Professional Documents
Culture Documents
1Yusri ‘Abd al-Ghani ‘Abd Allah, Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern. Terjemahan oleh Budi Sudrajat, Jakarta,
2 Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola PikirIslam, halaman 25.
3Yusri ‘Abd al-Ghani ‘Abd Allah, Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern. Terjemahan oleh Budi Sudrajat, Jakarta,
Rajawali Press, 2004, halaman 65.
Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 3
4 Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pikir Islam, halaman 22-23.
5 Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah, halaman 17.
4 Dadan Rusmana
adanya”. Mereka lebih menyandarkan pada logika deduktif dengan dasar doktrin-doktrin
teologis, aturan-aturan normatif, serta adat istiadat. Semuanya dijewantahkan dengan cara
menerangkan kebaikan-kebaikan, memantapkan prinsip-prinsip, dan mengajurkan
masyarakat supaya memegang prinsip-prinsip dan aturan-aturan tersebut. Metode ini
dipergunakan oleh para teolog, sufi, da’i, serta para politikus, misalnya dalam Tahdzib al-
akhlak (Ibn Miskawaih), Ihyâ ‘Ulum al-Dîn (al-Ghazali), ‘Uyûn al-Akbar (Ibn Qutaibah al-
Dainuri), al-Ahkâm al-Suthâniyyah dan al-Wizarah wa Siyâsat al-malik (al-Mawardi), Sirâj
al-Mulûk (al-Thaharthasy), dan al-Fakhr fî al-âdab al-Sulthâniyyah wa al-Duwâl al-
Islâmiyyah (Ibn Thaba al-Thaqthaqi).
Ketiga, metode rekonstruksi imajinatif. Metode ini dipergunakan dengan cara
merumuskan apa yang seharusnya melalui perenungan imajinatif terhadap fenomena
sosial atau sesuai dengan hasil pencapaian akal, seperti yang dalam Republica dan
Canon (Plato), Ethics dan Politics (Aristoteles), ‘Arâ ahl al-Madhînah al-Fadhîlah (al-
Farabi). Dalam karya-karya tersebut, mereka menjelaskan “apa yang seharusnya” terjadi
pada masyarakat dengans segala bentuk gejala sosialnya, sehingga mereka menjadi
masyarakat utama menurut pandangan mereka, terutama mengenai filsafat keutamaan
dan etika.
B. Gagasan Ibn Khaldun tentang Penelitian Empiris Historis dan Kajian Sosiologis
Ibn Khaldun, meminjam istilah Park, adalah "manusia marginal"6 yang mampu keluar
dari arus utama (hegemoni) pemikiran masyarakat klasik dan pertengahan. "Manusia
Marginal", kata R.E. Park dimaksudkan sebagai "orang yang ditakdirkan hidup dalam dua
masyarakat dan di dalam dua kebudayaan yang tidak hanya berbeda tetapi saling
berseberangan. Dalam hal ini, pikirannya menjadi wadah di mana dua kebudayaan yang
berbeda dan bias dapat dikatakan melebur dan bercampur baik keseluruhan maupun
sebagian." Seperti inilah Ibn Khaldun. Ia mempelajari sejarah dan menjalani sejarahnya
seakan-akan ia mengendalikan roda sejarah itu sendiri dan ia berjalan mengarahkan
perjalanan sejarahnya sendirian.
Menurut Ibn Khaldun, sejarah mengandung dua makna, yakni kadang-kadang
diartikan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu, dan kadang-kadang
diartikan pula dengan penuturan seseorang tentang peristiwa-peristiwa tersebut. Dengan
6 R.E. Park, "Introduction", di dalam E. V. Stonequist, Marginal Man, New York, Russel and Russel, 1961, halaman xv.
Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 5
demikian, terdapat dua kemungkinan ruang lingkup sejarah. Sejarah dalam bentuk kajian
tradisionalnya, yaitu perjalanan sejarah dan perkembangannya; serta sejarah dalam
bentuk pikiran filosofis tentang sejarah. Bentuk kedua ini sering disebut sebagai filsafat
sejarah, yang mempunyai dua ciri utama, yaitu aspek kontemplatif dan aspek analitis.
Penelitian fenomena sejarah pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Ibn
Khaldun didasarkan pada prinsip-prinsip dan bukti-bukti empiris-historis. Gagasan Ibn
Khaldun ini merupakan sebuah terobosan baru dalam tradisi penulisan sejarah di dunia
Islam pada waktu itu. Dalam hal ini, Ibn Khaldun banyak melakukan penelitian di sekitar
Afrika Utara dan Spanyol. Berdasarkan penelitian empiris-historis ini, Ibn Khaldun
menghasilkan beberapa tesis kontroversial, salah satunya menyangkut konsep
‘ashabiyyah (solidaritas sosial). Tidak mengherankan apabila Ibn Khaldun dituduh sebagai
sarjana sekuler. Konsep ‘ashabiyyah (solidaritas sosial, semangat suku) yang dikritik oleh
kebanyakan mayoritas Muslim justeru dianggap oleh Ibn Khaldun sebagai perekat yang
kuat bagi bangunan kekuasaan, khususnya di kalangan suku Badwi.
Berdasarkan pengamatannya itu, Ibn Khaldun membagi dua sisi sejarah, yaitu sisi
ekstrinsiknya dan sisi intrinsiknya. Pada sisi ekstrinsiknya yang terlihat adalah catatan
tentang perputaran kekuasaan pada masa lampau. Pada sisi intrisik dalam sejarah adalah
suatu penyelidikan kritis dan usaha yang cermat untuk menemukan kebenaran atau suatu
penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu; atau pula
suatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa tersebut
itu terjadi. Oleh sebab itu, sejarah berakar dalam filsafat (hikmah). Jawaban mendalam
tentang bagaimana (proses) dan mengapa (sebab) dapat ditemukan dalam filsafat.
Bagi Ibn Khaldun, sejarah mempunyai fungsi dan nilai praktis, yaitu membantu
penguasa atau siapapun saja dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan.
Sejarah membantu filsafat politik dalam pengaturan kota (tadbîr al-madina) atau dalam
cara-cara pengaturan masalah-masalah politik (Mahdi, 1971:286). Di sini terlihat semacam
hirarki ilmu, yaitu filsafat politik, sejarah, dan ilm al-umrân. Filsafat politik adalah yang
tertinggi di antara ketiga disiplin di atas, menyusul kemudian sejarah, dan setelah itu ilm al-
umrân. Sekalipun berada di bawah sejarah, fungsi ilm al-umrân tetap penting, sebab tanpa
ilmu ini historiografi tidak akan pernah menghadirkan gambaran masa lampau dengan cara
yang lebih utuh, jelas, dan intelligible. Dalam perspektif ruang dan waktu, masa lampau
manusia tidak kurang kompleks bila dibanding dengan masa sekarang.
