You are on page 1of 31

Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat

manusia, baik Muslim mahupun bukan Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam
juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebahagian penganut Islam,
Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup
manusia dan kehidupan dunia ini.
Terkait dengan susunan tertib Syari'at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa
sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak
diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa
jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka
umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh
ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan
ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya
kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai
perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu'
Syara'.
• Asas Syara'
Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits.
Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al
Hadits itu Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia
dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam
keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan
umat Islam tidak mentaati syari'at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang
membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau
tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak
berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari'at
yang berlaku.
• Furu' Syara'
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist.
Kedudukannya sebaga Cabang Syari'at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh
umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan /
perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.

Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba'
QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara'.
Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang
pernah diturunkan ke dunia
Dalam upaya memahami isi Al Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-
isi Al-Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan.

SUMBER HUKUM ISLAM


AL QUR’AN
Pengertian al-Qur’an
Secara Bahasa (Etimologi)
Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (‫ )قرأ‬yang bermakna Talaa (‫)تل‬
[keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi).
Secara Syari’at (Terminologi)
Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-Nya,
Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat an-Naas.
‫ن َتْنِزيل‬ َ ‫ك اْلُقْرآ‬ َ ‫عَلْي‬
َ ‫ن َنّزْلَنا‬ُ‫ح‬ْ ‫ِإّنا َن‬
Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai
Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (al-Insaan:23)
َ ‫عَرِبّيا َلَعّلُكْم َتْعِقُلو‬
‫ن‬ َ ‫ِإّنا َأْنَزْلَناهُ ُقْرآًنا‬
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)
Allah ta’ala telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah,
mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan menjaganya
sebagaimana dalam firman-Nya,
َ ‫ظو‬
‫ن‬ ُ ‫حاِف‬ َ ‫ن َنّزْلَنا الّذْكَر َوِإّنا َلُه َل‬ُ‫ح‬ْ ‫ِإّنا َن‬
“Sesungguhnya Kami-lah yang menunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar
memeliharanya.” (al-Hijr:9)
Nama-Nama Al-Qur’an
Adapun nama –nama al Qur’an yaitu :
1. Al kitab (kitabullah),yang merupakan sinonim dari kata Al Qur’an artinya,kitab suci sebagai
petunjuk bagi oranh yang bertakwa.nama ini diterangkan dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat
2.
2. Az-zikr,artinya peringatan,nam ini di terangkan dalam Al-Qur’an surat al-hijr ayat 9.
3. Al- furqan, artinya pembeda,nama ini diterangkan dalam surat al Furqan ayat 1.
4 As-suhuf berate lembaran-lembaran,seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al- bayinah
ayat 2.
Pembagian surat dalam Al-Qur’an.
1. Assabi’uthiwaal, yaitu tujuh surat yang panjang,ketujuh surat itu yaitu al-baqarah (286), al-
A’raf (206), Ali Imran (200), an-nisa (176), al an’am (165),al-maidah (120), dan Yunus ( 109)
2. Al-Miuun, yaitu surat yang berisi seratus ayat lebih.Maksudnya surat-surat tersebut memiliki
ayat sekitar seratus ayat atau lebih. Misalnya,surat Hud (123 ayat),Yusuf (111 ayat), dan At-
Taubah (129 ayat).
3. Al-Matsaani, yaitu surat-surat yang berisi kurang dari seratus ayat. Maksudnya surat-surat
tersebut kurang dari seratus ayat.Misalnya,surat Al-anfal (75 ayat),ar-rum (60 ayat),dan al-
hijr(99 ayat).
4. Al- Mufashshal, yaitu surat-surat pendek seperti al-ikhlas,ad-duha,dan an-nasr.suat-surat
seperti ini kebannyakan di temukan dalam juz ke 30.
Wahyu yang pertama dan terakhir diturunkan .
Wahyu yang di turunkan oleh Allah swt kepada nabi Muhammad adalah surat Al-Alaq ayat ke 1-
5 di gua hira.Tepatnya pada tangal 17 ramadan,tahun ke 40 bertepatan dengan tanggal 6 Agustus
610 M.
Proses turunnya Al-Qur’an
Ada 3 pendapat yang berkenaan dengan proses turunnya Al-Qur’an :
1.Al-Qur’an diturunnkan sekaligus
Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus pada malam lailatul qadar kemudiaan diturunkan secara
berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw.
2.Al-Qur’an di turunkan secara berangsur-angsur.
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur pada setiap malam lailatul qadar.
3.Al-Qur’an diturunkan dari Lauhul Mahfuz ke Baitul izzah. AL-Qur’an diturunkan pertama kali
pada malam lailatul qadar sekaligus dari Lauhul Mahfuz ke Baitul izzah,kemudian b aru
diturunkan sedikit demi sedikit kepada Nabi Muhammad saw.
Sejarah turunnya Al-Qur’an
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an dengan perantaraan malaikat jibril sebagai pengentar wahyu
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di gua hiro pada tanggal 17 ramadhan ketika
Nabi Muhammad berusia / berumur 41 tahun yaitu surat al alaq ayat 1 sampai ayat 5. Sedangkan
terakhir alqu’an turun yakni pada tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hijriah yakni surah almaidah ayat
3.Alquran turun tidak secara sekaligus, namun sedikit demi sedikit baik beberapa ayat, langsung
satu surat, potongan ayat, dan sebagainya. Turunnya ayat dan surat disesuaikan dengan kejadian
yang ada atau sesuai dengan keperluan. Selain itu dengan turun sedikit demi sedikit, Nabi
Muhammad SAW akan lebih mudah menghafal serta meneguhkan hati orang yang
menerimanya. Lama al-quran diturunkan ke bumi adalah kurang lebih sekitar 22 tahun 2 bulan
dan 22 hari.
Fungsi Al-Qur’an
1.Petunjuk bagi Manusia.
Allah swt menurunkan Al-Qur’ansebagai petujuk umar manusia,seperti yang dijelaskan dalam
surat (Q.S AL-Baqarah 2:185 (QS AL-Baqarah 2:2) dan (Q.S AL-Fusilat 41:44)
2. Sumber pokok ajaran islam.
Fungsi AL-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya oleh
segenap hukum islam.Adapun ajarannya meliputi persoalan kemanusiaan secara umum seperti
hukum,ibadah,ekonomi,politik,social,budaya,pendidikan,ilmu pengethuan dan seni.
3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia.
Dalam AL-Qur’an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat terdahulu,baik umat
yang taat melaksanakan perintah Allah maupun yang mereka yang menentang dan mengingkari
ajaran Nya.Bagi kita,umat uyang akan datang kemudian rentu harus pandai mengambil hikmah
dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-Qur’an.
4. sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw.
Turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang dimilki oleh nabi Muhammad saw.
Tujuan Pokok Al-Quran
1. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam
keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan
dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
3. ptunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang
harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata
lain yang lebih singkat, “Al-Quran adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan yang harus
ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.”
Pokok Ajaran Dalam Isi Kandungan AlQur’an
1.Akidah
akidah adalah keyakinan atau kepercayaan.Akidah islam adalah keyakinan atau kepercayaan
yang diyakini kebenarannya dengan sepenuh hati oleh setiap muslim.Dalam islam,akidah bukan
hanya sebagai konsep dasar yang ideal untuk diyakini dalam hati seorang muslim.Akan
tetapi,akidah tau kepercayaan yang diyakini dalam hati seorang muslim itu harus mewujudkan
dalam amal perbuatan dan tingkah laku sebagai seorang yang beriman.
2.Ibadah dan Muamalah
Kandungan penting dalam Al-Qur’an adalah ibadah dean muamallah.Menurut Al-ur’an tujuan
diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah.Seperti yang
dijelaskan dalam (Q.S Az,zariyat 51:56)
Manusia selain sebagai makhluk pribadi juga sebagai makhluk sosial.manusia memerlukan
berbagai kegiatan dan hubungan alat komunikasi .Komonikasi dengan Allah atau hablum
minallah ,seperti shalat,membayar zakat dan lainnya.Hubungan manusia dengan manusia atau
hablum minanas ,seperti silahturahmi,jual beli,transaksi dagang, dan kegiatan kemasyarakatan.
Kegiatan seperti itu disebut kegiatan Muamallah,tata cara bermuamallah di jelaskan dalam surat
Al-Baqarah ayat 82.
3.Hukum
Secara garis besar Al-Qur’an mengatur beberapa ketentuan tentang hukum seperti hukum
perkawinan,hukum waris,hukum perjanjian,hukum pidana,hukum musyawarah,hukum
perang,hukum antar bangsa.
4. Akhlak
Dalam bahasa Indonesia akhlak dikenal dengan istilah moral .Akhlak,di samping memiliki
kedudukan penting bagi kehidupan manusia,juga menjadi barometer kesuksesan seseorang dalam
melaksanakan tugasnya.Nabi Muhammad saw berhasil menjalankan tugasnya menyampaikan
risalah islamiyah,anhtara lain di sebabkan memiliki komitmen yang tinggi terhadap
ajhlak.ketinggian akhlak Beliau itu dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an surat al-Qalam ayat 4.
5. Kisah-kisah umat terdahulu
Kisah merupakan kandungan lain dalam Al-Qur’an.Al-Qur’an menaruh perhatian penting
terhadap keberadaan kisah di dalamnya.Bahkan,di dalamnya terdapat satu surat yang di namaksn
al-Qasas.Bukti lain adalah hampir semua surat dalam Al-Qur’an memuat tentang kisah. Kisah
para nabi dan umat terdahulu yang diterangkan dalam Al-Qur’an antara lain di jelaskan dalam
surat al-Furqan ayat 37-39.
6. Isyarat pengemban ilmu pengetahuan dan teknologi
Al-Qur’an banyak mengimbau manusia untuk mengali dan mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi.Seperti dalam surat ar-rad ayat 19 dan al zumar ayat 9.Selain kedua surat tersebut
masih banyak lagi dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dalam
kedokteran,farmasi,pertanian,dan astronomi yang bermanfaat bagi kemjuan dan kesejahteraan
umat manusia.
Keistimewaan Dan Keutamaan Al-qur’an :
1. Memberi pedoman dan petunjuk hidup lengkap beserta hukum-hukum untuk kesejahteraan
dan kebahagiaan manusia seluruh bangsa di mana pun berada serta segala zaman / periode
waktu.
2. Memiliki ayat-ayat yang mengagumkan sehingga pendengar ayat suci al-qur’an dapat
dipengaruhi jiwanya.
3. Memberi gambaran umum ilmu alam untuk merangsang perkembangan berbagai ilmu.
4. Memiliki ayat-ayat yang menghormati akal pikiran sebagai dasar utama untuk memahami
hukum dunia manusia.
5. Menyamakan manusia tanpa pembagian strata, kelas, golongan, dan lain sebagainya. Yang
menentukan perbedaan manusia di mata Allah SWT adalah taqwa.
6. Melepas kehinaan pada jiwa manusia agar terhindar dari penyembahan terhadap makhluk serta
menanamkan tauhid dalam jiwa.
HIKMAH DITURUNKANNYA AL-QUR’AN SECARA BERANGSUR-ANGSUR
1. Untuk menguatkan hati Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam . Firman-Nya:“Orang-orang kafir
berkata, kenapa Qur’an tidak turun kepadanya sekali turun saja? Begitulah, supaya kami kuatkan
hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (Al-Furqaan: 32)
2.Untuk menantang orang-orang kafir yang mengingkari Qur’an karena menurut mereka aneh
kalau kitab suci diturunkan secara berangsur-angsur. Dengan begitu Allah menantang mereka
untuk membuat satu surat saja yang (tak perlu melebihi) sebanding dengannya. Dan ternyata
mereka tidak sanggup membuat satu surat saja yang seperti Qur’an, apalagi membuat langsung
satu kitab.
3.Supaya mudah dihapal dan dipahami.
4.Supaya orang-orang mukmin antusias dalam menerima Qur’an dan giat mengamalkannya.
5.Mengiringi kejadian-kejadian di masyarakat dan bertahap dalam menetapkan suatu hukum.
http://hbis.wordpress.com/2009/11/11/makalah-al-quran-sebagai-sumber-hukum-
islam/

