You are on page 1of 18

Teori Pengetahuan

 
Epistemologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, karena disinilah dasar-
dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi bahan pijakan.
Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis
yang ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya.
Dari epistemologi, juga filsafat -dalam hal ini filsafat modern- terpecah berbagai aliran yang
cukup banyak, seperti rasionalisme, pragmatisme, positivisme, maupun eksistensialisme.1
Dengan demikian, pengetahuan (knowledge atau ilmu) menjadi bagian yang esensial-
aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir (ataunathiqiyyah)
adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu
hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-
spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena
pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia?
Bagaimana manusia berpengetahuan? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki
pengetahuan? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar? Dan apa yang mejadi tolak ukur
kebenaran?
Sebenarnya pertanyaan diatas sangat sederhana karena sudah terjawab dengan sendirinya
ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah itu diangkat dan dibedah
dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari
sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu
yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu,
maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya
menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (worldview), sehingga pada gilirannya
muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka
ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas-
perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu
aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia
menjadi objek.
Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan
atau nadzariyyah al ma'rifah).2
Epistemologi menjadi sebuah kajian sebenarnya belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad
yang lalu dan berkembang di dunia Barat. Penyebabnya adalah bahwa sejak masuknya agama
Nasrani ke Eropa, terdapat masalah hubungan antara pengetahuan samawi dan pengetahuan
manusiawi, pengetahuan supranatural dan pengetahuan rasional-natural-intelektual, antara iman
dan akal. Kaum agama di satu pihak mengatakan bahwa pengetahuan manusiawi harus
disempurnakan dengan pengetahuan fides, sedang kaum intelektual mengemukakan bahwa iman
adalah omong kosong kalau tidak terbuktikan oleh akal. Situasi ini menimbulkan tumbuhnya
aliran Skolastik yang cukup banyak perhatiannya pada masalah epistemologi, karena berusaha
untuk menjalin paduan sistematik antara pengetahuan dan ajaran samawi di satu pihak, dengan
pengetahuan dan ajaran manusiawi intelektual-rasional di lain pihak. 3
Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan
Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi
gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang
memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka
mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu,
bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif.
Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran
rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul
Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte
dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan
Sensualismenya. 4
Pola berpikir kaum rasionalis bertumpuk dari aksioma dasar yang diturunkan dari ide
tentang kebenaran yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikran
manusia.   Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun
manusia tidak menciptakannya dan tidak pula mempelajari lewat pengalaman.  Singkatnya,
bahwa bagi kaum rasionalisme ide tentang kebenaran, yang menjadi dasar bagi pengetahuannya
diperoleh lewat berpikir secara rasional atau dengan kata lain kriteria kebenaran pengetahuan
dikaitkan  dengan kesesuaian antara pemikiran dengan kenyataan, terlepas dari pengalaman
manusia.  Sistem pengetahuan dibangun secara koheran diatas landasan-landasan pernyataan
yang sudah pasti.  Namun timbul pertanyaan, dari manakah kita mendapat kebenaran yang sudah
pasti bila kebenaran itu tercerai dari pengalaman manusia yang nyata?.  Disinilah kaum
rasionalis mulai menemukan kesulitan untuk mendapatkan konsensus yang dapat dijadikan
landasan bagi kegiatan berpikir bersama. Disini terlihat bahwa tiap orang cenderung untuk
percaya kaum rasionalisme. kepada kebenaran yang pasti menurut mereka sendiri.  Lalu
bagaimana kita bisa sampai pada suatu konsensus bila hanya berdasarkan apa yang dianggap
benar oleh masing-masing?. Kenyataan yang dihadapi, tidak hanya oleh para ilmuawan, bahwa
betapa sukarnya untuk sampai kepada suatu kesimpulan yang dapat disetujui bersama bila hanya
berdasarkan pada cara tersebut.  Cara berpikir seperti ini akan menjerumuskan kita kedalam
Silopsisme, yakni pengetahuan yang benar menurut anggapan kita masing-masing.5
Emperisme mempunyai cara berpikir yang sama sekali berlawanan dengan kaum
rasionalisme.  Kaum empiris menganjurkan agar kita kembali ke alam untuk mendapatkan
pengetahuan.  Alasan mereka adalah bahwa pengetahuan tidak ada secara apriori terdapat di
benak kita, melainkan harus diperoleh dari pengalaman.  Teori pengetahuannya, terutama yang
dikemukakan oleh Lock (bapak kaum empiris Inggris) didasarkan pada pengalaman yang
ditangkap oleh pancaindera kita.  Dia memandang pikiran sebagai alat atau kertas lilin yang licin
(tabula rasa) yang menerima dan menyimpan sensasi pengalaman.  Pengetahuan merupakan hasil
dari kegiatan keimuwan (pikiran) yang mengkombinasikan sensasi-sensasi pokok (McCleary,
1998).
 Teori empiris sendiri memiliki dua aspek. Pertama adalah perbedaan antara yang
mengetahui (subyek) dan yang diketahui (obyek).  Terdapat di alam nyata yang terdiri dari fakta
atau obyek yang dapat ditangkap oleh seseorang.  Kedua adalah kebenaran atau pengujian
kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia.  Agar berarti bagi
kaum empiris, maka pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi
persyaratan pengujian publik.  Masalah yang rumit akan timbul bila persyaratan tentang suatu
obyek atau kejadian ternyata tidak lagi terdapat untuk pengujian secara langsung.6
Berbeda dengan Barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam
Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat
beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi
dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling
mendukung.7 Dalam hal ini, Ibnu Rusd berkata, “Jika syarî’ah ini benar adanya dan ia menyeru
agar selalu berpikir untuk mencapai kepada pengetahuan kebenaran, maka kita sebagai orang
Islam sama-sama sudah mengetahui bahwa berpikir secara argumentatif tidak akan bertentangan
dengan apa yang terdapat dalam syarî’ah, karena kebenaran tidak akan bertentangan dengan
kebenaran, namun akan selalu sesuai dan menjadi saksi kebenaran”.8Maka tidak heran jika dari
ulama Islam menguasai ilmu agama, namun dalam satu waktu juga sebagai ilmuwan seperti :
Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh
karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam
relatif stabil dan tenang.9
 
Mungkinkah manusia memperoleh pengetahuan?
 