6 Dadan Rusmana
Ibn Khaldun tidak saja ingin menghadirkan masa lampau itu dalam format yang lebih
utuh yang memang menjadi profesi sejarawan, tetapi juga mau berangkat lebih jauh, yaitu
menjadikan sejarah sebagai “panggung moral.” Karya sejarahnya yang diantarkan al-
Muqaddimah yang diberi judul Kitab al-Ibar (kitab tentang contoh-contoh moral)
mengisyaratkan bahwa pengarangnya ingin membaca dan mendapatkan sesuatu yang
ada di belakang fakta. Artinya, dimensi filosofis dan peristiwa sejarah hendaklah pula
dipahami dan ditangkap dengan cermat. Sisi inilah yang dalam al-Muqaddimah disebut sisi
dalam dari sejarah. 7 Dengan demikian, bagi Ibn Khaldun, sejarawanmemiliki peran ganda,
yaitu pertama, menyingkapkan fakta-fakta langka yang penting dan mengubahnya menjadi
fakta-fakta historis; dan kedua, menjauhkan fakta-fakta historis dari fakta-fakta ahistoris.8
Ibn Khaldun menuliskan bahwa “penulisan sejarah memerlukan banyak sumber dan
pengetahuan yang bermacam-macam. Selain itu, penulisan sejarah pun memerlukan
suatu mind spekulatif yang baik dan kedalamannya yang membawa sejarawan kepada
kebenaran dan memeliharanya dari keterpesonaan dan terjaga dari kesalahan.”9 Baginya,
pertanyaan bagaimana dan mengapa peristiwa sejarah terjadi harus dijawab secara jujur,
mendalam, cermat, dan berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipercaya. Kemudian
kearifan barulah mungkin diraih dari bangunan masa lampau bila bangunan itu ditegakkan
di atas fondasi historis yang kokoh. Dimensi praksis dari sejarah adalah bila orang mampu
menangkap sinyal kearifan itu untuk memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, dan
sosial. Ibn Khaldun mengingatkan:
Menurut Ibn Khaldun, mutu karya sejarah akan sangat bergantung kepada kualitas
sejarawan. Karena itu, menurutnya, seorang sejarawan harus mengenal prinsip-prinsip
politik, hakikat, segala sesuatu, perbedaan-perbedaan antar bangsa, tempat, dan periode-
periode yang berkaitan dengan cara hidup, kualitas karakter, adat istiadat, sekte-sekte,
aliran-aliran, dan lain sebagainya. Ditegaskan lebih jauh bahwa seorang sejarawan
memerlukan pengetahuan komprehensif tentang kondisi sekarang dalam semua segi
tersebut di atas. Kemudian ia harus pandai membandingkan persamaan atau perbedaan
antara kondisi sekarang dengan masa lampau (Ibn Khaldun, 1970:24). Sejarawan juga
berharus bersikap ekstra hati-hati dalam penulisan sejarah karena dimensi kehidupan
7 A. Syafi’i Ma’arif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Jakarta, Gema Insani Press, halaman 47.
8 Menurut Zainab al-Khudhairi, pendapat Ibn Khaldun seperti demikian sejalan dengan pemikiran sejarawan modern, seperti
Edward Carr (penulis What is History) dan R.G. Collingwood (filosof Inggris penulis The Idea of Historyyang terbit pada tahun 1945).
Lihat Zainab al-Khudhairi, Fislafat SejarahIbn Khaldun, halaman 51.
9 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 11.
Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 7
manusia begitu luas dan kompleks, maka untuk memahaminya dibutuhkan peralatan ilmu
yang tidak sederhana agar penemuannya bersifat utuh dan komprehensif. Apabila
kehidupan yang serba kompleks itu telah menjadi sejarah, tidak mungkin lagi diamati
secara langsung, maka kerja rekonstruksinya merupakan tugas sejarawan yang cukup
rumit agar rekonstruksinya bersifat intelligible (dapat dipahami) dan meaningful (penuh
makna).
Deskripsi di atas mengandung nuansa modern. Namun, pada saat yang sama
tergambar pula tidak mudahnya menjadi sejarawan dengan kualitas prima. Para sejarawan
besar dalam sejarah Arab-Muslim seperti al-Mas’udi, al-Thabari, dan banyak ahli tafsir al-
Qur’an dinilai Ibn Khaldun sering tidak cermat dalam karya-karya sejarah mereka. Ibn
Khaldun menuliskan, “fa dhallû ‘an al-haqq wa tâhû fî faidâi al-wahm wa al-ghalat (mereka
telah tergelincir dari kebenaran dan tersesat di padang pasir perkiraaan yang keliru dan
kesalahan” (Ibn Khaldun, 1967:9-10).
Seperti dikisahkan oleh al-Mas’udi dan ahli-ahli sejarah yang lainnya tentang
tentara-tentara Bani Israel. Dikatakan bahwa Musa telah menghitung mereka
di padang Tih setelah membolehkan orang-orang dewasa untuk membawa
senjata, khususnya mereka yang berumur 20 tahun ke atas, jumlah mereka
terhitung sebanyak enam ratus ribu (600.000) orang atau lebih.
Menurut Ibn Khaldun, al-Mas’udi telah mengutip riwayat tentang jumlah tentara
Nabi Musa di padang Tih10 di atas tidaklah melalui penyelidikan yang mendalam. Rupanya,
10Tih merupakan nama padang luas yang terletak di batas-batas Mesir dan Palestina, di dalam anak pulau Sina. Sebagian
pakar menyebutnya padang Bani Israil, karena Bani Israel pernah mendiaminya untuk waktu yang cukup lama. Secara etimologis, Tih
dapat dimaknai berputar-putar kebingungan, karena di padang luas ini, Musa dan kaumnya tersesat dan selalu berputar-putar untuk
mencari jalan keluar. Menurut al-Qur’an, Bani Israil mendiami padang Tih ini, sejak keluar dari Mesir hingga mampu menguasai negeri
8 Dadan Rusmana
al-Mas’udi hanya mengutip dari riwayat lain apa adanya, atau terlalu percaya pada
penuturan sejarawan sebelumnya.11 Apabila al-Mas’udi, memiliki pengetahuan tentang
hukum pertumbuhan dan perubahan manusia, maka setidaknya ia akan mempertanyakan
jumlah 600.000 ribu tersebut.
Menurut Ibn Khaldun, jika dianalisis menggunakan hukum-hukum yang berlaku pada
pertumbuhan penduduk, jumlah Bani Israel yang pada masa Ya’kub berjumlah 70 orang,
tidaklah masuk akal jika kemudian dalam waktu 220 tahun berkembang mencapai jumlah
di atas 600.000 jiwa. Namun, Menurut Wafi (1985:100), para sejarawan, seperti al-Mas’udi
memang punya alasan untuk tidak melakukan verifikasi tentang jumlah tersebut. Hal ini
karena hukum-hukum dan gejala-gejala sosial belum terungkap hingga dicetuskan oleh Ibn
Khaldun. Demikian pula, dengan sistem penghitungan pertambahan penduduk pun baru
diwacanakan oleh Ibn Khaldun. Wafi (1985:100) menegaskan bahwa Ibn Khaldun sudah
mempunyai konsep dan pengetahuan yang matang tentang hukum-hukum atau teori
pertambahan penduduk empat abad sebelum Malthus. Namun, disebabkan banyak faktor,
teori pertambahan penduduknya, kemudian tidak berkembang.
Memang dunia modern mengenal pola pertambahan jumlah penduduk melalui
rumusan sistematis baru yang ditemukan oleh Malthus, ahli ekonomi berkebangsaan
Inggris (1766-1834) dan pencetus ilmu demografi modern. Dalam bukunya Increase of
Population yang terbit pada tahun 1803, Malthus menyebutkan bahwa setiap 25 tahun,
pertumbuhan penduduk dapat dihitung menurut deret ukur (1,2,4,8,16,32, 64……n)
apabila pertambahan itu tidak terjadi hambatan.
Dengan menggunakan asumsi-asumsi spekulatif Ibn Khaldun dan juga menggunakan
deret ukur Malthus, maka dapat disimpulkan mengenai jumlah 600.000 jumlah tentara Bani
Israil yang ada di padang Tih itu sulit diterima akal. Terlebih ketika di Mesir, Bani Israil
mendapat siksaan dan penindasan yang amat berat, termasuk pembunuhan terhadap bayi
laki-laki. Hal itu dapat dimasukkan sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan
penduduk. Lantas pertanyaannya, dari mana al-Mas’udi--riwayat Israiliyyat—
menyimpulkan jumlah tersebut dan lebih lanjut berapa jumlah Bani Israil seluruhnya, selain
Kan’an, selama 40 tahun. Allah berfirmah, “Jika demikian, maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama 40 tahun,
selama itu mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) (al-Maidah (5):26).
11 Al-Mas’udi mengutip riwayat Isra’iliyyât tersebut dari Pembetulan 12 Kitab Perjalanan Keluar alinea 37. Disebutkan bahwa
tentara. Dengan menggunakan deret ukur Malthus, dalam masa waktu 220 tahun hanya
akan dapat dimungkinkan terjadi pertumbuhan penduduk sebanyak 35.840 orang. 12
Bagi Ibn Khaldun menegaskan bahwa dalam karya-karya tersebut banyak ditemukan
berbagai riwayat dan interpretasi sejarah yang bertentangan dengan realitas ditinjau dari
segi watak dan hukum-hukum kemasyarakatan. Menurut Wafi, dalam upayanya tersebut,
Ibn Khaldun menyandarkan diri pada pembahasan sosiologis, pendekatan ilmiah, dan
sejarah obyektif. 13 Sedangkan pada bagian kedua kitab al-‘Ibar, Ibn Khaldun berupaya
mengaplikasikan metode yang dibangunnya secara ketat dalam pembahasan mengenai
sejarah orang-orang Arab. Analisis historisnya tersebut didasarkan pada sumber-sumber
sejarah yang diperolehnya melalui observasi dan telaah khusus terhadap sumber-sumber
yang jarang disinggung oleh para sejarawan (muarrikh) sebelumnya. Hal ini tampak dalam
pembahasannya mengenai daulah-daulah Islam yang hidup di Sisilia, sejarah muluk al-
thawâif di Andalusia, sejarah kerajaan-kerajaan Nashrani di Spanyol, dan sejarah daulah
Bani Ahmar di Granada.
