Professional Documents
Culture Documents
2
dituntut untuk dapat membantu peningkatan kualitas hidup masyarakatnya, dalam
melaksanakan pemolisiannya mau tidak mau harus mengacu dari prinsip-prinsip umum
demokrasi. Yang ditunjukan melalui pemolisian dengan mempedomani prinsip-prinsip
demokrasi antara lain: 1) supremasi hukum, 2) mampu memberikan jaminan dan
perlindungan Ham, 3) adanya transparansi, 4) pertanggungjawaban publik dan 5) pembatasan
serta pengawasan kewenangn polisi. Dalam masyarakat yang demokratis fungsi polisi adalah
sebagai perantara atau wasit yang adil dan beradab dalam mengahadapi konflik yang terjadi
dalam masyarakat. Pola pemolisiannya adalah proaktif untuk meyelesaikan masalah. Yaitu
pemolisian yang berupaya untuk : (1) menciptakan kesejajaran antara polisi dengan
masyarakat. Dengan kata lain masyarakat dapat menjadi mitra polisi dalam menyelesaikan
berbagai masalah sosial dalam masyarakat; (2) polisi berupaya untuk memahami
masyarakatnya. Menurut Prof Satjipto Rahardjo (2002) adalah polisi yang cocok dengan
masyarakatnya. Dan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya serta dapat dipercaya oleh
masyarakat sebagai institusi pengayom dan penegak hukum, harus profesional untuk dapat
memahami corak masyarakat dan kebudayaannya. Jika polisi tidak profesional maka akan
menyimpang dari fungsi yang sebagaimana mestinya, yang justru menyengsarakan atau
menghambat produktivitas masyarakat. Dan Polisi tidak dianggap sebagai bagian dari
masyarakat, tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat. Akibatnya polisi tidak dipercaya
bahkan dapat dianggap musuh bagi warga masyarakat.
2004).
2 Mengacu dari tulisan Suparlan (2000, 2003, dan 2004 : 1-36) tentang ilmu pengetahuan dan penggolongannya
“Menurut konvensi umum yang berlaku secara tradisional, ilmu pengetahuan dibagi dalam tiga golongan, yaitu
ilmu-ilmu pengetahuan alamiah (natural sciences), ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social sciences), dan humaniora
(humanities).
Kompleksnya tugas polisi dalam masyarakat, mengakibatkan terjadinya perubahan dari yang
dianggap sebagai seni atau craft menjadi profesi. Profesi berbeda dari craft, Tugas-tugas
profesi menuntut adanya kemampuan dan keahlian khusus dari para anggotanya. Yaitu
pengetahuan dan keahlian yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan 2 secara konseptual dan
teoritikal untuk
3
Masing-masing golongan tersebut mencakup sejumlah bidang ilmu pengetahuan (disciplines). Menurut Thomas Kuhn (1970) ilmu
pengetahuan berkembang karena adanya paradigma baru yang menyampingkan paradigma atau paradigma-paradigma lama.
Dengan kata lain dia mengatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang melalui sebuah proses revolusi ilmiah dan bukan evolusi
ilmiah. Ini berbeda dari keyakinan yang secara tradisional berlaku yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang secara
bertahap berlandaskan atas paradigma-paradigma yang sudah ada sebelumnya, sebagaimana yang dipelopori oleh Karl Popper
(1959).
Pembagian ilmu pengetahuan dalam tiga golongan tersebut telah ditantang kebenarannya oleh Taylor (1985: 26-33) yang
menyatakan bahwa pada dasarnya perbedaan yang ada dalam ilmu pengetahuan adalah antara ilmu pengetahuan alamiah dan
humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Perbedaan mendasar tersebut disebabkan oleh paradigma yang memang berbeda atau
bahkan bertentangan. Ilmu pengetahuan alamiah adalah kajian mengenai gejala-gejala alam dengan tujuan untuk menemukan
hukum-hukum yang merupakan hakekat dari keteraturan yang terwujud dari hubungan-hubungan diantara gejala-gejala yang dikaji.
Dalam kajian tersebut tidak diperlukan adanya interpretasi dari dan oleh gejala yang dikaji, karena tujuan kegiatan penelitian adalah
pemecahan masalah dan teka-teki yang terwujud di dalam dan dari hubungan-hubungan diantara gejala-gejala yang dikaji.
Sedangkan humaniora, bertujuan untuk memahami kelakuan manusia dan ungkapan-ungkapannya, dan oleh karena itu bercorak
interpretif atau hermeneutik. Landasan paradigmanya adalah, karena manusia itu mahluk pemikir dan berperasaan maka manusia
itu sebenarnya adalah penginterpretasi dirinya sendiri dan lingkungannya. Sehingga untuk dapat memahami kebenaran yang ada
pada manusia dan lingkungannya maka digunakan pendekatan interpretif, karena kebenaran itu sendiri ada dalam intrepretasi dan
bukan pada fakta-fakta sosial.
Sedangkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, yang dalam sejarah perkembangannya berusaha untuk menjadi ilmiah dan yang oleh
karena itu mengadopsi filsafat positivisme, yang menjadi landasan dari ilmu-ilmu pengetahuan alamiah, untuk dijadikan
paradigmanya, telah ditantang oleh kemunculan paradigma-paradigma baru yang interpretif yang dinamakan sebagai post
positivism atau constructivism (lihat : Guba 1990). Pada dasarnya perbedaan antara positivisme dan post positivisme adalah
perbedaan antara paradigma atau metodologi yang kuantitatif (positivisme) yang berlaku dalam ilmu pengetahuan alamiah dan
paradigma atau metodologi humaniora yang kualitatif (post positivisme). (Iihat: Denzin dan Lincoln, 1994).
7
ekonomi, dan politiknya serta rawan terjadinya konflik sosial yang mengganggu keteraturan sosial
dan merugikan kehidupan ekonomi warga masyarakat baik secara lokal maupun secara nasional.
3. Tujuan Seminar :
1) Menunjukkan implementasi ilmu kepolisian untuk mewujudkan profesionalisme Polri.
