You are on page 1of 5

Sidang Istimewa MPR

DALAM sejarah ketatanegaraan Indonesia, Sidang Istimewa MPR telah


dilaksanakan sebanyak dua kali. Sidang Istimewa MPR pertama masih di
bawah nama Majelis Pemusyawaratan Rakyat Indonesia Sementara (MPRS),
beragendakan permintaan pertanggungjawaban Presiden Soekarno waktu itu
atas terjadinya pemberontakan PKI.

Ketika Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban di


depan Sidang Umum MPRS ke-4 tahun 1966, rakyat yang merasa dikhianati
oleh peristiwa pemberontakan PKI yang kemudian dikenal dengan sebutan
G30S/PKI, mengharapkan kejelasan pertanggungjawaban kebijaksanaan
Presiden Soekarno mengenai pemberontakan itu, berikut epiloginya,
serta kemunduran ekonomi dan akhlak.

Isi pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang diberi judul


"Nawaksara" itu, tidak sesuai dengan harapan rakyat dan tidak
memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Akibatnya, MPRS melalui
Keputusannya Nomor 5 Tahun 1966 meminta Presiden Soekarno melengkapi
pertanggungjawabannya itu.

Permintaan MPRS itu dipenuhi Presiden Soekarno dalam suratnya tanggal


10 Januari 1967 yang diberi nama "Pelengkap Nawaksara", yang kemudian
tetap dipandang MPRS tidak memenuhi harapan rakyat, MPRS kemudian
menarik kesimpulan, Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi
kewajiban konstitusional. Penolakan terhadap "Pelengkap Nawaksara" itu
dituangkan dalam Keputusan Pimpinan MPRS Nomor 13/B/1967.

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dalam


resolusi dan memorandumnya tanggal 9 dan 23 Februari 1967, setelah
menilai "Nawaksara" dan "Pelengkap Nawaksara" menyatakan, kepemimpinan
Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis
membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila.

Berdasarkan pertimbangan itu, DPR-GR meminta kepada MPRS untuk


mengadakan persidangan istimewa MPRS, sekaligus memberhentikan
Soekarno dari jabatan presiden dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal
Soeharto sebagai Pejabat Presiden.

Sidang Istimewa MPR yang diminta DPR-GR itu sesuai dengan Penjelasan
UUD 1945 yang menyatakan, "Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah
kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan
sistem parlementer). Kecuali itu, anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa
mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa
Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka
Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa
minta pertanggungan jawab kepada Presiden."

***

SIDANG Istimewa MPR yang kedua berlangsung di penghujung abad 20, yang
dilaksanakan guna memenuhi tuntutan reformasi yang menghendaki
diselenggarakannya pemilu yang dipercepat, setelah Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 21 Mei 1998.

Presiden BJ Habibie yang menggantikan Soeharto mengatakan, dirinya


tidak ingin menjadi Presiden sampai tahun 2003. Untuk itu, ia akan
mengadakan pemilu yang dipercepat, selambat-lambatnya pertengahan
tahun 1999. Dan pada akhir tahun 1999, MPR hasil pemilu sudah bisa
menyelenggarakan sidang umum untuk menetapkan garis-garis besar haluan
negara, serta memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.

Namun, untuk melakukan percepatan pemilu ada kendala, yaitu GBHN 1998
menetapkan pemilu diselenggarakan pada tahun 2002. Dengan ketentuan
yang ditetapkan GBHN tersebut maka bilamana pemilu akan dipercepat,
ketentuan tersebut harus diubah. Untuk itu tidak ada jalan lain bagi
MPR kecuali mengadakan persidangan istimewa guna
mencabut/meninjau/mengubah Ketetapan-ketetapan MPR yang terkait dengan
pemilu, karena Ketetapan MPR hanya dapat dicabut/ditinjau/ diubah oleh
MPR itu sendiri.

Untuk memenuhi maksud tersebut, dalam pertemuan konsultasi antara


Presiden BJ Habibie dengan Pimpinan DPR beserta Pimpinan Fraksi-fraksi
DPR tanggal 28 Mei 1998 diperoleh kesepakatan untuk mempercepat
pemilu. Disepakati pula Sidang Istimewa MPR diselenggarakan dengan
agenda pencabutan/peninjauan ketetapan-ketetapan MPR yang terkait
dengan pemilu.

Selanjutnya, dalam rapat paripurna DPR tanggal 29 Juni 1998, akhirnya


DPR secara resmi meminta MPR melaksanakan sidang istimewa. Permintaan
ini dituangkan dalam Keputusan DPR Nomor 20/DPR-RI/1998.

***

PENYELENGGARAAN dua kali sidang istimewa memiliki perbedaan dan


persamaan. Perbedaannya, pada sidang istimewa pertama didasarkan pada
landasan hukum sebagaimana tertuang dalam Penjelasan UUD 1945,
sedangkan sidang istimewa yang kedua tidak ada sedikit pun landasan
hukumnya, tetapi didasari pada kesepakatan lembaga eksekutif dan
legislatif. Persamaannya, kedua persidangan istimewa MPR itu diawali
dengan adanya permintaan dari DPR.

Jika kita menganggap kedua sidang istimewa itu konstitusional, timbul


pertanyaan, apakah DPR dapat meminta MPR untuk mengadakan sidang
istimewa tanpa tahapan memorandum sebagaimana diatur dalam Ketetapan
MPR Nomor III/MPR/ 1978?