Pada bagian ketiga kitab al-‘Ibar Ibn Khaldun membicarakan secara khusus sejarah
bangsa Barbar. Menurut Wafi,14 pembahasannya merupakan bagian paling obyektif
dibandingkan bagian-bagian lainnya.. Hal ini karena bagian berisi hasil observasi lapangan
dan pengujian ilmiah terhadap peristiwa-peritiwa yang terkait dengan bangsa Barbar.
Dalam hal ini, Ibn Khaldun melakukan observasi-terlibat (observasi partisipatoris) secara
langsung, terutam akarena ia memang hidup di tengah-tengah mereka dan mengembara
berpindah-pindah dari satu negeri Maghribi ke negeri yang lain.
Oleh karena itu, bagian ini merupakan sumber pokok yang dipergunakan ahli-ahli
sejarah mengenai sejarah daulah dan bangsa Barbar yang hidup pada masa-masa Ibn
Khaldun. Karena keobyektifannya, bagian ini merupakan bagian yang pertama kali
diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, yang dipublikasikan di Aljazairmasing-masing
pada tahun 1852, 1856, 1925, dan 1927. Publikasi ini, salah satunya, terkait dengan
kolonialisme Prancis di wilayah Aljazair.
12 Bagi Wafi (1985:100), jumlah 600.000 tentara Bani Israel cukup dapat dimengerti. Jika riwayat dalam Taurat dalam kitab
Perjalanan Keluar (pembetulan 12 ayat 40), dianggap betul bahwa Bani Israel tinggal di Mesir selama 430 tahun. Dengan menggunakan
deret ukur Malthus, maka dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah keseluruhan Bani Israil adalah 3.975.040. Namun, jumlah tentara dari
al-Mas’udi, tetap masih debatable karena al-Mas’udi menyebutkan bahwa mereka tinggal di Mesir hingga keluar menuju Padang Tih
selama 220 tahun.
13 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun, halaman 146.
14 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun, halaman 146.
10 Dadan Rusmana
Di dalam metode penulisan, Ibn Khaldun mengikuti cara-cara baru yang berbeda dari
keumuman metode penulisan sejarah sebelumnya. Umumnya penulisan sejarah sebelum
Ibn Khaldun mengikuti penulisan sejarah kronologis (diakronis), tahun per tahun. Kejadian-
kejadian sejarah yang terjadi dalam satu tahun atau satu periode dikumpulkan menjadi
satu, meskipun tempat kejadiannya berbeda dan tidak ada hubungan peristiwa yang satu
dengan yang lain. Ibn Khaldun menulis sejarahnya dengan metode baru, lebih mendetail
dan kuat sejak awal hingga akhir, serta memperhatikan hubungan dan interaksi antar-
peristiwa, antar-waktu, antar-wilayah, dan antar-daulah. Tulisannya terbagi ke dalam
beberapa kitab bagian. Kemudian masing-masing kitab bagian dibagi lagi kepada pasal-
pasal yang membicarakan peristiwa-peristiwa yang berhubungan antara yang satu dan
yang lain. Kelebihan lainnya, menurut Wafi, terletak pada kecerdikan Ibn Khaldun dalam
mengorganisir catatan sejarahnya serta kepiawainnya mencari kaitan-kaitan antar-
peristiwa dan lainnya.15 Metode ini sebenarnya telah dirintis oleh banyak sejarawan muslim
seperti al-Waqidi (dalam Futûh Mishr wa al-Syam), al-Baladzari (dalam Futûh al-Buldân),
Ibn ‘Abd al-Hikam al-Mishr (dalam Futûh -Mishr wa Akhbâruhâ), dan al-Mas’udi (dalam
Murûj al-Dzahab).
sibuk, kemakmuran yang berkembang dan penuh kemajuan; penduduk yang banyak dan
kemakmuran sebuah negeri, kultur, peradaban; bangunan, gedung, dan struktur”.16
Pemaknaan modern terhadap term umrân ini muncul secara variatif. Hitti
menerjemahkannya dengan “perserikatan manusia”. H. simion menerjemahkannya dengan
“Kehidupan sosial”, sedangkan R. Ibrahim mengartikannya sebagai “penduduk, kultur, dan
peradaban”. Wafi17 menerjemahkan kata ini dengan “masyarakat sosial”. R.A. Nicholson18
dan Arnorld Toynbee19 memaknai kata ini dengan “kebudayaan”. Tetapi apapun
terjemahan dari kata ini, menurut Syafi'i Ma’arif20, kata ini mengacu pada masalah-
masalah sosial dan kebudayaan.
Ibn Khaldun melihat bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan masyarakat
manusia memiliki hukum yang menyerupai hukum yang terjadi pada alam. Oleh karena itu,
ia berusaha untuk merumuskan karakteristik dan hukum-hukum yang berlaku pada gejala-
gejala sosial-kemasyarakatan ini. Upaya menggagas kajian mendalam tentang gejala-
gejala sosial ini, ia rumuskan dalam ilm al-umrân al-basyari atau ‘ilm al-ijtimâ al-insâni. Ibn
Khaldun berpendapat bahwa ilmu yang digagasnya merupakan orientasi baru dalam
disiplin ilmu pengetahuan saat itu, terutama dalam kajian sejarah dan kemasyarakatan.21
Ia mengemukakan pendapatnya bahwa “ilmu itu (‘ilm al-umrân) merupakan ilmu yang lahir
dari pengamatan, perenungan, dan perasaan intensif terhadap gejala-gejala sosial.”
Ibn Khaldun memaksudkan adanya ilmu baru yang mengkonsentrasikan kajiannya
pada fenomena sosial-kemasyarakatan. Inilah yang diinginkannya dengan ‘Ilm al-Umrân.
Namun demikian, Thaha Husein berpendapat bahwa kata ‘Ilm dalam konsep Ibn Khaldun
tersebut tidak dimaksudkan sebagai science, melainkan hanya sebagai knowledge
(pengetahuan atau savoir dan connaissance dalam bahas Perancis). Analisis Thaha
Husein ini muncul disebabkan ketidakkonsistenan Ibn Khaldun dalam menerapkan metode
yang disusunnya sendiri dalam Muqaddimah ketika diaplikasikan dalam menyeleksi berita
sejarah.22
16 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Cetakan ketiga, Diedit kembali oleh J. Milton Cowan, Maktabah Libnan:
Beirut dan Macdonald & Evans Ltd, London, 1980, halaman 643..
17 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun, halaman 156.
18 R.A. Nicholson dalam A Literary History of the Arabs.
19 Arnorld Toynbee dalam A Study of History.
20 A. Syafi’i Ma’arif, Ibn Khaldun, halaman 28.
21 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 61.
22 Pendapat Thaha Husien ini ditulis untuk disertasinya di Universitas Sorbone berjudul etude Analytique et Critique de la
Bagi Thaha Husein, Ibn Khaldun belumlah dapat dikatakan menyusun sebuah ‘ilm
yang mandiri, “Ibn Khaldun mengkaji masyarakat agar dapat menginterpretasikan sejarah.
Hal itu dimaksudkan untuk mengkaji hukum-hukum perkembangan manusia pada
umumnya. Muqaddimah mirip sekali dengan karya Montesque (De l’esprit des lois). Kita
tidak dapat mengatakan De l’esprit des lois sebagai karya sosiologi, malah karya tersebut
sebagaimana Muqaddimah merupakan sebuah karya filosofis… Dalam hal ini juga, ia
membandingi vico.” Dengan demikian, bagi Thaha Husein, hasil pemikiran Ibn Khaldun
belumlah dapat dikatakan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri, baik sebagai sosiologi
maupun filsafat sejarah. Muqaddimah, menurut Thaha Husein, hanya dapat dipandang
sebagai upaya meretas jalan sosiologi saja atau hanya bagian dari filsafat sosial saja.
