You are on page 1of 14

Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

TASHARRUFUL IMAM ‘ALA AL RA’IYYAH MANUTUN BI AL MASLAHAH


(Telaah Konseptual) 1
Oleh: Arif Lutviansori (05410215) 2

A. Pendahuluan
Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah pada
dasarnya tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya
diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal
antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja
dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang
bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-
nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam
yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
Beberapa kaidah yang “bersifat individu” dalam beberapa kesempatan
sebelumnya telah banyak dibahas. Diantaranya kaidah tentang niat (al umuuru
biaqashidiha), al yaqiinu la yuzalu bi al syak, dan lain-lain. Beberapa kaidah tersebut
merupakan kaidah yang “bersifat individu. Dalam kesempatan ini, kaidah yang akan
menjadi obyek pembahasan adalah kaidah yang tidak hanya melibatkan satu pihak
individu saja, tetapi dalam implementasi kaidah ini melibatkan banyak pihak, karena
dalam penerapannya, kaidah ini sering digunakan dalam fiqh siyasah.
Seperti yang diketahui bahwa fiqh siyasah adalah hukum Islam yang obyek
bahasannya mengenai kekuasaan dan bagaimana menjalankan kekuasaan tesebut.
Apabila disederhanakan, fiqh siyasah meliputi Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi
Negara, Hukum Internasional. 3 Apabila dilihat dari sisi hubungan, fiqih siyasah berbicara
tentang hubungan antara rakyat dengan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di
dalam sebuah Negara atau antarnegara atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik
nasional maupun internasional. 4
Dalam analisis mengenai kaidah ini, terdapat dua kata yang saling terkait, yang
pertama yaitu tasharrul imam (kebijakan pemimpimn) dan yang kedua adalah al
maslahat (maslahat). Tetapi dari dua hal tersebut terdapat kata kunci yang menentukan
arah dari konsep kebijakan yersebut, yaitu maslahat..Oleh karena itu, hal pokok yang
menjadi kajian dalam permasalahan ini adalah bagaimana sebenarnya konsep maslahat,
dimana maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan mengantarkan kepada sebuah

1
Makalah dipresentasikan dalam kuliah klasikal mata kuliah qawa’id al fiqhiyyah, dosen pengampu
Muhsin Ahmad, MA. Makalah akan disajikan dengan banyak menganalisis masalah-masalah konseptual
yang terdapat dalam suatu kaidah Hukum Islam (Islamic Legal Maxim), sehingga pembahasan ini akan
lebih mengarah pada kajian doktrinal dan teoritis.
2
Santri Pondok Pesantren UII, sedang masa studi di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
3
Hukum-hukum yang ada dalam ruang lingkup siyasah adalah melupti permasalahan publik, sehingga
pelaksanaanya mengenai pengaturan antara pemerintah dengan masyarakat secara umum. Misalnya Hukum
Adminstrasi Negara, ruang lingkup kajan hukum ini adalah mengenai administrasi yang langsung
bersinggungan antara pemerintah dengan masyarakat, misalnya membahas mengenai masalah perijinan,
masalah lingkungan dan lain-lain. Sedangkan untuk Hukum Tata Negara sendiri mengatur bagaimana
dalam menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan konstitusi yang berlaku, misalnya bagaimana
pengeturan mekanisme mengenai pelaksanaan pemilu.
4
H.A. jazuli. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Pernada Media group, hal; 147

1
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

munculnya kebijakan yang akan dibuat oleh seorang pemimpin. Ketika kita
memperhatikan kaidah tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al malahat yang
berarti bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada
kemaslahatan, maka ada dua kata yang tidak hanya memerikan makna secara retorik saja,
tetapi dua kata yang sekaligus memberikan gambaran dan batasan serta suatu konsep
yang dimaksud. Dua kata tersebut adalah tasharruful imam (kebijakan dari seorang
pemimpin) dan al maslahat (kemaslahatan). Maka dalam hal ini akan lebih banyak
mengkaji tentang bagaimana konsep kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan
tehadap pembuatan suatu kebijakan.

B. Analisis Kaidah Fiqih Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyyah Manutun Bi Al


Maslahah
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kaidah ini merupakan kaidah yang
mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan
antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Perlu diketahui
makna dari kaidah tersebut, kaidah yang berbunyi tasharruful imam ‘ala al ra’iyyati
manuutun bi al maslahat mempunyai pengertian retorik (harfiyyah) kebijakan seorang
pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat.
Lebih jauh dari sekedar pengetian retorik tersebut, maka ada pengertian yang
lebih luas adalah segala aspek kehidupan yang meliputi kepentingan rakyat dalam suatu
kelompok atau golongan tertentu harus ditetapkan dengan mekanisme syura
(musyawarah). Hal ini sebagai terjemahan dari pernyataan kaidah tesebut yang
menekankan pada aspek kemaslahatan, karena metode musyawarah adalah salah satu
bentu yang riil untuk mencapai dan medapatkan suatu kemaslahatan untuk bersama. Hal
ini yang juga ditekankan dalam firman Allah QS. As Syura ayat 38 yang berbunyi;
t⎦⎪Ï%©!$#uρ (#θç/$yftGó™$# öΝÍκÍh5tÏ9 (#θãΒ$s%r&uρ nο4θn=¢Á9$# öΝèδãøΒr&uρ 3“u‘θä© öΝæηuΖ÷t/ $£ϑÏΒuρ öΝßγ≈uΖø%y—u‘ tβθà)ÏΖム∩⊂∇∪
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.