2) Menunjukkan masalah yang menghambat profesionalisme Polri dalam melaksanakan
pemolisiannya, dan untuk mendapatkan solusi atau jalan keluar yang dapat dijadikan pedoman bagi
Polri dalam menghadapi tantangan tugas yang semakin kompleks.
3) Upaya-upaya untuk meningkatkan profesionalisme Polri sesuai visi dan misi Polri melalui
pengajaran tentang ilmu kepolisian.
4. Panitia Seminar :
1) Ketua : Kombes Pol Beny Mamoto, SH, Msi.
2) Wakil Ketua : AKBP Drs Rycko Amelza Dahniel, Msi.
Pembantu Umum: Kompol. Drs. Chryshnanda DL, MSi.
3) Sekertaris I : Kompol Yaved. DP, SIK.
4) Sekertaris II : Kompol Anwar, SIK.
5) Bendahara : Kompol Prasetijo Utomo, SIK.
6) Seksi Dana :
(1) AKBP.Drs. Petrus Goloose, MM.
(2) AKBP.Drs. Guntur Setyanto, MSi.
8
(3) AKBP Drs. Idham Azis, MSi.
(4) Kompol. Drs. M. Fadil Imran
(5) Kompol. R. Nurhadi Yuwono, SIK, MSi
(6) Drs. Yusup, MM
(7) IR. Indiarto, MM
(8) Kombes. Drs. Agus Wantoro, MSi
7) Organizing committee (OC)
Ketua : Kompol. R. Prabowo Argo Yuwono, SIK
Wakil Ketua : Kompol Wawan Munawar, SIK
Kompol. Andries Hermanto, SIK
a. Seksi Undangan / Sertifikat/ Registrasi :
(1) Kompol. Yuyun YD, SIK
(2) Kompol Nurcholis, SIK
(3) Budi Yuniarsa
(4) Kompol. Agung Budijono SIK
b. Seksi Hiburan dan Konsumsi :
(1) Kompol. Ahmad Wiyagus, SIK
(2) Kompol. RZ. Gumay, SIK
(3) Kompol. Slamet Setiono, SIK
c. Seksi Dekorasi :
(1) Kompol. N.S. Wibowo, SIK
(2) Kompol. Guritno Wibowo, SIK
d. Seksi Dokumentasi dan Publikasi :
(1) Kompol.Prianto, SIK
(2) Kompol. Yasin K, SIK
e. Seksi Penerima Tamu
(1) AKP. Martireny, SIK
(2) Wicaksono
(3) Didi Zakaria
f. Seksi Keamanan
9
(1) Kompol. Ahmad Djamal, SIK
(2) Kompol. Erdy Adrimurlan, SIK
g. Pembantu Umum dan Perlengkapan (seminar kit)
(1) Kompol. Thomas Widodo, SIK
(2) Kompol. Yudi Kurniawan, SIK
(3) Kompol. Wawan Munawar, SIK
(4) Kompol. Yudiawan, SIK
8) Steering Committee (SC)
Ketua : Kompol. Drs. Mas Gunarso
Wakil Ketua : Kompol. Drs. Hudit Wahyudi
Kompol Chairul Azis, SIK.
a. Seksi Acara :
(1) Kompol. Dwi Irianto, SIK.
(2) Kompol. Eko Rudi, SIK.
(3) Kompol. Drs. Sofyan Nugroho
b. Seksi Peluncuran Buku :
(1) Kompol. Hudit Wahyudi, SIK.
(2) Kompol. Agung Yulianto, SIK.
(3) Kompol. Umar Efendi, SIK.
c. Seksi Perumus / Notulen
(1) Kompol. Handoyo, SIK. (merangkap seksi Yudisium)
(2) Kompol. Chaidir, SIK. (merangkap seksi Yudisium)
(3) Kompol. Bakharudin, SIK, MSi.
(4) Kompol. Haries Budiarto, SIK
(5) Kompol. Ismahyudin, SIK. (merangkap seksi Yudisium)
(6) Kompol. Agung Budiono, SIK.
f. Liaison Officer (LO)
(1) Kompol. Tony Harsono, SIK.
(2) Kompol. Ruslan Effendy, SIK
(3) Kompol. Budi Sajidin, SIK.
10
(4) Kompol. Nurcholis, SIK.
(5) Kompol. Beny Iskandar, SIK.
(6) Kompol. Dicky Patria Negara, SIK.
(7) Kompol. Helmy Santika, SIK.
e. Operator OHP
(1) Ujang Sudrajat
(2) M. Safei
5. Peserta Seminar :
1) Para Pejabat teras Mabes Polri
2) Para Kapolda
3) Rektor UI
4) Ketua Program Pascasarjana
5) Ketua Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian
6) Para Pejabat Teras PTIK
7) Para Pejabat Teras Lemdiklat
8) Para Pejabat Teras Akpol
9) Para Kapolres jajaran Polda Metro Jaya
10) Para Karo Pers.
11) Para Kapusdik
12) Para Ka SPN
13) Alumni dan Mahasiswa KIK-UI
14) Mahasiswa PTIK angk. 40 dan 41
15) Pasis Sespimpol
16) Pasis Selapa
17) Taruna Akpol
18) Siswa Secapa
19) LSM
20) Pengamat Kepolisian
21) Partai politik
22) STPDN/IIP
11
23) Perguruan Tinggi se Jakarta
24) Badan Akreditasi Akademi (BAA)
25) Depdiknas
26) Para undangan lainnya
6. Acara Seminar :
Hari : Rabu. 1 September 2004
Jam : 0.9.00 sampai selesai
Lokasi : Ballroom Hotel Hilton Jl. Sudirman Jakarta Pusat
Susunan Acara :
a) Registrasi
b) Pembukaan oleh Ketua Program Pasca Sarjana UI
c) Kata Sambutan:
