You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Permasalahan illegal logging tidak pernah selesai dibicarakan. Dari tahun ke
tahun isu tersebut justru semakin memanas, karena penyelesaiannya tak kunjung
mencapai titik temu. Seperti fenomena gunung es, kasus yang mencuat ke permukaan
hanyalah sebagian kecil dari praktik pembalakan liar yang melibatkan masyarakat,
korporat, aparat, dan pejabat. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya, kemudian
menyebabkan bencana alam dan bencana ekonomi yang berkesinambungan. Sampai
sejauh ini, tidak ada satupun peraturan perundangan memberikan pengertian
(definisi) resmi terhadap Illegal logging, padahal pengertian sehingga menjadi sangat
penting untuk memberikan batasan terhadap tindakan-tindakan apa yang termasuk
kedalam lingkup Illegal logging. Disinilah salah satu titik masuk yang menyebabkan
operasi pemberantasan Illegal logging cendrung mengenai masyarakat.
Kerusakan hutan bertambah ketika penebangan liar, marak terjadi. Penebangan liar
telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu
hutan. Karena hanya dibebani ongkos tebang, tingginya penebangan liar juga
membuat harga kayu rusak. Persaingan harga kemudian membuat banyak industri
kayu resmi terpaksa gulung tikar. Selain itu, lemahnya pengawasan lapangan
penebangan resmi juga memberi andil tingginya laju kerusakan hutan.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan illegal logging?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya illegal logging?
3. Apa dampak illegal logging?
4. Apa saja pengaturan illegal logging?
5. Apa saja upaya penanganan illegal logging?

C. Tujuan
Untuk
BAB II
PEMBAHASAN

I. Pengertian Illegal logging


Pembalakan liar atau penebangan liar adalah kegiatan penebangan,
pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari
otoritas setempat. Pembalakan liar dan perdagangan internasional kayu ilegal adalah
masalah utama bagi negara-negara produsen kayu banyak di negara berkembang. Hal
ini menyebabkan kerusakan lingkungan, biaya pemerintah miliaran dolar pendapatan
yang hilang, mempromosikan korupsi, merusak aturan konflik hukum dan tata
pemerintahan yang baik dan dana bersenjata. Hal ini menghambat pembangunan
berkelanjutan di beberapa negara-negara termiskin di dunia. Negara-negara
konsumen berkontribusi masalah ini dengan mengimpor kayu dan produk kayu tanpa
memastikan bahwa mereka secara hukum bersumber. Dalam beberapa tahun terakhir,
bagaimanapun, negara-negara produsen dan konsumen sama-sama meningkatkan
perhatian pembalakan liar.
Sementara dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 dan Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut “UU Kehutanan”) tidak
mendefinisikan secara jelas illegal logging dan hanya menjabarkan tindakan-tindakan
illegal logging. Kategori illegal logging menurut Pasal 50, antara lain: mengerjakan
dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (ilegal),
merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan,
membakar hutan, dan lain-lain.
Dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu: (1) perizinan, apabila kegiatan
tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izin yang telah kadaluarsa, (2)
praktek, apabila dalam praktek tidak menerapkan logging yang sesuai peraturan, (3)
lokasi, apabila dilakukan pada lokasi diluar izin, menebang di kawasan
konservasi/lindung, atau asal-usul lokasi tidak dapat ditunjukkan, (4) produksi kayu,
apabila kayunya sembarangan jenis (dilindungi), tidak ada batas diameter, tidak ada
identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal perusahaan, (5) dokumen, apabila tidak
ada dokumen sahnya kayu, (6) pelaku, apabila orang-perorang atau badan usaha tidak
memegang izin usaha logging atau melakukan kegiatan pelanggaran hukum dibidang
kehutanan, dan (7) penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen
maupun ciri fisik kayu atau kayu diseludupkan.

