You are on page 1of 47

LAPORAN HASIL SEMINAR

DALAM RANGKA SEWINDU KAJIAN ILMU KEPOLISIAN


UNIVERSITAS INDONESIA
I. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
“Polisi itu yang penting adalah tugas di lapangan, bukan teori-teori di sekolah.
Fakta di lapangan sangat berbeda dengan apa yang diajarkan di kelas. Polisi
tugasnya adalah menegakkan hukum, benar atau salah sudah ditentukan dan jelas
aturannya. Sekolah dan belajar itu secukupnya ..…… Keberhasilan polisi lebih
ditentukan hasil praktek di lapangan, bukan dari teori-teori “.
Pernyataan tersebut masih sering kita dengar, dan diperdebatkan oleh para petugas
kepolisian, yang membuat kita bertanya-tanya : Apa peran dan fungsi polisi dalam
masyarakat? Tugas Polisi merupakan Profesi atau craft? Jika tugas polisi merupakan profesi
berarti polisi harus profesional dan para petugasnya memerlukan keahlian atau ketrampilan
tertentu. Bagaimana kalau polisi tidak profesional dalam melaksanakan tugasnya? Apa
dampaknya?
Dari pertanyaan tersebut juga dapat dipertanyakan mengapa polisi harus profesional? Dan
bagaimana menjadikan polisi profesional? Masih banyak pertanyaan yang dapat
dikembangkan untuk mempertanyakan keberadaan, dan fungsi polisi baik sebagai institusi,
maupun sebagai petugas dalam melaksanakan pemolisiannya dalam masyarakat.
Dalam masyarakat yang modern untuk dapat bertahan hidup, tumbuh berkembang
dituntut adanya produktivitas. Bagi yang tidak dapat melakukan produktivitas akan menjadi
beban atau benalu bagi orang lain. Dan dalam proses produktivitas tersebut ada berbagai
masalah sosial yang dapat mengganggu, menghambat bahkan mematikan produktivitas
tersebut. Untuk melindungi warga masyarakat dalam melaksanakan produktivitasnya
diperlukan hukum, norma, aturan-aturan untuk mengatur tata kehidupan dalam masyarakat
tersebut. Untuk
1
menegakkannya dan mengajak warga masyarakat mentaatinya diperlukan institusi
yang bertugas untuk menangani, salah satunya adalah polisi (lihat Friedman:1992, Bayley :
1994, Suparlan: 1999, Rahardjo: 2002). Menurut Profesor Parsudi Suparlan (2004: 34):
“Dalam sebuah masyarakat yang otoriter maka fungsi polisi adalah melayani atasan
atau penguasa untuk menjaga kemantapan kekuasaan otoriter pemerintah yang
berkuasa. Sedangkan dalam masyarakat madani yang demokratis yang modern dan
bercorak majemuk, seperti Indonesia masa kini yang sedang mengalami reformasi
menuju masyarakat madani yang demokratis, maka fungsi polisi adalah juga harus
sesuai dengan corak masyarakat dan kebudayaan Indonesia tersebut. Jika tidak maka
polisi tidak hanya tidak akan berfungsi sebagaimana seharusnya tetapi bahkan tidak
akan memperoleh tempat dalam masyarakat Indonesia sebagai pranata yang otonom
yang dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat Indonesia”.
Untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat adalah suatu masalah yang kompleks
dan saling terkait dan saling mendukung dalam suatu sistem (holistik dan sistemik). Salah
satu faktor penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya adalah adanya
rasa aman dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitasnya. Masalah keamanan inilah yang
menjadi tugas dan tanggung jawab utama Polisi atau petugas kepolisian dalam struktur
kehidupan masyarakat, yang berfungsi sebagai pengayom masyarakat, penegak hukum. Yaitu
untuk melindungi harkat dan martabat manusia, memelihara ketertiban masyarakat dan
menangani kejahatan baik dalam bentuk tindakan terhadap pelaku kejahatan maupun dalam
bentuk upaya pencegahan kejahatan dengan tujuan warga masyarakat dapat hidup dan
bekerja maupun melaksanakan aktivitasnya dalam keadaan aman dan tentram (Bachtiar 1994;
1, lihat Suparlan : 2000).
Tugas polisi dalam masyarakat yang modern dan demokratis 1 yaitu selain
1 Demokrasi pada dasarnya adalah sebuah kebudayaan konflik, yaitu menekankan pada pentingnya perolehan
sesuatu dengan melalui persaingan. Persaingan yang harus mengikuti aturan-aturan main atau hukum yang adil dan
beradab yang berada dibawah pengawasan wasit. Dalam kehidupan masyarakat yang demokratis, polisi dapat dilihat
sebagai berperan wasit atau penjaga untuk ditaatinya hukum oleh warga masyarakat. Pada waktu sebuah masyarakat
baru saja terbebas dari kekuasaan pemerintahan yang otoriter, hukum atau aturan main yang berlaku biasanya tidak adil
dan tidak beradab. Karena hukum tersebut telah dibangun untuk memenangkan penguasa atau pemerintah dan yang
dijalankan dengan menggunakan kekerasan secara paksa. Membangun masyarakat madani yang modern berarti juga
membangun kebudayaan profesional berikut pranata-pranata yang menjadi wahana dari sarananya (lihat Suparlan

2
dituntut untuk dapat membantu peningkatan kualitas hidup masyarakatnya, dalam
melaksanakan pemolisiannya mau tidak mau harus mengacu dari prinsip-prinsip umum
demokrasi. Yang ditunjukan melalui pemolisian dengan mempedomani prinsip-prinsip
demokrasi antara lain: 1) supremasi hukum, 2) mampu memberikan jaminan dan
perlindungan Ham, 3) adanya transparansi, 4) pertanggungjawaban publik dan 5) pembatasan
serta pengawasan kewenangn polisi. Dalam masyarakat yang demokratis fungsi polisi adalah
sebagai perantara atau wasit yang adil dan beradab dalam mengahadapi konflik yang terjadi
dalam masyarakat. Pola pemolisiannya adalah proaktif untuk meyelesaikan masalah. Yaitu
pemolisian yang berupaya untuk : (1) menciptakan kesejajaran antara polisi dengan
masyarakat. Dengan kata lain masyarakat dapat menjadi mitra polisi dalam menyelesaikan
berbagai masalah sosial dalam masyarakat; (2) polisi berupaya untuk memahami
masyarakatnya. Menurut Prof Satjipto Rahardjo (2002) adalah polisi yang cocok dengan
masyarakatnya. Dan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya serta dapat dipercaya oleh
masyarakat sebagai institusi pengayom dan penegak hukum, harus profesional untuk dapat
memahami corak masyarakat dan kebudayaannya. Jika polisi tidak profesional maka akan
menyimpang dari fungsi yang sebagaimana mestinya, yang justru menyengsarakan atau
menghambat produktivitas masyarakat. Dan Polisi tidak dianggap sebagai bagian dari
masyarakat, tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat. Akibatnya polisi tidak dipercaya
bahkan dapat dianggap musuh bagi warga masyarakat.
2004).
2 Mengacu dari tulisan Suparlan (2000, 2003, dan 2004 : 1-36) tentang ilmu pengetahuan dan penggolongannya
“Menurut konvensi umum yang berlaku secara tradisional, ilmu pengetahuan dibagi dalam tiga golongan, yaitu
ilmu-ilmu pengetahuan alamiah (natural sciences), ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social sciences), dan humaniora
(humanities).

Kompleksnya tugas polisi dalam masyarakat, mengakibatkan terjadinya perubahan dari yang
dianggap sebagai seni atau craft menjadi profesi. Profesi berbeda dari craft, Tugas-tugas
profesi menuntut adanya kemampuan dan keahlian khusus dari para anggotanya. Yaitu
pengetahuan dan keahlian yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan 2 secara konseptual dan
teoritikal untuk
3
Masing-masing golongan tersebut mencakup sejumlah bidang ilmu pengetahuan (disciplines). Menurut Thomas Kuhn (1970) ilmu
pengetahuan berkembang karena adanya paradigma baru yang menyampingkan paradigma atau paradigma-paradigma lama.
Dengan kata lain dia mengatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang melalui sebuah proses revolusi ilmiah dan bukan evolusi
ilmiah. Ini berbeda dari keyakinan yang secara tradisional berlaku yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang secara
bertahap berlandaskan atas paradigma-paradigma yang sudah ada sebelumnya, sebagaimana yang dipelopori oleh Karl Popper
(1959).
Pembagian ilmu pengetahuan dalam tiga golongan tersebut telah ditantang kebenarannya oleh Taylor (1985: 26-33) yang
menyatakan bahwa pada dasarnya perbedaan yang ada dalam ilmu pengetahuan adalah antara ilmu pengetahuan alamiah dan
humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Perbedaan mendasar tersebut disebabkan oleh paradigma yang memang berbeda atau
bahkan bertentangan. Ilmu pengetahuan alamiah adalah kajian mengenai gejala-gejala alam dengan tujuan untuk menemukan
hukum-hukum yang merupakan hakekat dari keteraturan yang terwujud dari hubungan-hubungan diantara gejala-gejala yang dikaji.
Dalam kajian tersebut tidak diperlukan adanya interpretasi dari dan oleh gejala yang dikaji, karena tujuan kegiatan penelitian adalah
pemecahan masalah dan teka-teki yang terwujud di dalam dan dari hubungan-hubungan diantara gejala-gejala yang dikaji.
Sedangkan humaniora, bertujuan untuk memahami kelakuan manusia dan ungkapan-ungkapannya, dan oleh karena itu bercorak
interpretif atau hermeneutik. Landasan paradigmanya adalah, karena manusia itu mahluk pemikir dan berperasaan maka manusia
itu sebenarnya adalah penginterpretasi dirinya sendiri dan lingkungannya. Sehingga untuk dapat memahami kebenaran yang ada
pada manusia dan lingkungannya maka digunakan pendekatan interpretif, karena kebenaran itu sendiri ada dalam intrepretasi dan
bukan pada fakta-fakta sosial.
Sedangkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, yang dalam sejarah perkembangannya berusaha untuk menjadi ilmiah dan yang oleh
karena itu mengadopsi filsafat positivisme, yang menjadi landasan dari ilmu-ilmu pengetahuan alamiah, untuk dijadikan
paradigmanya, telah ditantang oleh kemunculan paradigma-paradigma baru yang interpretif yang dinamakan sebagai post
positivism atau constructivism (lihat : Guba 1990). Pada dasarnya perbedaan antara positivisme dan post positivisme adalah
perbedaan antara paradigma atau metodologi yang kuantitatif (positivisme) yang berlaku dalam ilmu pengetahuan alamiah dan
paradigma atau metodologi humaniora yang kualitatif (post positivisme). (Iihat: Denzin dan Lincoln, 1994).