Sebuah contoh yang bisa dijadikan sebagai referensi bagi berlakunya asas tersebut
adalah apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Sa’in bin
Mansur; “sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti
kedudukan seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil
daripadanya, jika aku dalam kemudahan aku mengembalikannya, dan jika aku
berkecukupan maka aku menjauhinya. 5
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mengedepankan aspek
kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya, atau keinginginan
keluarganya atau kelompoknya. Kaidah ini juga diperkuat dengan QS. Annisa ayat 58
yang berbunyi;

5
Ibid.

2
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

* ¨βÎ) ©!$# öΝä.ããΒù'tƒ βr& (#ρ–Šxσè? ÏM≈uΖ≈tΒF{$# #’n<Î) $yγÎ=÷δr& #sŒÎ)uρ ΟçFôϑs3ym t⎦÷⎫t/ Ĩ$¨Ζ9$# βr& (#θßϑä3øtrB ÉΑô‰yèø9$$Î/ 4 ¨βÎ) ©!$#

$−ΚÏèÏΡ /ä3ÝàÏètƒ ÿ⎯ÏμÎ/ 3 ¨βÎ) ©!$# tβ%x. $Jè‹Ïÿxœ #ZÅÁt/ ∩∈∇∪


Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha Melihat. 6
Salah satu contoh lain dijelaskan dalam kitab al asybah wa al nadhair. Syeh
Imam Jalaluddin Abdurrrahman bin Abi Bakr As suyuti mengungkapkan contoh yang
sederhana, bahwa dalam suatu Negara apabila ada keinginan untuk menghilangkan
tentara dalam anggaran program kenegaraan dengan alasan yang dibolehkan maka hal itu
diperbolehkan, tetapi kalau sekiranya alasan yang akan digunakan sebagai landasan
peniadaan hal tesebut tidak diperbolehkan atau bahkan tidak dalam kategori penting dan
dharurat maka peniadaan tersebut tidak diperbolehkan. Kemudian contoh yang lain
adalah soal pembagian zakat, seorang imam atau pemimpin yang masih dalam keadaan
mampu tidak boleh mengutamakan dirinya dalam menerima zakat dari pada rakyat yang
notabene lebih memutuhkan. 7
Dalam konteks kontemporer, kaidah tersebut tentunya tidak boleh terlepas dari
jiwa seorang pemimpin. Oleh karena itulah setiap kebijakan yang mengandung manfaat
dan maslahat bagi rakyat maka itulah yang direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan,
dan dinilai/ dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya kebojakan yang mendatangkan
mudharat dan mafsadah bagi rakyat, itlah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam
upaya-upaya pemabangunan misalnya, membuat irigasi untuk petani, membuka laangan
kerja yang padat karya, melindungi huta lindung, menjaga ligkungan, mengangkat
pegawai yang benar-benar amanah dan professional dan lain sebagainya.
Dalam mendukung kaidah tersebut, tentu diperlukan kaidah pelengkap yang bisa
mendukung dan sejalan dalam pemaknaan terhadap kaidah tersebut. Diantara kaidah-
kaidah yang diperkukan untuk mendukung kaidah tersebut adalah kaidah yang berbunyi;
ikhtiyarul amstal fal alstal (memilih yang representative dan lebih representative lgi).8
Kaidah ini memberikan gambaran kepada sikap yang harus diambil dan
diimplementasikan oleh seorang pemimpin dalam membuat sebuah kebijakan, yaitu harus

6
Ayat tersebut berbicara mengenai pemberian amanat kepada orang yang memang layak untuk menerima
amanat tersebut dan juga ayat tersebut memberikan penekanan terhadap pentingnya penegakan hukum
dalam satu kalangan masyarakat. Hal ini menjadi satu bagian penting dalam pembahasan kemaslahatan
yang hendak dicapai dalam suatu lingkungan masyarakat. Mengenai keadilan ini, filsafat Aristoteles
mengatakan bahwa keadilan dibagi menjadi dua, pertama adalah keadilan distributive dan keadilan
commutative. Keadilan distributive memberikan gambaran untuk memberikan keadilan sesuai dengan
haknya masing-masing, dengan kata lain kemaslahatan fardiyyah dan bukan kemaslahatan secara umum.
Tapi keadilan commutative memberikan keadilan secara umum kepada siapa saja. Salah satu prinsip
keadilan yang merupakan bagian dari kemaskahatan menajdi satu teori yang dianut oleh Islam dalam
menentukan kebijakan hukum Islam.
7
Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr As sutuyi. 1965. Al asybah wa al nadhair. Surabaya: Al Hidayah,
hal; 83
8
Ibnu Taimiyyah. 1967. Al siyasah al sar’iyyah fi islahi wa al ra’yah. Saudi Arabia: Dar Al kutub Al arabi,
hal; 14

3
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

dilakukan dan dipilih mana yang representative untuk bisa dilaksanakan terlebih dahulu.
Artinya memang kebutuhan masyarakat yang sedemikian banyak, mana yang lebih
representative untuk dilaksanakan dan diprioritaskan lebih dulu.
Di samping mengenai substansi yang hendak dicapai dari sebuah kemaslahatan
yang ada, maka pada dasarnya terdapat factor lain yang memberikan kontribusi terhadap
itercapainya sebuah maslahat. Diantaranya adalah factor mekanisme system kekuasaan
dan jalannya pemerintaha yang sistematis. Misalnya dalam fiqh siyasah, terdapat
pembagian kekuasaan sejak zaman kekhalifahan. Pembagian kekuasaan it uterus
berkembang maka kemudian muncul berbagai lembaga kekuasaan dalam sebuah Negara.
Ada khalifah (presiden)sebagai lembaga kekuasaan eksekutif (al hai’ah al tanfidhiyyah),
dan lembaga legislative atau alh al halli wa al aqdi (al hai’ah al tasyri’iyah) dan lembaga
yudikatif (al hai’ah al qadhaiyyah), bahkan lembaga pengawasan (al hai’ah al
muraqabah).
Mengenai permasalahan ini, maka dalam kaidah hukum Islam terdapat kaidah
yang bebrunyi al wilayah al khassah aqwa min al wilayah al ‘ammah (kekuasaan yang
lebih khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan umum). 9 Maksud kaidah
tersebut adalah bahwa lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya daripada
lembaga-lembaga yang umum. Contohnya: camat lebih kuat kekuasaanya dalam
wilayahnya daripada gubernur , wali nasab lebih kuar kekuasaannya terhadap anak-
anaknya dari pada pengadilan agama dan seterusnya.
Pada intinya dalam kaidah inti yang tertulis dalam judul makalh ini adalah bahwa
segala sesuatu yang menyangkut kepentingan umum, maka harus dicarikan solusi
terbaiknya demi kemaslahatan. Solusi terbaik yang dapat ditawarkan bisa meliputi
substansi dari permasalahan yang sedang dibahas dan mekanisme dalam pelaksanaannya.
Ibarata dalam sebuah system hukum maka ada hukum formil dan hukum materiil yang
tidak boleh lepas salah satunya. Lalu kemudian pertanyaannya adalah, maslahat yang
seperti apa yang mengikat seorang pemimpin untuk selalu memasukkan konsep tersebut
dalam pertimbangan utama atau prioritas utama dalam mengambil setiap kebijakan?