Berbeda dengan Thaha Husein, Charless Issawi, de Slane, dan Robert Flint
menerjemahkan kata ‘Ilm di sini sebagai science. Mereka meyakini bahwa sebagai
ilmuwan yang lahir pada masa ujung perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, Ibn
Khaldun memaksudkan ilmu yang digagasnya adalah dalam arti sebenarnya. Ibn Khaldun,
demikian pula para ilmuwan sebelum dan sejamannya, telah mengetahui subtansi ilmu,
metode-metode berbagai cabangnya, dengan penguasaan yang mendalam, dan
mengembangkannya. Sehingga mereka mencapai kebangkitan ilmu pengetahuan yang
luar biasa dan menjadi sumber ilmu dan kebangkitan Eropa pada permulaan zaman
modern. Karenanya, tidaklah dapat diterima jika ‘Ilm dalam term Ibn Khaldun itu
dilabuhkan pada makna umum (yakni pengetahuan), tetapi harus dilabuhkan pada ‘ilm
sebagai disiplin ilmu yang ingin dibangunnya.
23 H.E. Barnet, et. al, Contemporary Sociological Theory, New York, Appleion Century, 1940, halaman 496.
24 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun, halaman 156.
25 A. Syafi’i Ma’arif, Ibn Khaldun, halaman 28.
Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 13
(1985:121) menerjemahkan ilm al-umrân dengan ilmu biologi sosial (the science of social
biology) atau bahkan biologi peradaban (the biology of civilization). Muhsin Mahdi
(1971:171-284), yang menganalogikan ilmu ini dengan ilmu kultur.
Sedangkan, sosiolog Fuad Baali dalam Society, State, and Urbanism: Ibn Khaldun’s
Sociological Thought (1988:11-13) memaknainya ‘ilm al-‘Umrân dengan “ilmu organisasi
sosial” yang dalam istilah modern dikenal dengan sosiologi. Baali kemudian mengutip P.A.
Sorokin tentang al-Muqaddimah sebagai “the earlist systematic treatise both in sociology
and in rural-urban sociology”. Lebih jauh Fuad Baali (1988:ix) menyatakan bahwa
karyanya tersebut, “… doesn’t indiscriminately praise everything Ibn Khaldun wrote in his
Muqaddima, nor does it criticize his whole work in a few dogmatic statements.” Bagi Fuad
Baali (1980:113), Ibn Khaldun bukan saja diposisikan sebagai perintis sosiologi, “but
perhaps even as the founder of the generalizing science of sociolgy.”
Ketika mengkaji hubungan ilm al-umrân dan ilmu-ilmu sosial-budaya modern, Muhsin
Mahdi dan Fuad Baali mempunyai tinjauan yang berbeda. Kedua penulis Arab yang
dianggap pakar-pakar tentang Ibn Khaldun karena telah melahirkan karya-karya khusus
tentang Ibn Khaldun, tetapi keduanya mempunyai sudut pandang berbeda. Perbedaan
keduanya disebabkan oleh latar belakang pendidikan dan disiplin ilmu yang
dikembangkannya. Mahdi adalah seorang islamolog (islamicist), sedangkan Baali adalah
seorang sosiolog. Selain hal tersebut, variasi pemahaman terhadap al-Muqaddimah di
antara keduanya juga disebabkan oleh karakteristik al-Muqaddimah-nya sendiri. Mnegenai
hal ini, Syafi'i Ma’arif26 menyebutkan bahwa al-Muqaddimah merupakan karya klasik yang
dapat ditengok dari berbagai jendela disiplin ilmu, yaitu sejarah, filsafat, sosiolog, teologi,
geografi, politik, ekonomi, dan bahkan mistik. Mahdi lebih melihatnya dari sudut pandang
filsafat, sejarah, dan teologi, sedangkan Baali memandangnya dari disiplin ilmu sosiologi
dan politik. Sebagai sebuah karya terbuka dan kaya, al-Muqaddimah telah menjadi karya
yang memberikan banyak inspirasi kepada para pengkajinya dari sudut pandang apa pun.
Di sinilah antara lain terletak kebesaran Ibn khaldun, yang telah memberi pekerjaan rumah
yang tidak urung rampung kepada sarjana-sarjana modern selama hampir dua abad.
Penganalogian ilm al-umrân dengan sosiologi atau ilmu sosial modern, sebagaimana
diklaim beberapa ilmuwan modern di atas, tentunya memerlukan kajian lebih mendalam.
Ilmu sosial modern merupakan disiplin ilmu yang memusatkan perhatian dan tinjauannya
26 A. Syafi’i Ma’arif, Ibn Khaldun, halaman 39.
14 Dadan Rusmana
tertentu dalam sejarah, orang harus meramunya dari berbagai sumber dan dari berbagai
sudut pandang.
Dari hasil kajian intensifnya, Dhaouadi (1988:156) kemudian berkesimpulan bahwa Ibn
Khaldun merupakan penggagas sosiologi. Baginya, sosiologi sebagai sebagai sebuah
disiplin sistematis yang mengkaji masyarakat-masyarakat manusia melihat sinar manakala
Ibn Khaldun merampungkan bagian akhir al-Muqaddimah-nya. Dengan demikian, ia
adalah pelopor yang tidak tertandingi dalam bidang ini. Konsekuensinya adalah Auguste
Comte semestinya lebih tepat dipandang sebagai pendiri sosiologi Barat modern dan
bukan sosiologi dalam arti yang umum.
Berbagai pendapat yang menganalogikan ‘ilm al-umrân dengan sosiologi atau ilmu
lainnya ditentang keras oleh Thaha Husein. Seperti dikemukakan di atas, bagi Thaha
Husein, Ibn Khaldun belumlah pantas dianggap telah menggagas ‘ilm al-umrân sebagai
ilmu tersendiri (science), tetapi hanya tepat dikatakan sebagai pengetahuan umum
(knowledge). Telebih, jika ‘ilm al-umrân disamakan dengan sosiologi. Dalam karyanya La
Philosophie sociale d’Ibn Khaldoun, Thaha Husein mencoba membandingkan antara Ibn
Khaldun dan Auguste Comte dan Emile Durkheim. Hasilnya, menurut Thaha Husein, Ibn
Khaldun mengkaji masyarakat dengan tujuan untuk membebaskan sejarah dari kekeliruan
dan kesalahan. Tujuan normatif yang demikian ini, menurut Thaha Husein, bertentangan
dengan metode ilmiah yang benar, sebab setiap kajian, agar supaya dapat menjadi ilmu,
tidak boleh tidak kajian itu harus benar-benar mandiri dan bebas. “Meskipun Ibn Khaldun
menyamakan bahwa metodenya pada dasarnya didasarkan pada eksperimen, dan
meskipun kadang-kadang ia berhasil dalam mengikuti prinsip ini, namun ia seringkali
mengabaikannnya dan tenggelam dalam metafisika”, tegas Thaha Husein. Lebih lanjut,
menurut Thaha Husein, kajian Ibn Khaldun bermula dari negara, bentuk sosial yang paling
kompleks, dan ia tidak menyadari pentingnya bentuk-bentuk sosial yang ia kaji. Oleh
karena itu, apa yang dikajinya belumlah pantas menjadi titik permulaan bagi setiap ahli
sosiologi.
Senada dengan Thaha Husein, Stowasser (1994b:72) menilai bahwa Ibn Khaldun
nampaknya tidak berniat untuk menciptakan suatu ilmu yang “positif” atau “historis” atau
“benar-benar ilmiah”, yakni, suatu disiplin (keilmuan) yang bebas nilai dalam pengertian
kontemporer, seperti yang umum disiratkan di masa lampau. Bagi Stowasser (1994b:73),
sewaktu menuliskan al-‘Ibâr dan terutama al-Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun layaknya
16 Dadan Rusmana
seperti seorang mahasiswa jursan Filsafat Politik Islam Klasik. Studinya tentang kenabian,
hukum keagamaan, dan karakteristik tabi’at masyarakat Islam, membuktikan bahwa Ibn
Khaldun benar-benar seorang pengikut tradisi filsafat politik Platonik Islamis. Penilaian
terakhir Stowasser ini juga dilontarkan oleh Muhsin Mahdi (1971:262).