Kaum shopis mempertanyakan, mungkinkah manusia dapat memiliki pengetahuan?.
Mereka memang meragukan dan bahkan mengingkari bahwa manusia dapat memiliki
pengetahuan. Bapak kaum shopis, Georgias pernah berkata, “Segala sesuatu tidak ada. Jika
adapun, maka tidak dapat diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan”10.
Sikap skeptis mereka tidak hanya terhadap wujud, namun juga terhadap pencipta alam. Menurut
Phitagoras bahwa keberadaan Tuhan diragukan dengan alasan ketidak jelasan obyek dan
keterbatasan umur manusia. Dari sini mereka berpendapat bahwa kebenaran adalah relatif.
Sesuatu yang kita anggap benar adalah benar meskipun orang lain menganggapnya salah. 11
Mereka mempertanyakan pengetahuan dengan mengemukakan beberapa argumen yang
cukup kuat. Pyrrho salah seorang dari mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin
mengetahui sesuatu menggunakan dua alat yakni, indra dan akal. Indra yang merupakan alat
pengetahuan yang paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar,
peraba, pencium dan perasa.12 Satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Sementara antar
sesama manusia sendiri dalam mengindera sesuatu terdapat perbedaan. Belum lagi pengaruh
lingkungan, tempat dan waktu, ketika manusia dalam keadaan sehat, sakit, sadar, tidur dan lain
sebagainya yang tentunya berpengaruh kepada panca indera.12Jika demikian adanya, maka
bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya? Demikian pula halnya dengan akal.
Manusia seringkali salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filusuf
sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti ada yang salah. Maka
akalpun tidak dapat dipercaya. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja dan keduanya
mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya.
Rene Descartes termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dalam
membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad Baqir Shadr memasukkannya ke
dalam kaum rasionalis. Ia termasuk pemikir yang pernah mengalami skeptisme akan
pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan bangkit menjadi seorang yang meyakini realita.
Bangunan rasionalnya beranjak dari keraguan atas realita dan pengetahuan. Ia mencari dasar
keyakinannya terhadap Tuhan, alam, jiwa dan kota Paris. Dia mendapatkan bahwa yang menjadi
dasar atau alat keyakinan dan pengetahuannya adalah indra dan akal. Ternyata keduanya masih
perlu didiskusikan, artinya keduanya tidak memberika hal yang pasti dan meyakinkan. Lantas dia
berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan, tetapi ia tidak bisa meragukan akan pikirannya.
Dengan kata lain ia meyakini dan mengetahui bahwa dirinya ragu-ragu dan berpikir.
Ungkapannya yang populer dan sekaligus fondasi keyakinan dan pengetahuannya adalah " Saya
berpikir (baca : ragu-ragu), maka saya ada ".
Argumentasinya akan realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama, namun
tanpa menyebutkan premis mayor. Saya berpikir, setiap yang berpikir ada, maka saya ada.
Dari dunia Islam adalah Imam al Ghazzali yang pernah skeptis terhadap realita, namun
iapun selamat dan menjadi pemikir besar dalam filsafat dan tashawwuf. Perkataannya yang
populer adalah " Keraguan adalah kendaraan yang mengantarkan seseorang ke keyakinan”.
Dengan demikian pengetahuan adalah sesuatu yang mungkin diketahui.13
Dalam al-Qur’ân terdapat beberapa ayat yang menunjukkan bahwa manusia dapat
memperoleh pengetahuan. Ini dapat kita lihat dari sejarah penciptakan Adam. Tuhan
menciptakan Adam kemudian memberikan pengetahuan kepadanya. Dengan pengetahuan ini,
manusia mendapat nilai lebih dibandingkan dengan Malaikat sehingga Tuhan memerintahkan
mereka untuk besujud sebagai tanda penghormatan kepada Adam. (QS. al Baqarah: 30-34).
Manusia sebagai anak cucu Adam tidak hanya diciptakan begitu saja, namun mengemban
amanat sebagai khalifah dimuka bumi (QS. al Ahzab:72). Agar manusia dapat melaksanakan
tugas ini dengan baik tentu dibutuhkan pengetahuan dan sikap tanggung jawab. Manusia dituntut
untuk mengetahui eksistensi dirinya, cara berinteraksi dengan realitas, terlebih-lebih berinteraksi
dengan Tuhan. Manusia juga dituntut untuk mengetahui rahasia alam, menguasai alam raya demi
kemaslahatam manusia sendiri. Karena alam ciptaan-Nya hanya diperuntukkan bagi umat
manusia seluruhnya.
Manusia adalah subyek pengetahuan, sedangkan Tuhan serta alam ciptaan-Nya adalah
obyek pengetahuan. Tuhan adalah obyek pengetahuan yang paling utama, karena Ia adalah
sumber ilmu pengetahuan. Keberadaan Tuhan dapat diketahui melalui alam ciptaannya (QS. Al
Mulk:3). Dalam hal ini Imam Ghozali berkata, “Alam semesta adalah sesuatu yang baru (al
hâdits). Dan sesuatu yang baru (al hâdits) membutuhkan subyek yang mewujudkannya. Dan
subyek ini adalah Tuhan.14
Namun alam raya, manusia dan ghoibyah adalah suatu pengetahuan yang tidak terbatas,
sementara akal manusia sebagai subyek pengetahuan sangat terbatas. Bahkan antara sesama
manusia pun dalam memahami sesuatu mengalami perbedaan sesuai dengan tingkatan
kemampuan, perkembangan pendidikan, sumber dan metodologi yang ia gunakan. Dengan
keterbatasan akal manusia ini, manusia tetap saja tidak akan pernah mempu mengetahui segala
sesuatu yang berhubungan dengan tiga hal tersebut secara sempurna. Manusia juga tidak dapat
mengetahui ghoibiyah, cara berinteraksi dengan Tuhan, hak dan kewajiban manusia  sebagai
makhluk kepada kholiq-Nya dengan hanya bertumpu pada indera dan akal. Untuk itu dibutuhkan
penyeimbang yang dapat menuntun ma nusia kepada pengetahuan lain diluar jangkauan akal.
Dan penyeimbang ini adalah wahyu Tuhan.15
 
Relasi antara pengetahuan, filsafat dan agama.
 