(1) Sambutan Gubernur PTIK
(2) Sambutan Ketua Panitia
d) (Key note speaker) : Kapolri
e) Yudisium KIK Angktan VII
f) Pemberian Penghargaan
g) Rehat
h) Pembahasan materi dan tanya jawab sesi pertama
i) Isoma
j) Pembahasan materi dan tanya jawab sesi kedua
k) Penutupan Seminar oleh Ketua Program KIK
II. SAMBUTAN-SAMBUTAN
1. Pembukaan oleh Ketua PPS KIK-UI, Prof Mardjono Reksodiputro.
Pada akhir tahun 1995 dan awal tahun 1996, Program Pascasarjana Universitas
Indonesia melaksanakan serangkaian kegiatan untuk mendiskusikan
12
kemungkinan pembukaan suatu program baru. Program Studi Magister (S-2) ini
bernama Program Kajian Ilmu Kepolisian (disingkat Program KIK). Program baru ini
merupakan penegasan dan tindak lanjut dan kerjasama yang telah disepakati antara
Universitas Indonesia dengan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) semasa Kapolri Prof
Dr. Awaloedin Djamin. Kerjasama UI dengan PTIK ini ditandai dengan pengangkatan Prof.
Dr. Harsja Bachtiar sebagai Dekan PTIK tahun 1980.
Berbeda dengan PTIK yang masih tetap berada di dalam organisasi Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI), Program KIK ditempatkan di dalam organisasi Universitas
Indonesia (UI). Persiapan pembukaan program magister baru ini memerlukan waktu yang
cukup lama dalam pertemuan-pertemuan antara pihak Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, POLRI, UI, PTIK dan Program
Pascasarjana (PPs) UI. Disetujuinya pembukaan Program KIK-UI pada tahun 1996,
menandai pengakuan UI terhadap perlunya Ilmu Kepolisian dibina dan dikembangkan
sebagai suatu disiplin mandiri di lingkungan iklim ilmiah UI. Penamaannya sebagai Kajian
Ilmu Kepolisian juga menandai pengakuannya sebagai suatu bidang studi interdisiplin,
sebagaimana haInya dengan bidang studi kajian lainnya yang telah ada sebelum KIK.
Sekarang dalam tahun 2004 kita mengingat kembali masa lahir dan tumbuhnya
selama sewindu (8 tahun) KIK. Dalam usianya yang masih muda ini (dibanding dengan
program studi kajian lainya di PPs-UI), kita mensyukuri bahwa kerjasarna POLRI dengan UI
ini telah dapat menampung sembilan angkatan (angkatan IX tahun 2004) dan menyelesaikan
dengan baik studi mahasiswa dalam tujuh angkatan (angkatan VII, 2002-2004). Dalam kurun
waktu delapan tahun ini, Program KIK-UI telah menghasilkan 198 Magister Ilmu Kepolisian.
Sebagian besar berasal dari POLRI (purnawirawan dan aktif), tetapi ada juga yang bukan
berasal dari kepolisian (sarjana hukum, pengacara, wartawan, dIsbnya). Tentunya hal ini
sangat kita syukuri, namun kita perlu juga
13
menundukkan kepala kita mengenang sejumlah dosen, alumnus dan mahasiswa yang
telah wafat dalam masa sewindu ini.
Hasil yang baik yang telah dicapai Program KIK-UI adalah berkat adanya kerjasama
yang baik dengan POLRI. yang setiap tahun menyediakan beasiswa, dan dengan PTIK, yang
memberi kesempatan pada program KIK-UI untuk menyelenggarakan sebagian kegiatannya
di kampus PTIK, disamping penyelenggaraan kegiatan di kampus UI Salemba.
Program KIK-UI telah memulai pula program pendidikan doktor ilmu kepolisian (S-
3) sejak tahun 2001, Saat ini ada tiga angkatan dengan 17 peserta program. Diharapkan
bahwa dalarn waktu yang tidak terlalu lama, program ini dapat menghasilkan Doktor Ilmu
Kepolisiannya yang pertama. Semoga melalui rintisan di kampus UI ini dapat diwujudkan
dan ditingkatkan pemolisian dan POLRI yang profesional dan modern di Indonesia.
1. Sambutan Gubernur PTIK diwakili Direktur Akademik Brigjen Pol. Drs. Pudjianto Hadi.
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, pada hari yang berbahagia ini kita dapat
berkumpul di gedung ini, dalam keadaan sehat wal'afiat, guna mengikuti acara seminar sehari
dalam rangka Sewindu KIK-UI tentang "Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri".
18
Dalam kesempatan ini saya sebagai ketua panitia menyampaikan terima kasih atas
kehadiran para hadirin, undangan, dan para pembicara sehingga seminar ini dapat berjalan
lancar sesuai rencana dan penuh keakraban.
Penyelenggaraan seminar ini di samping memperingati sewindu KIK-UI juga
bertujuan untuk membahas Implementasi Ilmu Kepo1isian dalam Organisasi PoIri dalam
rangka meningkatkan Profesionalismenya.
Sehingga Polri pada masa mendatang dapat berfungsi sebagaimana seharusnya dalam
menciptakan, memelihara maupun memperbaiki keteraturan sosial dalam masyarakat.
Dengan prinsip yang utama yaitu untuk melindungi harkat dan martabat manusia sebagai aset
utama bangsa dan senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Pekerjaan dan organisasi di sektor modern mulai berubah dari pekerjaan yang bersifat
craft menjadi pekerjaan yang berbasis pengetahuan (knowledge based works). Kebutuhan
sumberdaya manusia juga berubah ke arah pekerja yang berpengetahuan (knowledge
workers), karena itu pekerjaan yang bersifat rutin (meanigless repetitive task) mulai diganti
dengan tugas pekerjaan yang menekankan pada inovasi dan perhatian (innovation and
caring). Keterampilan dan keahlian tunggal mulai ditinggalkan diganti dengan
profesionalisasi dengan keahlian ganda. Di samping itu penugasan yang bersifat individual
mulai berubah menjadi pekerjaan tim (team work).
Hal tersebut sejalan dengan kebijakan dan strategi pimpinan Polri yang tertuang
dalam misi dan visi Polri yaitu menyatakan bahwa Polri adalah sebagai pelindung,
pengayom, pelayan masyarakat, dan penegak hukum.