menganalisa maupun memecahkan masalah-masalah sosial maupun isyu-isyu penting


yang terjadi dalam masyarakat. Dan para anggotanya juga dituntut untuk profesional dalam
melaksanakan tugasnya. Orang yang profesional adalah seorang ahli yang memiliki
pengetahuan khusus dalam suatu bidang tertentu yang dianggap penting dalam kehidupan
masyarakat. Keahliannya diperoleh hanya dari pendidikan tinggi dan
pengalaman( Huntington, 2003: 4-7). Inilah yang menjadi standar obyektif kemampuan
profesional yang membedakan profesi dengan craft atau yang dilakukan orang awam.
Dalam rangka mengembangkan dan upaya pemantapan profesi kepolisian diupayakan
melalui pengajaran dan pendidikan tingkat atau perguruan tinggi khusus (college) Kajian
kepolisian yang diselenggarakan di berbagai pendidikan tinggi di luar negeri (Inggris maupun
Amerika Serikat) pada dasarnya ditujukan untuk menghasilkan tenaga-tenaga ahli atau
profesi dalam bidang kepolisian. Bidang kajian kepolisian yang diselenggarakan di perguruan
tinggi di Amerika Serikat misalnya, kemudian berubah menjadi bidang ilmu pengetahuan
dengan berbagai nama, antara lain, police science (ilmu kepolisian), police administration
4
(administrasi kepolisian) (lihat Bailey 1995, Suparlan: 2000). Hal yang sama juga
berlaku dalam sejarah kepolisian di Indonesia (lihat: Bachtiar 1994: 1-16).
Ilmu Kepolisian, menurut Prof Harsja Bachtiar adalah ilmu multi bidang, terbentuk
sebagai hasil penggabungan unsur-unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu
pengetahuan yang sudah lama merupakan bagian dari ilmu pengetahuan, terutama
Pengetahuan Hukum khususnya Hukum Pidana dan Acara Perdata, Kriminologi,
Kriminalistik, dan Ilmu Kedokteran khususnya Patologi ForenSIK. Kritik dari Prof Parsudi
(2000 ) terhadap pendapat Prof Harsya Bachtiar sebagai berikut :
“Bidang ilmu pengetahuan adalah sebuah paradigma atau sudut pandang dan
keyakinan ilmiah tertentu mengenai sesuatu bidang kajian ilmiah, dan yang tercakup
di dalamnya adalah metodologi dan metode-metodenya, sasaran kajiannya, dan teori-
teori serta konsep-konsep yang digunakan dan dihasilkannya. Yang patut
diperhatikan adalah bagaimana sejumlah cabang ilmu pengetahuan tersebut
digabungkan oleh para ahli dan penggabungan tersebut berpengaruh terhadap
kemunculan sebuah bidang ilmu pengetahuan dan terhadap corak paradigma,
metodologi dan metode-metodenya, terhadap pengembangan konsep-konsep dan
teori-teori yang dikembangkannya yang menjadi ciri-ciri keilmuannya”.
Dari pernyataan tersebut yang mengacu pada kajian dan pembahasan yang telah
dikembangkan mengenai kepolisian dan fungsinya dalam struktur kehidupan masyarakat
serta kegiatan-kegiatannya dalam memecahkan berbagai masalah sosial dan isyu-isyu penting
(lihat : Bailey 1994; Bailey(ed), 1995 : 9-14; Friedmann 1992), Profesor Parsudi Suparlan
menyatakan :
“ilmu kepolisian sebagai ilmu pengetahuan yang pendekatannya adalah antar bidang
(interdisciplinary approach). Yaitu sebuah bidang ilmu pengetahuan yang
mempelajari masalah-masalah sosial dan isyu-isyu penting serta pengelolaan
keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, mempelajari upaya-upaya penegakan
hukum dan keadilan, dan mempelajari tehnik-tehnik penyidikan dan penyelidikan
berbagai tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya” (lihat Suparlan 2000,
2003,2004: 1-36).
Bagaimana dengan perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia? Di Indonesia ilmu
kepolisian telah menjadi perhatian utama oleh para pimpinan Polri
5
yang dapat dimulai dengan didirikan Akademi Kepolisian, Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian yang telah berdiri 58 tahun yang lalu. Dan pada tahun 1996 Universitas Indonesia
membuka Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) program Magister, dan tahun 2001
membuka program Doktor (S3).
Reformasi Polri dalam rangka menuju polisi sipil yang mandiri dan otonom sebagai aparat
penegak hukum dalam masyarkat yang demokratis sejalan dengan pemikiran tersebut, yaitu
pada dasarnya tugas polisi adalah sebagai profesi bukan sekadar tugas-tugas rutin yang
sederhana atau sebagai craft. Dan untuk menjadi profesional memerlukan pengetahuan (ilmu
kepolisian).
Dalam masa transisi sekarang ini Polri menghadapi berbagai masalah yang kompleks yang
apabila penanganannya tidak profesional akan menjadi bumerang bagi Polri sendiri atau
dapat menimbulkan masalah baru. Seperti kekerasan yang dilakukan oleh petugas kepolisian
di lapangan, salah prosedur, salah tembak, maraknya penyalahgunaan narkoba, Konflik antar
suku bangsa maupun perkelahian antar warga masyarakat yang tidak tuntas penanganannya,
kenakalan remaja, terorisme, kejahatan kerah putih, ketidaknetralan petugas kepolisian dalam
menyelesaikan konflik dsb, menimbulkan isyu yang kontroversial dan menyudutkan Polri.
Sedangkan masyarakat selalu menuntut adanya pelayanan prima dan adanya perubahan yang
signifikan dalam melaksanakan pemolisiannya.
Kompleksnya masalah yang dihadapi Polri untuk menuju polisi sipil dalam masyarakat
modern dan demokratis dapat dipercaya hanya mungkin dilaksanakan dengan kemampuan
yang profesional. Profesionalisme Polri hanya mungkin dapat dilakukan dengan memberikan
pengetahuan pengetahuan konseptual dan teoritikal mengenai berbagai permasalahan sosial
dan kepolisian.
2. Masalah dan Pembahasannya
Dalam rangka peringatan sewindu (8 tahun) KIK (Kajian Ilmu Kepolisian
6
Universitas Indonesia), ingin memberikan sumbangan pemikiran melalui seminar dengan
tema “ILMU KEPOLISIAN DAN PROFESIONALISME POLRI” , dengan materi
pembahasan sebagai berikut :
1) Sejarah Pendidikan Tinggi Kepolisian di Indonesia, membahas sejarah pendidikantinggi
kepolisian sebagai upaya Polri dalam rangka meningkatkan profesionalismenya.
Pembicara : Prof. Dr. Awaloedin Djamin, MPA.

2) Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia, membahas perkembangan ilmu kepolisian


dan pengajarannya di Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia.

Pembicara : Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA.


3) Implementasi ilmu Kepolisian dalam Organisasi Polri, membahas ilmu kepolisian dan
implementasinya bagi organisasi Polri dalam rangka membangun Polri sebagai polisi sipil yang
profesional dalam masyarakat yang demokratis.

Pembicara : Irjen. Pol. Dr. farouk Muhammad.


4) Membangun Polri Sebagai Polisi Sipil yang Profesional dan Demokratis,
membahas kebijakan dan strategi pimpinan Polri dalam menyiapkan sumber
daya manusia Polri yang profesional sebagai polisi sipil dan demokratis.
Pembicara : Irjen Pol. Drs. E. Winarto H, SH, Msi (Deputi Sumdaman
Kapolri).
5) Fungsi dan Peran Polri dalam Masyarakat Majemuk Indonesia, membahas fungsi dan peran Polri
yang profesional dalam masyarakat majemuk Indonesia yang beraneka ragam sukubangsa dan
kebudayaannya serta amat kompleks, kehidupan sosial,

7
ekonomi, dan politiknya serta rawan terjadinya konflik sosial yang mengganggu keteraturan sosial
dan merugikan kehidupan ekonomi warga masyarakat baik secara lokal maupun secara nasional.

Pembicara : Prof. Parsudi Suparlan, PhD.


6) Polri dan Pemolisianya, membahas gaya pemolisian yang cocok bagi Polri untuk mewujudkan
profesionalismenya.
Pembicara : Prof. Dr. Satjipto Rahardjo

3. Tujuan Seminar :
1) Menunjukkan implementasi ilmu kepolisian untuk mewujudkan profesionalisme Polri.
2) Menunjukkan masalah yang menghambat profesionalisme Polri dalam melaksanakan
pemolisiannya, dan untuk mendapatkan solusi atau jalan keluar yang dapat dijadikan pedoman bagi
Polri dalam menghadapi tantangan tugas yang semakin kompleks.
3) Upaya-upaya untuk meningkatkan profesionalisme Polri sesuai visi dan misi Polri melalui
pengajaran tentang ilmu kepolisian.

4. Panitia Seminar :
1) Ketua : Kombes Pol Beny Mamoto, SH, Msi.
2) Wakil Ketua : AKBP Drs Rycko Amelza Dahniel, Msi.
Pembantu Umum: Kompol. Drs. Chryshnanda DL, MSi.
3) Sekertaris I : Kompol Yaved. DP, SIK.
4) Sekertaris II : Kompol Anwar, SIK.
5) Bendahara : Kompol Prasetijo Utomo, SIK.
6) Seksi Dana :
(1) AKBP.Drs. Petrus Goloose, MM.
(2) AKBP.Drs. Guntur Setyanto, MSi.

8
(3) AKBP Drs. Idham Azis, MSi.
(4) Kompol. Drs. M. Fadil Imran
(5) Kompol. R. Nurhadi Yuwono, SIK, MSi
(6) Drs. Yusup, MM
(7) IR. Indiarto, MM
(8) Kombes. Drs. Agus Wantoro, MSi
7) Organizing committee (OC)
Ketua : Kompol. R. Prabowo Argo Yuwono, SIK
Wakil Ketua : Kompol Wawan Munawar, SIK
Kompol. Andries Hermanto, SIK
a. Seksi Undangan / Sertifikat/ Registrasi :
(1) Kompol. Yuyun YD, SIK
(2) Kompol Nurcholis, SIK
(3) Budi Yuniarsa
(4) Kompol. Agung Budijono SIK
b. Seksi Hiburan dan Konsumsi :
(1) Kompol. Ahmad Wiyagus, SIK
(2) Kompol. RZ. Gumay, SIK
(3) Kompol. Slamet Setiono, SIK
c. Seksi Dekorasi :
(1) Kompol. N.S. Wibowo, SIK
(2) Kompol. Guritno Wibowo, SIK
d. Seksi Dokumentasi dan Publikasi :
(1) Kompol.Prianto, SIK
(2) Kompol. Yasin K, SIK
e. Seksi Penerima Tamu
(1) AKP. Martireny, SIK
(2) Wicaksono
(3) Didi Zakaria
f. Seksi Keamanan

9
(1) Kompol. Ahmad Djamal, SIK
(2) Kompol. Erdy Adrimurlan, SIK
g. Pembantu Umum dan Perlengkapan (seminar kit)
(1) Kompol. Thomas Widodo, SIK
(2) Kompol. Yudi Kurniawan, SIK
(3) Kompol. Wawan Munawar, SIK
(4) Kompol. Yudiawan, SIK
8) Steering Committee (SC)
Ketua : Kompol. Drs. Mas Gunarso
Wakil Ketua : Kompol. Drs. Hudit Wahyudi
Kompol Chairul Azis, SIK.
a. Seksi Acara :
(1) Kompol. Dwi Irianto, SIK.
(2) Kompol. Eko Rudi, SIK.
(3) Kompol. Drs. Sofyan Nugroho
b. Seksi Peluncuran Buku :
(1) Kompol. Hudit Wahyudi, SIK.
(2) Kompol. Agung Yulianto, SIK.
(3) Kompol. Umar Efendi, SIK.
c. Seksi Perumus / Notulen
(1) Kompol. Handoyo, SIK. (merangkap seksi Yudisium)
(2) Kompol. Chaidir, SIK. (merangkap seksi Yudisium)
(3) Kompol. Bakharudin, SIK, MSi.
(4) Kompol. Haries Budiarto, SIK
(5) Kompol. Ismahyudin, SIK. (merangkap seksi Yudisium)
(6) Kompol. Agung Budiono, SIK.
f. Liaison Officer (LO)
(1) Kompol. Tony Harsono, SIK.
(2) Kompol. Ruslan Effendy, SIK
(3) Kompol. Budi Sajidin, SIK.