Jawaban terhadap sanggahan Thaha Husein dan Stowasser pun muncul dengan
derasnya dari para pembela Ibn Khaldun. Mereka umumnya berargumentasi bahwa jika
apa yang dilakukan oleh Ibn Khaldun dianggap kesalahan, maka para sosiolog Barat
modern pun melakukan hal yang sama. Auguste Comte misalnya berpendapat bahwa
kebokbrokan masyarakat diakibatkan oleh kebokbrokan dalam pemikiran dan sistem-
sistem pemahaman. Oleh karena itu, ia berkeinginan untuk menciptakan sistem
pemahaman yang dianggapnya benar, yaitu metode positivistik. Demikian halnya dengan
Karl Marx yang berambisi untuk mencurahkan segala pikirannya untuk membela kaum
buruh di seluruh dunia, semua pikirannya diarahkan untuk mewujudkan cita-cita utopisnya,
yaitu masyarakat tanpa kelas. Dengan demikian, Comte dan Marx mempunyai harapan
yang diidealkannya (ideologi) yang juga diusahakan untuk diwujudkannya melalui metode
yang diklaimnya sebagai metode ilmiah. Keduanya tetap dianggap sebagai pemikir dunia,
sosiolog, dan pembela metode ilmiah. Mengapa Ibn Khaldun tidak pantas untuk
menyandang nama besar dengan sejumalh atribut tersebut?
menjadi dasar sosiologi. Prinsip-prinsip tersebut terdiri dari enam prinsip utama. Pertama,
Fenomena sosial kelihatannya tunduk kepada hukum-hukum sekalipun tidak semutlak
berlakunya hukum-hukum alam. Berbagai fenomena sosial yang terjadi menunjukkan
karakteristik serta mengikuti hukum dan akibat-akibat yang pasti dan tentu. Dengan
memahami hukum-hukum ini, seorang sosiolog akan dapat memahami kecendrungan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya.
Kedua, bahwa hukum-hukum sosial ini berlaku universal dan konvensi (atau berlaku
secara massif) dan tidak dapat dipengaruhi secara signifikan oleh individu-individu yang
terpisah (agregat). Contoh yang diberikan Ibn Khaldun adalah usaha yang dilakukan oleh
seorang pembaharu untuk mereformasi (memperbaharui kembali) sebuah negara yang
rusak, tipis kemungkinan akan berhasil karena usaha individu tersebut akan dikalahkan
oleh kecenderungan kekuatan sosial yang sangat kuat.
Ketiga, hukum-hukum ini dapat ditemukan dengan cara mengumpulkan sejumlah fakta
dan dengan mengamati persamaan-persamaan serta urutan-urutan (kronologis)nya. Fakta
ini diperoleh dari dua sumber, yaitu a) catatan dari kejadian masa lampau; dan b) dari hasil
pengamatan atas kejadian masa kini. Setelah dikumpulkan secara lengkap dan
komprehensif, maka fakta-fakta tersebut harus dicari hubungan-hubungannya berdasarkan
prinsip-prinsip, teori, dan metode analisis yang dipinjam dari berbagai disiplin ilmu yang
dibutuhkan.
Keempat, hukum-hukum sosial ini, pada umumnya, berlaku untuk semua masyarakat
dengan jenis struktur yang serupa, terlepas apakah masyarakat itu dipisahkan oleh ruang
dan waktu, baik secara vertikal maupun horisontal. Oleh sebab itu, Ibn Khaldun berupaya
secara cermat dalam menerapkan hukum-hukum ini ketika mengkaji fenomena-fenomena
sosial yang terjadi pada suku Arab Badui, Berber, suku Turki, Kurdi, dan lainnya.
Kelima, masyarakat tidak statis. Bentuk-bentuk sosial terus berubah dan berkembang.
Ibn Khaldun secara spesifik menyebutkan bahwa faktor utama yang mendorong
perubahan itu adalah terjadinya kontak antara berbagai orang atau kelas yang berbeda.
Kontak-kontak ini akan menimbulkan peniruan (duplikasi atau repetisi) dan budaya saling
berbaur (asimilasi atau adaptasi). Karena Ibn Khaldun hanya menyebutkan satu faktor
pendorong perubahan, kata Issawi, hal itu merupakan kelemahan dari sistem yang
dibangunnya. Namun demikian, hal tersebut menunjukkan adanya sistem evolusi historis
dalam pemikiran Ibn Khaldun. Bagi Issawi, untuk menerangkan dengan jelas bahwa
18 Dadan Rusmana
gejala-gejala yang tampak dalam suatu tingkat perkembangan masyarakat tidaklah harus
ada dalam tingkat-tingkat berikutnya. Misalnya, jumlah pertambahan penduduk yang sukar
dibuktikan pada masa kemunduran, ternyata dapat dibuktikan kebenarannya pada masa
kejayaannya. Demikian pula dengan siklus peradaban, bahwa belum tentu peradaban
bangsa yang telah mundur atau hancur selalu terbelakang atau tertinggal. Misalnya,
peradaban suku Maya di Meksiko, Peradaban suku Mesopotamia, dan peradaban suku
Mesir; yang masing-masing meninggalkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih
belum diketahui oleh orang modern sekalipun. 29
Keenam, bahwa hukum-hukum itu bercorak sosiologis dan tidak semata-mata refleksi
dari dorongan-dorongan biologis atau faktor-faktor fisikal. Faktor lingkungan, seperti iklim
dan makanan, ikut berpengaruh, tetapi faktor-faktor sosial, seperti kohesi sosial, jabatan,
kekayaan, konflik, dan integrasi, tetap merupakan faktor yang lebih menentukan.
Misalnya, ketegagan rasial-religius antara Arab-Muslim dengan Yahudi, atau antara Arab
dengan Persia, bukanlah merupakan “bawaan sejak lahir”, tetapi disebabkan oleh
lingkungan, cara hidup, geografis, politik, atau ekonomi.
Memperhatikan ide-ide Ibn Khaldun tentang faktor-faktor dan perubahan sosial di atas,
Charles Issawi semakin mengukuhkannya sebgai perintis bagi perkembangan ilmu sosial
modern. Bagi Issawi, “Ibn Khaldun tidak saja telah meletakkan dasar-dasar tempat
bertumpunya sosiologi, tetapi juga telah menggunakan berbagai metode yang telah
memperjelas banyak faktor yang membentuk alat-alat kerja bagi para sosiolog modern.”
Lebih lanjut, Issawi menjelaskan bahwa Ibn Khaldun telah mendahului para ahli sosiologi
modern, termasuk dalam mempergunakan konsep-konsep mekanis dalam menjelaskan
gejala-gejala sosial, seperti keseimbangan kekuatan atau etos kerja; konsep-konsep
biologis seperti kematian (mortalitas) dan pertumbuhan. Ibn Khaldun juga telah memasuki
konsep morphologi sosial dan pengaruh ekonomi terhadap masyarakat. 30
dalam hal perhatiannya yang besar dan pemahaman yang luas, mengenai data aktual
masyarakat.38
Ibn Khaldun tidak hanya berusaha mengkaji objek kajiannya (fenomena sosial)
tersebut untuk mendeskripsikannya apa yang apa yang terjadi dan apa yang seharusnya
(preskriptif) pada suatu masyarakat, tetapi ia berusaha untuk menyingkapkan wataknya,
asas-asasnya, dan hukum-hukum yang mengendalikannya. Dalam konteks modern,
pembahasan seperti ini dapat dikatakan sebagai analitik-deskriptif.
Di samping metode tersebut, Ibn Khaldun juga mempergunakan metode komparatif,
yaitu upaya membandingkan keseluruhan gejala-gejala sosial ini, memikirkan seluk-beluk
ihwalnya untuk mengetahui watak-watak, unsur-unsur rohani dan sifat-sifat yang tampak,
serta segala macam perilaku manusia, baik sebagai individu-individu, hubungan antar-
individu, individu sebagai anggota masyarakat; hubungan antar-masyarakat. Ia juga
menghubungkan gejala-gejala sosial dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti
gejala-gejala kosmis, kondisi geografis dan demografis, kondisi sosial politik, ekonomi,
pendidikan, mata pencaharian, tata nilai, dan lain-lain. Setelah itu, kemudian ia mengambil
kesimpulan berupa hukum-hukum yang berlaku bagi semua aspek gejala sosial ini.
