You are on page 1of 4

Pendahuluan

Sebagai orang yang terlahir di daerah Sanggau sebuah kabupaten dari provinsi Kalimantan

Barat, dengan ayah yang berasal dari Semarang dan Ibu berasal dari Ngabang dan dari

Nenek yang mempunyai darah Melayu dan Dayak sedangkan kakek yang mempunyai darah

Melayu, Dayak dan Tionghoa. Saya merasa keaneka ragaman yang dimiliki oleh keluarga saya

adalah anugerah yang membuktikan bahwa suku bangsa yang tinggal di daerah Kalimantan

adalah majemuk namun tetap dalam satu kesatuan.

Saya sangat tertarik dengan sejarah Kalimantan Barat, walaupun mungkin pengetahuan yang

saya miliki masih sedikit saya berharap apa yang saya tulis dapat bermanfaat dalam usaha

melestarikan sejarah Kalimantan Barat. Ada ungkapan yang pernah saya baca yang

menyatakan “Bangsa tanpa sejarah, sama halnya dengan sampah hanyut tak berkesan”.

Saya merasa pengetahuan yang saya dapat mengenai sejarah Kalimantan Barat ketika duduk

di bangku sekolah dulu sangatlah minim. Mungkin dikarenakan referensi yang membahas

sejarah Kalimantan Barat sangat sedikit bahkan sulit untuk ditemui dan mungkin juga

dikarenakan sejarah Kalimantan Barat pada umumnya berlatar belakang cerita rakyat

karena sulit mendapatkan bukti-bukti otentik mengenai sejarah Kalimantan Barat. Saya

berharap informasi mengenai sejarah Kalimantan Barat yang saya peroleh dari referensi ini

dapat bermanfaat, dan saya berharap bahwa referensi buku yang saya baca bukan seperti

Ungkapan bahwa “Sejarah itu ditulis oleh yang berkuasa”.

Asal sebutan Dayak

Penduduk Kalimantan terkenal dengan sebutan Dayak, arti sebenarnya dalam bahasa

dialeknya adalah Hulu. Bila kita tahu berbahasa Dayak dan bertanya kepada seseorang yang

sedang berjalan ke Hulu, maka kita akan bertanya seperti berikut: Ampus Kakmae

kitak?(mau kemana) maka ia akan menjawab ampus kak daya bo!”. (yang artinya mau pergi ke

hulu).

Menurut cerita rakyatnya, mula-mula penduduk asli berdiam di tepi laut dan tepi sungai

kapuas, tetapi karena pendatang mendesak mereka dan disebabkan oleh berbagai hal

terpasksalah mereka berpindah tempat lebih ke hulu.


Menurut catatan dari buku karangan Ch.F.H. Duman tahun 1924, menuliskan bahwa suku

Dayaklah penduduk asli pulau kalimantan. Pada mulanya mereka mendiami tepi sungai Kapuas

dan laut Kalimantan. Tetapi datangya suku Melayu dari Sumatera dan dari semenanjung

Malaka mereka terdesak ke hulu sungai, semakin banyak pendatang ke daerah ini semakin

terdesaklah mereka ke hulu sungai.

Sumber : J.U Lontaan. 1975. Sejarah-Hukum adat dan adat istiadat Kalimantan Barat.

(Pemda tingkat I Kalbar edisi I, Offset Bumirestu). Jakarta.

Sejarah Kerajaan di Kalimantan Barat

Jika membahas sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di Kalimantan Barat tidak terlepas dari

Kerajaan yang ada di daerah Kabupaten Ketapang, yaitu kerajaan Tanjungpura. Bisa dibilang

kerajaan Tanjungpura memilki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan kerajaan-

kerajaan yang ada di Kalimantan Barat. Hal ini dikarenakan Kerajaan Tanjungpura

merupakan kerajaan yang tertua di Kalimantan Barat.

Sejarah di Kalimantan Barat pada umumnya berlatar belakang pada cerita rakyat. Hal ini

terjadi karena sukar sekali mendapatkan tulisan-tulisan otentik yang konkrit, namun cerita

rakyat tidak kalah pentingnya karena bersumber dari mereka yang mengalaminya.

Sejarah Kerajaan Tanjungpura

Dapat dikatakan kerajaan Tanjungpura bermula dari kisah Prabu Jaya dan Dayang Putung

(Junjung Buih). Prabu Jaya adalah anak yang paling bungsu dari tujuh kakak beradik,

keturunan raja Majapahit. Sebagaimana sebagai suatu kebiasaan pada zaman dulu, tukang

nujum (peramal) dipercayakan untuk meramal masa depan. Raja Majapahit yang merasa

hidupnya tidak lama lagi memanggil ahli nujum untuk meramalkan anak manakah yang paling

baik untuk menggantikannya sebagai raja kerajaan Majapahit.