Manusia dilahirkan dengan tanpa memiliki pengetahuan. Hanya saja Tuhan
menganugerahkan akal pikiran dan panca indera kepada manusia. Dengan ini pula, manusia
dapat memperoleh pengetahuan. (QS. Al Nahl:78).  Islam sendiri menyeru umatnya agar selalu
mencari pengetahuan sejak kita masih dalam buaian ibu hingga ajal menjemput nyawa. Karena
dengan pengetahuan inilah manusia dapat berinteraksi dengan  alam raya.
Sepanjang sejarah, manusia tidak akan pernah lepas dari usaha untuk menundukkan alam
dengan menggunakan akal pikirannya. Makin lama, pengalaman dan pengetahuan manusia
semakin meluas sehingga iapun lebih mampu membedakan dan memanfaatkan berbagai benda
yang berada disekelilingnya. Ketika ia melihat dua batu yang saling berbenturan kemudian
menimbulkan titikan api, manusia berfikir bahwa batu dapat digunakan untuk membantu
manusia dalam berbagai hal. Mula-mula barangkali hanya untuk menerangi goa-goa, namun
bersama dengan perputaran waktu manusia mulai mengetahui fungi api secara lebih luas. Ketika
manusia melihat bahwa batu yang berbenturan dengan benda tertentu menimbulkan keretakan
misalnya, manusia primitifpun berpikir bahwa batu dapat digunakan sebagai alat untuk berburu,
sebagai senjata dan lain sebagainya.
Bagi manusia primitif, pikiran mereka barangkali masih dibayang-bayangi dengan
pikiran mistis, namun setidaknya dengan melihat fenomena alam, manusia telah berpikir untuk
menafsirkan berbagai gerakan dan kehidupan di alam raya sesuai dengan kemampuan mereka
saat itu. Mereka juga berfikir bagaimana ia berinteraksi dengan alam sekitarnya. Manusia
primitif percaya bahwa gerakan di alam ini ada yang mengatur. Seringkali mereka
menyandarkan hal ini pada arwah atau tuhan-tuhan sebagaimana yang mereka pahami. Dari sini
berkembang kepercayaan animisme, dinamisme dan paganisme dalam masyarakat primitif.
Bersama dengan putaran waktu, pengetahuan manusia primitif semakin bertambah.
Mereka mulai berpikir bahwa sesuatu yang dulu dianggapnya sebagai Tuhan ternyata tidak
mampu memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang sedang mereka hadapi. Manusia juga
berpikir bahwa penomena alam yang sedemikian indah dan teratur ini tidak mungkin diciptakan
dari banyak Tuhan. Dari sini manusia mulai percaya bahwa disana hanya ada satu Tuhan saja.
Semakin lama pengetahuan manusiapun semakin meluas sehingga satu persatu
pengetahuan dapat berdiri sendiri secara tematis. Perlahan-lahan, pengetahuan mulai menjadi
sebuah ilmu yang memiliki berbagai cabang sesuai dengan tema dan tujuannya masing-masing.
Dari sini berkembanglah ilmu filsafat yang dapat menilai sesuatu secara lebih menyeluruh dan
logis. Ilmu pun berkembang dengan filsafat, dan hal ini dapat dimanfaatkan manusia untuk
mengimbangi kebutuhan mereka dalam berinteraksi dengan realitas. Dengan ini pula peradaban
dapat berkembang sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia.
Namun stetemen diatas tidak dapat dipahami bahwa agama pertama adalah agama
paganisme, kemudian secara perlahan agama berkembang hingga menjadi agama tauhid. Karena
stetemen diatas hanyalah gambaran perkembangan agama menurut para imuwan agama.
Setidaknya uraian diatas dapat memberikan sedikit ganbaran mengenai perkembangan
pengetahuan manusia dari waktu kewaktu.
Kita tetap percaya bahwa agama pertama adalah tauhid (QS. al-Anbiya’:25), namun
manusialah yang kemudian mendistorsi agama. Karena agama adalah fitrah manusia yang
diberikan Tuhan semenjak manusia diciptakan (QS. al-Rûm: 30). Tuhan mengutus para rosul
agar mereka meluruskan apa yang telah melenceng dari pemahaman manusia tentang ketuhanan.
Ketika Tuhan menurunkan agama serta memberikan kitab suci sebagai petunjuk bagi manusia,
bukan berarti Tuhan  melarang manusia untuk berpikir. Karena dengan berpikir manusia akan
menyadari bahwa firman Tuhan itu benar. Serinngkali muncul pertanyaan, mungkinkan agama
dapat bertemu dengan pengetahuan, antara wahyu dengan akal, antara filsafat dengan agama atau
antara ilmu dengan agama?. Di Barat, pertanyaan seperti ini muncul terutama semenjak masa
pencerahan. Namun Islam sebagai agama terakhir yang luput dari distorsi manusia tetap dapat
berjalan bergandengan  dengan ilmu pengetahuan secara harmonis. Berbeda dengan agama
samawi lainnya, karena telah jauh melenceng dari ajaran orisinil, maka seringkali terjadi
pergulatan antara ilmu dengan agama.
Terdapat perbedaan antara pemikiran filsafat dengan pemikiran keimuwan. Pemikiran
filsafat cenderung pada renungan pemikiran yang bersifat hipotesis, sementara pemikiran
keimuwan lebih menekankan pada observasi. Dahulu terdapat banyak analisis mengenai awal
terjadinya alam semesta yang satu sama lain terkadang memiliki perbedaan yang sangat
mencolok. Satu diantaranya adalah bahwa alam semesta memiliki empat unsur dasar yaitu air,
api, udara dan debu. Ilmu sampai saat inibelum mampu memecahkan secara pasti asal mula alam
semesta. Namun demikian setidaknya terdapat lebih dari 100 unsur yang terdapat di alam
semesta yang dapat dilihat oleh mata manusia atau dapat dibawa ke laboratorium. Belakangan
diketahui bahwa air bukanlah unsur. Air sendiri terdiri dari dua unsur yaitu oksigen dan
hidrogen. 
Filsafat yang lebih menekankan pada hipotesis akan segera berpindah menjadi sebuah
ilmu hanya dengan memastikan kebenarannya dengan menggunakan metodologi tertentu.
Filsafat akan segera meninggalkan obyek setelah campur tangan ilmu yang kebenarannya lebih
dapat dipertanggung jawabkan.
Jika pada mulanya filsafat berkembang sebagai ekspresi manusia karena kecintaan
terhadap hikmah serta bertujuan untuk menyingkap sesuatu yang janggal dalam alam realitas,
maka sampai saat inipun filsafat tetap memiliki posisi khusus. Filsafat dapat mengekspresikan
hubungan saling mempengaruhi antara manusia dengan alam semesta. Pemahaman seperti inilah
yangber kembang pada masa keemasan peradaban Islam, dan filsafat Islam adalah puncak
kreatifitas akal. Filsafat Islam mempunyai pengaruh besar terhadap pencerahan di dunia Barat.
Dari sinilah Barat mengembangkan pengetahuan sesuai dengan nilai dan norma mereka yang
kemudian dapat mengantarkan manusia pada peradaban tegnologi modern. Ini adalah bukti kuat
kaitan pengetahuan dengan filsafat Islam. Ilmu tidak mungkin berkembang tanpa adanya
pemikiran dan pemikiran tidak akan berkembang jika jauh dari pengetahuan.
Para ulama dan failusuf Islam klasik menganggap bahwa pengetahuan empiris adalah
bagian dari fisafat. Mereka selalu berupaya untuk menemukan berbaga solusi yang berkaitan
dengan alam fisik dan alam metafisik. Imam Al-Rozi adalah seorang dokter sekaligus serang
failusuf besar. Dalam mengkaji ilmu kedokteran dan  filsafat tidak segan-segan untuk
memberikan keritikan kepada mereka yang berlawanan dengan pendapatnya. Studi mengenai
alam fisik dilakukan dengan menggunakan metodologi riset. Demikian pula yang dilakukan oleh
Ibnu Sina dan para failusuf Islam lainnya.
Ringkas kata bahwa dalam Islam terdapat hubungan erat antra agama, pengetahuan
dengan filsafat. Agama tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan, dan filsafat dapat membantu
manusia untuk mengetahui kebenaran. 16
 
Sumber Dan  Alat Pengetahuan.
 
Pengetahuan adalah mungkin dan realistis. Namun bagaimana manusia dapat mengetahui?
Masalah sumber dan alat pengetahuan juga dibahas dalam literatur-literatur epistimologi Islam.
Sesuai dengan hukum kausaliltas bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, maka pengetahuan
adalah sesuatu yang sifatnya aksidental -baik menurut teori recolection-nya Plato, teori
Aristoteles yang rasionalis-paripatetik, teori iluminasi-nya Suhrawardi, dan filsafat-materialisnya
kaum empiris. Tentunya sumber pengetahuan beragam sesuai dengan keragaman aliran
pemikiran manusia. Ketika ingin berhubungan dengan sumber pengetahuan, manusia
memerlukan suatu alat.17 Menurut para filusuf Islam, terdapat beberapa sumber dan sekaligus
alat pengetahuan, yaitu :
1.   wahyu
2.   Alam tabi'at atau alam fisik
3.   Alam Akal
4.   Hati dan Ilham
 
1.   Wahyu
 
Yang dimaksud dengan wahyu di sini adalah segala ajaran yang diturunkah Tuhan kepada
nabi Muhammad saw. Dari sini wahyu dapat dibagi menjadi dua, wahyu yang berupa kalam ilahi
(al-Qur’ân) dan wahyu yang diekspresikan oleh nabi Muhammad saw (hadits nabi). (QS. Al-
Najm: 34).
Wahyu memberikan pengetahuan manusia pada beberapa hal, diantaranya adalah:
a.                  Alam metafisika
Para ulama membagi permasalahan metafisika menjadi dua, pertama, berkaitan dengan
permasalahan metafisika itu sendiri dan kedua berkaitan dengan bukti empiris mengenai
keberadaan alam metafisika. Untuk permasalahan pertama, wahyu telah menjelaskan secara
gamblang mengenai realitas dan hubungan manusia dengan alam metafisika, diantaranya adalah
masalah ketuhanan, tauhid, kenabian, hari akhir, awal dan tujuan penciptaan manusia, posisi
manusia terhadap alam fisik, alam ghoib dan lain sebagainya. (QS. al-Jâtsiyah: 13, QS. al-Nahl:
38-39, QS. Al-Hâqah:13-17)
Ketika Tuhan berbicara mengenai sifat-sifat-Nya, Tuhan mengharapkan manusia sedapat
mungkin untuk meniru sifat-sifat Tuhan tersebut. Ketika Tuhan berbicara mengenai malaikat,
Tuhan mengingatkan manusia bahwa segala amal perbuatan manusia diawasi dan direkam oleh
malaikat. Ketika Tuhan berbicara mengenai hari akhir, Tuhan mengingatkan manusia bahwa
dunia bukanlah tujuan akhir. Segala amal perbuatan manusia akan dipertanggung-jawabkan
kelak dihari kemudian. Tidak hanya sampai disitu, wahyu juga memberikan keterangan rinci
mengenai malaikat, sifat dan nama baik Tuhan (asmâu’lhusna), kejadian hari kebangkitan, sorga,
neraka dan lain sebagainya sehingga pengetahuan manusia tidak lagi hanya sekedar meraba-raba.
 Tentu saja terdapat perbedaan antara pandangan wahyu mengenai alam metafisika
dengan pandangan para filosof. Wahyu tidak hanya sekedar memberikan gambaran alam
metafisik, namun juga memberikan pengetahuan bagaimana kita berinteraksi dengan alam
metafisik tersebut. Para filosof Islam biasanya hanya berusaha membuktikan bahwa firman
Tuhan tentang alam metafisik adalah benar adanya, karena pengetahuan mereka telah dilandasi
oleh wahyu.
Adapun bagian kedua yaitu yang berkaitan degan bukti empiris, wahyu secara tegas
memberikan dukungan kepada tindakan observasi, bahkan dalam al-Qurâ’an banyak terdapat
ayat-ayat yang menyeru manusia agar melihat alam ciptaannya. Dengan ini diharapkan manusia
akan menyakini bahwa alam yang berjalan dengan sangat rapi tentu ada yang mengatur dan
menciptakan.
b.      Segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum (syarî’at)
Wahyu juga memberikan gambaran mengenai posisi manusia di muka bumi, bagaimana ia
berinteraksi dengan Tuhan, alam dan sesama manusia. semua diatur melalui hukum syarî’at.
Dengan syarî’at pula, Tuhan memberikan aturan main bagi kehidupan umat manusia yang tentu
saja demi kemaslahatan manusia itu sendiri.18
 