Dengan demikian, metode pengkajian dan pembahasan Ibn Khaldun mengenai gejala
sosial ini berdiri pada dua tahap, yaitu pertama, melakukan observasi dan pengujiaan
historis, pengamatan indrawi, dan pengamatan sejarah, terhadap gejala-gejala sosial.
Dengan kata lain, tahapan pertama ini berupa pengkajian dan pembahasan terhadap
materi-materi pokok yang dihasilkan dari hasil-hasil pengamatan dan dari fakta-fakta
sejarah. Kedua, memusatkan pikirannya atas materi-materi itu, kemudian memaparkannya
dalam bahasa tulisan, sehingga sampailah tujuan ilmu yang ia maksud, yaitu menemukan
hukum-hukum yang meliputi gejala-gejala sosial. Dapat dikatakan ini merupakan kali
pertama, fenomena-fenomena sosial dikaji seperti halnya fenomena astronomis, alam, dan
kiamiawi; atau dengan kata lain tunduk pada determenisme.
Kedua tahapan inilah yang merupakan metode pengkajian dan pembahasannya, yang
hampir serupa dengan usaha yang dipergunakan oleh para sosiolog modern. Durkehim
sendiri selalu menyatakan bahwa “Keadaran tentang adanya hukum-hukum merupakan
faktor esensial pikiran ilmiah.” Metode Ibn Khaldun, karenanya, sudah berada pada (awal)
pemikiran dan metode ilmiah, terlepas dari hasilnya benar atau tidak. Dalam mengkaji
38 Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikira Islam, halaman 129.
Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 23
(bilogi), dan ilmu hewan (zoologi). Ibn Khaldun menggunakan perspektif keilmuan yang
banyak dalam memahami gejala sosial dari satu fenomena, yaitu tentang “bangsa yang
kalah dan dijajah”. Ibn Khaldun juga, menurut Wafi rupanya telah memahami sebab yang
terpenting dari berkurangnya kelahiran dalam masa lenyapnya suatu peradaban, baik
disebabkan oleh ulah manusia sendiri maupun karena penyakit atau bencana alam.
Umpamanya, pada masa deklinasi peradaban Yunani dan Romawi, penyusutan jumlah
penduduk, baik karena perang, penyakit, maupun bencana alam telah berakibat pada
lemahnya semangat dan menipisnya harapan hidup. Dari hal ini, maka peradaban mereka
pun lambat lain memudar dan digantikan dengan yang baru. 40
pengetahuan semacam itu dimungkinkan “tanpa mengetahui tujuan yang sebenarnya yang
dipancangkan manusia dan masyarakat, dan juga tingkat kesempurnaan mereka”.
Kritik Stowasser bahwa Ibn Khaldun lebih cenderung berupaya mendeskripsikan
sejarah “apa adanya” dan tidak memasuki wilayah “apa yang seharusnya”, tidak lah
sepenuhnya benar. Satu sisi, Ibn Khaldun memang menekankan sikap objektifnya dalam
mengeksplanasi sejarah umat Islam dari generasi awal (periode Nabi Muhammad dan
Khulafa al-Rasyidun) hingga masa Ibn Khaldun hidup. Di sisi lain, Ibn Khaldun juga
menyebutkan bahwa umat Islam generasi awal merupakan model atau tauladan dari
tatanan politik dan kekuasaan. Dengan demikian, Ibn Khaldun tetap menawarkan “apa
yang seharusnya”.
Menurut Wafi, sebab terpenting yang mendorong Ibn Khaldun untuk menggagas ‘ilm
al-umrân adalah keinginannya untuk membebaskan pembahasan dan penulisan sejarah
(historiografi) dari berita-berita bohong. Dalam al-Muqaddimah, Ibn Khaldun menegaskan
bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis. Sehingga baginya
perlu adanya alat untuk menyeleksi berbagai berita yang benar (fakta sejarah) dari berita
bohong. 41 Historiografer Arab-Muslim seperti al-Mas’udi (w. 857) dan al-Bakri (w. 1094)
tidak luput dari kritik Ibn Khaldun. Ibn Khaldun melihat bahwa kitab-kitab sejarah yang
telah dikarang oleh para sejarawan sebelumnya telah diliputi oleh berita yang subjektif,
tidak rasional, dan tidak didasarkan pada bukti-bukti empiris. Oleh karena itu, sejarah
manusia haruslah dibersihkan dari cerita-cerita seperti itu. Hasil yang dicitakan adalah
gambaran objektif mengenai masyarakat berdasarkan fakta-fakta objektif yang tidak
terkontaminasi oleh interpretasi-interpretasi subjektif dan bohong.
Menurutnya, mayoritas karya-karya sejarah, termasuk sejarah Islam mempunyai tujuh
kelemahan pokok. Tujuh kelemahan pokok tersebut adalah: i) Ambisi pribadi dan sikap
memihak kepada pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab tertentu (partisanship atau
group prejudice); ii) Terlalu percaya kepada para penukil sejarah; iii) Gagal menangkap
maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menyampaikan laporan atas dasar
persangkaan dan perkiraan itu; iv) Perkiraan yang tidak mempunyai dasar (terhadap
sumber berita); v) Tidak sanggupnya “menempatkan sesuatu kejadian dalam hubungan
rentetan yang sebenarnya” secara tepat disebabkan kegagalannya dalam mencocokkan
data dan fakta dengan realitas sebenarnya; vi) kegemaran banyak orang untuk
41 ‘Ali ‘Abd al-Wahid Wafi, Ibn Khaldun, halaman 95.
26 Dadan Rusmana
mendekatkan diri kepada para pembesar dan orang-orang yang berpengaruh dengan jalan
memuji dan menyanjungnya serta menyiarkan hal-hal yang baik-baik saja tentang mereka;
dan vii) ketidaktahuan tentang hakikat situasi dalam kultur.42 Selain ketujuh kelemahan
tadi, pada beberapa tempat Ibn Khaldun juga menyebutkan beberapa kelemahan lainnya,
yaitu, viii) sikap berlebih-lebihan43 dan ix) mengabaikan perubahan perhitungan tarikh serta
perubahan wilayah geografis.44
Pertama: Ibn Khaldun melihat bahwa sejarawan seringkali terjebak kepada kesalahan
karena sebab-sebab yang timbul dari ambisi-ambisi pribadi para sejarawan (muarrikh). Ibn
Khaldun menuliskan, “Semua berita, sesuai dengan sifatnya, dapa tertimpa kesalahan,
bahkan berita itu sendiri malah mengandung faktor-faktor penyebab kesalahan. Faktor
pertama ialah sikap memihak kepada suatu kepercayaan atau pendapat. Apabila pikiran
dalam keadaan netral, setiap orang biasanya ketika menerima suatu keterangan akan
menyelidiki dan menimbang-nimbangnya terlebih dahulu sampai ia dapat memilah
kebenaran dari kesalahan. Tetapi bila pikiran seseorang itu berat sebelah kepada suatu
pendapay atau kepercayaan, maka ia akan berpihak kepada keterangan-keterangan yang
menguntungkan pendapa atau kepercayaanya. Oleh karena itu sikap memihak akan
menutup kejernihan pikiran, mencegah penyelidikan dan pertimbangan dan cenderung
melakukan kesalahan.”45 Dengan demikian, kesalahan pertama merupakan faktor
psikologis murni.
Kategori pertama ini muncul dalam beberapa bentuk, yaitu 1) Ambisi-ambisi itu muncul
berupa kecendrungan dan hawa nafsunya, baik yang berhubungan dnegan penuturan
tentang diri sendiri dengan penuturan diri dan berita-berita yang diterimanya yang
dituturkannya; 2) Fanatisme golongan dan fanatisme ideologi. Fanatisme-fanatisme
tersebut akan menutup mata hati untuk dapat meneliti, mengoreksi, dan menyeleksi berita
yang diterimanya serta mendorong jiwa dan pikiran untuk menerima begitu saja pendapat
yang diterimanya, asalkan sesuai dengan maksud-maksud pribadinya; 3). “terlalu
seringnya sejarawan bergaul dengan orang-orang besar, yang selalu mendapat
sanjungan”, sehingga perbuatan-perbuatannya yang jelek dibaik-baikkan, atau memuji
berkaitan dengan kesalahan pertama dan bermuara pada kesalahan perspesi dan
pengamatan psikologis. Kadang-kadang si pencatat sejarah itu benar dalam menuliskan
data dan fakta sejarah namun ia melakukan kesalahan ketika melakukan analisis dan
interpretasi.