• Pengunjung

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA


« pada: Februari 11, 2007, 04:20:30 pm »

Prolog :
Al-Qur’an bersifat global (mujmal) yang memerlukan perincian. Misalnya perintah
shalat, shaum maupun haji hanyalah dengan kalimat singkat : aqimis shalat, kutiba
‘alaikum as-shiam, wa atimmu alhajj, sedangkan tentang tatacara mengerjakannya
tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Untuk menjelaskannya, datanglah Rasulullah
SAW memberikan penjelaskan, dari mulai tatacara shalat, berrumah tangga,
berekonomi sampai urusan bernegara. Penjelasan rasul itu disebut Sunnah Rasul.
Setelah Rasul wafat, permasalahan umat tetap bermunculan misalnya persoalan
bayi tabung, inseminasi, euthanasia, dll. Persoalan demikian belum terakomodir di
dalam Al-Qur’an maupun hadits, oleh karena itu memerlukan sumber hukum yang
ketiga, yakni ijtihad.

Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW dengan menggunanakan bahasa Arab. Agar fungsi Al-Qur’an
sebagai hidayah (guidance) atau way of life benar-benar efektif, maka Al-Qur’an
bukan saja perlu diterjemahkan tetapi perlu jiuga ditafsirkan. Cara menafsirkan Al-
Qur’;an bisa menggunakan dua pendekatan, yakni tafsir Tahlili dan tafsir Maudhu’i.
Kini banyak tokoh-tokoh Islam aliran rasional Liberal, yang menafsirkan Al-Qur’an
dengan dominasi akal. Pendekatannya ada tiga yakni tafsir Mateforis, tafsir
Hermenetika dan tafsir dengan pendekatan Sosial Kesejarahan.

Tercatat

prince_darkness
• Pengunjung

Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA


« Jawab #1 pada: Februari 11, 2007, 04:20:58 pm »

Pembuktian Al-Qur’an sebagai Wahyu dalam Persepketif Sains :

Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur;an yang berisi informasi tentang alam semesta yang
dapat dijadikan bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bukan karya manusia,
beberapa di antaranya adalah :
• Tentang awal kejadian langit dan bumi. Di dalam QS. 21 : 30 Allah
menegaskan : “Apakah orang-orang lafir tidak mengetahui, sesungguhnya langit
dan bumi dahulunya adalah satu yang padu, maka kemudian kami lontarkan. Dan
Kami jadikan semua makhluk hidup dari air, apakah mereka tidak mau beriman”.
• Tentang pergerakan gunung dam lempengan bumi. QS :”Dan kamu melihat
gunung, kamu menyangka gunung itu diam. Tidak gunung itu bergerak
sebagaimana geraknya awan”.
• “Nabi Yusuf berkata : Ya ayahku ada sebelas planet yang bersujud kepadaku”.
Allah sebagai pencipta alam ini menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa planet itu
ada sebelas. Padahal para ahli astronomi berpendapat hanya ada sembilan planet.
Siapa yang benar ? Allah sebagai penciptanya atau manusia yang hanya mencari
dan menemukannya. Pasti Allah yang benar. Baru pada tahun-tahun terakhir ini
para ahli astronomi menemukan bahwa planet itu ada sebelas.
Mana mungkin Al-qur’an mampu memberi informasi tentang alam yang menjadi
ilmu pengetahuan modern, seandainya Al-Qur’an bukan karya Allah. Ayat-ayat di
atas membuktikan bahwa dilihat dari perspektif sains, Al-Qur’an pasti karya Allah,
firman Tuhan bukan karya nba Muhammad SAW.

Tercatat

prince_darkness
• Pengunjung

Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA


« Jawab #2 pada: Februari 11, 2007, 04:21:28 pm »

Bahasa Al-Qur’an :
Allah menegaskan “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa
Arab”. Ini penegasan dari Allah SWT, bahwa Al-Qur’an adalah bahasa Arab, bahasa
yang dipakai oleh nabi Muhammad dan oleh masyarakat Arab. Tujuannya sudah
pasti agar Al-Qur’an mudah difahami.

Akan tetapi, menurut Isa Bugis, Al-Qur’an bukan bahasa Arab tetapi bahasa wahyu.
Alasannya adalah karena Muhammad adalah keturunan nabi Ismail dari isteri
kedua, sehingga Muhammad berdarah Babylon, bukan berdarah Arab asli dengan
demikian maka bahasa nabi Muhammad adalah bukan bahasa Arab tetapi
serumpun dengan bahasa Arab, itulah yang disebut "bilisáni qaumih" (berbicara
dengan bahasa kaumnya).

Menurut penulis, pendapat di atas tidak tepat. Alasan pertama, sebagaimana


dijelaskan oleh Ismail al-Faruqi adalah bahwa, suku Arab asli (al-‘Aribah) ialah suku
Qanaan, Ya‘rub, Yasyjub dan Saba'. Kemudian datanglah suku Arab Musta‘ribah I
(Pendatang I), yakni suku ‘Adnan, Ma’ad dan Nizar. Lantas datang pula suku Arab
Musta‘ribah II (Pendatang II) yakni suku Fihr atau Quresy. Jadi suku Quresy adalah
bagian dari Suku Arab, bukan suku lain. Suku-suku pendatang lantas berbaur dan
mempelajari bahasa yang ada yakni bahasa Arab, bukan mempelajari bahasa
Babylon.

Alasan kedua, Bangsa Arab termasuk bangsa Semit. Dewasa ini yang disebut
dikatagorikan bahasa Semit adalah setengah kawasan bagian Utara, bagian
Timurnya berbahasa Akkad atau Babylon dan Assyiria, sedangkan bagian Utara
adalah bahasa Aram, Mandaera, Nabatea, Aram Yahudi dan Palmyra. Kemudian di
bagian Baratnya adalah Foenisia, Ibrani Injil. Di belahan Selatan, yakni di bagian
utaranya berbahasa Arab sedangkan sebelah selatan berbahasa Sabe atau
Hymyari, dan Geez atau Etiopik. Hampir semua bahasa di atas telah punah , hanya
bahasa Arab yang masih hidup".

Apakah ada bahasa selain Arab yang serumpun dengan bahasa arab dapat dilihat
antara lain dari bentuk hurufnya. Huruf Arab ternyata berbeda sekali dengan
dengan huruf bahasa Foenesia, Aramaea, Ibrani, Syiria Kuno, Syiria Umum, Kaldea
dan Arab. Para pembaca bisa melihat perbedaan huruf-huruf tersebut pada buku
"Atlas Budaya" karya Ismail Al-Faruqi bersama isterinya.

Al-Qur'an menggunakan huruf Arab bukan huruf lainnya, dengan demikian maka
bahasa dan tulisan Al-Qur'an memang mutlak bahasa Arab bukan bahasa yang
serumpun bahasa Arab. Kalau mau dikatakan serumpun maka harus dikatakan
serumpun dengan bahasa Semit bukan serumpun bahasa Arab. Sebagai tambahan
penjelasan, menurut Ismail Al-Faruqi, bahasa Semit yang masih hidup sampai saat
ini adalah bahasa Arab. Dengan demikian maka bahasa Al-Qur'an adalah bahasa
Arab, bahasanya orang Arab bukan serumpun dengan bahasa Arab.

Hujjah lain dari kelompok Isa Bugis adalah bahwa jika Al-Qur’an berbahasa Arab
maka semua orang Arab pasti mengerti Al-Qur’an, tetapi pada kenyataannya tidak
semua orang Arab mengerti Al-Qur’an, kalau begitu Al-Qur’an bukanlah bahasa
Arab.

Hujjah inipun lemah. Mengapa demikian? Keadaan ini sama saja dengan orang
Indonesia. Tidak semua orang Indonesia mampu memahami karya sastera
berbahasa Indonesia, ini karena buku-buku sastera itu menggunakan bahasa
Indonesia kelas tinggi.