C. Analisis Konsep Maslahat


C.1. Teori At Tufi tentang Maslahat
Beberapa pandangan dan konsep mengenai maslahat yang ada sebenarnya telah
disampaikan oleh banyak dari kalangan para pakar di bidangnya, tetapi karena batasan
yang ada maka dalam kesempatan kali ini kajian akan lebih difokuskan pada salah satu
konsep atau teori tentang maslahat yang disampaikan dan dikemukakan oleh Najmuddin
An Tufi. Diantara beberapa pandangan beliau tentang konsep maslahata adalah sebagai
berikut.
Pengertian Maslahat.
Dalam pandangan at-Tufi Bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan maf'alatun
dari kata salah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan
kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan untuk
menulis. Pedang dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk memenggal.
Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanya maslahat dan
manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai keuntungan. Pengertian

9
Asymuni A Rahman. 1976. Kaidah-kaidah Fiqh, cet 1. Jakarta: bulan bintang, hal, 132.

4
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada
maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian, maslahat ini terbagi menjadi
dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak syari', yakni ibadat dan
apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan,
seperti adat istiadat. 10

Bidang Hukum Berlakunya Maslahat at-Tufi


Mengenai lapangan hukum mu'amalat dan yang sejenisnya, dalil yang diikuti
adalah maslahat. Maslahat dan dalil-dalil syari'at lainnya, terkadang senada dan terkadang
bertentangan. Jika senada, memang hal itu baik seperti senadanya antara nas, ijma' dan
maslahat mengenai ketetapan hukum daruri yang berjumlah lima. Hukum-hukum kulli
yang daruri itu ialah dibunuhnya orang yang membunuh, dibunuhnya orang yang murtad,
pencuri dipotong tangannya, peminum dihukum dera dan orang yang menuduh orang
baik berbuat zina harus dijatuhi hukuman hadd, dan contoh-contoh lain yang serupa
dalam hal dalil-dalil syari'at senada dengan maslahat. Jika ternyata tidak senada dan
bertentangan, jika ada kemungkinan dipadukan harus dilakukan perpaduan antara nas,
ijma' dan maslahat. Misalnya, jika terdapat sebagian dalil yang mempunyai kemiripan
dengan maslahat, lakukanlah antara dalil dan maslahat itu sesuatu pemaduan. Syaratnya,
tidak boleh mempermainkan dalil, dan maslahat yang dituju harus benar-benar hakiki.
Jika ternyata di antara keduanya tidak bisa dipadukan, yang didahulukan adalah maslahat
atas dalil-dalil syari'at lainnya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, la darara wa la dirara.
Makna hadis ini khusus dimaksudkan untuk menghilangkan mudarat untuk memelihara
maslahat yang menjadi tujuan utama hukum syari'at, sehingga wajib didahulukan.
Sedangkan dalil-dalil lainnya, tidak ubahnya sebagai sarana. Jadi, tujuan harus
didahulukan daripada sarana. 11
At-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah-masalah yang
berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenis - bukan pada masalah-masalah yang
berhubungan dengan ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak Syari'.
Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik
kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi
Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh
Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat
jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa
saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat. Karenanya,
ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai menolak syari'at, Allah
swt. amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka
sangat menyesatkan. Berbeda halnya dengan kaum mukallaf, hak-hak mereka di dalam
memutuskan hukum adalah perpaduan antara siyasah dan syari'ah yang sengaja oleh
pencipta dicanangkan untuk maslahat umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir
mereka.
Kami tidak mengatakan bahwa syari'at lebih mengetahui maslahat-maslahat
manusia karena dalil-dalilnya harus diambil dan diamalkan sesuai dengan pengertiannya.

10
Najamuddin at Tufi. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. al-Maslahat fi
at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian Lampiran) Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, hal; 243
11
Yusdani. 2006. At tufi dan Teorinya tentang Maslahat. Artikel Internet. Tanggal 8 Novemer 2007, Pukul
12.30.

5
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

Kami menetapkan bahwa maslahat adalah termasuk salah satu dalil syari'at, bahkan boleh
dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya kami lebih mendahulukan
maslahat.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah menurut at-Tufi bahwa maslahat-maslahat
yang tidak dapat diketahui adalah maslahat yang terkandung di dalam masalah ibadat.
Namun, mengenai maslahat yang bertalian dengan kehidupan sosial kaum mukallaf dan
hak-hak mereka, hal ini dapat diketahui oleh mereka melalui akal pikiran mereka.
Dengan kata lain, jika kami tidak melihat dalil syari'at yang tidak menyebutkan
maslahatnya, kami berpegang bahwa syari'at telah membolehkan kami untuk mencari
maslahat sendiri.

