan
silika gel 60 yang telah ditimbang sebanyak 20 gram dengan eluen fase gerak. Bubur fase
diam yang sudah siap, dituangkan perlahan-lahan ke dalam kolom melalui dinding kolom
dengan bantuan batang pengaduk, hal ini bertujuan agar tidak terbentuk gelembung udara
yang nantinya dapat mempengaruhi proses pemisahan. Setelah semua bubur fase diam
dituang ke dalam kolom, disisakan eluen fase gerak agar tetap berada di atas fase diam,
karena kolom akan didiamkan selama kurang lebih 3 hari. Hal ini dilakukan supaya fase diam
tidak kering dan kolomnya tidak pecah saat akan dielusi. Pecahnya kolom atau fase diam
yang mengering dapat mengganggu proses pemisahan, sehingga pemisahannya tidak
maksimal. Sedangkan tujuan pendiaman selama 3 hari adalah untuk memperoleh kolom yang
homogen dan kompak sehingga pemisahannya optimal.
58
Ekstrak hasil ekstraksi yang telah diuapkan, dituang ke dalam kolom. Namun, karena
pendiaman selama kurang lebih 1 minggu, ekstrak menjadi kering, sehingga tidak bisa
dituangkan langsung ke dalam kolom. Agar ekstrak dapat dituang ke dalam kolom, ekstrak
dilarutkan dengan sedikit eluen, disertai dengan pemanasan untuk mempercepat kelarutannya.
Setelah diperoleh bentuk ekstrak yang dapat dituang, ekstrak kemudian dituangkan ke dalam
kolom perlahan-lahan melalui dinding kolom. Kemudian dilakukan elusi ekstrak dengan fase
gerak yang telah disiapkan. Fase gerak tersebut akan membawa ekstrak kopi turun melewati
fase diam sehingga diperoleh eluat (fraksi). Saat pengelusian berlangsung, diatur kecepatan
tetesan fase gerak yang melewati kran, dan dihitung kecepatannya. Kecepatan tetesan fase
gerak melewati kolom ialah 9,1 detik/ml eluen. Kemudian ditampung fraksi-fraksi hasil elusi
setiap 5 mL. Dari praktikum ini, diperoleh 15 fraksi, dimana fraksi 1-4 digabung menjadi 1
fraksi. Warna fraksi-fraksi yang diperoleh ialah bening. Fraksi-fraksi hasil pemisahan dengan
kromatografi kolom kemudian diuapkan pada penangas air menggunakan effendrof.
Penguapan disini bertujuan untuk menghilangkan kandungan fase gerak yang terkandung
dalam tiap fraksi, sehingga didapatkan isolat dalam konsentrasi yang tinggi.
Identifikasi senyawa kafein yang terdapat pada fraksi-fraksi hasil kromatografi kolom
dilakukan dengan KLT-spektrofotodensitometri. Prinsip kerja spektrofotodensitometri
berdasarkan interaksi antara radiasi elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang
merupakan noda pada plat. Radiasi elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh
analit, ditransmisi atau diteruskan. Jika plat yang digunakan transparan, radiasi
elektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa
flouresensi dan fosforesensi (Sherma and Fried 1994). Sedangkan pada kromatografi lapis
tipis menggunakan dua peubah yaitu sifat fase diam dan sifat fase gerak atau campuran
pelarut pengembang (Gandjar, 2009). Pada proses identifikasi dengan metode KLT-
spektrofotodensitometri ini, tahap KLT menggunakan fase gerak campuran pelarut antara
kloroform:etanol 50% (99:1), sedangkan fase diam yang digunakan adalah plat silika GF 254.
Plat yang telah dipotong, dicuci dengan cara dielusi dengan menggunakan metanol sebanyak
10 ml sampai batas atas plat. Pencucian dengan cara elusi ini bertujuan untuk menghilangkan
pengotor-pengotor yang terdapat pada plat silika sehinnga tidak mengganggu proses
pemisahan. Selanjutnya dilakukan aktivasi plat pada oven dengan suhu 120oC selama 30
menit. Aktivasi ini bertujuan untuk menghilangkan sisa air yang terdapat fase diam dan juga
untuk memindahkan pengotor agar berada pada ujung plat KLT sehingga tidak mengganggu
proses pemisahan.