Pada umumnya orang-orang Arab dalam percakapan mereka sehari-hari menggu-


nakan bahasa Arab Yaumiyah sedangkan Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab
Fushá. Di samping itu untuk dapat memahami suatu teks tidak cukup dengan
mengetahui kosa kata (mufradat) tetapi harus berbekal ilmu pengetahuan tentang
isi teks. Sarjana sastera Indonesia misalnya, tidak otomatis dapat memahami teks
buku-buku Ilmu Kimia. Begitu pun sarjana Kimia tidak otomatis memahami teks
tentang filsafat. Untuk mampu memahami teks ilmu pengetahuan, harus memiliki
syarat-syarat, antara lain memahami substansi materi, memiliki frame of reference
yang teratur, serta memiliki paradigma berfikir yang menunjang.
Ketidakmengertian sebahagian orang Arab terhadap teks-teks Al-Qur’an tidak
menunjukkan bukti bahwa Al-Qur’an bukan bahasa Arab.

Hujjah ketiga Isa Bugis adalah bahwa kata ‘Arabiyyan dengan doble ya merupakan
ya nisbat yang menunjukkan serumpun dengan bahasa Arab tetapi bukan bahasa
Arab. Sepengetahuan penulis, kata ‘arabiyyan berarti bahasa yang dinisbahkan
kepada orang Arab, atau bahasanya orang Arab, yakni bahasa Arab.

Wahbah Zuhayly, ketika menafsirkan ayat tersebut menyataklan bahwa kata


‘arabiyyan bermakna “nuzila bilisánin ‘arabiyyin mubân, yaqra-u bi lugah al-‘arabi”,
yang artinya al-Qur’an diturunkan dengan lisan orang Arab, di baca dengan bahasa
Arab. Senada dengan itu, Muhammad Ibn Muhammad Abu Syahbah dalam bukunya:
”Al-Madkhal li Dirásah Al-Qur’án al-Karâm” menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu adalah
kitab ‘arabiyyah al-akbar atau kitab berbahasa Arab yang maha besar.

Kelompok Isa Bugis pun lantas beralih dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an bahasa
Quresy bukan bahasa Arab. Pendapat demikian ditentang oleh Ahmad Satori
sebagai doktor dalam sastra Arab. Ia menegaskan bahwa bahasa orang Arab adalah
bahasa Arab. Perbedaan bahasa Quresy dengan bahasa suku Tamim dan lain-
lainnya hanyalah dalam dialek bukan dalam makna.
Dengan demikian hujjah Isa Bugis yang menyatakan al-Qur'an bukan bahasa Arab,
seluruhnya tertolak.

Tercatat

prince_darkness
• Pengunjung

Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA


« Jawab #3 pada: Februari 11, 2007, 04:22:01 pm »

Fungsi Al-Qur’an

Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama, yakni
sebagai hudá (petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan furqán (pembeda). Sebagai
hudá, artinya Al-Qur’an merupakan aturan yang harus diikuti tanpa tawar
menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan.
Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan
petunjuk yang ada pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37).
Petunjuk yang ada pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah bukan cerita
yang dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk
dalam mengelola bumi.

Dengan menggunakan kedua macam hukum secara beriringan yakni hukum alam
dan hukum Al-Qur’an, ditujukan antara lain untuk menampakkan kejayaan Islam
dan mengalahkan segenap tata aturan ciptaan manusia (liyudlhirah ‘aláddini kullih)
sebagaimana ditunjukkan oleh kemenangan negeri Madinah atas negeri Mekah
yang Jahiliyah (futuh Mekah). Supaya tujuan itu bisa dicapai maka hukum Allah (Al-
Qur’an) harus benar-benar dijadikan undang-undang oleh para khalifah fil ardl
dalam mengelola bumi.

Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi memberikan penjelasan tentang


apa-apa yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya sebagai bayyinát, Al-
Qur'an harus dijadikan rujukan semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi
manusia tidak boleh membuat aturan sendiri sebab sistem aturan produk akal
manusia sering hanya bersifat trial and error.

Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau pembeda antara yang haq dan
yang báthill, antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang diyakini benar oleh
mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufurr.

Untuk bisa memahami dan menggali fungsi-fungsi Al-Qur’an, baik sebagai hudá,
bayyinát maupun furqán secara mendalam, maka Al-Qur’an perlu dipelajari bagian
demi bagian secara cermat dan tidak tergesa-gesa (QS. 75 : 16-17, QS. 17 : 105-
106), memahami munásabah atau hubungan ayat yang satu dengan yang lain,
surat yang satu dengan surat yang lain.

Selanjutnya fungsi lain Al-Qur’an sebagai Syifa (obat, resep). Ibarat resep dokter,
pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya, akan tetapi
walaupun begitu, pasien tetap percaya bahwa resep itu benar mustahil salah
karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah kebenaran otoritas. Demikian
pula dengan Al-Qur’an, ia a adalah resep dari Allah yang sudah pasti benar mustahil
salah karena Allah adalah Maha Benar. Dengan demikian walaupun ada beberapa
ayat Al-Qur;an yang untuk sementara waktu belum dapat difahami oleh ratio, tak
apa tetapi tetap harus dilaksanakan, sebab kalau menunggu dapat memahaminya
secara penuh bisa keburu mati.

Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan
agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau tidak
tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh. Demikian
pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan perasaan
(feeling) kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar seorang
mukmin mengamalkan seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan dan
pemilihan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya
dibiarkan adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).

Tercatat
prince_darkness
• Pengunjung

Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA


« Jawab #4 pada: Februari 11, 2007, 04:22:37 pm »

Cara menafsirkan Al-Qur’an :

Untuk memahami isi atau pesan Al-Qur’an yang terkandung dalam seluruh ayat Al-
Qur;an tidak cukup dengan terjemah, sebab terjemah hanyalah alih bahasa, tetapi
perlu melakukan penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an.

Dilihat dari caranya, dikenal dua macam penafsiran yakni tafsir tahlili dan tafsir
maudhui.Tafsir Tahili ialah menafsirkan Al-Qur’an secara runtut, ayat perayat, dari
mulai surat Al-Fátihah ayat pertama sampai surat An-Nás ayat terakhir, tanpa
terikat oleh tema, judul atau pokok bahasan. Sedangkan tafsir Maudlu‘i ialah
penafsiran berdasarkan tema-tema yang dipilih sebelumnya. Caranya semua ayat
yang berkaitan dengan tema (maudlu’i) yang dibahas diinventarisir tanpa terikat
oleh urutan surat, kemudian disistimatisir dan ditafsirkan sehingga antara ayat
yang satu dengan ayat yang lain saling melengkapi pembahasan tema. Misalnya
pembahasan tentang Riba, maka seluruh ayat yang berkaitan langsung atau tidak
langsung dengan masalah riba, diinventarisir kemudian dibahas menurut sub-sub
tema sehingga sampai kepada kesimpulan.

Dilihat dari pendekatannya, tafsir terbagi dua, yakni Tafsâr bi al-Ma’`tsur dan Tafsirr
bi al-Ma‘qul. Yang dimaksud Tafsir bi al-Ma’`tsur ialah menafsirkan ayat dengan
ayat atau dengan hadits. Sedangkan Tafsir bi al-ma‘qul adalah penafsirkan al-
Qur’an dengan logika. Tafsir kedua ini sering juga disebut tafsâr bi ar-Ra’yi. Jadi
yang dimaksud dengan tafsir bi ar-Ra’yi adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan
menggunakan dalil-dalil logika.
Dari sisi perspektifnya, tafsir Al-Qur’an juga beragam corak Apabila penafsiran Al-
Qur’an dilihat dari persepektif cabang ilmu pengetahuan tertentu seperti psikologi,
sosiologi, Biologi, dll, maka disebutlah tafsir ‘lmi. Sedangkan apabila didekati dari
perspektif tasawuf disebutlah tafsir Tasawuf .

Tercatat

prince_darkness
• Pengunjung
Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA
« Jawab #5 pada: Februari 11, 2007, 04:23:11 pm »

Penafsiran Al-Qur’an kelompok Rasional Liberal :


Kini muncul kelompok orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan dominasi rasio
yang biasa dikenal dengan sebutan kelompok rasional liberal. Mereka
menggunakan tiga pendekatan yakni tafsir Metaforis, tafsir Hermenetika dan
pendekatan sosial kesejarahan.

Tafsir Metaforis :
Tafsir metaforis ialah mengambil makna kiasan misalnya ada pernyataan “Tikus-
tikus dipenjara.” Pernyataan ini tidak rasional, maka kata tikus dimaknai koruptor.
Demikian pula pernyataan bahwa tongkat (asha) nabi Musa menjadi ular dianggap
tidak rasional, karena kalau tongkat bisa menjadi ular berarti telah mengubah
sunnatullah padahal sunnatullah tidak akan pernah berubah.

Supaya rasional, maka diambillah makna kedua dari kata ‘asha yakni pegangan.
Dengan demikian maka pernyataan menjadi :” Musa melemparkan pegangan
(baca: agama Islam) ke tengah-tengah masyarakat . Agama Musa tersebut ternyata
sanggup mengalahkan isme/ agama (ular-ular) ahli sihir, sehingga agama Musa
menang lantas menyebar cepat sekali, menjalar-jalar bagaikan ular.

Demikian pula pernyataan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa nabi Ibrahim a.s
tidak mempan dibakar api, adalah pernyataan tidak rasional, sebab tidak mungkin
api yang panas menjadi dingin. Karena kalau demikian berarti sunnatullah api
berubah. Supaya rasional, maka pernyataan tersebut harus diitafsirkan sbb : “
Ibrahim dibakar oleh suasana masyarakat yang sangat panas bagaikan api”.

Selintas upaya rasionalisasi Al-ur’an ini bagus sekali tetapi ketika ditanya,
“Bagaimana tafsir bahwa nabi Isa lahir dari rahim Maryam yang perawan. Apakah
rasional ?”. Pati kelompok ini tidak sangat sulit menjawab secara tepat dan rasional.