II. Faktor Penyebab


Pada dasarnya illegal logging merupakan suatu kejahatan yang dapat
disamakan dengan kegiatan pencurian. Beberapa penyebab terjadinya illegal logging
adalah:
1. Penegakan hukum kehutanan yang belum berjalan secara optimal
Penegakan hukum terhadap kejahatan illegal logging merupakan wewenang
dari aparat keamanan yaitu : polisi, Polisi Kehutanan dan PPNS. Beberapa kondisi
yang menyebabkan penegakan hukum kehutanan tidak dapat berjalan secara
maksimal adalah kurangnya personil dan dana patroli/ pengawasan hutan.
2. Proses penyelidikan dan penyidikan yang belum optimal untuk menjerat pelaku
utama ilegal logging.
Proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan illegal logging yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum belum mampu secara keseluruhan
membuktikan pelaku utama yang membiayai kegiatan tersebut, namun masih
berputar-putar pada pelaku lapangan yang notabene adalah pekerja teknis.
3. Belum seimbangnya alokasi dana penyelidikan dan penyidikan dibandingkan
beban kerja.
Aktifitas penyelidikan dan penyidikan kejahatan illegal logging
membutuhkan dana yang relatif besar terutama untuk investigasi lapangan.
Kondisi pendanaan sekarang dirasakan belum maksimal untuk menunjang beban
kerja yang harus dilakukan.
4. Keputusan pengadilan untuk kasus illegal logging belum maksimal menimbulkan
efek jera.
Idealnya suatu kejahatan akan berkurang ketika hukuman yang diberikan
dapat menimbulkan efek jera. Kondisi sekarang, hukuman bagi terdakwa kasus-
kasus kejahatan illegal logging belum memuncukan efek jera tersebut, sehingga
orang lainnya tidak takut untuk melakukan hal (kejahatan) yang sama.
5. Masih adanya peredaran kayu yang tidak menggunakan dokumen dan atau tidak
sesuai dengan dokumen
Illegal logging tidak hanya terjadi di segmen hulu yaitu penebangan didalam
kawasan hutan dan tidak memiliki izin, namun juga terjadi di segmen peredaran.
Hasil hutan kayu (dan non kayu) harus memiliki dokumen peredaran ketika
diangkut dari hulu ke hilir yang disebut juga dengan Surat Keterangan Sahnya
Hasil Hutan (SKSHH). Dokumen-dokumen tersebut antarat lain (1)  Surat
Keterangan Sahnya Kayu Bulat (SKSKB), (2) Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-
KB), dan (3) Faktur Angkutan Hasil Hutan bukan Kayu (FA-HHBK).
Modus illegal logging yang terjadi pada segmen peredaran antara lain:
 Kayu tidak dilengkapi dengan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil
Hutan (SKSHH).
 Kayu dilengkapi dengan dokumen palsu
 Muatan kayu secara fisik di kapal/ truk tidak sesuai dengan yang tertera
didalam dokumen SKSHH.
 SKSHH digunakan berulang-ulang (dicabut dari pos kehutanan atau lembar I
dan II dokumen SKSHH tidak dicantumkan masa berlaku dan identitas alat
angkutnya)
6. Masih beroperasinya panglong dan industri kayu (primer/lanjutan) yang menerima
kayu illegal.
Maraknya illegal logging juga dipengaruhi oleh masih terbukanya pasar untuk
menjual kayu-kayu hasil kegiatan illegal logging. Hingga sekarang barangkali
belum ada sistem yang benar-benar tepat dan mampu menangkal industri-industri
primer maupun lanjutan untuk tidak menerima kayu-kayu dari aktifitas illegal
logging. Belum maksimalnya sistem pembinaan dan pengawasan terhadap
panglong dan industri kayu merupakan penyebab utama dari hal ini.