Reformasi Polri yang menuju polisi sipil dan demokratis, yang peran dan fungsinya
adalah memberikan pelayanan keamanan dengan tujuan melindungi harkat dan martabat
manusia sehingga dapat melakukan produktivitasnya dengan aman. Dapat dikatakan peranan
fungsi Polri yang hakiki adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan
menyadari bahwa sumber daya manusia sebagai aset utama bangsa.
19
Seperti kita ketahui bahwa pekerjaan Polisi merupakan tugas yang kompleks tidak
dapat lagi sebagai craft (seni) tetapi sebagai profesi, dan dituntut untuk bekerja secara
profesional dalam melaksanakan tugasnya. Dalam rangka mencapai profesionalismenya para
anggotanya harus memiliki landasan ilmu pengetahuan.
Demikian sambutan saya pada kesempatan ini, dan tak lupa saya mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah dengan tulus dan iklas memberikan bantuan yang
tak ternilai sehingga dapat terselenggaranya seminar sehari dalam rangka sewindu KIK. Dan
semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan Taufik dan Hidayah-Nya kepada
kita sekalian dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk pengabdian kepada
masyarakat, bangsa dan negara.
Sekian dan terima kasih.
Wassalamu'alaikurn Wr.Wb.
1. Keynote Speaker: Kapolri diwakili Irwasum Polri, Komjen Pol. Drs. Binarto.
23
Lemahnya pengendalian/control sosial oleh masyarakat yang selama ini tidak dibangun,
namun di era reformasi ini kontrol masyarakat yang tergelar sangat luas, dimana terkadang tidak
terkendali.
Keadaan seperti yang saya uraikan tersebut di atas kalau tidak segera ditangani dan
diakomodasikan secara serius, maka akan sangat berpengaruh terhadap usaha membangun
polisi yang profesional dan mandiri, sehingga jelas juga berpengaruh terhadap kinerja Polri
itu sendiri, namun demikian Polri akan tetap mengoptimalkan kinerjanya dan secara simultan
berupaya mendorong terutama yang melibatkan kerjasama dan keterpaduan dengan
fungsi/instansi lainya.
Para peserta seminar dan hadirin sekalian yang terhormat.
Penerapan ilmu kepolisian hanya sebagaian kecil dari masalah kepolisian, karena
kompleksitas masalah Polri dalam melaksanakan pemolisiannya harus dilaksanakan dengan
kemampuan dan sikap yang profesional. Sedangkan profesionalisme Polri dapat terwujud
dengan kesiapan dari aparat kepolisian itu sendiri (SDM POLRI, sarana dan prasarana serta
anggaran) didukung oleh aspek-aspek lainnya seperti: Aspek hukum/perundang-undangan
dan masyarakat itu sendiri, kesiapan aparat di sini berarti personel-personel Polri mempunyai
kemampuan yang memadai, dengan jumlah personel pada ratio perbandingan dengan jumlah
penduduk 1 : 400 (tingkat internasional). Mempunyai sarana dan prasarana pendukung yang
cukup memadai, serta yang sesuai dengan kebutuhan .
Disamping itu perlu diimbangi pula dengan figur kepemimpinan Polri pada setiap level,
Dalam arti memiliki sifat kepemimpinan yang utuh dan mampu memotivasi dan
menggerakan anggotanya untuk senantiasa hadir dan siap melaksanakan trugasnya, bersih
dari KKN jujur dan adil serta memiliki wawasan yang luas konsepsional. Strategis serta
mampu menjalin komunikasi dan koordinasi dengan pemimpin intansi terkait, memiliki ide-
ide cemerlang dalam
24
melaksanakan tugasnya serta senantiasa konsisten dalam setiap langkah ucapan dan tindakan.
Perserta seminar dan hadirin sekalian yang saya hormati.
Dari uraian tersebut di atas, ingin kembali saya tegaskan bahwa untuk mencapai
profesionalisme Polri tidak cukup hanya dengan meningkatkan ilmu kepolisian saja, tetapi
profesionalisme tersebut dapat terwujud atas kesiapan aparat kepolisian itu sendiri didukung
a oleh aspek-aspek lainnya, seperti masyarakat itu sendiri.
Akhirnya, demikianlah sambutan saya, selamat melaksanakan seminar, semoga dapat
menghasilkan solusi dan rekomendasi yang tepat dan aplikatif bagi Polri dalam
melaksanakan misinya, untuk melaksanakan tugasnya dan peranya dalam rangka
terpeliharanya kamdagri.
Sekian dan Terimakasih.
Wassalamu’ alaikum Wr. Wb.
III. RANGKUMAN HASIL SEMINAR SESI I
1. Prof. Awaloedin Djamin, MPA. (Sejarah Pendidikan Tinggi Kepolisian di Indonesia).
Pendidikan tinggi adalah tingkat pendidikan di atas pendidikan menengah termasuk
yang terdapat di luar lembaga-lembaga Perguruan Tinggi yang diatur dalam perundang-
undangan. Perguruan Tinggi di Indonesia terdiri atas: 1.Akademi, 2. Poli Teknik, 3. Sekolah
Tinggi, 4. Institut, dan 5. Universitas.
Dengan demikian, SELAPA (dulu Sekkopol), SESPIM (dulu SESKOPOL) ditambah
dengan SESPATI adalah pendidikan tinggi yang tidak termasuk dalam arti "Perguruan
Tinggi".
25
Dalam undang-undang Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan Akademi,
Politeknik dan D3 adalah pendidikan profesi, sedangkan Sekolah Tinggi, Institut, dan
Universitas adalah pendidikan akademis.
Pengertian umum tentang "profession" dan "professionalisme", antara lain:
a. menggunakan teori ilmu pengetahuan untuk pekerjaan,
b. keahlian yang didasarkan pada pendidikan dan pelatihan berjangka panjang,
c. pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya,
d. memiliki otonomi dan cara mengontrol perilaku. anggota profesi.
Ilmu pengetahuan pun membagi "pure science" dan "applied science". Semua bidang
profesi, pada umumnya memiliki etika profesi masing-masing. Demikian pula kepolisian.