2. Alam tabi'at atau alam fisik
 
Manusia sebagai wujud materi, selama di alam materi ia tidak akan lepas dari hubungannya
dengan materi secara interaktif. Hubungannya dengan materi menuntutnya untuk menggunakan
alat yang sifatnya materi pula, yakni indra (al-hiss), karena sesuatu yang materi tidak bisa
dirubah menjadi yang tidak materi (inmateri). Contoh yang paling konkrit dari hubungan dengan
materi dengan cara yang sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian manusia di dunia ini,
sepert makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagianya. Dengan demikian, alam tabi'at
yang materi merupakan sumber pengetahuan yang "barangkali" paling awal dan indra merupakan
alat untuk berpengetahuan yang sumbernya tabi'at.
Tanpa indra manusia tidak dapat mengetahui alam tabi'at. Disebutkan bahwa, barang siapa
tidak mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan. Dalam
filsafat Aristoteles klasik pengetahuan lewat indra termasuk dari enam pengetahuan yang
aksioamatis (badihiyyât). Meski indra berperan sangat signifikan dalam berpengetahuan, namun
indra hanya sebagai syarat yang lazim bukan syarat yang cukup. Peranan indra hanya memotret
realita materi yang sifatnya parsial saja, dan untuk meng-generalisasi-kannya dibutuhkan akal.
Malah dalam kajian filsafat Islam yang paling akhir, pengetahuan yang diperoleh melalui indra
sebenarnya bukanlah lewat indra. Mereka mengatakan bahwa obyek pengetahuan (al ma'lûm)
ada dua macam, yaitu, (1) obyek pengetahuan yang substansial dan (2) obyek pengetahuan yang
aksidental. Yang diketahui secara substansial oleh manusia adalah obyek yang ada dalam benak,
sedang realita di luar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental. Menurut pandangan ini, indra
hanya merespon saja dari realita luar ke relita dalam.19
 
 
Pandangan Sensualisme (al-hissiyyin).
 
Kaum sensualisme, khususnya John Locke, menganggap bahwa pengetahuan yang sah dan
benar hanya lewat indra saja. Mereka mengatakan bahwa otak manusia ketika lahir dalam
keadaan kosong dari segala bentuk pengetahuan, kemudian melalui indra realita-realita di luar
tertanam dalam benak. Peranan akal hanya dua saja yaitu, menyusun dan memilah, dan meng-
generalisasi. Jadi yang paling berperan adalah indra. Pengetahuan yang murni lewat akal tanpa
indra tidak ada. Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa realita yang bukan materi atau
yang tidak dapat bersentuhan dengan indra, maka tidak dapat diketahui, sehingga pada gilirannya
mereka mengingkari hal-hal yang metafisik seperti Tuhan.20
Pemahaman seperti ini tidak terdapat dalam Islam, karena Islam membagi wujud menjadi
dua, yaitu alam fisik dan alam metafisik. Indera manusia hanya dapat bersentuhan dengan alam
metafisik sedangkan alam fisik berada diluar jangkauan indera. Manusi dituntut untuk
mengetahui dua alam ini. Kepercayaan manusia terhadap dua alam materi dan non materi akan
berpengaruh kepada perjalanan dan tingkah laku manusia. Dengan dua kepercayaan inilah
peradaban Islam dibangun.
Islam juga tidak menafikan metodologi empiris yang bersifat eksperimental, bahkan Islam
sangat mendukung kegiatan seperti ini. Karena kegiatan seperti inilah yang akan mengantarkan
manusia pada kemajuan peradaban. Apalagi dalam ayat-ayat al-Qur’ân Tuhan sering menyeru
umat manusia agar selalu mengadakan observasi sebagai langkah untuk dapat menundukkan
alam raya. (QS. Ibrâhîm: 32-33). Kegiatan seperti ini tidak hanya sekedar teori, namun juga telah
direalisasikan oleh para ulama kita terdahulu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
metodologi research berasal dari ajaran Islam yang orisinil.21
 
2. Alam Akal
 
Kaum Rasionalis, selain alam tabi'at atau alam fisika, meyakini bahwa akal merupakan
sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka
menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya
pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yang berkaitan dengannya, namun
yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja tanpa akal tidak ada
artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada. 22
Islam sendiri sangat menghormati akal, bahkan dalam banyak ayat sering timbul
pertanyakan “Apakah kamu tidak berakal”?. Dengan akal, manusia dapat merenungi alam
semesta dan mencarikan solusi terhadap problematika yang sedang dihadapinya. Akal juga dapat
mengantarkan manusia pada pengetahuan ketuhana, bahwa alam tidak datang secara kebetulan.
(QS. al-Qoshos :71-72, QS. al-Dzâriyât: 21)
Namun demikian Islam tidak mentuhankan akal, artinya bahwa segala sesuatu dapat di
pecahkan lewat akal. Karena bagaimanapun juga, akal manusia juga memiliki sisi-sisi
kelemahan. Akal manusia tidak dapat menjangkau sesuatu yang berada diluar rasional seperti al
ghoibiyah.
 
Aktivitas-aktiviras Akal23
 
Selain itu, akal juga memiliki aktivitas tertentu. Akal tidak jumûd yang hanya menerima apa
adanya tanpa mengeluarkan reaksi. Sebagai suatu proses pengetahuan, akal akan selalu
beraktivitas dan mengolah pengetahuan sesuai dengan kemampuan akal itu sendiri. Diantara
aktivits akal adalah:
1.            Menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan menarik kesimpulan adalah
mengambil sebuah hukum atas sebuah kasus tertentu dari hukum yang general. Aktivitas
ini dalam istilah logika disebut silogisme kategoris demonstratif.
2.            Mengetahui konsep-konsep yang general. Ada dua teori yang menjelaskan aktivitas
akal ini, pertama, teori yang mengatakan bahwa akal terlebih dahulu menghilangkan ciri-
ciri yang khas dari beberapa person dan membiarkan titik-titik kesamaan mereka. Teori
ini disebut dengan teori tajrîd dan intiza'. Kedua, teori yang mangatakan bahwa
pengetahuan akal tentang konsep yang general melalui tiga tahapan, yaitu persentuhan
indra dengan materi, perekaman benak, dan generalisasi.
3.            Pengelompokan Wujud. Akal mempunyai kemampuan mengelompokkan segala
yang ada di alam realita ke beberapa kelompok, misalnya realita-realita yang
dikelompokkan ke dalam substansi, dan ke dalam aksdensi (yang sembilan macam).
4.            Pemilahan dan Penguraian.
5.            Penggabungan dan Penyusunan.
6.            Kreativitas.
         Demikianlah aktivitas akal manusia. tentu saja, kemampuan aktivitas akal antara satu
indivisu dengan individu lainya berbeda-beda tergantung dari kemampuan akal itu sendiri.
Dengan ini pula pengetahuan dapat berkembang.
 