I. Dampak Illegal logging.


Penebangan liar berkontribusi terhadap deforestasi dan dengan ekstensi
pemanasan global, menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan merongrong
aturan hukum. Kegiatan-kegiatan ilegal merusak pengelolaan hutan yang
bertanggung jawab, mendorong korupsi dan penghindaran pajak dan mengurangi
pendapatan negara-negara produsen, lebih lanjut membatasi sumber daya negara-
negara produsen dapat berinvestasi dalam pembangunan berkelanjutan. Penebangan
liar memiliki implikasi ekonomi dan sosial yang serius bagi masyarakat miskin dan
kurang beruntung. Selain itu, perdagangan ilegal sumber daya hutan merusak
keamanan internasional, dan sering dikaitkan dengan korupsi, pencucian uang,
kejahatan terorganisir, pelanggaran hak asasi manusia dan, dalam beberapa kasus,
konflik kekerasan. Di sektor kehutanan, impor murah dari kayu ilegal dan hasil
hutan, bersama dengan ketidaksesuaian dari beberapa pelaku ekonomi dengan
standar sosial dan lingkungan dasar, mengguncang pasar internasional. Ini persaingan
yang tidak sehat mempengaruhi perusahaan-perusahaan Eropa, terutama perusahaan
kecil dan menengah yang berperilaku secara bertanggung jawab dan siap untuk
bermain dengan aturan yang adil.
Brow (1993) menegaskan bahwa kerugian ekonomi pada rusaknya ligkungan
hidup yang paling menonjol adalah penggundulan liar (Ilegal logging), sedang
menurut Sptephe Deveni dari Forest law Enforcemen Governance and trade
(FLEGT) mengatakan bahwa illegal logging adalah penyebab utama kerusakan hutan
di Indonesia dan menjadi masalah serius di dunia.
Penebangan liar (Illegal logging) telah menimbulkan masalah multidimensi
yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial , budaya lingkungan. Hal ini
merupakan konskwensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah
ekosistem yang di dalamnya mengandung fungsi dasar, yaitu fungsi produksi
(ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi), serta fungsi sosial.
Dilihat dari aspek sosial, penebangan liar (illegal logging) menimbulkan
konflik seperti konflik hak atas tanah, konflik kewenangan mengelola hutan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat setempat. Aspek budaya
kegantungan masyarkat terhadap hutan, penghormatan terhadap hutan yang masih
dianggap nilai magic juga ikut terpangaruh oleh praktek-praktek illegal logging yang
pada akhirnya merubah perspektip dan prilaku masyarakat adat setempat terhadap
hutan.
Dampak kerusakan ekologi (lingkungan) akibat penebangan liar (illegal
logging) bagi lingkungan dan hutan adalah bencana alam, kerusakan flora dan fauna
dan punahnya spesias langka. Prinsip pelestraian hutan sebagaiman di indikasikan
oleh ketiga fungsi pokok tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu pemanfatan dan pelastarian sumber daya
hutan perlu dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan yang dapat menjaga serta
meningkatkan fungsi dan perananya bagi kepentingan generasi masa kini maupun
generasi dimasa yang mendatang.
Di Indonesia sendiri penebangan hutan secara ilegal sangat berdampak
terhadap keadaan ekosistem. Penebangan memberi dampak yang sangat merugikan
masyarakat sekitar, bahkan masyarakat dunia. Kerugian yang diakibatkan oleh
kerusakan hutan tidak hanya kerusakan secara nilai ekonomi, akan tetapi juga
mengakibatkan hilangnya nyawa yang tidak ternilai harganya. Adapun dampak-
dampak Illegal Logging di Indonesia sebagai berikut.
Pertama, dampak yang sudah mulai terasa sekarang ini adalah pada saat
musim hujan wilayah Indonesia sering dilanda banjir dan tanah longsor. Menurut
kompas, pada tahun 2007 Indonesia telah mengalami 236 kali banjir di 136
kabupaten dan 26 propinsi, disamping itu juga terjadi 111 kejadian longsor di 48
kabupaten dan 13 propinsi. Banjir dan tanah longsor di Indonesia telah memakan
korban harta dan jiwa yang sangat besar. Kerusakan lingkungan yang paling terlihat
yaitu di daerah Sumatera yang baru saja dilanda banjir badang dan tanah longsong
sangat parah.
Bahkan tidak sedikit masyarakat yang kehilangan harta benda, rumah, dan
sanak saudara mereka akibat banjir dan tanah longsor. Bahkan menurut Kompas, di
