Professional Documents
Culture Documents
PENGANTAR PENDIDIKAN
Disusun Oleh :
Nama : Cinta Kurniawi
Erwita
Eis Kurmala Sari
Yopi Krisdayanti
Lilis Hidayati
Sri Wahyuni
Dari keempat ciri-ciri masyarakat modern diatas yang menurut kami belum
kami miliki adalah kendrungan globalisasi, dan cara kami untuk mengatasinya yaitu
dengan cara : setiap individu terus berusaha dengan berbagai cara agar dapat
mengikuti setiap perkembangan teknologi yang ada, sehingga pengetahuan mereka
semakin bertambah dan maju seiring perkembangan zaman.
A. Kesimpulan
Perubahan sosial mendorong munculnya semangat-semangat untuk
menciptakan produk baru , sehinnga terjadilah revolusi industri, dan kemunculan
semangat asketisme intelektual. Kemudian, asketisme intelektual menimbulkan etos
intelektual, dan inilah yang mendorong masyarakat untuk terus berkarya dan terus
menciptakan hal-hal baru guna meningkatkan kemakmuran hidupnya, sehingga
masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang modern. Sedangkan proses menjadi
masyarakat yang modern disebut dengan istilah Modernisasi.
Saran
Sebaiknya kita sebagai masyarakat modern tidak harus menyerap semua
budaya modernisasi, agar tidak terjadi dampak-dampak negative dalam kehidupan
kita sebagai masyarakat yang modern.
Dampak Negatif dari Budaya Masyarakat Modern
1. Penyalahgunaan media teknologi sebagai sarana pencarian hal-hal yang tidak ada
hubungannya dengan ilmu pengetahuan.
2. Timbulnya praktek-peraktek curang dalam dunia kerja seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme.
3. Sekularisasi adalah sebuah proses pemisahan institusi-institusi dan simbol-simbol
politis dari initusi-institusi dan simbol-simbol religius. Kebijakan-kebijakan
Negara yang mengatur sebuah masyarakat tidak lagi didasarkan pada norma-
norma agama, melainkan pada asas-asas non-religius, seperti: etika dan
pragmatisme politik. Kelahiran Negara nasional dan Negara konstitusional di
zaman modern menandai proses ini. Konstitusi Negara modern tidak lagi
didasarkan pada doktrin-doktrin religius, seperti pada Negara-negara tradisional
di Eropa abad pertengahan, melainkan pada prosedur-prosedur birokratis rasional
yang mengakui kesamaan hak dan kebebasan setiap warganegara. Mengapa
masyarakat modern menempuh jalan sekularisasi? Karena (1) Otoritas politis
tidak merasa cukup dengan wewenangnya atas wilayah publik dan ingin juga
memberikan regulasi dalam ruang privat seperti yang dilakukan oleh otoritas
religius; dan (2) pikiran kritis dicurigai sebagai unsur ‘subversif’ yang
melemahkan kepatuhan kepada otoritas. Sekularisasi adalah upaya memberi
batas-batas di antara kedua bidang itu dengan memandang keduanya otonom,
yakni yang satu tidak dapat direduksi kepada yang lain. Dengan sekularisasi,
urusan-urusan religius dianggap beroperasi di dalam ruang privat, tercakup
dalam kebebasan subjektif individu untuk menemukan jalan hidupnya. Efek
positif sekularisasi adalah toleransi agama, sebab doktrin-doktrin dan nilai-nilai
religius tidak lagi dikalkulasi di dalam politik.
Kita berbicara tentang sekularisme jika kita memusatkan perhatian kita pada
efek negatif sekularisasi. Sekularisasi dapat mendorong pada ekstrem atau ekses,
yakni suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala alasan, motif atau
dimensi religius sebagai omong kosong. Pandangan-pandangan seperti ateisme,
materialisme dan saintisme merupakan berbagai aspek dalam sekularisme.
Sekularisme dalam arti ini bukanlah sebuah proses sosial-epistemologis, melainkan
sebuah ideologi dengan kesempitan berpikir yang tidak dapat mentoleransi eksistensi
agama di dalam masyarakat majemuk. Jika agama menghasilkan fundamentalisme
religius, proses sekularisasi juga dapat menghasilkan suatu fundamentalisme
tertentu, yakni fundamentalisme profane. Itulah sekularisme.
Jadi, di sini kita dapat mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses yang
wajar di dalam modernisasi, karena pemisahan antara agama dan Negara memang
diperlukan untuk memungkinkan kebebasan dan keadilan dalam masyarakat
majemuk, namun sekularisme harus diwaspadai. Untuk masyarakat kita yang
cenderung religius, sekularisme bukanlah ancaman real; fundamentalisme agamalah
yang merupakan ancaman real bagi kemajemukan. Yang sebaliknya juga harus
dikatakan: Sekularisme bukanlah solusi untuk masalah kemajemukan, sebab
sekularisme adalah bentuk intoleransi terhadap agama manaupun yang merupakan
anggota masyarakat majemuk. Yang dibutuhkan masyarakat kita adalah tingkat
sekularisasi tertentu (baik secara structural maupun kultural) agar dapat bersikap
“fair” terhadap kemajemukan orientasi nilai di dalam masyarakat kita. Kebijakan-
kebijakan politis yang berorientasi agama tertentu, misalnya, tidak dapat begitu saja
dijadikan norma publik untuk mengatur keseluruhan masyarakat, karena akan
bersikap tidak fair terhadap kelompok-kelompok lain bahkan dalam agama yang
sama.