Hampir semua kepolisian di dunia memiliki rumusan etika secara tertulis dan seperti semua
etika, diharapkan agar semua anggota tidak melanggar kode etik dan bersikap, dan
berperilaku sesuai etika profesi masing-masing. Sering pula "code of ethics" disebut "code of
conduct".
Pada tanggal 17 Juni 1946 didirikan “Polisi Akademi”, kemudian berganti menjadi
Akademi Polisi. Setelah pengakuan kedaulatan, ibukota. RI kembali ke Jakarta, termasuk
Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN). Kepala Kepolisian Negara, para guru besar, setelah
membahas keberadaan Akademi Polisi, menetapkan untuk meningkatkan Akademi Polisi
menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) yang resmi dibuka tahun 1950, yaitu
perguruan tinggi kedinasan dengan memberikan gelar doctorandus (Drs.), mengikuti sistem
pendidikan tinggi Belanda.
Buat pertama kali istilah "ilmu kepolisian” digunakan di Indonesia secara resmi. Ini
merupakan momentum bersejarah dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Para guru
besar dari Universitas Indonesia yang terkenal waktu itu seperti Prof. Djokosutono, Prof
Sunario Kolopaking (kemudian menggunakan
26
nama Sunario Sanyatawijaya), Prof. Sumitro Djojohadikusumo, Prof. Prijono, Prof
Satochid, Prof. Noach, Prof. Beerling, dan lain-lain adalah guru besar-guru besar PTIK.
Perkuliahan sebagian besar digabung dengan Universitas Indonesia, terutama Fakultas
Hukum.
Walaupun PTIK dengan ilmu kepolisian diprakarsai oleh guru-guru besar terkenal
Indonesia waktu itu dengan Ketua Dewan Kurator Sultan Hamengku Buwono IX, dengan
anggota-anggota antara lain Menteri Dalam Negeri, Ketua Mahkamah Agung, keberadaan
ilmu kepolisian masih diperdebatkan di kalangan perguruan tinggi Indonesia.
Keberadaan PTIK dan ilmu kepolisian ini baru dituntaskan waktu penulis menjabat
KAPOLRI pada tahun 1979, setelah bersama Menteri P&K Daud Yusuf membentuk tim
gabungan Departemen P&K, Universitas Indonesia dan Polri, untuk membahas secara
mendalam tentang ilmu kepolisian.
Dalam SK bersama Menteri P&K dan KAPOLRI ditetapkan bahwa Universitas
Indonesia menjadi Pembina Akademik dari PTIK dan Dekan PTIK dijabat oleh Guru Besar
Universitas Indonesia yang diangkat oleh Menteri P&K setelah konsultasi dengan
KAPOLRI. Kemudian Departemen P&K menetapkan Universitas Diponegoro sebagai
pembina akademik Akademi Polisi.
Dekan pertama yang diangkat dan dilantik Menteri P&K adalah Prof. Dr. Harsya W.
Bachtiar (alm.). Dalam upacara pelantikan Dekan Prof Dr. Harsya Bachtiar, Menteri P&K
menyampaikan pidato tentang ilmu kepollsian. Dekan PTIK bertangug jawab di bidang
akademis dan Gubernur PTIK dijabat oleh perwira tinggi aktif Polri dan bertanggung jawab
di bidang kemahasiswaan dan pembinaan (Pada tahun 1950-an jabatan Gubernur itu disebut
Sekretaris PTIK kemudian Administratur PTIK).
Waktu Prof Dr. Harsya W. Bachtlar ditarik ke Departemen P&K oleh Menteri Fuad
Hasan untuk menjabat Kepala Badan Penelitian dan
27
Pengembangan, kemudian Prof Awaloedin yang telah pensiun diangkat sebagai
Dekan PTIK menggantikan Prof Harsya selama 15 tahun.
Dalam perundang-undangan mengenai Sistem Pendidikan Nasional, AKPOL dan
PTIK termasuk perguruan tinggi kedinasan, karena itu diarahkan pada kebutuhan personil
Polri.
Kepolisian modern, khususnya Polri sebagai, kepolisian Nasional dari negara yang
besar dan multi kultural, memerlukan pengetahuan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan,
disamping lembaga-lembaga pendidikan yang diadakan Polri sendiri. Karena Polri yang
pertama memperkenalkan Ilmu Kepolisian (PTIK tahun 1950), maka Polri harus ikut
bertangung jawab bagi pengembangan ilmu kepolisian seperti ilmu-ilmu lainnya.
Semenjak permulaan tahun 80-an PTIK mengusahakan agar ilmu kepolisian dapat
dikembangkan sampai S2 dan S3, tapi karena waktu itu hanya beberapa Perguruan Tinggi
Negeri yang diperbolehkan mengadakan pendidikan pascasarjana, maka penulis bersama
Prof. Harsya Bachtiar (alm.) menghubungi Universitas Indonesia. Mulanya, yang diharapkan
pascasarjana ilmu kepolisian dapat menjadi “program studi", tapi karena prosedurnya yang
berbelit-belit disepakati ilmu kepolisian merupakan kajian di lingkungan pascasarjana UI.
Dengan kerjasama Polri dengan UI, maka dimulailah Program Kajian Ilmu
Kepolisian, diselenggarakan di Kampus PTIK pada tahun 1996. Sekarang KIK-UI telah
mulai dengan program S3. Setiap angkatan Polri menyediakan beasiswa untuk program KIK-
UI.
UI harus menjaga mutu tamatan KIK, agar secara defacto dan dejure ilmu kepolisian
terus berkembang di Indonesia dan dimanfaatkan terutama oleh Polri sendiri, namun juga
terbuka untuk umum.
Di luar KIK-UI telah banyak pula perwira Polri, baik secara pribadi atau yang ditugas
belajarkan mermiliki gelar S1, S2 dan S3, baik dari perguruan tinggi
28
dalam negeri ataupun luar negeri. Jumlah tamatan luar negeri masih sedikit sekali
apalagi yang mendapat gelar S3 (Doktor).
Dalam era reformasi, setelah Polri pisah dari ABRI, pembangunan Polri cukup
berarti, baik pembangunan sarana dan prasarana, maupun penambahan jumlah personil.