10
(4) Kompol. Nurcholis, SIK.
(5) Kompol. Beny Iskandar, SIK.
(6) Kompol. Dicky Patria Negara, SIK.
(7) Kompol. Helmy Santika, SIK.
e. Operator OHP
(1) Ujang Sudrajat
(2) M. Safei

5. Peserta Seminar :
1) Para Pejabat teras Mabes Polri
2) Para Kapolda
3) Rektor UI
4) Ketua Program Pascasarjana
5) Ketua Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian
6) Para Pejabat Teras PTIK
7) Para Pejabat Teras Lemdiklat
8) Para Pejabat Teras Akpol
9) Para Kapolres jajaran Polda Metro Jaya
10) Para Karo Pers.
11) Para Kapusdik
12) Para Ka SPN
13) Alumni dan Mahasiswa KIK-UI
14) Mahasiswa PTIK angk. 40 dan 41
15) Pasis Sespimpol
16) Pasis Selapa
17) Taruna Akpol
18) Siswa Secapa
19) LSM
20) Pengamat Kepolisian
21) Partai politik
22) STPDN/IIP

11
23) Perguruan Tinggi se Jakarta
24) Badan Akreditasi Akademi (BAA)
25) Depdiknas
26) Para undangan lainnya

6. Acara Seminar :
Hari : Rabu. 1 September 2004
Jam : 0.9.00 sampai selesai
Lokasi : Ballroom Hotel Hilton Jl. Sudirman Jakarta Pusat
Susunan Acara :
a) Registrasi
b) Pembukaan oleh Ketua Program Pasca Sarjana UI
c) Kata Sambutan:
(1) Sambutan Gubernur PTIK
(2) Sambutan Ketua Panitia
d) (Key note speaker) : Kapolri
e) Yudisium KIK Angktan VII
f) Pemberian Penghargaan
g) Rehat
h) Pembahasan materi dan tanya jawab sesi pertama
i) Isoma
j) Pembahasan materi dan tanya jawab sesi kedua
k) Penutupan Seminar oleh Ketua Program KIK

II. SAMBUTAN-SAMBUTAN
1. Pembukaan oleh Ketua PPS KIK-UI, Prof Mardjono Reksodiputro.
Pada akhir tahun 1995 dan awal tahun 1996, Program Pascasarjana Universitas
Indonesia melaksanakan serangkaian kegiatan untuk mendiskusikan

12
kemungkinan pembukaan suatu program baru. Program Studi Magister (S-2) ini
bernama Program Kajian Ilmu Kepolisian (disingkat Program KIK). Program baru ini
merupakan penegasan dan tindak lanjut dan kerjasama yang telah disepakati antara
Universitas Indonesia dengan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) semasa Kapolri Prof
Dr. Awaloedin Djamin. Kerjasama UI dengan PTIK ini ditandai dengan pengangkatan Prof.
Dr. Harsja Bachtiar sebagai Dekan PTIK tahun 1980.
Berbeda dengan PTIK yang masih tetap berada di dalam organisasi Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI), Program KIK ditempatkan di dalam organisasi Universitas
Indonesia (UI). Persiapan pembukaan program magister baru ini memerlukan waktu yang
cukup lama dalam pertemuan-pertemuan antara pihak Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, POLRI, UI, PTIK dan Program
Pascasarjana (PPs) UI. Disetujuinya pembukaan Program KIK-UI pada tahun 1996,
menandai pengakuan UI terhadap perlunya Ilmu Kepolisian dibina dan dikembangkan
sebagai suatu disiplin mandiri di lingkungan iklim ilmiah UI. Penamaannya sebagai Kajian
Ilmu Kepolisian juga menandai pengakuannya sebagai suatu bidang studi interdisiplin,
sebagaimana haInya dengan bidang studi kajian lainnya yang telah ada sebelum KIK.
Sekarang dalam tahun 2004 kita mengingat kembali masa lahir dan tumbuhnya
selama sewindu (8 tahun) KIK. Dalam usianya yang masih muda ini (dibanding dengan
program studi kajian lainya di PPs-UI), kita mensyukuri bahwa kerjasarna POLRI dengan UI
ini telah dapat menampung sembilan angkatan (angkatan IX tahun 2004) dan menyelesaikan
dengan baik studi mahasiswa dalam tujuh angkatan (angkatan VII, 2002-2004). Dalam kurun
waktu delapan tahun ini, Program KIK-UI telah menghasilkan 198 Magister Ilmu Kepolisian.
Sebagian besar berasal dari POLRI (purnawirawan dan aktif), tetapi ada juga yang bukan
berasal dari kepolisian (sarjana hukum, pengacara, wartawan, dIsbnya). Tentunya hal ini
sangat kita syukuri, namun kita perlu juga

13
menundukkan kepala kita mengenang sejumlah dosen, alumnus dan mahasiswa yang
telah wafat dalam masa sewindu ini.
Hasil yang baik yang telah dicapai Program KIK-UI adalah berkat adanya kerjasama
yang baik dengan POLRI. yang setiap tahun menyediakan beasiswa, dan dengan PTIK, yang
memberi kesempatan pada program KIK-UI untuk menyelenggarakan sebagian kegiatannya
di kampus PTIK, disamping penyelenggaraan kegiatan di kampus UI Salemba.
Program KIK-UI telah memulai pula program pendidikan doktor ilmu kepolisian (S-
3) sejak tahun 2001, Saat ini ada tiga angkatan dengan 17 peserta program. Diharapkan
bahwa dalarn waktu yang tidak terlalu lama, program ini dapat menghasilkan Doktor Ilmu
Kepolisiannya yang pertama. Semoga melalui rintisan di kampus UI ini dapat diwujudkan
dan ditingkatkan pemolisian dan POLRI yang profesional dan modern di Indonesia.

1. Sambutan Gubernur PTIK diwakili Direktur Akademik Brigjen Pol. Drs. Pudjianto Hadi.

Yth, Para Pembicara, Para Peserta Dan Hadirin Sekalian.


Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Pertama-tama, marilah kita memanjatkan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas rahmat dan karunia-Nya kita masih dipertemukan untuk bersama-sama hadir pada
acara Seminar dengan tema ”Ilmu Kepolisian Dan Profesionalisme Polri”.
Pada kesempatan yang baik ini, saya menyampaikan selamat datang kepada para peserta
seminar, sumbangan saran saudara sangat berharga untuk Pengembangan Ilmu Kepolisian
Dan Peningkatan Profesionalitas Kepolisian. Ucapan terima kasih setulusnya saya sampaikan
kepada para pembicara yang telah meluangkan waktu dan mencurahkan ide-ide Briliant
terhadap ilmu
14
kepolisian dan peningkatan profesi Kepolisian pada seminar hari ini. Juga terima kasih saya
berikan kepada seluruh panitia dan pendukung, serta seluruh Mahasiswa S2 Kajian Ilmu
Kepolisian, sehingga seminar ini dapat terselenggara.
Hadirin yang berbahagia.
Perjalanan delapan tahun (Sewindu) Pendidikan S2 Kajian Ilmu Kepolisian, kerjasama PTIK
UI telah menyelesaikan Etape pertama. Pada Etape ini banyak hal yang mewarnai perjalanan
Program Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) ini, mulai dari konsolidasi organisasi, penataan kurikulum
dan upaya peningkatan kualitas mahasisiwa peserta didik. Proses ini dilaksanakan dengan penuh
kesungguhan dan kedinamisan, dengan harapan mampu memberikan pemahaman yang komprehensif
bagi para Perwira Polisi dalam menjalankan profesinya.
Sejak Program S-2 KIK dibuka pada bulan September 1996, sampai hari ini program S-2
KIK telah meluluskan 198 mahasiswa yang terbagi dalam tujuh angkatan, sementara dua
angkatan berikutnya berjumlah 81 mahasiswa masih masa studi. Jumlah ini dibandingkan
dengan kebutuhan dan tuntutan profesi masih jauh dari harapan, oleh karena itu peluang
untuk memperdalam pengetahuan Ilmu Kepolisian melalui program ini sangat terbuka lebar
bagi para perwira Polisi.
Kita harus sadar bahwa permasalahan yang dihadapi Polri tidak selalu merupakan
permasalahan Matematika yang biasa diatasi dengan ilmi-ilmu alamiah dan pengetahuan
hukum. Kejahatan Konvesional dan kejahatan atas kekayaan negara relatif bias didekati
dengan pengetahuan ilmu-ilmu tertentu, tetapi berbicara hal kejahatan lintas negara, kita
harus mengacu pada berbagai disiplin ilmu kepolisian sebagai ilmu yang Interdisipliner.
Namun disadari pula penyelesaian konflik sosial yang kompleks seperti kasus Maluku, Poso,
ternyata tidak bias hanya diatasi secara sektoral melalui pendekatan Interdisipliner, tetapi
juga harus dilakukan secara lintas sektoral bersama instansi terkait. Kita sering kali
dihadapkan pada kondisi yang
15
Ambivalen, dalam hal demikian tidak ada satupun teori atau konsep maupun strategi yang
secara mandiri dapat menerangkan fenomena yang dihadapi kepolisian dalam pembinaan
keamanan dan penegakan hukum.
Terdapat masalah sosiologis yang mendasar dari sekadar kekurangan jumlah personel polri,
beberapa fakta sosial menunjukan bahwa dalam menjalankan tugas-tugas kepolisian
melayani masyarakat, justru sebagian besar hampir kurang mengedepankan pengetahuan
yang memadai padahal sebagai polisi kita ini menjadi bagian terdepan atau ‘Front Desk’
yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Sementara perwira yang cukup pengetahuan
dan pendidikan seringkali harus dibelakang meja. Fakta sosiologis ini menjadi problem yang
sulit dihindari. Pada hal citra kualitas dan profesionalisme polisi sebagai sebuah korps,yang
dirasakan adalah justru terletak pada prilaku polisi di ‘front desk’ ini.
Disinilah letak strategis penyelenggaraan KIK dimana profesionalisme bukan hanya
sekedar seni tetapi kedalaman ilmu menjadi ciri utama dalam membangun profesi Polri.
Diharapkan para Ilmuwan S-2 KIK mamapu menjadi ”Trickle Down Effect” bagi Personel
Polri di tingkat “front desk”. Keilmuan dan Profesionalisme Kepolisian memiliki korelasi
yang signifikan, Emile Durkheim sosiolog Perancis misalnya, mengembangkan teori tentang
masa depan masyarakat yang harus memerlukan ketajaman keahlian untuk memasuki dunia
profesi apapun. Alexander B. Smith, menemukan bahwa tingkat pendidikan seseorang Polisi
berkorelasi dengan sikap dan prilaku Otoritarian, semakin rendah tingkat pendidikan Polisi
akan semakin bersikap Otoriter. Penelitian saya pada tahun 1998 berhasil membuktikan
bahwa Variabel prilaku dan tindakan Polisi sangat signifikan ditentukan oleh pendidikan.
Semakin jelas di sini, bahwa kebutuhan ilmu pengetahuan kepolisian harus menjadi
bagian dari profesi seorang Polisi, karena dengan pengetahuan ini saudara-saudara mampu
mengidentifikasi dan memahami setiap permasalahan yang dihadapi serta dapat
mengembangkan alternatif-alternatif pemecahan yang
16
rasional, dengan memadukan sejumlah teori dan prinsip yang telah diperoleh. Dengan
jalan demikian para perwira Polisi diharapkan dapat mengambil keputusan tepat untuk
melakukan suatu tindakan Kepolisian.
Hadirin peserta seminar yang berbahagia.
Seorang Polisi ideal ke depan adalah Polisi yang mampu mengikuti dinamika masyarakat
dalam setiap perubahan untuk membangun demokrasi. Terminologi ini bukan sekadar urusan
posisi lembaga kepolisian dalam konstelasi politik, tetapi strategis terletak pada personel
Polisi dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan sanggup mempertanggungjawabkan
perilaku secara rasional dan argumentatif bentuk pertanggungjawaban ini merupakan bentuk
pertanggungjawaban ilmiah.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, pengembangan ilmu kepolisian menjadi tuntutan
medasar bagi pengembangan sumber daya manusia Polisi. Sekilas kita kontemplasi
(merenungkan kembali) pada pendapat Almarhum Prof. Harsja Bachtiar, bahwa ilmu
kepolisian merupakan ilmu multi bidang, terbentuk sebagai hasil pembangunan unsur-unsur
pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang sudah lama
merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Kedinamisan ilmu kepolisianpun mengalami
perkembangan sejalan dengan kedinamisan perubahan zaman, sehingga muncul konsep baru
yang diketengahkan oleh Prof. Parsudi Suparlan, PhD, bahwa ilmu kepolisian merupakan
ilmu pengetahuan yang pendekatannya anatar bidang (Interdiciplinary Approach). itulah
sebuah fakta tentang ilmu kepolisian yang penuh kedinamisan, kita sebagai generasi penerus,
bukan bermaksud untuk mendikotomi dua pandangan tersebut. Perkembangan ilmu
kepolisian tidak hanya dilakukan melalui teransformasi edukatif teori-teori ilmu yang ada ke
dalam permasalahan kepolisian.
Tuntutan pengembangan ilmu kepolisian harus merupakan upaya tanpa akhir, kita
harus terus menerus mulai dengan meneliti fenomena-fenomena
17
kepolisian guna menemukan generasi-generasi dalam bentuk pernyataan-parnyataan
ilmiah yang dikaitkan dengan teori-teori dari disiplin ilmu yang terkait.
Sebagai insan akademik kita perlu memahami dengan penuh kearifan dan bijaksana,
bahwa sercara rasional ilmu kepolisian ini akan terus berkembang menuju ke akta ilmiah dan
yang pasti tugas profesi polisi seperti diungkapkan oleh Alexander B. Smith di atas sangat
memerlukan ilmu pengetahuan kepolisian dalam implementasi tugas sehari-hari.
Hadirin yang berbahagia.
Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan dalam sambutan ini, saya sangat
mengharapkan seminar ilmu kepolisian dalam rangka Sewindu S-2 Kajian Ilmu Kepolisian
hari ini dapat menghasilkan ide-ide konstruktif dalam membangun sisitem kepolisian
berbasis Sumber Daya Manusia yang kompeten dan profesional. Selamat berdiskusi, semoga
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan bimbingan kepada kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
1. Sambutan Ketua Panitia, Kombes Pol Drs. Benny J. Mamoto, MSi.

Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, pada hari yang berbahagia ini kita dapat
berkumpul di gedung ini, dalam keadaan sehat wal'afiat, guna mengikuti acara seminar sehari
dalam rangka Sewindu KIK-UI tentang "Ilmu Kepolisian dan Profesionalisme Polri".
18
Dalam kesempatan ini saya sebagai ketua panitia menyampaikan terima kasih atas
kehadiran para hadirin, undangan, dan para pembicara sehingga seminar ini dapat berjalan
lancar sesuai rencana dan penuh keakraban.
Penyelenggaraan seminar ini di samping memperingati sewindu KIK-UI juga
bertujuan untuk membahas Implementasi Ilmu Kepo1isian dalam Organisasi PoIri dalam
rangka meningkatkan Profesionalismenya.
Sehingga Polri pada masa mendatang dapat berfungsi sebagaimana seharusnya dalam
menciptakan, memelihara maupun memperbaiki keteraturan sosial dalam masyarakat.
Dengan prinsip yang utama yaitu untuk melindungi harkat dan martabat manusia sebagai aset
utama bangsa dan senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Pekerjaan dan organisasi di sektor modern mulai berubah dari pekerjaan yang bersifat
craft menjadi pekerjaan yang berbasis pengetahuan (knowledge based works). Kebutuhan
sumberdaya manusia juga berubah ke arah pekerja yang berpengetahuan (knowledge
workers), karena itu pekerjaan yang bersifat rutin (meanigless repetitive task) mulai diganti
dengan tugas pekerjaan yang menekankan pada inovasi dan perhatian (innovation and
caring). Keterampilan dan keahlian tunggal mulai ditinggalkan diganti dengan
profesionalisasi dengan keahlian ganda. Di samping itu penugasan yang bersifat individual
mulai berubah menjadi pekerjaan tim (team work).
Hal tersebut sejalan dengan kebijakan dan strategi pimpinan Polri yang tertuang
dalam misi dan visi Polri yaitu menyatakan bahwa Polri adalah sebagai pelindung,
pengayom, pelayan masyarakat, dan penegak hukum.
Reformasi Polri yang menuju polisi sipil dan demokratis, yang peran dan fungsinya
adalah memberikan pelayanan keamanan dengan tujuan melindungi harkat dan martabat
manusia sehingga dapat melakukan produktivitasnya dengan aman. Dapat dikatakan peranan
fungsi Polri yang hakiki adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan
menyadari bahwa sumber daya manusia sebagai aset utama bangsa.
19
Seperti kita ketahui bahwa pekerjaan Polisi merupakan tugas yang kompleks tidak
dapat lagi sebagai craft (seni) tetapi sebagai profesi, dan dituntut untuk bekerja secara
profesional dalam melaksanakan tugasnya. Dalam rangka mencapai profesionalismenya para
anggotanya harus memiliki landasan ilmu pengetahuan.
Demikian sambutan saya pada kesempatan ini, dan tak lupa saya mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah dengan tulus dan iklas memberikan bantuan yang
tak ternilai sehingga dapat terselenggaranya seminar sehari dalam rangka sewindu KIK. Dan
semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan Taufik dan Hidayah-Nya kepada
kita sekalian dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk pengabdian kepada
masyarakat, bangsa dan negara.
Sekian dan terima kasih.
Wassalamu'alaikurn Wr.Wb.
1. Keynote Speaker: Kapolri diwakili Irwasum Polri, Komjen Pol. Drs. Binarto.

Yth - Ketua Program Pascasarjana UI


1. Ketua Program KIK
2. Para peserta seminar
3. Para hadirin dan undangan sekalian yang berbahagia

Assalamu ‘alaikum Wr.Wb.


Salam sejahtra bagi kita sekalian.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas limpahan rahmat dan ridho-Nya sehingga kita sekalian berada dalam keadaan sehat
wal’afiat dan dapat menghadiri seminar ilmu kepolisian dalam rangka Sewindu Kajian Ilmu
Kepolisian.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya selaku pimpinan Polri dan selaku pribadi,
menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada panitia
20
sewindu KIK-UI, atas undangan dan prakarsa menyelenggarakan seminar ilmu kepolisian
dalam rangka Sewindu Kajian Ilmu Kepolisian .
Para peserta seminar dan hadirin yang berbahagia.
Sebagaiman kita ketahui bersama, bahwa tantagan tugas Polri, baik saat ini maupun di masa
yang akan datang tidak akan terlepas dari pengaruh perkembangan lingkungan strategis, baik
yang bersekala nasional, regional maupun global. Pengaruh era globalisasi dan informasi
terasa menyentuh di segenap segi kehidupan bangsa, baik di bidang politik ekonomi, sosial
budaya, hukum, keamanan dan lain-lain yang berimplikasi pada terjadinya gejolak sosial
yang dapat mengganggu stabilitas keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Desakan issue keterbukaan demokratisasi dan HAM dalam masyarakat semakin marak dan
meluas, sehingga menyentuh lapisan masyarakat yang paling bawah, hal ini sering menjadi
masalah yang serius bagi pemerintah dan penegak hukum, dimana masyarakat cenderung
mengedepankan penyelesaian yang bersifat konfrontatif dari pada melalui saluran hukum
yang benar, apa yang mereka nilai tidak sesuai dengan harapan ditempatkan sebagai
penindasan, rekayasa, ketidakadilan, mafia pradilan, KKN dan lain-lain.
Namun demikian, pembangunan nasional juga telah menjadikan masyarakat memiliki sikap
cara berpikir dan berprilaku lebih modern, lebih kritis, lebih berorientasi pada kepentingan
serta tingkat kepercayaan kepada informasi media masa semakin tinggi, masyarakat tidak
mempan lagi ditakut-takuti oleh kekuasaan dan mitos, mereka sudah lebih rasional, namun
mudah dimanfaatkan bagi timbulnya desas desus dan kerusuhan.
Dengan gambaran masyarakat yang demikian, Polri dituntut memiliki kualitas personil dan
organisasi yang tidak semata-mata bertindak berdasarkan undang-undang, tetapi lebih
mempertimbangkan kepentingan pengendalian sosial; Gaya kepolisian harus berpihak kepada
kepentingan masyarakat banyak, dengan
21
petugas yang kreatif dalam menentukan pilihan-pilihan cara bertindak menghadapi masalah
atau ketegangan sosial yang timbul. Petugas dituntut mampu menindak sambil mengayomi
demi tegaknya hukum, ketertiban dan keadilan, disamping itu mampu menertibkan tanpa
menimbulkan kesan mengusik serta harus dapat memberikan pelayanan terhadap segala
kepentingan masyarakat tanpa harus merepotkan apalagi merugikan.
Dalam menghadapi masalah tantangan tersebut di atas, telah saya tetapkan visi Polri yaitu
Polri yang mampu menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, yang selalu dekat
dan bersama-sama masyarakat; penegak hukum yang profesional dan proporsional serta
menjunjung tinggi supremasi hukum dan HAM; pemelihara keamanan dan keteriban
masyarakat untuk mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang
demokratis dan masyarakat yang sejahtera, sehingga pembangunan Polri diarahkan menuju
polisi sipil (civilian police). Sejalan dengan itu, penyadaran akan pentingnya peran serta
masyarakat dalam upaya pembinaan kamtibmas mendapat perhatian yang seksama, sehingga
tumbuh kesadaran akan tanggung jawab bersama dalam menggelola upaya pemeliharaan
kamtibmas dan penegakan hukum yang sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing, serta
akan dibarengi dengan pemahaman dan pengertian atas berbagai kendala keterbatasan yang
dihadapi oleh intitusi Polri dalam upaya peningkatan profesionalismenya.
Di samping itu, pengalaman membuktikan bahwa pengemban profesi kepolisian tidak hanya
di tuntut mampu mengambil keputusan secara tepat, tetapi juga keputusan yang arif, berarti
nilai-nilai moral dan etika harus terus dipupuk serta dikembangkan dalam kehidupan setiap
anggota kepolisian.
Para peserta seminar yang berbahagia.
Dalam rangka mencapai profesianalisme kepolisian harus didukung oleh perbaikan aspek-
aspek lainnya yaitu:
1. Aspek hukum/perundang-undangan
22
a. Hukum dan perundang-undangan sudah ada, tetapi masih ada di antara aturan/undang-undang
yang satu bertentangan dengan aturan/undang-undang yang lainnya, bahkan ada ketentuan yang
statusnya di bawah bisa bertentantgan/mengalahkan aturan yang lebih tinggi.
b. Masih banyak uandang-undang/peraturan/hukum positif merupakan produk zaman Belanda yang
sudah tidak mampu mengakomodir perkembangan situasi yang ada.
c. belum lengkapnya undang-undang/peraturan yang dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah –
masalah yang berkembang.