C.2. Kriteria dan Batasan Maslahat


Kemaslahatan membawa manfaat bagi kehidupan manusia, sedangkan mafsadah
mengakibatkan kemudharatan bagi kehidupan manusia. Apa yang disebut dengan
maslahat perlu mendapat criteria dan batasan-batasan tertentu sehingga keberadaan
maslahat tidak dijadikan sebagai satu “tempat lindung” untuk bisa melegalisasi
permasalahan-permaslahan yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat.
Menurut jumhur ulama’, untuk criteria maslahat apabila dilihat akan muncul sebagai
beikut.
1. kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al syariah, dalil-dalil
kulli, (general dari Al Qur’an dan As Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah
hukum Islam.
2. kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian yang
akurat, hinga tidak meragukan lagi.
3. kemaslahatan itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia, bukan sebagian masyarakat kecil.
4. kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti
dapat dilaksanakan. 12
Tetapi dalam musyawarah Nasional MUI yang ke VII tahun 2005, dalam
keputusannya No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 memberikan riteria sebagai berikut.
1. kemaslahatan menurut hukum Islam adalah tercitanya tujuan syari’ah (maqashid al
syari’ah), yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer (al
dharuriyyat al khamsah), yaitu: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
2. kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at adalah kemslahatan yang tidak
betentangan dengan nash
3. yang berhak menentukan maslahat atau tidaknya sesuau menurut syari’ah adalah
lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syari’ah dan dilakukan melalui
ijtihad jam’i. 13

Maslahat dan Batasan- Batasannya

Para ahli ushul fiqh membagi maslahat menjadi tiga macam, yaitu: maslahah
mu'tabarah, maslahah mulghah dan maslahah mursalah. Maslahah mu'tabarah adalah
maslahat yang terdapat pada hukum yang ditetapkan oleh nash, seperti maslahat pada

12
Al Jazuli. 2003. Fiqh siyasah, cetakan kdua. Jakarta: Prenada Media, hal; 53
13
Sekretaris MUI. 2005. Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI tahun 2005. hal; 156

6
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

hukum qishash. Hukum ini ditetapkan oleh surat Al-Baqarah ayat 178 dan 179. Hikmah
dari maslahat yang ditimbulkan oleh qishash ialah meles-tarikan hidup manusia. Begitu
juga maslahat yang terdapat pada hukum potong tangan pencuri dan maslahat yang ada
pada hukum Had al-qadzaf (hukuman seseorang yang menuduh berzina).
Semua maslahat ini telah diterangkan dalam Nash Al-Qur'an. Jadi, memotong
tangan pencuri itu sendiri merupakan maslahat dan ia disebut maslahat mu'tabarah karena
maslahat itu bersumber dari syariah.
Sedangkan maslahah mulghah adalah maslahat yang dianggap invalid oleh
syariah atau dengan kata lain bahwa maslahat itu merupakan maslahat yang
keberadaanya diingkari oleh syariah, seperti maslahat zina. Kenikmatan yang didapat dari
zina, secara material bisa disebut maslahah tetapi ia dibatalkan oleh sya-riah melalui
nash-nash yang ada. Demikian juga maslahat riba, minum arak dan lain sebagainya.
Adapun maslahah mursalah ialah maslahat yang keberadaanya secara langsung
tidak ditetapkan oleh nash tetapi sekaligus juga tidak ada nash yang dengan jelas
membatalkannya. Seperti keharusan untuk membuat akte nikah bagi kedua pasangan
yang melakukan akad nikah. Karena tanpa akte nikah, hakim atau pemerintah tidak
menerima gugatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Akte nikah dalam
hal ini disebut maslahat mursalah. Contoh lain ialah pengumpulan Al-Qur'an oleh Abu
Bakar yang kemudian dibukukan oleh penerusnya, Utsman.
Di antara ketiga maslahat ini hanya maslahat mu'tabarah saja yang disepakati
ulama sebagai maslahat yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu hukum.
Sedangkan dalam maslahat mursalah, para ulama terbagi dalam tiga golongan.
Golongan pertama berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak boleh menjadi dalil
(argumentasi) suatu hukum. Golongan kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah
boleh dijadikan dalil suatu hukum. Sedangkan golongan ketiga berpendapat bahwa
maslahat mursalah boleh dijadikan sebagai dalil dari suatu hukum dengan syarat bahwa
suatu maslahat terkandung dalam maslahat dharuriat (primer), qhathiyah (pasti) dan
kulliyah (menyeluruh). 14
Yang dimaksud dharuriat ialah maslahat yang masuk dalam bagian maqashid
syariah yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dan yang dimaksud
dengan qhatiyyah ialah maslahat yang terjadi dengan pasti dan tanpa diragukan lagi.
Sedangkan maslahat kulliyah ialah suatu maslahat yang luas dan menyeluruh daya
jangkaunya.
Contoh dari maslahah mursalah yang dharuriah qath'iyah kulliyah ini ialah suatu
kasus di mana pasukan kafir mengepung wilayah Islam. Untuk berlindung dari serangan
tentara Islam, mereka menjadikan para tawanan muslim sebagai perisai hidup. Dalam
kasus seperti ini, membunuh para tawanan muslim yang dijadikan perisai hidup disebut
maslahah mursalah. Kasus ini telah memenuhi tiga kriteria yang disyaratkan di atas.
Kriteria dharurah dalam kasus tersebut adalah memelihara agama. Penyerangan
orang kafir terhadap negara Islam sudah barang tentu akan mengganggu eksistensi agama
dan umat Islam. Kriteria qath'iyyah juga terdapat dalam kasus ini, yaitu perkiraan bahwa
seandainya para tawanan muslim dan tentara kafir tidak dibunuh, sudah pasti pasukan
kafir tersebut akan menguasai semua wilayah Islam. Dan yang terakhir adalah kriteria
kulliyah, yaitu seandainya para tawanan muslim tidak dibunuh, maka justru ketika