Prestasi Polri dalam menangani terorisme terutama Bom Bali dan Hotel Merriott dapat
dibanggakan menurut ukuran dunia. Hal ini telah menaikkan citra Polri dan Indonesia di luar
negeri.
Tantangan internal yang penting dan mungkin yang terberat adalah di bidang
pengorganisasian, tata cara kerja dan sistem manajemen personalia atau SDM, dimana sistem
manajemen pendidikan merupakan bagian integral yang penting.
Bila Polri dapat menata diri semua dalam 5 tahun mendatang, maka keberadaan Polri
yang professional, Polri sebagai pelindung dan pelayan masyarakat akan lebih dirasakan oleh
seluruh rakyat Indonesia.
2. Prof. Mardjono Roksodiputro, SH, MA. (Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di
Indonesia).
Perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia tentunya tidak dapat dipisahkan dari
pendidikan kepolisian di Polri. Pendidikan dalam masa Republik Indonesia dapat dimulai
dari pembentukan Akademi Polisi tanggal 17 Juni 1946. Setelah pengakuan kedaulatan
Desember 1949, maka Akademi Polisi pindah ke Jakarta dan sejak 1 September 1950 diganti
namanya menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Kalau sebelumnya para mahasiswa
berasal dani anggota polisi dan dari umum (luar organisasi polisi), maka sejak 1951
dinyatakan bahwa hanya pegawai kepolisian yang diterima sebagai mahasiswa (sejarah
Kepolisian, 1999, h, 74-75;122-124;Harsja W, Bachtiar, 1994, h.51,57).
29
Dalam staf pengajar PTIK ini terdapat sejumlah gurubesar yang tergabung dalam
dewan gurubesar dengan ketua Prof. Mr. Djokosoetoeno, gurubesar Ilmu negara, Tatanegara
dan Filsafat Hukum di Universitas Indonesia.
Dari lintasan sejarah ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa istilah “ilmu kepolisian”
mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1950 dan hanya dipergunakan untuk pendidikan
tingginya.
Dalam tahun 1994, Harsja W. Bachtiar, gurubesar Sosiologi dan Sejarah Masyarakat,
mantan Dekan PTIK (1980-1987), mengeluh tentang langkanya terbitan ilmiah dalam bahasa
Indonesia untuk bidang ilmu kepolisian. Menurut beliau kenyataan ini harusnya mendorong
kita untuk "... berusaha jauh lebih banyak agar Ilmu Kepolisian ... dapat sungguh-sungguh
disejajarkan sama, dengan pengetahuan keahlian profesi-profesi yang sekarang ini jauh lebih
maju..."(h. 34 - 36). Hanya dua tahun setelah tulisan itu terbit (dan satu tahun, setelah tahun
1995 beliau wafat), Universitas, Indonesia secara serius menanggapi pemikiran Harsja W.
Bachtiar dengan mendirikan Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) pada Program
Pascasarjananya dalam tahun 1996.
Berbeda dengan PTIK (pendidikan Sarjana) yang pada mula (1950-an) kurikulumnya
masih berfokus pada pengetahuan hukum, maka KIK (sebagai pendidikan Magister Ilmu
Kepolisian) sudah memindahkan perhatiannya pada ilmu-ilmu sosial.
Dalam Era Reformasi sekarang ini, dimana kita ingin membangun bersama "polisi-
sipil", maka kajian ilmiah (scientific studies) tentang kepolisian dan pemolisian sangat
diperlukan. Perkembangan pengetahuan ilmu kepolisian akan dapat membantu kajian itu,
khususnya kalau kita melihat pada kenyataan kemajemukan masyarakat Indonesia dan makin
kompleksnya permasalahan masyarakat kita ini.
Sebagai fakta, maka "ilmu kepolisian" ada di Indonesia dengan dipergunakannya kata
ini dalam nama PTIK, sejak 1950. Namun usaha untuk
30
menguraikan secara ilmiah keberadaan ilmu kepolisian ini sebagai suatu disiplin
tersendiri, baru dilakukan dalam tahun 1994 dalam buku Harsja Bachtiar, “Ilmu Kepolisian.
Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru”. Dalam hal. 16 Harsja Bachtiar berpendapat
bahwa "Ilmu Kepolisian ... yang baru, terbentuk sebagai hasil penggabungan unsur
pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang sudah lama...".
Dikatakan selanjutnya bahwa "Ilmu Kepolisian lambat laun menjelma menjadi suatu cabang
ilmu pengetahuan (discipline) yang baru dan yang mempuyai identitas tersendiri..."
Pada bagian pertama kutipan di atas, memang ilmu kepolisian (yang baru) dilihat
sebagai pengetahuan dengan pendekatan "multi-bidang", namun dalam bagian kedua dari
kutipan di atas, kita dapat menafsirkan bahwa dalam perkembangannya di Indonesia, ilmu
kepolisian akan "menjelma" dengan "identitas tersendiri", sehingga menjadi suatu
pengetahuan dengan pendekatan antar-bidang (interdisiplin).
Sekarang, sepuluh tahun setelah terbitnya buku Harsja Bachtiar dan sewindu setelah
berjalannya pendidikan Magister Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia, dapatlah kita
mulai lebih mengembangkan lagi dan mengisi Ilmu Kepolisian Indonesia melalui permikiran
Parsudi Suparlan. Suparlan melihat ilmu kepolisian sebagai ilmu pengetahuan yang
mempergunakan pendekatan antar bidang dan mempelajari masalah-masalah sosial dan isyu-
isyu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, ... upaya-upaya
penegakan hukum dan keadilan, dan ... teknik-teknik penyidikan dan penyelidikan berbagai
tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya" (TOR, Seminar Ilmu Kepolisian, h. 4).
Suatu pekerjaan hanya dapat dinamakan profesi, apabila pekerjaan itu memerlukan
sejumlah kemahiran (skill) dan pengetahuan (knowledge) yang khusus, dan didasarkan pada
persiapan akademik dalam ilmu pengetahuan tertentu.