Tafsir Hermenetika :
Ialah menafsirkan ayat al-Qur’an dari sisi batini. Contoh : Tidak ada satu ayat pun
bahkan satu hadits pun yang melarang perbudakan. Akan tetapi banyak sekali ayat
Al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan bahwa apabila seorang muslim melakukan
pelanggaran atas aturan tertentu, ia terkena finalti, yakni harus memerdekakan
seorang hamba sahaya (budak belian). Kalau begitu pada hakikatnya, pada sisi
batininya Al-Qur’an melarang perbudakan. Sampai di sini dapat difahami. Akan
tetapi kemudian bergeser kepada persoslan poligami.

Menurut kelompok Rasional Liberal, Allah memang memerintahkan seorang pria


muslim untuk menikah dengan perempuan yang baik akhlaqnya sampai batas
maksimal empat orang isteri. Akan tetapi Al-Qur’an sendiri langsung menjelaskan
bahwa apabila kamu khawatir berbuat tidak adil, lebih baik satu isteri saja. Bahkan
hadits nabi menjelaskan bahwa pria yang tidak bersikap adil dalam berpoligami, di
akhirat kelak akan berjalan merangkak dengan lidah yang menjulur. Kalau begitu –
demikian kelompok rasional Liberal – pada prinsipnya pernikahan dalam Islam
adalah monogamy dan mengharamkan poligami.

Padahal poligami dilaksanakan oleh nabi dan banyak para sahabat nabi. Bagaimana
mungkin para sahabat tidak memahami pesan batini Al-Qur’an.

Pendekatan Sosial Kesejarahan :


Menurut kelompok Rasional Liberal, hukum itu berkembang sesuai dengan
perkembangan sosial. Contoh : Pada zaman jahiliyah, kaum wanita tidak
mendapatkan harta pusaka (warisan). Datanglah Islam. Islam memandang cara
demikian sangat tidak adil, maka Islam mengatur bahwa wanita mendapatkan
warisan tetapi setengah dari bagian pria. Diatur demikian, karena apabila wanita
yang semula tidak memperoleh warisan, tiba-tiba mendapat bagian yang sama
dengan pria, besar kemungkinan akan mengakibatkan heboh nasional. Itu dulu,
empat belas abad yang silam. Sekarang zaman sudah berubah, oleh karena itu
perlu ada reinterpretasi terhadap konsep adil, apalagi wanita zaman sekarang
bukan lagi pihak yang tertanggung tetapi pihak yang menanggung. Oleh karena itu
pula, akan sangat memenuhi prinsip keadilan apabila bagian perempuan sama
besar dengan bagian laki-laki.

Muncullah pertanyaan bagi kelompok Rasional Liberal :” Apakah adil itu adalah
sama rata atau proporsional ?”. Apakah warisan bagi perempuan sebesar setengah
dari bagian laki-laki yang Allah tetapkan dinilai tidak adil sehingga perlu direvisi ?
Bukankah aturan Islam itu telah sempurna ?”. Kalau aturan Allah masih perlu revisi,
mengapa Allah tidak menurunkan nabi yang baru ?”.
Pendapat-pendapat kelompok rasional liberal yang lebih didominasi oleh akal/ ratio
telah mendapatkan penentangan hebat dari para pemikir Islam lain yang tafaqquh
fiddin.

Tercatat

prince_darkness
• Pengunjung

Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA


« Jawab #6 pada: Februari 11, 2007, 04:24:10 pm »

Kritik Terhadap Upaya Rasionalisasi dalam Menafsirkan Al-Qur’an :


Sebenarnya upaya rasionalisasi tafsir Al-Qur’an bukanlah hal baru, misalnya
penafsiran Muhammad Abduh tentang surat al-Fil yang berbeda dengan tafsiran
terdahulu. Menurut tafsir Ibn Abbas dan lain-lain, burung Abábil itu melempar
pasukan gajah dengan batu dari neraka (sijjil), Setiap burung membawa tiga butir
batu, dua butir di kedua kakinya dan satu butir di paruhnya. Batu tersebut adalah
batu kecil dari tanah yang membara. Tetapi Muhammad Abduh dengan tafsir
metaforis rasionalnya berpendapat lain, menurutnya sijjil bukanlah batu dari neraka
tetapi berupa virus. Dengan serangan virus itulah tentara Abrahah menjadi sakit
parah dan akhirnya mati.
Rasionalisasi Al-Qur’an dilakukan dengan pendekatan tafsir Metaforis, misalnya
tentang mukjizat nabi Musa. Nabi Musa memukulkan tongkat ke laut sehingga
terbelah menjadi jalan. Menurut kelompok rasional itu tidaklah mungkin sebab
menyalahi sunnah Allah. Sunnah Allah yang bergerak di dalam hukum kausalitas
merupakan ketetapan yang pasti, tidak berubah. Demikian juga ketika nabi Ibrahim
dibakar tetapi tidak mati gara-gara apinya menjadi dingin, padahal sifat api sebagai
sunnah Allah adalah panas. Dengan demikian tidak mungkin api yang panas
menjadi dingin karena kalau begitu sunnah Allah tentang api telah berubah. Kalau
sunnah Allah berubah maka hukum alam pun berubah, kalau hukum Alam berubah-
ubah maka tidak dapat dibuat rumus-rumus ilmu Alam, kalau begitu ilmu Alam tidak
lagi menjadi ilmu pasti.
Untuk mengomentari ini, ada baiknya dikedepankan dulu pandangan Din
Syamsudin. Menurut Din, dalam mengkonseptualisasikan Islam, umat Islam
menghadapi dua problema intelektual. Pertama, ketika Islam diyakini sebagai
agama yang berlandaskan wahyu, umat Islam dihadapkan kepada problema yang
menyangkut hubungan akal dengan wahyu. Kedua, ketika Islam diyakini sebagai
kehidupan, umat Islam dihadapkan kepada persoalan hubungan antara agama dan
persoalan kehidupan (sekuler).
Upaya rasionalisasi ayat Al-Qur’an dalam batas-batas tertentu sah-sah saja karena
Islam memang rasional sehingga Islam itu diperuntukkan bagi orang-orang yang
berakal (Ad-Din al-Aql). Namun batasan rasional atau tidaknya, logis atau tidaknya
sesuatu kejadian sangat tergantung kepada kemajuan berfikir dan kebudayaan
termasuk perkembangan sains teknologi yang berkembang saat itu.
Dalam hal ini Richard Thamas (1993) dalam bukunya berjudul “:The Passion of
Western Mind” menulis sebuah judul “The Crisiss of Modern Science” menyatakan
bahwa ilmu Barat yang spektakuler itu ternyata menghadapi krisis antara lain
setelah sekian ratus tahun meyakini “certainty principle”, salah satu basic sains
tentang kepastian hubungan sebab – akibat atau “if X, then Y” tetapi pada
perkembangan berikutnya ternyata ada juga “Uncertainty principle”. Kausality
ternyata terlalu simplistik. Kini ditemukan bahwa partikel-partikel saling
mempengaruhi tanpa dihayati bagaimana hubungan kausality di antara mereka.
Bahkan menurut Thomas Kuhn, dalam sains terdapat akumulasi data yang
bertentangan yang akhirnya menimbulkan krisis paradigma dan setelah itu
timbullah suatu sintesis yang imajinatif, yang akhirnya memperoleh rekognisi
ilmiah, sedangkan yang terjadi ke arah itu bersifat non-rasional. Karena itu ilmu
pengetahuan yang sekarang dianggap sebagai sesuatu yang relatif. S
Sebenarnya alam sebagai fakta dengan segala hukumnya adalah absolut, tetapi
ilmu pengetahuan alam yang ditemukan manusia bersifat relatif. Sebagai contoh,
bahwa Al-Qur;an menjelaskan bahwa planet itu ada sebelas (ihda ‘asyrata
kaukaban), tetapi para ahli astronomi menyebutkan hanya sembilan. Demikian
puluhan tahun pendapat itu mendominasi. Kemudian ditemukan lagi satu planet
sehingga berjumlah 10, kini terakhir ditemukan satu planet lagi sehingga menjadi
sebelas. Jadi jumlah planet sebagai fakta adalah absolut namun pengetahuan
manusia tentang planet bersifat relatif.
Di samping itu perlu difahami bahwa ada perbedaan antara pengetahuan
(knowledge) dan ilmu (science). Dalam kesimpulan penulis, pengetahuan itu bisa
benar bisa salah. Pengetahuan yang benar disebut al-‘ilmu atau haq, sedangkan
pengetahuan yang salah disebut persepsi atau opini. Pendek kata, pada hakikatnya,
kebenaran (al-haq, al-‘ilmu) adalah mutlak, absolut, sedangkan yang berbeda-beda
adalah persepsi orang tentang kebenaran.
Manusia dengan rasionya berusaha mencari kebenaran (ilmu). Caranya, setiap data
yang masuk ke otak akan diolah dengan paradigma berfikirnya sehingga menjadi
sebuah pengetahuan (kesimpulan), tetapi apakah kesimpulan itu sebagai ilmu atau
hanya persepsi belumlah pasti. Karena itu wajar kalau kesimpulan seseorang
tentang sesuatu suka berubah-ubah. Teori yang hari ini dianggap benar tetapi
beberapa tahun kemudian direvisi bahkan dibuang. Dalam proses menemukan
kebenaran itu, manusia sering harus menempuh kesalahan-kesalahan yang banyak
tiada terhingga, atau bersifat trial and error.
Untunglah turun wahyu. Fungsi wahyu adalah untuk membantu manusia agar
jangan terlalu lama atau jangan terlalu sulit menemukan kebenaran, terutama
dalam persoalan-persolan metafisika atau tentang hakikat sesuatu. Dan sangat
mungkin kalau hanya mengandalkan kekuatan nalar semata, terlalu banyak hal
yang tak dapat ditemukannya padahal ilmu sangat penting dimiliki untuk bekal di
dunia ini, misalnya apa arti hidup, apa itu mati, bagaimana setelah mati, apa itu
syetan dan bagaimana sikap manusia terhadap syetan. Wahyu memberikan
informasi seputar masalah-masalah di atas yang tidak mungkin dapat ditemukan
melalui penelitian empirik.
Dalam pandangan penulis, manusia dengan rasio yang berfikir berlandaskan
kausality, tidak dinilai serba mampu untuk mencapai segenap ilmu, karena rasio
memiliki daya deteksi yang terbatas. Oleh karena itu, apabila rasio dijadikan
sebagai ukuran segenap kebenaran agaknya terlalu riskan.
Dengan hubungan kausality sebagaimana dijelaskan di atas, di Barat hanya dikenal
dua katagori ilmu, yakni Empirical Science (ilmu Empirik) dan Rational Science (ilmu
rasional) Empirical science adalah manakala kebenarannya yang bersumber kepada
indera terutama mata, dengan kata lain dapat dilihat, diobservasi atau dibuktikan
melalui eksperimen, misalnya ilmu kedokteran, Fisika, Kimia, Biologi, dll. Jika dalam
uji coba tersebut tidak terbukti berarti teori itu salah.
Sedangkan Rational science ialah kebenaran yang bersumber kepada rasio (akal).
Benar tidaknya sesuatu diukur oleh signifikansi hubungan antara sebab dan akibat.
Apabila terjadi hubungan sebab dan akibat yang jelas, maka itu dikatakan logis,
rasional dan dianggap benar. Tetapi jika hubungan antara sebab dan akibat itu
tidak nampak jelas maka dinilai tidak rasional dan salah.
Di luar Empirical science dan Rational science adalah belief (kepercayaan) semata-
mata dan bukan ilmu. Jadi berita tentang bangkit dari kubur, jin, malaikat, termasuk
cerita tentang mukjizat, karena persoalan tersebut tak dapat dibuktikan dengan
indera maupun dengan rasio, maka dinyatakan bukan ilmu melainkan sekadar
kepercayaan.
Apakah paradigma demikian bisa digunakan dalam memahami Islam?. Ini
nampaknya agak sulit. Kalau kita menganalisis dengan teliti ilmu-ilmu atau aturan
yang terdapat dalam Al-Qur’an, akan banyak ditemukan ilmu-ilmu yang mungkin
dinilai tidak rasional karena antara sebab dan akibat hukum, sering tidak terdeteksi.
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang agak sulit difahami, agak sulit
mencari hubungan sebab – akibat. Sebagai contoh Allah mengharamkan babi.
Pertanyaannya adalah mengapa babi itu diharamkan, apa sebabnya. Ini sangat sulit
dijawab. Paling-paling jawabannya adalah karena memang Allah telah menetapkan
demikian, titik.
Keharaman babi berbeda dengan keharaman arak (khamr). Haramnya arak mudah
difahami oleh akal karena arak dapat mengakibatkan mabuk dan merusak otak.
Penetapan hukum haram atas arak sangat logis – rasional. Demikian juga sebab-
sebab haramnya zina, berjudi, membunuh – walaupun Al-Qur’an tidak menjelaskan
sebab akibatnya – tetapi akal/ rasio sudah bisa memahaminya. Lain lagi perihal air
liur anjing. Hadits ini menyatakan :
‫طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب إن يغسله سبع مرات‬: ‫ قال رسول ال صّلى ال عليه و سّلم‬: ‫عن أبى هريرة رضي ال عنه قال‬
‫اول هن بالتراب‬
Dari Abâ Hurairah r.a ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, bersih-kanlah
bejana salah seorang di antaramu, apabila dijilat anjing dengan membersihkan
sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah (HR. Muslim).