4. Liberalisme adalah ideologi modern, karena ia muncul bersamaan dengan
modernisasi dan segala pertentangan ideologis dalam masyarakat modern tak lain
daripada pertentangan dengan liberalisme, sehingga cerita tentang modernitas tak
kurang daripada cerita tentang liberalisme dan para lawannya. Dalam arti ini,
liberalisme sangat sensitif terhadap kolektivisme dan absolutisme kekuasaan.
Ekonomi tidak dapat tumbuh jika terus diintervensi Negara, maka liberalisme
sejak awal mendukung ekonomi pasar bebas. Di dalam pasar orang tidak
bertransaksi dengan membeda-bedakan latar-belakang agama dan kebudayaan.
Yang penting transaksi itu fair. Dengan kata lain, di dalam transaksi orang
melihat agama partner transaksinya sebagai urusan privatnya yang tidak relevan
untuk proses pertukaran dalam pasar. Pola transaksi yang melihat agama sebagai
persoalan privat yang tidak relevan untuk proses pertukaran itu oleh liberalisme
diaplikasikan di dalam hubungan yang lebih luas, yaitu di dalam Negara modern.
Liberalisme ekonomi mengandung bahaya tertentu, yaitu intoleransi terhadap
mereka yang dimarginalisasikan secara ekonomis oleh mekanisme pasar bebas
itu. Namun liberalisme yang berkaitan dengan pendirian intelektual dan sikap-
sikap politis justru membantu sebuah masyarakat untuk toleran terhadap
kemajemukan. Jika Negara berkonsentrasi pada the problem of justice dan tidak
mengintervensi the problem of good life yang adalah kewenangan kelompok-
kelompok dalam masyarakat itu, Negara akan menjadi milik bersama kelompok-
kelompok sosial itu dan tidak bersikap diskriminatif. Negara liberal berupaya
bersikap netral terhadap agama-agama di dalamnya, dan ini justru mendukung
kebebasan individu. Di sini liberalisme dapat juga dilihat sebagai hasil dari
sekularisasi yang tidak secara mutlak perlu bermuara pada sekularisme. Artinya,
suatu Negara liberal tidak harus sekularistis, yakni ingin menyingkirkan agama di
dalamnya. Negara liberal juga bisa memiliki respek terhadap agama, namun
regulasi-regulasinya tetap sekular. Ia bersikap netral dari agama, namun memberi
infrastruktur yang adil bagi agama-agama untuk berkembang, sebab para anggota
agama-agama itu adalah juga warganegaranya.
5. Pluralisme adalah sebuah pandangan yang beroperasi di dalam kebudayaan
dalam bentuk sikap-sikap yang menerima kemajemukan orientasi-orientasi nilai
di dalam masyarakat modern. Dasar pluralisme adalah the fact of plurality, yakni
suatu kenyataan bahwa jika sebuah masyarakat mengalami modernisasi,
masyarakat itu mengalami pluralisasi nilai di dalam dirinya. Pluralitas tidak serta
merta memunculkan pluralisme, karena tidak semua orang setuju pluralitas.
Kaum konservatif dan rmonatis, misalnya, akan meratapi pluralitas sebagai
sindrom disintegrasi sosial dan moral. Namun ada kelompok-kelompok yang
menerima pluralitas sebagai kenyataan hidup bersama dan mencoba hidup
bersama secara toleran. Kelompok-kelompok ini bisa berasal dari kalangan
agama, cendikia, politikus atau budayawan. Pandangan yang menerima pluralitas
sebagai realitas hidup bersama dan mencoba mengembangkan sarana-sarana
moral dan intelektual untuk membuka ruang kebebasan dan toleransi bagi aneka
orientasi nilai etnis, religius ataupun poltis di dalam mayarakat modern itu kita
sebut pluralisme. Jika kita menilik ke belakang, ke dalam sejarah agama-agama
itu, kita tidak dapat memisahkan agama dari kebudayaan. Setiap agama
“tertanam” dan tumbuh dalam konteks kebudayaan dan juga sejarahnya, maka
pluralitas juga menandai sejarah setiap agama. Tidak ada hanya satu Kristen, satu
Hindhu, satu Islam atau satu Budhisme, karena di tiap kebudayaan berkembang
cara-cara dan simbol-simbol spesifik dalam menghayati Tuhan. Simbol-simbol
itu bahkan ‘dipinjam’ dari konteks kebudayaan tertentu, misalnya, Jawa,
Romawi, India atau Arab. Namun tak semua kelompok agama mau bersikap fair
terhadap fakta pluralitas di dalam agama-agama ini. Kelompok-kelompok macam
ini – di antara mereka konservatif garis keras – terobsesi pada sebuah fiksi bahwa
agama mereka itu homogen dan murni dari unsur-unsur kebudayaan. Fiksi itu
sudah barang tentu berbahaya sekali karena menjadi intoleran terhadap
kemajemukan kebudayaan dan agama. Kelompok-kelompok agama yang
menerima fakta kemajemukan bahkan di dalam agama mereka sendiri serta
mencoba mengembangkan sebuah teologi pluralis sering dicurigai sebagai
sesuatu yang morongrong integritas iman, padahal mereka ini bisa saja justru
mendorong cara-cara beriman yang dewasa dan terbuka terhadap perubahan dan
perbedaan di dalam masyarakat