Jika kita teliti, Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978, khususnya pada


Pasal 7, merupakan penjabaran lebih lanjut dari Penjelasan UUD 1945
sebagaimana dikutip di atas Pasal 7 Ketetapan tersebut menyebutkan (1)
Dewan Perwakilan Rakyat yang seluruh Anggotanya adalah Anggota Majelis
berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam
rangka pelaksanaan Haluan Negara, (2) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat
menganggap Presiden sungguh melanggar Haluan Negara, maka Dewan
Perwakilan Rakyat menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden,
(3) Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan
memorandum Dewan Perwakilan Rakyat tersebut pada Ayat (2) pasal ini,
maka Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan memorandum yang kedua, (4)
Apabila dalam waktu satu bulan memorandum yang kedua tersebut pada
Ayat (3) pasal ini, tidak diindahkan Presiden, maka Dewan Perwakilan
Rakyat dapat meminta Majelis mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta
pertanggungjawaban Presiden.

Adakah kesimpulan yang dapat ditarik dari aturan tersebut? Ada dalam
kerangka pemberian memorandum sebagaimana telah dilakukan DPR kepada
Presiden beberapa waktu yang lalu-walaupun dalam banyak hal
penyampaian memorandum itu masih bisa diperdebatkan-tentunya mesti
mengikuti tahapan-tahapan sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR
tersebut.

Namun, ada beberapa catatan penting yang perlu dikemukakan di sini,


yakni tidak semua penyelenggaraan persidangan istimewa diawali dengan
pemberian memorandum. Dalam hal sidang istimewa diselenggarakan tidak
dimaksudkan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden karena Presiden
dianggap telah sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan
UUD 1945 atau oleh MPR, DPR dapat langsung meminta MPR untuk
mengadakan persidangan istimewa. Contoh yang pernah dilaksanakan
adalah penyelenggaraan sidang istimewa untuk mempercepat pelaksanaan
pemilu. Contoh lain, tetapi belum pernah dilaksanakan adalah apabila
Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan tetap.

Jika demikian halnya, tanpa ada pelanggaran terhadap haluan negara,


tetapi keadaan semakin tidak menentu yang tidak hanya menyangkut
kondisi masyarakat dalam segala bidang kehidupannya (ekonomi, sosial
politik, keamanan, integrasi sosial, dan nasional yang buruk dan
semakin memburuk), tetapi juga menyangkut posisi kepresidenan,
pemerintah, dan pemimpin sentral dalam sistem pemerintahan kita,
mestinya DPR dapat mengambil inisiatif meminta persidangan istimewa
MPR.

Jika kalangan DPR mencari landasan hukum agar dapat meminta


persidangan istimewa MPR atas keadaan semacam ini tentu tidak akan
ditemukan, karena memang ada kekosongan hukum. Mengenai sidang
istimewa, Peraturan Tata Tertib hanya menyebutkan tiga hal, Pasal 50
Ayat (3) Peraturan Tata Tertib MPR menyebutkan, Sidang Istimewa
Majelis adalah: a. sidang yang diselenggarakan Majelis selain Sidang
Umum dan Sidang Tahunan Majelis; b. sidang yang diselenggarakan
Majelis atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meminta
pertanggungjawaban Presiden atas pelaksanaan putusan Majelis; c.
sidang yang diselenggarakan Majelis untuk mengisi lowongan jabatan
Presiden dan/ atau Wakil Presiden apabila Presiden dan/atau Wakil
Presiden berhalangan tetap.

Ayat (3) butir a hanya menjelaskan pengertian sidang istimewa


(definisi), Ayat (3) butir b hanya mengutip ketentuan Penjelasan UUD
1945 dan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978, sedangkan Ayat (3) butir c
hanya mengutip Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan
Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan, yang merupakan
penjabaran lebih lanjut dari ketentuan UUD 1945 Pasal 8 yang
menyebutkan, "Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil
Presiden sampai habis waktunya."

Barangkali penafsiran dapat dilakukan terhadap kata-kata "tidak dapat


melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya" yang oleh Ketetapan MPR
Nomor VII/MPR/1973 dirumuskan sebagai "berhalangan tetap". Kata-kata
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya tidak
dijelaskan dalam Ketetapan MPR tersebut. Tetapi, di dalam konsiderans
"menimbang" disebutkan, "bahwa manusia sebagai insan hamba Tuhan
secara kodrati tiada luput dari hambatan dan ujian hidup, yang antara
lain dapat berupa suatu halangan yang disebabkan oleh hal-hal yang ada
di luar kemampuannya, sehingga tidak dapat menjalankan dharma, karya,
dan kewajibannya dalam kehidupan sehari-hari baik secara tetap maupun
untuk sementara waktu."

Benarkah penafsiran bahwa sakit yang permanen atau tidak cakap


memimpin bangsa dan negara dikategorikan sebagai "tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya", dan karenanya disebut
berhalangan tetap?
Yang berwenang memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap
putusan-putusan MPR adalah MPR sendiri. Dan penafsiran itu harus
dilakukan oleh MPR secara keseluruhan, bukan oleh pimpinan MPR atau
oleh Badan Pekerja MPR yang kebetulan saat ini bekerja secara
terus-menerus. Jadi, untuk penafsiran pun memerlukan persidangan
istimewa.

* Yana Indrawan, pengamat masalah politik, bekerja sebagai tenaga


Pengkaji Kemajelisan Sekretariat Jenderal MPR

You might also like