a.   Qiyâs (analogi) sebagai wujud mencari kebenaran melalui logika
 
Al-Qur’ân dan al-sunnah adalah dua teks yang terbatas, sementara problematika umat
Islam tidak terbatas. Untuk itu para ulama Islam mencari solusi lain untuk dapat memecahkan
masalah yang timbul dalam masyarakat setempat. Tentu saja dengan tetap berlandaskan pada dua
teks tersebut. Dari sini para ulama dituntut untuk meletakkan landasan teoritis yang dapat
dijadikan pijakan dalam menentukan hukum. Maka peran akal atau ilmu logika menjadi sangat
urgen. Muncullah apa yang kemudian disebut sebagai qiyâs (analogi). Analogi ialah menetapkan
hukum (baca; predikat) atas sesuatu dengan hukum yang telah ada pada sesuatu yang lain karena
adanya kesamaan antara dua sesuatu itu
Disini akan di bahas mengenai qiyas menurut ulama usul fiqh dan ulama kalam. Sengaja
dibedakan antara keduanya karena dalam pemahasan ini ulama kalam memberikan beberapa
tambahan yang tidak disepakati oleh ulama usul. Demikian juga sebaliknya, ulama usul
memberikan tambahan yang tidak dipakai oleh ulama kalam.
 
1.         Qiyâs ushulî 
 
Sebelum masa al-Ghozâl‫ى‬, para ulama kalam dan sebagian ulama usul menganggap bahwa
qiyâs ushulî dapat mengantarkan ulama pada kebenaran. Qiyâs sendiri dilakukan melalui
penelitian yang sangat mendalam dan menggunakan dua landasan penting, yaitu hukum illiyah,
dan hukum ithrod.
Hukum illiyah adalah hukum kausalitas, dalam artian setiap sesuatu yang ma’lûl(musabab),
pasti ada illahnya (sebab). Untuk mengetahui hukum kausalitas dapat kita saksikan melalui
fenomena alam fisik. Contoh bahwa illah diharamkannya khomer karena memabukkan. Dengan
demikian setiap sesuatu yang memabukkab hukumnya haram.
Sedangkan hukum ithrod adalah bahwa kejadian alam berjalan dalam satu kepastian
hukum alam, artinya observasi pada suatu obyek dapat mencapai hasil tetap  atau menemukan
hukum alam. Contoh: bumi berputar mengelilingi matahari atau bumi berputar pada porosnya.
Peristiwa alam seperti ini sejak dulu hingga sekarang selalu berjalan tanpa adanya
perubahan.24 Sebabnya adalah bahwa setiap kejadian alam sudah tersusun rapi dan teratur
(nature is uniform). Dari sini timbul kesimpulan bahwa jika terjadi peristiwa alam dikarenakan
oleh sebab-sebab tertentu, kemudian terjadi dalam peristiwa lain yang mempunyai penyebab
sama maka akan menimbulkan nilai yang sama pula.
Mengenai Qiyâs, para ulama usul terbagi menjadi dua:
1.      Mereka yang berpendapat bahwa qiyâs dianggap sah bila terdapat sebagian
kesamaan, artinya jika terdapat sifat-sifat ‘irdliyah pada dua bagian; asal dan cabang,
maka kita menganggapnya telah memiliki sifat-sifat kesamaan. Qiâs seperti ini disebut
sebagai qiyâs dlonni dan tidak dapat dijadikan sandaran dalam metodologi research.
2.      Mereka yang berpendapat bahwa qiyâs dapat dianggap sah jika terdapat illahyang
sama antara asal dengan cabang. Qiyâs ini dianggap telah memenuhi standar ilmiah
karena bertumpu pada hukum illiyah (the law of universal causation) danithrod (law of
univormity of nature).  Untuk itulah para ulama juga meletakkan landasan hukum yang
dapat mengetahui kebenaran illah atau ithrod.
Qiyâs seperti ini tersusun dari beberapa unsur;
(1) asal, yaitu kasus parsial yang telah diketahui hukumnya.
(2) cabang, yaitu kasus parsial yang hendak diketahui hukumnya,
(3) titik kesamaan antara asal dan cabang (illah)
(4) hukum yang sudah ditetapkan atas asal.25
 
2.         Qiyâs al ghoib alâ al syâhid
 
Para ulama kalam kususnya dari kalangan asy’âriyah menggunakan Qiyâs al ghoib alâ al
syâhid untuk menentukan kebenaran atas obyek yang belum jelas (majhul). Jika
qiyâsusulî menganalogikan cabang karena mempunyai kesamaan illah dengan asal, maka
qiyâs al ghoib alâ al syahid  sebalikknya, menganalogikan asal dengan cabang karena dianggap
memiliki kesamaan illah. Selain illah, para ulama usul menambahkan kesamaan lain seperti
syarat, dalîl, had, hakekat.
Contoh kesamaan illah menurut ulama usul: jika dalam alam fisik kepandaian seseorang
karena memiliki pengetahuan, maka hal ini juga berlaku pada alam ghoib. Hal ini dikarenaka
adanya kesamaa illah sehingga memiliki nilai sama. Dengan artian bahwa sifat tertentu pada suat
benda mengharuskan adanya mausuf.
Contoh kesamaan syarat menurut ulama usul: dalam alam fisik bahwa orang yang
mempunyai sifat pandai disyaratkan harus hidup. Dan hal ini juga berlaku pada yang ghoib.
Contoh kesamaan dalil (bukti) menurut ulama usul: dalam alam fisik bahwa orang yang
mempu membuat sesuatu membuktikan bahwa dia mempunyai sifat kemampuan(qudrah),
demikian halnya dengan yang ghoib.
Contoh kesamaan had atau hakekat menurut ulama usul: jika dalam alam fisik seseorang
dikatakan pandai karena memiliki pengetahuan, maka hal ini juga berlaku pada alam ghoib.
Namun para ulama kalam berbeda pendapat mengenai had dan hakekat, apakah keduanya hanya
perbedaan terminilogi namun mempunyai definisi yang sama, atau keduanya memiliki sefinisi
sendiri- sendiri?
Qiyâs al ghoib alâ al syâhid sebagaimana yang digunakan para ulama kalam
mendapatkan banyak kritikan. Pertama, kesamaan hakekat dianggap batil karena pengetahuan al
hâdits (baru) berbeda dengan pengetahuan al qodim (lama). Bagaimana kita menganalogikan
sesuatu yang jelas memiliki perberbedaan? Kedua,  bahwa qiyâs seperti ini hanya akan
menghasilkan nilai yang bersifat dlonî (meragukan) dan bukan qoth’î (yakin).
            Inilah satu diantara landasan teoritis yang diletakkan para ulam usul dan ulama kalam
dalam upaya mencari kebenaran. Meskipun terdapat banyak kritik terutama dari kalangan
ulama muta’ahhirîn, namun setidaknya menunjukkan kepiaaian ulama Islam dalam menentukan
hukum yang tidak terdapat dalam al Qur’ân maupun al sunnah.25
 