14
A. Jazuli. Op Cit, hal; 168

7
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

berhasil mengu-asai wilayah Islam, orang-orang kafir itu akan membunuh semua umat
Islam termasuk para tawanan muslim tadi.(6
Untuk mengetahui kapan suatu maslahat itu dianggap valid (mu'tabarah) dan bisa
dijadikan landasan suatu hukum, ada lima syarat atau batasan yang bisa dijadikan titik
tolak. Kelima syarat tersebut ialah:
1. Maslahat tidak bertentangan dengan maqasid syariah.
2. Maslahat tidak bertentangan dengan nash Al-Quran.
3. Maslahah tidak bertentangan hadits Nabi.
4. Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).
5. Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat lainnya yang lebih penting atau
maslahat yang sejajar dengannya. 15
Kelima syarat ini merupakan batasan atau standar yang digunakan untuk
membedakan antara maslahah mu'tabarah (yang dapat dijadikan dasar hukum) dan
maslahah mulghah (yang tidak dapat dijadikan dasar hukum).(7 Seorang mujtahid harus
benar-benar menguasai dan mendalami batasan-batasan di atas. Dan di sinilah tingkat
kejeniusan seorang mujtahid diuji. Peta penguasaannya terhadap nash dapat diukur dari
sejauh mana ia bisa menggunakan batasan-batasan itu dalam beristinbath sebagaimana
mestinya.
Kita sering mendengar kesimpulan para ahli ushul fiqh yang mengatakan bahwa
setiap hukum pasti akan berujung pada suatu maslahat. Hukum memang tidak pernah
lepas dari maslahat, tetapi maslahat tidaklah merupakan dasar hukum yang berdiri
sendiri. Kedudukan maslahat tidak seperti kedudukan Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyah,
ijma’ dan qiyas sebagai dalil mustaqil (berdiri sendiri). Mengapa? Karena maslahat pada
dasarnya hanyalah merupakan makna umum yang secara implisit berada dibalik hukum-
hukum juz’iy (parsial). Sementara hukum-hukum juz’iy itu sendiri tidak akan ada tanpa
melalui proses istinbath.
Sedangkan yang dimaksud dengan istinbath ialah proses pengambilan hukum dari
dalil-dalil syar'i. Maka, secara simpel bisa dikatakan bahwa maslahat merupakan ekspresi
dari hukum dan hukum merupakan ekspresi dari nash (dalil syara'). Karenanya, wujud
dan keberadaan maslahat sangat tergantung pada dalil-dalil syara'. Untuk itu maslahat
tidak bisa menjadi dasar hukum yang berdiri sendiri sebagaimana halnya dalil syara
lainnya. Lebih dari itu, keberadaan maslahat dalam hukum-hukum syari'at itu ditemukan
lewat istiqra' terhadap semua hukum far'iyah. Dari istiqra' tersebut, para ulama
mendapatkan suatu kesimpulan bahwa semua hukum syariat pasti akan kembali kepada
satu tujuan yaitu menjaga kemaslahatan umat manusia di dunia dan akherat.

D. Beberapa Implementasi Kaidah Fiqih dalam Realitas Kontemporer


Contoh Aplikasi Maslahat at-Tufi
Larangan wanita menjadi pemimpin negara
Contoh lain penerapan teori maslahat at-Tufi adalah hadis mengenai dilarangnya
wanita untuk menjadi pemimpin negara (Lan yufliha wallu Amrahum Imroatan).
Mengenai hadis Abu Bakrah di atas, dari segi metodologi kritik hadis, ia adalah sahih.
Pertanyaan yang harus dijawab ialah bagaimana kita harus memahami hadis. Di sini
ditawarkan satu pendapat bahwa hadis-hadis dapat dikategorikan sebagai termasuk
15
http://www.kmnu.org. Chariri Makmun, Lc. Standart Maslahat Menurut Islam. 7 November 2007, pukul
12.15 wib.

8
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

umurud dunya dan keuniversalannya tidak didukung oleh kenyataan harus ditafsirkan
menurut semangatnya dan dalam konteks sosio-historisnya. Kalau tidak ia akan menjadi
kering, memosil dan tidak bermakna. Untuk itu jika preseden-preseden historis terutama
dari kebijaksanaan-kebijaksanaan Umar seperti mengenai masalah kharaj di mana ia
mengubah praktek Rasulullah yang memberikan tanah-tanah kepada para prajurit yang
mendapatkannya yang kemudian oleh Umar praktek itu dirubah di mana tanah-tanah
tidak ia berikan kepada prajurit. Umar tidak memahami hadis-hadis Rasulullah dalam arti
harfiyahnya melainkan dalam semangatnya. Dengan kalimat yang lebih teknis,
hadis-hadis itu harus dipahami menurut illatnya, sekalipun illat-illat itu harus dicari
melalui ijtihad (artinya tidak dinaskan).
Hadis-hadis semacam ini cukup banyak terutama dalam masalah kemasyarakatan
dan politik (mu'amalah), seperti hadis al-Aimmah min Quraisy yang oleh Ibn Khaldun
dipahami melalui teori sejarahnya yang terkenal itu, yaitu teori asabiyah. Secara singkat
menurut Ibn Khaldun Nabi menyerahkan imamah kepada kaum Quraisy karena pada
waktu itu hanya merekalah yang memiliki asabiyah yang diperlukan bagi kelangsungan
sebuah tata politik. Teori Ibn Khaldun ini dapat diperluas lagi dengan menyatakan :
karena orang-orang Quraisylah yang memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang
masalah-masalah politik dan ekonomi waktu itu wajarlah Rasul menyerahkan imamah
kepada mereka.
Hadis Abu Bakrah di atas pun kiranya dapat ditafsirkan dengan cara yang sama.
Pada zaman Rasulullah wanita tidak begitu beruntung, bahkan anak wanita yang lahir
dikubur hidup-hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk membebaskan kaum wanita.
Walapun beliau telah banyak berhasil, suatu struktur sosial yang sudah begitu kokoh dan
melembaga tidak dapat dirubah total seratus persen dalam waktu singkat, seperti lembaga
perbudakan misalnya. Bahkan sampai beberapa abad kemudian posisi kaum wanita
belum begitu menguntungkan. Mereka dikurung di rumah dengan sangat ketat. Apabila
seorang lelaki hendak meninggalkannya, ia mengutus seorang wanita pemantau untuk
melihat dan menyelidiki kelayakannya, sedangkan si lelaki itu tidak akan pernah dapat
melihatnya sebelum akad nikah. Wanita-wanita itu hanya dapat dipandang oleh mata
keluarga mereka. Dari segi pendidikan mereka juga kurang beruntung. Kaum lelaki
malah lebih tertarik untuk mendidik dan mengajar budak karena faktor komersial, sebab
budak yang terampil terutama pandai tulis baca akan mahal harganya. Hanya kalangan
amat terbatas saja yang mendidik wanita. Pendek kata wanita tidak keluar dari
tembok-tembok rumah suami atau orang tuanya. Artinya mereka tidak tahu menahu
mengenai urusan masyarakat. Jadi dengan demikian wajarlah Rasulullah menyatakan
bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada kepada orang yang tidak banyak
memahami soal-soal kemasyarakatan akan mengalami kegagalan. Akan tetapi sekarang
situasi telah jauh berubah dan wanita telah banyak yang pandai dan terlibat secara inten
dalam berbagai lapangan kehidupan. Jadi mereka sudah tahu seluk beluk masalah.
Karena menurut teori hukum Islam, hukum itu berlaku menurut ada-tidaknya illatnya,
maka dapatlah dikatakan bahwa tidak melanggar hukum Islam, wanita yang karena keca-
kapannya menjadi kepala pemerintahan, karena illat mengapa Rasulullah dulu melarang
telah hilang. Dengan mempergunakan pandangan at-Tufi nampak hadis yang tidak
memperbolehkan wanita menjadi pemimpin negara tersebut bersifat kondisional, artinya
larangan Nabi dalam hadis tersebut dilatarbelakangi olah adat Arab dan sekitarnya,
sehingga bila adat berubah, illat larangan hilang; syarat-syarat yang ditunjuk dalam nas