Hadits serupa berasal dari ‘Ali ibn Hujr al-Sa‘dy, dari ‘Ali ibn Mushâr, dari A‘masy,
dari Abâ Razain dan Abâ Shálih dari Abâ Hurairah. Juga dari Mu\ammad ibn Rafi’,
dari Abd Razaq, dari Ma‘mar, dari Hamam ibn Munabbah, dari Abâ Hurairah.
Menurut hadits di atas, kalau bejana dijilat anjing maka wajib dibasuh tujuh kali,
satu kali menggunakan tanah. Pertanyaannya adalah mengapa harus dengan tanah
bukan dengan sabun. Apakah hal itu karena di zaman nabi belum mengenal sabun?
Tentu tidak sesederhana itu jawabannya. Namun untuk dapat memahami mengapa
harus dicuci dengan tanah memang sangat sulit.
Hal ini besar kemungkinan berkaitan dengan unsur-unsur karbon yang sangat
beragam dalam tanah. Multi karbon sangat efektif dalam menghilangkan racun
termasuk virus rabies, sedangkan sabun hanya mengandung beberapa karbon saja
yang mustahil dapat membunuh virus rabies.
Muncul lagi pertanyaan, mengapa kalau anjing menjilat bejana, bejana itu harus
dibasuh tujuh kali di antaranya satu kali dengan memakai tanah. Tetapi ketika
berburu kelinci menggunakan anjing terlatih (mu‘allam), terus anjing ini menggigit
kelinci, tidak ada satu hadits pun yang mengharuskan mencuci leher kelinci bekas
gigitan anjing itu dengan tanah. Mengapa demikian?” Selintas pertanyaan ini
menyudutkan dan sulit dijawab. Akan tetapi apabila ditanyakan kepada ahlinya,
rahasianya dapat agak terbuka.
Dapat kita bandingkan dengan bisa ular. Apabila manusia digigit oleh ular kobra,
maka dalam beberapa menit saja manusia bisa mati, padahal hanya sedikit saja
bisa ular yang masuk melalui pagutan itu. Lain halnya dengan bisa yang sengaja
diperas dari mulut kobra itu. Apabila bisa ular itu diperas dari mulutnya kemudian
ditampung pada gelas lantas diminum, ternyata tidak berbahaya bahkan justeru
menjadi obat. Kasus ini kurang lebih sama dengan air liur anjing tadi. Air liur yang
keluar ketika anjing menjilat dan ketika tetap dalam mulutnya, terdapat perbedaan
besar.
Contoh lain ialah tentang puasa. Orang yang sering menahan lapar bisa terkena
penyakit maag, tetapi tidak demikian dengan menahan lapar karena puasa. Kalau
perut sangat lapar dapat mengakibatkan tubuh berkeringat dingin, tetapi tidak
demikian kalau lapar karena puasa. Kalau perut sedang lapar akan sulit tidur, tetapi
kalau perut lapar karena puasa justeru nikmat tidur. Mengapa demikian?
Contoh lainnya masih tentang puasa adalah bahwa ketika Nabi berbuka puasa, Nabi
ta‘jil (mempercepat buka puasa) hanya memakan tiga biji kurma bukan dengan
makan yang banyak. Mengapa demikian? Menurut ilmu kedokteran, ketika
berpuasa, lambung (maag) itu kosong. Dengan berbuka menggunakan kurma
(manis) akan mempercepat pembakaran dan segera dapat mengganti glukosa (gula
darah) yang berkurang selama puasa. Mengapa hanya tiga kurma? Dengan kurma
yang sedikit yang masuk ke dalam lambung, maka darah akan mengalir ke
lambung sebagai energi sehingga lambung bisa bekerja dengan baik. Setelah
lambung memiliki energi yang cukup kuat barulah diisi dengan makanan yang
banyak, sehingga lambung bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Berbeda jika
lambung itu langsung diisi dengan makanan yang banyak tanpa “pemanasan”,
maka lambung memerlukan banyak darah sehingga darah dari otak akan turun ke
lambung, akibatnya otak kekurangan darah, ini berarti otak kekurangan oksigen
sehingga jadi mengantuk.
Dengan mengetengahkan contoh-contoh di atas, penulis bermaksud meminta
perhatian bahwa apa-apa yang dilakukan nabi yang menyangkut diniyah walaupun
untuk sementara waktu dinilai kurang rasional namun jangan tergesa-gesa
menolaknya. Sebab ukuran rasional dan tidaknya sesuatu sangat tergantung
kepada ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Dengan demikian, tidak
boleh hanya karena akal manusia belum bisa menemukan hubungan sebab
akibatnya, lantas dengan serta merta ajaran Islam (ayat Al-Qur’an) yang dianggap
tidak rasional (untuk sementara waktu) itu ditafsirkan sesuai dengan selera
penafsir.
Kejadian yang lebih sulit lagi manakala kita ingin mengetahui logis tidaknya
mukjizat. Misalnya Nabi Ibrahim a.s dibakar tidak merasa panas, Tongkat Nabi
Musa a.s menjadi ular, serta Nabi Muhammad SAW ber-Isra Mi’raj. Apabila kejadian
ini diukur dengan ilmu dalam batasan rasional, maka pasti akan dianggap irrasional
dan kemudian ditolak. Tidak heran kalau kelompok pemikir Rasional menyatakan
mukjizat seperti itu hanyalah mitos doktrinal, tidak ubah dongeng Lampu Aladin
(fiktif). Dan karena anggapannya itu, mereka lebih suka melakukan reinterpretasi
dengan pendekatan rasional metaforis.
Seandainya semua hal harus rasional, lantas bagaimana dengan Isa (Yesus) yang
lahir dari rahim Maryam yang masih perawan, tanpa suami dan tanpa berbuat zina.
Apakah ada tafsiran yang lain?
Kejadian yang aneh di luar kebiasaan yang sulit difahami seperti mukjizat bukanlah
ilmu Empirik karena tidak dapat diulang-ulang melalui kegiatan eksperimen, Bukan
pula Ilmu Rasional karena interrelasi sebab – akibatnya sulit ditemukan, tetapi
termasuk dalam katagori ilmu Suprarasional atau kejadian Supranatural.
Kebenarannya hanya dicapai dengan hati (qalbu) yang percaya, atau bisa disebut
haqq al-yaqân.
Apalagi kalau menyangkut persoalan siksa kubur, alam Mahsyar, syurga dan neraka
yang sama sekali tidak bisa dijangkau akal, bahkan tak dapat dibayangkan.
Kebenaran ilmu tersebut hanya dibuktikan dengan ruh yakni setelah manusia mati.
Ilmu yang demikian disebut dengan Metarasional. Dalam paradigma Al-Qur’an
disebut Ilmu Gaib.
Berdasarkan kajian-kajian yang penulis lakukan, penulis berkesimpulan bahwa
sebenarnya ilmu itu ada empat macam bukan dua sebagaimana dalam pemikiran di
Barat. Keempat macam ilmu itu adalah ilmu Empirik (‘Ain al-yaqin), Ilmu Rasional
(‘Ilmu al-yaqin), Suprarasional (Haqq al-yaqin) dan Metarasional (‘ilmu al-Ghaib).
Dalam terminologi lain, Ilmu Empirik dan ilmu Rasional dikatagorikan Ilmu Bayány.
Ilmu Suprarasional merupakan ilmu Burhány, sedangkan Metarasional disebut ilmu
‘Irfány.
Di luar yang empat itu ada yang disebut irrasional, yakni manakala kejadian
tersebut sangat mustahil menurut akal, misalnya dikatakan bahwa benda itu diam
dan pada saat yang sama benda itu bergerak. Ini irrasional. Termasuk ke dalam
irrasional adalah tahayyul. Irrasional bukanlah ilmu tetapi tahayyul (hayalan) atau
kepercayaan tak berdasar.