Indonesia terdapat 19 propinsi yang lahan sawahnya terendam banjir dan 263.071
hektar sawah terendam dan gagal panen.
Banjir dan tanah longsor ini terjadi akibat dari Illegal Logging di Indonesia.
Hutan yang tersisa sudah tidak mampu lagi menyerap air hujan yang turun dalam
curah yang besar, dan pada akhirnya banjir menyerang pemukiman penduduk. Para
pembalak liar hidup di tempat yang mewah, sedangkan masyarakat yang hidup di
daerah dekat hutan dan tidak melakukan Illegal Logging hidup miskin dan menjadi
korban atas perbuatan biadap para pembalak liar. Hal ini merupakan ketidakadilan
sosial yang sangat menyakitkan masyarakat.
Kedua, Illegal Logging juga mengakibatkan berkurangnya sumber mata air di
daerah perhutanan. Pohon-pohon di hutan yang biasanya menjadi penyerap air untuk
menyediakan sumber mata air untuk kepentingan masyarakat setempat, sekarang
habis dilalap para pembalak liar. Hal ini mengakibatkan masyarakat di daerah sekitar
hutan kekurangan air bersih dan air untuk irigasi. Menurut kompas, pada tahun 2007
ini tercatat 78 kejadian kekeringan yang tersebar di 11 propinsi dan 36 kabupaten.
Ketiga, semakin berkurangnya lapisan tanah yang subur. Lapisan tanah yang
subur sering terbawa arus banjir yang melanda Indonesia. Akibatnya tanah yang
subur semakin berkurang. Jadi secara tidak langsung Illegal Logging juga
menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur di daerah pegunungan dan daerah
sekitar hutan.
Keempat, Illegal Logging juga membawa dampak musnahnya berbagai fauna
dan flora, erosi, konflik di kalangan masyarakat, devaluasi harga kayu, hilangnya
mata pencaharian, dan rendahnya pendapatan negara dan daerah dari sektor
kehutanan, kecuali pemasukan dari pelelangan atas kayu sitaan dan kayu temuan oleh
pihak terkait. Hingga tahun 2005, setiap tahun negara dirugikan Rp 50,42 triliun dari
penebangan liar dan sekitar 50 persen terkait dengan penyelundupan kayu ke luar
negeri.
Semakin langkanya orang utan juga merupakan dampak dari adanya Illegal
Logging yang semakin marak di Indonesia. Krisis ekonomi tergabung dengan
bencana-bencana alam dan Illegal Logging oleh manusia membawa orang utan
semakin terancam punah. Selama 20 puluh tahun belakangan ini kira-kira 80% hutan
tempat orang utan tinggal sudah hilang. Pada waktu kebakaran hutan tahun 1997-
1998 kurang lebih sepertiga dari jumlah orang utan liar dikorbankan juga. Tinggal
kira-kira 12.000 sampai 15.000 ekor orang utan di pulau Borneo (dibandingkan
dengan 20.000 pada tahun 1996), dan kira-kira 4.000 sampai 6.000 di Sumatra
(dibandingkan dengan 10.000 pada tahun 1996). Menurut taksiran para ahli, orang
utan liar bisa menjadi punah dalam jangka waktu sepuluh tahun lagi. Untuk kesekian
kalinya masyarakat dan flora fauna yang tidak bersalah menjadi korban Illegal
Logging. Ini akan menjadi pelajaran yang berharga bagi pemerintah dan masyarakat
agar ikut aktif dalam mengatasi masalah Illegal Logging di Indonesia.
Kelima, dampak yang paling kompleks dari adanya Illegal Logging ini adalah
global warming yang sekarang sedang mengancam dunia dalam kekalutan dan
ketakutan yang mendalam. Bahkan di Indonesia juga telah megalami dampak global
warming yang dimulai dengan adanya tsunami pada tahun 2004 di Aceh yang
menewaskan ratusan ribu orang di Indonesia dan negara-negara tetangga.
Global warming membawa dampak seringnya terjadi bencana alam di
Indonesia, seperti angin puyuh, seringnya terjadi ombak yang tinggi, dan sulitnya
memprediksi cuaca yang mengakibatkan para petani yang merupakan mayoritas
penduduk di Indonesia sering mengalami gagal panen. Global warming juga
mengakibatkan semakin tingginya suhu dunia, sehingga es di kutub mencair yang
mengakibatkan pulau-pulau di dunia akan semakin hilang terendan air laut yang
semakin tinggi volumenya. Global warming terjadi oleh efek rumah kaca dan
kurangnya daerah resapan CO2 seperi hutan. Hutan di Indonesia yang menjadi paru-
paru dunia telah hancur oleh ulah para pembalak liar, maka untuk itu kita harus
bersama-sama membangun hutan kita kembali dan memusnahkan para pembalak liar
yang berupaya menghancurkan dunia.