9
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

terpenuhi dan situasi tertentu memungkinkan, larangan tersebut dapat berubah menjadi
sesuatu yang dibolehkan.
Ketentuan bagian waris
Syari'at seperti tersurat dalam ayat Al qur’an yang menyatakan bagian masing-
masin adalah 2:1 antara pewaris pria dan wanita, secara teoritis bisa saja diubah,
dimodifikasi. Dalam kenyataan, hal itu sudah banyak terjadi dan diakui sah bahkan oleh
kalangan ortodoksi sendiri, melalui terobosan wasiyat dalam pola perbandingan mana
saja yang dikehendaki. Boleh jadi, sesuai dengan adanya ketentuan yang lebih tegas
bahwa pola perbandingan warisan secara positif ditentukan 2:2 sesuai dengan, kenyataan
masyarakat di mana kontribusi pihak wanita (istri) dalam perekonomian rumah tangga
kini acap kali sama besar dengan kontribusi pria (suami) sendiri. Jika itu yang dituntut,
maka perbandingan positif 2:2 saja, tanpa memberikan peluang untuk pola perbandingan
lain seperti dalam terobosan wasiyat, akan jauh lebih sulit dan kaku untuk meraih
keadilan. Sebab, pada kasus-kasus tertentu, misalnya pihak pewaris pria adalah orang
kaya raya sedang pewaris wanitanya masih sangat sengsara, perbandingan yang adil pasti
bukan sekedar 2:2 tetapi bahkan 2:0 untuk pewaris wanita.
Sementara itu, ayat tentang pembagian waris yang dipersoalkan itu dipahami
menurut semangat utamanya ketentuan usul al-fiqh bahwa ayat-ayat mufasar dan
muhkam (qat'i ad-dalalah) harus dipegangi sebagai dasar konstitutif hukum syar'i ada
juga mendapat gugatan. Misalnya Kassim Ahmad mengatakan bahwa justru ayat-ayat
mufassar yang terperinci itu hanya contoh penerapan sezaman yang boleh saja berubah.
Yang menjadi dasar pokok adalah ayat-ayat mujmal. Misalnya dalam kasus waris, ayat
yang menyatakan bahwa wanita dan lelaki mendapat bagian dari peninggalan orang tua
dan kerabat mereka (Q.S. 4:7) adalah prinsip umum. Sedang ayat bahwa bagian wanita
separoh lelaki (Q.S.4:11-12) adalah contoh penerapan pada waktu itu terhadap prinsip
umum itu. Jadi Kassim Ahmad ingin membalikkan kaidah usul sehingga ayat mufassar
tidak qat'i dan yang qat'i adalah ayat mujmal. 16
Di samping itu ada juga yang memasukkan hadis itu ke dalam kaidah fiqh.Ruang
lingkup kaidah ini sangat luas, mencakup sebagian besar dari masalah-masalah fiqh,
bahkan merupakan pokok dalam syari'at Islam, seorang yang akan meng-istinbat-kan
suatu hukum harus berpegang pada kaidah ini, karena ia merupakan dasar bagi
menghilangkan kerusakan dan menarik maslahat. Banyak hukum yamg di-istinbat-kan
dari kaidah ini.
Berdasarkan contoh-contoh hukum yang ditetapkan berdasarkan kaidah la darara
wa la dirara, menunjukkan bahwa hukum mu'amalat Islam sangat berusaha menjauhkan
kemudaratan manusia baik bersifat perorangan maupun kolektif, guna mewujudkan
maslahat. Keterangan ini menunjukkan pula bahwa la darara wa la dirara, baik
kedudukannya sebagai hadis maupun kaidah fiqh telah diamalkan para ulama guna
mewujudkan maslahat, bahkan merupakan pegangan pokok bagi setiap orang yang akan
meng-istinbat-kan suatu hukum dalam bidang mu'amalat.
Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa hadis tersebut harus diletakkan pada
akhir setiap nas, sebagai pengecualian, sehingga nas itu berarti: "jangan kamu kerjakan
ini, melainkan jika maslahat nyata menghendaki. Jangan kamu berbuat demikian,
melainkan bila maslahat menghendaki".