Keempat, Kelemahan yang bersumber pada “kepercayaan yang salah kepada
‘kebenaran’”. Umumnya, kelemahan ini terjadi dalam bentuk terlalu memutlakan
“kebenaran” yang disodorkan penutur berita.50 Dengan kata lain, seorang sejarawan
menuturkan berita yang keliru dengan keyakinan bahwa berita tersebut merupakan
kebenaran, sehingga tidak perlu mendapat penyelidikan lagi. Kelemahan ini terkait dengan
kelemahan kedua.
Kelima, kelemahan yang bersumber dari ketidaksanggupan menempatkan secara
tepat suatu kejadian dalam hubungan dengan peristiwa-peristiwa sebenarnya, karena
kabur dan rumitnya keadaan. Si pencatat merasa puas menguraikan peristiwa seperti yang
dilihatnya saja, akibatnya akan memutarbalikkan peristiwa itu”.51 Dapat saja kelemahan
sejarawan karena ketidakjelian pada peristiwa sebenarnya, disebabkan peristiwa tersebut
telah direkayasa oleh sekelompok orang untuk menutupi peristiwa yang sebenarnya.
Keenam, “Keinginan yang umum untuk mengambil hati orang yang berkedudukan
tinggi, dengan jalan memuji-muji, menyiarkan kemasyhuran, membujuk-bujuk,
menganggap baik setiap perbuatan mereka dan memberi tafsiran yang selalu
menguntungkan semua tindakan mereka. Hasilnya adalah gambaran yang keliru dari
sebuah peristiwa. Ini adalah kecendrungan umum, karena menjadi fitrah manusia senang
untuk dipuji dan setiap orang mencari keuntungan dengan berbagai cara.52 Ini berarti
apabila sejarawan berupaya mendekatkan diri kepada para pemegang kekuasaan
danjabatan tinggi, demi memperoleh kenikmatan duniawi, maka akan mendorongnya
menyebarkan berita-berita bohong tentang kebaikan penguasa dan pembesar, demi
menyenangkan penguasa yangd idekatinya.
Ketujuh, Ibn Khaldun juga melihat kelemahan yang ditimbulkan oleh kedangkalan atau
ketidaktahuan terhadap pengetahuan tentang gejala-gejala sosial dan hukum-hukumnya,
atau juga hukum-hukum yang terjadi pada alam. Menurut Ibn Khaldun, banyak sejarawan
tidak mengetahui hukum-hukum itu, kemudian mencatat berita-berita tersebut, padahal
cerita tersebut memiliki unsur kebohongan dan tidak logis secara nalar. Ibn Khaldun
menyebutkan bahwa banyak sejarawan yang “Tidakmengetahui hukum-hukum watak dan
perubahan. Seandainya, si pendengar memahami watak peristiwa dan perubahan yang
terjadi, serta kondisinya, meka pengatahuan seperti ini akan membantunya melebihi apa
pun, dalam menguraikan setiap peristiwa darikebohongan yang terkandung dalam catatan
itu”.53 Menurut Ibn Khaldun, setiap fenomena dalam wujud, baik fenomena alam dan
fenomena sosial, mempunyai hukum-hukum pengendaliannya, terlepas dalam keadaan
statis maupun berubah. Hukum-hukum ini hendaknya diketahui para sejarawan agar
mereka mampu membedakan antara berita yang benar dan berita yang bohong.
Ibn Khaldun menuliskan, “Ini dapat dilakukan dengan mengetahui watak-watak
masyarakat. Inilah metode yang sebaik-baiknya dan yang paling menjamin kebenaran
yangterkandung dalam berita-berita dan memilah kebenaran yang terkandung dalam
berita-berita itu dari kesalahan. Langkah ini dilakukan sebelum upaya meneliti berita-berita
para penuturnya dengan penyelidikan terhadap mereka (ta’dil dan tajrih). Sebab kritik baru
dilaksanakan setelah yajin apakan peristiwa yang dituturkan itu sendiri mungkin atau tidak.
Karena pabila peristiwa yang dituturkannya itu sendiri tidak mungkin, maka tidak perlu lagi
dilakukan penyelidikan terhadap para penutur peristiwa itu.”54
Dengan dasar sebab ketujuh ini, Ibn Khaldun mengkritik al-Mas’udi yang mudah
mempercayai sumber berita yang tidak diterima nalar. Misalnya, al-Mas’udi menukilkan
tentang cerita Iskandar Dzu al-Qarnain yang sewaktu membangun kota Iskandariah
diganggu oleh binatang-binatang laut. Untuk mengatasi rintangan ini, Iskandar membuat
peti kayu yang di dalamnya ditaruh peti kaca. Iskandar terus masuk ke dalam peti itu dan
terus menyelam ke dalam laut. Ketika berada di dalam laut tersebut, Iskandar
menggambarkan bentuk-bentuk binatang tersebut dan membuat patung-patungnya.
Patung-patung tersebut kemudian diletakkan di dekat kota yang dibangunnya. Melihat
patung-patung tersebut, binatang-binatang laut tersebut berlarian lintang pukang. Maka
dengan cara tersebut selamatlah Iskandar membangun kotanya.55
Menurut Ibn Khaldun, tukilan al-Mas’udi ini merupakan cerita yang khurafat dan tidak
masuk akal. Misalnya, Iskandar tidak mungkin untuk untuk menyelam ke dasar lautan,
sebab seorang penyelam dalam air, meskipun tinggal dalam kotak, dia tidak akan dapat
bernafas secara alami. Napasnya akan terbakar dengan cepat karena semakin sedikitnya
udara. Lalu, ia akan kehilangan udara dingin yang dibutuhkan menurut ukuran paru-paru
normal dan denyut jantung. Dengan begitu, ia pun akan mati di tempatnya. Kondisi ini,
menurut Ibn Khaldun, merupakan penyebab kematian para penyelam dan penggali
sumur.56 Kemudian juga, bagi Ibn Khaldun, merupakan hal yang tidak logis apabila
makhluk-makhluk pengganggu (setan) tersebut lari tunggang langgang hanya karena
melihat patung mereka.57
Penyeleksian berita seperti di atas hanya dapat dilakukan, jika para sejarawan
memahami hukum-hukum alam secara mendalam. Menurut, Ibn Khaldun, bila al-Mas’udi
dan sejarawan lainnya mengetahui tentang fisiologi, hukum alam, dan mengetahui ciri-ciri
pernafasan manusia dan hewan, maka sejarawan tidak akan terjerembab pada
periwayatan kisah yang keliru atau bertentangan dengan hukum-hukum tersebut. Bagi Ibn
Khaldun, tidak ada alasan bagi para sejarawan untuk tidak mengetahui gejala-gejala,
hukum-hukum alam, dan ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam mempelajari sejarah dan
fenomena sosial-kemasyarakatan.
Sebab lainnya adalah sebab-sebab yang ditimbulkan oleh kepicikan ahli sejarah dan
sejarawan tentang hukum-hukum dasar masyarakat manusia. Pengetahuan tentang hal ini
menjadi penting, sebab gejala-gejala masyarakat tidaklah terjadi menurut hawa nafsu atau
secara kebetulan, akan tetapi terikat ketat oleh hukum-hukum yang tetap tidak berubah-
ubah, sebagaimana hukum yang berlaku pada gejala-gejala alam. Dalam pandangan Ibn
Khaldun, sejarawan seringkali terjebak pada pengutipan, pencatatan, dan analisis yang
salah, disebabkan ketidaktahuannya terhadap gejala-gejala sosial dan hukum-hukumnya.