II. Pengaturan Illegal Logging


Untuk peristilahan, setidaknya ada dua peraturan perundangan yang
menyebut Illegal logging sebagai penebangan kayu Ilegal yaitu Inpres Nomor 5
tahun 2001 Tentang Pemberantasan penebangan kayu illegal (illegal logging) Dan
peredaran hasil hutan illegal di kawasan ekosistem Leuser dan taman nasional
tanjung puting dan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan
Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah
Republik Indonesia. Untuk memudahkan, dalam makalah ini akan digunakan istilah
penebangan kayu illegal (PKI).
Sebagai disampaikan diatas, aturan tentang Illegal logging tidak terdapat pada
satu aturan perundangan saja. Dalam proses penelusuran ditemukan sekitar 150
peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan undang-undang terkait yang
mengatur mengenai illegal logging,diantaranya :
 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
 UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan dan Tumbuhan.
 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.
 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
 PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.
 PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru.
 PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam.
 PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
 PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Dengan menggunakan pendekatan fungsi hutan berdasarkan UU 41 Tahun
1999 Tentang kehutanan (UUK), dimana hutan dikelompokkan dalam tiga fungsi
yaitu fungsi konserfasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Termasuk kedalam
fungsi konserfasi, terdapat hutan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman
buru . Maka aturan tentang PKI itu tersebar pada aturan kehutanan dalam lingkup
konserfasi, lindung dan produksi.
Inpres Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan
Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah
Republik Indonesia menginstruksikan kepada para pejabat terkait untuk melakukan
percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan
peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap
setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:
 Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal
dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
 Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,
atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut
diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
 Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi
bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.
Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga
akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang.
 Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.
Bagan sederhana ini menggambarkan konstruksi logika aturan logging di
Indonesia. Pada prinsipnya setiap penebangan kayu baik oleh swasta ataupun oleh
masyarakat haruslah berdasarkan ijin yang diberikan oleh aparat yang berwenang,
yang akan memberikan hak penebangan. Penebangan yang dilakukan tanpa adanya
ijin akan menghasilkan kayu (log) yang ilegal dan pelakunya dapat dihukum pidana
dan denda.
Tetapi setelah memperoleh hak menebang dari aparat yang berwenang, si
penerima ijin tidaklah dapat sesuka hatinya untuk menebang, mengangkut dan
memasarkan kayu-kayu yang ada dalam areal ijinnya. Kayu yang dihasilkan tanpa
mengikuti ketentuan tata niaga kayu akan berstatus kayu Ilegal sama dengan kayu
yang dihasilkan dalam penebangan tanpa ijin. Namun demikian, kegiatan
penebangan yang dilakukan tanpa mengikuti aturan tata niaga kayu nyaris luput dari
penindakan seperti pada tindak pidana PKI. Akibatnya penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang mendapat hak menebang hampir-
hampir luput dari perhatian. Titik tekan pemberantasan PKI hanyalah pada tindakan-
tindakan orang-orang yang menebang kayu tanpa ijin.
Definisi sementara bagi kayu legal adalah; “ Kayu disebut sah jika kebenaran
asal kayu, ijin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan
dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya
dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku. Penyusunan
pengertian kayu legal ini berada dalam lingkup kegiatan FLEGT.
Apabila melihat modus operandi (praktek atau cara-cara) dari kegiatan penebangan
secara tidak sah (illegal logging) maka tindak pidana tersebut dapat dikategorikan
telah menjadi rangkaian atau gabungan dari beberapa tindak pidana, atau tindak
pidana berlapis. Beberapa tindak pidana tersebut antara lain:
 Kejahatan terhadap keamanan Negara.
 Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan.
 Kejahatan yang membahayakan keamanan umum.
 Pencurian.
Alasan bahwa tindak pidana illegal logging dapat disebut sebagai kejahatan
berlapis karena kejahatan tersebut bukan hanya semata-mata menyangkut
ditebangnya sebuah pohon secara tidak sah dan melawan hukum. Akan tetapi juga
menyebabkan negara menjadi tidak aman dengan munculnya keresahan masyarakat,
tidak dilaksanakannya kewajiban melakukan perlindungan hutan namun justru
melakukan tindakan merusak, termasuk menurunnya daya dukung lingkungan,
rusaknya ekosistem dan hancurnya sistem kehidupan masyarakat lokal yang tidak
dapat dipisahkan dengan hutan itu sendiri. Illegal logging juga dapat disebut sebagai
kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia, terhadap lingkungan dan terhadap hutan
itu sendiri.