31
“Profesionalisme polisi” mengacu pada adanya sejumlah kemahiran dan pengetahuan
khusus yang menjadi ciri pelaku, tujuan dan kualitas (conduct, aims and qualities) pekerjaan
polisi.
Profesionalisme polisi tidak dapat dilepaskan dari peranan yang diharapkan oleh
masyarakat tentang apa yang merupakan tugas pokok kepolisian (sebagai organisasi).
Pendekatan polisi pada menyelesaikan masalah (dinamakan juga “peace-keeping
orientation”) akan lebih memfokuskan hubungan polisi-masyarakat pada apa yang dapat
dikerjakan bersama, sebagai mitra-kerja, saling membantu dalam kemitraan.
3. lrjen Pol. Dr. Farouk Muhammad (Implementasi Ilmu Organisasi sebagai cabang
dari ilmu kepolisian dalam menganalisa organisasi Polri).
Kepolisian pada hakikatnya lahir bersamaan dengan kebutuhan masyarakat akan
ketentraman dan ketertiban serta kepatuhan atas norma sosial yang berlaku di dalam
lingkungan masyarakat. Kepolisian sebagai suatu kekuatan dibentuk setelah pranata informal
tidak mampu mengatasi masalah-masalah, gangguan keamanan dan ketertiban serta
pelanggaran hukum sehingga merupakan kendala bagi upaya pencapaian kesejahteraan
masyarakat.
Organisasi dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya, dan hanya organisasi yang bisa
beradaptasi secara tepat terhadap tuntutan lingkungan yang akan dapat mencapai
keberhasilan.
Dalam sebuah organisasi setidaknya ada dua dimensi yang saling berkaitan. Pertama
adalah Dimensi Struktural : Dimensi ini menggambarkan karakteristik internal suatu
organisasi dan dapat dijabarkan ke dalam beberapa karakteristik :
1. Formalisasi, menunjukkan tingkat penggunaan dokumen tertulis dalam organisasi,
32
1. Spesialisasi, menunjukkan derajat pembagian pekerjaan dalam organisasi,
2. Standarisasi, menggambarkan derajat kesamaan dalam pelaksanaan kerja,
3. Sentralisasi, menunjukkan pembagian kekuasaan menurut tingkatan (hirarki) dalam
organisasi,
4. Hirarki Otoritas, menggambarkan pola pembagian kekuasaan serta rentang kendali secara
umum,
5. Kompleksitas, menunjukkan banyaknya kegiatan dalam organisasi (kompleksitas vertikal dan
horizontal),
6. Profesionalisme, menunjukkan tingkat pendidikan formal ataupun tidak formal rata-rata
anggota organisasi,
7. Konfigurasi, menunjukkan bentuk pembagian anggota organisasi ke dalam bagian-bagian
baik secara vertikal maupun horizontal.
Analisis terhadap organisasi dilakukan mulai dari sistem yang paling besar menuju
kearah sistem yang paling kecil, di mana tingkatan sistem tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sistem lingkungan,
2. Sistem organisasi secara keseluruhan,
3. Sistem bagian organisasi,
33
1. Sistem kelompok dan individu.
Polisi sipil adalah polisi masa depan. Konstalasi tersebut berhubungan dengan
kecenderungan sosial-politik Indonesia yang menuju kepada demokrasi dan pembangunan
civil society.
40
3. Irjen Pol Drs. E. Winarto H, S.H, Msi (Strategi Membangun Polri sebagai Polisi Sipil
yang Profesional dan Demokratis)
Polri sebagai salah satu bagian dari mesin birokrasi pada sistem pernerintahan, untuk
menjalankan fungsi tugasnya Polri menemukan beberapa faktor pendorong dalam
membangun ataupun melakukan perubahan internal pada, konteks reformasi antara lain:
a. Lahirnya Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri, serta Tap MPR No.
VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan Polri.
b. Lahirnya UU No. 2 Tabun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang
menggantikan Undang - undang No. 28 Tahun 1997.
c. Munculnya berbagai aturan perundangan yang mendukung operasionalisasi dari UU No. 2 Tahun
2002 seperti UU Perbankan, UU Korupsi, UU Ketenagakerjaan, UU Telekomunikasi d1l.
d. Kemudian munculnya Lembaga-lembaga kontrol terhadap pelaksanaan tugas Polri seperti DPR,
BPK, KPK, Komisi Kepolisian Nasional (KKN), LSM, publik dan pengamat Kepolisian yang
tugasnya yaitu :
1) Mengawasi pelaksanaan tugas keamanan ketertiban masyarakat sesuai batasan kewenangan serta
perannya yang diatur dalam Tap MPR No. VI dan VII.
2) Mengawasi pelaksanaan fungsi Kepolisian yang telah diatur oleh UU No. 2 Tahun 2002
(memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan hukum).
3) Mengawasi bagaimana pengunaan anggaran yang diperoleh dari rakyat untuk menjalankan fungsi
operasional maupun pembinaan Kepolisian.
41
e. Dorongan masyarakat Internasional dalam memberikan penghormatan terhadap
hak asasi manusia dengan memperhatikan harkat dan martabat manusia dalam
melakukan tindakan hukum terhadap tersangka ataupun korban dengan
memperhatikan hak dan kewajibannya.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi Polri:
A. Paradigma
1. Struktur pada saat posisi Polri masih berintegrasi dengan ABRI (masa lalu)
maka Polri pada saat ini memiliki ciri-ciri :
a) Secara struktural atasan yang lebih tinggi adalah Mabes ABRI.
b) Dalam menangani masalah-masalah keamanan, khususnya yang
berkaitan dengan aspek penegakan hukum (represif) dilakukan
secara gabungan dan dibantu penuh oleh TNI.
c). Peran ABRI bergerak pada domain pertahanan (defence) dan
keamanan (Security) (baik pertahanan wilayah / teritorial atau
keamanan ketertiban umum).
2. Perilaku yang dibentuk :
a) Kurikulum pendidikan dengan filosofi "Dwi Warna Purwa
Cendikia Wusana" dan belum dapat mewujudkan perilaku Polri
yang "Mahir, Terpuji dan Patuh Hukum" sebagai filosofi
pendidikan Polri saat ini.