d. masih adanya ketentuan perundang-undangan yang pembuatanya berpihak


kepada peguasa, sehingga menggakibatkan lemahnya dan adanya keragu-
raguan dalam menegakkan peraturan tersebut.
2. Aspek Penegak Hukum Lainnya.
1. Status masing-masing intitusi penegak hukum (penyidik/Polri, penuntut umum/jaksa,
pengadilan/hakim) masih sangat bervariasi dan belum menunjukan kesetaraan.
2. Pembagian tugas dan tanggung jawab hukum, khususnya intitusi penyelidik masih ada yang
dirangkap bahkan oleh intitusi penuntut umum serta intitusi di luar CJS.
3. Kinerja dan profesionalisme dari masing-masing instansi penegak hukum masih dirasakan lemah dan
selalu ketinggalan dengan dinamika dan perkembangan masyarakat /teknologi /informasi.
4. 3. Aspek Masyarakat.
5. Kemajemukan masyarakat baik dari sisi adat/hukum tingkat pengetahuan dan pengguasaan hukum.
6. Kondisi sosial ekonomi yang masih sangat tajam perbedaan antara simiskin dan sikaya.

23
Lemahnya pengendalian/control sosial oleh masyarakat yang selama ini tidak dibangun,
namun di era reformasi ini kontrol masyarakat yang tergelar sangat luas, dimana terkadang tidak
terkendali.

Keadaan seperti yang saya uraikan tersebut di atas kalau tidak segera ditangani dan
diakomodasikan secara serius, maka akan sangat berpengaruh terhadap usaha membangun
polisi yang profesional dan mandiri, sehingga jelas juga berpengaruh terhadap kinerja Polri
itu sendiri, namun demikian Polri akan tetap mengoptimalkan kinerjanya dan secara simultan
berupaya mendorong terutama yang melibatkan kerjasama dan keterpaduan dengan
fungsi/instansi lainya.
Para peserta seminar dan hadirin sekalian yang terhormat.
Penerapan ilmu kepolisian hanya sebagaian kecil dari masalah kepolisian, karena
kompleksitas masalah Polri dalam melaksanakan pemolisiannya harus dilaksanakan dengan
kemampuan dan sikap yang profesional. Sedangkan profesionalisme Polri dapat terwujud
dengan kesiapan dari aparat kepolisian itu sendiri (SDM POLRI, sarana dan prasarana serta
anggaran) didukung oleh aspek-aspek lainnya seperti: Aspek hukum/perundang-undangan
dan masyarakat itu sendiri, kesiapan aparat di sini berarti personel-personel Polri mempunyai
kemampuan yang memadai, dengan jumlah personel pada ratio perbandingan dengan jumlah
penduduk 1 : 400 (tingkat internasional). Mempunyai sarana dan prasarana pendukung yang
cukup memadai, serta yang sesuai dengan kebutuhan .
Disamping itu perlu diimbangi pula dengan figur kepemimpinan Polri pada setiap level,
Dalam arti memiliki sifat kepemimpinan yang utuh dan mampu memotivasi dan
menggerakan anggotanya untuk senantiasa hadir dan siap melaksanakan trugasnya, bersih
dari KKN jujur dan adil serta memiliki wawasan yang luas konsepsional. Strategis serta
mampu menjalin komunikasi dan koordinasi dengan pemimpin intansi terkait, memiliki ide-
ide cemerlang dalam
24
melaksanakan tugasnya serta senantiasa konsisten dalam setiap langkah ucapan dan tindakan.
Perserta seminar dan hadirin sekalian yang saya hormati.
Dari uraian tersebut di atas, ingin kembali saya tegaskan bahwa untuk mencapai
profesionalisme Polri tidak cukup hanya dengan meningkatkan ilmu kepolisian saja, tetapi
profesionalisme tersebut dapat terwujud atas kesiapan aparat kepolisian itu sendiri didukung
a oleh aspek-aspek lainnya, seperti masyarakat itu sendiri.
Akhirnya, demikianlah sambutan saya, selamat melaksanakan seminar, semoga dapat
menghasilkan solusi dan rekomendasi yang tepat dan aplikatif bagi Polri dalam
melaksanakan misinya, untuk melaksanakan tugasnya dan peranya dalam rangka
terpeliharanya kamdagri.
Sekian dan Terimakasih.
Wassalamu’ alaikum Wr. Wb.
III. RANGKUMAN HASIL SEMINAR SESI I
1. Prof. Awaloedin Djamin, MPA. (Sejarah Pendidikan Tinggi Kepolisian di Indonesia).
Pendidikan tinggi adalah tingkat pendidikan di atas pendidikan menengah termasuk
yang terdapat di luar lembaga-lembaga Perguruan Tinggi yang diatur dalam perundang-
undangan. Perguruan Tinggi di Indonesia terdiri atas: 1.Akademi, 2. Poli Teknik, 3. Sekolah
Tinggi, 4. Institut, dan 5. Universitas.
Dengan demikian, SELAPA (dulu Sekkopol), SESPIM (dulu SESKOPOL) ditambah
dengan SESPATI adalah pendidikan tinggi yang tidak termasuk dalam arti "Perguruan
Tinggi".
25
Dalam undang-undang Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan Akademi,
Politeknik dan D3 adalah pendidikan profesi, sedangkan Sekolah Tinggi, Institut, dan
Universitas adalah pendidikan akademis.
Pengertian umum tentang "profession" dan "professionalisme", antara lain:
a. menggunakan teori ilmu pengetahuan untuk pekerjaan,
b. keahlian yang didasarkan pada pendidikan dan pelatihan berjangka panjang,
c. pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya,
d. memiliki otonomi dan cara mengontrol perilaku. anggota profesi.