 
3.   Hati dan Ilham
 
Kaum empiris yang memandang bahwa ada sama dengan materi sehingga sesuatu yang
inmateri adalah tidak ada, maka pengetahuan tentang inmateri tidak mungkin ada. Sebaliknya
kaum Ilahi ( theosopi) yang meyakini bahwa ada lebih luas dari sekedar materi, mereka mayakini
keberadaan hal-hal yang inmateri. Pengetahuan seperti itu tidak mungkin lewat indra tetapi lewat
akal atau hati.
Tentu yang dimaksud dengan pengetahuan lewat hati disini adalah pengetahuan tentang
realita inmateri eksternal, kalau yang internal seperti rasa sakit, sedih, senang, lapar, haus dan
hal-hal yang intuitif lainnya diyakini keberadaannya oleh semua orang tanpa kecuali.
Bagaimana mengetahui lewat hati ?
Filusuf Ilahi Mulla Shadra ra. berkata, "Sesungguhnya ruh manusia jika lepas dari badan
dan berhijrah menuju Tuhannya untuk menyaksikan tanda-tanda-Nya yang sangat besar, dan
juga ruh itu bersih dari kamaksiatan-kemaksiatan, syahwat dan keterkaitan, maka akan tampak
padanya cahaya makrifat dan keimanan kepada Allah dan malakut-Nya yang sangat tinggi.
Cahaya itu jika menguat dan mensubstansi, maka ia menjadi substansi yang qudsi, yang dalam
istilah hikmah teoritis oleh para ahli hikmat disebut dengan akal efektif dan dalam istilah syariat
kenabian disebut ruh yang suci. Dengan cahaya akal yang kuat, maka terpancar di dalamnya
-yakni ruh manusia yang suci- rahasia-rahasia yang ada di bumi dan di langit dan akan tampak
darinya hakikat-hakikat segala sesuatu sebagimana tampak dengan cahaya sensual mata (alhissî)
gambaran-gambaran konsepsi dalam kekuatan mata jika tidak terhalang tabir. Tabir di sini
-dalam pembahasan ini- adalah pengaruh-pengaruh alam tabiat dan kesibukan-kesibukan dunia,
karena hati dan ruh -sesuai dengan bentuk ciptaannya- mempunyai kelayakan untuk menerima
cahaya hikmah dan iman jika tidak dihinggapi kegelapan yang merusaknya seperti kekufuran,
atau tabir yang menghalanginya seperti kemaksiatan dan yang berkaitan dengannya "
Kemudian beliau melanjutkan, "Jika jiwa berpaling dari ajakan-ajakan tabiat dan
kegelapan-kegelapan hawa nafsu, dan menghadapkan dirinya kepada Alhaq dan alam malakut,
maka jiwa itu akan berhubungan dengan kebahagiaan yang sangat tinggi dan akan tampak
padanya rahasia alam qudsi). Lihat ." (al-Asfar al-Arba'ah jilid 7 halaman 24-25).
Tentang kebenaran realita alam ruh dan hati ini, Ibnu Sina berkata, "Sesungguhnya para
'arifin mempunyai makam-makam dan derajat-derajat yang khusus untuk mereka. Mereka dalam
kehidupan dunia di bawah yang lain. Seakan-akan mereka itu, padahal mereka berada dengan
badan mereka, telah melepaskan dan meninggalkannya untuk alam qudsi. Mereka dapat
menyaksikan hal-hal yang halus yang tidak dapat dibayangkan dan diterangkan dengan lisan.
Kesenangan mereka dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat mata dan didengar telinga. Orang
yang tidak menyukainya akan mengingkarinya dan orang yang memahaminya akan
membesarkannya." (al-Isyarat jilid 3 bagian kesembilan tentang makam-makam para 'arif
halaman 363-364)
Kemudia beliau melanjutkan, "Jika sampai kepadamu berita bahwa seorang 'arif berbicara
-lebih dulu- tentang hal yang ghaib (atau yang akan terjadi), dengan berita yang menyenangkan
atau peringatan, maka percayailah. Dan sekali-sekali anda keberatan untuk mempercayainya,
karena apa yang dia beritakan mempunyai sebab-sebab yang jelas dalam pandangan-pandangan
(aliran-aliran) tabi'at."
Pengetahuan tentang alam ghaib yang dicapai manusia lewat hati jika berkenaan dengan
pribadi seseorang saja disebut ilham atau isyraq, dan jika berkaitan dengan bimbingan umat
manusia dan penyempurnaan jiwa mereka dengan syariat disebut wahyu.26
 
Syarat dan Penghalang Pengetahuan.
 
Meskipun berpengetahuan tidak bisa dipisahkan dari manusia, namun seringkali ada hal-hal
yang mestinya diketahui oleh manusia, ternyata tidak dapat diketahui.
Oleh karena itu ada beberapa pra-syarat untuk memiliki pengetahuan, yaitu :
1.            Konsentrasi
Orang yang tidak mengkonsentasikan (memfokuskan) indra dan akal pikirannya pada
benda-benda di luar, maka dia tidak akan mengetahui apa yang ada di sekitarnya.
2.            Akal yang sehat
Orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat berpikir dengan baik. Akal yang tidak sehat ini
mungkin karena penyakit, cacat bawaan atau pendidikan yang tidak benar.
3.            Indra yang sehat
Orang yang salah satu atau semua indranya cacat maka tidak mengetahui alam materi yang
ada di sekitarnya.
Jika syarat-syarat ini terpenuhi maka seseorang akan mendapatkan pengetahuan lewat indra
dan akal. Kemudian pengetahuan dapat dimiliki lewat hati. Pengetahuan ini akan diraih dengan
syarat-syarat seperti, membersihkan hati dari kemaksiatan, memfokuskan hati kepada alam yang
lebih tinggi, mengosongkan hati dari fanatisme dan mengikuti aturan-aturan syar’î dan suluk.
Seorang yang hatinya seperti itu akan terpantul di dalamnya cahaya Ilahi dan kesempurnaan-
Nya.
Ketika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pengetahuan akan terhalang dari manusia.
Secara spesifik ada beberapa sifat yang menjadi penghalang pengetahuan, seperti sombong,
fanatisme, taqlid buta (tanpa dasar yang kuat), kepongahan karena ilmu, jiwa yang lemah (jiwa
yang mudah dipengaruhi pribadi-pribadi besar) dan mencintai materi secara berlebihan.27
 
Metodologi keilmuan dalam perspektif  Islam.
 
Pengertian metodologi keilmuan
 
Secara singkat dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah suatu teori pengetahuan
yang dipergunakan manusia dalam memberikan jawaban tertentu terhadap suatu
pertanyaan.28  Metode, menurut Senn, merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang
memiliki langkah-langkah yang sistematis. Metodologi keilmuan merupakan pengkajian dalam
mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Metode ini menitikberatkan
kepada  suatu urutan prosedur yang seksama, dimana diperoleh sekumpulan pengetahuan yang
diperlukan secara terus menerus dan bersifat mengoreksi diri sendiri.  Metode keilmuan
mendasarkan diri pada anggapan bahwa terdapat keteraturan yang dapat ditemukan dalam
hubungan antara gejala-gejala dan bahwa alat panca indera manusia (atau alat yang dibuat
secara teliti) pada dasarnya dapat berfungsi secara layak. Jadi metodologi keilmuian merupakan
pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.29 Dan ilmu merupakan
pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah.
Lewat pengorganisasian yang sistematis dan pengujian pengamatan, manusia telah mampu
mengumpulkan pengetahuan secara kumulatif, walaupun yang terus menerus bertumbuh dan
mempunyai peluang yang besar untuk benar.  Kendati demikian, metode
keimuwan tidak mengajukan diri sebagai sebuah metode yang membahayakan  manusia kepada
sesuatu kebenaran akhir yang takan pernah berubah.
Kesadaran ini diajukan tentu didasarkan atas beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh
metode keilmuan terutama terletak pada asumsi landasan epistemologi ilmu, yang menyatakan
bahwa kita mampu memperoleh pengetahuan yang bertumpuh pada prespsi, ingatan  dan
penalaran.30  
Proses kegiatan ilmiah, menurut Riychia Calder, dimulai ketika manusia mengamati
sesuatu. Secara ontologis ilmu membatasi masalah yang diamati dan dikaji hanya pada masalah
yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan pengetahuan manusia. Jadi ilmu tidak
mempermasalahkan tentang hal-hal di luar jangkauan manusia. Karena yang dihadapinya adalah
nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula. Einstein menegaskan bahwa
ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, apapun juga teori-teori yang menjembatani
antara keduanya. Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat
dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan
secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu
penjelasan rasional yang berkesusaian dengan obyek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar
bagaimanapun meyakinkannya, harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.
Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkah-
langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara
konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai
dengan fakta dari yang tidak.31
Metode ini secara ringkas merupakan suatu rangkaian prosedur yang tertentu harus diikuti
untuk mendapatkan jawaban yang tertentu dari pengetahuan yang tertentu pula. Kerangka dasar
prosedur ini dapat diuraikan dalam 6 (enam) langkah yaitu :
(1).  Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah,
(2).  Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan,
(3).  Penyusunan atau klasifikasi data,
(4).  Perumusan Hipotesis,
(5).  Dedukasi dan Hipotesis, dan
(6).  Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis32
 
Dengan menggunakan langkah-langkah tersebut diatas maka jawaban dari kebenaran
keimuan akan lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam keilmuan Islam, ada beberapa hal yang patut diperhatikan sebelum melakuakan
kejian ilmiah. Dengan ini diharapkan ilmuan muslim tetap berjalan diatas rel-rel yang telah
digariskan Islam serta terhindar dari pemahaman yang bersifat materialistik dan sekuleristik.
           