42
b) Penegakan hukum dengan pola represif masih lebih
dikedepankan daripada mengedepankan pola perlindungan,
pengayoman maupun pelayanan masyarakat.
c) Partisipasi masyarakat masih kurang mendapatkan respon
secara baik (Community Policing) dan masih mengedepankan
hukum dengan pendekatan respresif.
B. Sumber Daya Manusia
1. Kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan usia pensiun menjadi 48 tahun
untuk Bintara dan 55 tahun Perwira.
2. Rumusan Jakstra PoIri 2004 di bidang pendidikan tersirat bahwa "sekolah
untuk memintarkan personel" bukan untuk mendapatkan jabatan.
3. Orientasi perbandingan Polisi dengan penduduk sampai dengan akhir tahun
2004 tercapainya angka ratio 1 : 750.
4. Rekrutmen Polri masih mencari bentuk yang pas, baik pada penerimaan
Akpol. PPSS ataupun Bintara guna menyaring calon anggota Polri yang
memiliki kepribadian sebagai pelindung, pengayom dan pelayanan
masyarakat.
5. Pembenahan bidang struktural, instrumental dan kultural masih dihadapakan
pada permasalahan geografi, demografi, kualitas sumber daya manusia
dan masalah kebangsaan.
C. Dukungan materil dan anggaran berupa (transportasi, mobilitas, komunikasi pada
fungsi operasional maupun pembinaan Kepolisian) belum memadai.
43
D. Secara eksternal belum tumbuhnya rasa kepercayaan masyarakat (trust) kepada Polri dalam
menjalankan tugasnya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan serta penegak hukum.
Gambaran strategi serta kenyataan pelaksanaan kegiatan pembinaan personil Polri, dalam
menuju polisi sipil yang profesional dan demokratis sejalan dengan kebijakan Kapolri di
bidang sumber daya manusia antara lain:
Pertama: Proses seleksi yang diadakan untuk merekruit SDM Polri di laksanakan secara
seobyektif mungkin, bila perlu menggunakan jasa lernbaga yang idenpenden untuk
menentukan seleksi dari calon polisi, dengan menggunakan standar yang tinggi dan ketat dan
pelaksanaan proses seleksi yang jujur.
Kedua: Dalam hal pendidikan yang sangat mendasar adalah melakukan perubahan filosofi
pendidikan dari Dwi Warna Purna Cendikia Wusana yang melahirkan prajurit pejuang dan
pejuang prajurit menjadi Mahir, Terpuji dan Patuh Hukum, yang berorientasi kepada
Paradigma pendidikan yaitu pendidikan Sistematik-Organik menuntut pendidikan bersifat
double tracks. Artinya pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan dan dinamika masyarakatnya.
Ketiga: Selain itu juga bekerjasama dengan Negara donor untuk memberikan peralatan dan
pelatihan-pelatihan yang diarahkan pada pekerjaan polisi sipil. Seperti kerjasama dengan
IOM (International Organization for Migration) program difokuskan pada perbaikan
kurikulum. dan bahan ajaran di SPN-SPN serta melatih instruktur HAM.
Keempat: Polri yang berorientasi pasar, di era globalisai sekarang ini dalam. memberikan
jasa atau pelayanan kepada masyarakat. Polri melihat atau berorientasi pada pasar (apa yang
menjadi harapan atau tuntutan masyarakat/apa yang sedang menjadi trend di masyarakat
terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah Kamtibmas).
44
Kelima: Polri yang Desentralisasi : Dalam menuju Polri yang mandiri salah satu sasarannya
adalah Polri yang utuh dari Mabes sampai tingkat pos polisi dan Polri tetap dalam bentuk
polisi nasional mengingat negara RI adalah negara kepulauan yang terpisah-pisah dan dengan
adanya polisi nasional akan mempermudah dalam memberikan back up ataupun pergeseran
pasukan.
V. PENUTUP
1. Dalam era reformasi, pembangunan Polri mengalami perubahan yang cukup signifikan. Yang
harus diperbaiki dalam menuju Polri sebagai polisi sipil yang profesional, modern, dan
demokratis secara internal organisasi Polri adalah di bidang pengorganisasian tata cara kerja dan
sistem manajemen sumber daya manusia, dimana sistem manajemen pendidikan merupakan
bagian integral yang penting.
2. Untuk membangun “polisi-sipil”, diperlukan kajian ilmiah (scientific studies) tentang kepolisian
dan pemolisian. Ilmu kepolisian merupakan landasan untuk menyelesaikan berbagai masalah
yang semakin kompleks melalui perubahan paradigma pemolisiannya, yaitu dari pemolisian
konvensional yang antagonis menuju pemolisian yang proaktif, problem saving (protagonis).
3. Profesionalisme polri merupakan landasan/dasaran agar Polri mampu menyajikan pelayanan
yang optimal kepada masyarakat, sehingga dapat berfungsi sebagaimana seharusnya, serta
mendapatkan tempat dan dukungan dari masyarakat (polisi cocok dengan masyarakat).
4. Ilmu kepolisian muncul dan berkembang sebagai respon terhadap berbagai corak permasalahan
yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dan komuniti-komuniti yang dilayaninya.
Untuk itu, salah satu tugas penting Polri dalam masyarakat majemuk Indonesia, dan sesuai visi
dan misinya, membangun kebijakan pemolisiannya dalam masyarakat multikultural.
45
1. Polisi sipil adalah polisi masa depan yang lebih diwakili oleh “pelayanan” (service) daripada
kekuatan (force). Konstalasi tersebut berhubungan dengan kecenderungan sosial-politik
Indonesia yang menuju kepada demokrasi dan pembangunan civil society.
2. Membangun Polri sebagai polisi sipil yang profesional dan demokratis dititikberatkan pada
pembinaan sumber daya manusia Polri melalui pendidikan dan pelatihan, sehingga mampu
merespon kebutuhan masyarakat dan pemolisiannya mendapatkan kepercayaan serta dukungan
dari masyarakat.