16
Kassim Ahmad. 1986. Hadis Satu Penilaian Semula. Selangor: Media Intelek SDN BHD, hal; 67

10
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

Pendirian at-Tufi, bahwa apabila maslahat yang bersumber dari hadis yang telah
disebutkan dan didukung pula oleh nas-nas syara' lainnya, jika bertentangan dengan
dalil-dalil syara'- terutama nas dan tidak dapat dikompromikan - hendaklah maslahat
lebih diutamakan, dengan cara takhsis atau tabyin nas dan ijma' atau dalil-dalil syara'
lainnya, bukan dengan cara mempermainkan dalil-dalil itu.
Pendirian at-Tufi ini, pada hakekatnya mendahulukan suatu hadis yang didukung
oleh nas-nas syara' lainnya atas dalil-dalil syara' lainnya. Atau meninggalkan dalil syara'
karena ada dalil syara' yang lebih kuat. Dapat pula dikatakan, bahwa hadis di atas yang
didukung oleh nas-nas syara' lainnya, dapat dijadikan sebagai dalil untuk pengecualian
terhadap dalil-dalil syara' lainnya dalam rangka mewujudkan dan memelihara maslahat.
Teori meninggalkan suatu dalil karena ada dalil yang lebih kuat atau mengecualikan dalil
yang bersifat umum dengan dalil yang bersifat khusus, oleh para ulama usul al-fiqh
disebut istihsan. Metode istihsan ini telah dipraktekkan oleh para ulama usul, terutama
yang paling terkenal banyak mempergunakannya adalah mazhab Hanafi. Istihsan ini
dipergunakan dalam penetapan hukum dalam bidang perdagangan, peradilan atau urusan
kemasyarakatan, politik dan lapangan hukum yang serupa. Oleh para ulama' usul,
hukum-hukum tersebut disebut hukum mu'amalah. Demikian pula halnya at-Tufi dengan
teorinya itu, hanya tertuju pada lapangan mu'amalah dan yang sejenisnya.
Tujuan segala hukum syara' baik yang bersumber dari nas atau qiyas maupun
lainnya, ialah memelihara maslahat manusia. Apabila maslahat itu bertentangan dengan
nas atau dengan qiyas, berartilah pertentangan antara dua maslahat yang kedua-duanya
dii'tibarkan syara'. Kita telah mengetahui bahwa menurut kebiasaan syara' mendahulukan
yang lebih kuat maslahatnya ketika berlawanan..
Sebagaimana diketahui menurut at-Tufi bahwa dalam lapangan ibadah merupakan
hak mutlak Allah untuk menentukan segala sesuatunya dan manusia hanya melaksanakan
ibadah itu sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan. Dengan demikian dalil dalam
bidang ibadah tidak dapat atau tidak perlu diubah. Berbeda dengan dalil dalam lapangan
ibadah, dalil-dalil syara' dalam bidang mu'amalat dan yang sejenisnya, dalam pandangan
at-Tufi nilai efektivitasnya sebagai sarana dapat diukur oleh akal pikiran manusia. Jika
dalam saat tertentu (waktu) dan kondisi tertentu (ruang), apabila suatu sarana tidak lagi
efektif untuk mencapai tujuan, perlu diadakan perubahan, sehingga tujuan semula tetap
tercapai, yaitu maslahat. Pandangan demikian, merujuk pada kondisi sosial dan
pertimbangan perubahan sosial (social change) sebagai sarana untuk mencapai maslahat
yang merupakan tujuan Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya. At-Tufi yang
membedakan syari'at menjadi ibadat, muqaddarat dan mu'amalat, memberikan jalan
keluar bahwa dalam masalah mu'amalat, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan
pada maslahat umum dengan mempertimbangkan unsur-unsur darurat, illat-illat, adat,
syarat karena situasi tertentu.
Pendapat yang mengatakan bahwa hukum mu'amalah Islam dalam kehidupan
masyarakat modern yang dijadikan ukuran adalah substantif makna yang terkandung
dalam suatu hukum. Hukum mu'amalah Islam dapat diterapkan apabila suatu masalah itu
sama atau masih sama antara yang dimaksudkan oleh dalil dan masalah baru di mana
hukum hendak diterapkan. Metode inilah yang dikenal dengan konsep tahqiq al-manat
dalam usul al-fiqh, suatu metode penerapan Alquran dengan permasalahan yang sedang
dihadapi. Ia sangat erat hubungannya dengan ijtihad tatbiqi.