1. Tauhid.
 
Pencerahan di barat di awali dengan pergulatan antara para ilmuan disatu pihak dan gereja
dipihak lain. Para ilmuan beranggapan bahwa ilmu tidak mungkin dapat dikompromikan dengan
agama. Pergulatan ini pada akhirnya dimenangkan oleh para ilmuan. Inilah awal dari proses
sekulerisasi Barat. Ilmu pengetahuan sama sekali terlepas dari nilai-nilai keuhan. Bahkan mereka
cenderung mentuhankan pengetahuan itu sendiri sehingga ilmu pengetauan dianggap sebagai
solusi atas segala problematika yang dihadapi umat manusia. Lebih parah lagi, ilmu pengetahuan
dianggap lepas dari manusia sehinga eksistensi manusi hanyalah sebagai pion pengetahuan.
Dari sini muncul gerakan Antisciece. Mereka menolak mengikuti pengetahuan secara
membabi buta yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka beranggapan bahwa
pemahaman seperti ini hanya akan menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Sebagian
mereka bahkan menyeru agar manusia menjauhkan diri dari sikap materialistis dan kembali
kepada fitrah manusia.
Sayangnya pemahaman mengenai sekulerisasi ilmu pengetahuan, bahwa pengetahuan sama
sekali tidak ada kaitannya dengan agama merembet ke dunia Islam. Muncul kesan bahwa untuk
dapat mengejar ketertinggalan harus meniru metodologi barat meskipun itu bertentangan dengan
nilai dan norma Islam. Maka mengembalikan metodologi keilmuan sebagaimana yang digariskan
oleh Islam menjadi suatu keharusan.33
Dalam pengetahuan Islam terdapat dua hal yang sama-sama mendapat perhaitan secara
seimbang, pertama  adalah pengetahuan yang tetap  dan tidak boleh dirombak (tsawâbit)dan
yang kedua  adalah pengetahuan yang bersifat elastis dan dapat berubah sesuai dengan tempat
dan waktu (mutaghayirât).
Pengetahuan yang tidak dapat berubah (tsawâbit) adalah keimanan kepada sang pencipta
(tauhid). Yang dimaksud dengan keimanan disini adalah kumpulan permasalahan dasar yang
harus diterima dan dipercayai kebenarannya oleh seorang ilmuan sejak dini. Berpijak dari
keimanan inilah para ilmuan muslim memulai segala aktifitasnya dalam mengembangkan
pemikiran keimuan. Dengan tauhid ilmuan muslim dapat melihat hakekat kehidupan, pemikiran
dan wujud dengan benar, selain itu tauhid juga dapat membantu mereka dalam membaca dan
merenungi ayat-ayat Tuhan dalam kitab suci maupun ayat-ayat yang tersirat dalam alam raya.
(QS. al-‘Alaq:1). Dan pemahaman keimanan seperti ini dapat dijadikan sebagai langkah awal
untuk mengembalikan metodologi  research yang Islami. Aqidah tauhid juga dapat menjaga
kehormatan manusia, menyelamatkan dan membebaskan manusia dari kekuasaan materialis.
Dengan berlandaskan tauhid, Islamisasi ilmu pengetahuan dapat terealisasikan. Dengkan
demikian pemahaman filasafat ilmu dalam Islam akan memiliki arti yang lebih luas dibanding
dengan pengertian filsafat ilmu menurut para ilmuwan pada umumnya. Jika para ilmuan barat
hanya percaya pada sesuatu yang bersifat materi (alam fisik) dan rasional, maka pengetahuan
dalam Islam leih jauh dari itu. Pengetahuan dalam Islam juga mempercayai hal-hal yang berada
diluar alam fisik dan suprarasional. Ilmu alam fisik meskipun bersifat duniawi namun tetap ada
korelasi dengan ketauhidan (ketuhanan). Tauhid akan mengantarkan ilmuan muslim
kepada  pencarian terhadap titik-titik kesatuan yang ada dalam alam raya juga dalam diri umat
manusia itu sendiri.
Sebenarnya dalam berbagai cabang ilmu pengetahuanpun memiliki titik-titik pertemuan
yang satu sama lain saling mempengaruhi sehingga dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
hanya ada satu. Sebagian ulama bahkan mengatakan bahwa pengetahuan hanya memiliki satu
sumber karena semua cabang ilmu memiliki tempat dalam pengetahuan.
Kesatuan juga nampak di alam raya, dalam putaran atom, putaran elektronik, putaran planet
bahkan putaran insan muslim ketika berthawaf mengelilingi ka’bah.
Dengan kepercayaan kepada arti kesatuan (tauhid) seorang ilmuwan akan lebih tenang dan
percaya diri dalam menjalani preses observasi.34
 
2.         hukum alam
 
Tauhid akan mengantarkan kita pada kepercayaan bahwa segala sesuatu yang berada di
jagat raya berasal dari Tuhan yang satu. dan alam raya dikendalikan Tuhan dengan rapi dan
teratur. Tuhan juga telah melatakkan ketentuan dalam alam semesta yang tidak akan pernah
berubah, mengatur dan menjaga alam semesta sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam
peraturan hukum alam. (QS. al-Mulk 1-4, QS. al-Qomar :49)
Dengan ketentuan hukum alam yang tidak dapat berubah serta dengan memperhatikan
hukum kausalitas, manusia dapat memperoleh pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dalam
realitas sosial.
 
3.         Kewajiban melakukan observasi
 
Bayak ayat-ayat Al-Qur’ân ataupun al-Hadits yang menyerukan umat Islam agar selalu
menuntut ilmu dan mengadakan observasi dengan menggunakan metodologi yang benar. Bahkan
para ulama sepakat bahwa mengetahui ilmu-ilmu duniai adalah fardlu kifayah. Ilmuan muslim
yang melandasi proses observasi dengan tauhid, ketika berhasil menyingkap rahasia alam akan
semakin mempertebal keimananya kepada Sang Pencipta (QS. Ali Imron:191). Setiap
pengetahuan yang menyangkut kebutuhan umat Islam adalah fardu kifayah. Jika tidak ada
seorangpun yang mengetahui pengetahuan tersebut maka seluruh umat Islam akan menanggung
dosa. Tentu saja umat Islam disini adalah kumpulan komusitas umat yang tinggal dalam satu
tempat tertentu. Karena pengetahuan sangat luas, maka spesialisasi dalam satu cabang ilmu
sangat urgen35.
Pemahaman para ilmuan mengenai metodologi ilmiyah yang lepas dari nilai-nilai agama
akan berimplikasi pada kepercayaan ilmuan kepada sang pencipta. Tidak hanya sampai disitu,
pengetahuan yang sejatinya digunakan demi kemaslahatan manusia bahkan dapat
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Peradaban yang dibangun melalui pandangan
pengetahuan sekuleristik akan mengantarkan manusia pada pandangan-pandangan materilaistik
juga. Jika demikian adanya, maka proses observasi hanya akan mengantarkan manusia kepada
jurang kekafiran. Penngetahuan yang semestinya menjadi pembantu manusia dalam mengatasi
berbagai kendala yang mereka hadapai, justru sebaliknya, menciptakan problematika baru.
Bahkan pengetahuan dijadikan alat untuk menghancurkan menusia dal alam raya. Benarlah
firman Tuhan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. al-Rûm: 41)
Tentu saja pandangan materialistik seperti ini tidak dikehendaki oleh Islam. Dengan
landasan tauhid, pengetahuan tetap akan berjalan sesuai dengan nilai dan etika yang Islami. Para
ilmuan muslimpun akan menggunakan ilmunya demi kemaslahatan umat manusia seluruhnya.
Bukankah Islam adalah “rahmatan lil’âlamîn?” Segala sesuatu dapat merugikan umat manusia
sejauh mungkin akan dihindari.
Observasi ilmiyah yang berlandaskam pada ajaran Islam juga akan memerangi bentuk-
bentuk perdukunan, ramalan dan hal-hla mistis lainnya. Kepercayaan masyarakat pada mistisme
seperti ini selain bertentangan dengan Islam juga akan menghalangi proses pekembangan
pengetahuan.
 