Dari hasil nujum diramalkan bahwa putera bungsulah yang pantas menggantikan sang ayah

yaitu Prabu Jaya, mendengar hal tersebut kakak-kakak dari Prabu Jaya merasa sangat iri

dimana kemudian mereka bersekongkol untuk berbuat jahat kepada adiknya yang paling

bungsu. Keenam kakaknya tersebut mencari seseorang yang pandai ilmu hitam, dan dicarikan

racun. Racun ini kemudian dicampurakan kedalam makanan Prabu Jaya akibat racun ini Prabu
jaya merasakan gatal-gatal dibadannya, iapun mulai menggaruk-garuk badannya sampai

badannya dipenuhi luka. Luka ditangan dan kakinya semakin menjadi hingga lukanya meleleh.

Penyakit ini menakutkan bagi isi istana raja, penyakit ini diketahu oleh raja, dan raja

berusaha untuk menolongnya, namun penyakit Prabu Jaya sulit untuk diobati. Raja menjadi

putus asa, dengan rasa sedih tetapi bijaksana sang raja memerintahkan kepada rakyatnya

agar membuatkan sebuah perahu yang cukup besar. Setelah perahu selesai dibuat naiklah

Prabu Jaya dengan segala kebutuhan dan pembantu-pembantunya berlayar tanpa tahu

kemana arah tujuan perahunya.

Beberapa hari kemudian tibalah mereka di tepi laut, lalu masuk ke sebuah sungai yang

disebut orang Kuala Kandang Kerbau. Dimuara sungai ini Prabu Jaya melabuhkan jalanya

yang merupakan hobinya. Ikanpun semakin banyak didapatkannya, sambil menjala ia senang

memanggil buaya yang menjadi temannya, ia pun meniti ke atas punggung buaya. Sambil

meniti datanglah ikan patin dan belang ulin menjilati luka-luka yang ada dibadannya, dimana

suatu keanehan terjadi penyakit Prabu Jayapun sembuh.(Didaerah Ketapang keturunannya

tidak berani makan ikan patin dan ikan ulin).

Karena hobinya yang senang menjala, tak puas-puas ia menjala terus sampai ke hulu sungai

di daerah sungai Sentap. Ketika jala dilabuhkan jalanya sangkut dan sulit diangkat,

terpaksalah ia menyelam untuk menyelamatkan jalanya. Usahanya berhasil, jalanya

tersangkut pada suatu benda bulat. Ternyata benda itu adalah sebuah mundam didalam

mundam ini terisi sehelai rambut yang sangat panjang, ia menjadi heran melihatnya. Prabu

Jaya beranggapan bahwa “rambut ini tentu pemiliknya adalah seorang gadis yang sangat

cantik”. Ia berusaha mencarinya hingga tibalah ia di tempat Rangga Sontap tinggal, dimana

tidak mudah untuk melewati bunga kumpai/bakung yang sangat subur sehingga Prabu Jaya

membuat sampan berhaluan besi tajam dan pengkayuh berujung besi tajam pula, dengan

demikian perahu dari Prabu Jaya bisa menembus Bunga Kumpai yang sangat subur.

Setelah melewati bunga kumpai sampailah Prabu Jaya di kediaman Dayang Putung , dimana

pada saat itu Dayang Putung sedang mengalami penyakit kulit yang sama yang dialami oleh

Prabu Jaya. Dimana ia dibungkus dengan buih yang besar, yang berada di atas air. Karena
Prabu Jaya pernah mengalami penyakit yang sama, maka segera ia mengundang ikan patin

dan ikan belang ulin untuk menjilati penyakit Dayang Putung. Tak beberapa lama kemudian

penyakit Dayang Putungpun hilang, Prabu Jayapun mengubah nama Dayang Putung menjadi

Junjung Buih.

Prabu Jaya yang sangat tertarik kepada Junjung Buih ingin meminta izin untuk meminang

Junjung Buih dan bertanya dimana orang tuanya, Junjung Buih menunjuk ke arah hulu sungai

Keriau. Ia menyebutkan Siak Bahulun raja Ulu Air. Prabu Jaya dan Junjung Buihpun menikah

dimana dari hasil pernikahan mereka lahirlah tiga orang putera yaitu:

• Pangeran Perabu (Bergelar Raja Baparung), mendirikan kerajaan di Sukadana.

• Gusti Likar, mendirikan kerajaan di Meliau.

• Pangeran Mancar, mendirikan Kerajaan di Tayan.

Sumber : J.U Lontaan. 1975. Sejarah-Hukum adat dan adat istiadat Kalimantan Barat.

(Pemda tingkat I Kalbar edisi I, Offset Bumirestu). Jakarta

You might also like