Ilmu pengetahuan pun membagi "pure science" dan "applied science". Semua bidang
profesi, pada umumnya memiliki etika profesi masing-masing. Demikian pula kepolisian.
Hampir semua kepolisian di dunia memiliki rumusan etika secara tertulis dan seperti semua
etika, diharapkan agar semua anggota tidak melanggar kode etik dan bersikap, dan
berperilaku sesuai etika profesi masing-masing. Sering pula "code of ethics" disebut "code of
conduct".
Pada tanggal 17 Juni 1946 didirikan “Polisi Akademi”, kemudian berganti menjadi
Akademi Polisi. Setelah pengakuan kedaulatan, ibukota. RI kembali ke Jakarta, termasuk
Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN). Kepala Kepolisian Negara, para guru besar, setelah
membahas keberadaan Akademi Polisi, menetapkan untuk meningkatkan Akademi Polisi
menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) yang resmi dibuka tahun 1950, yaitu
perguruan tinggi kedinasan dengan memberikan gelar doctorandus (Drs.), mengikuti sistem
pendidikan tinggi Belanda.
Buat pertama kali istilah "ilmu kepolisian” digunakan di Indonesia secara resmi. Ini
merupakan momentum bersejarah dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Para guru
besar dari Universitas Indonesia yang terkenal waktu itu seperti Prof. Djokosutono, Prof
Sunario Kolopaking (kemudian menggunakan
26
nama Sunario Sanyatawijaya), Prof. Sumitro Djojohadikusumo, Prof. Prijono, Prof
Satochid, Prof. Noach, Prof. Beerling, dan lain-lain adalah guru besar-guru besar PTIK.
Perkuliahan sebagian besar digabung dengan Universitas Indonesia, terutama Fakultas
Hukum.
Walaupun PTIK dengan ilmu kepolisian diprakarsai oleh guru-guru besar terkenal
Indonesia waktu itu dengan Ketua Dewan Kurator Sultan Hamengku Buwono IX, dengan
anggota-anggota antara lain Menteri Dalam Negeri, Ketua Mahkamah Agung, keberadaan
ilmu kepolisian masih diperdebatkan di kalangan perguruan tinggi Indonesia.
Keberadaan PTIK dan ilmu kepolisian ini baru dituntaskan waktu penulis menjabat
KAPOLRI pada tahun 1979, setelah bersama Menteri P&K Daud Yusuf membentuk tim
gabungan Departemen P&K, Universitas Indonesia dan Polri, untuk membahas secara
mendalam tentang ilmu kepolisian.
Dalam SK bersama Menteri P&K dan KAPOLRI ditetapkan bahwa Universitas
Indonesia menjadi Pembina Akademik dari PTIK dan Dekan PTIK dijabat oleh Guru Besar
Universitas Indonesia yang diangkat oleh Menteri P&K setelah konsultasi dengan
KAPOLRI. Kemudian Departemen P&K menetapkan Universitas Diponegoro sebagai
pembina akademik Akademi Polisi.
Dekan pertama yang diangkat dan dilantik Menteri P&K adalah Prof. Dr. Harsya W.
Bachtiar (alm.). Dalam upacara pelantikan Dekan Prof Dr. Harsya Bachtiar, Menteri P&K
menyampaikan pidato tentang ilmu kepollsian. Dekan PTIK bertangug jawab di bidang
akademis dan Gubernur PTIK dijabat oleh perwira tinggi aktif Polri dan bertanggung jawab
di bidang kemahasiswaan dan pembinaan (Pada tahun 1950-an jabatan Gubernur itu disebut
Sekretaris PTIK kemudian Administratur PTIK).
Waktu Prof Dr. Harsya W. Bachtlar ditarik ke Departemen P&K oleh Menteri Fuad
Hasan untuk menjabat Kepala Badan Penelitian dan
27
Pengembangan, kemudian Prof Awaloedin yang telah pensiun diangkat sebagai
Dekan PTIK menggantikan Prof Harsya selama 15 tahun.
Dalam perundang-undangan mengenai Sistem Pendidikan Nasional, AKPOL dan
PTIK termasuk perguruan tinggi kedinasan, karena itu diarahkan pada kebutuhan personil
Polri.
Kepolisian modern, khususnya Polri sebagai, kepolisian Nasional dari negara yang
besar dan multi kultural, memerlukan pengetahuan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan,
disamping lembaga-lembaga pendidikan yang diadakan Polri sendiri. Karena Polri yang
pertama memperkenalkan Ilmu Kepolisian (PTIK tahun 1950), maka Polri harus ikut
bertangung jawab bagi pengembangan ilmu kepolisian seperti ilmu-ilmu lainnya.
Semenjak permulaan tahun 80-an PTIK mengusahakan agar ilmu kepolisian dapat
dikembangkan sampai S2 dan S3, tapi karena waktu itu hanya beberapa Perguruan Tinggi
Negeri yang diperbolehkan mengadakan pendidikan pascasarjana, maka penulis bersama
Prof. Harsya Bachtiar (alm.) menghubungi Universitas Indonesia. Mulanya, yang diharapkan
pascasarjana ilmu kepolisian dapat menjadi “program studi", tapi karena prosedurnya yang
berbelit-belit disepakati ilmu kepolisian merupakan kajian di lingkungan pascasarjana UI.
Dengan kerjasama Polri dengan UI, maka dimulailah Program Kajian Ilmu
Kepolisian, diselenggarakan di Kampus PTIK pada tahun 1996. Sekarang KIK-UI telah
mulai dengan program S3. Setiap angkatan Polri menyediakan beasiswa untuk program KIK-
UI.
UI harus menjaga mutu tamatan KIK, agar secara defacto dan dejure ilmu kepolisian
terus berkembang di Indonesia dan dimanfaatkan terutama oleh Polri sendiri, namun juga
terbuka untuk umum.
Di luar KIK-UI telah banyak pula perwira Polri, baik secara pribadi atau yang ditugas
belajarkan mermiliki gelar S1, S2 dan S3, baik dari perguruan tinggi
28
dalam negeri ataupun luar negeri. Jumlah tamatan luar negeri masih sedikit sekali
apalagi yang mendapat gelar S3 (Doktor).
Dalam era reformasi, setelah Polri pisah dari ABRI, pembangunan Polri cukup
berarti, baik pembangunan sarana dan prasarana, maupun penambahan jumlah personil.
Prestasi Polri dalam menangani terorisme terutama Bom Bali dan Hotel Merriott dapat
dibanggakan menurut ukuran dunia. Hal ini telah menaikkan citra Polri dan Indonesia di luar
negeri.
Tantangan internal yang penting dan mungkin yang terberat adalah di bidang
pengorganisasian, tata cara kerja dan sistem manajemen personalia atau SDM, dimana sistem
manajemen pendidikan merupakan bagian integral yang penting.
Bila Polri dapat menata diri semua dalam 5 tahun mendatang, maka keberadaan Polri
yang professional, Polri sebagai pelindung dan pelayan masyarakat akan lebih dirasakan oleh
seluruh rakyat Indonesia.
2. Prof. Mardjono Roksodiputro, SH, MA. (Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di
Indonesia).
Perkembangan ilmu kepolisian di Indonesia tentunya tidak dapat dipisahkan dari
pendidikan kepolisian di Polri. Pendidikan dalam masa Republik Indonesia dapat dimulai
dari pembentukan Akademi Polisi tanggal 17 Juni 1946. Setelah pengakuan kedaulatan
Desember 1949, maka Akademi Polisi pindah ke Jakarta dan sejak 1 September 1950 diganti
namanya menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Kalau sebelumnya para mahasiswa
berasal dani anggota polisi dan dari umum (luar organisasi polisi), maka sejak 1951
dinyatakan bahwa hanya pegawai kepolisian yang diterima sebagai mahasiswa (sejarah
Kepolisian, 1999, h, 74-75;122-124;Harsja W, Bachtiar, 1994, h.51,57).
29
Dalam staf pengajar PTIK ini terdapat sejumlah gurubesar yang tergabung dalam
dewan gurubesar dengan ketua Prof. Mr. Djokosoetoeno, gurubesar Ilmu negara, Tatanegara
dan Filsafat Hukum di Universitas Indonesia.
Dari lintasan sejarah ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa istilah “ilmu kepolisian”
mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1950 dan hanya dipergunakan untuk pendidikan
tingginya.
Dalam tahun 1994, Harsja W. Bachtiar, gurubesar Sosiologi dan Sejarah Masyarakat,
mantan Dekan PTIK (1980-1987), mengeluh tentang langkanya terbitan ilmiah dalam bahasa
Indonesia untuk bidang ilmu kepolisian. Menurut beliau kenyataan ini harusnya mendorong
kita untuk "... berusaha jauh lebih banyak agar Ilmu Kepolisian ... dapat sungguh-sungguh
disejajarkan sama, dengan pengetahuan keahlian profesi-profesi yang sekarang ini jauh lebih
maju..."(h. 34 - 36). Hanya dua tahun setelah tulisan itu terbit (dan satu tahun, setelah tahun
1995 beliau wafat), Universitas, Indonesia secara serius menanggapi pemikiran Harsja W.
Bachtiar dengan mendirikan Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) pada Program
Pascasarjananya dalam tahun 1996.
Berbeda dengan PTIK (pendidikan Sarjana) yang pada mula (1950-an) kurikulumnya
masih berfokus pada pengetahuan hukum, maka KIK (sebagai pendidikan Magister Ilmu
Kepolisian) sudah memindahkan perhatiannya pada ilmu-ilmu sosial.
Dalam Era Reformasi sekarang ini, dimana kita ingin membangun bersama "polisi-
sipil", maka kajian ilmiah (scientific studies) tentang kepolisian dan pemolisian sangat
diperlukan. Perkembangan pengetahuan ilmu kepolisian akan dapat membantu kajian itu,
khususnya kalau kita melihat pada kenyataan kemajemukan masyarakat Indonesia dan makin
kompleksnya permasalahan masyarakat kita ini.
Sebagai fakta, maka "ilmu kepolisian" ada di Indonesia dengan dipergunakannya kata
ini dalam nama PTIK, sejak 1950. Namun usaha untuk
30
menguraikan secara ilmiah keberadaan ilmu kepolisian ini sebagai suatu disiplin
tersendiri, baru dilakukan dalam tahun 1994 dalam buku Harsja Bachtiar, “Ilmu Kepolisian.
Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan yang Baru”. Dalam hal. 16 Harsja Bachtiar berpendapat
bahwa "Ilmu Kepolisian ... yang baru, terbentuk sebagai hasil penggabungan unsur
pengetahuan yang berasal dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang sudah lama...".
Dikatakan selanjutnya bahwa "Ilmu Kepolisian lambat laun menjelma menjadi suatu cabang
ilmu pengetahuan (discipline) yang baru dan yang mempuyai identitas tersendiri..."
Pada bagian pertama kutipan di atas, memang ilmu kepolisian (yang baru) dilihat
sebagai pengetahuan dengan pendekatan "multi-bidang", namun dalam bagian kedua dari
kutipan di atas, kita dapat menafsirkan bahwa dalam perkembangannya di Indonesia, ilmu
kepolisian akan "menjelma" dengan "identitas tersendiri", sehingga menjadi suatu
pengetahuan dengan pendekatan antar-bidang (interdisiplin).
Sekarang, sepuluh tahun setelah terbitnya buku Harsja Bachtiar dan sewindu setelah
berjalannya pendidikan Magister Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia, dapatlah kita
mulai lebih mengembangkan lagi dan mengisi Ilmu Kepolisian Indonesia melalui permikiran
Parsudi Suparlan. Suparlan melihat ilmu kepolisian sebagai ilmu pengetahuan yang
mempergunakan pendekatan antar bidang dan mempelajari masalah-masalah sosial dan isyu-
isyu penting serta pengelolaan keteraturan sosial dan moral dari masyarakat, ... upaya-upaya
penegakan hukum dan keadilan, dan ... teknik-teknik penyidikan dan penyelidikan berbagai
tindak kejahatan serta cara-cara pencegahannya" (TOR, Seminar Ilmu Kepolisian, h. 4).
Suatu pekerjaan hanya dapat dinamakan profesi, apabila pekerjaan itu memerlukan
sejumlah kemahiran (skill) dan pengetahuan (knowledge) yang khusus, dan didasarkan pada
persiapan akademik dalam ilmu pengetahuan tertentu.
31
“Profesionalisme polisi” mengacu pada adanya sejumlah kemahiran dan pengetahuan
khusus yang menjadi ciri pelaku, tujuan dan kualitas (conduct, aims and qualities) pekerjaan
polisi.
Profesionalisme polisi tidak dapat dilepaskan dari peranan yang diharapkan oleh
masyarakat tentang apa yang merupakan tugas pokok kepolisian (sebagai organisasi).
Pendekatan polisi pada menyelesaikan masalah (dinamakan juga “peace-keeping
orientation”) akan lebih memfokuskan hubungan polisi-masyarakat pada apa yang dapat
dikerjakan bersama, sebagai mitra-kerja, saling membantu dalam kemitraan.
3. lrjen Pol. Dr. Farouk Muhammad (Implementasi Ilmu Organisasi sebagai cabang
dari ilmu kepolisian dalam menganalisa organisasi Polri).
Kepolisian pada hakikatnya lahir bersamaan dengan kebutuhan masyarakat akan
ketentraman dan ketertiban serta kepatuhan atas norma sosial yang berlaku di dalam
lingkungan masyarakat. Kepolisian sebagai suatu kekuatan dibentuk setelah pranata informal
tidak mampu mengatasi masalah-masalah, gangguan keamanan dan ketertiban serta
pelanggaran hukum sehingga merupakan kendala bagi upaya pencapaian kesejahteraan
masyarakat.
Organisasi dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya, dan hanya organisasi yang bisa
beradaptasi secara tepat terhadap tuntutan lingkungan yang akan dapat mencapai
keberhasilan.
Dalam sebuah organisasi setidaknya ada dua dimensi yang saling berkaitan. Pertama
adalah Dimensi Struktural : Dimensi ini menggambarkan karakteristik internal suatu
organisasi dan dapat dijabarkan ke dalam beberapa karakteristik :
1. Formalisasi, menunjukkan tingkat penggunaan dokumen tertulis dalam organisasi,

32
1. Spesialisasi, menunjukkan derajat pembagian pekerjaan dalam organisasi,
2. Standarisasi, menggambarkan derajat kesamaan dalam pelaksanaan kerja,
3. Sentralisasi, menunjukkan pembagian kekuasaan menurut tingkatan (hirarki) dalam
organisasi,
4. Hirarki Otoritas, menggambarkan pola pembagian kekuasaan serta rentang kendali secara
umum,
5. Kompleksitas, menunjukkan banyaknya kegiatan dalam organisasi (kompleksitas vertikal dan
horizontal),
6. Profesionalisme, menunjukkan tingkat pendidikan formal ataupun tidak formal rata-rata
anggota organisasi,
7. Konfigurasi, menunjukkan bentuk pembagian anggota organisasi ke dalam bagian-bagian
baik secara vertikal maupun horizontal.

Kedua adalah Dimensi Kontekstual: Dimensi ini menggambarkan karakteristik


keseluruhan suatu organisasi yang mencakup lingkungannya:
1. Ukuran Organisasi, menunjukkan jumlah anggota (personil) organisasi,
2. Teknologi, menunjukkan jenis dan tingkat teknologi dari sistem suatu organisasi,
3. Lingkungan, menggambarkan keadaan semua elemen lingkungan yang berpengaruh terhadap
organisasi.

Analisis terhadap organisasi dilakukan mulai dari sistem yang paling besar menuju
kearah sistem yang paling kecil, di mana tingkatan sistem tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sistem lingkungan,
2. Sistem organisasi secara keseluruhan,
3. Sistem bagian organisasi,

33
1. Sistem kelompok dan individu.