4.         Kenisbian pengetahuan ilmiah
 
Pengetahuan tidak terbatas sementara akal manusia sebagai subyek pengetahuan sangat
terbatas. Seringkali para ilmuan menemukan rahasia alam kemudian meletakkan sebuah teori
tertentu. Namun bersama dengan kemajuan ilmu dan tegnologi ternyata teori tersebut mengalami
cacat sehingga menelurkan teori baru yang barangkali lebih valid. Sampai akhirnya manusia
akan menemukan kebenaran yang sesungguhnya. Dalam al quran kebenaran ini di sebut sebagai
sunatullah.  Dulu manusia berfikir bahwa bumi adalah pusat tata surya. Matahari dan bintang-
bintang ngkasa lainnya berputar mengelilingi planet bumi. Pemahaman seperti ini berlangsuing
hingga ratusan tahun, namun pada akhirnya diketahui bahwa pusat tata surya bukan bumi, akan
tetapi matahari.
Denagn pemahaman bahwa hasil penemuan ilmiah belum sampai pada titik final akan
semakin mendorong ilmuan muslim supaya melakukan observasi secara kontinu. Ia tidak akan
pernah puas terhadap produk pengetahuan yang dihasilkan manusia. kontinuitas dalam observasi
inilah yang akan mendorong kemajuan ilmiah di dunia Islam. Dan kemajuan peradaban Islam
masa lalu tidak lebih karena sikap dan pandangan ilmiah pada ilmuan muslim. Mereka tidak mau
menerima pemikiran yang hanya bersifat hipotesis tanpa ada bukti empiris. Budaya laboratorium
sangat berkembang di dunia Islam saat itu.36
Dari sedikit pembagasan mengenai akar epitemologi dalam Islam yang dilandasi dengan al-
Qur’ân dan al-sunnah, jika kita komparasikan dengan struktur epistemologi di dunia Barat maka
kita akan menemukan perbedaan yang sangant mencolok. Perbedaan struktur tentu juga akan
berimplikasi pada perbedaan nilai. Jika pengetahuan Barat yang materialistik akan menghasilkan
peradaban materilaistik pula, maka diharapkan dengan mengkaji struktur epistemiligi dalam
Islam akan dapat mengembalikan peran pengetahuan Islam di dunia Islam pada khususnya dan
internasional pada umumnya. (Wahyudi Abdurrahim)
 
 
End-notes:
1
 www.Geocities.com/Hotsprings/6774/j-35, Agus Aditoni, EPISTEMOLOGI (Pengertian, Sejarah dan Ruang
Lingkup).
2
 www. Itb.ac.id/`eryan/FreeArticle/fililmu. Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat
Islam  di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad dengan judul “ Filsafat Ilmu”.
3
 Agus Aditoni op. cit
4
 Ust. Husein Al-Kaff, op. cit.
5
 www. Hayati-itb.com. Fredrik  Rieuwpassa (P.216.Oooo1-Gmk), Kajian Filusuf Terhadap
Kebenaran Sains
6
 Ibid.
7
 www. Itb.ac.id/`eryan/FreeArticle/fililmu. Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat
Islam  di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad dengan judul “ Filsafat Ilmu”.
8
 Ibnu Rusyd, Fashlu’l Maqal Fîmâ baina’l hikmah wa al-Syarîah mina’l ittishol hal. 31,
dirâsah wa Tahqîq Muhammad ‘Imârah, Daru’l Ma’ârif.
9
 Ust. Husein Al-Kaff, op. cit
10
 Ibid.
11
 Dr. Rojih ‘Abdu’l hamîd al-Kurdiy, Nazhoriyatu’l Ma’rifah Baina’l Qur’ân Wa’l Falsafah, hal
83-84 Maktabah al-Mu’ayyad.
12
 www. Itb.ac.id/`eryan/FreeArticle/fililmu. Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat
Islam  di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad dengan judul “ Filsafat Ilmu
12
 Dr. Rojih ‘Abdu’l hamîd al-Kurdiy, op. Cit., hal. 86
13
 Makalah Ust. Husein Al-Kaff, op. cit.
14
 Dr. Muhammad Robi’ Muhammad Jauharî, Iqtinâshu’l ‘awalî minan iqtishodi’l Ghozâlî, hal.
62.
15
 Dr. Fathî Hasan Mlakâwî ed. Nahwû Nidlomi Ma’rfî islâmî, IIIT, Maktabatu’l Urdun.
16
 Dr. Ahmad Fu’ad Basya, Dirosât Islâmiyah fî’l Fikri’l Ilmî hal. 94
17
 www. Itb.ac.id/`eryan/FreeArticle/fililmu. Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat
Islam  di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad dengan judul “ Filsafat Ilmu.
18
 Dr. Rojih ‘Abdu’l hamîd al-Kurdiy, Nazhoriyatu’l Ma’rifah Baina’l Qur’ân Wa’l Falsafah,
hal. 202-212, Maktabah al-Mu’ayyad.
19
 Ust. Husein Al-Kaff, op. cit.
20
 Ibid.
21
 Dr. Ahmad Fu’ad Basya, Dirosât Islâmiyah fî’l Fikri’l Ilmî hal. 128
22
 www. Itb.ac.id/`eryan/FreeArticle/fililmu. Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat
Islam  di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad dengan judul “ Filsafat Ilmu”.
23
 Ibid
24
 Dr. Ahmad al-Sayyid ‘Alî Romadlon, al-Islâm Wa Falsafatu’l ulûm, hal. 590, Al’Dâru’l
Islâmiyati Li’l Thobâ’ah Wa’l Nasr
25
 Lihat, Dr. ‘alî sâmî al Nasyâr, Manâhiju’l Bahtsi ‘Inda Mufakkirî;l Islâmî Wa al Iktisyâfi’l
Manhaji’l Ilmî fi’l ‘âlami’lislâmî hal. 111-115
25
 Libih lengkapnya, lihat, ibid hal 132-136
26
 www. Itb.ac.id/`eryan/FreeArticle/fililmu. Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat
Islam  di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad dengan judul “ Filsafat Ilmu”.
27
 Ust. Husein Al-Kaff , Ibid
28
 www. Hayati-itb.com. Fredrik  Rieuwpassa (P.216.Oooo1-Gmk), Kajian Filusuf Terhadap
Kebenaran Sains
29
 www.Geocities.com/Hotsprings/6774/j-35, Agus Aditoni, EPISTEMOLOGI (Pengertian, Sejarah dan Ruang
Lingkup).
30
 Fredrik  Rieuwpassa (P.216.Oooo1-Gmk), op.cit
31
 Agus Aditoni, op. cit
32
 Fredrik  Rieuwpassa (P.216.Oooo1-Gmk), op. cit.
33
 Dr. Ahmad Fu’ad Basya, Dirosât Islâmiyah fî’l Fikri’l Ilmî hal. 130
34
 Dr. Ahmad Fu’ad Basya, ibid hal. 132-136
35
 Dr. Ahmad Fu’ad Basya, ibid. hal 138
36
 Lebih jelasnya lihat, Dr. Ahmad Fu’ad Basya, ibid hal. 136-142

You might also like