Tercatat

prince_darkness
• Pengunjung

Re: AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM PERTAMA DAN UTAMA


« Jawab #7 pada: Februari 11, 2007, 04:24:41 pm »

Di dalam ajaran Islam, banyak sekali perintah dan larangan nabi yang seakan tidak
masuk akal sehingga beberapa ulama melakukan rasionalisasi melalui penafsiran
metaforis.
Lantas apakah sesuatu yang tidak dimengerti harus ditaati juga? Sebenarnya
manusia banyak melakukan perbuatan bukan karena mengerti tetapi karena
percaya. Sebagai contoh, seorang professor doktor di bidang agama akan tetap
menggunakan resep dari dokter walaupun tulisan pada resep itu tidak dapat dibaca
dengan matanya dan tidak dapat difahami dengan otaknya. Ia menaati resep dokter
bukan karena mengerti tetapi karena percaya. Begitupun dengan Al-Qur’an yang
berfungsi sebagai resep, obat (syifá), maka kalau sementara ini akal belum mampu
menerima apa yang dikandung oleh Al-Qur’an, sebaiknya diterima saja dahulu,
nanti di saat kemudian, apa-apa yang dianggap tidak rasional sangat mungkin
menjadi rasional juga. Jadi pada dasarnya baik suprarasional maupun metarasional
seluruhnya masih dalam koridor rasional.
Apakah tafsir Al-Qur’an yang dilakukan oleh NII KW IX termasuk kepada tafsir bi ar-
Ra’yi yang diancam neraka?.
Untuk mengetahuinya sangat perlu terlebih dahulu memahami kriteria tafsir bi ar-
Ra’yi yang diperbolehkan.
Menurut Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : “At-Tafsâr fâ Qawá‘id
‘ilmi at-Tafsâr”, dijelaskan bahwa para sahabat biasa menafsirkan Al-Qur’an dengan
ra’yu, hal ini dilakukan apabila mereka tidak menemukan tafsirnya dalam hadis
mutawátir, juga tidak terdapat dalam Ijma‘ ulama”. Adapun tafsâr bi ar-Ra’yi
yang dilarang adalah min gair ‘ilm (tanpa imu) tetapi sekadar mengikuti selera.
Tafsir ra’yu tidak boleh kalau meninggalkan pemahaman yang sudah biasa
difahami dari lafaÑ-lafaÑ Al-Qur’an .
Apabila mencermati tafsir Al-Qur’an yang dilakukan oleh NII KW IX, maka segera
dapat diketahui bahwa penafsiran mereka tanpa mengikuti kaidah-kaidah baku
penafsiran yang telah disepakati oleh para ulama, terutama ulama Salaf.
Berdasarkan kriteria tafsir bi ar-ra’yi di atas, maka tafsâr bi ar-ra’yi NII KW IX
secara akademis tidak dapat diterima.

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Al-Qur'an adalah kitab suci ummat Islam yang diwahyukan Allah kepada
Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril. Secara harfiah Qur'an berarti
bacaan. Namun walau terdengar merujuk ke sebuah buku/kitab, ummat Islam
merujuk Al-Qur'an sendiri lebih pada kata-kata atau kalimat di dalamnya, bukan
pada bentuk fisiknya sebagai hasil cetakan.
Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an disampaikan kepada Muhammad melalui
malaikat Jibril. Penurunannya sendiri terjadi secara bertahap antara tahun 610
hingga hingga wafatnya beliau 632 M. Walau Al-Qur'an lebih banyak ditransfer
melalui hafalan, namun sebagai tambahan banyak pengikut Islam pada masa itu
yang menuliskannya pada tulang, batu-batu dan dedaunan.
Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an yang ada saat ini persis sama dengan yang
disampaikan kepada Muhammad, kemudian disampaikan lagi kepada pengikutnya,
yang kemudian menghapalkan dan menulis isi Al Qur'an tersebut. Secara umum
para ulama menyepakati bahwa versi Al-Qur'an yang ada saat ini, pertama kali
dikompilasi pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan (khalifah Islam ke-3) yang
berkisar antara 650 hingga 656 M. Utsman bin Affan kemudian mengirimkan
duplikat dari versi kompilasi ini ke seluruh penjuru kekuasaan Islam pada masa itu
dan memerintahkan agar semua versi selain itu dimusnahkan untuk keseragaman.
Al-Qur'an memiliki 114 surah , dan sejumlah 6.236 ayat (terdapat perbedaan
tergantung cara menghitung). Hampir semua Muslim menghafal setidaknya
beberapa bagian dari keseluruhan Al-Qur'an, mereka yang menghafal keseluruhan
Al-Qur'an dikenal sebagai hafiz (jamak:huffaz). Pencapaian ini bukanlah sesuatu
yang jarang, dipercayai bahwa saat ini terdapat jutaan penghapal Al-Qur'an
diseluruh dunia. Di Indonesia ada lomba Musabaqah Tilawatil Qur'an yaitu lomba
membaca Al-Qur'an dengan tartil atau baik dan benar. Yang membacakan disebut
Qari (pria) atau Qariah (wanita).
Muslim juga percaya bahwa Al-Qur'an hanya berbahasa Arab. Hasil terjemahan dari
Al-Qur'an ke berbagai bahasa tidak merupakan Al-Qur'an itu sendiri. Oleh karena itu
terjemahan hanya memiliki kedudukan sebagai komentar terhadap Al-Qur'an
ataupun hasil usaha mencari makna Al-Qur'an, tetapi bukan Al-Qur'an itu sendiri.
Hadits (bahasa Arab: ‫الحديث‬, ejaan KBBI: Hadis) adalah perkataan dan perbuatan dari
Nabi Muhammad. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki
kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an. Hadits secara
harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits
berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi
Muhammad. Namun pada saat ini kata hadits mengalami perluasan makna,
sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka bisa berarti segala perkataan (sabda),
perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang
dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata
infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Sumber dan Dalil


Pengertian Dalilϖ
Dalam kajian ushul fikih, para ulama ushul mengartikan dalil secara etimologis
dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”.
Sementara itu, Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa, menurut bahasa yang
dimaksud dengan dalil ialah “sesuatu yang meberi patunjuk kepada sesuatu yang
dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.
Adapun secara terminologis para ulama ushul berbeda dalam mendefinisikan dalil
hukum. Abdul Wahab Khallaf menyebutkan, menurut istilah yang dimaksud dengan
dalil hukum ialah “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan
menggunakan pikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat
amali, baik secara qat’i maupun secara zhani”.
Ibnu al Subki dalam kitab Matn Jam’i al Jawami’ menyebutkan pula bahwa yang
dimaksud dengan dalil hukum ialah “apa saja yang dapat dipergunakan untuk
sampai kepada yang dikehendaki, yaitu hukum syara dengan berpijak pada
pemikiran yang benar”.
Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa pada
dasarnya yang disebut dengan dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat
dijadikan alasan atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam usaha menemukan
dan meneapkan hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Oleh karena itu, dalam istinbat hukum persoalan yang paling mendasar yang harus
diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil yang dapat dipergunakan
dalam menetapkan hukum syara dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja,
penetapan hukum syara harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat
dengan menggunakan dalil yang jelas.
Pengertian Sumberϖ
Terhadap dalil hukum, ada sebutan lain di kalangan ulama ushul seperti istilah
masadir al ahkam, masadir al syariah, masadir al tasyri atau yang diartikan sumber
hukum. Istilah-istilah ini jelas mengandung makna tempat pengambilan atau
rujukan utama serta merupakan asal sesuatu. Sedangkan dalil atau yang
diistilahkan dengan adillat al ahkam, ushul al ahkam, asas al tasyri dan adillat al
syari;ah mengacu kepada pengertian sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk
sebagai alasan dalam menetapkan hukjum syara.
Dalam konteks ini Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan sumber hukum dan
sekaligus menjadi dalil hukum, sedangkan selain dari keduanya seperti al ijma, al
qiyas dan lain-lainnya tidak dapat disebut sebagai sumber, kecuali hanya sebagai
dalil karena ia tidak dapat berdiri sendiri.
Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang
terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil
hukum tidak dibedakan. Mereka menyatakan bahwa apa yang disebut dengan dalil
hukum adalah mencakup dalil-dalil lain yang dipergunakan dalam istinbat hukum
selain Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab, keduanya merupakan istilah teknis yang
yang dipakai oleh para ulama ushul untuk menyatakan segala sesuatu yang
dijadikan alasan atau dasar dalam istinbat hukum dan dalam prakteknya mencakup
Al-Qur’an, As-Sunnah dan dalil-dalil atau sumber-sumber hukum lainnya.
Oleh karena itu, dikalangan ulama ushul masalah dalil hukum ini terjadi perhatian
utama atau dipandang merupakan sesuatu hal yang sangat penting ketika mereka
berhadapan dengan persoalan-persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Dengan
demikian setiap ketetapan hukum tidak akan mempunyai kekuatan hujjah tanpa
didasari oleh pijakan dalil sebagai pendukung ketetapan tersebut.
Keberadaan dalil sebagai pijakan yang mendasari suatu ketetapan hukum mutlak
harus diperhatikan dan tidak bisa diabaikan. Jika dilihat dari segi keberadaannya,
maka dalil dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
1. Al Adillah Al Ahkam Al Manshushah atau dalil-dalil hukum yang keberadaannya
secara tekstual terdapat dalam nash. Dalil-dalil hukum yang dikategorikan kepada
bagian ini adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah atau disebut pula dengan dalil naqli.
2. Al Adillah Al Ahkam ghoirul Manshushah atau dalil-dalil hukum yang scara
tekstual tidak disebutkan oleh nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalil-dalil ini
dirumuskan melalui ijtihad dengan menggunakan penalaran ra’yu dan disebut pula
dengan dalil aqli.
Adapun dalil-dalil yang dikelompokkan kepada kategori terakhir ini meliputi Ijma,
Qiyas, Istihsan, Mashalih Mursalah, Istishab, Urf, Syarun Man Qablana dan Qaul
Shahabi. Ijma dan Qiyas hampir seluruh mazhab mempergunakannya, sedangkan
dalil-dalil yang keberadaannya menimbulkan perdebatan di kalangan ulama
mazhab ushul. Perbedaan ini muncul karena ketika ulama ushul tidak menemukan
dalil atau alasan yang mendasari suatu hukum dari Nash, maka mereka
menggunakan ra’yu mereka masing-masing dengan rumusan tersendiri. Hal ini
diyakini termotivasi oleh hadits yang berisi dialog antara Nabi saw dengan Mu’az
Bin Jabal ketika akan dikirim ke Yaman
Nabi bertanya kepada Mu’az Bin Jabal, “Bagaimana engkau memutuskan suatu
perkara jika diajukan orang kepada engkau?”Mu’az menjawab, “saya akan putuskan
dengan Kitab Allah”. Nabi bertanya kembali, ”jika tidak engkau dalam Kitab Allah?”.
“Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah”, jawab Mu’az. Dan Rasulullah
bertanya kembali,”Jika tidak engkau temukan dalam sunnah Rasulullah dan tidak
pula dalam Kitab Allah?”. Mu’az menjawab, “Saya akan berijtihad dengan pemikiran
saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan”. Kemudian Rasulullah
membenarkannya.
Atas dasar ini para ulama ushul di berbagai mazhab menyusun dan berpijak pada
sistematika istinbat yang mereka susun masing-masing secara berurutan dengan
menempatkan dalil-dalil ra’yu setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