11
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

Ijtihad tatbiqi, dapat berlaku pada setiap hukum, baik yang dinilai qat'i, terinci
maupun yang bersifat zanni. Ia merupakan praktek dari praktisi hukum dalam
menerapkan hukum yang siap pakai, baik secara langsung dari wahyu maupun yang
melalui ijtihad mujtahid. Dalam penerapannya seorang pelaksana hukum dituntut
kejeliannya apakah makna hukum yang siap pakai itu sama dengan masalah yang sedang
dihadapi. Apabila dinilai tidak sama, maka hukum tidak dapat dilaksanakan. Dengan
demikian yang menjadi obyek kajian adalah perbuatan manusia dengan segala bentuk
obyek perbuatan itu, juga manusia itu sendiri sebagai pelaku perbuatan dengan segala
kondisi dan perubahannya.
Bertitik tolak dari pernyataan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk maslahat
hidup manusia menimbulkan persoalan tentang hubungan nas Alquran atau Sunnah Rasul
dengan maslahat merupakan salah satu permasalahan yang pelik dan penting. Ijtihad atas
dasar maslahat sebagai tujuan hukum Islam sering memungkinkan tidak diterapkannya
ketentuan nas menurut apa adanya, tetapi diterapkan dengan cara lain atau bahkan tidak
diterapkan sama sekali.
Untuk pengembangan maslahat dalam legislasi Indonesia kontemporer erat
kaitannya dengan pengembangan budaya hukum Islam. Dalam pengembangan budaya
hukum Islam di Indonesia kaum muslimin dihadapkan pada kemungkinan, yaitu hukum
positif Islam yang terbatas pada mempermasalahkan hukum yang berlaku bagi kaum
muslimin, dan nilai-nilai hukum Islam, yang akan berlaku bagi seluruh warga negara,
bahkan mungkin seluruh penduduk (termasuk yang bukan warga negara). Kedua
alternatif tersebut akan mempengaruhi pembentukan hukum nasional pada masa yang
akan datang.
Berpangkal tolak dari kerangka pemikiran bahwa hukum positif Islam pada masa
mendatang adalah hukum yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam dan dihubungkan
pula dengan teori peringkatan hukum, maslahat dalam hukum Islam dapat diterjemahkan
sebagai maslahat rakyat dalam segala aspeknya, mencakup bidang yang begitu luas,
seperti ekonomi, hukum, politik dan sebagainya (mu'amalah). Dan maslahat menempati
posisi sebagai nilai-nilai Islam (norma hukum) yang abstrak atau cita-cita hukum. Oleh
karena itu, dibutuhkan formulasi asas-asas, peraturan (perundang-undangan) atau bentuk
legislasi lainnya sebagai norma antara yang merupakan kreativitas ijtihad yang
disesuaikan dengan situasi, kondisi, budaya dan kurun waktu. Semua hasil penerapan dan
penegakan norma antara tersebut menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret
(living law) masyarakat.
Apabila formulasi dan aplikasi suatu peraturan perundang-undangan dalam
berbagai bidang seperti ekonomi, politik, hukum (norma antara) mampu mewujudkan
maslahat rakyat banyak dalam arti sebenarnya dan dapat pula merekayasa tercapainya
cita-cita kehidupan rakyat banyak, berarti aturan-aturan tersebut masih mungkin dan
dapat dipertahankan. Akan tetapi, jika sebaliknya, justru formulasi dan aplikasi berbagai
peraturan perundang-undangan dalam berbagai lapangan kehidupan rakyat banyak itu
tidak mampu lagi menampung aspirasi kerakyatan dikarenakan adanya faktor perubahan
situasi dan kondisi, perlu diganti dengan aturan-aturan yang baru yang betul-betul
aspiratif. Dengan demikian, maslahat rakyat merupakan cita-cita atau tujuan yang hendak
diwujudkan, sedangkan peraturan-peraturan undang-undang merupakan sarana untuk
mewujudkan cita-cita kerakyatan. Oleh karena itu efektivitas suatu sarana dapat dipantau
oleh masyarakat. Dalam kaitan ini, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam

12
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

dapat terpatri dalam kehidupan bernegara, masyarakat, bangsa, keluarga dan individu,
kemudian mengakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat egalitarian, jauh
dari eksploitasi manusia atas manusia lain maupun eksploitasi golongan atas golongan
lain. Dengan kata lain, hukum Islam tidak dalam norma, melainkan dalam substansinya.

E. Penutup
Maslahat Menjadi syarat utama dalam pengambilan setiap kebijakan yang diambil
oleh para penguasa atau pemimpin. Maslahat yang bisa dikategorikan sebagai landasan
dalam pengambilan hukum mempunyai beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantara
syarat-syarat tersebu dikemukakan oleh MUI dan jumhur ulama’ sendiri. Diantara konsep
maslahat yang banyak dipakai adalah konsep yang digagas dari najmuddin At tufi.
Dalam pemikirannya, At-Tufi berpendirian bahwa maslahat adalah tujuan penetapan
hukum Islam dalam lapangan mu'amalah, apabila penerapan nas atau ijma' sesuai dengan
bunyi tekstualnya bertentangan dengan maslahat dan tidak dapat dikompromikan,
maslahat hendaklah lebih diutamakan daripada dalil-dalil syara', karena maslahat
merupakan tujuan sedangkan dalil-dalil syara' merupakan sarana untuk mencapai tujuan,
karena itu tujuan hendaklah lebih diutamakan daripada sarana. Ketiga, dalam perspektif
pembaruan (reaktualisasi) hukum Islam dalam bidang mu'amalah dewasa ini, maslahat
tokoh tersebut dapat dijadikan rujukan dengan cara mendasarkan konsep maslahat
tersebut sebagai substansi yang disarikan dari Alquran dan hadis serta dapat
dipertanggungjawabkan secara keagamaan. Konsep tersebut memberikan jalan keluar
bahwa dalam masalah mu'amalah umat Islam,seperti kehidupan sosial, ekonomi, politik
dan lain-lain, penentuan boleh tidaknya sesuatu ditekankan pada maslahat umum dengan
mempertimbangkan situasi dan kondisi kehidupan manusia sebagai praktisi hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kassim . 1986. Hadis Satu Penilaian Semula. Selangor: Media Intelek SDN
BHD

As sutuyi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr. 1965. Al asybah wa al nadhair.


Surabaya: Al Hidayah

At tufi, Najamuddin. 1954. Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid.
al-Maslahat fi at-Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi.(Bagian Lampiran)
Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi

Jazuli, H.A. 2006. Kaidah-Kaida Fikih, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam


Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana Pernada Media
group

Al Jazuli. 2003. Fiqh siyasah, cetakan kdua. Jakarta: Prenada Media

http://www.kmnu.org. Chariri Makmun, Lc. Standart Maslahat Menurut Islam. 7


November 2007, pukul 12.15 wib.

13
Tasharruful Imam ‘Ala Al Ra’iyah Manutun Bi Al Maslahah

Rahman, Asymuni A. 1976. Kaidah-kaidah Fiqh, cet 1. Jakarta: bulan bintang

Sekretaris MUI. 2005. Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI tahun 2005

Taimiyyah, Ibnu. 1967. Al siyasah al sar’iyyah fi islahi wa al ra’yah. Saudi Arabia: Dar
Al kutub Al arabi

Yusdani. 2006. At tufi dan Teorinya tentang Maslahat. Artikel Internet. Tanggal 8
Novemer 2007

14

You might also like