Konsep organisasi Polri harus mengakomodasi kepentingan-kepentingan sebagai


berikut:
1. Akuntabilitas publik.
2. Perlindungan korban termasuk remaja, anak dan wanita.
3. Perlindungan HAM tersangka.

Beberapa langkah untuk mengakomodir kepentingan tersebut telah dilakukan oleh


Polri, seperti telah adanya pemikiran akan dibentuknya Komisi Pengawas Polri (KPP) yang
akan mencerminkan bahwa Polri adalah organisasi yang terbuka, dimana unsur masyarakat
menjadi bagian dari anggota KPP tersebut. Selain itu salah satu bentuk pelayanan Polri dalam
memberikan perlindungan korban adalah adanya Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang
ditujukan pada korban kekerasan rumah tangga, kekerasan seksual dan perlakuan salah pada
anak (child abuse).
Isu sentral yang biasanya mewarnai setiap kebijakan peninjauan kembali Polri adalah
tentang pemilihan tipe organisasi, yaitu antara tipe staf umum, tipe direktorat atau modifikasi.
Tipe staf umum pernah digunakan oleh Polri pada awal era integrasi. Walaupun ada dua
alternatif yang diperdebatkan, yaitu tipe staf umum dan tipe direktorat, namun masyarakat
pada umumnya menekankan susunan organisasi Polri yang mampu menyajikan pelayanan
yang optimal kepada masyarakat (tingkat Polres) sementara masing-masing tipe yang
diperdebatkan mengandung kelebihan dan kekurangan.
Gagasan ideal dalam mengembangkan organisasi Polri memang perlu, namun gagasan
itu harus pula bersandar pada kondisi obyektif yang dihadapi Polri. Kondisi obyektif SDM
yang mempengaruhi organisasi Polri antara lain :
34
Pertama, secara kuantitas jumlah anggota Polri masih jauh dari kebutuhan. Dengan
kondisi obyektif seperti itu pengembangan organisasi Polri secara besar-besaran, merupakan
gagasan yang kurang bijaksana.
Kedua, kemampuan teknis kepolisian masih belum optimal. Upaya untuk mengatasi
kondisi itu tentu saja melalui pendidikan dan pelatihan.
Ketiga, Motivasi dan etos kerja masih rendah. Pada organisasi apapun baik di dalam
maupun luar negeri, motivasi dan etos kerja selalu dikaitkan dengan aspek remunerasi
(imbalan), peluang (opportunity), karir, pendidikan, dan lain-lain, serta jaminan-jaminan
yang bisa diberikan organisasi.
IV. RANGKUMAN HASIL SEMINAR SESI II
1. Prof. Parsudi Suparlan, Ph.D. (Polisi Dalam Masyarakat Majemuk Indonesia)
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society). Masyakat majemuk
adalah sebuah sebuah masyarakat-negara yang terwujud dari dipersatukannya masyarakat-
masyarakat sukubangsa oleh sistem nasional menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara.
Masyarakat majemuk Indonesia adalah produk sejarah.
Masalah yang paling kritikal dalam masyarakat majemuk adalah hubungan antara
sistem nasional atau pemerintahan nasional dengan masyarakat-masyarakat sukubangsa yang
dipersatukan dan diatur kehidupannya.
Masalah kritik yang kedua yang ada dalam corak masyarakat majemuk adalah, ada
dan mantapnya jenjang sosial budaya dan kelas sosial berdasarkan pada ciri-ciri golongan
sosial askriptif (sukubangsa, ras, gender) dan atribut-atributnya yaitu kebudayaan dan
keyakinan keagamaan. Jenjang sosial dan kelas sosial yang dibangun dalam masyarakat
majemuk ini menghasilkan berbagai stereotip dan prasangka yang dipunyai oleh golongan
yang di atas atau dominan terhadap mereka berada, dalam posisi di bawah atau minoritas.
Produk
35
dari dibangunnya stereotip dan prasangka dalam masyarakat majemuk yang menjadi
landasan dari segmentasi dalam masyarakat berdasarkan atas, kesukubangsaan dan keyakinan
keagamaan juga berkembang dan mantap dalam masyarakat Indonesia. Bahkan pemerintahan
presiden Suharto telah membangun kekuasaannya berdasarkan atas prinsip kesakubangsaan
Jawa dan Feodalisme.
Ideologi multikulturalisme diadopsi untuk membangun masyarakat hidonesia menjadi
masyarakat multikultural. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan
kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan kebudayaan. Multikulturalisme bermula dari
konsep-konsep yang digunakan sebagai acuan untuk memahami dan memecahkan dan
menangani berbagai permasalahan yang muncul di negera-negara Barat setelah selesainya
Perang Dunia ke-2.
Multikulturalisme menawarkan adanya saling pemahaman dan penghargaan diantara
kelompok-kelompok sukubangsa, ras, dan gender. Melalui saling pemahaman mengenai
kebudayaan-kebudayaan mereka yang hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Melalui
saling pemahaman ini diharapkan tidak akan ada lagi berbagai steoretip yang membedakan
secara tajam antara "kami" dari "mereka", dimana "kami" adalah yang unggul atau supenior
dan "mereka" adalah yang asor. Menghilangnya stereotip akan menghilangkan prasangka
yang biasanya menjadi acuan dari diskriminasi, dan konflik dengan kekerasan yang
dihasilkan oleh kebencian (hate crime).
Ilmu Kepolisian dan pemolisian muncul dan berkembang sebagai respons terhadap
berbagai corak permasalahan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dan komuniti-
komuniti yang dilayaninya.
Dalam kecenderungan Polri dewasa ini untuk menerapkan pemolisian komuniti
(community policing) di Indonesia maka muncul kesadaran akan adanya keanekaragaman
sukubangsa dan keyakinan keagamaan dalam komuniti-komuniti atau masyarakat setempat,
baik pada tingkat pedesaan.
36
Untuk itu maka salah satu dari sekian tugas penting polri dalam masyarakat majemuk
Indonesia, dan sesuai dengan visi dan misinya, adalah membuat kebijakan “penegakan
hukum multikultural”. Kebijakan ini mencakup dua wilayah kebijakan, yaitu kebijakan
internal dan kebijakan eksternal.
Kebijakan internal adalah kegiatan-kegiatan ke dalam tubuh organisasi Polri, yang
mencakup penyebaran informasi mengenai apa itu multikulturalisme dan. berbagai konsep-
konsep yang mendukungnya, pemahaman mengenai keberagaman sukubangsa dan.
Keyakinan keagamaan dan kebudayaan dalam masyarakat majemuk Indonesia dan berbagai
dampak negatifnya, meniadakan tindakan-tindakan yang memihak yang dilakukan oleh
personel Polri pada sesuatu sukubangsa atau sesuatu kelompok keyakinan keagamaan dalam
kompetisi atau konflik yang terjadi karena kompetisi politik, sosial, dan ekonomi,
meniadakan sikap-sikap stereotip dan. prasangka yang terwujud dalam tindakan-tindakan
pemolisian dan memperlakukannya sebagai sebuah pelanggaran kode etik Polri. Melalui
kebijakan ini, dan yang didukung oleh pemantapannya secara institusional atau melalui
pranata-pranata yang ada dalam tubuh Polri, diharapkan profesionalisme. Polri yang kita
dambakan akan dapat terwujud dan citra Potri sebagai pengayom dan pelindung yang
memberi rasa aman pada warga masyarakat dapat terlaksana.
Secara eksternal, berbagai bentuk kebijakan pemolisian untuk masing-masing
wilayah administrasi kepolisian dibuat oleh pimpinan satuan-satuan wilayah administrasi
kepolisian. Corak kebijakan yang dibuat tergantung pada corak keanekaragaman masyarakat
yang ada dalam wilayah yang bersangkutan dan corak kehidupan sosial, politik. ekonomi,
dan budaya yang ada setempat. Secara umum setidak-tidaknya ada lima kategori corak
wilayah dan keanekaragamannya, yaitu:
1. Wilayah-wilayah yang secara relatif homogen dan secara sosial teratur dan stabil
37
2. Wilayah-wilayah yang secara relatif homogen, tetapi terdapat konsentrasi dari para
pendatang di daerah perkotaan dan pusat-pusat pelayanan hiburan. Seperti
pulau Bali.
3. Wilayah-wilayah yang secara sukubangsa dan keyakinan keagamaan bercorak
heterogen atau beranekaragam, dengan berbagai potensi konflik yang ada di
dalamnnya. Misalnya, Kabupaten Pontianak, propinsi NTB, Papua dan propinsi
Riau.
4. Wilayah-wilayah yang pemah dilanda oleh konflik antar-sukubangsa dan
antarkeyakinan keagamaan, yang mengembangkan dan memantapkan hate
crime terhadap kelompok sukubangsa atau keyakinan keagamaan lainnya dan
terhadap para pendatang baru. Seperti kabupaten Sambas, propinsi Kalimantan
Tengah, Ambon dan Maluku.
5. Wilayah-wilayah yang sedang dilanda konflik antar-sukubangsa dan
antarkeyakinan keagamaan seperti yang terjadi di propinsi Sulawesi Tengah;
dan di Aceh yang dikarenak-an oleh adanya pemberontakan GAM.
Polri telah merekrut putra daerah, yaitu mereka yang dilahirkan dan dibesarkan di
wilayah administrasi kepolisian setempat dari berbagai asal sukubangsa dan keyakinan
keagamaan. Bersama dengan kekuatan organik yang telah ada di setiap Polsek dan Polres,
para bintara ini akan dapat menjalankan peranan sebagai polisi multikultural mengingat
bahwa mereka adalah petugas dari daerah yang bersangkutan dan yang mengenal dengan
baik warga masyarakat dan kebudayaanya.
Dalam pelaksanaan tugas di lapangan tersebut petugas kepolisian harus dapat
membebaskan diri dari stereotip dan prasangka, dan tidak boleh memihak kepada mereka
yang sekerabat atau yang berasal dari daerah yang sama dengan dirinya, atau mereka yang
sukubangsanya sama dengan kesukubangsaannya.
38
Petugas kepolisian di lapangan harus tetap berpegang teguh pada Tri Brata dan pada
peranannya sebagai penegak hukum yang harus bertindak adil.
2. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo (Perubahan Paradigma Perpolisian di Indonesia).
Perpolisian adalah fungsi dari masyarakat serta, perkembangan masyarakat. Dengan
demikian perpolisian bersifat progresif yang setiap saat melakukan penyesuaian (adjustment)
terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat yang dilayaninya. Dewasa ini perpolisian
(policing) di Indonesia menghadapi suatu perubahan yang bersifat paradigmatis.
Lebih dari lima puluh tahun yang lalu, pada waktu itu Komisaris Besar Polisi
Soekanto, Kepala Kepolisian Indonesia yang pertama, pernah mencanangkan perlunya
dilakukan perubahan paradigmatis dalam kepolisian Indonesia, yaitu dari polisi kolonial
menjadi polisi dari suatu negara merdeka.
Sesudah reformasi, Polri dihadapkan pada suasana perubahan paradigmatis.
Perubahan paradigmatis yang terjadi sekarang ini sesungguhnya bernuansa mendekonstruksi
suatu perubahan "semiparadigmatis" yang terjadi beberapa puluh tahun sebelumnya, yaitu
saat polisi Indonesia disatukan dengan militer.
Secara sosiologis Polri juga memiliki stratifikasi sosialnya sendiri. Polisi-polisi yang
mengalami pendidikan PTIK dan KIK (magister), merupakan populasi dari golongan
menengah polisi Indonesia. Institusi seperti KIK boleh diandalkan menjadi avant garde
dalam pembaruan kepolisian dan perpolisian di negeri kita. Dalam hubungan ini, maka KIK
sebaiknya tidak hanya merupakan tempat pembelajaran untuk memperoleh gelar magister,
tetapi juga suatu laboratorium pemikiran kepolisian, bahkan mungkin suatu think tank.
39
Polisi sipil dikatakan sebagai "polisi dari rakyat untuk rakyat". Kedekatan dengan
rakyat, menjadi ciri penting polisi sipil. Dimanapun di dunia, polisi digolongkan sebagai
kekuatan para-militer. Ini membuatnya harus bekerja keras untuk bisa "moving away from
military configuration". Polisi sipil lebih diwakili oleh "pelayanan" (service) daripada
kekuatan (force). Banyak pikiran atau hal yang harus menjalani dekonstruksi sebelum sampai
kepada pelayanan, termasuk teori-teori perpolisian.
Kita mengetahui ada berbagai teori dan konsep dalam perpolisian. Untuk mengaitkan
dengan masalah yang sedang kita bahas, maka teori tersebut dapat dibedakan dalam dua
golongan.
Golongan pertama boleh disebut teori konvensional, ia menegaskan polisi sebagai
kekuatan yang menonjolkan kehadiramya sebagai polisi dan sebagai aparat penegak hukum
(law enforcemew official). Kompleks perpolisian disitu berciri:
a. kontrol hukum,
b. skenario represif,
c. berbasis teori hukum, dan
d. bersifat teraputik (therapeutic).