2.2. Sumber Hukum- Hukum Islam


A. Al-Qur’an
Pengertian Al-Qur’an♣
Sebagaimana telah disinggung sebelum ini tentang sumber dalil dalam hukum
Islam, maka Al-Qur’an merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum Islam.
Secara Bahasa (Etimologi)
Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (‫ )قرأ‬yang bermakna Talaa
(‫[ )تل‬keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan,
mengoleksi).
Secara Syari’at (Terminologi)
Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan penutup para Nabi-
Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali dengan surat al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat an-Naas.
‫ن ِإّنا‬ُ‫ح‬ ْ ‫ك َنّزْلَنا َن‬َ ‫عَلْي‬
َ ‫ن‬ َ ‫َتْنِزيل اْلُقْرآ‬
Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu
(hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (Al-Insaan:23)
‫عَرِبّيا ُقْرآًنا َأْنَزْلَناُه ِإّنا‬
َ ‫ن َلَعّلُكْم‬
َ ‫َتْعِقُلو‬
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)
Allah ta’ala telah menjaga Al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah,
menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin
akan menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya,
‫ح ِإّنا‬
ْ ‫ن َن‬ ُ ‫ن َلُه َوِإّنا الّذكَْر َنّزْلَنا‬َ ‫ظو‬
ُ ‫حاِف‬ َ ‫َل‬
“Sesungguhnya Kami-lah yang menunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-
benar memeliharanya.” (Al-Hijr:9)
Al-Qur’an disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui tulisan atau
bacaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan terpelihara dari perubahan
dan pergantian . Sebagaimana telah disebutkan bahwa sedikitpun tidak ada
keraguan atas kebenaran dan kepastian isi Al-Qur’an itu, dengan kata lain Al-Qur’an
itu benar-benar datang dari Allah. Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung
di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia
sepanjang masa. Banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an itu benar-
benar datang dari Allah.
Dalam surah An Nisa ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya telah kami turunkan
kepada engkau (Muhammad) kitab Al-Qur’an dengan membawa kebenaran”. Surah
An Nahl ayat 89, “Dan telah kami turunkan kepada engkau (Muhammad) kitab Al-
Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu dan ia merupakan petunjuk, rahmat serta
pembawa kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dan masih banyak
lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar
datang dari Allah.
Ditinjau dari sudut tempatnya, Al-Qur’an turun di dua tempat yaitu:
1. Di Mekkah atau yang disebut Ayat Makkiyah. Pada umumnya berisikan soal-soal
kepercayaan atau ketuhanan, mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
ayat-ayatnya pendek dan ditujukan kepada seluruh ummat. Banyaknya sekitar 2/3
seluruh ayat-ayat Al-Qur’an.
2. Di Madinah atau yang disebut Ayat Madaniyah. Ayat-ayatnya panjang, berisikan
peraturan yang mengatur hubungan sesama manusia mengenai larangan, suruhan,
anjuran, hukum-hukum dan syari’at-syari’at, akhlaq, hal-hal mengenai keluarga,
masyarakat, pemerintahan, perdagangan, hubungan manusia dengan hewan,
tumbuh-tumbuhan, udara, air dan sebagainya.
Mu’jizat Al-Qur’an♣
Al-Qur’an memiliki mu’jizat-mu’jizat yang membuktikan bahwa ia benar-benar
datang dari Allah SWT. Menurut Mana’ Qattan di dalam buku Mabahits Fi Ulumil
Qur’an menyebutkan bahwa Al-Qur’an memilki mujizat pada 4 bidang yaitu:
1. Pada lafadz dan susunan kata. Pada zaman Rasulullah Syair sangat trend pada
saat itu maka Al-Qur’an turun dengan kata-kata dan susunan kalimat yang maha
puitis, sehingga Al-Qur’an memastikan bahwa tak ada seorangpun yang dapat
membuat satu surah sekalipun semisal Al-Qur’an. Seperti yang termaktub dalam
surah Al Isra ayat 88, Hud ayat 13-14, Yunus ayat 38 dan Al Baqarah ayat 23.
2. Pada keterangannya, selain pada kata-katanya Al-Qur’an juga memiliki mu’jizat
pada artinya yang membuka segala hijab tentang hakikat manusiawi.
3. Pada ilmu pengetahuan. Di dalam terdapat sangat banyak pengetahuan baik hal
yang zahir maupun yang gaib, baik masa sekarang maupun yang akan datang.
4. Pada penetapan hukum. Peraturan yang ada di dalam Al-Qur’an bebas dari
kesalahan karena ia berasal dari Tuhan Yang Maha Tahu atas segala ciptaanNya.
Fungsi dan Tujuan Al-Qur’an♣
Al-Qur’an pertama kali turun di Gua Hira surah Al Alaq ayat 1-5 dan terakhir kali
turun surah al Maidah ayat 3. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 144 surah, 6.326 ayat,
324.345 huruf . Al-Qur’an berfungsi sebagai:
1. Sumber pokok dan utama dari segala sumber-sumber hukum yang ada. Hal ini
dilandasi oleh ayat Al-Qur’an di dalam surah An Nisa ayat 5.
2. Penuntun manusia dalam merumuskan semua hukum, agar tercipta
kemaslahatan dan keselamatan harus berpedoman dan berwawasan Al-Qur’an.
3. Petunjuk yang diturunkan Allah SWT kepada umat manusia dengan penuh
rahmat kepada kebahagiaan umat manusia baik didunia maupun diakhirat dan
sebagai ilmu pengetahuan.
Pokok Ajaran Dalam Isi Kandungan Al-Qur’an♣
1.Akidah
Akidah adalah keyakinan atau kepercayaan. Akidah islam adalah keyakinan atau
kepercayaan yang diyakini kebenarannya dengan sepenuh hati oleh setiap
muslim.Dalam islam,akidah bukan hanya sebagai konsep dasar yang ideal untuk
diyakini dalam hati seorang muslim.Akan tetapi,akidah tau kepercayaan yang
diyakini dalam hati seorang muslim itu harus mewujudkan dalam amal perbuatan
dan tingkah laku sebagai seorang yang beriman.
2.Ibadah dan Muamalah
Kandungan penting dalam Al-Qur’an adalah ibadah dean muamallah.Menurut Al-
Qur’an tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada
Allah.Seperti yang dijelaskan dalam (Q.S Az,zariyat 51:56)
Manusia selain sebagai makhluk pribadi juga sebagai makhluk sosial.manusia
memerlukan berbagai kegiatan dan hubungan alat komunikasi .Komonikasi dengan
Allah atau hablum minallah ,seperti shalat,membayar zakat dan lainnya.Hubungan
manusia dengan manusia atau hablum minanas ,seperti silahturahmi,jual
beli,transaksi dagang, dan kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan seperti itu disebut
kegiatan Muamallah,tata cara bermuamallah di jelaskan dalam surat Al-Baqarah
ayat 82.
3.Hukum
Secara garis besar Al-Qur’an mengatur beberapa ketentuan tentang hukum seperti
hukum perkawinan,hukum waris,hukum perjanjian,hukum pidana,hukum
musyawarah,hukum perang,hukum antar bangsa.
4. Akhlak
Dalam bahasa Indonesia akhlak dikenal dengan istilah moral .Akhlak,di samping
memiliki kedudukan penting bagi kehidupan manusia,juga menjadi barometer
kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugasnya.Nabi Muhammad saw
berhasil menjalankan tugasnya menyampaikan risalah islamiyah,anhtara lain di
sebabkan memiliki komitmen yang tinggi terhadap ajhlak.ketinggian akhlak Beliau
itu dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Qalam ayat 4.
5. Kisah-kisah umat terdahulu
Kisah merupakan kandungan lain dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an menaruh perhatian
penting terhadap keberadaan kisah di dalamnya.Bahkan,di dalamnya terdapat satu
surat yang di namaksn al-Qasas.Bukti lain adalah hampir semua surat dalam Al-
Qur’an memuat tentang kisah. Kisah para nabi dan umat terdahulu yang
diterangkan dalam Al-Qur’an antara lain di jelaskan dalam surat al-Furqan ayat 37-
39.
6. Isyarat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Al-Qur’an banyak menghimbau manusia untuk mengali dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.Seperti dalam surat ar-rad ayat 19 dan al zumar ayat
9.Selain kedua surat tersebut masih banyak lagi dasar-dasar ilmu pengetahuan dan
teknologi seperti dalam kedokteran,farmasi,pertanian,dan astronomi yang
bermanfaat bagi kemjuan dan kesejahteraan umat manusia.
Keistimewaan Dan Keutamaan Al-qur’an :♣
1. Memberi pedoman dan petunjuk hidup lengkap beserta hukum-hukum untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia seluruh bangsa di mana pun berada serta
segala zaman / periode waktu.
2. Memiliki ayat-ayat yang mengagumkan sehingga pendengar ayat suci al-qur’an
dapat dipengaruhi jiwanya.
3. Memberi gambaran umum ilmu alam untuk merangsang perkembangan berbagai
ilmu.
4. Memiliki ayat-ayat yang menghormati akal pikiran sebagai dasar utama untuk
memahami hukum dunia manusia.
5. Menyamakan manusia tanpa pembagian strata, kelas, golongan, dan lain
sebagainya. Yang menentukan perbedaan manusia di mata Allah SWT adalah
taqwa.
6. Melepas kehinaan pada jiwa manusia agar terhindar dari penyembahan terhadap
makhluk serta menanamkan tauhid dalam jiwa.
Kehujjahan Al-Qur’an♣
Al-Qur’an dari segi penjelasannya ada 2 macam, yang pertama muhkam yaitu ayat-
ayat yang teran artinya, jelas maksudnya dan tidak mengandung keraguan atau
pemahaman lain selain pemahaman yang terdapat pada lafaznya. Yang kedua
mutasyabih yaitu ayat yang tidak jelas artinya sehingga terbuka kemungkinan
adanya berbagai penafsiran dan pemahaman yang disebabkan oleh adanya kata
yang memiliki dua arti/maksud, atau karena penggunaan nama-nama dan kiasan-
kiasan.
Ibarat Al-Qur’an dalam menetapkan dan menjelaskan hukum yang berupa perintah
dan larangan ada beberapa model.
1. Suruhan, yang berarti keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkan.
Keharusan seperti perintah shalat, Allah berfirman yang artinya,”Dan dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat”. Larangan contohnya firman Allah dalam surah Al
An’am ayat 151 yang artinya,”Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan
Allah membunuhnya kecuali dengan hak”.
2. Janji baik dan buruk, pahala dan dosa serta pujian dan celaan.
3. Ibarat, contohnya seprti istri yang ditalak harus menjalankan masa iddah.