Sering pula, mereka mencatat berita-berita yang berdasar hukum-hukum, tetapi berita
tersebut sulit untuk diterima akal, atau bertentangan dengan watak manusia dan hukum-
hukum perubahan masyarakat manusia. Mereka seringkali bersikap berlebih-lebihan. Ibn
Khaldun menuliskan, “Seringkali para sejarawan, ahli tafsir, dan tokoh penutur terjatuh ke
dalam kesalahan pada pemahaman berita dan peristiwa. Karena mereka hanya
mendasarkan diri pada penukilan semata, terlepas beritanya salah atau benar. Mereka
tidak mengembalikannya kepada asal-usulnya. Mereka juga tidak menganalogikannya
56 Saat itu, teknologi untuk menyelam belum ditemukan. Sehingga Ibn Khaldun menyangsikan atau bahkan tidak percaya
orang dapat masuk ke dalam lautan dengan selamat, sekalipun masuk ke dalam kotak. Kemudian, Ibn Khaldun pun mengajukan
argumentasi ilmiah tentang ketidakmungkinan tersebut.
57 Ibn Khaldun, Muqaddimah, halaman 263.
Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 31
dengan peristiwa-peristiwa yang serupa. Selain itu mereka juga tidak mengujinya dengan
ukuran hikmahnya, dan berhenti pada watak-watak yanga da dan memperkuat penelitian
dan pengkajian terhadap berita-berita itu saja, sehingga mereka menyimpang dari
kebenaran. Lebih jauh lagi, mereka memberikan kesempatan yang seluas luasnya kepada
khayal mereka, mengikuti bisikan sifat yang berlebih-lebihan, dan melintasi batasan-
batasan pengalaman yang biasa bilamana memperbincangkan soal tentara dan kekayaan
dari negeri-negeri pada zaman mereka, atau negeri-negeri pada masa lalu yang dekat.”58
kritik Ibn Khaldun ini diarakan kepada sejarawan yang sering melebih-lebihkan penjelasan
atau berita. Misalnya mereka melebih-lebihkan kekuatan tentara Islam atau tentara
Kristen; atau melebih-lebihkan keyaaan dan pajak yang diterima negara-negara; dan lain-
lain.
Sebab lain adalah “kelemahan seseorang kurang memahami perubahan keadaan atau
penganalogian mutlak antara masa lalu dan masa kini.”59 Contoh mengenai kekeliruan
para sejarawan dalam menuturkan berita, menurut Ibn Khaldun, tercermin dalam
penuturan biografi dari al-Hajjaj Ibn Yusuf (661-714 H), negarawan Arab dan gubernur
Arabia dan Irak kepercayaan Bani Umayyah. Menurut Ibn Khaldun, beberapa sejarawan
terjebak pada kesimpulan-kesimpulan beradasarkan analogi (pembandingan dan
penyamaan), padahal analogi dapat dengan mudah membawa pada kesalahan.
Dari pembahasan tentang beberapa kelemahan karya tulis para sejarawan dan
ilmuwan lainnya yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun, maka dapat disimpulkan bahwa
menurut Ibn Khaldun terdapat dua sarana dalam upaya mengklarifikasi berita. Pertama,
pemikiran yang mendalam atas peristiwa-peristiwa yang dituturkannya. Kedua, pengkajian
terhadap peringkat kebenaran dan kejujuran para penutur beritanya. Semenjak Ibn
Khaldun berusaha untuk membersihkan pembahasan-pembahasan sejarah dari riwayat-
riwayat dan menyadari berbagai kelemahan dalam memahami fenomena sosial-budaya,
maka kemudian ia memproyeksikan keilmuannya yang berorientasi pada pemahaman
fenomena sosial-budaya tersebut. Ia dengan lantang memproklamirkan formula keilmuan
baru, termasuk metode dan pendekatan baru, termasuk mempropagandakannya.
Ibn Khaldun secara intensif, terutama melalui kuliah-kuliahnya di beberapa universitas
di Mesir, menegaskan pentingnya ilmu ini. Terlebih ketika masa itu, di tengah-tengah
keterpurukan umat Islam di berbagai wilayah dan dalam berbagai bidang, khurafat (mitos
negatif) merebak kembali. Sikap fatalisme (jabariyah) negatif semakin menjadi-jadi dan hal
ini sangat berpengaruh terhadap etos umat Islam saat itu. Hampir dapat dikatakan bahwa
banyak periwayatan peristiwa yang dibumbui dengan cerita-cerita fiktif (mitos) dan tidak
berbasis relitas. Untuk merespon keadaan ini, Ibn Khaldun berupaya mengukuhkan
kembali visi rasionalitas dalam memahami gejala sosial-budaya.
Semua faktor-faktor di atas berakumulasi dan semakin mengukuhkan Ibn Khaldun
untuk mengambil manfaat dari ilmu baru ini, terutama untuk memahami watak dari gejala-
gejala masyarakat beserta hukum-hukum yang melingkupinya. Bagi Ibn Khaldun,
sebagiaman ilmu pengetahuan lainnya mengarah pda upaya memahami watak dari gejala-
gejala dan hukum-hukumnya, maka demikian lah dengan ilmubaru yang diproyeksikannya.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd Allah, Yusri ‘Abd al-Ghani. 2004. Historiografi Islam Dari Klasik Hingga Modern.
Terjemahan oleh Budi Sudrajat. Jakarta: Rajawali Press.
Azmeh, Aziz al-. 1981. Ibn Khaldun in Modern Scholarship: A. Study in Orientalism.
London: Third World Centre for Research and Publishing.
Azmeh, Aziz al-. Ibn Khaldun: En Essay in Reinterpretation. London: Frank Cass and
Company.
Baali, Fuad. 1988. Society, State, and Urbanism: Ibn Khaldun’s Sociological Thought. New
York: State University of New York Press.
Baali, Fu’ad dan Ali Wardi. 2003. Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam. Terjemahan oleh
Mansuruddin dan Ahmadie Thaha. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Deliar Noer. 1997. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan.
Faruqi, Ismail Raji al dan Louis Lamya al-Faruqi. 1998. Atlas Budaya Islam. Bandung:
Mizan.
Issawi, Charles. 1967. Filsafat Islam Tentang Sejarah. Jakarta: Tintamas.
Khaldun, Ibn. 1967. The Muqaddimah: Introduction to History. Terjemah oleh Franz
Rosenthal. 3 jilid. London: Routledge & Kegan Paul.
Gagasan Ibn Khaldun tentang Ilmu Sosial-Budaya (ilm al-umran) 33
Khaldun, Ibn 1970. The Muqaddimah. Terjemah oleh Franz Rosenthal. Diedit kembali oleh
N.J. Dawood. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
Khalidi, Tarif. 1985. Classical Arab Islam: The Culture and Heritage of the Golden Age.
Princeton, New Jersey: The Darwin Press.
Khudhairi, Zainab. 1995. Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Terjemahan oleh Ahmad Rofi'I
Utsmani. Bandung: Pustaka. Cetakan ke-2.
Lacoste, Yves. 1984. Ibn Khaldun: The Birth of History and The Past of The Third World.
London:Verso
Lewis, Bernard. 1967. The Arab in History. New York: Harper & Row.
Mahdi, Muhsin. 1971. Ibn Khaldun's Philosophy of History: A Study in the Philosophic
Foundation of the Science of Culture. Chicago: The University of Chicago Press.
Ma’arif, Ahmad Syafii. 1996. Ibn Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur.
Jakarta: Gema Insani Press.
Meuleman, Johan Hendrik. 1994. “Pemikiran Ibn Khaldun tentang Sejarah dan
Pengaruhnya terhadap kajian Keislaman”. Makalah.
Osman Raliby. 1962. Ibn Khaldun tentang Masjarakat dan Negara. Jakarta: Bulan Bintang.
Rabi’, Muhammad Mahmoud. 1967. The Political Theory of Ibn Khaldûn. Leiden: E.J. Brill.
Schmidt, Nathaniel. 1930. Ibn Khaldun: Historian, Sociologist, and Philosopher. New York:
Columbia University Press.
Stowasser, Barbara Freyer. 1994. “Agama dan Perkembangan Politik Antara Ibn Khaldun
dan Machiavelli”. Dalam Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 3 Volume V, 1994, hlm. 88-97.
Suwito dan Fauzan (Ed). 2003. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung:
Angkasa.
Toynbee, A.J. 1954. A Study of History. 12 jilid. London: Oxford University Press.
Wafi, Ali ‘Abd al-Wahid. 1985. Ibn Khaldun: Riwayat dan Karyanya. Jakarta: Grafiti Prees.
Yunus, Iyas Ba dan Farid Ahmad. 1997. Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer.
Bandung: Mizan.