Golongan kedua menunjukkan karakteristik yang berseberangan dengan yang


tersebut pertama, yaitu :
a. kontrol oleh masyarakat atau self-help,
b. skenario humanistik,
c. berbasis teori altruisme, dan
d. bersifat konsiliatori (conciliatory).

Polisi sipil adalah polisi masa depan. Konstalasi tersebut berhubungan dengan
kecenderungan sosial-politik Indonesia yang menuju kepada demokrasi dan pembangunan
civil society.
40
3. Irjen Pol Drs. E. Winarto H, S.H, Msi (Strategi Membangun Polri sebagai Polisi Sipil
yang Profesional dan Demokratis)
Polri sebagai salah satu bagian dari mesin birokrasi pada sistem pernerintahan, untuk
menjalankan fungsi tugasnya Polri menemukan beberapa faktor pendorong dalam
membangun ataupun melakukan perubahan internal pada, konteks reformasi antara lain:
a. Lahirnya Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri, serta Tap MPR No.
VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan Polri.
b. Lahirnya UU No. 2 Tabun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang
menggantikan Undang - undang No. 28 Tahun 1997.
c. Munculnya berbagai aturan perundangan yang mendukung operasionalisasi dari UU No. 2 Tahun
2002 seperti UU Perbankan, UU Korupsi, UU Ketenagakerjaan, UU Telekomunikasi d1l.
d. Kemudian munculnya Lembaga-lembaga kontrol terhadap pelaksanaan tugas Polri seperti DPR,
BPK, KPK, Komisi Kepolisian Nasional (KKN), LSM, publik dan pengamat Kepolisian yang
tugasnya yaitu :
1) Mengawasi pelaksanaan tugas keamanan ketertiban masyarakat sesuai batasan kewenangan serta
perannya yang diatur dalam Tap MPR No. VI dan VII.
2) Mengawasi pelaksanaan fungsi Kepolisian yang telah diatur oleh UU No. 2 Tahun 2002
(memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan hukum).
3) Mengawasi bagaimana pengunaan anggaran yang diperoleh dari rakyat untuk menjalankan fungsi
operasional maupun pembinaan Kepolisian.

41
e. Dorongan masyarakat Internasional dalam memberikan penghormatan terhadap
hak asasi manusia dengan memperhatikan harkat dan martabat manusia dalam
melakukan tindakan hukum terhadap tersangka ataupun korban dengan
memperhatikan hak dan kewajibannya.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi Polri:
A. Paradigma
1. Struktur pada saat posisi Polri masih berintegrasi dengan ABRI (masa lalu)
maka Polri pada saat ini memiliki ciri-ciri :
a) Secara struktural atasan yang lebih tinggi adalah Mabes ABRI.
b) Dalam menangani masalah-masalah keamanan, khususnya yang
berkaitan dengan aspek penegakan hukum (represif) dilakukan
secara gabungan dan dibantu penuh oleh TNI.
c). Peran ABRI bergerak pada domain pertahanan (defence) dan
keamanan (Security) (baik pertahanan wilayah / teritorial atau
keamanan ketertiban umum).
2. Perilaku yang dibentuk :
a) Kurikulum pendidikan dengan filosofi "Dwi Warna Purwa
Cendikia Wusana" dan belum dapat mewujudkan perilaku Polri
yang "Mahir, Terpuji dan Patuh Hukum" sebagai filosofi
pendidikan Polri saat ini.
42
b) Penegakan hukum dengan pola represif masih lebih
dikedepankan daripada mengedepankan pola perlindungan,
pengayoman maupun pelayanan masyarakat.
c) Partisipasi masyarakat masih kurang mendapatkan respon
secara baik (Community Policing) dan masih mengedepankan
hukum dengan pendekatan respresif.
B. Sumber Daya Manusia
1. Kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan usia pensiun menjadi 48 tahun
untuk Bintara dan 55 tahun Perwira.
2. Rumusan Jakstra PoIri 2004 di bidang pendidikan tersirat bahwa "sekolah
untuk memintarkan personel" bukan untuk mendapatkan jabatan.
3. Orientasi perbandingan Polisi dengan penduduk sampai dengan akhir tahun
2004 tercapainya angka ratio 1 : 750.
4. Rekrutmen Polri masih mencari bentuk yang pas, baik pada penerimaan
Akpol. PPSS ataupun Bintara guna menyaring calon anggota Polri yang
memiliki kepribadian sebagai pelindung, pengayom dan pelayanan
masyarakat.
5. Pembenahan bidang struktural, instrumental dan kultural masih dihadapakan
pada permasalahan geografi, demografi, kualitas sumber daya manusia
dan masalah kebangsaan.
C. Dukungan materil dan anggaran berupa (transportasi, mobilitas, komunikasi pada
fungsi operasional maupun pembinaan Kepolisian) belum memadai.
43
D. Secara eksternal belum tumbuhnya rasa kepercayaan masyarakat (trust) kepada Polri dalam
menjalankan tugasnya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan serta penegak hukum.

Gambaran strategi serta kenyataan pelaksanaan kegiatan pembinaan personil Polri, dalam
menuju polisi sipil yang profesional dan demokratis sejalan dengan kebijakan Kapolri di
bidang sumber daya manusia antara lain:
Pertama: Proses seleksi yang diadakan untuk merekruit SDM Polri di laksanakan secara
seobyektif mungkin, bila perlu menggunakan jasa lernbaga yang idenpenden untuk
menentukan seleksi dari calon polisi, dengan menggunakan standar yang tinggi dan ketat dan
pelaksanaan proses seleksi yang jujur.
Kedua: Dalam hal pendidikan yang sangat mendasar adalah melakukan perubahan filosofi
pendidikan dari Dwi Warna Purna Cendikia Wusana yang melahirkan prajurit pejuang dan
pejuang prajurit menjadi Mahir, Terpuji dan Patuh Hukum, yang berorientasi kepada
Paradigma pendidikan yaitu pendidikan Sistematik-Organik menuntut pendidikan bersifat
double tracks. Artinya pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan dan dinamika masyarakatnya.
Ketiga: Selain itu juga bekerjasama dengan Negara donor untuk memberikan peralatan dan
pelatihan-pelatihan yang diarahkan pada pekerjaan polisi sipil. Seperti kerjasama dengan
IOM (International Organization for Migration) program difokuskan pada perbaikan
kurikulum. dan bahan ajaran di SPN-SPN serta melatih instruktur HAM.
Keempat: Polri yang berorientasi pasar, di era globalisai sekarang ini dalam. memberikan
jasa atau pelayanan kepada masyarakat. Polri melihat atau berorientasi pada pasar (apa yang
menjadi harapan atau tuntutan masyarakat/apa yang sedang menjadi trend di masyarakat
terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah Kamtibmas).
44
Kelima: Polri yang Desentralisasi : Dalam menuju Polri yang mandiri salah satu sasarannya
adalah Polri yang utuh dari Mabes sampai tingkat pos polisi dan Polri tetap dalam bentuk
polisi nasional mengingat negara RI adalah negara kepulauan yang terpisah-pisah dan dengan
adanya polisi nasional akan mempermudah dalam memberikan back up ataupun pergeseran
pasukan.
V. PENUTUP
1. Dalam era reformasi, pembangunan Polri mengalami perubahan yang cukup signifikan. Yang
harus diperbaiki dalam menuju Polri sebagai polisi sipil yang profesional, modern, dan
demokratis secara internal organisasi Polri adalah di bidang pengorganisasian tata cara kerja dan
sistem manajemen sumber daya manusia, dimana sistem manajemen pendidikan merupakan
bagian integral yang penting.
2. Untuk membangun “polisi-sipil”, diperlukan kajian ilmiah (scientific studies) tentang kepolisian
dan pemolisian. Ilmu kepolisian merupakan landasan untuk menyelesaikan berbagai masalah
yang semakin kompleks melalui perubahan paradigma pemolisiannya, yaitu dari pemolisian
konvensional yang antagonis menuju pemolisian yang proaktif, problem saving (protagonis).
3. Profesionalisme polri merupakan landasan/dasaran agar Polri mampu menyajikan pelayanan
yang optimal kepada masyarakat, sehingga dapat berfungsi sebagaimana seharusnya, serta
mendapatkan tempat dan dukungan dari masyarakat (polisi cocok dengan masyarakat).
4. Ilmu kepolisian muncul dan berkembang sebagai respon terhadap berbagai corak permasalahan
yang muncul dan berkembang dalam masyarakat dan komuniti-komuniti yang dilayaninya.
Untuk itu, salah satu tugas penting Polri dalam masyarakat majemuk Indonesia, dan sesuai visi
dan misinya, membangun kebijakan pemolisiannya dalam masyarakat multikultural.

45
1. Polisi sipil adalah polisi masa depan yang lebih diwakili oleh “pelayanan” (service) daripada
kekuatan (force). Konstalasi tersebut berhubungan dengan kecenderungan sosial-politik
Indonesia yang menuju kepada demokrasi dan pembangunan civil society.

2. Membangun Polri sebagai polisi sipil yang profesional dan demokratis dititikberatkan pada
pembinaan sumber daya manusia Polri melalui pendidikan dan pelatihan, sehingga mampu
merespon kebutuhan masyarakat dan pemolisiannya mendapatkan kepercayaan serta dukungan
dari masyarakat.

Jakarta, 2 September 2004


KETUA PANITIA SEMINAR
BENNY JOZUA MAMOTO, SH, MSi.
46

You might also like