B. As-Sunnah(Al-Hadits)
Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk
menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi
Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi
Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak
mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan
perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi
pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga
dinyatakan oleh Rasulullah SAW:
(‫ت‬
ُ ‫ن ِفْيُكْم َتَرْك‬
ِ ‫سْكُتْم َتَما َاْمَرْي‬
ّ ‫ن ِبِهَما َم‬
ْ ‫ضّلْوا َتَل‬
ِ ‫ب َاَبًدا‬
َ ‫ل ِكَتا‬
ِ ‫سّنُة َو ا‬
ُ ‫سْوِلِه‬
ُ ‫رواه همام ما لك( َر‬
Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat
selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah
Rasulnya”. (HR. Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai
berikut.
Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, sehingga
kedunya (Al-Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama.
Misalnya Allah SWT didalam Al-Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan
dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya :
Artinya: “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
1. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih
bersifat umum. Misalnya, ayat Al-Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar
zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak
menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci
batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian
semua itu telah dijelaskan oleh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam
Al-Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah
sebagai berikut:
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai
mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada
bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah
SAW:
(‫ت‬ ْ ‫حّل‬
ِ ‫ن َلَنا ُا‬
ِ ‫ن َو مَْيَتَتا‬ ِ ‫ َدَما‬,‫ن َفاّما‬ ِ ‫ اْلَمْيَتَتا‬:‫ت‬ُ ‫حْو‬ُ ‫جَراُد اْل‬
َ ‫ َواْل‬,‫ن َوَاّما‬ِ ‫ الّدَما‬: ‫ل َفاْلَكِبُد‬
ِ ‫حا‬
َ‫ط‬
ّ ‫رواه ابن الماجه و الحاكم( َوال‬
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun
dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah
adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
2. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an.
Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh
kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
( ‫طُهْوُر‬ُ ‫حِدُكْم ِاَناِء‬ َ ‫ب ِفْيِه َوِلَغ ِاَذا َا‬
ُ ‫ن اْلَكْل‬ ْ ‫ل َا‬
َ‫س‬ِ ‫سْبَع ُيْغ‬
َ ‫ت‬ٍ ‫ن َمّرا‬ ّ ‫ب َاْوَلِه‬
ِ ‫رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى( ِبالّتَرا‬
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh
sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad,
Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang
dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
keshohehan suatu hadits
2. Hadits Makbul, adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat
diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk Hadits Makbul adalah Hadits Shohih dan
Hadits Hasan
3. Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak
begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat
illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul
biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu
penting
4. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat
hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan
mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya
syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal

C. Ijtihad
Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah
yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits, dengan
menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-
cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan
sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW
dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri
Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan
hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan
hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al-Qur’an,
Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al-
Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya
lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al-Qur’an dan
Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri”
kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju.
Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan
hukum Islam setelah Al-Qur’an dan hadits. Untuk melakukan ijtihad (mujtahid)
harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1. Mengetahui isi Al-Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
2. Memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al-
Qur’an dan Hadits
3. Mengetahui soal-soal ijma’
4. Menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan
sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah
SAW bersabda:

‫جٌر ) رواه البخارى و مسلم‬


ْ ‫طَأ َفَلُه َا‬
َ‫خ‬ْ ‫جَتَهَد ُثّم َا‬
ْ ‫حَكَم َوا‬
َ ‫ن َو ِاَذا‬
ِ ‫جَرا‬
َ ‫ب َفَلُه َا‬
َ ‫صا‬
َ ‫جَتَهَد ُثّم َا‬
ْ ‫حاِكَم َفا‬ َ ‫) ِاَذا‬
َ ‫حَكَم اْل‬

Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan
ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila
seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil
ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad,
tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan
membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah
SAW bersabda:

…‫حَمٌة )رواه نصر المقدس‬


ْ ‫ي َر‬
ْ ‫ف ُاّمِت‬
ِ ‫ل‬ ْ ‫)ِا‬
َ ‫خِت‬

Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR


Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’
adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada
suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada
hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman
Allah SWT:
Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri
diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan
dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan
demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijma’
ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya
menjadi mushaf Al-Qur’an, seperti sekarang ini Qiyas (analogi) adalah
menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain
yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau
sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski.
Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al-
Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama
memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al-Qur’an
atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar
yang ada hukumnya dalam Al-Qur’an. Sebelum mengambil keputusan dengan
menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
1. Dasar(dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain
• Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan
secara kongret dalam Al-Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan
umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
• Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah
ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum
tersebut
• Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara
kongkret dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat
istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-
hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama
sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan
dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits
• Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang
tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu.
Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar
kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah
ditetapkan.
• Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam
perkembangan hidupnya
• Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah
atau untuk menghilangkan mudarat.
D. Pembagian Hukum dalam Islam
Hukum dalam Islam ada lima yaitu:
a. Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi
(dikerjakan), maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak
dikerjakan maka ia akan berdosa
b. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak
berdosa
c. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau
ditinggalkan mendapat pahala, sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad SAW
dalam sebuah haditsnya yang artinya:
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah.
Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang
paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk
orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu
sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa.
Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
d. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak
berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala
e. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau
dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
Dalil fiqih adalah Al Qur’an, hadits, ijma’ mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama
menambahkan yaitu istihsan, istidlal, ‘urf dan istishab.
Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya terdiri atas empat macam:
1. Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan maksudnya
menunjukkan kepada hukum itu. Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib
dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya.
Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan
rela. Imam syafi’ie berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada
suatu kejadian, setiap muslim wajib mengikutinya.
2. Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-
hukum itu. Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam
batas memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau
menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah
khiar majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:

‫ن ِباْلخَِياِر َما َلْم َيَتَفّرقًا‬


ِ ‫َاْلَبْيَعا‬

Dua orang yang jual beli boleh memilih antara meneruskan jual beli atau tidak
selama keduanya belum berpisah Kata “berpisah” yang dimaksud dalam hadits ini
mungkin berpisah badan atau pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti
wajib menyapu semua kepala atau sebagian saja ketika wudhu’, dalam memahami
ayat:
Artinya: “Dan sapulah kepalamu” (QS Al Maidah : 6)
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-
mata tidak membaca basmalah.

‫عَلْيِه‬
َ ‫ل‬
ِ ‫سَم ا‬
ْ ‫َما َاْنَهَر الّد َم َو ُذ ِكَر ِا‬

Alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah.
3. Hukum yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti) maupun zanni (dugaan),
tetapi pada suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah
dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap
muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah
disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu
menurut Rasulullah SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin
merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT menyuruh
hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui
bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya
semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan penelitian.
4. Hukum yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada
kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang banyak terdapat dalam kitab-
kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini adalah hasil pendapat seorang mujtahid.
Pendapat menurut cara yang sesuai denngan akal pikirannya dan keadaan
lingkungannya masing-masing diwaktu terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum
seperti itu tidak tetap, mungkin berubah dengan berubahnya keadaan atau
tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa kini atau sesduahnya berhak
membantah serta menetapkan hukum yang lain. Sebagaimana mujtahid pertama
telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat pula mengubah
hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan tinjauan yang lain, setelah
diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok pertimbangannya. Hasil ijtihad
seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu
sendiri dan bagi orang-orang yang meminta fatwa kepadanya, selama pendapat itu
belum diubahnya.

You might also like