Pada plat yang sudah diaktivasi, dilakukan penotolan larutan standar kafein, fraksi-
fraksi hasil kromatografi kolom serta ekstrak hasil ekstraksi cair-cair sebelum pemisahan
59
dengan kromatografi kolom. Penambahan larutan standar kafein pada penotolan bertujuan
untuk membandingkan harga Rf dari larutan standar kafein dan harga Rf dari fraksi yang
diperoleh melalui kromatografi kolom. Dari perbandingan itulah nantinya dapat diketahui
apakah dalam fraksi yang diperoleh tersebut terdapat kandungan kafein atau tidak. Saat
dilakukan penotolan pada plat KLT, diusahakan ukuran bercak hasil penotolan sekecil dan
sesempit mungkin untuk mendapatkan hasil pemisahan yang baik. Penotolan sampel yang
tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncar ganda (Gandjar, 2009).
Pada penotolan fraksi-fraksi dan ekstrak dilakukan bertahap dengan dilakukan pengeringan
antar totolan.
Selanjutnya dilakukan penjenuhan chamber dengan 10 ml fase gerak. Saat penjenuhan
dilakukan, ditambahkan kertas saring yang diletakkkan pada pinggiran chamber. Penambahan
kertas saring berfungsi agar penguapan yang terjadi dalam chamber merata sehingga udara di
dalam chamber tetap jenuh oleh pelarut (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Selama proses
penjenuhan, chamber ditutup dengan baik, didiamkan selama 30 menit dan dijaga agar tidak
mengalami pergeseran untuk mencegah terjadinya ketidakjenuhan pelarut. Penjenuhan
chamber bertujuan untuk meratakan penguapan fase gerak dalam chamber, sehingga chamber
jenuh oleh fase gerak, sehingga memaksimalkan pengembangan fase gerak. Plat yang telah
ditotolkan dengan sampel, diletakkan didalam chamber yang telah jenuh dengan fase gerak.
Pelarut bergerak naik disepanjang lapisan tipis zat padat diatas lempengan akibat pengaruh
kapilaritas, dan bersamaan dengan pergerakan pelarut tersebut, zat terlarut dalam sampel
dibawa dengan laju yang tergantung pada kelarutan zat terlarut tersebut dalam fase bergerak
dan interaksinya dengan fase diam (zat padat) (Day dan Underwood, 2002). Setelah proses
pengelusian selesai dilakukan, plat dimasukkan kembali ke dalam oven selama 10 menit pada
suhu 60oC, yang bertujuan untuk menghilangkan sisa air yang terdapat fase diam.
Plat yang telah dikeluarkan dari oven, didiamkan beberapa saat hingga dingin.
Selanjutnya plat diamati di bawah sinar UV 254 dan 366, warna spot yang terbentuk pada plat
ialah coklat (gelap) pada UV 254 dan berwarna biru pada UV 366. Warna coklat gelap yang
terbentuk pada plat KLT setelah dilihat di bawah UV 254 menandakan bahwa terdapat kafein
pada spot tersebut. Fraksi-fraksi yang menunjukkan hasil positif ialah fraksi 2 dan 14,
sedangkan fraksi-fraksi yang lain tidak terlalu jelas warna coklat yang terbentuk . Pada UV
366, warna biru yang terbentuk menandakan bahwa pada fraksi positif mengandung kafein.
Fraksi-fraksi yang mengandung kafein adalah fraksi 2, 6, 9, 12, 13 dan 14. Untuk memastikan
kembali, plat kemudian di-scanning dengan CAMAG TLC-Scanner mode absorbsi pada
panjang gelombang 273 nm sehingga diperoleh hasil berupa kromatogram. Dipilih panjang
gelombang 273 nm didasarkan pada panjang gelombang maksimum kafein berada pada
60
panjang gelombang tersebut. Untuk memperoleh spektrum senyawa yang terdapat pada
sampel, maka dilakukan scanning pada panjang gelombang 200-800 pada spot-spot yang
terdapat pada tiap fraksi. Spektra merupakan ciri khas yang dimiliki oleh suatu senyawa yang
dapat membedakannya dengan senyawa lain. Berdasarkan hasil scanning, larutan standar
kafein memiliki harga Rf 0,09. Harga Rf ini digunakan untuk membandingkan antara larutan
standar dengan fraksi-fraksi dan ekstrak yang mengandung kafein. Berdasarkan perbandingan
harga Rf antara larutan standar dengan fraksi-fraksi dan ekstrak, tidak satupun fraksi-fraksi
dan ekstrak yang memiliki Rf yang sama dengan Rf larutan standar. Tidak terdeteksinya
kafein pada plat, mungkin dikarenakan pada konsentrasi kafein dalam sampel yang terlalu
kecil yang berada di bawah rentang LOD alat. Selain harga Rf, didapatkan juga data spektrum
kafein pada larutan standar maupun sampel yang ditotolkan. Dari hasil perbandingan spektra
kafein pada larutan standar dengan spektra kafein pada larutan sampel, tidak ditemukan
spektra yang sama (identik) dari ke-13 sampel yang ditotolkan dengan larutan standar kafein.