III. Upaya Penanganan


Banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi aktivitas
illegal logging. Yang terbaru dengan dikeluarkan Surat edaran Nomor 01 Tahun
2008 tentang petunjuk Penanganan Perkara Tindak pidana Kehutanan dan
sebelumnya Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh
wilayah Indonesia merupakan payung hukum dalam pemberantasan penebangan
liar (illegal logging) yang diharapakan kelangsungan hutan di Indonesia dapat
terselamatkan dan hal sampai keakar-akarnya.
Namun demikian illegal logging semakin marak dan hutan semakin
mengalami tingkat kerusakan yang mengkwatirkan, termasuk di Kaltim. Perspektip
pengelolahan hutan Indonesia, semuanya bermuara pada maraknya kegiatan
penebangan tanpa izin, penebangan liar (illegal logging) yang berdampak negatif
terhadap fungsi lindung terhadap konservasi hutan.
Beberapa kebijakan pemerintah di bidang kehutanan baik secara nasional
maupun internasional dalam rangka penanggulangan kejahatan penebangan liar
(Illegal logging) dikeluarkan sejak tahun 2001 tentang pemberantasan Penebangan
Kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya si seluruh wilayah Indonesia.
Dari laporan hasil Gugus tugas FLEG East Asia and Pasific bahwa penebangan liar
(illegal logging) adalah masalah global, komplek dan bervariasi dan tidak ada
penyelesian secara cepat dan instan. Maka ada 3 (tiga) hal yang diperlukan kegiatan
aksi yaitu :
1. Mekanisme Clearing House FLEG yaitu tempat transaksi cek di bank
(Interim Secretariat: Depertemen kehutanan).
2. Collaborative Researh on Timber Supply and demand yaitu Riset Kolaboratif
atas Pemerintahan Dan Penawaran Kayu ( Interim Secretariat: CIFOR).
3. Mekanisme Pelaporan untuk Information Sharing.
Tindakan lain untuk memberantas kejahatan penebangan liar (Illegal logging) dengan
kebijakan dalam bentuk kerjaasama dengan negara lain, dimana orientasi kepada
upaya pengelolahan hutan secara lestari. Politik hukum yang dilalukan pemerintah
secara nasional antara lain:

1. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Penebangan


illegall (illegal Logging ) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan
Ekosistem Leuser Taman Nasional Tanjung Puting.
2. Perjanjian Kerjasama antara Depertemen Kehutanan dengan Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Perjanjian ini berupa perjanjian kerjasama antara Direktorat
Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA)
Depertemen Kehutanan dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut
(TNI-AL) No.1341/DJ-IV/LH2004 dan Nomor TNI: R/766/XII/01/SOPS
Tentang Penyelenggaran Operassi Wanabahri.
3. Perjanjian Kerjasama antara Depertemen Kehutanan dengan Kepolisian
Negara Republik Indinesia ( POLRI).
4. Perjanjian Kejasama antara Dirjen Perlindungan Hutan dan Kanservasi Alam
(PHKA) Deperetemen Kehutanan dengan Deputi Kapolri Bidang Operasional
Nomor 1342/DJ-IV/LH/2001 dan No/Pol:B/01/XII/2001 tentang
Penyelengaraan Opearsi Wanalaga.
5. Surat keputusan bersama Menteri Kehutanan Nomor 1123/KPTS-II/2001 dan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Nomor
192/MPP/KEP/10/2001 Tentang Penghentian Ekspor Kayu Bulat /Bahan
Baku Serpih.
6. Surat Ederan Depetermen Kehutanan Nomor 406/Menhut-IV/3003 tentang
Pemberhentian Sementara Waktu Penertibatan Izin Penebangan Kayu (IPK)
oleh Pemerintah Daerah (Pemda).
7. Memasukan kejahatan di bidang kehutanan dan lingkungan termasuk di
dalamnya penembangan liar (illegal logging) kedalam undang-undang
tentang tindak pidana pencucian uang.
8. Perumusan Rencana Peraturan Pemerintah (RAPERPU) tentang
pemberentasan tindak pidana penebangan, pengedaran kayu dan hasil hutan
illegal.
Komitmen untuk memerangi dan memberantas penebangan liar (illegal
logging) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pemerintah, perlu didukung
semua pihak yang pada akhirnya hutan diharapkan dapat memberi kesejahteran dan
kemakmuran masyarakat. Kedepan dalam pemberantasan ilegal logging perlu
langkah aktif dan sinergitas kerjasama seluruh pihak terkait, melalui berbagai forum
dan media, baik formal maupun informal dan mengoptimalkan upaya pemberantasan
illegal logging dengan langkah- langkah operasional khusus dan rumusan-rumusan
program yang jelas.

DAFTAR PUSTAKA

http://weinarifin.wordpress.com
http://id.wikipedia.org
http://illegal-logging.info
http://www.kompasiana.com
http://qory-qorycahyapuspita.blogspot.com
http://umukhulsum.wordpress.com

You might also like