Hal ini disebabkan tidak teridentifikasinya kafein pada alat densditometer.
Pada praktikum ini khusus untuk identifikasi kandungan kimia di dalam kopi
dilakukan dengan metode ekstraksi yang berbeda-beda untuk setiap kelompok. Dimana untuk
kelompok 1 menggunakan metode maserasi sedangkan kelompok 2 menggunakan metode
soxhletasi. Untuk ekstraksi menggunakan maserasi dihasilkan 84 ml ekstrak sedangkan
ekstraksi menggunakan dengan jalan soxhletasi diperoleh ekstrak sebanyak 79 ml. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan jumlah simplisia dan pelarut yang sama diperoleh hasil ekstrak
cair yang berbeda menggunakan metode ekstraksi yang berbeda, dimana metode ekstraksi
menggunakan maserasi menghasilkan ekstrak yang lebih banyak jika dibandingkan dengan
menggunakan soxhletasi.
Saat proses pemisahan dengan ekstraksi cair-cair, volume cairan setelah dipisahkan
sama yaitu 18 ml, sebab fase yang diambil saat ekstraksi adalah fase kloroform, dimana
dilakukan penambahan 6 ml volume kloroform, tiap kali ekstraksi (ekstraksi dilakukan
sebanyak 3 kali). Setelah diuapkan, didapatkan ekstrak dengan berat 0,22 gram dari kelompok
maserasi dan 0,272 gram dari kelompok sohxhletasi. Jika dilihat dari banyaknya fraksi yang
diperoleh melalui kromatografi kolom, untuk metode sokletasi diperoleh 9 fraksi, untuk
metode maserasi diperoleh 14 fraksi dan untuk metode maserasi diperoleh 15 fraksi. Fraksi
yang diperoleh ini digabungkan berdasarkan kesamaan warna tiap fraksi yang dihasilkan.
Sehingga setelah digabungkan, untuk metode maserasi mendapatkan 12 fraksi, sedangkan
metode soxhletasi memperoleh 11 fraksi.
Berdasarkan hasil identifikasi plat pada densitometer untuk metode sokhletasi,
ditemukan adanya kafein pada fraksi 9, 10, 11, dan 12. Sedangkan pada ekstrak tidak
61
ditemukan kafein. Hal ini mungkin disebabkan oleh volume metanol yang ditambahkan saat
rekonstitusi terlalu banyak, sehingga volume yang ditotolkan juga terlalu encer, dan kafein
yang kemungkinan terdapat pada ekstrak tidak terdeteksi. Untuk metode maserasi, tidak
ditemukan kafein pada ke-13 fraksi, disebabkan oleh konsentrasi kafein yang terlalu kecil,
yang berada di bawah LOD alat, sehingga tidak bisa dideteksi.
62
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Metode yang digunakan untuk mengisolasi kafein dari simplisia biji kopi adalah
maserasi, partisi cair-cair dan kromatografi kolom.
2. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi kafein adalah KLT-
spektrofotodensitometer.
3. Hasil yang diperoleh berdasarkan metode KLT-spektrofotodensitometer ialah tidak
ditemukannya kafein pada isolat. Hal ini mungkin disebabkan oleh konsentrasi kafein
yang terlalu kecil, yang berada di bawah LOD alat, sehingga tidak dapat
teridentifikasi.
7.2 Saran
Para peneliti kandungan biji kopi selanjutnya diharapkan dapat menentukan metode yang
lebih tepat untuk mendapatkan kandungan kafein dalam biji kopi sesuai dengan literatur.
63
DAFTAR PUSTAKA
64
Sherma, J. and B. Fried. 1996. Handbook of Thin-Layer Chromatography. Third Edition.
New York: Marcel Dekker Inc. P.147-149
Spiller, G. A. 1998. Caffeine. USA: CRC Press.
Sthal, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung : ITB.
65